Selasa, 06 Maret 2018

Ijma' dan Qiyas (PAI C Semester Genap 2017/2018)



           

IJMA’ DAN QIYAS

Alya Nashar Zulfa dan Ahmad Ghozali
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Kelas C Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract:
The urgency of the problems that occurred after the death of the Prophet became the emergence of ijma '. Ijma 'which is a collective ijtihad among friends, in addition to choosing the law, also to minimize or live it ijtihad by individual individual friend. The reason can be received directly, because when the Messenger of Allah was alive, the ruler of the law held directly by him, so there is no potential mistakes, After Rasulullah died, Abu Bakr, Umar bin al-Khathab, and other friends took the initiative to seek agreement when they did not find the back Al-Qur'an or al-sunnah on the problems of Shari'ah that happened. So here the need for ijma 'does not stop only in friendhood. Because with the development of the times, new events demanded a high legal decision as well when the Qur'an and al-Sunnah specifically did not address the issue
Keywods: Ijma’ dan Qiyas
Abstrak:
Kebutuhan mendesak terhadap pemecahan dari permasalahan-permsalahan yang terjadi setelah Rasulullah wafat menjadi sebab kemunculan  ijma’. Ijma’ yang merupakan ijtihad secara kolektif di anatara sahabat, selain bertujuan untuk menentukan hukum, juga untuk meminimalisir atau mengantisipasi terjadinya kesalahan ijtihad oleh per  individu sahabat. Alasan di atas secara rasional dapat di terima, karena ketika Rasulullah masih hidup, otoritas hukum dipegang lansung oleh beliau, sehingga tidak ada potensi kesalahan, Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar, Umar bin al-Khathab, dan sahabat lainya berinisiatif mengupayakan kesepakatan saat mereka tidak menemukan sandaran Al-Qur’an ataupun al-sunnah atas masalah-masalah syari’at yang  terjadi. Jadi di sini kebutuhan ijma’ tidak hanya berhenti pada masa sahabat saja. Karena dengan perkembangan zaman, kejadian-kejadian baru menuntut keputusan hukum baru pula tatkala Al-Qur’an dan al-sunnah secara spesifik tidak membahas masalah tersebut.
Kata Kunci: Ijma’ dan Qiyas

A.     PENDAHULUAN
            Seiring dengan berjalanya  peradaban umat manusia, persoalan-persoalan yang muncul terkait hukum agama juga semakin kompleks. Begitu banyak kasus yang pada masa rasul belum ada, kini ada. Maka yang terjadi kita tidak dapat hanya menggunakan  Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum. Bukan karena sudah tidak relevan lagi, melainkan ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an banyak yang multi tafsir dan Sunah Rasul pun jumlahnya terbatas mengingat tidak ada seorang sahabat pun yang pernah mengikuti rasul secara penuh selama 24 jam.
            Pada awal peradaban munculnya Islam, segala persoalan yang terjadi dapat langsung terselesaikan  baik dengan turunnya wahyu maupun dari apa yang dicontohkan oleh rasul sendiri. Namun, di masa sekarang ini, mustahil rasanya kalau segala persoalan langsung bisa dirujuk Al-Qur’an saja atau Al-Qur’an dengan As-Sunnah. Sebab, kondisinya sudah sangat berbeda. Pada masa rasul tidak ada yang namanya “Bir” namun kini ada. Lantas bagaimana kemudian hukumnya sekarang?
            Dalam menjawab persoalan zaman, sahabat melakukan sebagaimana salah satu tuntunan rasul dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa Rasululluah bertanya pada Mu’az, Apa yang akan engkau perbuat kalau datang persoalan di hadapanmu?. Mu’az menjawab, saya akan putuskan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kitab Allah. Kemudian rasul bertanya lagi, Bagaimana kalau engkau tidak menemukan jawabannya dalam kitab tersebut. Mu’az menjawab, saya akan putuskan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Sunah Rasul Allah. Dan bagaimana kalau sunah pun belum menyatakan apa-apa tentang itu. Dia menjawab, saya akan berijtihad dengan nalar saya dan tidak akan mengabaikannya. Lalu Rasul memukul-mukul dada Mu’az sambil berkata, segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap apa-apa yang diridhainya. 
            Dari salah satu hadits di atas, diketahui bahwa ada metode penggalian hukum yaitu dengan cara ijtihad. Ijtihad dalam hadits ini, sebagaiana dikatakan Wahbah, adalah qias karena ijtihad itu menggunakan nalar, sedang qias merupakan pendekatan dalam ijtihad yang paling tradisional dan mendekati kebenaran. Apabila terjadi kesepakatan oleh para mujtahid, kemudian dinamakan ijma’. Apa dan bagaimana kedua metode tersebut akan dijelaskan dalam artikel ini. 
B.     IJMA’
1.      Pengertian
            Secara etimologi, ijma’ mengandung dua arti yang berbeda. Pertama, ijma’ yang berarti ketetapan hati untuk melaksanan sesuatu. Ijma’ dalam  pengertian ini diambil dari firman Allah[1]:
فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُم
Artinya: Maka tetapkanlah hatimu dalam urusanmu (QS: Yunus 71)
Kedua, ijma’ yang bermakna kesepakatan. Pengertian seperti ini dapat dilihat dalam firman allah :
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ
Artinya: Pada saat mereka membawa yusuf dan sepakat untuk memasukanya ke liang sumur (QS. Yusuf 15).
      Dari dua pengertian di atas, secara kasat mata terdapat sebuah perbedaan bilamana menggunakan makna pertama, maka subyek ijma’ hanya seorang, tetapi dengan menggunakan makna kedua, ijma’ harus melibatkan lebih dari seorang.
      Sedangkan dalam terminologi ushul fiqih, ijma’ adalah berspakatnya seluruh mujtahid dari umat Rasulullah Saw setelah wafatnya, pada suatu masa dari beberapa masa terhadap suatu perkara dari beberapa perkara. Melihat dari konteks pengertian di atas apabila di dalam sebuah masalah-masalah yang akan di ijma’ kan yang disitu kebetulan hanya ada banyak ulama yang setuju. Maka menurut sebagian ulama berpendapat bahwa boleh di jadikan hujjah dan juga dianggap sebagai ijma’[2].
      Sebagai konsekwensi logis dari definisi di atas dapat di tarik beberapa kesimpulan mengenai unsur-unsur ijma’ yang harus di penuhi[3]. Adalah sebagai berikut[4]:
a.    Adanya sebuah kesepakatan, sepakat di sini di artikan kesaman pendapat seseorang dengan pendapat orang lain dalam segi keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Setelah adanya kesepakatan antara seluruh mujtahid dengan metode tersebut, maka akan dihasilkan sebuah ijma’ yang wajib diikuti.
b.    Mujtahid pelaku Ijma', di dalam konteks ini orang-orang yang terlibat di dalam ijma’ haruslah orang-orang yang berkompenten di bidangnya, dalam hal ini yang di maksud adalah mujtahid. Mujtahid adalah seseorang yang  mampu melakukan penggalian hukum dari dasar pengambilanya yakni Al-qur’an dan Al-Sunnah.
c.    Ijma’ sebagai keistemewaan khas ummat Muhammad Saw, di sini semua ulama bersepakat bahwa mujtahid haruslah termasuk umat nabi Muhammad Saw. Yang di maksud adalah sebutan orang-orang yang menerima dakwah Rasulullah Saw dan beriman terhadap semua ajaran beliau. Dengan demikian orang-orang kafir atau orang-orang yang tidak mempercayai Rasulullah Saw tidak termasuk ke dalam golongan orang yang berhak melakukan ijma’. Karena pendapat mereka dalam sebuah permasalahan agama tidak bisa di setujui.
d.    Ijma’ terbentuk pasca rasulullah wafat, sudah jelas di sini bahwasanya ijma’ bisa di jadikan hujjah bilamana terbentuk pada masa Rasulullah wafat. Apabila ijma’ di sini terjadi pada masa hidup beliau maka tidak dianggap sah dan tidak bisa di jadikan sebagai hujjah. Karena beliau lah yang langsung menjadi refrensi dan sumber rujukan hukum di kala beliau masih hidup.
2.    Hukum dan Syarat Ijma’
Mengenai boleh adanya ijma’dijadikan sebagai hujjah, para ulama terbagi kedalam dua golongan yakni:
a.    Golongan yang menerima ijma’ sebagai hujjah. Antara lain dikarenakan bahwa adanya ijma adalah hal yang telah mutawatir sejak dari zaman sahabat  dan untuk hasil daripada ijma itu tidak akan mungkin terjadi adanya kesalahan, karena disini umat nabi Muhammad tidak akan berijma’dalam hal yang salah. Di samping itu dalam menerima ijma’ sebagai hujjah, mereka memberi beberapa syarat mengenai hal tersebut yakni:
·      Bila yang di sepakati adalah satu hukum agama, maka oleh keseluruhan semua mujtahid , persepakatan kebanyakan ulama tidak di anggap ijma’ dan tidak bisa dipakai sebagai sebuah hujjah.
·      Harus ada dalil syarak yang menjadi pemerkuat hukum yang di ijma’-an itu. Sebagai mereka mensyaratkan dalil syarak tersebut haruslah nas yang qat’y dan zahir, tidak boleh dalil yang lain seperti qiyas contohnya.
·      Sebagian mensyaratkan bahwasanya ijma’ itu harus di dapat dengan jalan mutawattir, jika kalau di dapat melalui habar ahad maka tidak akan dapat berhujah denganya. Sebagian lagi tidak mensyaratkan. Yang demikian itu di karenakan menurut mereka berita ahad juga boleh di jadikan sebuah hujjah.
b.    Golongan yang menolak terjadinya ijma’ (selain ijma’ sahabat) beralasan dengan beberapa alasan sebagai berikut:
·      Kemungkinan untuk mengetahui hal-hal mana saja yang telah di ijma’ kan adalah tidak munngkin
·      Tidak mungkin mengetahui seluruh ulama yang bertaraf mujtahid di negeri barat atau timur. Kemungkinan untuk menemuinya semua orang tersebut saja rasanya tidak mungkin karena adanya batasan umr, lagipula disini tidak ada mengenai ketentuan seseorang untuk di beri gelar sebagai seorang mujtahid.
Seseorang bisa saja mungkin dianggap sebagai mujtahid di negeri belahan barat, akan tetapi mungkin tidak lagi dianggap mujtahid negeri belahan timur. Oleh karena itu, kemungkinan mengenai adanya ijma’ yang diakui golongan ini hanyalah sebuah ijma’ sahabat , karena jumlah mujtahid pada masa sahabat hanyalah sedikit, artinya tidak  sebanyak masa Tabi’in dan Tabi’I Tabi’in.
Di antara ulama yang paling keras dalam tanggapanya mengenai golongan yang berpendirian akan adanya ijma’. Adalah Imam Ahmad bin Hambal, hingga beliau berkata: ‘’Barangsiapa yang mendakwakan bahwa telah terjadi ijma’(selain ijma’ sahabat), maka dustalah dia, dan sepanjang sepengatahuan saya belum ada berita yang sampai pada saya akan adanya sebuah pendapat yang menyalahi sedemikian[5].
Jadi jelas yang dimasudkan Imam Ahmad adalah, tidak akan ada ijma’ selain ijma’ dari sahabat dan tidak ada ulama yang mengatakan bahwasanya ada ijma’ selain ijma’ sahabat.
Dari uraian di atas, maka disini sebagian para ulama’ membuat satu kesimpulan bahwa ijma’ tidaklah termasuk kedalam dalil syarak yang berdiri sendiri, kecuali diperkuat dengan adanya al-Qur’an dan Sunnah.
3.    Macam-macam Ijma’
      Setelah kita tadi sudah membahas banyak mengenai definisi Ijma’ dan semua hal yang terkait denganya, maka di tinjau dari segi caranya atau bentuknya ijma’ itu ada tiga macam yakni ijma’ Fi’liyah, ijma’ sharih dan ijma’ sukuti [6].
      Pertama, ijma’ fi’liyah adalah suatu perbuatan dari seluruh mujtahid yang menunjukkan sebuah persutujuan atas hukum suatu masalah, dengan bentuk perbuatan. Seperti ada seorang mujtahid yang memakan daging kuda misalnya,ini menunjukkan bahwasanya ia menghukumkan halal daging kuda dengan jalan perbuatanya[7].
      Kedua, ijma’ sharih adalah sebuah kesepakatan mujtahid terhadap hukum yang berkaitan dengan suatu peristiwa. Masing-masing bebas mengeluarkan pendapat. Jelas terlihat dalam fatwa, dan di dalam memutuskan suatu perkara. Tiap-tiap bagian mujtahid itu merupakan sumber hukum. Jelas terlihat dari semua pendapat mereka[8].
      Ketiga, ijma’ sukuti, adalah sebuah ijma’ yang tegas dengan adanya sebuah persetujuan dinyatakan oleh sebagian mujtahid, sedangkan sebagian lainya diam, tidak jelas apakah disimi mereka menyetujui atau melarangnya[9] .
      Selanjutnya di tinjau dari segi waktu dan tempatnya atau ruang lingkup para mutahid yang berijma’ maka ada beberapa macam yakni adalah sebagai berikut:
a.    Ijma’ Ahli Madinah (Kesepakatan ulama’-ulama’ Madinah dalam suatu masalah), Imam Malik berkata bahwa ijma ahli madinah adalah hujjah secara mutlak maksud dari pernyataan tersebut adalah karena kebiasaan yang mengatakan bahwa orang-orang seperti mereka tidak akan bersepakat kecuali berdasarkan dalil yang rajih. Ibn al-Qayyim berkata bahwa secara umum, ijma’ ahli madinah terbagi menjadi dua katagori yaitu, ijma dalam permasalahan-permasalahan yang berdimensi periwayatan serta ijma’ dalam permasalahan-permasalahn yang berdimensi ijtihad[10] . Untuk ijma’ dalam permasalahan-permasalahan yang berdimensi periwayatan di sini adalah hujjah, tetapi bukan dipandang dari segi ia adalah sebuah kesepakatan, akan tetapi dari sisi periwayatan yang mutawattir atas kondisi dan situasi pensyaratan masa rasul yang menunjukkan atas tujuan syari’at. Sedangkan ijma’ ahli madinah atas permasalahan-permasalahan berdimensi ijtihad, skala prioritas penggunaanya masih berada kedalam hadist.
b.    Ijma’ Khulafa’ al-Rasyidin (Kesapakatan empat khalifah dalam suatu masalah), di sini untuk kesepakatan Khulafa’ al-Rasyidin berperan sebagai salah satu hujah di karenakan rasulullah sendiri pernah bersabda agar berpegang juga dengan sunnah para khalifah khulafa’ al-rasyidin selain sunnah-nya, maka permasalahan-permasalahan yang telah menjadi kesepakatan mereka merupakan hujjah bagi selainya.
c.    Ijma’ ahli bait (Kesepakatan pendapat dari ahi bait atau keluarga rasul), untuk ahli bait ini identik dengan golongan syi’ah dalam kaitanya dengan ijma’, kalangan syi’ah atau ahlul bait bisa di katakan perkatan dan perbuatanya merupakan salah satu hujjah itu terbukti dengan adanya golongan tersebut termasuk orang-orang yang terjaga dari dosa, mereka juga menerima pengajaran dan tuntunan dari Rasulullah Saw.
d.    Ijma’ mayoritas ulama’ (Kesepakatan semua ulama’ sahabat dalam suatu masalah), kesepakatan mayoritas ulama’ merupakan salah satu hujjah dalam agama Islam karena sudah di tegaskan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah  agar kita selalu konsisten  mengikuti sebuah komunitas besar. Dalam hal ini adalah mengjhmati pendapat mayoritas ulama’ kita.
C.   Qiyas
Qiyas merupakan salah satu dari beberapa cara dalam penggalian hukum syara', metode penggalian hukum syara' dengan qiyas dilakukan dalam hal-hal yang sudah di nash kan dalam Al-Qur'an maupun As-sunah, namun penjelasan hukumnya masih belum jelas.[11]
Dari segi bahasa, qiyas (الْقِيَاسْ) memiliki arti “persamaan” atau “ukuran”, diibaratkan dengan seseorang yang sedang menyamakan atau mengukur suatu benda dengan benda lainnya. Secara istilah ilmu ushul fiqh qiyas adalah
اِسْتِخْرَاجُ مِثْلِ حُكْمِ الْمَذْكُوْرِلِمَالَمْ يَذْكُرْ بِجَامِعٍ بَيْنَ هُمَا
"mengeluarkan (suatu hukum yang sama) dengan yang telah disebut karena persamaan antara keduanya."[12]
1.    Rukun Qiyas
Rukun yang dimaksud di sini adalah komponen yang harus terpenuhi atau terdapat pada qiyas karena bila ada satu saja yang tidak ada, maka tidak dapat dikatakan bahwa itu adalah qiyas
Qiyas memiliki empat rukun, yakni:
1.      Al-Far'u, yaitu suatu hal yang diqiyaskan untuk menemukan hukum yang terdapat baginya.
2.      Al-Ashlu, yaitu sesuatu yang dipakai untuk menqiyaskan dan sudah terdapat padanya sebuah hukum.
3.      Hukum Ashal, yaitu hukum yang sudah dinashkan pada asal.
4.      Illat, yaitu sifat yang telah ada ketetapannya dari syara' dan menjadikan adanya hukum  pada asalnya.[13]
Contoh penggunaan qiyas dalam menentukan hukum suatu masalah:
1.      Transaksi jual beli yang dilakukan menjelang waktu sholat Jum’at diharamkan oleh nash. Kasus tersebut dapat diqiyaskan dengan segala macam transaksi ataupun transfer di dalam waktu yang sama.[14]
2.      Pencurian yang terjadi antara suami istri ataupun ayah dan anak tidak boleh diberikan sanksi hukuman kecuali dari pihak yang dicuri menuntut berdasarkan undang-undang pidana. Kasus tersebut bisa diqiyaskan kepada merampas dengan cara kekerasan, penipuan cek palsu ataupun sebagainya.[15]



2.    Qiyas sebagai Hujah
Kebanyakan Ulama’ berpendapat bahwa berhujah menggunakan qiyas adalah diperbolehkan dan wajib mengamalkan hukum wajib yang dihasilkan dari Qiyas, salah satu golongan yang tidak setuju dengan adanya qiyas adalah kelompok Imamiah.[16]
Terdapat beberapa alasan para jumhur ulama dalam memperbolehkan berhujah dengan qiyas, yakni:
1.      Berdasarkan firman Allah yang terdapat Al-Qur’an
فَاعْتَبِرُوْايَا أُولِي الْاَبْصَارِ  (الحشر:20)
Artinya: “Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang memiliki pandangan.” (Q.S. Al-Hasyr: 2)
2.      Terdapat dalam sunnah Rasulullah, dituturkan terdapat beberapa hadits yang terindikasi bahwa pengambilan hukum juga diambil melalui jalan qiyas. Di antara hadits-hadits tersebut terdapat hadits yang diriwayatkan oleh beberapa imam hadits, yakni Abu Dawud, Imam Ahmad, Turmudzi dan juga imam-imam hadits yang lainnya. Yakni saat pembai’atan Mu’adz bin Jabal oleh Rasulullah untuk pengutusannya ke Yaman, kemudian terdapat dialog singkat dengan Rasul. Rasul bertanya: ”Dengan cara apa engkau memutuskan suatu perkara yang diadukan kepadamu?”
”Saya akan menghukumnya dengan kitab Allah.” Jawab Mu’dz
“Apabila engkau tidak menemukannya dalam kitab Allah?”
“Maka dengan sunnah Rasulullah.”
“Apabila dalam sunnah Rasulullah tidak kau temukan?”
“Saya akan berijtihad dengan kemampuan berfikir saya”
Sambil menepuk dada Rasulullah berucap “segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk dan merestuimu.”
Kehujjahan qiyas dalam induksi hadits di atas adalah pengakuan dari Rasulullah terhadap cara pengambilan keputusan melalui ijtihad oleh Mu’adz nanti, ketika memang tidak dapat ditemukan jawaban sebuah permasalahan dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah
3.      Tutur dan laku para sahabat Rasulullah. Ketika tidak ada nash yang menegaskan dengan jelas, seringkali diterapkan pemecahan masalah menggunakan metode qiyas. Seperti contoh pada saat Rasulullah wafat, lalu umat mengalami kebingungan dalam memilih tokoh pengganti bagi mereka. Para sahabat pada saat itu menyamakan alih kepemimpinan umat dengan keputusan Nabi yang menjadikan Abu Bakar sebagai pengganti imam sholat pada saat Rasulullah sakit. Ditambah lagi dengan ucapan yang mencermikan adanya qiyas, yaitu, “Rasulullah telah rela pada Abu Bakar atas masalah agama, apakah kalian tidak rela pada Abu Bakar atas masalah duniawi?
4.      Argumentasi yang bersifat rasional. Setidaknya, ditemukan tiga dalil yang pokok dan rasional dapat digunakan untuk pengukuhan sisi kehujjahan dari Qiyas.[17]


3.    Syarat-syarat Asal, Far’u, dan Illat

a.       Syarat-Syarat Asal
1.      Yang terbit haruslah hukum asal, jadi belum dimansukh sebuah hukumnya. Karena apabila setelah dimansukh tidak memungkinkan untuk menqiyaskan hukum dari Far’u
2.      Yang terdapat pada asal merupakan hukum yang ditetapkan atas Syara’.
3.      Hukum Asal bukanlah merupakan hukum pengecualian. Seperti contoh dalam Islam, dikecualikan bagi seseorang yang tidak sengaja atau terlupa makan ataupun minum dalam posisi puasa ramadhan, maka puasanya tidak batal dan tetap sah. Hal tersebut tidak dapat diqiyaskan dengan kasus yang lainnya [18]
b.      Syarat-syarat Furu’
1.      Lebih dahulu datang hukum asal dari pada hukum far’u
2.      Illat dari pada far’u harus sesuai atau sama dengan illat yang terdapat pada asal
3.      Penetapan hukum pada far’u harus memiliki kesamaan dengan penetapan hukum pada asal yang telah ada.[19]
c.       Syarat-syarat illat
1.      Sifat illat adalah mengikuti ketetapan hukum. Jadi selama illat itu ada maka selama itu pula terdapat hukum di dalamnya
2.      Sifat illat adalah mengikuti ketiadaan hukum, jadi bila illat tersebut hilang maka hukum yang ditetapkan hilang juga.
3.      Illat tidak pernah diperbolekan bertentangan dengan nash, bila hal ini terjadi maka qiyas tidaklah dianggap sah.[20]

4.    Pembagian Qiyas

Pembagian qiyas ada 4, yaitu:
a.       Qiyas Aula, yakni qiyas yang diwajibkan kepada illatnya terdapat hukum dan yang disamakan (mulhaq) memiliki hukum yang keutamaannya lebih dari pada mulhaq bihnya (tempat menyamakan). seperti contoh dalam menqiyaskan menendang orang tua dengan mengucapkan “ufff” kepada kedua orang tua, yang seperti telah dijelaskan dalam firman Allah di surah Al Isra’ ayat 23 yakni “Janganlah kamu mengatakan “uff” kepada orang tuamu”.
Mengucapkan kata “uff” kepada kedua orang tua merupakan larangan yang keras dari agama karena memiliki illat menyakitkan hati. Oleh karena itu tentu saja menendang orang tua justru lebih dilarang lagi karena yang disakiti bukan hanya hati tapi juga dari fisiknya. Illat  pada kasus ini mulhaqnya lebih berat dari muhaq bih
b.      Qiyas Musawy, yakni qiyas yang diwajibkan kepada illatnya terdapat hukum dan illat hukum di dalam mulhaqnya adalah sama dengan hukum pada mulhaq bih. Seperti dalam contoh memakan harta anak-anak yatim diqiyaskan dengan membakar harta benda anak yatim. Kedua hal ini memiliki illat hukum yang sama seperti memakan harta anak yatim karena sama-sama menghabiskan atau merusak hartanya. Dan tentang hal ini Allah telah melarangnya dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 10 yakni “Bahwa orang-orang yang pada memakan harta anak yatim secara aniaya, sebenarnya mereka itu menelan api di dalam perutnya.”
Jadi membakar harta benda anak yatim termasuk dalam penghukuman haram karena diqiyaskan pada memakan harta anak yatim seperti dalam nash di atas.
c.       Qiyas dalalah, yaitu qiyas yang mana illat yang berada pada mulhaq terdapat hukum, namun tidak mewajibkan hukum padanya seperti halnya dalam menqiyaskan harta anak yang masih kecil kepada harta orang yang dewasa dalam menjalankan kewajibannya mengeluarkan zakat, karena memiliki illat bahwa harta benda yang dimiliki anak kecil tersebut dan orang dewasa sama-sama bersifat dapat bertambah banyak.
d.      Qiyas Syibhi, yaitu qiyas yang far’unya dapat kembali kepada dua asal, namun salah satunya lebih banyak terdapat persamaan. Seperti contoh perusakan hamba sahaya oleh seseorang, maka hamba sahaya tersebut dapat diqiyaskan dengan orang yang memiliki kemerdekaan karena sama-sama merupakan anak cucu Adam, tapi juga dapat diqiyaskan dengan harta benda, karena memang kedua duanya sama-sama bisa untuk dimiliki. Karena hamba sahaya bisa diperjual belikan, dihadiahkan, diwariskan ataupun yang lainnya, maka hamba sahaya lebih pas diqiyaskan dengan harta benda karena memiliki lebih banyak kesamaan. Oleh karena itu hamba sahaya bisa diganti dengan nilainya apabila terjadi kerusakan oleh seseorang.[21]

D.  Kesimpulan
Ijma’ dan qiyas merupakan jalan atau metode pengambilan hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama setelah tidak didapatkannya sebuah hukum yang dari sumber hukum islam yang utama yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits

Daftar Pustaka

Sahal,Mahfudz. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kota Kediri: FKI Purna Siswa Aliyyah Madrasatul Hidayatul Mubtadi-ien, 2004)
Basiq, Djalil. Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana prenada Media Group, 2010)
al-Zuhaili, Wahbah Ibid, (Biqa: Dar Ibn ‘abud, 1950)
Wahab,Abdul, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya,2005)
Dzajuli, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006)
Muhammad bin Abu Bakar, I’lam al-muqiin ‘an rabb al-amin,(Beirut: Dar al-jail, 1973,
Syarifuddin, Amir. ”Ushul fiqh”, Jakarta: Kencana 2009
Abdullah, Sulaiman. “Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya”, Jakarta: Sinar Grafika, 1995

Catatan:
1.    Similarity hanya 5%. Bagus.
2.    Mengapa referensinya hanya 8?
3.    Kesimpulannya terlalu simpisistis.
4.    Penulisan footnote perlu diperbaiki.



[1] Mahfudz Sahal, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kota Kediri: FKI Purna Siswa Aliyyah Madrasatul Hidayatul Mubtadi-ien, 2004), h. 77
[2] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana prenada Media Group, 2010) h. 183
[3]  Wahbah al-Zuhaili, Ibid, (Biqa: Dar Ibn ‘abud, 1950), h. 491
[4] Mahfudz Sahal, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kota Kediri: FKI Purna Siswa Aliyyah Madrasatul Hidayatul Mubtadi-ien, 2004), h. 80
[5] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana prenada Media Group, 2010) h. 186
[6] Wahbah al-Zuhaili, Ibid, h.36
[7] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana prenada Media Group, 2010) h. 183
[8] Wahab Abdul, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya,2005) h. 56
[9] Dzajuli, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006) h. 77
[10] Muhammad bin Abu Bakar, I’lam al-muqiin ‘an rabb al-amin,(Beirut: Dar al-jail, 1973, h. 278
[11] Amir Syarifuddin, ”Ushul fiqh”, Jakarta: Kencana 2009, jilid 1, hlm 170
[12] Basiq Djalil, “Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua”, Jakarta: Kencana 2010, hlm 188
[13] Ibid hlm 189
[14] Sulaiman Abdullah, “Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya”, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm 88
[15] Abdul Wahab Khallaf, “Ilmu Ushul Fiqh”, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hlm 60
[16] Basiq Djalil, “Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua”, Jakarta: Kencana 2010, hlm 190
[17] Forum Karya Ilmiah 2004, “Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam”, Kediri: Purna Siswa Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, 2008, hlm. 186
[18] Basiq Djalil, “Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua”, Jakarta: Kencana 2010, hlm 191-192
[19] Ibid hlm 192
[20] Ibid hlm 192
[21] Sulaiman Abdullah, “Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya”, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm 123-124

Tidak ada komentar:

Posting Komentar