Rabu, 29 November 2017

Fiqih Indonesia (Studi Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudz) (PAI E Semester Ganjil 2017/2018)




NUR KARIMA (16110178) DAN HIMMATUL MILLAH (16110015)
FAKULTAS ILMU TARBIAH DAN KEGURIAN
PAI E 2017 UIN MALANG
Nurkarima63@gmail.com
Abstract
This paper discusses about Indonesian ulama, KH. Sahal Mahfudh. KH.Sahal mahfudh is islamic social movement. His idea come from that socio-cultural around. because it is a reaction to the action of the real. KH. Sahal Mahfudh is not only islamic social movement, he is writer. He was published many article, books as the reaction of the real.
Keywords: KH. Sahal Mahfudh, Islamic social movement, fiqih Indonesia
A.          PENDAHULUAN
A.1 LatarBelakang
Polapikir yang berjalan di erazaman nowseharusnyatidakdudukpadastagnansi, yang seharusnyamenjadiIslam kontemporer yang fahamakanperkembangan yang ada. Pemikiranmanusiamasakini yang telahbanyakmembaurdenganmajunyateknologi, harusdibarengidengansikapcerdas, cepatdancermatsertaselektifdalammenghadapitantanganzaman.
Jikaditelisik, kemunduranUmat Islam dikarenakankebekuandalamberpikir, sertakurangnyamembaca.Baikmembacahalhal yang tersuratmaupuntersirat.Membacahaltersuratsepertikitabkitab yang membahasmengenaiteologi, danhalhaltersiratsepertiibrahdarisebuahkejadian yang bisadijadikanpelajaranhendaknyatidakdiabaikan.

A.2 RumusanMasalah
1.      Siapakah KH. SahalMahfudh?
2.      Bagaimana corak pemikirah KH. Sahal Mahfudh?

B.           PEMBAHASAN
A.    Biografi KH. Sahal Mahfudz          
Sosok KH. Sahal Mahfudz tidak akan pernah ada habisnya bila diceritakan. Memiliki banyak peran, khususnya mengemban dalam bidang Agama berbasis sosial, sosok KH. Sahal Mahfudz  banyak dijadikan pedoman bagi masyarakat islam Indonesia. Sosok yang sangat bersahaja mencerminkan ketawadlu’an serta kesesuaian terhadap peran yang sedang diemban.
Selain menjadi penggerak sosial dan ekonomi masyarakat, tertanam dalam diri Kiai Sahal jiwa produktifitas menulis, baik artikel, tanya jawab maupun buku. Sebagian karyanya ialah Nuansa Fiqh Sosial (1994)
B.     Asal mula lahirnya fiqih sosial
Pemikiran seseorang lahir dari kondisi sosial budaya yang ada di sekitarnya. Karena hal tersebut merupakan reaksi terhadap aksi yang riil. Sebagai sosok intelektualis berkewajiban memberikan reaksi terhadap kasus kasus sosial. Respon yang berlandaskan terhadap keilmuan yang mendalam, penguasaan masalah secara komprehensif, kepekaan terhadap lingkungan sosial, daya analisis yang memadai. Kemudian munculah solusi solusi cerdas dengan spesifikasi ilmunya.
Sosok yang intelektual harus berani mengambil risiko dari pilihannya sebagai seorang agent of social change (agen perubahan sosial). Tentunya pilihan yang mengandung konsekuensi konsekuensi berat, harus mampu serta siap membaur bersama masyarakat, merancang program, ringan hati untuk turun tangan melakukan identifikasi dan bimbingan, motivasi, bantuan sarana pra sarana dan mengarahkan secara terus menerus, terhadap perubahan mental, ekonomi, budaya, dan moral yang lebih baik.[1]
Schipenhauer pernah mengatakan, Segala jenis ide brilian harus melalui tiga Tahapan. Dalam tahap pertama, ide tersebut akan mendapat cemoohan. Pada tahap ke dua, ide tersebut akan sangat ditentang. Dan pada fase terakhir yaitu fase ke tiga, ide tersebut akan dianggap terbukti dengannya sendirinya(self-evident).
Jika ditelisik, buah pikiran brilian sosok KH. Sahal Mahfudz dilatar belakangi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat Kajen yang kekurangan, ditambah lagi dengan tidak adanya lahan utuk bercocok tanam, semuanya telah dipadati oleh rumah masyarakat, serta tidak tersedia akses birokrasi. Solusi cermat dan efisien untuk meningkatkan integritas perekonomian warga Kajen agar maju, makmur sejahtera yang sesuai dengan kondisi tersebut yaitu enterpreneurship (kewirausahaan). Tentu saja, hanya dengan uluran dana ansich ekonomi tidak akan segera maju, maka dari itu harus ada team work yang memiliki solidaritas tinggi serta profesioal, berpengalaman memberi dorongan berupa motivasi, merancang program, merealisasikan, serta mengevaluasi secara berkelanjutan.
Kiai Sahal menghadadapi kendala teologis selama menjalankan progam transformatifnya. Kemiskinan dan Kefakiran dianggap masyarakat Kajen sesuatu yang biasa, bahkan simbol takdir tuhan terhadap umat islam. Asumsi dan persepsi tersebut memang ada landasan teologisnya, seperti firman Allah

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ [آل عمران : 185
“Dan tidak ada kehidupan dunia kecuali kenikmatan yang menipu”(QS. Ali Imran: 185)

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ  [الحديد : 20]
“Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan ana.” (QS. Al Hadid:20)
Hadis Nabi:

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia ibarat penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.” (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi, dan Ibn Majah)

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga dikelilingi dengan sesutu yang dibenci, dan neraka dikelilingi dengan kesenang-senangan.” (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi)
Ada doa Nabi yang masyhur,

ربي احيني مسكينا وامتني مسكينا
“Wahai Tuhan semoga engkau menghidupkan saya dalam kondisi miskin dan mecabut nyawa saya dalam kondisi miskin.”
Sumber Qur’an dan Hadis Nabi ini diperkuat oleh maqalah ulama’

حب الدنيا راءس كل خطية
“Mencintai dunia adalah pokok segala kesalahan”

هي الدنيا اقل من القليل وعا شقها اذل من الد ليل,  تصم بسحرها قوما وتعمي,  فهم متحيرون بلا دليل
“Ia adalah dunia, lebih sedikit daripada sesuatu yang sedikit, orang yang ambisius dunia lebih rendah daripada sesuatu yang rendah, dengan sihirnya, komunitas manusia menjadi tuli dan buta, mereka bingung tanpa ada petunjuk.”
C.     Konsepsi Dasar Fiqih[2]
Perkembangan dunia islam pada suatu titik, ilmu fiqih pernah menjadi bulan-bulanan. Keadaannyabikambing hitamkan sebagai “biang kerok” atas keterbelakangan dan kemunduran dunia islam. Kepustakaannya yang biasanya sering disebut “classical sourvice”, selalu di kootisasikan sebagai keusangan yang pada akhirnya  mengesankan sifat ke tinggalan zaman. Puing-puing seperti itu masih terasa, sehinnga sebagian dari kita mengalami gejala”(muraqabunnaqs” (kekurangan bertumpuk-tumpuk) dalam menghadapi masa modern ini.
Kebenaran fiqih (yang dipersiapkan sebagai kebenaran ortodoksi) dianggap telah “membelenggu” kreatifitas intelektual yang merupakan “pintu gerbang” kemajuan sebuah peradaban. Presepsi umat islam atas “dosa besar” dalam lintasan sejarah islam, serta adanya pandangan yang tidak proporsional terhadap fiqih itu di sebabkan tidak adanya penelitian sejarah perkembangan fiqih secara serius.
Banyaknya umat islam yang masih memposisikan fiqih sebagai sesuatu yang sakral, regid, eternal, tidak dapat berubah misalnya, atau pandangan sebagai  orientalis seperti Margoliouth, S, C Hourgronje, Joseph Scact, dan lain-lain yang menganggap fiqih sebagai  duplikat dari persoalan-persoalan adminitrasi dan hokum yang muncul pada masa Dinasti Umayyah dan tidak punya landasan otoritatif dari nash, adalh sebuah contoh  kelalaian terhadap sejarah konsepsi dan fakta serta perkembangan fiqih. Jadi, seandainya penelitian sejarah dilakukan dengan serius, maka tidak akan muncul “presepsi  yang salah” ahistoris tersebut. Lebih dari itu fiqih yang dikaji tidak semata-mata hanya menjadi historis saja tetapi bias kemungkinan menjadi perkembangan islam berikutnya. Karena mengkaji hukum islam (fiqih) pada dasarnya yaitu mengkaji islam itu sendiri.
D.    Pengertian fiqih Dan Ruang Lingkupnya
Kata fiqih (al-fiqh) yang artinya pemahaman, pengetahuan (tentang sesuatu), pengertian. Dalam Al-Qur’an, kata fiqih secara umum diartikan pengetahuan, pemahaman. Contohnya, di dalam firman Allah Q.S. At-Tauba (9 :122).
            “ Tidak sepatutnya orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka  beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang  agama dan untuk memberi peringatan kepada kamunya apabila mereka telah kembali kepadannya, supaya mereka itu menjaga dirinya.
Hal ini berbeda dengan terminology fiqihpada masa jahiliyah yang mencakup seluruh ilmu, tidak hanya agama. Kemudian, kurang lebih setelah abad ke-2 Hijriah ketika fiqih mengalami “penyempitan makna” (narrow of term) menjadi yurisprudensi hukum isalam.


Para ulama’ membagi hukum islam menjadi delapan[3]
  1. Hukum islam yang berkaitan dengan masalah keluarga seperti talak, nikah, nafkah keturunan disebut “ al-akhwal al-syakhsiyyah”
  2. Hukum islam yang berkaitan dengan akhlak baik dan buruk disebut “ adab”
  3. Hukum islam yang mengatur hubungan antar Negara dalam dalam keadaan perang dan damai “al-huquq al-dawliyah”
  4. Hukum islam yang mengatur  hubungan antar penguasa dan warganya  disebut dengan  disebut dengan “siyasah syari’iyah/al-ahkamu al-sulthaniyyah
  5. Hukum islam yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa antar sesame manusia  disebut “al-ahkam al-qadla
  6. Hukum islam yang berkaitan tentang adanya tindak pidana disebut “jinayah/uqubah”
  7. Hukum islam yang berkaitan dengan  ibadah terhadap Allah seperti shalat, puasa, haji
  8. Hukum islam yang berhubungan dengan hubungan antara manusia dalam memenuhi keperluan masing-masing yang berkaitan  dengan masalah harta dan hak-hak disebut “muamalah”
Dari delapan macam hukum islam ini dikerucutkan menjadi dua yaitu ibadah dan muamalah. Fiqih bukanlah “ilmu teoritis” (ulum nazhariyah) sebagaimana filsafat, melainkan “ilmu amaliyah” (ketentuan-ketentuan yang berlaku positif). Oleh karena itu, definisi ilmu fiqih yang baku sebagaimana dikemukakan  oleh Ibnu al-Subki adalah “al-ilm bi al-ahkam al-syariyati al-muhtasab min adillatiha al-tafshiliyah” (Ilmu tentang hukum-hukum syariat amaliyah yang digali dari dalil-dalil yang terperinci).
Dari definisi ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
  1. Fiqih adalah “ ilmu muktasab” yaitu ilmu garapann manusia, hal ini berbeda dengan ilmu Malaikat Jibril atau ilmu rasul yang berkaitan dengan wahyu. Oleh karena itu fiqih merupakan ilmu yang muktasab, maka penalaran (reasoning) mendapat tempat dan abash dalam batas-batas tertentu.
  2. Sasaran ilmu fiqih  adalah al-ahkam  al-amaliyah (hukum ril). Dengan demikian, fiqih berkaitan dengan pengaturan dan penataan  manusia yang bersifat ril, empiris dan positif, tidak seperti ilmu kalam (teologi) yang “njelimet” dan teoritis
  3. Sumber pokoknya adalah wahyu atau syara’ dalam bentuknya yang rinci (tafshiliyah) baik dalam Al-Qur’an maupun hadist melalui proses istidlal atau istimbath.
E.     Problematika Rumah Tangga
a.       Status Perempuan Dipinang
Menjawab dari Simpang siur pemahaman masyarakat mengenai status Perempuan dipinang, Kiai Sahal menjawab serta mengumpulkan dalam bukunya mengenai Status Perempuan dipinang.
Selama ini, hampir tidak pernah dijumpai pernikahan didahului prosesi peminangan terlebih dahulu terhadap calon mempelai perempuan. Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat meiliki kesadaran mengenai pentingnya peminangan.
Peminangan dalam literatur fikih disebut khitbah. Secara harfiah, khitbah adalah thalab a- rajul al mar’ah li az-zawj, Seorang laki laki meminta kepada pihak perempuan untuk melakukan pernikahan.
Secara terminologi, peminangan tidak berbeda jauh dari arti harfiahnya. Kompilasi Hukum Indonesia Mendefinisikan peminangan sebagai upaya ke arah hubungan perjodohan antara seorang laki laki dan perempuan.
Hukum peminangan yaitu sunnah, diperintahkan namun tidak sampai pada tinkat wajib. Meskipun Pernikahan berlangsung tanpa didahului peminangan, maka hukum pernikahan tersebut tetap sah karena tidak termasuk rukun dan syarat.
Banyak manfaat yang diperoleh dari prosesi khitbah. Melalui peminangan pihak laki laki dapat mengetahui kesediaan makhthubah (perempuan yang dipinang) untuk dinikahi.
                        Status Hukum
Antara peminangan dan  pernikahan sebenarnya terdapat perbedaan yang cukup jelas. Peminangan tidak lebih dari mukaddimah (permulaan) dari pernikahan. Dalam peminangan, pihak laki laki baru pada tahap pengungkapan prasaan atau berupa pengajuan tawaran kepada pihak perempuan untuk dinikahi. Tentu saja penawaran dapat diterima maupun ditolak. Sedangkan pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara laki laki dan perempuan yang telah sah menjadi suami istri dalam akad dengan tujuan membentuk keluarga.
Setelah peminangan, status Khatib dan makhthubah belum terjalinhubugan yang sah. Setelah keduanaya menikah barulah status resmi menjadi suami isteri. Mereka tidak diperkenankan melakukan sesuatu yang hanya diperkenenkan dilakukan oleh suami dan isteri. Seperti tidur bersama, berduaan di tempat sepi.
Pelarangan meminang perempuan yang telah dipinang pria lain menjadi timbal balik hukum pinang. Selama pinangan pria tersebut belum berakhir atau penolakan dari pihak perempuan.[4]
b.      Mengikuti Tradisi Potong Rambut Bayi
Pertanyaan mengenai tradisi di jawa memang tak ada habisnya, salah satunya mengenai tradisi potong rambut bayi. Kiai Sahal pernah menjawab mengenai Tradisi potong rambut bayi. Masyarakat Jawa begitu terkenal dengan beragam tradisinya. Mulai dari yang bersifat ritual, berbau mistis, sampai yang bersifat seremonial.
Generasi pendahulu sedikit banyak memberikan pengaruh tradsi. Dengan demikian ia selalu menghubungkan pada generasi pendahulu yang mada masanya kala itu memiliki pahan dan agama serta keyakinan yang berbeda beda sehingga tidak semua tradisi sesuai dengan syariat. Maka dari itu sebagai pewaris tradisi, hedaknya mengadopsi secara selektif, menibang terlebih dahulu dengan ukuran syariat.
Tradisi Potong Rambut biasanya disertai pemberian nama yang biasanya dilakukan pada hari ke tujuh kelahirannya. Tradisi tersebut sudah megakar di kalangan masyarakat dan tidak semua orang tahu apa dasar serta yang melatar belakangi hal tersebut. Apabila ditelisik, ternyata hal tersebut merupakan sunnah rasul. Memberi nama pada har ketujuh kelahirannya dan memotong rambutnya adalah sunnah.
Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh hakim, Rasul pernah mengatakan kepada sayyidah Fatimah setelah lahirnya sayyidina Hasan “potonglah rambutnya dan sedekahkanlah dengan al wariq (perak) sesuai dengan timbangan rambut itu.[5]
F.     Masalah Antara Hubungan Agama dan Negara
Sikap KH. Sahal dalam konteks hubungan agama dan negara (ulama’ dan penguasa) mengambarkan prinsip “akomodatif kritis”. Prinsip ini menuntut kemampuan para ulama’ untuk menjadi islam sebagai kekuatan yang integratif terhadap Negara. Islam dalam rumusan KH. Sahal  harus dipandang sebagai faktor komplementer  bagi komponen-komponen lain, bukan sebagai faktor tandingan  yang  justru  berpotensi meniptakan disintegrasi  terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. “ Islam dalam hal ini di fungsikan sebagai faktor integratif yang mendorong tumbuhnya partisipasi  penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan.[6]
KH. Sahal dengan demikian, sangat menentang  baik kelompok yang pro status quo maupun yang antipati terhadap kekuasaan. KH. Sahal ingin mengembalikan fungsi agama pada masa Rasulullah dan khulafa al-rosyidin, ketika agama dimainkan baik pada level struktur atau kultur.
1.      Masalah Krisis Ekologi
Dunia ini mengalami krisis global yang sangat serius,kompleks dan sangat multi dimensional. Krisis global itu antara lain penganggurandab angka inflasi yang membengkak, krisis ekologi berupa polusi, tingginya angka kejahatan  dan kerusakan lingkungan. Indonesia ini konon diramalkan bernasib sama seperti Mexico dalam krisis ekologi ini.
Bagaimana KH. Sahal mensikapi krisis ekologi (kerisis lingkungan) ini? Bagi KH. Sahal, krisis ekologi ini ditimbulkan dari pandangan manusia yang keliru terhadap alam atau apa yang oleh Fritjof  Capra disebut “krisis persepsi”. Manusia menganggap alam sebagai “prostitute”: Tubuhnya diekspolitasi dan sesudah itu di campakkan. Kepentingan ekonomi telah mengubah segalanya. Demikian KH.Sahal setiap aktivitas manusia akan diperhitungkan resikonya terhadap moral masyarakat. Semua di dasarkan atas untung dan rugi ekonomi “ini berbahaya”.
2.      Masalah Prostitusi Dan Landasan Seks
Melihat realita yang ada di masyarakat, maka pelacuran yang berkembang dimasyarakat  tidak hanya sebatas di alokasi, tapi lebih luas cakupannya. Luasnya Spelacuran berimplikasi pada sulitnya masalah tersebut. Solusi yang diberikan KH. Sahal, yakni sentralisasi lokasi pelacuran dalam rangka meminimalisir dari madlarat pelacuran adalah dalam rangka minimalisir dari madlarat pelacuran. Karena bagaimanapun  pelacuran tersebut tidak dapat dihapuskan, yang dapat dilakukan adalah minimalisir. Pendapat KH. Sahal itu didasarkan pada  akhafudz al-dlararain, yaitu mengambil sikap yang resikonya paling kecil dari dua macam bahaya (mudlorot).[7]
Kedua, melalui pendekatan sosiologis atau atau kasatif. Metode ini digunakan untuk mengetahui sebab-sebab dan latar belakang dari para pelaku pelacuran. KH. Sahal menyebut ciri ini sebagai “kunci utama” mengatasi prostitusi. Konsekuensinya jika pelacuran disebabkan kemiskinan, maka perlu diupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi yang “tepat sasaran” dan “tepat guna”. Jika akar persoalan karena minimnya pengetahuan agama, maka diperlukan upaya penanaman moralitas dan etika yang dilandasi semangat keagamaan. Prinsip KH. Sahal ini mengacu  pada kaidah ushul, sad al-dzari’ah yaitu menutup jalan yang menuju perbuatan trlarang.
3.      Masalah Pendidikan Integralistik
Pendidikan dalam prespektif  KH.Sahal adalah “ usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara terencana, sitematis, dan terarah. Bagi KH. Sahal, pendidikan bukan hanya sekedar memenuhi tuntutan pasar besar, meskipun memenuhi kebutuhan pragramatis juga penting. KH. Sahal sering menyebut, bahwasannya pendidikan harus  bernuansa pada penciptanya  manusia yang akram dan shalih. Akram merupakam pencapaian kelebihan dalam relavansinnya dengan makhluq khaliq. Akram juga mencakup etika pergaulan dengan masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Sedangkan shalih yaitu, manusia yang secara potensial mampu berperan terampil, aktif, dan berguna dalam kehidupan sesame makhluk.
Pandangan KH. Sahal itu didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam At-Tabrani dan Imam Baihaqi ”Setiap anak dilahirkan dalam keadaan bersih (fitrah), kedua orang tuanyalah yang menyahudikan, memajusikannya atau menasranikannya. Dari hadist ini KH. Sahal menarik kesimpulan, bahwa pendidikan tidak sekedar meningkatkan kualitas hidup fisik seseorang sebagaimana falsafa pendidikan moderen. Tetapi, pendidikan merupakan media pembentuk perilaku dan watak manusia.
4.      Masalah Zakat Dan Pengatasan Kemiskinan
KH. Sahal adalah seorang ulama’yang menentang legal-formal dalam memaknai zakat. Baginya zakat selain berdimensi ubudiyah  juga berdimensi social. Menurut KH. Sahal zakat adalah suatu cara untuk mempersempit jurang perbedaan pendapat dalam masyarakat, sehingga tidak menjadi kesenjangan social yang dapat yang dapat berpotensi chaos dan mengsnggu kehormatan bermasyarakat. Jadi  dalam pandangan KH. Sahal zakat adalah institusi untuk mencapai  keadilan social, dalam arti sebagai mekanisme penekanan akumulasi modal pada sekelompok kecil masyarakat.[8]
Selain zakat, KH. Sahal  juga mewajibkan nafaqoh . “Menurut ketentuan fiqih jika tidak ada baitul mal, maka wajib bagi kaum hartawan untuk memberi nafkah kepada kaum faqir miskin. Shodaqoh berbeda dengan nafaqoh. Yang disebut shodaqoh menurut KH. Sahal hukumnya sunnah. Meskipun seperti itu, shodaqoh bias dimanfaatkan untuk kesenjangan social. Jadi, zakat, shodaqoh dan nafaqoh merupakan media (wa’sail) yang disediakan islam  untuk mengatasi program kemiskinan umat islam.
Pendapat KH. Sahal di atas tidak hanya retorika seorang kiyai. KH. Sahal di atas tidak hanya mengaktualisasikan pendapatnya itu ke dalam aksi riil di masyarakat. Melalui Badan Pengembangan Masyarakat Pesantren (BPPM). KH. Sahal sendiri sebagai pengasuhnya telah melakukan banyak hal dalam kaitannya dengan pengentasan  kemiskinan, diantaranya adalah program pemanfaatan  dana zakat untuk kegiatan produktif, terutama di wilayah Pati.
G.    Metode Istimbat Hukum
KiaiSahalsebagaijamiyyahsekaligusgerakandiniyahdanijtimaiyyahmenjadikanfahamAhlussunnahWaljamaahsebagaidasarnyasejakawalberdirinyaNadhlatulUlama(NU).BeliaumenganutSalahsatudariempatmadzhabyaknimadzhabSyafii.
Dalamstrukturkepengurusannya,NUmemilikibermacammacamlembaga,salahsatunyalembagasyuriahyangbertugasantaralainmengadakanforumbahtsulmasail.ForumBahtsulmasailyaituyangbertugasmengambilkeputusanmengenaihukumhukumislam,yangberkaitandenganmasalahmasalahfiqih,tauhid,tasawwuf(thariqah).ForuminibiasanyadiikutiolehsyuriahdanulamaulamaNUyangberadadiluarstrukturorganisasi,termasukparapengasuhpesantren.
1.Metode Tekstual (Madzab Qauly)
Metode ini digunakan ketika memberikan fatwa hokum terutama di harian Suara Merdeka. Dalam oprasionalnya KH.Sahal menggunakan menggunakan kitab-kitab yang digunakan oleh ulama’ Syafi’iyah (bukan Syafi’i). Itulah sebabnya, A. Qodri Azizy menyebut isi ”fatwa KH. Sahal” itu 100% mendasarkan pada fiqih madzab syafi’I dan anti talfiq.
Kitab-kitab yang sering dijadikan  rujukan KH. Sahal  dalam memberikan “fatwa hokum” antara lain: al-Bajuri, Subul as-Salam, Fath al-Mu’in, Mizan al-Kubro, Rawa’I al- Bayan, al-Iqna,  dan lain lain. Sedangkan ulama’ yang sering dijadikan referensi antara lain: al- Rafa’I (w.623 H/1209 M), al-Qaffal (w.365/976), al-Razi (w.606/1209). Banyak kitab besar antara lain: al-Muhazzab, al-Majmu, al-Mukhtasar yang ditulis masing masing oleh Syra-zi, Nawawi, dan Muzani  jarang disebutkan. Apalagi kitab Syafi’I sendiri seperti al-Umm, al-Risalah, Musnad, Ikhtilaf, al-Hadist  dan lain-lain.[9]
            2. Metode Kontekstual (Madhab Manhaji)
            Dalam hal ini KH. Sahal sering mengatakan bahwa seorang kiyai/ulama’ harus memenuhi kriteria sebagai faqihun anil mashalih al-khalqi al-dunya seperti di ungkapkan Imam Al-Ghazali, artinya: seorang ulama’ harus mampu menangkap “pesan zaman” demi kemaslahatan umat di dunia. Untuk dapat “menangkap pesan zaman demi kemaslahatan umat” itu jelas membutuhkan  sebuah persyaratan  berupa bermadzab secara metodologis.
            Metode KH. Sahal dalam mengistimbatkan hukum  secara metodologis ini dengan cara menferifikasikan persoalan yang tergolong ushul (pokok/dasar)mdan permasalahan yang termasuk furu’, KH. Sahal terlebih dahulu melakukan identifikasi atau klasifikasi sebuah kebutuhan. Kebutuhan itu digolongkan menjadi tiga yaitu: hajjiyat (kebutuhan sekunder),  dlaruruyat (kebutuhan mendesak), dan tahsiniyyat (kebutuhan lux) yang disebut al-kulliyat al-syariyat. Ketiga hal itu menjadi tujuan syari’at (maqoshid al-syariah).[10]
H.    Epistimologi Fiqih social
Epistimologi adalah salah satu unsur ilmu filsafat. Filsafat melatih manusia berpikir ilmiah dalam mengatasi problematika kehidupan. Menurut Prof. Mulder, berpikir ilmiah itu mengandung khaiat-khasiat tertentu, yaitu mengabstrakkan  pokok persoalan bertanya terus sampai batas akhir yang diralasan dan berelasi (sistem). Jawaban yang disampaikan harus argumentatif, sistematis,  dan demi memperhatikan kebenaran.[11]
Kajian filsafat secara akademik mengandung tiga nilai
1.      Menurut objeknya bernilai “ontologik”
2.      Menurut metodenya bernilai “epistemologi”
3.      Menurut kebenarannya yang dicapainya mengandung nilai “etika-antropoligik”
Epistimologi mempersoalkan hal-ihwal pengetahuan, yang meliputi antara lain: Sifat hakikat pengetahuan, bagaimana memperoleh pengetahuan, Dari persoalan –persoalan yang dikemukakan yaitu berupa metode atau jalan penyelidikan kea rah tercapainya pengetahuan yang benar. Adapun metode yang dimaksud adalah metode analisis dan sintesis yang masing-masing dilengkapi dengan  peralatan induktif dan deduktif.


C.    PENUTUP
Kesimpulan
Memilikibanyakperan,khususnyamengembandalambidangAgamaberbasissosial,sosokKH.SahalMahfudzbanyakdijadikanpedomanbagimasyarakatislamIndonesia.Sosokyangsangatbersahajamencerminkanketawadlu’ansertakesesuaianterhadapperanyangsedangdiemban.Sehingga beliau dianggap sebagai penggerak sosial dan ekonomi di masyarakat. Pemikiranseseoranglahirdarikondisisosialbudayayangadadisekitarnya.Karenahaltersebutmerupakan reaksiterhadapaksiyangriil.
Selainmenjadipenggeraksosialdanekonomimasyarakat,tertanamdalamdiriKiaiSahaljiwaproduktifitasmenulis,baikartikel,tanyajawabmaupunbuku. Sudah banyak tulisan yang dipopulerkan oleh banyak orang.
KiaiSahalsebagaijamiyyahsekaligusgerakandiniyahdanijtima’iyyahmenjadikanfahamAhlussunnahWaljamaahsebagaidasarnyasejakawalberdirinyaNadhlatulUlama’ (NU).BeliaumenganutSalahsatudariempatmadzhabyaknimadzhabSyafi’ii.
Macam Metode Istimbat Hukumantara lain metodeTekstual(MadzabQauly)dan MetodeKontekstual(MadhabManhaji)Metode tekstual digunakanketikamemberikanfatwahukumterutamadiharianSuaraMerdeka.DalamoprasionalnyaKH.Sahalmenggunakanmenggunakankitab-kitabyangdigunakanolehulamaSyafiiyah(bukanSyafi’i). Sedangkan metode kontekstual KH.Sahalseringmengatakanbahwaseorangkiyai/ulamaharusmemenuhikriteriasebagaifaqihunanilmashalihal-khalqial-dunyasepertidiungkapkanImamAl-Ghazali,artinya:seorangulamaharusmampumenangkappesanzamandemikemaslahatanumatdidunia.Untukdapatmenangkappesanzamandemikemaslahatanumatitujelasmembutuhkansebuahpersyaratanberupabermadzabsecarametodologis.


D.    DAFTAR PUSTAKA
Asmani, Jamal Ma’mur. 2007 . Fiqh Sosial KH.Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi. Surabaya
Sumanto Al-Qurtuby, 1999,Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta, Adipura
Sahal Mahfudh,2010, Dialog Problematika Umat, Surabaya, Khalista
SahalMahfudh, 1994, NuansaFiqihSosial, Yogyakarya, LKiS Yogyakarta


Catatan:
Makalah ini sangat kacau dari aspek format dan konten.
Dari aspek format, kekacauannya tampak dari:
1.       Makalah ini tidak sesuai dengan format acuan makalah di kelas. Ini makalah kedua yang tidak sesuai dengan penjelasan saya di awal perkuliahan. Saya sangat kecewa pada Anda.
2.       Abstrak sangat sedikit kata-katanya dan tidak menunjukkan bahwa itu abstrak. Belum lagi hanya ada bahasa Inggrisnya.
3.       Penulisan footnote juga masih kacau.
4.       Daftar pustaka hanya empat? Anda harus pintar-pintar mencari referensi. Jika buku tentang KH. Sahal Mahfudh hanya empat yang ditemukan misalnya, mengapa Anda tidak mencari di jurnal? Anda juga bisa memanfaatkan buku-buku fiqih umum untuk menjelaskan konsep-konsep umum.
5. Perujukan sangat minim.

Dari aspek konten:
1.       Masak pendahuluan seperti itu? Itu sangat jauh dari kesan pendahuluan.
2.       Biografi yang dituliskan sangat tidak layak disebut biografi.
3.       Jika Anda mengikuti alur kajian yang ada dalam SAP niscaya makalahnya akan sistematis.

Intinya saya sangat kecewa dengan makalah ini.


[1]Asmani, Jamal Ma’mur. 2007 . Fiqh Sosial KH.Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi. Surabaya. hlm. 44
[2]Sumanto Al-Qurtuby, 1999,Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta, Adipura hal 35
[3]Ibid, hal 36-37
[4]Sahal Mahfudh,2010, Dialog Problematika Umat, Surabaya, Khalista.Hal 231-233
[5]Ibid, hal 250
[6]Ibid, hal 84
[7]Ibid, hal 106
[8]Ibid,  hal 111
[9]SahalMahfudh, 1994, NuansaFiqihSosial, Yogyakarya, LKiS Yogyakarta hal 34
[10]Sahal Mahfudh,2010, Dialog Problematika Umat, Surabaya, Khalista, hal 116
[11]Jamal Ma’mur Asmani , 2007, Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudh, Surabaya, Kalista hal 50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar