Selasa, 20 Februari 2018

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fikih (PAI A Semester Genap 2017/2018)




Oleh: Zaiful Jabbar (15110192), Umi Kultsum, Diah Kusuma Wardani
Mahasiswa PAI- A Angkatan 2015 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract:Ushul Fiqh and Fiqh is a science that can be said solid, where ushul fiqh itself is a way of processing and fiqh is the finished product. Ushul Fiqh first born of fiqh, because ushul fiqh as a tool to give birth to Fiqh. However, historical fact shows ushul fiqh at the same time it was born with fiqh. While in terms of preparation, fiqh was born earlier than on ushul fiqh. Many opinions say that science of ushul fiqh was first developed by Muhammad bin Idris Syafii. Ushul Fiqh is a discipline and can also mean a bunch of postulates, rules, and general formulations. In studying ushul fiqh, we not only learn about the meaning of ushul fiqh itself, but we must also know about the history of the emergence of usikh fiqh from time to time up to us today, many of which are collections of books that we can make guidance and grip life. Ushul Fiqh itself is a plural form of the word Ashl, which etymologically means something that is the foundation of the other. While the meaning of terminology is the arguments to establish the law of Fiqh in the form of the Qur'an, sunna, ijma ', qiyas, and others. In the first discussion in this paper is about the development of science ushul fiqh from time to time, starting from the time of Sahabat, tabi'in, and up to the time of the imam mazhab, while in the next subject is about the bookkeep ushul Fiqh which begins with factors for the needs of the mujtahid priests of the time. In the books of ushul fiqh a lot of about the history of the emergence and development of science ushul fiqh, we also can know the reasons of ijtihad in developing ushul fiqh.
Keywords: history, development, books, guidelines
Abstrak: Ushul fikih dan fikih merupakan suatu ilmu yang bisa dikatakan padu, dimana ushul fikih sendiri adalah sebuah cara pengolahan dan fikih adalah produk jadi. Ushul fikih lebih dahulu lahir dari fikih, karena ushul fikih sebagai alat untuk melahirkan fikih. Akan tetapi fakta sejarah menunjukkan ushul fikih bersamaan lahirnya dengan fikih. Sedangkan dari segi penyusunannya, fikih lebih dahulu lahir dari pada ushul fikih.Banyak pendapat mengatakan bahwa ilmu ushul fikih kali pertama dikembangkan oleh Muhammad bin Idris Syafii. Ushul fikih merupakan suatu disiplin ilmu dan juga bisa bermakna sekumpulan dalil-dalil,kaidah, dan rumusan-rumusan yang bersifat umum. Dalam mempelajari ushul fikih, kita tidak hanya belajar tentang makna ushul fikih itu sendiri, namun kita harus juga mengetahui tentang sejarah munculnya ushul fikih dari zaman kezaman sampai kepada kita saat ini, yang banyak berupa kumpulan-kumpulan kitab yang bisa kita jadikan pedoman dan pegangan hidup. Ushul fikih sendiri merupakan bentuk jamak dari kata Ashl, yang secara etimologi berarti sesuatu yang menjadi landasan bagi yang lain. Sedangkan makna terminologinya yakni dalil-dalil untuk menetapkan hukum fikih yang berupa Alquran, sunah, ijma’, qiyas, dan lain-lain. Pada pembahasan yang pertama di karya tulis ini yakni tentang perkembangan ilmu ushul fikih dari masa kemasa, dimulai dari masa sahabat,tabi’in, dan sampai kepada masa imam mazhab,sedangkan pada pokok pembahasan yang selanjutnya ialah tentang pembukuan ushul fikih yang di awali dengan faktor-faktor kebutuhan imam-imam mujtahid pada zaman itu. Di dalam kitab-kitab ushul fikih banyak sekali yang memuat tentang sejarah munculnya dan berkembangnya ilmu ushul fikih, kita juga bisa mengetahui alasan-alasan para ijtihad dalam mengembangkan ushul fikih.
Kata-kata kunci: sejarah,perkembangan, kitab-kitab,pedoman
A.    PENDAHULUAN
Ketika mempelajari suatu disiplin ilmu, tidakkah kita berpikir kapankah ilmu tersebut ada? lalu siapakah pencetusnya? Bagaimana proses ilmu itu kapan sampai pada kita?Demikian adalah pertanyaan-pendahuluan yang mendasar, tetapi perlu dikaji secara lebih dalam dan berasal dari sumber yang terpercaya.
Pada pembahasan kali ini yang akan kita bahas adalah mengenai bagaimana sejarah Ilmu Ushul Fikih itu bisa terbentuk menjadi suatu disiplin ilmu hingga sangat penting sekali sebagai pedoman ijtihad para mujtahid dalam istinbat hukum Islam. Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk memaparkan tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan ushul fikih, adapun yang menjadi latar belakang penulisan karya ini karena begitu pentingnya untuk mengetahui sejarah munculnya ilmu Ushul Fikih dan perkembangannya dari zaman ke zaman, dimana banyak orang yang tidak mengetahui sejarah munculnya ilmu Ushul Fikih, yang mereka tahu hanya kitab-kitab yang memuat ilmu tersebut dan menjadikannya sebuah pedoman dalam memutuskan suatu hukum. Sangatlah di sayangkanapabila kita tidak mengetahui siapa yang merumuskan, mengembangkan dan mengarang kitab-kitab ilmu Ushul Fikih tersebut. Karena pada setiap periode dari masa sahabat, tabiin,sampai pada masa imam-imam mazhab, ilmu Ushul Fikih selalu berkembang. Di dalam kitab-kitab Ushul Fikih banyak sekali yang memuat tentang sejarah munculnya dan berkembangnya ilmu Ushul Fikih, kita juga bisa mengetahui alasan-alasan para Mujtahid dalam mengembangkan Ushul Fikih. Dan pada karya tulis kami ini telah terpaparkan kapan munculnya ilmu Ushul Fikih, siapa yang merumuskannya, bagaimana tahapan perkembangannya dan lain-lain.
Dari apa yang kami tulis menunjukkan betapa berjasanya para pencetus ilmu Ushul Fikih dari masa sahabat sampai sekarang ini yang bisa melahirkan ilmu Fikih dan telah banyak kitab-kitab yang dikarang yang memuat tentang hukum-hukum yang bisa kita jadikan pedoman hingga saat ini. Karena pada hakikatnya, ilmu Ushul Fikih tumbuh bersama-sama dengan ilmu Fikih, meskipun ilmu Fikih dibukukan terlebih dahulu. Dan tumbuhnya ilmu Fikih disertai dengan metode sebagai alat untuk menggali hukum. Metode tersebut tidak lain adalah ilmu Ushul Fikih.[1]
B.     SEJARAH PERTUMBUHAN USHUL FIKIH

Secara teoritis, Ushul Fikih lebih dahulu lahir dari Fikih, karena Ushul Fikih sebagai alat untuk melahirkan Fikih. Akan tetapi fakta sejarah menunjukkan Ushul Fikih bersamaan lahirnya dengan Fikih. Sedangkan dari segi penyusunannya, Fikih lebih dahulu lahir dari pada Ushul Fikih[2].Banyak pendapat mengatakan bahwa ilmu Ushul Fikih kali pertama dikembangkan oleh Muhammad bin Idris Syafii. Hal itu dibuktikan dalam muqoddimah Ibnu Khaldun pada bab yang membahas tentang ilmu pengetahuan dan keterampilan, “orang pertama dalam studi Ushul Fikih yang mengarang sebuah kitab adalah Imam Syafii”.[3]
Ilmu Ushul Fikih mulai tumbuh pada abad kedua hijriyah, sebab pada abad sebelumnya ilmu Ushul Fikih belum diperlukan, karena Rasululloh SAW telah menetapkan hukum berdasarkan Alquran, sunah, serta ijtihad. Sedangkan para sahabat memutuskan hukum berdasarkan nash yang didapatkan dengan pemahaman bahasa arab yang murni tanpa kaidah-kaidah bahasa arab. Para sahabat juga menetapkan hukum syara berdasarkan kemampuan mereka yang tersimpan saat menemani Rasululloh SAW, untuk mengetahui sebab turunnya ayat, hadis dan pengetahuan tentang tujuan pembuat hukum syara dan dasar penetapannya.
Akan tetapi, ketika penaklukan islam semakin luas, terjadi asimilasi bangsa arab dengan yang lain, dalam bidang penulisan, pembicaraan, dan gaya bahasa baru sehingga dan kesamaran makna dalam memahami suatu nash tertentu. Maka diperlukan suatu kaidah bahasa agar dapat memahami suatu nash secara murni dan tata bahasa yang diucapkan menjadi benar.
Orang yang kali pertama menghimpun kaidah Ushul Fikih yang tersebar ke dalam satu kitab tersendiri adalah Imam Abu Yusuf, penganut faham Abu Hanifah, tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita. Sedangkan orang yang kali pertama membukukan kaidah-kaidah ilmu Ushul Fikih disertai dengan pembahasan secara sistematis serta didukung keterangan dan metode penelitian adalah Imam Muhammad bin Idris Al Syafii. Beliau menulis risalah tentang Ushul Fikih yang kemudian diriwayatkan oleh muridnya Rabi Al Muradi. Kitab inilah yang kemudian sampai kepada kita, sehingga dikenal oleh ulama bahwa peletak dasar ilmu Ushul Fikih adalah Imam Syafii.
Kemudian para ulama secara berturut-turut menyusun ilmu Ushul Fikih dengan menambahkan pembahasan atau meringkasnya. Para ahli ilmu teologi juga menyusun ilmu Ushul Fikih dengan menggunakan metodenya tersendiri. Namun ulama Mazhab Hanafi dalam penyusunannya menggunakan metode yang berbeda.
Kelebihan ulama teologi dalam menyusun ilmu Ushul Fikih adalah pembuktian terhadap kaidah-kaidah dan pembahasan tersebut secara logis dan rasional serta didukung bukti yang kongkrit. Mayoritas ulama yang ahli dalam bidang teologi adalah kelompok Syafii dan Maliki. Mereka menetapkan sesuatu yang rasional dengan didukung bukti sebagai sumber hukum syara, baik hal tersebut sesuai dengan masalah khilafiyah antar mazhab atau tidak.
Kitab-kitab Ushul Fikih yang terkenal menggunakan metode ulama teologi antara lain: kitab Al Mustashfa karangan Abu Hamid Al Ghazali Al Syafii, kitab Al Ahkam karangan Abu Hasan Al Amidi Al Syafii, kitab Al Minhaj karangan al Baidhawi Al Syafii.
Adapun kelebihan metode ulama Mazhab Hanafi adalah menetapkan kaidah-kaidah dan pembahasan ilmu Ushul Fikih dengan meyakini bahwa para imam mereka telah menggunakan kaidah dan pembahasan tersebut dalam ijtihadnya. Mereka menjadikan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh imam mereka sebagai pembuktian kaidah yang berpedoman pada kaidah itu sendiri bukan hanya sekedar dalil yang rasional. Oleh karena itu dalam kitabnya, banyak menyebutkan masalah khilafiyah.
Adapun kitab Ushul Fikih yang terkenal menggunakan metode ini adalah: kitab Ushul karangan Abu Zaid Al Dabusi, kitab Ushul karangan Fakhrul Islam Al Bazdawi, kitab Al Manar karangan Al Hafidz Al Nasafi.
Sebagian ulama juga menyusun ilmu Ushul Fikih dengan menggabungkan dua metode diatas. Mereka membuktikan kaidah Ushul Fikih sekaligus menjabarkan dalilnya, juga menerapkan kaidah terhadap masalah fikih khilafiyah.
Kitab Ushul Fikih yang terkenal dengan metode gabungan adalah: kitab Badi’un Nizham (gabungan antara kitab karangan Bazdawi dan kitab Al Ahkam) karangan Muzhaffaruddin Al Baghdadi Al Hanafi, kitab Al Taudhih Li Shadris Syariah dan kitab Al Tahrir karangan Kamal bin Hamam, dan kitab Jam’ul Jawami’ karangan Ibnu Subuki.[4]
C.    SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIKIH

1.      Ushul Fikih Sebelum Dibukukan
a.       Periode Sahabat
Pada zaman Nabi Muhammad SAW sumber hukum hanya ada dua, yaitu Alquran dan hadis. Jika suatu ketika terjadi permasalahan baru, maka yang dilakukan adalah menunggu wahyu dari Allah SWT yang merupakan penyelesaian (solusi) dari masalah tersebut, yang kemudian Nabi Muhammad SAW menetapkan sabdaNya dan kemudian di kenal dengan istilah hadis atau sunah. Kemudian pada pada abad ke 2 H Ushul Fikih tersusun sebagai suatu bidang ilmu, yang pertumbuhannya sejak pada perkembangan hukum Islam zaman Nabi Muhammad SAW. 
Fikih mulai dirumuskan pada periode sahabat, yaitu setelah Rasululloh SAW wafat. Karena pada masa Rasululloh semua persoalan hukum yang timbul diserahkan kepada beliau.[5]Nabi Muhammad SAW pernah melakukan qiyas ketika dalam menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat pada masa itu. Dari cara inilah kemudian para ahli Ushul Fikih (ushuliyyin) berpendapat bahwasannya dari situlah menjadi bibit utama munculnya ilmu Ushul Fikih.[6]
Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwasannya praktik Ushul Fikih datang bersamaan dengan munculnya fikih, hal ini dikarenakan fikih tidak akan ada tanpa adanya metode istinbat yang menjadi inti dari Ushul Fikih itu sendiri yang kemudian fikih berupa hasil (produk) dari hasil ijtihad mulai muncul pada masa sahabat. Pada saat itu para mujtahid melakukan ijtihad secara praktis telah menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fikih sebagai bahan kajiannya, meskipun kaidah-kaidah tersebut belum dirumuskan menjadi suatu disiplin ilmu.[7]
Hal itu di buktikan dengan semakin banyak muncul permasalahan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Alquran dan hadis pun sudah selesai turun. Maka para sahabat di tuntut melakukan ijtihad untuk menyelesaikan permasalahan pada masa itu, yang dimana ilmu-ilmu dalam berijtihad itu di cakup dalam suatu disiplin ilmu yang bernama “Ushul Fikih”. [8]
Apabila penggalian hukum fikih dilakukan setelah wafatnya Rasulullah SAW adalah masa sahabat, maka para fuqoha seperti Ibnu Masud, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab maka tidak mungkin menetapkan hukum tanpa ada batasan dan dasar.[9]Mereka para sahabat yang melakukan ijtihad pada masa itu bukanlah sembarangan orang, melainkan orang yang dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Dan merupakan bimbingan langsung dari Nabi, kemampuan berbahasa arabnya yang tinggi sebagai bahasa Alquran dan masih jernih, mereka adalah orang-orang yang sangat dekat dengan Rasulullah dan sering menyaksikan secara langsung praktik tasyri’ (pembentukan hukum) ketika Rasulullah memecahkan suatu permasalahan dan menetapkannya sehingga mereka paham bagaimana cara memahami ayat dan mengetahui tujuan pembentukan hukumnya.
Pada masa sahabat dalam pemecahan masalah di mulai dengan mempelajari teks Alquran lalu di teruskan ke sunah dan jika tidak mendapatkan solusi dari keduanya, maka yang dilakukan adalah berijtihad, yang dilakukan seorang atau sekelompok orang yang berkompeten pada masa itu. Kemudian hasil dari permusyawarahan sekelompok sahabat itu di kenal dengan istilah ijma’ sahabat.[10]
Sahabat Ali bin Abi Thalib menetapkan hukuman bagi seorang yang minum khamr dan seorang yang menuduh orang lain berzina tanpa ada bukti, tentu penetapan hukum tersebut melalui prosedur yang legal (preventif). Begitu juga Ibnu Mas’ud memberikan fatwa, bahwa ‘iddahnya perempuan yang ditinggal suaminya mati, sementara ia sedang hamil adalah sampai melahirkan. Hal tersebut berdasarkan Firman Allah:
واولات الاحمال أجلهن ان يضعن حملهن
Artinya: “dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At Thalaq: 4)
Hal ini mengisyaratkan pada satu kaidah Ushul Fikih bahwa ayat yang turun akhir itu menasakh (menghapus) hukum ayat yang turun lebih dahulu. Ibnu Mas’ud memberikan fatwa demikian karena menurut pendapatnya bahwa surat At Thalaq tersebut turun setelah surat Al Baqarah. Dengan demikian jelas bahwacara penetapan hukum tersebut menunjukkan adanya metode Ushul Fikih.[11]
Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan Ushul Fikih sebagai alat berijtihad. Hanya saja, Ushul Fikih yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.[12]Dalam berijtihad mereka (para sahabat) menerapkan metode qiyas, metode istihlah yang di dasarkan pada metode maslahah mursalah. Qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada hukumnya dengan hal yang sudah di tetapkan hukumnya dalam nash. Sedangkan maslahah mursalah adalah kemaslahatan bersama tetapi belum ada hukum yang mendukung tetapi tidak ada dalil yang melarang pula, sedangkan baik jika di jadikan sebagai pendukung berjalannya syariat. Dapat di contohkan dengan peristiwa pembukuan Alquran dalam satu mushaf di sebut dengan naskah Alquran.
Zaman dahulu dalam pemecahan masalah yaitu dengan menerapkan kerangka teks, seeperti halnya takhsis al amm, taqyid al mutlaq, al-haqiqah wa al-majaz, mafhum muwafaqah, dan mafhum mukholafah. Tetapi metode-metode tersebut belum tersusun secara konseptual, melainkan hanya sekedar pikiran bebas para mujtahid, dengan di dasarkan pada kemampuan mereka dalam ketajaman daya paham mereka saat itu dalam menguasai filosofi dan latar belakang mikro legislasi Alquran.[13]
b.      Periode Tabi’in
Tabiin adalah orang yang hidup pada masa sahabat. Dari pengertian tersebut sudah dapat kita ketahui bahwasannya mereka, para tabiin adalah generasi penerus setelah masa sahabat. Di masa ini para tabiin kurang lebih melakukan apa yang telah diajarkan oleh sahabat dalam berijtihad. Para tabiin mempelajari keilmuan secara murni dari para sahabat, maka dari itu pengetahuan mengenai hukum islam masih kental dan dapat di pertanggungjawabkan kebenarannya.
Para tabiin tidak mengembangkan keilmuan yang ada pada masa sahabat, tetapi mereka tetap mempertahankan apa yang ada pada masa sahabat dan tetap memperhatikan kerangka dan metode analisis dalam berijtihad. Pada saat itu mereka terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan ahli ra’yu dan ahl al-hadis.[14]
Jika pada masa sahabat dalam berfatwa merujuk pada Alquran, hadis, ijma’ qiyas, dan maslahah mursalah tidak jauh berbeda dengan pada masa ini, yaitu merujuk pada Alquran, hadis, fatwa sahabat, ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah. Pada masa ini metode istinbat semakin berkembang dan jelas, dikarenakan semakin banyaknya permasalahan-permasalahan baru yang muncul pada saat itu.
Diantara para tabiin yang menetapkan dirinya untuk fokus berfatwa dan berijtihad yaitu; Sa’id ibn al-Musayyab (15 H- 94 H) di Madinah, dan ‘Alqamah ibn Qays (w. 62 H) serta Ibrahim al-Naka’i (w. 96 H) di Irak. Tetapi dalam berijtihad mereka mengalami beberapa perbedaan pendapat. Abd al-Wahhab Abu Sulaiman menuturkan bahwasannya pada masa ini terjadi perdebatan anata dua hal yaitu; tentang fatwa sahabat yang mana yang dapat di jadikan Hujjah dalam menentukan hukum, dan apakah ijma’ ahl Madinah dapat di jadikan ijma’. [15]
Pada periode ini, dapat dijumpai metode penetapan hukum syara’ yang lebih banyak dibandingkan periode sebelumnya, karena mazhab fikih memiliki penetapan hukum yang berbeda dengan mazhab fikih yang lain.[16]

c.       Periode Imam Mazhab

    Setelah periode tabiin, tepatnya pada masa imam-imam mujtahid, metode penetapan hukum syara’ bertambah dan semkin beragam. Perkembangan Ushul Fikih disusun oleh periode imam mazhab,[17]mengingat ada perbedaan sejarah yang signifikan, maka sejarah perkembangan Ushul Fikih periode imam mazhab ini lebih jauh dapat diperinci menjadi tiga bagian, yaitu: masa sebelum dan ketika tampilnya Imam Syafii serta sesudah Imam Syafii.

1)      Masa sebelum Imam Syafii
Masa sebelum imam Syafii di tandai dengan munculnya Imam Abu Hanifah bin Nu’man (W.150 H), pendiri Mazhab Hanafi. Langkah-langkah ijtihadnya ialah, secara beruntutan, merujuk pada Alquran, sunah, fatwa para sahabat yang berbeda-beda dalam menetapkan suatu hukum. Imam Abu Hanifah sendiri tidak akan melakukan Istinbath hukum sendiri, selama ia menemukan jawaban hukum dari sumber-sumber rujukan tersebut. Dan Imam Hanafi sendiri tidak menjadikan pendapat ulama Tabiin sebagai rujukan. Dalam hal ini ada satu perkataanya yang sangat terkenal.
هم رجال ونحن رجال
“mereka laki-laki ( yang mampu berijtihad ), kita juga laki-laki ( yang mampu berijtihad ).”
Dalam berijtihad, Imam Abu Hanifah menyamakan antara qiyas dengan istihsan. Seorang muridnya, Muhammad ibn Hasan Syaibani mengatakan, “ para pengikut Abu Hanifah berbantah-bantahan dengan beliau dalam masalah qiyas. Jika beliau mengatakan beristihsanlah, maka tidak ada seorangpun yang melanjutkan perdebatan tersebut.”[18]
Imam selanjutnya yakni Imam Malik bin Anas ( W.179 H ). Pendiri mazhab Maliki. Yang terkenal. Sangat ketat berpegang pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat Madinah ( Aml ahl Madinah) hal ini tergambar dari sikapnya yang menolak periwayatan hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Rasululloh yang dinilainya tidak valid, karena bertentangan dengan masyarakat Madinah. Begitu juga penolakannya terhadap sebagian atsar yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW lantaran bertentangan dengan nash Alquran, atau ketetapan yang telah masyhur dalam dalam kaidah agama, seperti penolakan terhadap hadis yang berbunyi:
اذا ولغ الكلب في اناء احدكم غسله سبعا
Artinya: “Apabila ada anjing menjilat pada bejana kamu sekalian, maka basuhlah (sucikanlah) tujuh kali.”
Atau penolakannya terhadap hadis tentang khiyar majlis dan hadis tentang pemberian shadaqoh dari orang yang wafat. [19]
Namun meskipun demikian, Imam Malik sangat banyak menggunakan hadis dibandingkan dengan Imam Hanafi. Hal ini karena Madinah menjadi domisili Imam Malik adalah juga domisili Rasululloh, sehingga tidak mengherankan jika didalam Masyarakat Madinah banyak beredar hadis.
Apabila Imam Abu Hanifah banyak menggunakan Qiyas dan Istihshan dalam berijtihad, maka sebaliknya Imam Malik banyak menggunakan Maslahah Mursalah. [20]
2)      Masa Imam Syafi’i
Masa selanjutnya adalah pada masa Imam Muhammad Idris Asy Syafi’I (150-204 H). Pada masa ini ada sedikit perbedaan dengan masa sebelumnya, dimana metode Ushul Fikih belum tersusun dalam suatu disiplin yang berdiri sendiri dan belum dibukukan, maka nash ini di tandai dengan lahirnya karya imam Syafi’I yang bernama Ar risalah.
Sebagaimana layaknya proses lahir dan berkembangnya suatu disiplin ilmu, Imam Syafi’I mewarisi pengetahuannya yang begitu mendalam sebagai hasil proses yang panjang perkembangan ilmu dari pendahulunya.  Kitab Ar risalahnya sendiri yang semula bernama Al kitab, banyak berisi uraian tentang metode Istinbath hukum, yaitu Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan fatwa ash shahabi dan al qiyas.
Upaya pembukuan dan pensistematisan Ushul Fikih sejalan dengan masa keemasan ilmu keislaman yang terjadi pada masanya. Dan imam syafi’I banyak memetik manfaat dan mengemukakan sintesis atas tesis dan antithesis dari berbagai keunggulan dan kelemahan yang terpapar dalam perdebatan ilmiah yang terjadi antara kelompok ulama Madinah dan kelompok ulama Iraq.[21]
3)      Masa sesudah Imam Syafi’i
Setelah periode Imam Syafi’I, perkembangan ilmu Ushul Fikih semakin menunjukkan tingkat kesempurnaannya. Pada masa ini ( abad ke 3 ) lahir beberapa karya dalam bidang Ushul Fikih, diantaranya : An Nasikh Wal Mansukh, karya Ahmad bin Hanbal ( 164 – 241 H ), pendiri mazhab Hanbali, dan kitab Ibtihal Al Qiyas karya Dawud Azh Zahiri ( 200-270 H ), pendiri mazhab Azh Zhahiri. Kitab terakhir ini merupakan antithesis terhadap pemikiran Asy Syafi’I yang begitu mengunggulkan Qiyas dalam berijtihad.
Pada abad ketiga Hijriyah Fikih berada pada puncak dan masa keemasannya, karena pada masa itu suasana perdebatan terbuka dalam ilmu Fikih sangat mengairahkan, sehingga Ulama-ulama bermunculan dalam bidang ilmu ini.[22]Ilmu Ushul Fikih semakin berkembang lagi seiring berjalannya waktu, banyak para pengikut mazhab Syafii yang menulis tentang penjelasan lebih mendetail dan jelas perihal Ilmu Ushul Fikikh secara lebih lanjut. Sehingga Ilmu Ushul fikih kala itu sudah dapat di pertanggungjawabkan keabsahannya. [23]
Secara langsung atau melalui tangan para muridnya, para Imam mazhab telah berhasil menyusun hasil ijtihadnya dalam bentuk kitab Fikih yangmenjadi pedoman beramal bagi pengikutnya. Disatu sisi kitab-kitab Fikih tersebut bermanafaat sebagai pedoman yang memudahkan pengikutnya dalam menerapkan hukum, Karena setiap persoalan yang timbul dapat ditemukan jawabannya dengan membuka kitab Fikih tersebut.[24]
Pada masa telah di tutupnya pintu ijtihad baik ijtihad muthlaq maupun ijtihad melalui para mazhab, meskipun demikian Ilmu Ushul Fikih tidak mengalami penurunan fungsi dari ilmu itu sendiri. Pada masa itu dilakukan kajian kaijan yang mempelajari tentang bab-bab Ushul Fikih, hal ini bertujuan untuk meneliti mengenai permasalah permasalahn yeng belum tercakup dalam istinbat dan berlawanan dengan mazhab yang mereka ikuti. [25]
Pada masa ini bermunculan aliran-aliran, dan yang menjadi sebab tumbuhnya macam-macam aliranpada masa pasca imam syafii adalah karena pada saat itu Imam Syafii dalam proses penyusunan kitab- kitabnya mengutamakan bahwasannya ilmu Ushul fikih adalah suatu disiplin ilmu yang menjadi pedoman dalam penggalian hukum syara dari masa ke masa, selain itu ilmu Ushul fikih ini juga di gunakan sebagai alat ukur benar atau tidaknya pendapat ulama’ dalam penggalian hukum. Kitab-kitab beliau diantaranya yaitu Al-Risalah, kitab Jima’ul Ilmi, dan Ibthalul Istihsan.
Akan tetapi adanya aliran kajian para ahli Ushul Fikih yaitu setelah bakunya mazhab-mazhab fikih, aliran itu terbagi menjadi dua aliran yaitu;
a.       Aliran teoritis adalah aliran yang hanya menetapkan suatu kaidah saja tanpa adanya tujuan menguatkan atau adanya tujuan membatalkan praktek para mazhab.
b.      Aliran praktis, tujuan dari aliran ini adalah membenarkan hasil ijtihad terhadap masalah-masalah furu’. [26]

2.      Pembukuan Ushul Fikih
Pembukuan Ushul Fikih diawali dengan faktor kebutuhan para imam mujtahid di zaman itu, dan juga mulai adanya pemetakan-pemetakan antar satu cabang ilmu dengan cabang ilmu lainnya. Pada masa ini pula peradaban ilmu keislaman semakin berkembang pesat, Ushul Fikih muncul menjadi satu disiplin ilmu tersendiri.
Imam Syafi’i adalah ulama yang memahami secara mendalam tentang metode istinbat para imam mujtahid sebelumnya, metode istinbat para sahabat, dan memahami kelemahan dan keunggulan. Dengan didasari pemahaman beliau secara mendalam ini lalu menulis kitab yang berisi tentang kajian tentang Ushul Fikih. Ushul Fikih sebagai disiplin ilmu yang berisi tentang metode istinbat hukum Islam.
Imam syafi’i memberi nama kitab karangannya dengan sebutan Al-Risalah yang artinya sepucuk surat. Mengapa dinamai dengan istilah Al-Risalah? Hal itu dikarenakan awal mula kitab ini adalah berupa lembaran-lembaran yang dikirimkan kepada ‘Abdurrahman al-Mahdi (w. 198 H) yang merupakan ahli hadis pada masa itu. Kitab Al-Risalah ini adalah kitab yang menjadi awal perkembangan Ushul Fikih. Secara garis besar kitab ini berisi tentang hal-hal yang menjadi landasan-landasan hukum fikih yang berkiblat pada Alquran, hadis, ijma’ fatwa sahabat dan qiyas.[27]
Perkembangan keilmuan Ushul Fikih tidak berhenti hanya pada saat itu saja, pada masa pasca Imam Syafi’i banyak bermunculan ulama-ulama ahli ushul yang juga mengarang kitab tentang metode istinbat penggalian hukum Islam. [28]
Ilmu Ushul Fikih semakin berkembang dilihat dari fungsinya pada saat itu ketika para ulama melakukan ijtihad, dan Ushul Fikih banyak digunakan dalam pengukuran kebenaran dan sebagai alat untuk berdebat dalam diskusi-diskusi ilmiah. Beberapa karya kitab Ushul Fikih di masa ini iantaranya yaitu; Itsbat Al-Qiyas karya Abu Al-Hasan Al-Asy’ary (w. 324 H), Al jadal fi Ushul al-Fikihkarya Abu Mansur Al Maturidi (w. 334 H). [29]
Kemampuan Imam Syafii yang luar biasa dalam ilmu Bahasa arab menjadi bekal dalam memahami nash-nash Alquran untuk menelusuri kaidah kaidah hukum fikih dalam penetapannya. Kemampun beliau dalam ilmu Bahasa arab yang luar biasa ini berasal dari hasil belajar beliau di Makkah, melalui gurunya yang bernama Abdullah Ibn Abbas yang di kenal sebagai orang yang hebat pula dalam penafsiran Alquran atau bisa di sebut ahli penterjemah Alquran. Bukan hanya itu beliau juga mengetahui ilmu nasakh wal Mansukh. Bahkan dengan keahliannya itu beliau juga dapat mengetahui perbandingan antara hadis dengan Alquran jika suatu ketika terjadi perdebatan antara zhahir hadis dan zhahir Alquran. Menurut sejarah diketahui beliu memang seorang ahli hadis dan belajar langsung dari para ulama’. Ulama’ ahli Fikih (fuqoha’) telah menetapkan bahwasannya Imam Syafii adalah orang yang pertama kali mengarang kitab Ilmu Ushul Fikih dan tidak ada yang menentang pendapat tersebut.[30]
Sebagai bukti bahwasannya Imam Syafii adalah orang pertama yang membukukan Ilmu Ushul Fikih ini dilihat dari cara beliau dalam menerangkan hakikat Ilmu Ushul Fikih mulai dari setiap fasal dan setiap bab nya. Karena sampai saat ini tidak di temukan adanya ulama lain yang mengguanakan cara tersebut sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada masa sebelum Imam Syafii Ilmu Ushul Fikih belum sempurna. Dan para mujtahid yang datang setelah Imam Syafii ini sifatnya melengkapi dan memperjelas dari yang sudah ada.[31]


D.    PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwasannya perkembangan dan pertumbuhan Ilmu Ushul Fikih mengalami beberapa fase perkembangan di mulai dari pada masa Rasulullah masih hidup, yang pada kala itu sebenarnya Ilmu Ushul Fikih sudah di pelajari oleh para sahabat, hanya saja belum menjadi suatu disiplin ilmu yang sistematis. Kemudian pada masa sahabat, yang pada masa ini mereka sudah memahami tata cara penggalian hukum (istinbat Al-ahkam) dengan mengacu pada yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Lalu pada masa Imam Mazhab sebelum Imam Syafii, yang pada masa ini hampir sama dengan masa sahabat, dalam menggali hukum mengacu pada Alquran, hadis, fatwa sahabat, ijma dan qiyas. Imam Syafii hadir dengan mencetuskan kitab Ilmu Ushul Fikih yang di kenal dengan namaAl-Risalah dimana di dalamnya di jelaskan tata cara secara sistematis dan jelas mengenai penggalian hukum Islam. Ilmu Ushul Fikih terus berkembang seiring bermunculan para mujtahid-mujtahid kala itu. Mereka semakin menguatkan dan memperjelas teori-teori tentang Ilmu Ushul Fikih ini. Pada saat itu pula muncul dua aliran, yaitu aliran kajian para Ahli Ushul Fikih yaitu aliran teoritis dan aliran praktis.































DAFTAR PUSTAKA
Dahlan Abd. Rahman,Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2014
Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fikih,Jakarta: Pustaka Amani, 2013
Syarifuddin Amir,Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenadamediagroup, 2014
Effendi Satria,Ushul Fiqh, Jakarta:PT  Fajar Interpratama Mandiri, 2005
Asmawi,Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011
MuthahhariMurtadha, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003
Zahrah Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2011

Catatan:
1.      Similarity 17%.
2.      Daftar pustaka hanya tujuh buku saja?
3.      Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof. Dr. MA, Ustadz) hendaknya dihilangkan.
4.      Perujukan dalam makalah ini sangat minim.
5.      Berikan contoh yang secara implisit Nabi menggunakan ushul fikih.
6.      Referensi yang diulang dalam footnote tidak ditulis semua keterangannya.


[1] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 8
[2] Dr.H.Abd.Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fikih, hal 20.
[3] Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta, Pustaka Zahra, 2003, 4
[4]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta, Pustaka Amani, 2013, 8-11
[5] Dr.H.Abd.Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fikih hal 20
[6] Asmawi, perbandingan Ushul Fikih, Jakarta, Imprint Bumi Aksara, 2011, 6
[7] Satria Efendi, Ushul Fikih, Jakarta, PT Fajar Interpratama Mandiri,2005, 16
[8] Asmawi, perbandingan Ushul Fikih, Jakarta, Imprint Bumi Aksara, 2011, 6
[9] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 8
[10] Satria Efendi, Ushul Fikih, Jakarta, PT Fajar Interpratama Mandiri,2005, 17
[11] Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 11
[12] Dr.H.Abd.Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fikih, hal 21
[13] Asmawi, perbandingan Ushul Fikih, Jakarta, Imprint Bumi Aksara, 2011, 7
[14] Ibid 7
[15] Satria Efendi, Ushul Fikih, Jakarta, PT Fajar Interpratama Mandiri,2005, 17-18
[16] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 9
[17] Dr.H.Abd.Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fikih, hal 24
[18] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 10
[19] Ibid 10
[20] Dr.H.Abd.Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fikih, hal 26-27
[21] Ibid 27
[22] Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, hal 286
[23]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 14-15
[24] Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, hal 286
[25] Muhmmad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 16
[26] Ibid 16-17
[27] Ibid 19-20
[28] Asmawi, perbandingan Ushul Fikih, Jakarta, Imprint Bumi Aksara, 2011, 8
[29] Satria Efendi, Ushul Fikih, Jakarta, PT Fajar Interpratama Mandiri,2005, 21
[30] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 12
[31] Ibid 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar