Rabu, 29 November 2017

Demokrasi dalam Alquran dan Hadis (PAI D Semester Ganjil 2017/2018)




Puspita Dewi Qurroti A’yun            (16110144)
 Muchtar Affan Maulana                 (16110155)
PAI D Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
This article discusses Democracy in the Qur'an and Hadith. Before discussing democracy in the perspective of Islam we must know the meaning of democracy and how the history of democracy in general. In the sense of democracy there are opinions according to some experts on the meaning of democracy as well as discussing the history of democracy in a general perspective of the history of the emergence of democracy from the West and the history of the development of democracy in Indonesia. Then discuss how democracy in the Qur’an and Hadith, also mentioned verses of the Qur’an and hadith about democracy and the history of democracy in the perspective of Islam is the history of democracy since the time of the Prophet.

Keywords: Democracy, Definition, History, Al-Quran and Hadith.

Abstrak
Artikel ini membahas tentang Demokrasi dalam al-Quran dan Hadis. Sebelum membahas demokrasi dalam perspektif Islam kita harus mengetahui pengertian demokrasi serta bagaimana sejarah demokrasi secara umum. Dalam pengertian demokrasi terdapat pendapat menurut beberapa ahli mengenai pengertian demokrasi serta membahas sejarah demokrasi dalam prespektif umum yaitu sejarah kemunculan demokrasi dari Barat dan sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia. Kemudian membahas bagaimana demokrasi dalam al-Quran dan Hadis, disebutkan juga ayat-ayat al-Quran dan hadis tentang demokrasiserta sejarah demokrasi dalam prespektif Islam yaitu sejarah demokrasi sejak zaman Nabi.

Kata Kunci : Demokrasi, Pengertian, Sejarah, al-Quran dan Hadis.

A.  Pendahuluan
Pada mulanya Islam belum mengenal Demokrasi, kata Demokrasi baru dikenal dalam Islam pada abad 5 M. Munculnya Demokrasi sebenarnya adalah bentuk tanggapan atau respon Islam terhadap kejadian buruk monarki dan kediktaktoran di negara-negara tertentu, seperti contoh di Yunani Kuno, kemudian ide-ide demokrasi mulai berkembang pada abad 16 M. Tentang kontrak sosial dan kedaulatan rakyat yang diperkenalkan oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778)[1].
Dalam Islam demokrasi sering disebut dengan istilah syura yang berarti Musyawarah.Para pemikir Muslim terbagi menjadi beberapa kelompok dalam membahas demokrasi dan syura. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa demokrasi dan syura memiliki kesamaan begitu pula ada yang mengatakan bahwa keduanya saling bertolak belakang. Untuk itu, perlu mengetahui penjelasan dari ajaran-ajaran Islam tentang bagaimana perspektif Islam mengenai syura serta bagaimana kaitan syura dengan demokrasi yang berasal dari konsep Barat. Kemudian bagaimana praktiknya dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam dunia politik. [2]
B.  Pengertian Demokrasi
Pengertian Demokrasi secara umum sudah tidak asing lagi didengar oleh khalayak umum. Memang benar secara tidak langsung sebagian masyarakat telah mengaplikasikan demokrasi dalam kehidupan, baik itu masyarakat menyadari, muapun tidak menyadarinya. Meskipun demikian substansi dan konsep demokrasi belum seutuhnya mereka (masyarakat) fahami dan hayati tentang demokrasi sehingga untuk menyentuh pada hakikat demokrasi beberapa masih belum bisa mengimbangi, atau sikap yang dicerminkanya pada suatu dialog atau perbincanganya belum Demokratis karena belum sampai menyentuh tahap hakikat tadi, maka perlu halnya mengetahui dan mengerti tentang definisi.
Secara asal-muasal atau ditinjau dari sudut katanyadari bahasa Yunani kata Demokrasi berasal dari dua penggalan suku kata, yakni“demos”dan“Kratos”[3], kata demos berarti “rakyat, warganegara, atau masyarakat, sedangkan kata kratos memiliki arti kekuasaan atau kewenangan. Jika digabung kata demos dan kratosberarti“Rakyat yang Berkuasa”yaitu suatu negara dimana keadulatan pemerintahanya terletak kepada rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar, pernyataan tersebut sejalan dengan pasal 1 ayat 2 undang-undang dasar 1945.
Nurcholis Majid juga menjelaskan tentang Demokrasi, dalam pandangan beliau menjelaskan bahwa kata demokrasi bermakna kata kerja bukan bermakna kata benda[4], karena menurutnya jika menjadi kata kerja berarti mengandung makna yang dinamis, dan harus diupayakan. Sehingga dalam penafsiranya, demokrasi Ialah proses dimana penduduk atau warganegaranya berupaya untuk menuju dan menjaga civil society (Masyarakat umum) yang menghargai, menghormati, dan mewujudkan nilai-nilai demokrasi.
Terdapat pendapat lain tentang pendefinisian Demokrasi, kata demokrasi berasal dari dua buah suku kata“demos”dan“cratein”dua suku kata tersebut sama-sama dari Yunani yang memiliki arti“demos”berarti“rakyat”dan kata“cratein” memiliki arti“Pemerintahan”, jika digabung kata Demokrasi memiliki arti “pemerintahan oleh rakyat”[5], dalam penjelasanya pemerintahan oleh rakyat memiliki makna tersendiri, terdapat 3 (tiga) penjelasan yakni;[6]
a)      Pemerintahan yang dipilih oleh rakyat
b)      Pemerintahan oleh rakyat (bukan kaum bangsawan)
c)      Suatu pemerintahan oleh rakyat kecil atau “wong cilik
Namun demikian, hal yang terpenting didalam pemerintahan bukan tentang siapa yang memilih saja, namun siapa pemimpin yang dipilih oleh masyarakat atau rakyat juga menjadi hal yang terpenting, percuma ketika mendapatkan pemimpin yang misikin moral kaya harta (bangsawan) yang ada hanya merusak budaya atau tatanan suatu negara. Meskipun secara harfiah demokrasi memiliki makna pemerintahan oleh rakyat, namun secara operasional demokrasi memiliki makna atau arti yang beragam. Jika diteropong dari sudut pandang pemerintahan Demokrasi memiliki pengertian suatu sistem pemerintahan dimana warga negara memiliki hak-hak dan kewajiban serta kedudukan yang tepat yang telah dibuat dan disepakati bersama. Beberapa ahli juga mendefinisikan tentang demokrasi, terdapat 4 tokoh ahli yakni;[7]
1)      Pendapat Joseph Schmeter
Demokrasi adalah suatu rencana institusional, dimana individu memperoleh kekuasaan dengan perolehan yang kompetitif atas suara rakyat dari suatu putusan politik.
2)      Pendapat Sidney Hook
Demokrasi adalah suatu pemerintahan dimana jika ada hal-hal penting dalam
memutuskanya didasarkan kepada masyarakat dewasa baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
3)      Pendapat Philippe C. Schmitter
Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana ia dimintai pertanggung jawaban oleh masyarakat atau warganegara atas hal-hal yang telah mereka lakukan, bertindak secara tidak langsung dengan wakil-wakil rakyat yang telah terpilih.
4)      Pendapat Henry B. Mayo
Demokrasi adalah sebuah sistem yang kebijakan umumnya ditentukan atas dasar kesepakatan mayoritas wakil-wakil rakyat kemudian diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala dengan memperhatikan prinsip kesamaan politik, dalam penyelenggaraanya dilakukan dengan jaminan kebebasan politik.
Banyak tokoh lain yang juga menyinggung tentang demokrasi tidak hanya tokoh-tokoh luar negeri saja, tokoh-tokoh di Indonesia juga banyak yang menyampaikan pendefinisanya tentang demokrasi seperti definisi lain Demokrasi adalah keadaan negara dengan posisi keadaulatan berada ditangan rakyat, kemudian kekuasaan tertinggi dalam memutusan juga bersama keputusan rakyat, pemerintahan dari rakyat dan kekuasaanya oleh rakyat[8].
Dengan banyak penafsiran tentang demokrasi wajar jika seseorang tidak asing lagi dengan Demokrasi, namun dalam penerapan dan pendefinisanya secara hakikat masih beberapa masyarakat yang belum dimengerti. Oleh karena halnya dapat ditarik kesimpulan, hakikat dari demokrasi adalah segala bentuk aktivitas tentang negara rakyat atau warga negara memiliki kekuasaan penuh untuk mengerti dalam artian setidaknya tau dengan cara memusyawarahkannya bersama rakyat karena kekuasaan terletak pada tangan rakyat dalam pelaksanaanya diatur oleh undang-undang dasar.
Sehingga Demokrasi dalam pengaplikasianya tidak meninggalkan unsur-unsur pengawasan, kebebasan yang diatur, akuntabel, dan transparan yang tentunya tidak meninggalkan rakyat atau warganegara atas putusan atau kebijakanya, dengan kata lain secara sederhananya didalam demokrasi terdapat unsur utamanya yakni Musyawarah.
C.  Sejarah Demokrasi
1.      Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Barat
Istilah demokrasi telah diperkenalkan dan dipraktikkan pertama kali di Yunani Kunopada beberapa abad sebelum Masehi. Implementasi demokrasi dilakukan secara langsung. Pada waktu itu istilah negara dalam skala kota disebut polis. Di pusat polis terdapat agora (yang tersedia dalam polis) menurut masyarakat Yunani yaitu tempat pertemuan umum dimana rakyat berkumpul membahas dan membicarakan segala masalah negara. Rakyat mempunyai kesempatan memberi usulan kepada pemerintah, sebagai rujukan untuk perumusan kebijakan negara. Penduduk pada negara kota sekitar 300.000 an. Tidak semua warga polis boleh membicarakan negara hanya terbatas pada orang dewasa, tidak berlaku bagi wanita, pedagang pendatang dan budak-budak. Jadi rata-rata tidak lebih dari 5000 orang dan sangat sedikit yang melebihi jumlah 20.000 orang yang masuk kategori warganegara.[9]
Terdapat ratusan negara kota (polis) dengan berbagai ukuran dan bentuk pemerintahan, dan jenjang peradaban. Dari ratusan negara kota tersebut, ada satu negara kota yang paling berpengaruh bagi perkembangan pemikiran politik, khususnya tentang demokrasi yaitu negara kota Athena. Karena pengaruhnya yang luar biasa terhadap filsafat politik, dan dijadikannya sebagai contoh utama yang baik dari partisipasi warga negara.[10]
Athena merupakan negara kota (polis) sejak abad ke 7 sebelum Masehi. Athena disebut negara aristokrasi karena diperintah oleh kaum bangsawan. Sistem pemerintahannya menimbulkan banyak masalah seperti masalah politik, ekonomi dan sosial. Pada awal ke 6 sebelum Masehi terjadi perubahan sosial. Solon berjasa dalam hal memulihkan hubungan persahabatan di antara kelompok-kelompok yang bertikai ke keadaan semula. Sehingga lahirlah sebuah sistem pemerintahan yang demokratis. [11]
Solon adalah seorang pembentuk undang-undang, yang mulanya adalah seorang penyair. Prinsip memulihkan hubungan persahabatan antar kelompok-kelompok menurut Solon adalah memberikan jalan adil yang memuaskan pada semua pihak. Diberikannya hak-hak dan kemudahan-kemudahan kepada golongan yang mayoritas miskin tanpa terlalu menghilangkan hak-hak dan keistimewaan yang dimiliki kaum minoritas yang kaya. Prinsip demokrasi berdasarkan hukum Solon dicontohkan dengan rakyat diberikan hak untuk mengikuti dan memungut suara dalam sebuah dewan yaitu Ecclesia. Dengan dasar faktor kekayaan karena hasil keringat, hak-hak dan kedudukan politik diberikan bukan kepada faktor kelahiran.Wewenang dewan yang disebut Ecclesia yaitu dapat memilih pejabat negara, mengesahkan undang-undang, dan sebagainya. Prinsip demokrasi di Athena sudah cukup maju, namun dalam praktek pemerintahannya tidak berubah menjadi demokratis yang sebenarnya. Sebab, rakusnya kekuasaan dari para bangsawan yang kuat.[12]
Kemudian Cleisthenes melakukan perubahan dan pembaruan dalam sistem pemerintahan di Athena pada 508 sebelum Masehi. Cleisthenes pada 510 sebelum Masehi memperoleh kekuasaan politik setelah pemerintahan penguasa tiran yang lalim yaitu Hipias yang dilengserkan oleh sekelompok bangsawan atas bantuan Sparta. Bentuk pemerintahan yang dibangun Cleisthenes disebut “demokratia”.[13] Demokrasi di Athena yaitu rakyat bermufakat untuk memutuskan berbagai persoalan yang dihadapi oleh negara kota tersebut. Hal ini berarti bahwa Yunani sangat menghargai individu yang memiliki informasi, tanggung jawab, dan rasa keingintahuan yang tinggi. [14]
Sistem pemerintahan demokrasi di Athena berkembang juga di kawasan Helena (Yunani) dan mengalami pasang surut sekitar 200 tahun. Berbagai macam peristiwa yang menyebabkan masa depan suram bagi kelangsungan demokrasi saat Lembaga-lembaga demokrasi mencapai puncak perkembangannya. Kemudian Athena melakukan ekspansi ke beberapa negeri yang mengakibatkan robohnya beberapa negara kota. Akhirnya menjadi pendorong pecahnya Perang Peloponnesia selama 27 tahun. Perang ini meruntuhkan dan mengakhiri masa kejayaan sistem pemerintahan demokrasi Athena. Kemudian negara-negara kota di Yunani menjadi sasaran serangan bagi raja dan petualang Macedonia, Philip II (382-336 sM).[15]
Pengalaman sejarah dan percobaan demokrasi Yunani Kuno menjadi salah satu faktor munculnya gagasan, ide, dan lembaga demokrasi pascakekalahan negara kota Athena. Kemudian ide-ide tersebut berlangsung di Romawi Kuno.[16]Ketika wilayah Yunani dipersatukan dengan Romawi sistem pelaksanaan demokrasi mengalami perkembangan. Romawi sebagai negara besar, tentu tidak mempraktekkan demokrasi langsung seperti yang dipraktekkan bangsa Yunani. Romawi memodifikasi ide demokrasi langsung model Yunani dengan menjadikan ibu negara Romawi, Roma sebagai negara kota (polis), dengan pengertian yang luas yakni sebagai perwakilan negara Romawi. Daerah diluar Roma harus menyetujui apa yang diputuskan di Roma. Sumbangan yang diberikan Romawi adalah memberi kesadaran bahwa menjadi negara kuat, negara memerlukan sistem kenegaraan. Pelopor salah satu bentuk sistem ketatanegaraan yang berbentuk negara republik adalah Romawi. Sistem yang mengabdi pada kepentingan umum.[17]
Pada abad pertengahan yang dimulai sekitar 476 M merupakan runtuhnya Kerajaan Romawi Barat.[18]Penyebab utama runtuhnya kerajaan Romawi adalah karena para penguasanya mulai meninggalkan prinsip-prinsip demokrasi dalam sistem pemerintahannya, dengan lebih menekankan kepada cara memerintah yang bersifat oligarki dan tirani.[19] Pada abad ini gagasan demokrasi Yunani Kuno berakhir. Masyarakat pada abad ini dicirikan oleh struktur masyarakat kaum bangsawan, kehidupan spiritual dikuasai oleh Paus dan pejabat agama, dan kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan di antara bangsawan. Jadi kaum bangsawan dan kaum agamawan yang menentukan kehidupan sosial politik dan agama pada masa itu. Maka pada abad pertengahan (abad kegelapan) demokrasi tidak muncul.[20]
Dengan situasi dan kondisi politik tersebut melahirkan perkembangan demokrasi Abad Pertengahan dengan ditandainya peristiwa munculnya Magna Charta, yang menumbuhkan kembali keinginan menghidupkan demokrasi. Magna Charta sebagai suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John di Inggris. Dalam piagam ini ditegaskan bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus untuk bawahannya. Selain itu terdapat dua prinsip yang sangat mendasar :pertama, adanya pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. [21]
Gerakan renaissance dan reformasi merupakan momentum yang menandai kemunculan kembali demokrasi di Barat sebelum Abad Pertengahan berakhir. Pertama, Renaissance merupakan gerakan yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno. Gerakan ini lahir di Barat karena adanya kontak dengan dunia Islam pada puncak kejayaan peradaban ilmu pengetahuan, dan hal ini telah mengilhami munculnya kembali gerakan demokrasi. Orang mematahkan semua ikatan yang ada dan menggantikannya dengan kebebasan bertindak seluas-luasnya sesuai dengan apa yang dipikirkan pada masa renaissance.[22]Kedua, Munculnya gerakan reformasi pada abad 16, yang merupakan revolusi terhadap kekakuan agama Kristen Katolik, yang menyerukan kebebasan berpikir pada manusia, dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan pada kontrak sosial dan hukum alam, yang berlandaskan pada prinsip trias politica dari Montesquieu.[23]
Pada abad ke 19 munculnya gagasan konstitusionalisme di Eropa. Hak-hak politik rakyat dan hak-hak asasi manusia secara individu merupakan tema dasar dalam pemikiran politik (ketatanegaraan). Untuk itu, timbullah gagasan tentang cara membatasi kekuasaan pemerintahan melalui pembuatan konstitusi yang tertulis maupun tidak tertulis. Salah satu ciri penting pada negara yang menganut gagasan ini adalah sifat pemerintah yang pasif, artinya pemerintah hanya menjadi pelaksana sebagai keinginan rakyat yang dirumuskan oleh wakil rakyat di parlemen. [24]
Konsep konstitusionalisme mulai digugat menjelang pertengahan abad ke 20 setelah perang dunia. Mariam Budiajo mengemukakan faktor kecaman gagasan ini adalah akses-akses dalam industrialisasi dan system kapitalis, tersebarnya paham sosialisme yang menginginkan pembagian kekuasaan secara merata serta kemenangan beberapa partai sosialis di Eropa. Gagasan konstitusionalisme bergeser kedalam gagasan baru bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Pemerintah tidak boleh pasif, harus aktif dalam melaksanakan upaya-upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakatnya dengan cara mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. [25]
Gagasan baru ini disebut sebagai gagasan Welfare State atau “Negara Hukum Material”. Tugas pemerintah Welfare State adalah membangun kesejahteraan umum dalam berbagai lapangan (Bestuurzorg) dengan konsekuensi pemberian kemerdekaan kepada administrasi negara dalam menjalankannya. Pemerintah ini diberikan kemerdekaan untuk bertindak atas inisiatif sendiri, tidak hanya bertindak atas inisiatif parlemen. [26]
Berdasarkan pernyataan diatas, sejarah dan perkembangan demokrasi di Barat diawali konsep demokrasi langsung yang dipraktekkan oleh bangsa Yunani Kuno yang berakhir pada abad pertengahan, karena para penguasanya mulai meninggalkan prinsip-prinsip demokrasi dalam sistem pemerintahannya. Menjelang akhir abad pertengahan lahirlah Magna Charta kemudian muncullah pada abad ke 16 gerakan renaissance dan reformasi yang menekankan pada adanya ha katas hidup, hak kebebasan dan hak memiliki. Kemudian pada abad ke 19 muncul gerakan demokrasi konstitusional yang melahirkan gagasan welfare state.[27]
2.      Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Awalnya Indonesia dijajah secara berturut-turut oleh Portugis, Perancis, Inggris, Belanda, dan Jepang sehingga keadaan ini sangat mengancam kehidupan masyarakat, nyaris tidak ada demokrasi. Kemudian Indonesia merdeka pada tahun 1945, rakyat dibebaskan sehingga kehidupan mereka lebih bebas dan demokratis.[28]
Perkembangan demokrasi di Indonesia terbagi dalam empat periode yaitu :[29]
a.       Demokrasi pada periode 1945-1959
Pada periode ini demokrasi dikenal dengan demokrasi parlementer. Sebulan setelah kemerdekaan Indonesia sistem parlementer di proklamirkan dan diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan 1950. Namun hal ini kurang cocok untuk Indonesia. Sistem parlementer dalam Undang-Undang Dasar 1950 yaitu yang mempunyai tanggung jawab politik ialah badan eksekutif yang terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta menteri-menterinya. Namun karena fragmentasi partai politik setelah kabinet masa itu jarang bertahan lama sehingga kerjasama yang dibangun mudah pecah dan mengakibatkan tidak stabilnya politik nasional. [30]
Beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam tatanan politik dan tidak ada kemampuan anggota partai yang tergabung dalam konstituate untuk mencapai kesepakatan bersama mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru. Hal ini menjadi faktor yang mendorong Ir. Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga berakhirnya masa demokrasi berdasarkan system parlmenter. [31]
b.      Demokrasi pada periode 1959-1965
Dominasi dari Presiden merupakan ciri-ciri periode ini. Adanya Dektrit Presiden 5 Juli dapat menjadi usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Akan tetapi banyak tindakan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya Presiden Ir. Soekarno pada tahun 1960 membubarkan DPR hasilpemilihan umum, sedangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas ditentukan bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan itu. [32]
Terjadi penyelewengan juga di bidang perundang-undangan dimana berbagai tindakan pemerintah dilakukan melalui Penetapan Presiden yang menggunakan Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Didirikan pula badan-badan seperti Fron Nasional yang dipakai oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, sesuai dengan strategi Komunisme Internasional menggariskan pembentukan Fron Nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat. Peristiwa G.30 S/PKI telah mengakhiri periode ini karena konflik politik dan ideologi kemudian hal ini memberikan peluang dimulainya demokrasi Pancasila. [33]
c.       Demokrasi pada periode 1965-1998
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 serta ketetapan-ketetapan MPRS merupakan landasan formil pada periode ini. Ketetapan MPRS No. XIX/1966 telah menentukan ditinjaunya kembali produk-produk legislatif dari masa Demokrasi Terpimpin yang berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964 diganti dengan Undang-Undang baru (No. 14/1970) yang menetapkan azas “kebebasan badan-badan pengadilan”.Pimpinan tidak lagi mempunyai status menteri dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong diberi beberapa hak kontrol, disamping ia tetap mempunyai fungsi untuk membantu pemerintah.[34]
Demokrasi Pancasila memandang kedaulatan rakyat sebagai inti dari sistem demokrasi. Karena rakyat mempunyai hak yang sama untuk menentukan dirinya sendiri.Namun dalam rezim Orde Baru Demokrasi Pancasila hanya sebagai retorika, belum pada penerapan. Karena tidak diberikannya ruang bagi kehidupan berdemokrasi dalam praktik kenegaraan dan pemerintahan. [35]
d.      Demokrasi pada periode 1998-Sekarang
Harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia yaitu dengan runtuhnya rezim otoriter Orde Baru. Bergulirnya reformasi mengiringi keruntuhan rezim yang menandakan tahap awal bagi peralihan demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase genting yang kritis. Dalam fase ini demokrasi akan ditentukan kemana arah yang akan dibangun. Fase ini dapat terjadi inversi perjalanan bangsa dan negara yang mengantarkan Indonesia memasuki masa otoriter kembali seperti yang terjadi pada periode orde lama dan orde baru. [36]
Tanda-tanda terwujudnya ke arah kehidupan demokratis dalam era transisi menuju demokrasi di Indonesia adalah menempatkan kembali dan merumuskan batasan TNI dalam kaitannya dengan keberadaannya pada negara demokrasi, diamandemennya pasal-pasal dalam aturan ketatanegaraan RI (amandemen I-V), kebebasan pers, dijalankannya kebijakan otonomi daerah, dan sebagainya. [37]
D.  Demokrasi dalam al-Quran dan Hadis
Al-Quran dan Hadis menetapkan beberapa prinsip pokok berkaitan dengan kehidupan politik, seperti al-syura, keadilan, tanggung jawab, kepastian hukum, hak-hak manusia, dan lain-lain, yang kesemuanya memiliki kaitan dengan syura atau demokrasi. [38]
Praktik demokrasi (syura) merupakan tradisi Arab sebelum Islam yang sudah turun-menurun. Pra-masa Islam orang-orang Arab mempunyai sebuah lembaga, dewan, atau badan yang disebut majlis, mala, dan nadi. Di dalam dewan ini, para leluhur Arab dari suatu suku atau kota memilih dan menentukan kepala pemerintahan suku atau kota mereka dan melakukan musyawarah untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Tradisi ini dipertahankan oleh Islam. Karena syura atau nadi merupakan tuntutan abadi dari sifat asal manusia sebagai makhluk sosial-politik. [39]
Islam mengubah lembaga syura  sebelum Islam yang berlandaskan pada suku atau darah, menjadi lembaga syura sebagai lembaga komunitas yang mementingkan prinsip hubungan Iman. Menjadikan kekuasaan yang sepenuhnya mencerminkan adanya kesepakatan seluruh anggota masyarakat. Setelah Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi dan rasul, beliau gemar berkonsultasi kepada sahabatnya dalam menyelesaikan persoalan yang ada. Ketika Nabi Muhammad berhijrah ke Yastsrib praktik demokrasi semakin mendapatkan tempat di tengah-tengah masyarakat. Di kota Yatsrib Nabi Muhammad membuat kesepakatan bersama yakni Piagam Madinah. [40]
Setelah Nabi Muhammad wafat praktik demokrasi tetap berlanjut dengan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama melalui proses pemilihan dengan cara musyawarah oleh para kelompok dan sahabat senior Arab. Selanjutnya, pada masa Abu Bakar melakukan musyawarah dengan sahabat senior tentang menghadapi kaum riddah, pemberangkatan pasukan Usamah, pengumpulan ayat-ayat AlQuran dan penunjukkan pengganti khalifah setelah beliau. Dalam pengangkatan Umar ibn Khattab sebagai khalifah selanjutnya memang berbeda dengan pengangkatan Abu Bakar. Melalui wasiatnya Abu Bakar menunjuk Umar ibn Khattab sebagai khalifah. Abu Bakar sebelum menunjuk Umar ibn Khattab melakukan musyawarah tertutup dengan sahabat seniornya. Jadi Abu Bakar menunjuk Umar ibn Khattab tidak atas kemauannya sendiri, tetap dilakukannya musyawarah. Pada masa pemerintahannya Umar membentuk majelis syura. Sebuah Lembaga yang menggelar sidang umum, sidang khusus, dan sidang terbatas serta membicarakan berbagai permasalahan.[41]
Kemudian pada pengangkatan khalifah ketiga dipilih dengan cara dibentuknya majelis syura yang beranggotakan enam orang yang telah dibentuk oleh Umar. Tetap dengan cara musyawarah pada kandidat tersebut yang pada akhirnya Usman bin Affan terpilih menjadi khalifah. Usman tidak banyak melakukan musyawarah secara terbuka, sehingga tingkatannya semakin menurun. Beliau hanya bermusyawarah dengan orang-orang terdekat dan orang kepercayaannya saja. Kemudian jabatan Usman beralih kepada Ali bin Abi Thalib. Pemilihan Ali hanya ditentukan oleh sahabat senior dan peserta Perang Badar. [42]
Kepemimpinan yang berlangsung sejak masa Nabi Muhammad hingga keempat khalifah dapat dikategorikan pemerintahan dengan sistem politik demokrasi. Pertama, cara bermusyawarah dilaksanakan dengan kinerja yang jelas, dan diikuti oleh para tokoh senior yang tergabung dalam “dewan pemilih”. Kedua, pelaksanaan baiat oleh masyarakat. Ketiga, adanya kebebasan berpendapat pada rakyat. Keempat, penegakan keadilan. Kelima, para pemimpin Islam hidup sederhana. Dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad dan Khulafa’ur Rasyidin, telah membangun struktur dan landasan organisasi sosial politik bagi kerajaan dunia. [43]
Kemudian, dalam catatan Abdul Malik al-Sayed, sejarah Islam di zaman dinasti Abbasiyah terdapat suatu lembaga musyawarah disebut Dewan Syura. Anggota-anggota Dewan Syura merupakan pilihan rakyat dan dewan ini pula yang memilih kepala pemerintahan propinsi. [44]
Syura mengalami rekonstruksi yang diklaim sebagai sesuatu yang sama dengan demokrasi. Syura diterjemahkan sebagai lembaga musyawarah dewan rakyat yang berhak membuat keputusan politik berdasarkan musyawarah dengan suara terbanyak sebagai ukurannya dan atas nama rakyat yang mewakilkan. Hal ini diklaim sebagai demokrasi dalam Islam. Beberapa peniliti yaitu Yusuf Qaradhawi dan Ismail al-Anshari menganggap syura sebagai demokrasi Islam sedangkan Taufiq al-Shawi dan Taqi al-Din al-Nabhani menolak jika syura dikatakan identik dengan demokrasi Barat. [45]
Manusia mengenal tiga cara dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, yaitu:[46]
1.      Keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.
2.      Keputusan yang diterapkan berdasarkan pandangan minoritas.
3.      Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas, dan cara ini biasanya menjadi ciri umum demokrasi.
Walaupun syura dalam Islam membenarkan keputusan pendapat mayoritas, tetapi menurut sementara pakar ia tidaklah mutlak. Karena Syura dilaksanakan oleh orang-orang tertentu yang mempunyai sifat-sifat terpuji serta tidak memiliki kepentingan pribadi atau golongan, serta pelaksanaannya sewajar saja agar disepakati bersama. Jika ada di antara mereka yang tidak menerima keputusan, hal ini bisa menjadi indikasi adanya sisi yang kurang berkenan di hati dan pikiran orang-orang pilihan walaupun mereka minoritas, sehingga perlu dibicarakan lebih lanjut untuk mencapai mufakat. Ini merupakan satu perbedaan antara syura di dalam Islam dengan demokrasi secara umum. [47]
Kemudian dari segi pengangkatan pimpinan, terdapat perbedaan yakni demokrasi menetapkan bahwa pimpinan diangkat melalui kontrak sosial, namun syura mengaitkannya dengan “Perjanjian Ilahi”. Seperti diisyaratkan dalam QS. Al Baqarah ayat 124 :
وَإِذِ ابْتَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ ۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا ۖ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
Artinya :Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam (pemimpin) bagi manusia.” Ibrahim berkata, “Saya bermohon agar pengangkatan ini dianugerahkan juga kepada sebagian keturnanku.” Dia (Allah) berfirman, “Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang zalim.
Dari sini lahir perbedaan yakni dalam demokrasi sekuler persoalan apapun dapat dibahas dan diputuskan. Sedangkan dalam syura tidak dibenarkan untuk memusyawarahkan segala sesuatu yang telah ada ketetapannya dari Tuhan secara tegas dan pasti serta menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Ilahi.[48]
Menurut al-Ashfani menjelaskan bahwasanya Demokrasi ada kaitanya dengan Musyawarah meskipun tidak sama persis namun terdapat banyak hal yang sama dari nilai yang terkandung dalam Demokrasi.Musyawarah diambil olehnya dari kata al-Tasyawur, al-Musyawarah dan al-Masyurah memiliki arti mengutarakan opini dengan tidak meninggalkan pertimbangan dari oranglain, sejalan juga dengan pendapat dari Habib M. Quraish Shihab menyatakan Musyawarah pada awalnya memiliki makna mengeluarkan madu dari sarang lebah.[49] Selain itu juga dikuatkan dengan pendapat lain dari versi umum bahwasanya demokrasi harus bangkit dari keinginan individu untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kaitannya ketika hal tersebut menyangkut kehidupan masyarakat (Harold Hongjukoh, 2000)[50]
Hal yang dimaksud sama antara Demokrasi dan Musyawarah dalam Islam yakni terletak pada konsepnya yang sama-sama rakyat memiliki hak ikut serta menentukan ketika negara mengambil kebijakan[51], dari sinilah alasan mengapa demokrasi dan musyawarah memiliki kemiripan atau saling berkesinambungan. Demokrasi mengandung unsur Musyawarah, lantas bagaimana Al-Qur’an  dan Hadits dalam menyikapi Musyawarah.
Al-Qur’an juga menyikapi tentang Musyawarah, hal ini dibuktikan dalam kandungan ayat Al-Qur’an pada Surat Ali ‘Imran ayat ke-159, kemudian dalam Surat al-Syura ayat 38.[52]
(AL-Qur’an Surat Ali ‘Imran: 159)
فَبِمَا رَحۡمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنۡتَ لَهُمۡ​ۚ وَلَوۡ كُنۡتَ فَظًّا غَلِيۡظَ الۡقَلۡبِ لَانْفَضُّوۡا مِنۡ حَوۡلِكَ​فَاعۡفُ عَنۡهُمۡ وَاسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِى الۡاَمۡرِ​ۚ فَاِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى اللّٰهِ​ؕ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الۡمُتَوَكِّلِيۡنَ.
Artinya: “Maka disebabkan karena rahmat dari Allah-lah kamu mempunyai perilaku yang lemah lembut kepada mereka. Sekiranya jika kamu memiliki sikap yang keras juga berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Oleh sebab itu maafkan mereka, mohonkan ampun mereka kepada Allah, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada-Nya, sesungguhnya dia (Allah) menyukai kepada orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Al-Qur’an Surat Ali’Imran: 159)
Dalam ayat tersebut menjelaskan tiga hal penting yakni tentang sifat dan sikap. Dalam Surat Ali’Imran ayat 159 semua sifat dan sikap secara berurutan diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk dilaksanakan sebelum melakukan musyawarah, tiga sifat tersebut yaitu berlaku lemah lembut, tidak kasar, dan tidak memiliki sifat dan sikap hati yang keras, meskipun dalam sejarah turunya ayat tersebut turun saat perang uhud, namun ayat ini memiliki makna yang berlaku global. Dalam penafsiran Imam al-Qurtubi ia menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk memaafkan kesalahan para sahabatnya, kemudian setelah dimaafkan maka nabi saw memohonkan ampunan kepada Allah SWT, baru setelah itu mereka (para sahabat) layak untuk diajak bermusyawarah.
Dapat ditarik sebuah pernyataan singkat dari ayat tersebut sebenarnya Allah memberikan pengajaran kepada umat muslim melalui Nabi Muhammad saw agar kita memiliki tekad yang bulat untuk memperoleh hasil yang dicapai dalam bermusyawarah dengan bertawakkal sepenuhnya kepada Allah SWT.
Dalam kata “wasyawirhum fil Amr” diperbolehkanya seseorang dalam berijtihad pada saat ketika memutuskan suatu ketetapan hukum baru atau perkara. Ijtihad berarti memusyawarahkan suatu permasalahan dengan seorang yang ahli dalam bidangnya untuk menetapkan suatu hal baru atau meperjelas dan lain-lainya, dengan dasar Al-Qur’an dan as-Sunnah (Hadis). Pendapat lain mengatakan tentang betapa pentingnya musyawarah Al-Mawardy misalnya, beliau menjelaskan dengan 4 poin didalam kandungan ayat tersebut :[53]
1)           Sesungguhnya Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk memusyawarahkan dalam memutuskan perkara tentang perang, agar supaya mendapat keputusan yang tepat.
2)           Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan Rasulullah Muhammad saw untuk bermusyawarah bersama dengan sahabatnya, hal ini bertujuan untuk menyenangkan hati para sahabatnya.
3)           Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan Rasulullah Muhammad saw untuk bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya bertujuan untuk supaya memberikan contoh musyawarah yang baik kepada umat-umatnya setelah sepeninggalan Rasulullah.
4)           Sesunggahnya Allah SWT memerintahkan baginda Rasul saw untuk bermusyawarah kepada para sahabat, dengan tujuan agar nampak jelas permasalahan yang dihadapi umat muslim.
Kemudian penjelasan terhadap Al-Qur’an Surat Al-Syura ayat 38, pada surat ini juga menjelaskan tentang Musyawarah,
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
Artinya: “Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan dari Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang permasalahan (urusan) mereka (diputuskan) dengan Musyawarah antara mereka: dan mereka menafkahkan sebagian riski yang ia peroleh dari yang kami berikan kepada mereka (Al-Qur’an Surat al-Syura: 38).
Pada Surat al-Syura terdapat penekanan atau lebih terlihat kandungan ayatnya terhadap Musyawarah, hal ini menunjukkan bahwasanya dalam Islam Musyawarah memiliki nilai yang mulia dan istimewa. Dari riwayat turunnya ayat tersebut memiliki dua makna ketika dianalisa, pertama umat Islam telah mengenal musyawarah sebelum mereka hijrah ke kota Madinah, kedua menunjukkan bahwa sebelum islam datang mereka telah mengenali tradisi Musyawarah, hal ini dibuktikan dengan adanya Dar al-Nadwah.Dar al-Nadwah adalah suatu tempat bertemunya kaum-kaum Quraish untuk membahas suatu permasalahan yang sedang dialami, selain itu di Madinah juga terdapat tempat yang serupa yakni berkumpulnya orang-orang suku Arab Madinah yang disebut dengan Saqifah Bani Saidah.[54]
Sebenarnya dalam Al-Qur’an kaitanya dengan Musyawarah tidak hanya dibahas dalam dua Surat tersebut, ternyata terdapat lagi pada Surat Al-Baqarah ayat 30-32;[55]

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ(30)
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ(31)
قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ(32)
Artinya:
"Ingatlah Ketika Tuhanmu telah berfirman kepada Malaikat-Malaikat; Sesungguhnya Aku (Allah) hendak menjadikan seorang khalifah di bumi, lalu mereka berkata seraya bertanya mengapa hendak engkau menjadikan orang (Khalifah) di bumi, padah mereka akan membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah? Padahal kami senantiasa mensucikan Engkau dan bertasbih memuji Engkau? Kemudian Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku (Allah) lebih mengetahui dari apa yang tidak kamu ketahui. (ayat 30)
Dan Dia mengajarkan kepada manusia (Nabi Adam) tentang nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian menyampaikanya kepada para Malaikat, lalu Allah berfirman: Sebutkan kepada-Ku nama-nama (benda) jika kamu memang benar-benar menjadi orang yang benar!. (ayat 31)
Lalu para Malaikat berkata; Maha suci Engkau ya Allah, Sungguh tidak ada yang kami (para Malaikat) ketahui selain dari apa yang Engkau telah mengajarkanya kepada kami, sesungguhnya hanya Engkaulah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. (ayat 32)[56].
Dalam ayat tersebut juga menjelaskan tentang musyawarah, yakni musyawarah tentang penciptaan awal manusia, disisi lain Allah memberikan pengajaran kepada kita akan pentingnya musyawarah sebelum memutuskan perkara, dari sini tentu musyawarah adalah sesuatu hal yang memiliki keutamaan dan membawa manfaat (kemaslahatan).
Dalam hadis juga terdapat kaitanya tentang Musyawarah, seperti hadis yang telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra yakni seseorang yang memberikan pendapat atau solusi kepada orang lain hal itu dapat dipercaya, berikut lafadz Hadisnya;[57]
حَدَّ ثَناَ ابنُ المُثَنَّى, حَدً ثَناَ يَحيَى بنُ أبِي بُكَيرٍ, حَدً ثَناَ شَيبَانُ, عن عبدِ المَلِكِ بنِ عُمَيرَ, عن أبي سلمةَ, عن أبي هريرةَ, قال: قال رسوللهِ صلّى اللهُ عليه وسلَّمَ: <المُستَشاَرُ مُؤْ تَمَنٌ>.
Artinya: “(Musyawarah/ orang yang dimintai pendapat atau solusi dalam musyawarah itu dapat dipercaya)”.
Menyikapi Hadis diatas, kami sependapat dengan pendapat imam al-Qurtubi bahwa saat ketika meminta pendapat kepada seseorang baik itu lebih tua ataupun tidak hendaknya sebagai peminta pendapat atau solusi harus memperhatikan penyolusi. Hal yang diperhatikan adalah ilmu yang dikuasainya harus benar-benar mapan dan mumpuni untuk memberi solusi sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Seperti contoh ada seorang meminta pendapat kaitanya dengan Ilmu Agama, maka sebagai peminta solusi harus melihat terlebih dahulu bagaimana keilmuan yang dimiliki seseorang yang memberi solusi dalam bidang Agama, hal ini berlaku dengan Ilmu-Ilmu yang lainya.
Sejalan dengan ulama’ dalam menetapkan hukum baru, sebelum para ulama’ menetapkan sebuah hukum (fatwa) maka ulama’-ulama’ tersebut melakukan ijtihad, seseorang yang melakukan ijtihad adalah Mujtahid, Dan perbuatan ijtihad adalah salah satu bentuk dari nilai musyawarah, dengan syarat sebagai seorang mujtahid yang telah ditetapkan, haruslah seorang mujtahid mumpuni dan lolos dari syarat-syarat sebagai seorang mujtahid salah satunya adalah menguasai pada bidang yang dikaji, bidang fiqh (Hukum) misalnya.
Juga terdapat hadis lain yang menguatkan yakni hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, kandunganya adalah bila mana ada seseorang pemimpin yang terpilih diantara kalian, orang-orang kaya juga sekalian orang-orang dermawan, jika dalam mengambil keputusan dengan musyawarah, maka segala yang nampak di bumi dari pada apa yang nampak didalam bumi. Seperti ini haditsnya;[58]
حَدً ثَناَ أحمَدُ بنُ سَعِيْدٍ الأَشقَرُ قال: حَدً ثَناَ يُونُسُ بنُ محمَّدٍ, وَهاَشِمُ بنُ القَاسِمِ, قالا: حَدً ثَناَ صَالِحٌ المُرِّيُّ, عن سَعِيدٍ الجُرَيْرِيِّ, عن أبي عُثمَانَ النَّهديِّ, عن أبي هُرَيْرَةَ, قال: قال رَسُول لله صلّـى اللهُ عليه وسلَّم: < إذَا كان أُمَرَاؤُكُمْ جِياَ رَكُمْ, وَأَغنِياَؤُكُمْ سُمَحَاءَكُمْ, وَأٌمُورُكُمْ شُورَى بَيْنَكُمْ فَظَهْرُ الأَرضِ خَيٌرٌ لَكُمْ مِن بَطْنلِهَا, < "397

Artinya: Bilamana pemimpin dari kalian adalah orang-orang pilihan diantara kalian, orang-orang kaya kalian semuanya dermawan, dan keputusan diambil dengan cara musyawarah, maka sesuatu yang nampak diatas muka bumi ini lebih baik bagi kalian dari pada apa yang tidak nampak didalam bumi. (397)
E.  Penutup
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa demokrasi secara umum adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Istilah “demokrasi” ini pertama kali muncul dan dipraktekkan di Yunani Kuno pada beberapa abad sebelum masehi yang terus mengalami perkembangan. Kemudian demokrasi di Indonesia muncul setelah merdeka dan dibagi menjadi empat periode.
Dalam al-Quran dan hadis demokrasi dikenal sebagai syura. Dalam membahas dan mengkaji demokrasi dalam al-Quran dan Hadis tidak bisa dilepaskan dari konsep musyawarah dalam al-Quran dan Hadis. Praktik demokrasi (syura) juga sudah dipraktikkan sejak Nabi Muhammad kemudian dilanjutkan dengan  pengangkatan 4 khalifah.




DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. Konsep Negara Demokrasi.Bandung: PT Refika Aditama, 2010.
Azra, Azyumardi. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.
Ranadireksa, Hendarmin. Arsitektur Konstitusi Demokratik. Bandung: Fokus Media, 2007.
Thaha, Idris.Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais. Jakarta: TERAJU, 2005.
Urbaningrum, Anas. Melamar Demokrasi Dinamika Politik Indonesia. Jakarta: Republika, 2004.
Al Hakim, Suparlan dkk. Pendidikan Kewarganegaraan dalam KonteksIndonesia. Malang: Madani, 2016.
Sumbulah, Umi dkk.Studi Al-Qur’an dan Hadis.Malang: UIN-Maliki Press, 2014.
Rosyada, Dede dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media, 2003.
Kementrian Agama. Mushaf Al-Awwal Al-Qur’an Terjemah 20 Baris. Bandung: Mikraj Khazanah Ilmu, 2011.
Azhary, Muhammad Tahir. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinahdan Masa Kini. Jakarta: Kencana, 2010.
Shihab, Quraish,Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat.Bandung: Mizan, 2007.
Sutana, Ija. Model Kekuasaan Legislatif dalam Sistem KetatanegaraanIslam. Bandung: PT Refika Aditama, 2007.

Catatan:
Makalah ini sudah oke. Hanya saja perlu diperbaiki penulisan footnotenya. Judul buku jangan dibuat kapital semua.


[1]Umi Sumbulah dkk., Studi Al-Qur’an dan Hadis (Malang: UIN-Maliki Press, 2014), cet. 1, hlm. 349.
[2]Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M.Amien Rais,(Jakarta: TERAJU,2005) hlm 33-34.
[3] Suparlan Al Hakim dkk., Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia (Malang: Madani, 2016), hlm. 190
[4]Ibid., hlm. 191
[5] Munir Fuady., Konsep Negara Demokrasi (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), cet. 1, hlm. 1
[6]Ibid., hlm 1.
[7]Ibid., hlm2.
[8] Dede Rosyada dkk., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm110.
[9]Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, (Bandung: Fokus Media, 2007) hlm77.
[10] Idris Thaha, DEMOKRASI RELIGIUS Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais,(Jakarta: TERAJU,2005) hlm 19.
[11]Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi,(Bandung: PT Refika Aditama, 2010) hlm 66.
[12]Ibid., hlm 66-67.
[13] Idris Thaha, DEMOKRASI RELIGIUS Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais,(Jakarta: TERAJU,2005) hlm 19.
[14]Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi,(Bandung: PT Refika Aditama, 2010) hlm 68.
[15] Idris Thaha, DEMOKRASI RELIGIUS Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais,(Jakarta: TERAJU,2005) hlm 21.
[16]Ibid., hlm 23.
[17]Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, (Bandung: Fokus Media, 2007) hlm 78.
[18]Ibid., hlm 80.
[19] Munir fuady, Konsep Negara Demokrasi,(Bandung: PT Refika Aditama, 2010) hlm 72.
[20] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003) hlm 126.
[21]Ibid.,
[22]Ibid.,
[23] Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi,(Bandung: PT Refika Aditama, 2010) hlm 75.
[24] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003) hlm 128.
[25]Ibid., hlm 128-129.
[26]Ibid.,
[27]Ibid., hlm 130.
[28] Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi,(Bandung: PT Refika Aditama, 2010) hlm 73.
[29]Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003) hlm 130.
[30]Ibid., hlm 131.
[31]Ibid.,
[32]Ibid.,
[33]Ibid., hlm 132.
[34]Ibid., hlm 133.
[35]Ibid.,hlm 134.
[36]Ibid., hlm 135.
[37]Ibid., hlm 140.
[38]Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan, 2007) hlm 634.
[39] Idris Thaha, DEMOKRASI RELIGIUS Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais,(Jakarta: TERAJU,2004) hlm 51.
[40]Ibid., hlm 52.
[41]Ibid., hlm 53.
[42]Ibid., hlm 54.
[43]Ibid., hlm 55.
[44] Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. (Jakarta: Kencana, 2010) hlm 116.
[45]Ija Sutana, Model Kekuasaan Legislatif dalam Sistem Ketatanegaraan Islam,(Bandung: PT Refika Aditama, 2007) hlm 24-26.
[46]Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan, 2007) hlm 635.
[47]Ibid., hlm 636.
[48]Ibid., hlm 637.
[49]Umi Sumbulah, Studi Al-Qur’an dan Hadis. (Malang: UIN-Maliki Press, 2014) hlm 350.
[50] Suparlan Al-Hakim, op.cit, hlm. 195
[51]Ibid., hlm 351.
[52]Ibid., hlm. 353.
[53]Ibid., hlm. 354.
[54]Ibid., hlm 356.
[55]Ibid., hlm 357.
[56] Kementrian Agama., Mushaf Al-Awwal Al-Qur’an Terjemah 20 Baris (Bandung: Mikraj Khazanah Ilmu, 2011), cet. 1, hlm4.
[57] Umi Sumbulah, op.cit, hlm 361.
[58]Ibid., hlm 363.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar