Selasa, 06 Maret 2018

Asbabun Nuzul (PIPS D Semester Genap 2017/2018)




ASBAB AN NUZUL AL-QURAN
(STUDI AL-QURAN DAN HADITS)

Tia Inayatun Nadzifah         (16130024)
Airul Tandhe Hitanaya        (16130028)
Finda Himmatur Rosyidah  (16130125)
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Pendidikan IPS Kelas D 2016

Abstrack
God makes everything through causation and according to a measure. No human being is born and sees the light of life without going through the causation and the various stages of development. Nothing happens in this form except after going through the introduction and planning. So also changes in the horizon of human thought occur after through preparation and direction. The process of descending the Koran is an important requirement in explaining the asbab nuzul which according to ulama in the tradition of Ulumul Qur'an study named with Asbabun Nuzul mikro. And the consequence of the word means there are verses that even most verses of the Qur'an do not have asbab nuzul. Therefore many verses of the Qur'an can not be correctly understood. For it must be supported by asbab nuzul macro, the historical background of Arab society when the Qur'an is revealed.

Abstrak
Allah menjadikan segala sesuatu melalui sebab musabab dan menurut suatu ukuran. Tidak seorang pun manusia lahir dan melihat cahaya kehidupan tanpa melalui sebab-musabab dan berbagai tahap perkembangan. Tidak sesuatu pun terjadi didalam wujud ini kecuali setelah melewati pendahuluan dan perencanaan. Begitu juga perubahan pada cakrawala pemikiran manusia terjadi setelah melalui persiapan dan pengarahan. Proses turunnya Al-Quran merupakan syarat penting dalam menjelaskan asbab nuzul yang menurut ulama dalam tradisi kajian Ulumul Qur’an dinamakan dengan Asbabun Nuzul mikro. Dan konsekuensinya dari kata tersebut berarti ada ayat-ayat yang bahkan sebagian besar ayat Al-Qur’an tidak mempunyai asbab nuzul. Oleh karena itu banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak dapat difahami maksudnya dengan benar. Untuk itu harus didukung oleh asbab nuzul makro, yaitu latar belakang historis masyarakat Arab ketika Al-qur’an diturunkan.
Keywords: ilmu al-quran, asbabun nuzul, mikro dan makro.
A.    Pendahuluan
Al-Qur’an adalah mukjizat nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling agung bila dibandingkan dengan mukjizat yang lain yang dimiliki oleh beliau dan atau bila dibanding dengan mukjizat-mukjizat lain yang dimiliki oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW.  wajar jika sampai saat ini bahkan sampai hari kiamat nanti keaslian al-Qur’an masih tetap terjaga. Karena mustahil tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat memalsukan / merubah ayat-ayat al-Qur’an apalagi mampu menyaingi keindahan kalam-kalam al-Qur’an.
Mengkaji Al-Qur’an selalu menghadirkan kemenarikan, karena berkaitan dengan cabang-cabang ilmunya yang rumit. Sejumlah cabang ilmu al-Qur’an menjadi urgen untuk dikaji, mulai dari konsep dasar tentang tentang al-Qur’an, sejarah penyebaran dan kondifikasi yang agak rumit, ayat-ayat dengan karakteristik makkiyah dan madaniyyah yang menjadi salah satu dasar bagi interpretasi dan tafsir al-Qur’an, serta asbab al-nuzul dengan segala problematikanya, baik sebab-sebab yang bersifat mikro (al-asbab al-khashah) maupun sebab-sebab yang makro (al-asbab al-‘ammah).
Makna asbabun nuzul ialah: “Kejadian yang karenanya diturunkan al-Qur’an untuk menerangkan hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana yang di dalam suasana itu al-Qur’an diturunkan serta membicarakan sebab yang tersebut itu, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu, ataupun kemudian lantaran sesuatu hikmat”.
Para ulama ahli Ulum Al-Qur’an, misalnya Syekh Abdu al-adhim al-Zarqani, dalam Manahil al-Irfannya mendefinisikan asbab nuzul atau sabab nuzul sebagai kasus atau sesuatu yang terjadi yang ada hubungannya dengan turunnya ayat, atau ayat-ayat al-Qur’an sebagai penjelasan hukum pada saat terjadinya kasus.
Kasus yang dimaksud dalam definisi diatas, tentu saja terjadi pada jaman Rasulullah. Demikian juga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan setelah terjadinya kasus tertentu atau pertanyaan tertentu yang diajukan kepada Rasulullah, kemudian turun satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan hukum kasus tersebut atau menjawab pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah. Hakikatnya Rasulullah hanyalah pembawa risalah, beliau tidak memegang otoritas untuk menetapkan suatu hukum syariat. Hukum itu sendiri datang dari Allah. Melalui wahyu yang dibawa oleh malaikat Jibril.
Pedoman dasar para ulama dalam mengertahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat (ra’y), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan: “Tidak halal berpendapat mengenai asbabun kitab kecuali berdasarkan riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya”.

B.     Pengertian Asbabul Nuzul
Al Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita berita yang akan datang.
Pada mulanya Al-Qur’an diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi diantara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Qur’an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbabun Nuzul.[1]
Setelah diselidiki, sebab turunnya sesuatu ayat itu berkisar pada dua hal:
1.         Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Qur’an mengenai peristiwa itu. Hal itu seperti diriwayatkan dari Ibn Abbas, yang mengatakan:
Ketika turun: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat, Nabi pergi dan naik ke bukit Safa, lalu berseru: ‘Wahai kaumku!’ Maka mereka berkumpul ke dekat Nabi. Ia berkata lagi: ‘Bagaimana pendapatmu bila akuberitahukan kepadamu bahwa di balik gunung ini ada sepasukan berkuda yang hendak menyerangmu; percayakah kamu apa yang kukatakan?’ Mereka menjawab: ‘Kami belum pernah melihat engkau berdusta’. Dan nabi melanjutkan: ‘Aku memperingatkan kamu tentang siksa yang pedih’. Ketika itu Abu Lahab lalu berkata: ‘Celakalah engkau; apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?’ Lalu ia berdiri. Maka turunlah surat ini Binasalah kedua tangan Abu Lahab.

2.         Bila Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Qur’an menerangkan hukumnya. Hal itu seperti ketika Khaulah binti Sa’labah dikenakan zihar oleh suaminya, Aus bin Samit. Lalu ia datang kepada Rasulullah mengadakan hal itu. Aisyah berkata: “Maha suci Allah yang pndengaran-Nya meliputi segalanya. Aku mendengar ucapan Khaulah binti Sa’labah itu, sekalipun tidak seluruhnya. Ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah. Katanya: Rasulullah, suamikutelah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang, setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi, ia menjatuhkan zihar kepadaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kapada-Mu”. Aisyah berkata: “Tiba-tiba jibril turun membawa ayat-ayat ini: Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya..., yakni Aus bin Samit”.
Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat, karena tidak semua ayat Qur’an diturunkan karena timbul suatu peristiwa dan kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada diantara ayat Qur’an yang diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban islam dan syari’at Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial. Al-Ja’bari menyebutkan: “Qur’an diturunkan dalam dua kategori: yang turun tanpa sebab, dan yang turun karena suatu peristiwa atau pertanyaan.
Oleh sebab itu, maka asbabun nuzul didefinisikan sebagai “Sesuatu hal yang karenanya Qur’an diturunkan untuk menerangkan status (hukum) nya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”.
Rasanya suatu hal yang berlebihan bila kita memperluas pengertian asbabun nuzul dengan membentuknya dari berita-berita tentang generasi terdahulu dan peristiwa-peristiwa masa lalu. As-Suyuti dan orang-orang yang banyak memperhatikan asbabun nuzul mengatakan bahwa ayat itu tidak turun di saat-saat terjadinya sebab. Ia mengatakan demikian itu karena hendak mengkritik atau membatalkan apa yang dikatakan oleh al-Wahidi dalam menafsirkan Surah al-Fiil, bahwa sebab turun surah tersebut adalah kisah datang-datangnya orang-orang Habsyah. Kisah ini sebenarnya sedikit pun tidak termasuk ke dalam asbabun nuzul. Melainkan termasuk kategori berita peristiwa masa lalu, seperti halnya kisah kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Samud, pembangunan Ka’bah dan lain-lain yang serupa itu. Demikian pula mengenai ayat...Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(-Nya). Asbabun nuzulnya adalah karena Ibrahim dijadikan kesayangan Allah. Seperti sudah diketahui, hal itu sedikit pun tidak termasuk ke dalam asbabun nuzul.[2]
Fakta sejarah menunjukkan, bahwa turunnya ayat-ayat Al-Quran itu ada dua bagian, yaitu:
1.      Ayat-ayat yang turunnya diawali oleh suatu sebab
Dalam hal ini ayat-ayat tasyri’iyyah (ayat-ayat hukum) yang pada umumnya mempunyai sebab dalam turunnya ayat dan sebab turunnya ayat ini dengan berupa peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Islam dan ada juga berupa pertanyaan dari kalangan Islam dan dari kalangan lainnya yang ditunjukan kepada Nabi Muhammad SAW. Contohnya dalam Surah al-Baqarah ayat 221:
“ janganlah kamu kawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman, sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu mengawinkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang yang musyrik walaupun menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat –Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran”.[3]
2.      Ayat-ayat yang turunnya tidak diawali oleh sebab
Ayat-ayat semacam ini banyak terdapat di dalam Al-Qur’an dan jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat hukum yang mempunyai asbab al-Nuzul. Seperti ayat-ayat yang menceritakan tentang umat terdahulu beserta para Nabinya, menceritakan hal-hal yang gaib yang akan terjadi dan menggambarkan keadaan hari Kiamat beserta nikmat surga dan siksaan neraka. Ayat-ayat yang demikian itu diturunkan oleh Allah bukan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu pertanyaan dari suatu peristiwa yang terjadi pada waktu itu, melainkan semata-mata untuk memberi petunjuk kepada manusia agar menempuh jalan yang lurus. Dan Allah menjadikan ayat-ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan kontek Al-Qur’an dengan ayat-ayat sebelumnya dan ayat-ayat sesudahnya.[4]
Para ulama ahli Ulum Alquran, misalnya Syekh Abdu al-adhim al-Zarqani, dalam Manahil al-Irfannya mendefinisikan asbab nuzul atau sabab nuzul sebagai kasus atau sesuatu yang terjadi yang ada hubungannya dengan turunnya ayat, atau ayat-ayat Alquran sebagai penjelas hukum pada saat terjadinya kasus.[5]
C.    Kegunaan Asbab An-Nuzul
Pertama, membantu setiap penafsir untuk memahami kandungan dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an. Berikut merupakan salah satu contoh kegunaan Asbab Al-Nuzul yang membantu pemahaman terhadap maksud ayat Al-Qur’an tersebut.
a.      Q.S Al-Baqarah/ 2 :189
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 
 “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari atasnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertaqwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
Sebab nuzul berikut juga mejelaskan makna yang dimaksud ayat di atas:
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِينَا كَانَتْ الْأَنْصَارُ إِذَا حَجُّوا فَجَاءُوا لَمْ يَدْخُلُوا مِنْ قِبَلِ أَبْوَابِ بُيُوتِهِمْ وَلَكِنْ مِنْ ظُهُورِهَا فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَدَخَلَ مِنْ قِبَلِ بَابِهِ فَكَأَنَّهُ عُيِّرَ بِذَلِكَ فَنَزَلَتْ { وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا }
Telah menceritakan kepada kami [Abu Al Walid] telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] dari [Abu Ishaq] berkata; Aku mendengar [Al Bara' radliallahu 'anhu] berkata: "Ayat ini turun kepada kami, yaitu Kaum Anshar jika mereka menunaikan haji lalu kembali pulang, mereka tidak memasuki rumah-rumah mereka dari pintu depannya namun mereka masuk dari belakang. Kemudian datanglah seseorang dari Kaum Anshar yang ia masuk dari pintu depan seakan-akan ia merubah kebiasaan tadi. Maka kemudian turunlah firman Allah QS Al Baqarah ayat 189 yang artinya: ("Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya").
Sebab nuzul ayat ini menjelaskan bahwa yang di maksud mendatangi (al-ityan) dalam ayat ini bukan sekedar mendatangi, tapi yang dimaksud adalah masuk ke dalamnya (ad-dukhul). Selain itu, sebab nuzul juga menjelaskan bahwa yang di maksud rumah dalam dalam ayat tersebut adalah rumah mereka sendiri, bukan rumah orang lain. Ayat ini turun terkait salah satu kebiasaan masyarakat Arab kala itu adalah tidak mau memasuki rumah dari pintu depan seusai menunaikan ibadah haji atau melakukan perjalanan jauh. Mereka menganggapnya sebagai hal yang tabu. Ayat ini turun untuk membatalkan anggapan tersebut.
Kedua, menjelaskan maksud ayat-ayat yang mudah disalah pahami dan rawan memunculkan perselisihan pendapat. Seorang penafsir dapat saja keliru memahami maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an, atau menangkap pesan yang berbeda dengan yang dimaksudkannya, jika tidak memperhatikan asbabun-nuzul. Maka pentingnya pengetahuan tentang asbabun-nuzul untuk menghindari kekeliruan pemahaman terhadap ayat ayat Al-Qur’an. Hal ini di tegaskan oleh asy-Syatibiy dengan menyatakan bahwa ketidaktahuan pada asbabun-nuzul dapat menjerumuskan seorang pada pemahaman yang tidak jelas dan menimbulkan persoalan-persoalan. Selain itu juga dapat mengaburkan makna ayat yang sesungguhnya telah jelas, sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan perselisihan pendapat di kalangan umat.
Contoh berikut dapat menguatkan peran asbabun-nuzul dalam menghindari kesalahpahaman dan menyelesaikan perselisihan:
a.       Q.S Al-Baqarah/ 2 :158
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّف
                                                                        بِهِمَا ۚ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌعَلِيمٌ
“Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syi’ar (agama) Allah. Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui.”
Ayat di atas turun di latar belakangi oleh peristiwa berikut ini :
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْهَاشِمِيُّ، أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قُلْتُ: أَرَأَيْتِ قَوْلَ الله تَعَالَى: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا} قُلْتُ: فَوَاللَّهِ مَا عَلَى أَحَدٍ جُنَاحٌ أَنْ لَا يطَّوف بِهِمَا؟ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: بِئْسَمَا قُلْتَ يَا ابْنَ أُخْتِي إِنَّهَا لَوْ كَانَتْ عَلَى مَا أوّلتَها عليه كانت: فلا جناح عليه أَلَّا يَطَّوَفَ بِهِمَا، وَلَكِنَّهَا إِنَّمَا أُنْزِلَتْ أَنَّ الْأَنْصَارَ كَانُوا قَبْلَ أَنْ يُسْلِمُوا كَانُوا يُهِلّون لِمَنَاةَ الطَّاغِيَةِ، التِي كَانُوا يَعْبُدُونَهَا عِنْدَ المُشلَّل. وَكَانَ مَنْ أهلَّ لَهَا يَتَحَرَّجُ أَنْ يطوَّف بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، فَسَأَلُوا عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا كُنَّا نَتَحَرَّجُ أَنْ نطَّوف بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ} إِلَى قَوْلِهِ: {فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا} قَالَتْ عَائِشَةُ: ثُمَّ قَدْ سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّوَافَ بِهِمَا، فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَدع الطَّوَافَ بِهِمَا.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Sa’d, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah. Urwah menceritakan bahwa Siti Aisyah pernah berkata kepadanya, bagaimanakah pendapatmu mengenai makna firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. (Al-Baqarah: 158) Aku menjawab, “Demi Allah, tidak ada dosa bagi seseorang bila dia tidak melakukan tawaf di antara keduanya.” Siti Aisyah berkata, “Alangkah buruknya apa yang kamu katakan itu, hai anak saudara perempuanku. Sesungguhnya bila makna ayat ini seperti apa yang engkau takwilkan, maka maknanya menjadi ‘Tidak ada dosa bagi seseorang bila tidak tawaf di antara keduanya’. Akan tetapi, ayat ini diturunkan hanyalah karena orang-orang Ansar di masa lalu sebelum mereka masuk Islam, mereka selalu ber-ihlal untuk berhala Manat sesembahan mereka yang ada di Musyallal (tempat yang terletak di antara Safa dan Marwah), dan orang-orang yang pernah melakukan ihlal untuk berhala Manat merasa berdosa bila melakukan tawaf di antara Safa dan Marwah. Lalu mereka menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. dan mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami merasa berdosa bila melakukan tawaf di antara Safa dan Marwah karena masa Jahiliah kami. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya ‘(Al-Baqarah: 158). Siti Aisyah r.a. berkata, “Kemudian Rasulullah Saw. menetapkan (mewajibkan) sa’i antara keduanya, maka tiada alasan bagi seseorang untuk tidak melakukan sa’i di antara keduanya.”
Dengan demikian, sebab nuzul meluruskan pemahaman ‘urwah bahwa sai tidak wajib. Sai anta Safa dan Marwah merupakan salah satu syiar yang Allah lestarikan hukumnya. Ayat ini turun untuk menjawab keraguan sebagian kaum muslim untuk sai antara keduanya bukit tersebut. Karena khawatir dianggap mengikuti perilaku kaum jahiliah.[6]
Beberapa pakar Ulum Al-Qur’an misalnya Al-Zarqaniy dan Al-Suyuthiy, mensinyalir adanya kalangan yang beranggapan bahwa mengetahui Asbab Nuzul tidak ada gunanya. Anggapan semacam ini oleh kebanyakan ulama dianggap keliru di antaranya Ibnu Taimiyah yang mendalami ilmu-ilmu Al-Qur’an, karena banyak sekali hal yang dapat di bantu oleh pemahaman Asbab Nuzul di dalam upaya memahami Al-Qur’an. Diantaranya adalah berikut: Pertama, membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian di dalam menangkap ayat-ayat Al-Qur’an.
a.       Q.S Al-Baqarah/2 :115

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (Rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Menurut dhahir ayat ini, orang yang shalat boleh menghadap ke arah mana saja sesuai kehendak hatinya. Ia seakan-akan tidak berkewajiban menghadap Ka’bah saat shalat, dan dhahir ayat itu membolehkan orang menghadap arah mana saja, baik bermukim maupun dalam perjalanan. Akan tetapi, setelah memahami Asbab Nuzul ayat di atas, ternyata tidak demikian. Orang yang ada di dalam shalatnya di benarkan menghadap arah mana saja hanyalah orang yang tidak tahu arah kiblat dan kemudian berijtihad.
Kedua, mengatasi keraguan terhadap ayat yang di duga mengandung pengertian umum.
b.      Q.S An’am/ 6:145

وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ ۚ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ ۚ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ ۚ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ
Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang di wahyukan kepada-Ku, sesuatu yang di haramkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena Sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang di sembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Menurut Imam Al-Syafi’I pengertian yang di maksud ayat ini tidaklah umum (hashr). Untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat di ats, Imam Syafi’i menggunakan alat bantu Nuzul ayat. Ayat ini, seperti di tulis Al-Zarqaniy, menurut Imam Syafi’i di turunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu kecualiyang telah mereka halalkan. Telah menjadi kebiasaan orang-orang kafir, terutama Yahudi, mengharamkan apa saja yang di halalkan Allah SWT. Dan menghalalkan apa yang di haramkan Allah SWT. Selanjutnya turunlah ayat 145 surah Al-An’am di atas untuk menetapkan pengharaman dan bukan untuk menetapkan penghalalan makanan yang tidak di sebutkan ayat tersebut.[7]
Dalam dunia pendidikan, para pendidik mengalami banyak kesulitan dalam penggunan media pendidikan yang dapat membangkitkan perhatian anak didik supaya jiwa mereka siap menerima pelajaran dengan penuh minat dan seluruh potensi intelektualnya terdorong untuk mendengarkan dan mengikuti pelajaran. Tahap pendahuluan dari suatu pelajaran memerlukan kecerdasan brilian, yang dapat menolong guru dalam menarik minat anak didik terhadap pembelajarannya dengan berbagai media dan sesuai, serta memerlukan latihan dan pengalaman cukup lama yang dapat memberinya kebijakan dalam memilih metode pengajaran yang efektif dan sejalan dengan tingkat pengetahuan anak didik tanpa kekerasan atau dipaksakan. Di samping tahap pendahuluan itu tujuan memberikan konsepsi menyeluruh mengenai tema pelajaran, agar guru dapat dengan mudah membawa anak didiknya dari hal-hal yang sifatnya umum kepada yang khusus, sehingga semua materi pelajaran yang di targetkan dapat di kuasai dengan mendetail sesudah anak itu itu memahami nya secara umum (garis besarnya). Dan pengetahuan asbabun nuzul merupakan media paling baik untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan di atas dalam mempelajari Al-Qur’anul Karim baik bacaan maupun tafsirnya. [8]
D.    Asbabul Nuzul Mikro dan Makro
Proses turunnya Al-Quran merupakan syarat penting dalam menjelaskan asbab nuzul yang menurut ulama dalam tradisi kajian Ulumul Qur’an dinamakan dengan Asbabun Nuzul mikro. Dan konsekuensinya dari kata tersebut berarti ada ayat-ayat yang bahkan sebagian besar ayat Al-Qur’an tidak mempunyai asbab nuzul. Oleh karena itu banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak dapat difahami maksudnya dengan benar. Untuk itu harus didukung oleh asbab nuzul makro, yaitu latar belakang historis masyarakat Arab ketika Al-qur’an diturunkan.
1.      Mikro
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) adalah melalui:”Riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah dan sahabat”. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai sesuatu yang bila jelas maka ia mempunyai hukum Marfu (yang disandarkan kepada Rasullulah). al-Wahidi mengatakan:
”tidak halal berpendapat mengenai asbabun-nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya, dan membahas tentang pengertiannya”.
Metode inilah yang ditempuh oleh ulama Salaf, mereka sangat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu mengenai Asbabun-Nuzul tanpa pengetahuan dan pemahaman yang jelas. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun-nuzul adalah riwayat, ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad yang secara pasti menunjukkan Asbabun-Nuzul. As-Sayuti berpendapat bahwa “Bila ucapan-ucapan seorang Tabi’in secara jelas menunjukkan asbabun-nuzul, maka ucapan itu diterima”. Dengan kata lain apabila musaffir tersebut memiliki otoritas dalam kedudukannya sebagai mufasir, maka Dia benar meskipun riwayatnya berbeda dengan orang lain, (kaidah mikro tentang teori kebenaran “otoritas”).[9]
جيع البيان ف التفسير القران, karya Ibn Jarir al-Tabari, semasa hidup beliau pada akhir abad 9-10 M, kaum muslimin dihadapkan pada pluralisme; etnis, relijius, ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, dan heterogenitas kebudayaan dan peradaban. Secara langsung maupun tidak langsung, telah terjadi interaksi budaya dengan ragam muatannya, perubahan dan dinamika masyarakat terus bergulir, tentu saja hal ini mewarnai pola pandang dan pola pikir kaum muslimin, sebagai sebuah konsekwensi logis yang tak terhindarkan.
Dari segi linguistik ( اللغة), Ibn Jarir al-Tabari sangat memperhatikan penggunaan Bahasa Arab sebagai pegangan dengan bertumpuh pada; syair-syair arab kuno dalam menjelaskan makna kosakata, acuan terhadap aliran ilmu gramatika (nahwu), dan lain-lain. Sementara itu beliau sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran yang disandarkan kepada pendapat-pendapat para sahabat, tabi’ dan tabi’in al-Tabi’in melalui hadits yang mereka riwayatkan, meski di sisi lain ia juga kadangkala menggunakan Ra’yu.
Untuk menunjukkan kepakarannya di bidang sejarah Asbabun Nuzul, maka ayat-ayat yang ia jelaskan berkenaan dengan aspek histories yang dijelaskan secara panjang lebar dengan mengambil riwayat-riwayat dari orang-orang yahudi dan nasrani yang sudah masuk Islam, seperti; Ka’ab Bin Ahbar, Wahab Bin Munabbih, dan lain-lain. Ada tiga pernyataan mendasar tentang konsep sejarah yang dilontarkan al-Tabari, antara lain: Pertama, Menekankan esensi ketauhidan dari misi kenabian. Kedua, Pentingnya pengalaman-pengalaman dari umat dan konsistensi pengalam sepanjang sejarah.
Berkenaan denga Qira’at (cara baca) surat al-Fatihah ; ملك يوم الد ين al-Tabari memaparkan ada 3 jenis tanda baca: Ma’ dengan bacaan pendek, panjang dan dengan membaca Fatha Ka’. Sehingga pada akhirnya beliau menjelaskan bahwa makna Ta’wil dengan Ma’ dibaca panjang berdasarkan kepada sebuah riwayat dari Ibn Kuraib dari Ibn Abbas. Oleh karena itu mereka memiliki konsepsi bahwa pengetahuan Asbabun-Nuzul hanya dapat diketahui dari Nagly dan periwayatan dalam hal ini tidak ada tempat untuk berijtihad.
Metode ulama kuno kadang-kadang melupakan sisi internal sama sekali, hanya men-tarjihkan riwayat-riwayat saja, atau kadang-kadang melupakan sama sekali sisi eksternal, hanya mengandalkan analisis formal terhadap bahasa teks, yang menyebabkan terperangkap ke dalam kekeliruan sebagaimana yang dialami oleh para “Mutakkallimin”, ketika menginterpretasikan sebuah teks mereka megandalkan satu konsep analisis yaitu Majaz (metafora), sebuah konsep yang kemudian berubah menjadi konsep ideologis.[10]
Para ulama membuat kriteria-kriteria untuk menyikapi Asbabun-Nuzul melalui riwayat, antara lain: Pertama, apabila ada dua riwayat yang berbeda, dan salah satunya lebih shahih dan lainnya tidak, maka yang dipegang adalah riwayat yang lebih shahih. Kedua, apabila sanad dari riwayat tersebut sama keshahihannya maka salah satunya diutamakan apabila peranya menyaksikan peristiwa atau karena ada peristiwa semacamnya. Ketiga, apabila dua riwayat tersebut sulit ditarjihkan, maka pemecahannya adalah di asumsikan ayat yang turun berulang-ulang sebagai sebab yang disebutkan.
Pijakan utama untuk penanggalan bagian-bagian al-Qur’an adalah riwayat-riwayat sejarah dan tafsir . Riwayat-riwayat yang dipermasalahkan di sini biasanya mengungkapkan bahwa bagian tertentu al-qur’an diwahyukan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Misalnya surat 8 dihubungkan dengan perang Badar, surat 33 dengan perang Khandaq, dan surat 48 dihubungkan dengan perajanjian Hudaibiyah. Riwayat-riwayat semacam ini memang merupahkan data histories yang amat membantu penanggalan Al-qur’an, akan tetapi jumlahnya sangat sedikit dan umumnya bertalian dengan wahyu-wahyu dari priode Madinah.[11]
Sementara riwayat-riwayat lain yang bertalian dengan wahyu-wahyu Mekkah, selain jumlahnya tidak begitu banyak, secara histories data tersebut juga sangat meragukan dan umumnya dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang tidak begitu penting serta tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya.
Dalam kaitannya dengan riwayat-riwayat, di mana bahan-bahan tradisisonal ini memiliki sejumlah cacat yang mendasar, yaitu: Pertama, bahan-bahan tersebut tidak lengkap dan hanya menentukan sebab-sebab pewahyuan Asbabun Nuzul untuk sejumlah bagian Al-qur’an yang relatif sedikit, sehingga rentan dengan kritik sanad. Kedua, kebanyakan sebab pewahyuan yang dikemukakan hanya merupakan peristiwa-peristiwa yang tidak penting dan tidak diketahui kapan terjadinya. Ketiga, terdapat banyak inkonsistensi di dalam bahan-bahan tersebut, seperti; biasanya dikatakan bahwa bagian al-Qur’an yang pertama kali diwahyukan kepada Nabi adalah permulaan surat 96 (1-5), tetapi riwayat lain mengatakan bahwa wahyu pertama adalah bagian permulaan surat 74 (1-5), atau surat al-Fatihah (I; 1-7).
Sekalipun dengan berbagai kelemahan, bahan-bahan tradisional yang terhimpun dalam Asbabun-Nuzul baik bersifat histories, semi histories ataupun legenda, mesti diterima sebagai pijakan penanggalan al-Qur’an. Sikap semacan ini sering dipegang oleh sarjana tradisional muslim, demikian pula upaya-upaya modern termasuk yang dilakukan oleh sarjana barat –untuk menemukan pijakan bagi penanggalan al-Qur’an, pada umumnya harus bertolak dari bahan tersebut, sekalipun dalam kasus-kasus tertentu mesti bertolak belakang satu dengan yang lainnya.

2.      Makro
Syah Waliyullah Ad-Dahlawi melontarkan ide asbabun nuzul makro secara lebih tegas dan jelas. Ia menyinggung bahwa usaha yang dilakukan oleh umat untuk mengumpulkan riwayat-riwayat asba an-nuzul yang merupakan peristiwa perorangan hanya merupakan usaha yang mengada-ada. Lalu ia mengatakan bahwa pembicaraan ayat-ayat al-Quran tidak bisa lepas dari lima pengetahuan yaitu:
1.      Pengetahuan mengenai hukum-hukum muamalah dan lain-lain.
2.      Pengetahuan tentang bantahan terhadap Yahudi, Nasrani serta Musyrik
3.      Pengetahuan tentang nikmat Allah
4.      Pengetahuan mengenai peringatan tentang nikmat Allah
5.      Pengetahuan mengenai peringatan kematian dan masa sesudahnya.
Menurutnya, tujuan pokok diturunkannya Al Quran adalah untuk mendidik jiwa manusia, serta memberantas kepercayaan yang keliru dan perbuatan-perbuatan yang jahat. Kemudian ia menyatakan bahwa ada kepercayaan-kepercayaan yang keliru di kalangan mukallaf yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat muhkamat. Menyebar luasnya kejahatan-kejahatan dan kezaliman yang merupakan sebab turunnya ayat-ayat hukum. Ketiadaan mereka mengingat nikmat-nikmat Allah, hari pembalasan, dan kehidupan sesudah kematian merupakan sebab diturunkannya ayat-ayat tadzkir.[12]
Fazlul Rahman mengomentari bahwa dibutuhkan beberapa peralatan ilmiah untuk mengontrol kemajuan ilmu komentar al-Qur’an (ilmu tafsir), antara lain: Pertama, diakui prinsip bahwa tidak hanya pengetahuan tentang bahasa arab saja yang diperlukan untuk memahami al-Qur’an secara tepat, tetapi juga tentang idiom-idiom bahasa arab pada zaman nabi juga. Kedua, tradisi histories yang berisi laporan-laporan tentang bagaimana orang-orang di lingkungan Nabi memahami perintah-perintah al-Qur’an, juga dianggap sangat penting. Setelah persyaratan-persyaratan ini dipenuhi, barulah penggunaan nalar manusia diberikan tempat. Ketiga, latar-belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an dimasukkan sebagai alat yang perlu untuk menerapkan makna yang tepat dari firman Alah S.W.T.[13]
Akan tetapi, ulama-ulama fiqh dan dogmatis-dogmatis muslim menyalah-pahamkan masalah dan perintah-perintah hukum yang ketetapan dari al-Qur’an dengan menganggapnya berlaku bagi setiap masyarakat, betapapun juga kondisinya, bagaimana struktur dan dinamika masyarakat di dalamnya. Salah satu bukti yang dilihat oleh fazlul rahman yang menyatakan bahwa ulama-ulama fiqh makin lama makin berfikir secara “harfiyah”, tercantum di dalam fakta bahwa pada suatu waktu dalam abad ke-2 H/ 8 M doktrin hukum islam mulai membuat perbedaan yang sangat tajam antara kata-kata yang tercantum dalam nash.
Bahwa pada priode yang sangat awal kaum muslimin menafsirkan al-Qur’an secara sangat bebas, tetapi setelah masa perkembangan fiqh selama akhir abad ke 1 H/ 7M -2 H /8 M, ditandai dengan timbulnya tradisi perkembangan penalaran analogi dan teknis (ilmu mantiq), para ulama fiqih ketat dengan mengikat diri mereka sendiri serta masyarakat umat muslim kepada “Teks” kitab suci, hingga kedudukan hukum dan theology Islam terhimbun oleh beratnya harfiyah-isme.
Kegoyahan yang timbul akibat kekalahan-kekalahan dan penyerangan politik menjadikan muslim secara psikologi kurang mampu untuk secara konstruktif memikirkan kembali warisannya dan menjawab tantangan intelektual dari pemikiran modern. Islam secara internal menjadi tak mampu untuk merekonstruksi dirinya sendiri, dan apapun yang mungkin akan dilakukan dalam usaha-usaha re-konstruksi harus diupayakan melalui kegiatan “ijtihad” dan merekonstruksi sejarah (interpertasi asbabun Nuzul ayat-ayat), dengan selalu melihat atau memperhatikan nilai-nilai realitas yang ada sebagai pola penafsiran antara agama,akal, dan tradisi dapat saling berakomodasi antara satu dengan yang lainnya.
تفسير المنار  karya Muhamad Abduh, merupakan salah satu contoh penafsiran yang tidak hanya menekankan bahasa tapi juga menekankan realitas universal sebagai Munasabah atas Asbabun Nuzul ayat. Seperti ketika beliau menafsirkan surat al-lail ayat 15 dan 17, di mana inti dari Asbabun Nuzul ayat ditujukkan hanya kepada Umayyah dan Abu Bakar Shidiq saja, akan tetapi Muhammad Abduh bahkan menafsirkan ayat tersebut secara universalitas tanpa adanya pengkhususan terhadap tokoh sejarah yang dituju oleh teks.
Kritik Fazlul Rahman terhadap model penafsiran ulama klasik adalah kurang memberikan perhatian terhadap sejarah dan terlalu menekankan pada kajian teks/ harfiah. Kritik tersebut adalah: Pertama, kurang memperhatikan unsur sejara secara makro. Kedua, terlalu tekstual dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, dan Ketiga, adanya pemahaman yang terpotong-potong terhadap pemahaman ayat al-Qur’an, padahal ayat al-Qur’an secara general merupahkan satu kesatuan yang utuh (holistik)
Selain itu juga, Fazlul Rahman menambahkan bahwa dalam membangun institusi dan hukum: Pertama, seorang harus berangkat dari kasus konkrit yang ada dalam al-Qur’an dengan memperhatikan atau mempertimbangkan kondosi sosial yang ada ketika itu, kemudian berjalan menemukan prinsip umum yang akan menjadi inti atau kumpulan dari semua ajaran. Kedua, berangkat dari prinsip umum ini harus ada gerakan untuk kembali ke kasus khusus yang dihadapi sekarang dengan pertimbangan kondisi sosial yang ada dan dihadapi sekarang. [14]
E. kesimpulan
Asbabun Nuzul ialah suatu pengetahuan yang memuat dan membicarakan peristiwa yang berkaitan langsung dengan turunnya ayat Al-Qur’an yang dapat digunakan sebagai suatu keterangan tentang ayat yang diturunkan itu. Bentuk redaksi yang menerangkan asbabun nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab, terkadang pula berupa pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan mengenainya. Sudah jelas, bahwa “asbabun nuzul” tidak mungkin diketahui berdasarkan pendapat, melainkan dari sumber riwayat yang sahih dan mendengarkan dari orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat atau dengan cara membahasnya dari para sahabat, tabiin dan ulama-ulama terpercaya. turunnya ayat-ayat Al-Quran  ada dua bagian, yaitu: Ayat-ayat yang turunnya diawali oleh suatu sebab dan Ayat-ayat yang turunnya tidak diawali oleh suatu sebab.
Terdapat banyak manfaat yang bisa didapat dalam mengetahui asbabun nuzul Pertama, membantu setiap penafsir untuk memahami kandungan dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an. Kedua, menjelaskan maksud ayat-ayat yang mudah disalah pahami dan rawan memunculkan perselisihan pendapat. Beberapa pakar Ulum Al-Qur’an misalnya Al-Zarqaniy dan Al-Suyuthiy, mensinyalir adanya kalangan yang beranggapan bahwa mengetahui Asbab Nuzul tidak ada gunanya. Anggapan semacam ini oleh kebanyakan ulama dianggap keliru di antaranya Ibnu Taimiyah yang mendalami ilmu-ilmu Al-Qur’an, karena banyak sekali hal yang dapat di bantu oleh pemahaman Asbab Nuzul di dalam upaya memahami Al-Qur’an. Diantaranya adalah berikut: Pertama, membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian di dalam menangkap ayat-ayat Al-Qur’an. Kedua, mengatasi keraguan terhadap ayat yang di duga mengandung pengertian umum.
Ada dua sebab turunnya al-qur’an yaitu asbabun nuzul mikro dan makro. Asbabun nuzul mikro yaitu sebab turun al-quran karena hal khusus (terjadinya suatu kejadian tertentu), sedangkan asbabul nuzul makro yaitu sebab turun al-quran karena hal yang bersifat umum.
DAFTAR PUSTAKA
Umi Sumbulah dkk. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadis.Malang: UIN-Maliki Press
Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i. 1994. Shohih Asbabun Nuzul. Terjemah, Agung
Wahyu. Jawa Barat :Meccah
M. Quraish Shihab dkk. 1999. Sejarah Ulum Al-Qur’an. Jakarta :Pustaka Firdaus
Syarafuddin, “Ilmu Asbab An Nuzul Dalam Studi Ilmu Al-Quran” Jurnal Suhuf, Vol.28, No.1,
Mei 2016.
Masjfuk Zuhdi. 1997. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya :Karya Abditama
Manna Khalil al-Qattan. 2016. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Terjemah, Mudzakir. Bogor: Litera
Antar Nusa.
AL-Qattan, Manna’ Khalil. 2015. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Jakarta. Litera AntarNusa
Hanafi M Muchlis. 2015. Asbabun Nuzul. Jakarta. Lajnah Pentashihan Al-Qur’an
Ash Shiddieqy M. Hasbi, 1953. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an atau Tafsir,
Yogyakarta, Bulan Bintang,
Nunung Susfita, “Asbabun Nuzul Al-Qur’an dalam Perspektif Mikro dan Makro”, Jurnal
Tasamuh Volume 13, No. 1, Desember 2015.

Catatan:
1.       Similarity sebanyak 40%. ...... Sangat banyak.
2.       Pendahuluan tidak boleh berisi materi pembahasan.
3.       Perujukannya minim.
4.       Footnote tidak miring semua.
5.       Materinya lumayan bagus, tetapi apakah itu berkesuaian dengan presentasi? Saya ingin melihat itu.
6.       Mengapa ada daftar pustaka yang tidak ada dalam footnote?


[1]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Litera AntarNusa, Bogor, 2016, hlm. 103
[2]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Litera AntarNusa, Bogor, 2016, hlm. 105-108.
[3]UmiSumbullahdkk, Studi Al-qur’andanHadis (UIN Maliki Press, 2014),164.
[4]Ibid.
[5]Ibid.
[6] Muchlis M Hanafi, Asbabun Nuzul (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2015) hlm, 15-20
                    
[7] Umi Sumbullah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis (Malang: UIN MALIKI PRESS, 2014) hlm, 170-173
[8] Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Jakarta: Litera Nusantara, 2015) hlm, 134-135
[9] Nunung Susfita, “Asbabun Nuzul Al-Qur’an dalam Perspektif Mikro dan Makro”, Jurnal Tasamuh Volume 13, No. 1, Desember 2015
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12]Syarafuddin, “IlmuAsbabAnNuzulDalamStudiIlmu Al-Quran”, JurnalSuhuf, Vol.28, No.1, Mei 2016.
[13] Nunung Susfita, “Asbabun Nuzul Al-Qur’an dalam Perspektif Mikro dan Makro”, Jurnal Tasamuh Volume 13, No. 1, Desember 2015
[14] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar