Minggu, 25 Februari 2018

Nasik-Mansukh dalam Alquran (PIPS D Semester Genap 2017/2018)




NASIKH DAN MANSUKH

Adellya Rintan Wihenda, Nur Afni Fitria Cahyaningsih, dan Goza Septian Lianawati
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Pendidikan IPS D 2016
e-mail : gozaseptia67@gmail.com
Abstract
In this paper discusses the nature of research answering Nasikh-Mansukh in the Qur'an which is like the definition, form of form, and the Wisdom of Nasikh-Mansukh in the Qur'an. Some hadith scholars when they have difficulty in combining two hadiths that collide and can not be harmonized, and can not be harmonized, and between them can be seen the meaning that comes later. Nasikh Mansukh to know the dynamics of a law. The discussion of Nasikh Mansukh in the Qur'an is very important because to be understood and studied properly because it would be fatal if in understanding it in the present context. Nasikh-Mansukh identifies the hadiths which can be done through a search on the light of the Prophet's statement.
Abstrak
Makalah ini membahas tentang hakikat penelitian menjawab Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an yang seperti definisi, Bentuk bentuk, dan Hikmah Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an. Sebagian ahli hadits apabila mereka kesulitan dalam menggabungkan dua hadits yang bertabrakan dan tidak dapat diharmoniskan, dan tidak dapat diharmoniskan, serta diantara keduanya dapat diketahui makna yang muncul belakangan. Nasikh Mansukh untuk mengetahui dinamika suatu hukum. Pembahasan Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an sangat penting karena untuk difahami dan dipelajari dengan benar karena akan berakibat fatal apabila dalam memahaminya dalam konteks kekinian. Nasikh-Mansukh mengidentifikasi hadits-hadits yang dapat dilakukan melalui penelusuran pada pernyataan terang dari Nabi.
Keyword : Nasikh, Mansukh

A.    PENDAHULUAN
Sebagai kitab suci al-qur’an merupakan sumber pokok ajaran keagamaan. Karena itu, interpretasi terhadap al-qur’an menjadi sangat penting untuk memahami sebagai islam yang haqiqi. Dan dengan sendirinya, ilmu-ilmu yang menjadi instrument pemahaman terhadap teks-teks al-qur’an juga menjadi penting seperti sejarah dan sebab-sebab turunnya al-qur’an yang meliputi asbabun nuzul, makki madani dan nasikh mansukh.[1]
Ilmu nasikh dan mansukh adalah ilmu yang sangat prinsip bagi siapa saja yang ingin mengkaji hukum-hukum syari’ah, karena tidak mungkin menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui teks-teks suci yang tergolong nasikh dan mansukh. Sebab dengan memahaminya menghilangkan semua kerancuan tentang teks sebuah hadist dan dapat mengetahui sejauh mana masa berlaku subuah hadist dan pengamalannya di dunia islam. Nasakh dapat dilakukan jika jalan taufiq tidak apat dilakukan. Itu pun data sejarah kedua hadist yang ikhtilaf dapat diketahui dengan jelas. Tanpa diketahui taqaddum dan ta’akhur dari kedua hadist itu metode nasakh mustahil dapat dilakukan. Persoalan nasakh ini tidak luput dari perhatian ahli hadist, baik yang berhubungan dengan kaidah-kaidah tentang nasakh maupun pengumpulan hadist-hadist yang berkaitan dengan nasakh itu sendiri.
Penggunaan istilah naskh dalam pengertian umumnya meningkatkan jumlah ayat-ayat yang dihapus hingga, menurut Dehlawi, mecapai lima ratus ayat. Sudah menjadi tren dikalangan para sarjana utuk mengapus ayat-ayat yang dihapus. Pengapusan ayat-ayat tertentu dalam al-qur’an umumnya tidak disukai dengan berbagai metodologi dipakai untuk mengurangi jumlah mereka atau menolak pengahusannya meskipun tetap menerima kemungkinan penghapusan semacam itu.[2] Mayoritas ulama’ menyepakati kemungkinan terjadinya nasakh dalam syariat. Pengakuan ada tidaknya nasikh mansukh dalam al-qur’an memiliki implikasi yang sangat serius bagi umat manusia sehari-hari.
Dalam kerangka teori keilmuan, naskh difahami sebagai sebuah kenyataan adanya sebuah hadist mukhtalif bermuatan taklif. Hadist yang lebih awal datang (wurud) dipandang tidak berlaku lagi karena ada hadist lain yang datang kemudian dalam kasus yang sama dengan makna yang berlawanan dan tidak dapat ditaufiqkan. Artinya nasakh tidak ada kenyataan ikhtilaf antara hadist-hadist yang setema. Ikhtilaf ini sendiri harus terjadi pada hadist-hadit yang bermuatan hukum taklifi. Selanjutnya, nasakh itu sendiri sangat terikat dengan waktu awal (taqdum) dan akhir datang (ta’akhkhur). Yang datang lebih awal (taqaddum) disebut mansukh dan yang datang kemudian (mutaakhir) disebut nasikh atau mahmud.
B.     Definisi Nasikh Dan Mansukh
Secara bahasa Nasikh-Mansukh ada 2 arti yakni al izzazah berarti menghilangkan atau menghapus dan al-naqal berarti memindahkan. Jadi naskh mansukh menghilangkan atau menghapus hadis mansukh dan memindahkan pada hukum lain. Secara istilah penghapusan hukum yang terdahulu oleh syari’ (allah atau nabi) dengan hukum yang datang kemudian.[3]
Secara literal naskh bermakna mengganti sesuatu dengan sesuatu yang lain (dan) penghapusan akan tetapi dalam studi al-quran dan hukum islam, naskh bermakna verivikasi berbagai model penghapusan yang berbeda.[4] Para ulama telah panjang dan lebar bertukar pikiran tentang ta’rif nasakh menurut istilah karena lafadz nasakh mengandung beberapa makna dari segi bahasa.
a.       Nasakh dapat bermakna izalah (menghilangkan), seperti firman dalam surat Al Hajj ayat 52 :
Yang artinya maka Allah menghilangkan apa yang setan menampakkan kemudian Allah menjelaskan ayat ayat nya
b.      Nasakh dapat bermakna tapdil (mengganti/menukar) seperti An Nahl ayat 101 :
Yang artinya dan apabila kami mengganti/menukar sesuatu ayat di tempat suatu ayat yang lain.
c.       Nasakh dapat bermakna tahwil (memalingkan), seperti memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.
Sebagian ulama menolak makna keempat ini. Mereka berhujjah bahwa sinasih tidak dapat mendatangkan lafadz lafadz yang lain. Akan tetapi As sya’dih berhujah untuk orang yang memakai makna ini dengan firman Allah : inna kunna nastansikhu kuntum takmalun = bahwasanya kami menukilkan apa yang kamu kerjakan QS (45, al jatsiyah : 29). Yang dipautkan dengan firman Allah “wa innahu fi ummil kitabi ladaina la aliyyun hakim = sesungguhnya dia,yang berada diummul kitab di sisi kami sungguh tinggi lagi kokoh. (QS.43,az-zuhruf:4)
Sumber perbedaan pendapat dalam mendefinisikan lafadz naskh kembali kepada membatasi makna kata secara lughah dan membatasi makna kata secara istilah, supaya penggunaan lafadz naskh yang dilakukan oleh al-quran dalam firman allah ayat 106 surah al-baqarah, menerangkan suatu peristiwa yang mempunyai kedudukan yang besar.[5]
Pakar hadits memiliki sikap dan pandangan yang beragam tentang Nasakh. Mayoritas mereka sangat berhati hati menyatakan suatu hadits Mansukh. Sementara yang lain tidak demikian, dengan ungkapan yang bernada tegas mereka mengungkapkan, “menurut pendapat yang paling shahih hadits ini Mansukh”. Keragaman pandangan ini agaknya sangat ditentukan oleh tingkat penguasaan data dan informasi serta tingkat kefaqihannya. Mereka menyikapi persoalan agama ini tampak khilaf. Faktor menunjukkan bahwa nyaris tidak ditemukan kesefahaman diantara para ahli hadits pada sejumlah kasus Hadits Ikhtilaf yang dinyatakan oleh sebagian mereka sebagi Mansukh. Ketika sesuatu hadits dinyatakan Mansukh oleh sebagian ulama pada saja ulama lain yang tidak menyatakan demikian.
Bahwa ini memberi makna pernyataan mansukh suatu hadits lebih banyak didasari oleh pemahaman lepas tanpa didukung landasan filosofis dan data historis yang memadai. Misalnya, tentang hadits yang menjelaskan bahwa rasulullah SAW buang air kecil. Bagi ulama yang berpandangan luas berpahaman mendalam, sudah cukup jelas jalan penyelesainnya, sebagaimana ditegaskan abu hattim. Namun,tetap ada ulama yang menegaskan bahwa pendapat yang benar adalah yang menyatakan bahwa hadits riwayat huzaifah Mansukh.[6]
C.    Bentuk-Bentuk Nasikh Dan Mansukh
Bentuk-bentuk Naskh adalah sebagai berikut :
a.       Penghapusan terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan.
Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surah al-Anfal yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir, berikut ayatnya :
Yang artinya : “hai nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”.
Ayat ini menurut para ulama di naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada yat 66 dalam surat yang sama : Artinya: “sekarang Allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan, maka jika diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantara kamu terdapat seribu orang (yang sabar), mereka dapat dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.
b.      Naskh hukum sedangkan tilawahnya masih tetap.
Misalnya Naskh hukum ayat-ayat ‘iddah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Naskh seperti ini banyak disusun di kitab-kitab yang didalamnya disebutkan bermacam ayat. Setelah diteliti, ayat-ayat ini hanya sedikit jumlahnya. Ayat yang dijadikan contoh antara lain ayat yang mendahulukan sedekah dengan firmannya :

“Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu megeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampu lagi Maha Penyayang. “ (Q.S. al-Mujadilah: 12)

Ayat ini di naskh kan oleh ayat al-Mujadilah: 13

“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Naskh seperti in sedikit ditemukan dalam al-Qur’an, namun ada juga orang yang berlebihan dalam menetapkan naskh seperti ini. Naskh ini setidaknya mempunyai dua hikmah : karna al-Qur’an firman Allah, dan membacanya mendapat pahala, maka ditetapkan tilawahnya. Dan agar mengingat tentang ringan atau beratnya hukum yang dihapus.
c.       Naskh tilawah sedangkan hukumnya tetap berlaku.
Misalnya, semacam kewajiban istri tetap dirumah suami dengan memperoleh nafkah selama setahun penuh (Q.S. al-Baqarah:240) di nasakhkan oleh ayat yang menentukan iddah mati empat bulan sepuluh hari (Q.S. al-Baqarah: 234).
Misalnya lagi : dihapuskannya kiblat ke bait al-Maqdis (Q.S. al-Baqarah; 142) di naskh-kan oleh (Q.S. al-Baqarah: 144) dengan menuyuruh menhadap ke masjid al-haram.
Faedah ditetapkannya bacaan dan di nasakhkan hukumnya ada dua: pertama mengingat al-Qur’an adalah kalam Allah agar mendapat pahala bagi yang membacanya. Kedua meringankan beban hukum bagi para mukallaf.
Sebagianulama’ ada yang tidakmengakuinaakhsemacamini, karenakhabarnyabersifatahad. Yang diriwayatkanolehperiwayattsiqqahtidakdapatditerimadalamhalanaskh, sehinngamerasacukupdenganpendapatataumujtahid. Adapun yang benaradalahkbalikandari 2 pendapatitu.
Dalamnasikhmansukhjugaterdapatpembagiandanmacamnaskmansukh. Diantaranyaadalah:
a.       Naskh al-qur’andengan al-qur’an. Para ulama’ yang mengakuiadanyanaskh, telahsepakatdenganadanyanaskh al-qur’andengan al-qur’an, danitupuntelahterjadimenurutmereka. Salah satucontohnyaayat ‘iidahsatutahundinyatakandenganayat ‘iddahempatbulan 10 hari.
b.      Nasakh al-qur’andengansunnah, nasakh yang semacaminiterbagimenjadi 2, pertamanaskh al-qur’andenganhadistahad. Jumhurulama’ tidakbisa me-nasakh-kan al-qur’an, karena al-qur’anadlahnask yang mutawatir, menunjukkankeyakinantanpaadanyapradugaataudugaanterhadapnya. Sedangkanhadistahadadalahnaskh yang bersifatdzanni. Dan tidaksah pula menghapussesuatu yang sudahdiketahuidengan yang sifatdugaanataudiduga. Adapunmenasakhkan al-qur’andengansunnahmutawatir para ulama’ berbedapendapat, Malik, Abu Hanifahdan Ahmad. Dasarargumentasimerekaadalahfirmanallahpadaqur’an surah An Najm 4-5, yang artinya:
“Dan tiadalah yang diaucapkanitumeurutkemauannyadanhawanafsunya. Uacapannyaitu yang tidak lain hanyalahwahyu yang diwahyukankepadanya”
Syafi’Idanulama’ lain menolak argument sepertiini.
c.       Naskhsunnahterhadap al-qur’an, jumhurulama’amemperbolehkannaskhsepertiinisalahsatucontohnyaadlahmenghadapkeBaitulMaqdis yang ditetapkanolehsunnahkemudianketetapaninidinaskhkanoleh la-qur’an. Al-Qaththanmenyebutkanbahwa al-syafi’Imenolakpendapat yang menyatakanpuasapadahari ‘asyura yang ditetapkanolehsunnahkemudiandinasakhkanoleh al-qur’anpada surah al-baqarahayat 185, karenamenurutnyaantara al-qur’andanas sunnahitusangatmendukung.[7]
d.      Naskhsunnahdengansunnah, sunnahmacaminiterbagimenjadi 4 macamyaitu: naskhsunnahmutawatir, sunnahmutawatir, naskhsunnahahaddansunnahahad, naskhsunnahahaddengansunnahmutawatir, naskhsunnahmutawatirdengansunnahahad.
Al-Qaththkanmenjelaskanbahwanaskhijma’ denganijma’ danqiyasdenganqiyasataumenasakhdengankeduanya, menurutpenadapatshahihtidakndoperbolehkannya.[8]
Sebagianulama’
Model-model naskhmansukhdapatdiklasifikasikansebagaiberikut:
a.       Al-qur’anmenghapuskitab-kitabsucisebelumnya.
b.      Pencabutanbeberapateks al-qur’an yang dianggapmusnah
c.       Penghapusanbeberapaperintahterdahuludalam al-qur’andenganwahyusesudahnya, akantetapiteks yang mengandungperintahitutetapadadalam al-qur’an.
d.      Penghapusansebuahsunnah (praktikkenabian) olehperintah al-qur’an.
e.       Penghapusanperintah al-qur’anolehsunnah.
Signifikasidalamnaskhdapatdiukurdarifaktabahwasejumlahbesarkaryanyaditulisbekaitandengansubjektersebut. disamping literature tentangteorinaskhditemukanjugasebuahriwayatyangdisandarkanpadasahabat-sahabat yang menekankanperlunyamemilikipengetahuantentangayat-ayat yang menghapusdanayat-ayat yang dihapusdalam al-qur’an. Ali bin AbiThalibdiriwayatkanmenemuiseoranglaki-lakidimasjidkuffah yang sedangmenjawabpertanyaantentang agama yang diajukanpadanyaoleh orang-orang disekitarnya. Ali berkatakepadalaki-lakiituapakahdiabisamembedakanayat-ayat yang dihapus. Ketikaiamenjawabttidak, ali menudo laki-lakiitutelahmenipu orang lain danmelarangnyaberdakwahdimasjiditulagi.
D.    Hikmah dari Nasikh dan Mansukh
Setelah membahas sedikit seluk beluk tentang Naskh, Naskh tidak terlepas dari hikmah, karena jika  tidak ada hikmahnya bisa saja dikatakan Allah bermain-main terhadap hukum yang diturunkannya. Inilah hikmah diturunkannya Naskh, Manna’ al Qaththaan menyebutkan beberapa hikmah diantaranya :
1.      Untuk menjaga kemaslahatan
2.      Perkembangan pensyariatan menuju tingkat yang sempurna sesuai dinamika dakwah dan kondisi masyarakat islam
3.      Untuk menjadi ujian seorang mkhallaf agar ta’at terhadap syariat
4.      Kehendak Allah untuk kebaikan dan kemudahan umat, karena apabila naskh itu diganti dengan lebih berat maka akan terdapat tambahan pahala, dan apanila naskh diganti dengan lebih ringan maka itu merupakan kemudahan
5.      Lebih mudah kita memahami hukum islam
6.      Islam lebih mudah diberikan kepada kaum awam
Hikmahnasikhmansukhsecaraumumadaalahsebagaiberikut
1.      Untuk menunjukkan bahwa syariat agama Islam adalah syariat yang paling sempurna. Syariat Islam mencakup semua kebutuhan seluruh umat manusia, dari segala periodenya, mulai dari Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW.
2.      Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman.
3.      Untuk menjaga perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat, dari yang sederhana sampai yang tingkat sempurna.
4.      Untuk menguji muallaf, apakah mereka setia atau tidak dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu.
5.      Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah ke yang sukar.
6.      Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat Islam.
Adapun jenis-jenis hikmah nasikh mansukh ada empat, sebagai berikut:[9]
1.      Nasakh tanpa pengganti
Terkadang ada nasakh terhadap hukum, tetapi tidak ditentukan hukum lain sebagai penggantinya. Contohnya nasakh pada ayat 12 surat al-Mujadilah yang diganti dengan ayat 13 surat al-Mujadilah, hukum tersebut telah dihapuskan namun sudah tidak disebutkan lagi hukum penggantinya. Hikmahnya adalah menjaga kemashlahatan manusia, mereka tidak harus mempersiapkan sedekah terlebih dahulu untuk berbicara kepada Nabi SAW.[10]
2.      Nasakh dengan pengganti yang sebanding
Sebagian besar naskh itu melahirkan hukum baru sebagai penggantinya dan sering penggantinya itu seimbang dan sebanding dengan hukum terdahulu. Contohnya me-nasakh hukum menghadap kiblat kearah Baitul Muqaddas di Palestina:[11]

قَدۡ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجۡهِكَ فِي ٱلسَّمَآءِۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبۡلَةٗ تَرۡضَىٰهَاۚ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ ١٤٤[12]

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.
3.      Nasakh dengan pengganti yang lebih berat
Nasakh sesuatu ketentuan yang diganti degan ketentuan lain yang lebih berat dari yang diganti. Misalnya ayat An-Nisa ayat 15 berikut:

وَٱلَّٰتِي يَأۡتِينَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمۡ فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمۡسِكُوهُنَّ فِي ٱلۡبُيُوتِ حَتَّىٰ يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلۡمَوۡتُ أَوۡ يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلٗا ١٥[13]

Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya
Kemudian di nasakh dengan ketentuan yang lebih berat dengan turun ayat berikut:
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ وَلَا تَأۡخُذۡكُم بِهِمَا رَأۡفَةٞ فِي دِينِ ٱللَّهِ ٢[14]
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah.
4.      Nasakh dengan pengganti yang lebih ringan
Yaitu mengganti atau menghapus ketentuan hukum lain yang lebih ringan. Contohnya dalam surat al-Baqarah ayat 240 yang di nasakh oleh surat al-Baqarah ayat 234 seperti tertera sebelumnya.
Contoh lainnya dalam ayat berikut:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣[15]
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa
Kemudian di nasakh dengan ayat berikut:
أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ [16]١٨٧
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu.






















DaftarPustaka
Al- Qaththan, Mabahist fi Ulimil Al-qur’an,
Al-Zarqani, Manahili Fi Ulumil Al-qur’an,
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Ilmu Ilmu Al Qur’an, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002
Esack,Farid, Samudera al-qur’an,Yogjakarta, Diva press, 2002
Juned, Daniel. ParadigmaBarudanRekontruksiIlmuHadist, PT GeloraAksaraPreatama, 2011
Nurdinah Muhammad 2011, Studi Komperatif Nsikh dan Mansukh dalam Al-qur’an dan Hadist, vol. 8, No.2
Syafrin, Nirwan. KontruksiEpistimologi Islam: TelaahBidangFiqihdanUshulFiqih, International Islamic University Malaysia (IIUM), 1430 H
Thahhan, Mahmud. IntisariIlmuHadist, Malang: UIN-Malang Press, 2007
Tunjang, Bisri. Al-NasikhWa Al-Mansukh (DeskripsiMetodeInterpretasiHadistKontradiksi ), Vol. 2 No. 2, 2015
Zuhdi, Masjfuk, PengantarIlmuhadist, Surabaya: PT BinaIlmu, 1978

Catatan:
1.      Similarity 16%.
2.      Kita sedang berbicara mengenai nasikh-mansukh dalam Alquran dan bukan hadis.
3.      Penulisan pendahuluan perlu banyak perbaikan.
4.      Penulisan footnote dalam daftar pustaka terlihat agak kacau.
5.      Pereferensian sangat minim.
6.      Jumlah halaman sangat sedikit, padahal ada tiga orang.






[1] Nurdinah Muhammad, Studi Komperatif Nsikh dan Mansukh dalam Al-qur’an dan Hadist, vol. 8, No.
2 juli 2011
[2] Farid Esack, Samudra Al-qur’an, Diva Press, Yogyakarta, 2002 hlm. 231
[3]Mahmud thahhan, intisari ilmu hadis, uin-malang press, malang 2007 hlm.86-87
[4]Farid Esack, Samudera Al Quran, DIVA press, Jogjakarta 2002 hlm. 229
[5]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu Ilmu Al Qur’an, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang 2002, hlm. 150-151
[6]Daniel Juned, Paradigma Baru dan Rekonstruksi Ilmu Hadis, Erlangga, hlm. 130-131
[7]Al-Zarqani, Manahili Fi Ulumil Al-qur’an, 225
[8]Al- Qaththan, Mabahist fi Ulimil Al-qur’an, 229
[9]Abdul Jalal,ulumul Qur’an,cet II (Surabya: DuniaIlmu, 2000)hlm. 149-151
[10]Ibid., hlm. 149
[11]Ibid., hlm. 149-150
[12]Al-Baqarah (2) : 144
[13]An-Nisa (4) : 15
[14]An-Nur (24) : 24
[15]Al-Baqarah (2) : 183
[16]Al-Baqarah (2) : 187

Tidak ada komentar:

Posting Komentar