Sabtu, 24 Februari 2018

Shalat II (PAI ICP English Semester Genap 2017/2018)



MAKALAH

SHOLAT II: KETENTUAN ADZAN DAN IQOMAH, KETENTUAN SHOLAT BERJAMA’AH, KETENTUAN MAKMUM MASBUQ DAN MAKMUM MUWAFIQ, CARA MAKMUM MENGINGATKAN IMAM YANG BATAL DALAM SHOLAT BERJAMAAH, BACAAN DZIKIR SESUDAH SHOLAT

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh I
Dosen Pengampu: Benny Afwadzi, M.Hum





Disusun Oleh  :
1.      Rizki Sofrul Khoiri     (16110134)
2.      Nur Ainiyah                (16110138)



JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Tata Cara Sholat II.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Tata Cara Sholat IIini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.







Malang,   Februari 2018


                                                                                           Penulis                             



DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL..............................................................................................       i
KATA PENGANTAR...............................................................................................      ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................     iii
BAB I      : PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.................................................................................................      1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................................      2
C.     Tujuan...............................................................................................................      2
BAB II    : PEMBAHASAN
A.    Ketentuan Adzan dan Iqomah.........................................................................      3
1.   Lafadz Adzan dan Iqamah..........................................................................      5
2.   Syarat-syarat Adzan.....................................................................................      6
3.   Syarat-syarat Muadzin..................................................................................      6
4.   Sunnah-sunnah Adzan.................................................................................      6
B.     Ketentuan Sholat Berjama’ah...........................................................................      7
1.      Keutamaan Sholat Berjama’ah...................................................................      7
2.      Hukum Sholat Berjama’ah.........................................................................      8
3.      Hal-Hal yang Diperbolehkan untuk Meninggalkan SholatBerjama’ah......      9
4.      Tata Cara Sholat Berjama’ah......................................................................    11
5.      Syarat Sahnya Sholat Makmum.................................................................    11
6.      Posisi Sholat Imam dan Makmum..............................................................    11
C.     Ketentuan Makmum Masbuq dan Makmum Muwafiq.....................................    12
D.    Cara Makmum Mengingatkan Imam yang Batal dalam Sholat Berjamaah......    14
E.     Bacaan Dzikir Sesudah Sholat.........................................................................    16
BAB III   : PENUTUP
A.    Kesimpulan.......................................................................................................    18
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................    19



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Allah SWT telah memerintahkan setiap makhluk ciptaan-Nya untuk selalu menyembah kepada-Nya. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 56, yakni:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
            Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia melainkan untuk beribadah Ku ”.
            Ayat diatas sangat jelas sekali untuk dipahami oleh seseorang yang mengaku beriman kepada Allah SWT, yakni tujuan penciptaan makhluk oleh Allah SWT tidak lain adalah agar mereka beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, setiap manusia harus mengerti tata cara beribadah yang benar.
            Salah satu bentuk aplikasi dari ibadah kepada Allah SWT adalah dengan melaksanakan sholat. Seperti dalam hadits Rasulullah SAW, bahwa sholat merupakan amalan yang pertama kali di pertanyakan ketika di yaumul Hisab. Oleh sebab itu, apabila sholatnyabaik dan sempurna, maka seluruh amalannya yang lain akan baik pula. Dan sebaliknya, jika sholatnya rusak atau tidak sempurna, maka amalan yang lain juga ikut rusak.
            Predikat sempurna pada sholat, akan didapatkan oleh orang muslim yang melaksanakan sholat dengan berjamaah. Karena pahala orang yang sholat berjamaah leboh besar 27 derajat daripada orang yang sholat sendirian.Dari Abdullah bin Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sholat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada sholat sendirian.” (Muttafaq ‘Alaih). Hadits ini mengindikasikan bahwa sangat besar keutamaan yang didapat dari sholat berjamaah. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap muslim untuk memahami semua pembahasan yang terkait dalam sholat berjamaah, agar sholat yang dilakukannya dapat diterima oleh Allah SWT.
            Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan sholat berjamaah, yakni meliputi ketentuan Adzan dan iqomah, ketentuan makmum dalam sholat berjamaah (masbuq dan muwafiq), hal-hal yang membatalkan sholat berjamaah, hingga pembahasan dzikir setelah sholat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana ketentuan-ketentuan Adzan dan Iqomah?
2.      Bagaimana ketentuan sholat berjama’ah?
3.      Bagaimana kriteria dari makmum masbuq dan makmum muwafiq?
4.      Bagaimana cara makmum mengingatkan Imam yang batal ketika sholat berjamaah?
5.      Bagaimana ketentuan-ketentuan dzikir sesudah sholat?

C.    TujuanObservasi
1.      Untuk mengetahui ketentuan Adzan dan Iqomah.
2.      Untuk mengetahui ketentuan sholat berjama’ah.
3.      Untuk mengetahui kriteria dari makmum masbuq dan makmum muwafiq.
4.      Untuk mengetahui cara makmum mengingatkan Imam yang batal ketika sholat berjamaah.
5.      Untuk mengetahui bacaan dzikir sesudah sholat.




           







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ketentuan Adzan dan Iqomah
            Salah satu syarat didirikannya sholat fardhu adalah masuknya waktu sholat. Maka, penting bagi setiap muslim untuk mengetahui masuknya waktu sholat. Akan tetapi, beberapa saudara kita masih banyak yang tidak mengetahui tentang waktu-waktu sholat, dikarenakan terlalu sibuk dengan aktivitasnya. Oleh sebab itu, Allah SWT mensyari’atkan Adzan sebagai pemberitahuan masuknya waktu sholat.
            Adzan adalah pengumuman tentang masuknya waktu sholat yang dibacakan dengan lafadz khsusus.[1]Sedangkan Iqomah adalah pengumuman bahwa sholat segera akan dimulai dengan lafadz khusus yang akan ditentukan.[2]Adzan disyari’atkan pertama kali pada tahun pertama Hijriyah.[3] Hal ini disebabkan ketika itu para sahabat merasa kesulitan untuk mengetahui waktu-waktu sholat, maka mereka bermusyawarah dengan Rasulullah SAW untuk membuat tanda-tanda masuknya waktu sholat. Setelah bermusyawarah dengan Rasulullah SAW, salah seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Zaid pada malam hari bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki. Singkat cerita kemudian lelaki tersebut mengajarkan lafadz Adzan dan iqomah kepada Abdullah bin Zaid. Maka, pada keesokan harinya Abdullah bin Zaid pergi untuk menemui Rasulullah SAW untuk menceritakan mimpi yang dialaminya tersebut, dan Rasulullah SAW membenarkan mimpi tersebut. Lalu Rasulullah SAW menyuruh Abdullah bin Zaid mengajarkan lafadz Adzan tersebut kepada Bilal bin Rabah. Maka, sejak saat itulah Adzan disepakati sebagai pertanda waktu masuknya Sholat bagi orang Islam.
            Perintah Adzan, oleh Allah SWT difirmankan dalam Q.S.al-Maidah ayat 58 dan al-Jumu’ah ayat 9, yakni:
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ
Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.” QS. Al-Maidah ayat 58.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” QS. Al-Jumu’ah ayat 9.
            Rasulullah SAW pernah bersabda;
إذا حضرت الصلاة فليأذن لكم أحدكم
Apabila telah tiba (waktu) sholat, hendaknya salah seorang diantara kalian mengumandangkan Adzan.” (H.R. Bukhari Muslim).
            Dari hadits tersebut, hukum mengenai Adzan menurut Imam Hambali yaitu adalah fardhukifayah, sedangkan imam yang lain berpendapat bahwa hukmnya adalah sunnah mu’akkadah. Kecuali ulama Syafi’iyah, mereka berpendapat bahwa Adzan juga disunnahkan bagi individu yang tidak dapat mendengar Adzan dari dari orang lain untuk kemudian sholat bersamanya.[4]
            Fungsi utama Adzan adalah untuk memberitahukan masuknya waktu sholat dan mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan sholat berjama’ah. Maka Adzan ini merupakan suatu kesunnahan yang dilakukan sebelum sholat berjama’ah dimulai. Maka ketika beberapa orang telah berkumpul di masjid atau tempat-tempat sholat, seorang muadzin mengumandangkan iqamah, dimana iqamah berfungsi sebagai pertanda bahwa sholat berjamaah akan dimulai.Menurut Imam Syafi’e, orang yang iqamah adalah orang yang mengumandangkan adzan. Telah diriwayatkan tentang hal ini, “Bahwa siapa yang adzan, maka hendaklah ia yang iqamah”.[5]
            Berikut ini adalah beberapa penjelasan yang berkaitan dengan Adzan dan Iqomah:
1.      Lafadz Adzan dan Iqamah
a.       Lafadz Adzan
اَللهُ اَكْبَر، اَللهُ اَكْبَر، اَللهُ اَكْبَر، اَللهُ اَكْبَر
أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّاللهُ ، أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّاللهُ
اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
اَللهُ اَكْبَر، اَللهُ اَكْبَر
لاَ إِلَهَ إِلاَّالله
b.      Lafadz iqamah:
اَللهُ اَكْبَر، اَللهُ اَكْبَر
أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّاللهُ
اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
اَللهُ اَكْبَر، اَللهُ اَكْبَر
لاَ إِلَهَ إِلاَّالله

2.      Syarat-syarat Adzan
b.      Kalimat Adzan harus berbahasa Arab dan berurutan, serta diucapkan secara terus-menerus tanpa ada jeda yang lama atau disela-selai dengan berbicara.

3.      Syarat-syarat Muadzin
      Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah r.a. Rasullullah SAW bersabda;
إنّ المؤذنين أطول النّاس أعناقا يوم القيمة
      Sesungguhnya Muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya (paling mulia) di hari kiamat”.
a.       Muslim.
b.      Berakal dan Baligh (menurut ulama Malikiyah).
c.       Laki-laki.
d.      Memiliki suara yang keras.

4.      Sunnah-sunnah Adzan
a.       Suci dari hadats kecil dan besar
b.      Suara yang bagus dan indah, agar mampu menarik perhatian orang-orang supaya mau melaksanakan sholat berjama’ah.
c.       Dilakukan dengan berdiri jika tidak ada udzur, dan juga menutup salah satu telinga dengan 2 jari.
d.      Menghadap kiblat.
e.       Menambahkan kalimat tatswiib (الصلاة خير من النوم) pada adzan sholat shubuh.
f.       Menjawab adzan.
B.     Ketentuan Sholat Berjama’ah
1.      Keutamaan Sholat Berjama’ah
      Dalil tentang keutamaan sholat berjama’ah diantaranya, Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 102:
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ ۖ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
      Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu], dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu..” (An-Nisa’:102).
      Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda:
            عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً (متّفق عليه)
      Sholat berjama’ah lebih utama dari sholat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (Muttafaq ‘Alaih).
      Berdasarkan dalil-dalil diatas, dapat diketahui tentang betapa pentingnya sholat berjama’ah itu khususnya bagi kaum laki-laki. Karena banyak sekali keutamaan yang terdapat dalam sholat berjama’ah. Dan diantara hikmah yang bisa diambil dari sholat berjama’ah adalah terciptanya ukhuwah Islamiyah atau dapat mempererat persaudaraan kaum muslimin. Dengan sholat berjamaah juga bisa memakmurkan rumah Allah (masjid). Sehingga fungsi masjid untuk sholat bisa dilaksanakan.
      Kaum wanita boleh melakukan sholat berjama’ah di masjid asalkan tidak dikhawatirkan akan terjadi fitnah yang membahayakan. Jika dikhawatirkan akan terjadi fitnah maka kaum wanita harus sholat dirumah. Sholatnya wanita dirumah itu lebih utama.[7]

2.      Hukum Sholat Berjama’ah
      Beberapa pendapat dari para ulama mengenai hukum sholat berjama’ah khususnya bagi seorang laki-laki, diantaranya:[8]
a.       Fardhu ‘Ain
            Para ulama yang berpendapat bahwa hukum sholat berjama’ah adalah fardhu ‘ain diantaranya: ‘Atha, Hasan al-Bashri, al-Auza’I, Abu Tsur,Ahmad, Ibnu Mundzir, Ibnu Qayyim, dan Imam Hambali. Hal ini berdasarkan sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “Sholat yang paling terasa berat bagi orang munafik adalah sholat isya’ dan subuh. Seandainya mereka tahu apa yang ada pada keduanya tentu mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Sungguh,ingin rasanya aku memerintahkan orang-orang untuk sholat lalu diiqomati, kemudian kuperintahkan seseorang (untuk menjadi imam) dan ia sholat bersama orang banyak. Kemudian aku berangkat bersama beberapa orang dengan membawa kayu bakar menuju kaum yang tidak menghadiri sholat.Lalu akan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api”. (HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim)

b.      Fardhu Kifayah
            Para ulama yang berpendapat bahwa hukum sholat berjama’ah adalah fardhu kifayah diantaranya: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i. Jika dalam suatu masyarakat ada yang sudah mengerjakan sholat berjam’ah maka gugurlah perintah itu.

c.       Sunnah Mu’akkad
            Para ulama yang berpendapat bahwa hukum sholat berjama’ah adalah sunnah mu’akkad diantaranya: Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Mereka berdua mengeluarkan pendapat kedua selain pendapat diatas, yaitu hukum shalat berjama’ah adalah sunnah mu’akkad. Artinya sholat berjama’ah sangat dianjurkan bagi seorang muslim karena memiliki banyak keutamaan.

3.      Hal-Hal yang Diperbolehkan untuk Meninggalkan Sholat Berjama’ah
      Seseorang diperbolehkan meninggalkan sholat berjama’ah, khususnya bagi seorang laki-laki ketika dalam beberapa kondisi:[9]
a.       Cuaca buruk (hujan lebat, angin kencang,dan lain sebagainya)
            Jabir r.a.berkata,” Kami (pernah) keluar bersama Rasulullah dalam satu perjalanan, lalu kami ditimpa hujan kemudian Nabi bersabda, “Siapa diantara kalian yang mau, dikendaraannya.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi).[10] Dari hadits tersebut menjelaskan tentang diperbolehkannya meninggalkan sholat berjama’ah jika cuaca sangat buruk.

b.      Ketika ada hajat yang mendesak (makan atau buang air).
            Ibnu Umar berkata bahwa RasulullahSAW bersabda,”Apabila salah seorang kalian sedang makan, maka jaganlah terburu-buru sehingga ia sudah menyelesaikan hajatnya, sekalipun sholat dengan sudah diiqomatkan.”
            Hadits tersebut menjelaskan tentang mendahulukan hajat kemudian menunaikan sholat, karena yang demikian itu agar memperoleh ketenangan dan kekhusyukan dalam sholat akibat memikirkan hajatnya saat sholat.

c.       Karena sakit atau khawatir dengan adanya suatu bahaya
            Rasulullah bersabda: “Barang siapa mendengar adzan lalu ia tidak mendatanginya,maka tidak ada sholat baginya, kecuali karena dua udzur.” Lalu sahabat bertanya, “Ya Rasulullah,apa udzurnya? Nabi menjawab: “Takut atau sakit”. (HR. Abu Dawud dengan sanad dhaif [Fiqh Syafi’iyah 1:240]).
            Hadits tersebut meskipun sanadnya dhaif akan tetapi bisa digunakan sebagai dasar dipebolehkan tidak berjama’ah bagi orang yang sakit dan takut. Karena dalam kondisi orang yang memiliki sakit tertentu misalnya lumpuh, atau sakit parah maka akan melakukan sholat sendiri karena menyesuaikan dengan kondisi kesehatannya atau kondisi tubuhnya.

d.      Setelah memakan makanan yang memiliki aroma busuk atau menyengat
            Jabir r.a meriwayatkan bahwa Nabi pernah bersabda: “Siapa yang memakan bawang atau dasun, hendaklah ia menjauhi masjid kami (tempat sholat kami).” (HR. Bukhari dan Muslim).
            Hadits tersebut menjelaskan bahwa orang yang memakan makanan beraroma menyengat atau busuk maka diperbolehkan tidak berjama’ah karena hal tersebut dikhawatirkan bisa mengganggu kenyamanan makmum yang lain.

4.      Tata Cara Sholat Berjama’ah
a.       Syarat-syarat menjadi imam:
            Islam; Baligh; Berakal; Berlidah fasih atau imam dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar; Memiliki pemahaman agama yang baik; dan Suci dari hadats dan najis.[11]

b.      Hal-hal yang dianjurkan bagi imam:[12]
1)      Imam diperintahkan untuk memperpendek bacaan.
2)      Imam lebih memanjangkan rakaat pertama.
3)      Sebelum memulai sholat imam harus mengontrol shaf jama’ah dan meyuruh jama’ah untuk meluruskan dan merapatkan shaf.[13]

5.      Syarat Sahnya Sholat Makmum:
a.       Niat mengikuti imam.
b.      Tidak boleh berdiri didepan imam. Makmum boleh berdiri disamping atau dibelakang imam.
c.       Makmum diharuskan untuk mengetahui segala perbuatan yang sedang dilakukan oleh imam dengan cara melihat imam atau mendengarkan suaranya.
d.      Makmum tidak boleh mendahului gerakan imam dan harus selalu mengikuti imam.[14]

6.      Posisi Sholat Imam dan Makmum
a.       Jika hanya sholat berjama’ah dua orang atau hanya ada imam dan satu makmum maka posisi makmum disebelah kanan dari imam. Akan tetapi, jika ada dua orang atau bahkan lebih maka posisi makmum berada dibelakang imam. Berdasarkan hadits yang diterima dari Jabir:“Rasulullah berdiri untuk melakukan sholat, lalu saya datang dan berdiri disebelah kirinya, maka ditariklah tanganku dan dibawanya berputar hingga saya berada disebelah kanannya, kemudian datang Jabbar bin Sakhr dan berdiri disebelah kiri Rasulullah, maka tangan kami pun ditarik beliau hingga kami berdiri tepat dibelakangnya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud).[15]

b.      Jika ada seorang perempuan yang ingin mengikuti sholat berjama’ah maka ia tidak boleh bergabung dalam barisan shaf laki-laki dan harus berdiri dibelakang barisan laki-laki. Berdasarkan hadits dari Anas:“Saya sholat dirumah bersama seorang anak yatim dibelakang nabi, sedang ibuku Ummu Sulaim dibelakang kami.”(Muttafaq ‘Alaih).[16]

c.       Posisi dari anak-anak dan kaum wanita adalah dibelakang kaum laki-laki. Berdasarkan sebuah hadits:“Rasulullah menempatkan kaum laki-laki didepan anak-anak dan sebaliknya anak-anak dibelakang mereka, sedang kaum wanita dibelakang anak-anak.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).[17]

C.    Ketentuan Makmum Masbuq dan Makmum Muwafiq
            Makmum masbuq adalah makmum yang tertinggal jumlah rakaatnya dalam sholat. Dikatakan makmum masbuq ketika makmum tersebut tidak membaca Al-Fatihah saat rakaat pertama imam. Sedangkan makmum muwafiq adalah makmum yang sholatnya mengikuti imam dan membaca al-fatihah pada saat rakaat pertama imam. Makmum masbuq diharuskan untuk mengganti jumlah rakaat sholat sebanyak yang tertinggal setelah imam menyelesaikan sholat berjama’ah ditandai dengan salam. Seseorang masih bisa dikatakan sebagai makmum masbuq dan bisa dikatakan sholat berjama’ah jika orang tersebut masih bisa mengikuti satu rukun yang dilakukan oleh imam sebelum imam tersebut salam, yaitu imam masih dalam keadaan tasyahud akhir. Setelah imam menyelesaikan sholat berjama’ah ditandai dengan salam, maka orang tersebut harus mengganti jumlah rakaat yang tertingal.[18]
            Rasulullah bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian memasuki shalat saat imam dalam satu keadaan,bertindaklah sesuai tindakan imam saat itu.” (HR Tirmidzi dalam Nail al-Authar 2: 1399). Hadits tersebut menjelaskan bahwa jika seorang makmum itu terlambat dalam sholat berjama’ah maka setelah melakukan takbiratul ihram dia harus mengikuti tindakan imam saat itu. Jika imam dalam kondisi sujud maka setelah takbiratul ihram makmum masbuq harus mengikuti imam sujud. Jika imam sedang duduk diantara dua sujud atau duduk tasyahud maka setelah takbiratul ihram makmum masbuq harus mengikuti duduk diantara dua sujud atau duduk tasyahud.
            Menurut madzab Hanafi, rakaat yang didapatkan oleh makmum masbuq ketika shalat bersama imam adalah bagian akhir dari shalatnya, jadi setelah imam salam maka makmum mengganti bagian rakaat awalnya. Akan tetapi, menurut ulama yang lain rakaat yang didapatkan oleh makmum masbuq ketika shalat bersama dengan imam adalah bagian awal sholatnya, sehingga ketika imam telah salam, maka makmum tersebut menyempurnakan sholat atau mengati bagian akhirnya.[19]
            Misalnya, ketika mengerjakan sholat dzuhur dan terlambat saat sudah memasuki rakaat yang ketiga atau bisa dikatakan hanya memperoleh dua rakaat terakhir sholat bersama dengan imam, maka menurut madzab Hanafi cara mengganti dan menyempurnakan sholatnya adalah ketika selesai salam,makmum masbuq tersebut harus mengganti rakaat pertama dengan membaca Al-Fatihah serta surat dalam Al-Qur’an dan mengganti rakaat kedua dengan melakukan duduk tasyahud awal. Sebaliknya, ulama madzab lainnya berpendapat bahwa cara mengganti dan menyempurnakan sholatnya adalah ketika selesai salam, makmum masbuq tersebut harus mengganti rakaat yang ketiga dan keempat, karena dua rakaat yang didapatkan bersama imam dihitung awal sholat, maka yang diganti adalah rakaat akhir sholat.
            Abu Qatadah berkata: “Ketika kami sholat bersama Nabi, tiba-tiba beliau mendengar hiruk pikuk orang-orang yang datang. Usai shalat beliau bertanya, ada apa kalian tadi?”, mereka menjawab: “Kami tergesa-gesa untuk mengkuti sholat.” Maka Rasulullah bersabda: “Jangan berbuat seperti itu. Apabila kalian mendatangi sholat hendaklah tenang. Apa yang kalian jumpai (dari sholatnya imam), maka sholatlah seperti itu, dan apa yang kalian tinggalkan, sempurnakanlah.” (HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim).[20]
            Hadits tersebut menjelaskan bahwa seseorang yang hendak berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat berjama’ah maka tidak boleh tergesa-gesa. Hal ini dikarenakan jika seseorang tergesa-gesa maka akan sulit untuk memperoleh ketenangan dalam sholat, jika seseorang tidak memperoleh ketenangan dalam sholat maka akan sulit pula untuk memperoleh kekhusyukan didalam sholat.

D.    Cara Makmum Mengingatkan Imam yang Batal dalam Sholat Berjamaah
            Dalam sebuah ungkapan mengatakan,
الإنسان محل الخطأ و النسيان
 Manusia adalah tempatnya salah dan lupa”. Artinya, bahwa setiap manusia tidak akan pernah terlepas dari sifat salah dan lupa. Hal ini juga berlaku ketika manusia mendirikan sholat, baik dia menjadi imam maupun makmum. Jika hal tersebut terjadi pada imam ketika sholat berjamaah, maka kewajiban makmum adalah mengingatkan imam tersebut.Dalam madzhab Hanabilah, jika seorang imam lupa tidak melakukan salah satu rukun fi’liyah, maka seorang makmum harus mengingatkan imam tersebut. Berikut adalah beberapa cara yang bisa dilakukan oleh makmum untuk mengingtkan imam yang salah dalam sholat:
1.      Ketika imam lupa akan salah satu rukun sholat, maka makmum laki-laki dapat mengingatkannya dengan mengucapkan kalimat tasbih.

2.      Bagi makmum wanita, mengingatkan imam yang lupa/ salah dalam sholat dengan cara menepuk punggung tangan kiri dengan tangan kanan, atau sebaliknya.

            Adapun pembetulan makmum pada imamnya atas kesalahan bacaan Al-Qur’an, maka hukumnya diperinci oleh para ulama sebagai berikut:[21]
1.      Imam Hanafi
      Jika seorang imam lupa dalam membaca ayat selanjutnya, maka makmum boleh memberitahu imam bacaan yang benar, akan tetapi dengan niat membetulkan, bukan dengan niat membaca. Dan jika sang imam berpindah pada ayat lain, maka sholat makmum yang memberitahukan itu batal, dan sholat imam juga batal jika mengikuti ucapan makmum.[22] Jadi, seorang makmum hendaknya tidak tergesa-gesa untuk mengingatkan kesalahan imam, karena hukumnya bisa menjadi makruh. Oleh sebab itu, jika imam benar-benar dalam keadaan lupa, maka sebaiknya imam berpindah pada ayat atau surat lain atau langsung ruku’.

2.      Imam Maliki
      Seorang makmum boleh membetulkan bacaan imam, jika imam memang berhenti membaca dan bimbang. Maka tidak membatalkan sholat makmum, bahkan hukumnya wajib untuk mengingatkan.

3.      Imam Syafi’i
      Bagi makmum yang hendak mengingatkan kesalahan bacaan imam, maka ia harus memiliki niat untuk membaca ayat tersebut. Jadi, jika seorang makmum tersebut memiliki niat hanya untuk mengingatkan kesalahan imam, menurut madzhab Syafi’i makmum tersebut sholatnya batal.

4.      Imam Hanabilah
      Seorang makmum, harus membetulkan kesalahan imam jika imam lupa atau tidak bisa melanjutkan bacaan ayatnya, karena, sah tidaknya sholat berjama’ah bergantung pada imam.

E.     Bacaan Dzikir Sesudah Sholat
            Wirid, dzikir dan doa merupakan tiga kata yang memiliki keterkaitan yang sangat erat. Yang disebut dengan wirid (bentuk jamaknya adalah awrad) secara istilah adalah ibadah lahiriyah yang dilanggengkan seperti sholat, puasa, membaca al-Qur’an dan membaca dzikir.[23] Wirid tersebut dilakukan dengan melafalkan dzikir-dzikir dengan lisan secara rutin. Selanjutnya, keterkaitan dzikir dengan do’a adalah seringkali dzikir itu berisi do’a dan juga do’a tersebut seringkali berupa dzikir. Maka, dalam berwirid seseorang akan melafalakan kalimat dzikir yang berupa do’a-do’a dengan tujuan yakni mengingat Allah SWT.
            Sebagai penyempurna sholat fardhu, maka dzikir sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk diamalkan setelah sholat fardhu. Karena sejatinya salah satu waktu yang mustajab untuk berdo'a adalah setelah sholat fardhu. Hal ini seperti hadits yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الثَّقَفِيُّ الْمَرْوَزِيُّ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ :قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ قَالَ جَوْفَ اللَّيْلِ الْآخِرِ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ.

            Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya Ats Tsaqafi Al Marwazi telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dari Ibnu Juraij dari Abdurrahman bin Sabith dari Abu Umamah ia berkata; Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam ditanya; wahai Rasulullah, doa apakah yang paling di dengar (oleh Allah)? Beliau berkata: “Doa di tengah malam terakhir, serta setelah shalat-shalat wajib.[24]
            Berikut adalah urutan wirid atau dzikir setelah sholat fardhu:
1.    لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ اْلحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Berdasarkan hadits no: 933 Imam Muslim

2.    اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ وَإِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ، فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمُ وَأَدْخِلْنَا اْلجَنَّةَ دَارَ السَّلاَمِ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَا ذَاالْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ
Berdasarkan HR. Muslim 1/414.[25]

3.    الفاتحه & أية القرسي
4.    إِلَهَنَا رَبَّنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا سُبْحَانَ اللهِ:سُبْحَانَ اللهِ 33x
5.    سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ دَائِمًا أَبَدًا اَلْحَمْدُ ِللهِ: اَلْحَمْدُ ِللهِ 33x
6.    اْلحَمْدُ ِللهِ عَلىَ كُلِّ حَالٍ وَفِي كُلِّ حَالٍ وَبِنِعْمَةِ يَا كَرِيْم:اللهُ أَكْبَرُ34x
Berdasarkan HR. Muslim 1/414.[26]

7.    اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَاْلحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ اْلحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ
Berdasarkan hadits no: 943 Imam Muslim.

8.    أَسْتَغْفِرُ اللهَ اْلعَظِيْمَ (ثلاث مرات)، إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
9.    أَفْضَلُ الذِّكْرِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ:لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
10.         لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَلِمَةُ حَقٍّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوْتُ وَبِهَا نُبْعَثُ إِنْ شَآءَ اللهُ مِنَ اْلآمِنِيْنَ.         

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Ketentuan Adzan sebagai pertanda masuknya waktu sholat meliputi syarat-syarat Adzan, syarat-syarat Muadzin dan sunnah-sunnah dalam Adzan. Sementara iqomah dilaksanakan sebagai pertanda bahwa sholat hendak dimulai.
2.      Sholat berjama’ah hukumnya adalah fardhu ain, fardhu kifayah dan sunnah mu’akkad. Sholat berjama’ah sangat dianjurkan oleh syar’iat, akan tetapi dalam kondisi yang sangat dhorurot maka boleh sholat sendirian. Dalam ketentuan sholat berjama’ah juga dibahas mengenai syarat-syarat menjadi imam, dan beberapa hal yang dapat membatalkan sholat berjama’ah.
3.      Makmum masbuqialah makmum yang tertinggal satu rukun sholat atau lebih dari Imam, akan tetapi ia masih menjumpai satu rukun sholatnya Imam (sebelum salam). Sementara makmum muwafiq adalah makmum yang mengikuti rukun sholatnya Imam secara sempurna.
4.      Dalam sholat, ketika imam melakukan kesalahan/lupa baik dalam bacaan surat al-Fatihah maupun surat pendek, atau kesalahan/lupa melakukan rukun fi’liyah, maka makmum harus mengingatkan imam tersebut. Bagi makmum laki-laki dapat mengingatkannya dengan mengucapkan kalimat tasbih. Sedangkan makmum wanita, mengingatkan dengan cara menepuk punggung tangan kiri dengan tangan kanan, atau sebaliknya.
5.      Dzikir sangat dianjurkan oleh Syari’at, karena bertujuan agar manusia selalu ingat kepada Allah SWT. Dzikir tersebut berisikan do’a-do’a yang kebanyakan diambil dari ayat-ayat al-Qur’an. Dzikir dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk dilaksanakan setelah sholat fardhu, karena salah satu waktu yang sangat mustajab dalam berdo’a dan berdzikir adalah selesai sholat fardhu.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Khalafi, Abdul Azhim bin Badawi. 2006. Al-Wajiz. Terjemahan oleh Ma’ruf Abdul Jalil. Jakarta: Pustaka as-Sunnah.

Ar-Rahbawi,Abdul Qadir. 2007.Fikih Shalat Empat Madzhab. (Cetakan ke-7).Terjemahan oleh Abu Firly Bassam Taqiy. Yogyakarta: Hikam Pustaka.

Ar-Rahbawi,Syaikh Abdul Qadir. 2008.Panduan Lengkap Shalat Menurut Empat Madzhab.(Cetakan ke-7).Terjemahan oleh H. Ahmad Yaman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Ar-Rahbawi,Abdul Qadir. 2008.Salat Empat Madzab. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.

Ash-Shawwaf,Muhammad Mahmud.2007.Sempurnakan Sholatmu. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Az-Zuhaili, Wahbah. 2013. Fiqh Islam Wa Adillatuhu.Jilid 2, (Cetakan ke-1). Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam.

Bashori,Agus Hasan.2017. Wirid, Dzikir & Do’a Praktis. Malang: Yayasan Bina al-Mujtama’.

Fauzan, Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘AbdillahAalu. 2005.Ringkasan Fiqh Islami. (Cetakan Ke-1).Terjemahan oleh Abu Nizar Arif Mufid.Depok: Daar Al-‘Ashimah.

Sobari,Abdul Manan bin H. Muhammad. 2009.Jangan Asal Shalat. Bandung: Pustaka Hidayah.

Syafi’i,Imam. 2013. Ringkasan Kitab Al Umm. (Cetakan Ke-10).Terjemahan Mohammad Yasir Abd Mutholib. Jakarta: Pustaka Azzam.


[1] Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, terj.Abu Firly Bassam Taqiy, (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2007), hlm. 176.
[2] Syaikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Panduan Lengkap Shalat Menurut Empat Madzhab, terj.H. Ahmad Yaman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), Cet. 5, hlm. 202.
[3] Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Aalu Fauzan, Ringkasan Fiqh Islami, terj.Abu Nizar Arif Mufid, (Depok: Daar Al-‘Ashimah, 2005), Cet. 1, hlm. 127.
[4] Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Op. Cit., hlm, 177.
[6]Ibid., hlm. 182.
[7] Muhammad Mahmud Ash-Shawwaf, Sempurnakan Sholatmu, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007), hlm. 150.
[8] Abdul Manan bin H. Muhammad Sobari, Jangan Asal Shalat, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2009), hlm. 224-225.
[9]Ibid., hlm. 225-227.
[10] Abdul Qadir ar Rahbawi, Salat Empat Madzab, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2008), hlm. 336.
[11]Ibid., hlm. 322-325.
[12]Abdul Azhim bin Badawi al Khalafi, Al-Wajiz terj. Ma’ruf Abdul Jalil, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006), hlm. 274-275.
[13]Ibid., hlm. 282.
[14]Abdul Qadir ar Rahbawi,Salat Empat...,Op. Cit., hlm. 327-333.
[15]Ibid., hlm. 327.
[16]Ibid., hlm. 327.
[17]Ibid., hlm. 329.
[18]Abdul Manan bin H. Muhammad Sobari, Op. Cit.,hlm. 253-254.
[19]Abdul Qadir ar Rahbawi, Salat Empat ..., Op. Cit., hlm. 340.
[20]Abdul Manan bin H. Muhammad Sobari, Op. Cit.,hlm. 255.
[21] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013), Cet. 1, hlm. 181.
[22]Ibid., hlm. 181.
[23] Agus Hasan Bashori, Wirid, Dzikir & Do’a Praktis, (Malang: Yayasan Bina al-Mujtama’, 2017), hlm. 26.
[24]Ibid., hlm. 82.
[25]Ibid., hlm. 82.
[26]Ibid., hlm. 85.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar