Selasa, 20 Februari 2018

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fikih (PAI C Semester Genap 2017/2018)




SEJARAH PERTUMBUHAN dan PERKEMBANGAN USHUL FIQH

Triana Handayani, Rachmadika Fitrianingsih Widodo, dan Ahmad Mushawwir Ramadhan
Mahasiswa PAI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
PAI-C 2018

Abstrack:
An (ijtihad) italic (an individual interpretation and judgement) method called (ushul fiqh) italic, as the basic and development of islamic law that regulates all the behavior of the muslim community. By using the method of ushul science fiqh, people can perform the islamic law easily, because ushul fiqh is a guide fiqh which is able to solve problems that exist in life. Over time, ushul fiqh experienced the development of each period, thus some scholars’ have different characteristics respectively in ushul fiqh. This paper explains about ushul fiqh interpretation and the history of its growth  and development.
Keyword: ushul fiqh, fiqh, history of the ushul fiqh
Abstrak:
Sebuah metode ijtihad yang disebut ushul fiqh, sebagai dasar dan pengembangan hukum islam yang mengatur seluruh tatanan perilaku kehidupan masyarakat muslim. Dengan menggunakan metode ilmu ushul fiqh manusia dapat melakukan syariat dengan mudah, karena ushul fiqh merupakan penuntun fiqh untuk dapat memecahkan masalah yang ada dalam kehidupan di dunia. Seiring berjalannya waktu ushul fiqh mengalami perkembangan dari masing-masing masa, sehingga dalam ushul fiqh beberapa ulama’ memiliki perbedaan karakteristik masing-masing. Tulisan in menjelaskan tentang pengertian ushul fiqh serta sejarah pertumbuhan dan perkembangannya.
Kata Kunci: ushul fiqh, fiqh, sejarah ushul fiqh

A. Pendahuluan
       Dalam islam dikenal suatu ilmu keagamaan yang memiliki nama Ushul Fiqh, ilmu ini telah ada sejak zaman Nabi & sahabat meskipun belum disusun sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri. Ushul Fiqh adalah pengetahuan mengenai banyak kaidah dan bahasa yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dengan menggunakan dalil-dalilnya yang terperinci. Kaitan antara ilmu ushul dengan ilmu fiqh tidak dapat dipisahkan, keduanya saling memberikan manfaat satu sama lain. Apalagi jika ilmu ilmu fiqh datang tanpa adanya ilmu ushul, keberadaanya tidak akan sempurna. Karena ilmu ushul adalah alat untuk menghasilkan suatu hukum dalam ilmu fiqh. Ibaratnya, ilmu ushul sebagai penanak nasi untuk menghasilkan nasi yang siap saji dan berkualitas maka beras yang masih mentah harus dimasak dalam penanak nasi terlebih dahulu barulah ia menjadi nasi yang diinginkan, lantas apa yang terjadi jika tidak adanya penanak nasi maka beras tersebut tidak akan matang dan tidak bisa dikonsumsi, begitu juga dengan keberadaan ilmu ushul, apabila tidak adanya ilmu ushul yang melatar belakangi ilmu fiqh maka tidak akan ada produk atau ketetapan hukum yang dapat ditarik manfaatnya oleh orang lain.
       Perkembangan ushul fiqh yang semakin meluas tidak meninggalkan pedomannya yang tetap bersandar pada Alquran dan hadis,[1]ilmu ushul semakin mencuat di permukaan negara bahkan sampai dunia, karena banyak manfaat dan kegunaan daripada ilmu itu sendiri, menjadikannya semakin terlihat ke-exsistensiannya di mata manusia.
       Dalam mempelajari atau mengumpulkan sejumlah informasi hendaknya bagi para pelajar mengetahui asal ushul dari ilmu tersebut dan orang-orang yang berkecimpung di dalamanya,[2]begitu juga ketika pelajar ingin memperdalam ilmu ushul fiqh mereka hendaknya mengetahui sejarah keberadaan ilmu ushul, pertumbuhan dan perkembangan sebelum dan sesudah dibukukannya, latar belakang yang menjadikan ilmu itu muncul, serta para tokoh yang berkontribusi di dalamnya, begitulah tujuan mengapa kita sebagai pelajar perlu mengetahui tentang cikal bakal ilmu ushul fiqh lahir di dunia.
       Secara teoritis, ilmu ushul muncul secara bersamaan dengan ilmu fiqh, namun penyusunannya ilmu fiqh dibukukan terlebih dahulu dari ilmu ushul.[3] Meski demikian, secara praktis manusia telah menggunakan ilmu ushul untuk membuat hukum dalam fiqh meskipun belum menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri. Ilmu ushul sudah ada sejak zaman diangkatnya Nabi menjadi Rasul, namun pada masa itu kegiatan ijtihad masih tabu digunakan karena semua perkara dipecahkan oleh Nabi seketika itu, akan tetapi hakikatnya benih-benih kaidah ushul sudah hadir bersamaan diangkatnya Nabi dan munculnya ilmu fiqh.
       Setelah masa Nabi kegiatan ijtihad dilanjutkan oleh para sahabat yang menggali suatu perkara yang tidak ditemukan hukumnya dalam Alquran dan sunnah. kemudian masa tabi’in, keberadaan ilmu ushul semakin diperlukan oleh semua kalangan, karena banyaknya persoalan yang semakin banyak akibat perluasan wilayah hingga akhirnya pada masa imam mujtahid ilmu ushul berhasil dibukukan sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri oleh Imam Syafi’i, berawal dari situ ilmu ushul dikenal dan dipelajari di berbagai manca negara.
               
B. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ushul Fiqh
       Sebelum membahas tentang sejarah ushul fiqh, penting perlunya bagi kita untuk  mengetahui terlebih dahulu dari definisi ilmu tersebut. “Ushul” adalah bentuk jamak dari kata “ashl” yang memiliki arti “dalil yang menjadi dasar sesuatu” dinamakan sebagai ilmu ushul fiqh karena ia menjadi pedoman atau dasarnya ilmu fiqh.
menurut Abdul al-Wahab Khalaf dalam buku karangan Ahmad Djazuli ia mengatakan: “Ushul Fiqh ialah ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasannya yang merupakan cara untuk menemukan hukum-hukum syara yang amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci, atau kumpulan-kumpulan kaidah dan pembahasan yang merupakan cara untuk menemukan (mengambil) hukum syara’ yang amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci.[4]
       Pada hakikatnya munculnya ilmu ushl fiqh dan ilmu fiqh terjadi secara bersamaan, namun ilmu  ushul fiqh belum mempunyai ruang dalam penyusunannya, hal itu menjadikan ilmu fiqh lebih dahulu disusun daripada ilmu ushul fiqh. Padahal seharusnya ilmu ushul fiqh mendapat posisi awal dalam penyusunannya, karena kendatinya ilmu ushul fiqh adalah alatbagi seorang mujtahid dalam menghasilkan ilmu fiqh. [5]Abu Zahrah berpendapat “secara tidak langsung manusia telah menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh meskipun ilmu tersebut belum dirumuskan dalam suatu disiplin ilmu”.[6]
Hadis Rasulullah;
اَمَّا عِلْمُ اُصُوْلِ الفِقْهِ فَلَمْ يَنْشَاءْ  إلَّا فِي اْلقَرْنِ الثَّانِي الهِجْرِي. لِأَنَّهُ فِي القَرْنِ الهِجْرِي الْأَوَّلِ لَمْ تَدَعْ حَاجَةً اِلَيْهِ فَالرَّسُوْلُ كَانَ يَفْتِي وَيَقْضِي بِمَا يُوْحَى بِهِ اِلَيْهِ . رَبُّهُ مِنَ القَرْنِ بِمَا يَلْهِمُ بِهِ مِنَ السُّنَنِ.
Mengenai ilmu ushul fiqh, ilmu tersebut lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama hijriyah memang tidak diperlukan lantaran keberadaan Rasulullah SAW masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran Alquran dan sunnah yang diilhamkan kepada beliau".[7]
Pernyataan dan Hadis diatas sudah jelas bahwa Ushul Fiqh telah ada sejak zaman Rasulullah, namun di sisi lain ada sebuah ungkapan dari kalangan orientalis  mengatakan bahwa; ijtihad dimulai dari kalangan Sunni kemudian dua ratus tahun setelahnya ijtihad diperkenalkan dan diawali oleh kaum Syiah, karena mereka berkeyakinan bahwa pada masanya para imam ijtihad tidak diperlukan dan tidak menjadi kebutuhan bagi kaum Syi’ah, anggapan tersebut sangat fatal dan dianggap salah.[8]                    
1.    Pra Pembukuan Ushul Fiqh
Nabi pernah berijtihad atau tidak? pertanyaan itu sempat diperselisihkan oleh para ulama. Dalam kehidupan nyata Nabi pernah melakukan ijtihad, namun ijtihad nabi tidaklah sama dengan ijtihad sahabat, tabiin, dan yang lain. Karena ketika nabi melakukan kesalahan dalam berijtihad seketika itu pula wahyu datang untuk membetulkannya agar syariat tetap terjaga kebenarannya.[9]Seperti pada suatu kisah, Umar bertanya kepada Nabi: “wahai Rasulullah apakah batal puasaku karena aku telah mencium istriku?” Nabi membalikkan pertanyaan Umar: “bagaimana pendapatmu seandainya kamu berkumur-kumur dengan air pada saat kamu berpuasa?” Umar: “tidak apa-apa (tidak membatalkan puasa)” Nabi bersabda: “maka tetaplah kamu berpuasa”. Permasalahan yang dialami Umar tersebut dipecahkan oleh Nabi menggunakan kaidah qiyasyakni menyamakan hukum berkumur saat berpuasa dengan mencium istri ketika sedang melaksanakan puasa hukumnya tidak batal. [10]
Hadis Nabi juga mengatakan hal yang demikian:
لولا ان اشق على امتى لا مرتهم بالسواك عند كل صللاة (رواه ابو داود)
Seandainya tidak akan memberatkan bagi umatku niscaya akan aku perintahkan mereka menyikat gigi setiap kali akan melakukan sholat.”
Dari hadis diatas bahwasannya Rasulullah SAW selalu memikirkan kemaslahatan umatnya dalam menetapkan suatu hukum. Hukum di atas tidak akan ada apabila ijtihad itu dilarang oleh Nabi.
Kisah lain meriwayatkan, abu bakar berkata: Tawanan perang bisa dibebaskan dengan syarat ia mampu membayar denda atau tebusan, disisi lain pendapat umar berbeda dengan Abu Bakar. menurutnya, tawanan harus dibinasakan karena ia telah berdustakepada Nabi dan lancang menyuruh Nabi keluar dari mekah. Dari kedua pendapat tersebut Nabi lebih memilih pendapat dari Abu Bakar yakni melepaskan tawanan dan menyuruhnya untuk membayar denda. Seketika itu turunlah surat al-anfal ayat (67).
$tBšc%x.@cÓÉ<oYÏ9br&tbqä3tƒÿ¼ã&s!3uŽó r&4Ó®LymšÆÏ÷WãƒÎûÇÚöF{$#4šcr߃̍è?uÚttã$u÷R9$#ª!$#ur߃̍ãƒnotÅzFy$#3ª!$#urîƒÍtãÒOŠÅ3ymÇÏÐÈ
Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya dimuka bumi, kamu menghendaki harta duniawi sementara Allah menghendaki akhirat.”
Apabila dalam peristiwa itu tidak turun suatu ayat yang membenarkan ijtihad Nabi, maka dapat dikatakan ijtihad tersebut benar dan bisa dikategorikan dalam sunnah-nya Nabi.
Ketika para sahabat berada jauh dari Nabi, Nabi memberi izin kepada mereka untuk melakukan ijtihad bilamana suatu perkara yang hukumnya tidak didapatkan dalam Alquran dan sunnah. Intinya aktivitas ijtihad tersebut tidak hanya dilakukan oleh Nabi saja namun para sahabat juga melakukannya. [11]
a.    Masa Sahabat
Sahabat adalah mereka yang memiliki kedekatan dengan Rasulllah SAW dan selalu menyertainya serta menyaksikan kejadian atau peristiwa-peristiwa hukum yang secara langsung di pecahkan oleh Rasulullah, sehingga mereka memahami bagaimana menangkap suatu ayat dan tujuan dibentuknya.  mereka adalah generasi yang paling banyak melakukan ijtihad di bidang hukum islam, selain dekat dengan Rasulullah mereka juga pandai berbahasa arab, sehingga dari kemampuan bahasa arabnya yang tinggi itu mereka mampu memahami ayat Alquran dan melakukan qiyas terhadap suatu permasalahan yang membutuhkannya. Dengan demikian, setelah Rasullullah wafat mereka telah siap menghadapi permasalahan sosial yang muncul pada zamannya dan memecahkannya dengan metode ijtihad meskipun ilmu ushul sendiri belum secara resmi dirumuskan, hal ini adalah pendapat dari Khudari Beik seorang ahli ushul berkebangsaan mesir. Bagaimana para sahabat melakukan ijtihad? Menurut Abdal Wahab Abu Sulaiman mereka melakukan ijtihad dengan cara; awalnya mereka mempelajari dan memahami ayat Alquran kemudian Sunnah Nabi. Apabila suatu hal yang tidak ditemukan hukumnya di dalam keduanya barulah mereka melakukan ijtihad, hal ini dilakukan secara individu atau berkelompok dengan para sahabat yang lain dan keputusan yang diambil sahabat atau hasil akhir dari ijtihad sahabat dinamakan ijma’ sahabat. Para sahabat selain menggunakan metode qiyas dalam berijtihad, mereka juga menggunakan metode istishlah yang berdasar pada maslahah mursalah dalam ijtihadnya. maslahah mursalahadalah suatu kemaslahatan yang tiadanya dalil menolak atau mendukungnya namun memicu tujuan syariat terpelihara seperti halnya pengkodifikasian Alquran.
Jadi, apabila suatu permasalahan tidak didapati hukumnya dalam Alquran dan Sunnah para sahabat secara tidak langsung telah mempraktekkan ilmu ushul fiqh diantarannya ijma’, qiyas, dan istishlah (maslahah mursalah) dan hal yang demikian telah memenuhi kebutuhan masyarakat yang berkembang pada saat itu. [12]
Apabila Nabi pernah berijtihad meskipun ijtihadnya berbeda dari yang lain, tentu sahabat juga melakukan hal itu. Nabi memberikan izin kelonggaran para sahabat untuk melakukan ijtihad. Pada suatu kisah, “Nabi berkata”:
 كيف تقض اذا عرض لك قضاء؟ قال اقض بكتاب الله. قال فإن لم تجد قال فكتاب الله؟ فإن لم تجد؟ قال فبسنة الرسول الله. قال فإن لم تجد فبسنة رسول الله و إن لم تجد في كتاب الله؟ قال اجتهد براءي فضرب رسول الله صدره وقال: الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرضى رسول لله.(رواه ابو داود)
Bagaimana cara kamu memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepada kamu? Mu’az: “Saya putuskan dengan (hukum) yang terdapat dalam kitab Allah.” Nabi mengajukan pertanyaan kembali: “Jika kamu tidak mendapati (hukum) itu di dalam kitab Allah?” Mu’az: “Saya putuskan dengan Sunnah Rasulullah”, Nabi terus bertanya: “Kalau kamu tidak menjumpai dalam sunnah dan tidak juga dalam kitab?” Mu’az mengatakan: “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya dan saya tidak akan lengah,” Kemudian Nabi menepuk bahu Mu’az seraya berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasul Allah...” (HR. Abu Daud). [13]
Peristiwa diatas sebagai bukti bahwasannya para sahabat telah melakukan ijtihad pada zamannya meskipun Nabi masih ada.[14]
Ketika terdapat suatu perkara yang harus diputuskan, Nabi meminta Amr bin ‘Ash untuk memutuskannya, sedang beliau berada di tempat tersebut. Lantas sahabat mengajukan pertanyaan kepada Nabi atas sesuatu yang diperintahkan kepadanya:
ااجتهد و ان حاضر؟ قال نعم، إن اصبت فلك اجران و ان اخطأت فلك اجرا
Apakah saya berijtihad sedang engkau berada disini?” Nabi bersabda: “Ya, jika kamu benar maka mendapat dua pahala, dan jika kamu salah kamu akan mendapat satu pahala.”[15]
Contoh lain; pada saat Ali menetapkan hukuman bagi peminum khamr yaitu sebanyak 80 kali cambuk, beliau berkata: “bila ia minum ia akan mabuk dan bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar;maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan berbuat zina.” Pernyataan Ali tersebut diyakini bahwa ia menggunakan kaidah ushul “sad al-dzari’ah” dalam mengantisipasi permasalahan yang akan timbul dari peristiwa di atas.
Kemudian ketika Abdullah ibn Mas’ud mengutarakan argumentasinya yang berdasar pada surat at-Thalaq (85) ayat 4, bahwa wanita hamil apabila ditinggal mati suaminya iddahnya sampai ia melahirkan. Sedangkan dalam surat al-Baqarah (2), bahwa wanita hamil yang ditinggal mati suaminya iddahnya selama empat bulan sepuluh hari. Beliau menetapkan surat at-Thalaq ayat 4 dalam menghukumi permasalahan tersebut alasannya; surat at-Thalaq keberadaanya muncul setelah surat al-Baqarah ayat (2).
Dalam pengambilan keputusan, Ibnu Mas’ud berpedoman dalam kaidah Ushul, yaitu nasakh wa mansukh, artinya ayat yang datang lebih awal akan ditiadakanoleh dalil atau ayat yang muncul setelahnya.[16]
b.   Masa Tabi’in
Dengan berlalunya masa sahabat, maka masuklah kepada masa tabi’in. Dalam masa tabiin wilayah penyebaran islam telah meluas keluar dari daerah bangsa arab dan para penduduk daerah tersebut bukan orang-orang yang berbangsa arab dan tidak menggunakan bahasa arab. Oleh karena itu, terdapat perbedaan budaya adat istiadat, peradaban hingga situasi yang tidak sama dari bangsa arab. Dengan perluasan wilayah kekuasaan islam tersebut banyak dari ulama-ulama tabiin yang menyebar kewilayah-wilayah atau daerah diluar bangsa arab hingga banyak penduduk dari wilayah tersebut yang memeluk islam.
Dengan semakin luasnya wilayah islam maka semakin banyak lah permasalahan ummat yang belum dikenal sama sekali hingga menyebabkan ketetapan suatu hukum tidak ditemukan pada Al-qur’an dan hadis. Para ulama-ulama tabiin yang menetap didaerah-daerah tersebut pun mencari ketetapan atau berijtihad dengan pemikiran serta penalaran tentang ayat Al-qur’an dan hadits Nabi agar dapat mengatasi permasalahan yang ada. Ditambah juga adanya pengaruh majunya ilmu pengetahuan pada tiap bidang saat itu, sehingga menjadikan ijtihad berkembang maju dengan pesat.[17] Dalam berijtihad mereka (tabi’in) menggunakan pedoman pada masa sebelumnya yaitu masa Nabi & sahabat. Dengan demikian ilmu Fiqh pada periode tabi’in bersumber atas Alquran, sunnah, fatwa sahabat dan fatwa imam mujtahid.[18]
Pada periode ini juga membuat cara istinbath terlihat semakin jelas dikarenakan wilayah-wilayah yang semakin meluas tersebut dan banyaknya persoalan baru yang terjadi sehingga mendorong para tabiin dengan pengetahuan yang mereka dapat dari para sahabat Nabi untuk menetapkan suatu hukum dengan cara berijtihad. Di antara ulama tabiin ini yaitu Said ibn al-Musayyab (15H-94H) di Madinah, Ibrahim al-Nakho’I (96H), dan Al-Qamah ibn Qays (62H) di Iraq. Pada saat melakukan ijtihad para tabiin tersebut merujuk pada Al-quran, Hadits, Ijma’, Qiyas, dan maslahah mursalah. Di masa ini Abu sulaiman mengatakan bahwa adanya perbedaan pendapat yang nampak apakah ijtihad atau penetapan hukum yang dilakukan para tabiin dapat dijadikan landasan hukum (hujjah).[19]
Dengan berbagai sumber rujukan yang diambil, para ulama tabiin bebas menggunakan metode yang dianggap sesuai dalam menetapkan suatu hukum. Oleh sebab itu, ada sebagian ulama tabiin yang melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas, untuk mendapatkan illah hukum suatu nash lalu menggunakan qiyas tersebut kepada permasalahan yang tidak ada nash nya namun illah yang dimiliki sama. Tetapi sebagian ulama yang lain lebih condong memakai metode maslahah, dengan memfokuskan dari kecocokan tujuan suatu hukum pada kemaslahatan yang terdapat dalam prinsip-prinsip syara’.[20]
Disatu sisi dengan pesatnya perkembangan ijtihad pada masa tabiin ini tidak begitu berjalan baik, hal ini dikarenakan banyaknya terjadi perbedaan pendapat dan polemik-polemik ilmiah antara ulama satu dan ulama yang lain dalam hal hasil ijtihad, dalil-dalil yang dipakai, atau cara yang digunakan mereka dalam berijtihad. Permasalahan ini bukan saja terjadi pada ulama yang berada pada satu wilayah yang sama tetapi terjadi pada wilayah yang berbeda. Dengan adanya masalah seperti ini, terciptalah suatu pemikiran baru atau ide ulama-ulama tersebut agar membuat rumusan kaidah-kaidah syariat sebagai acuan terkait dengan tujuan-tujuan dan dasar-dasar syara’ menetapkan suatu hukum.
Setelah merumuskan kaidah-kaidah syariat sebagai panduan, masih saja menyebabkan beberapa masalah. Hal ini dikarenakan pengaruh bahasa lain kepada tata bahasa arab, sebab begitu banyaknya wilayah diluar bangsa arab yang memeluk agama islam dan adanya ulama tabiin yang tersebar dan melakukan ijtihad. Kemudian dengan banyaknya bangsa non arab tersebut mebuat banyaknya penyusupan bahasa-bahasa selain arab masuk kedalam bahasa arab, hal ini yang menyebabkan beberapa masalah dengan menimbulkan keragu-raguan dan berbagai macam kemungkinan dalam memahami nash syara. Namun permasalahan ini kembali menimbulkan sebuah ide yang lain bagi para ulama tabiin untuk kembali menyusun atau merumuskan kaidah-kaidah umum yang menyangkut kebahasaan dan kaidah lughawiyah.
Seperti itulah, dengan dirumuskannya suatu kaidah syariah dan kaidah lughawiyah maka terciptalah suatu ilmu yang disebut dengan ilmu Ushul Fiqh, ilmu yang dijadikan dasar menetapkan suatu hukum (fiqh). Ibn Nadim berkata, bahwa seorang ulama yang pertama kali merumuskan ilmu ushul fiqh ialah Imam Abu Yusuf, yang merupakan salah satu murid dari imam Abu Hanifah. Tetapi kitab yang ditulis oleh beliau tidak sampai pada generasi saat ini.[21]
2.    Pembukuan Ushul Fiqh
Ketika periode tabi’in telah berlalu, pada saat itu juga perkembangan ilmu ushul fiqh dilanjutkan dengan periode Imam Mazhab. Karena ada perbedaaan sejarah yang menonjol, maka pada saat itu juga perkembangan ilmu ushul fiqh periode Imam Mazhab bisa lebih dirincikan menjadi tiga masa yakni masa sebelum imam asy-syafi’i, masa ketika asy-syafi’i dan yang terakhir masa sesudah imam asy-syafi’i.
a.    Masa sebelum Imam Asy-syafi’i
Munculnya Imam Abu Hanifah bin Nu’man (w. 150 H) adalah sebagai salah satu tanda masa sebelum Imam Asy-syafi’i. Beliau tumbuh dan tinggal di Irak. Pola ijtihad Imam Abu Hanifah lebih jelas jika dibandingkan dengan masa tabi’in. Yang membuat beliau terkenal adalah banyak menggunakan qiyas dan istihsan dalam berijtihad.
Urutan dalam ijtihadnya adalah secara runtut yang didasari pada al-qur’an, sunnah, fatwa sahabat yang sudah disepakati ( ijma’ ash-shahabi), dan dalam satu kasus hukum beliau mengambil satu dari fatwa sahabat yang beragam. Beliau tidak pernah melaksanakan istinbath sendiri, selagi beliau mendapatkan jawaban hukum dari sumber yang menjadi rujukan. Hal yang unik adalah, pendapat ulama tabi’in tidak pernah dijadikan rujukan oleh Imam Hanafi.  Sebab yang menjadi alasan atau hujjahnya adalah jarak waktu yang terlalu jauh antara Rasulullah saw dan ulama’ dari kalangan tabi’in. Beliau memiliki pendapat bahwa dalam berijtihad kedudukan para tabi’in dan kedudukan Imam Hanafi mempunyai kedudukan yang sama. Dan hal inilah yang membuat ucapannya terkenal yaitu:
هُمْ رِجَالٌ وَنَحْنُ رِجَالٌ

(mereka laki-laki (yang mampu berijtihad), kita juga laki-laki (yang mampu berijtihad) ). 
Mujtahid selanjutnya adalah pendiri mazhab maliki yang tinggal dan tumbuh di Madinah yang bernama Imam Malik bin Anas (w.179 H). Salah satu faktor yang mempengaruhi dirinya menjadi sangat ketat berpegangan pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat madinah(‘amal ahl al-madinah) adalah faktor sosio kultural. Sikapnya yang selalu menolak terhadap periwayatan hadis-hadis yang dinisbahkan pada Rasulullah yang menurutnya tidak valid adalah salah satu gambaran dari sikapnya yang sangat ketat berpegang pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat madinah, Sebab menurutnya yang seperti itu sangat bertentangan dengan tradisi masyarakat madinah. Jika ada periwayatan berbagai hadis yang kontradisi dengan al-qur’an maka beliau dengan cepat dan cekatan mengkritiknya.
Contoh: saat beliau mendengar ada hadis-hadis yang menerangkan mengenai mambasuh tujuh kali bekas jilatan anjing ia menolaknya, dan tentang hadis yang menerangkan mengenai pemberian sedekah yang mengatas namakan orang yang telah wafat. Dibandingkan Imam Hanafi, Imam Malik lebih banyak menggunakan hadis dalam berijtihad. Beliau beralasan karena mempunyai domisili yang sama dengan Rasulullah yaitu sama-sama berdomisili di Madinah, hal itulah yang membuat tidak menjadi heran apabila banyak beredar hadis di masyarakat madinah. Karena Imam Malik sendiri pun memiliki kitab Al-muwaththa’ yaitu kitab hadis yang sangat terkenal.
Jika keunggulan Imam Abu Hanifah dalam berijtihad adalah banyak dengan menggunakan qiyas dan ishtisan, justru bertolak belakang dengan Imam Abu Hanifah, menggunakan mashlahah mursalah adalah keunggulannya dari Imam Malik. Karena dianggap terlalu berkembang sangat jauh metode mashlahah dari Imam Malik membuat Najmuddin ath-Thufi salah seorang ulama’ yang dituduh sesat oleh sebagian ulama’ yang lain, dengan alasan beliau mengembangkan metodenya dengan berbagai cara yang sangat liberal.[22]
b.   Masa Imam Asy-syafi’i
Lahirnya Imam Muhammad Idris Asy-Syafi’i (150-204 H) yang dikenal dengan Imam Asy-Syafi’i adalah tanda dimulainya masa kedua dari periode Imam Mazhab. Masa ini adalah masa yang sangat berbeda dengan masa yang sebelumnya, jika pada masa yang sebelumnya metode ushul fiqh belum tersusun rapi dalam suatu displin ilmu maka terciptanya ar-risalah karya Imam Asy-Syafi’i menjadi tanda bahwa metode ushul fiqh telah tersusun dalam suatu disiplin ilmu yang sudah dibukukan.
“Karya Imam Asy-Syafi’i adalah kitab yang berubah nama menjadi kitab ar-risalah mengandung banyak uraian tentang metode istinbath hukum yakni  Alquran, sunah, ijma’, fatwa ash-shahabi dan al-qiyas.” Al-qiyas adalah metode ijtihad yang sangat ditekankan oleh imam Asy Syafi’i. Hal ini terdapat dalam beberapa bagian dari beberapa kitab ar-risalah. Beliau berkata, al- ijtihad huwa al-qiyas (ijtihad itu tiada lain adalah qiyas).
Salah satu bukti masa keemasan ilmu keislaman yang terjadi pada masanya adalah upaya pensistematisan dan pembukuan ushul fiqh. Perdebatann ilmiah yang terjadi antara kelompok ulama’ madinah dan kelompok ulama’ irak memaparkan berbagai keunggulan dan kelemahan yang dipetik manfaatnya oleh Imam Asy syafi’i yang berstatus sebagai murid langsungnya Imam Malik, ulama’ madinah dan dari Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani menjadikan dirinya sebagai kepakaran dalam ilmu ini. Ditambah lagi beliau mempelajari ilmu fiqh dari para ulama’ ditempat beliau lahir dan dibesarkan yaitu Mekah.”[23]  Beliau mewarisi ilmu Alquran dari Abdullah Ibn Abbas pada saat berada dimekah sehingga dapat mengerti nasikh mansukh di dalam Alquran. Disisi lain juga beliau memiliki kesempatan dalam mendalami berbagai hadis dari ulama hadis sehingga dalam menghadapi adanya pertentangan antara Alquran dengan hadis Nabi dapat diselesaikan dengan kedudukan sunah bagi Alquran yang telah dipahaminya. Penguasaan ilmu antara fiqh aliran tradisional (hijaz) dan juga fiqh aliran rasionalis (irak) menjadi modal baginya untuk dapat menyusun kaidah-kaidah dengan mengangkat qiyas. Oleh karena itu imam syafi’i dapat merumuskan hukum syara’ dengan menggunakan metodologi yang sangat sistematis. [24]
c.    Masa sesudah Imam Asy Syafi’i
Ketika masa Imam Asy-Syafi’i telah berlalu tingkat kesempurnaan ilmu ushul fiqh semakin menunjukkan perkembangannya. Beberapa karya dalam bidang ushul fiqh lahir pada abad ketiga. Diantaranya adalah karyanya Ahmad bin Hanbal(164-241) yaitu an nasikh wa al – mansukh, dan karya Dawud azh-zhahiri(200-270 H) yaitu ibthal al-qiyas.
Masa puncak dan masa keemasan fiqh islam terletak pada abad ketiga hijriyah. Sebab pada abad ketiga kondisi perdebatan terbuka dalam ilmu fiqh sangat menarik, karena kondisi itu menyebabkan bermunculan para ulama’ dalam bidang ilmu fiqh. Namun yang ditunjukan dalam fakta sejarah adalah tidak berlangsung lamanya kondisi yang menggembirakan ini, yang disebabkan oleh orang-orang yang melahirkan berbagai fatwa hukum yang kontroversial dan membingungkan masyarakat yang sebenarnya orang-orang itu tidak mempunyai keahlian dalam bidang fiqh. Fatwa yang mereka buat tidak hanya bertolak belakang dengan fatwa para ulama’ yang terkenal namun fatwa mereka dibuat tidak berdasarkan landasan dalil dan metodologi yang standarnya telah ditetapkan. Akibatnya,  maka terdengarlah isu penutupan pintu ijtihad pada pertengahan abad ke empat.Hilangnya rasa percaya diri para ulama yang memiliki kemampuan berijtihad membuat kondisi pertengahan abad ke empat semakin parah.Karena insiden-insiden sebelumnya membuat mereka tidak berani berijtihad sendiri dengan bebas. Mereka meyakini tidak ada lagi ulama’ yang memiliki kapasitas keilmuan sebagai mujtahid mutlak kecuali empat Imam Madzhab ( Abu Hanifah, Asy-syafi’i, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal ). Kemudian mereka juga meyakini tidak diperlukan lagi ijtihad baru karena semua persoalan fiqh sudah dibahas oleh ulama’ sebelumnya.
Munculnya karya-karya yang tidak lagi melahirkan mazhab-mazhab fiqh yang baru menjadi bukti kemunduran ilmu fiqh yang disebabkan awalnya bermula dari isu penutupan pintu ijtihad. Namun justru disisi lain ushul fiqh sangat berbeda dengan fiqh. Kesempurnan ushul fiqh semakin ditunjukkan ketika fiqh mengalami kemunduran. Karena para ulama’ selanjutnya mengembangkan pembukuan dan pensistematisan ushul fiqh yang dilakukan asy-syafi’i. Ilmu ushul fiqh berungsi sebagai pengukuran validitas fiqh sebagai metode ijtihad. Maka pada masa ini ilmu ushul fiqh memiliki peran yang sangat tinggi dalam perdebatan-perdebatan ilmiah dalam bidang fiqh sebagai dasar dan senjata. Terkait dengan pengembangan ushul fiqh Asy-Syafi’i para ulama’ yang lahir setelah Imam Syafi’i baik dari mazhab lain maupun dari kelompok syafi’iyah ikut berperan dan ambil bagian dalam pengembangan ilmu tersebut.
Walaupun ushul fiqh yang ditulis Asy-Syafi’i dikembangkan oleh ulama’ dari berbagai mazhab, hal itu tetap membuat dan menjadikan arah perkembangan ushul fiqh tetap berbeda. Bahasan ushul fiqh Asy-Syafi’i sepenuhnya diperluas oleh para ulama’ syafi’iyah, namun disisi lain bahasan ushul fiqh Asy-Syafi’i dikembangan sedikit berbeda dengan ulama’ dari mazhab lain.”[25] Dalam sisi pengembangan mereka mengaitkan dengan prinsip madzhabnya masing-masing, namun mereka tetap mengambil prinsip –prinsip ushul fiqh asy-syafi’i. Contohnya: ulama’ hanafiyah menjadikan al-istihsan dan al urf sebagai pembahasan yang dikembangkan, dan ulama’ Malikiyah menjadikan ijma’ ahli madinah, serta penetapan hukum dari sad adz-dzara’i menambahkan al- maslahah al-mursalah.”[26] Hal yang perlu digaris bawahi walaupun perkembangan ushul fiqh pada masing-masing madzhab berbeda namun pada dasarnya mereka semua sepakat untuk mengembangkan empat dalil yang telah ditegaskan oleh imam asy-syafi’i yaitu al-qur’an, sunnah, al-ijma’, dan al-qiyas.[27]
“Setelah itu, arah pengembangan fiqh yang terlihat jelas terbagi menjadi dua bagian yakni:
Pertama, kaidah ushul fiqh yang tidak terpengaruh dari furu’ madzhab yang disebut arah pemikiran murni. Fiqh syafi’iyah atau ushul aliran mutakallimin adalah arah perkembangan fiqh yang tidak terikat oleh amal yang ada dan berkembang pada kalangan imam madzhab.
Kedua , kaidah ushul fiqh terpengaruh oleh furu’ serta mengembangkan ijtihad dari hasil ijtihad yang sebelumnya. Para pengikut madzhab ini mereka memelihara hukum fiqh dari para ulama madzhabnya, dan menguatkan madzhab mereka dengan mengemukakan kaidah – kaidah yang kuat. “
Seiring berjalannya waktu metode tersebut berkembang dan menghasilkan kitab-kitab ushul fiqh dari aliran masing-masing. Kitab Jam’ul Jawami yang ditulis oleh Ibnu Subki dari ulama mazhab Syafi’i, sedangkan Kitab al Tahrir yang disusun oleh Kamaluddin Ibn Al-hummam yang ditulis dari mazhab Hanafi.[28]

C. Penutup
Sejarah munculnya ilmu ushul sudah ada sejak masa Rasulullah, ilmu tersebut muncul secara bersamaan dengan munculnya ilmu fiqh, meskipun dalam kenyataanya, ilmu fiqh disusun terlebih dahulu dari ilmu ushul. Namun dalam parktiknya manusia telah menggunakan ilmu ushul meskipun belum menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri. Karena ilmu ushul adalah alat untuk ber-istinbath dalam menghasilkan ilmu fiqh. Pada masa Rasulullah, ilmu ushul belum terlihat di mata masyarakat  & kegunaanya masih terbilang sedikit, karena apabila ada suatu perakara yang hukumnya tidak terdapat dalam Alquran dan hadis maka akan langsung diputuskan oleh Nabi sendiri. Dalam memutuskan suatu permasalahan yang tidak didapati  dalam Alquran dan sunah Nabi memutuskannya dengan jalan ijtihad, namun ijtihad Nabi dengan lainnya berbeda karena apabila ditemukan kesalahan dalam ijtihadnya seketika itu turun ayat atau wahyu yang memebenarkannya. Setelah beberapa kali kegiatan itu dilakukan oleh Nabi, beliau pun memberi izin pula kepada beberapa sahabat untuk melakukan hal yang sama sepertinya. Setelah itu, para sahabat satu per satu bermunculan melakukan kegiatan yang didapatinya dari Nabi yaitu ijtihad. Jadi, ketika Rasulullah sedang berada jauh dari mereka (sahabat) dan seketika itu muncul suatu perkara yang hukumnya tidak didapati dalam Alquran dan sunnah, para sahabat sudah siap untuk melakukan ijtihad. Ditambah lagi sahabat adalah orang yang sering bersama dengan Nabi. Jadi, apapun yang terjadi pada diri Nabi dan suatu hal yang diputuskan Nabi sahabat orang pertama yang mengetahuinnya. Dengan begitu, mereka dapat langsung mengerti sekaligus memahami cara Nabi berijthad atau memutuskan suatu hukum. Dalam hal ini sahabat melakukan ijtihad dengan berpedoman Alquran dan sunnah sedang ketetapan yang dihasilkannya dinamakan ijma’ sahabat. Kemudian setelah masa Nabi beralih ke masa tabi’in, pada masa ini metode istinbath semakin exis keberadaanya disebabkan perluasan wilayah sehingga memunculkan banyak persoalan yang harus dipecahkan dengan jalan ijtihad. Tahap terakhir  yaitu tahap pembukuan (Imam Mazhab). Pada tahap ini terdapat tiga masa yakni: masa sebelum Imam Syafi’i yaitu dipelopori oleh Imam Hanafi dan Imam Maliki, masa Imam Hanafi semakin terkenal kaidah ilmu ushul karena beliau banyak menggunakan qiyas dan istihsan dalam berijtihad. Sedangkan Imam Malik cenderung ketat dalam memutuskan suatu hukum karena adat/tradisi yang mempengaruhinya. Kemudian pada masa Imam Syafi’i ilmu ushul fiqh berhasil dibukukan dan menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri, dengan bukti tersusunnya kitab ar-risalah yang dicetuskan oleh Imam Syafi’i dan yang terakhir masa sesudah Imam Syafi’i, masa ini ilmu ushul semakin menunjukkan perkembangannya, beberapa karya lahir pada masa ini yakni pada abad ketiga, dan pada abad ini juga ilmu ushul mencapai masa keemasannya. Namun ketika pertengahan abad keempat keberadaan  ilmu ushul terjadi kemerosotan disebabkan karena hilangnya rasa percaya diri dari kalangan mujtahidin. Dengan itu mereka tidak lagi berani melakukan ijtihad dengan bebas karena mereka meyakini tidak ada lagi ulama’ yang memiliki kapasitas keilmuan kecuali ke empat madzhab mutlak ( Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Malik bin Anas da Ahmad bin Hanbal) dan mereka juga meyakini bahwa ijtihad sudah tidak lagi diperlukan karena semua persoalan fiqh sudah dibahas oleh imam sebelumnya. Meskipun  ilmu ushul fiqh terjadi kemerosotan menjadikannya semakin dipublikasikan dalam masyarakat. karena ilmu ushul adalah senjata atau dasar dari adanya ilmu fiqh.
D. Daftar Pustaka
Bakry, Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Basiq Djalil, A. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana
Djazuli, Ahmad. 2005. Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh. Jakarta: Zikrul Media Intelektual
Koto, Alaidin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada
Muthahhari, Murtadha & Ash-shadr, Baqir. 1993. Pengantar Ushul Fiqhdan Ushul Fiqh Perbandingan. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Rahman Dahlan, Abd. 2016. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah
Shidiq, Sapiudin. 2017. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana

Catatan:
1.      Similarity sebanyak 6%. Selamat!!!!
2.      Saya di kelas sudah mengatakan tidak boleh mengambil referensi dari website dan blog. Mengapa masih dilanggar?
3.      Abstrak tolong diperbaiki, kok ada italic? Ingat, fokus makalah ini adalah pada aspek sejarah ushul fikih.
4.      Memang ada hadis Rasulullah yang menjelaskan tentang ushul fikih?
5.      Penutupnya tolong dipisah menjadi beberapa paragraf, jangan hanya satu, sebab terlalu panjang.

           



[1] Zulhusainihero, http://zulhusainihero.wordpress.com/2012/17/makalah-ushul-fiqh-sejarah-perkembangan-fiqh/, diakses pada tanggal 17 Februari 2018 pukul 10.23 WIB
[2] Murtadha Muthahhari & Baqir Ash-shadr, Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 4
[3] Amir Syariduddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 42
[4] Ahmad Dzajuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.7
[5]Amir Syarifuddin, ......Op.Cit., hlm. 42
[6] Staria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 16
[7] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet.4, hlm. 81
[8] Murtadha Muthahhari dan Baqir Ash-shadr,....Op.Cit., hlm. 149
[9] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet.1, hlm.18-19
[10] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.27

[12]Satria Effendi, Ushul..., Op.Cit. hlm. 16-17
[13] Alaiddin Koto,...,Op.Cit., hlm. 29
[14] Basiq Djalil,...,Op.Cit., hlm.19
[15]Alaiddin Koto,...,Op.Cit., hlm. 29-30
[16] Amir Syarifuddin,...,Op.Cit., hlm. 43
[17]Alaiddin Koto,...,Op.Cit., hlm. 32
[18] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Cet. 3, hlm. 12
[19]Firdaus, Ushul Fiqh, (Jakarta: Zikrul Media Intelektual, 2004), hlm. 12
[20] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amza, 2016), Cet.4, hlm.24
[21]Alaiddin Koto,...,Op.Cit., hlm. 33
[22] Abd. Rahman Dahlan,...,Op.Cit., hlm. 24-26
[23] Adb. Rahman Dahlan,...,Op.Cit., hlm. 24-25
[24] Amir Syarifuddin,...,Op.Cit., hlm. 45
[25] Abd. Rahman Dahlan,...,Op.Cit., hlm. 26-27
[26] Amir Syarifuddin,...,Op.Cit., hlm.46
[27]Abd. Rahman Dahlan,...,Op.Cit., hlm. 28-29
[28]Amir Syarifuddin,...,Op.Cit., hlm. 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar