Rabu, 29 November 2017

Demokrasi dalam Alquran dan Hadis (PAI B Semester Ganjil 2017/2018)




Mella Zita A’yuni dan Mohammad Khozinatul Asror
Mahasiswa PAI-B Semester 3 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
            Democracy is one of discussion that became of the topic at the moment yesterday. It took place starting in the 19th century which gave rise to the word Western people in Government. From the appearance of the with all goals that finally is Islamic would like to try to use them in Government. The existence of the emerged Islamic thinkers are debating  there is democracy in the Qur’an and Hadith and are in accordance with Islamic itself. Not only that many Islamic thinkers who where also resistant democracy up to now causing enmity within Islamic itself. The existence of the problem in this discussion the author tried to examine with in detail from various sources tursted about and democracy in the quran and Hadith. The aim of this discussion well as the knowledge to let someone not easy shipped with things that are not in accordance of the nature of the religion of Islamic itself. The result of this shows that the concept of democracy in Islamic namedafter deliberation. It’sjust that the deliberations in this more extensive nature of democracy in Govemment and society it’s just that there are Islamic thinkers as sume equal and there is also considered different in some ways only.
Keyword: Democracy, Society, knowledge, deliberation, and government
Abstrak
Demokrasi merupakan salah satu pembahasan yang menjadi of the topic pada saat kemarin hingga saat ini. Hal tersebut berlangsung dimulai pada Abad ke 19 yang dimana orang barat memunculkan kata tersebut dalam pemerintahan. Dari munculnya tersebut maka dengan segala tujuan yang akhirnya dalam Islam ingin mencoba mengunakannya dalam pemerintahan. Dengan adanya tersebut maka bermuncullah para pemikir Islam yang memperdebatkan apakah ada demokrasi dalam Al-Quran dan Hadits dan apakah sesuai dengan Islam sendiri. Bukan hanya itu banyak para pemikir islam yang juga anti demokrasi hingga saat ini sehingga menyebabkan permusuhan dalam Islam sendiri. Dengan adanya permasalah tersebut maka dalam pembahasan ini penulis mencoba mengkaji dengan secara detail dari berbagai sumber terpecaya tentang demokrasi dalam Al-Quran dan Hadits. Tujuannya pembahsan ini juga sebagai pengetahuan agar seseorang tidakmudah terikut dengan hal-hal yang tidak sesuai dari hakikat agama Islam sendiri. Hasilnya dari hal tersebut menunjukkan bahwa konsep demokrasi dalam islam dinamakan musyawarah. Hanya saja musyawarah dalam demokrasi ini lebih sifatnya luas dalam pemerintahan dan masyarakat, hanya saja ada pemikir islam yang menggap sama dan ada pula menganggap beda di beberapa hal saja.
Keyword: Demokrasi, sosial, pengetahuan, pembebasan, dan pemerintahan


A.    Pendahuluan

Negara-negara di dunia Muslim pada pertengahan abad ke-19, terdapat sentuhan industry, komunikasi, lembaga-lembaga, dan gagasan-gagasan politik Barat terutama pada negara-negara Eropa. Dengan adanya sentuhan antara dunia Muslim dengan Barat maka muncullah pemikiran-pemikiran baru yang dikemukakan oleh pemikir Muslim dan sebagian pejabat dalam mempelajari dunia Barat,teruama pada sistem politik dan lembaga seperti demokrasi. Pada hal tersebut banyak sekali  pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari para pemikir Muslim antara lain, “apakah ada demokrasi dalam Islam?”, “Bagaimana sikap Islam terhadap demokrasi?”, “Apakah demokrasi Barat cocok dengan demokrasi Islam?”, dan “ Apakah Islam mendukung atau menentang prinsip-prinsip demokrasi?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendapat tanggapan dan reaksi dari pemikir-pemikir Muslim didunia. Ini berarti Islam dan demokrasi masih dalam masalah yang kontroversial dalam kalangan pemikir Islam baik secara teori maupun praktik.[1]
 Pada masa sekarang, musyawarah sangat diperlukan dalam kehidupan bekeluarga, bermasyarakat, ataupun berbangsa. Pada saat musyawarah maka  berlangsung dialog dan komunikasi sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dalam musyawarah. Sehingga masyarakat Indonesia menganggap bahwa musyawaeah merupakan hal yang penting. Tidak hanya dalam sistem politiknya saja, akan tetapi karakter dasar masyarakat.
 Musyawah pada Islam merupakan suatu wacana yang sangat menarik. Hal itu dikarenakan, didalam Al-Qur’an dan Hadis terdapat istilah dari musyawarah, sehingga dalam Islam musyawarah menjadi ajaran yang normative dan merupakan fakta wahyu yang tersurat. Bahkan pada kehidupan manusia musyawarah menjadi suatu hal yang mendasar. Ditengah perkembangan kehidupan manusia di Imdonesia, musyawarah senantiasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
Dengan adanya dinamika politik ketatanegaraan kita saat ini, diperlukan pengebangan model demokrasi Berketuhanan yang Maha Esa. Karena itu merupakan hal yang tepat, strategis, dan relavan.[2] Maka dalam urusan sosial politik tidak diperbolehkan menghilangkan tradisi dari musyawarah.[3]

B.     Demokrasi dan Musyawarah

Arti dari sebuah demokrasi dapat dilihat dari dua sisi yaitu ditinjau dari bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara bahasa arti dari sebuah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahnnya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.[4]
Sedangkan menurut istilah, demokrasi diartikan oleh banyak ahli antara lain: pertama, Joseph A. Schmeter mengemukakan bahwa demokrasi adalah suatu perencanaan lembaga dasar yang digunakan dalam mendapatkan keputusan politik yang didalamnya setiap orang dapat memiliki kekuasaan tersendiri agar mereka bisa memperjuangkan suara rakyat. Kedua, menurut Sidney hook demokrasi merupakan bentuk suatu pemerintahan yang didalamnya terdapat keputusan penting dari pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan terdapat keputusan terbanyak (mayoritas) yang diterima rakyat secara bebas. Ketiga, menurut Phillipe C. Schimitter dan Terry Lynn mengemukakan bahwa demokrasi yaitu suatu sistem pemerintahan yang didalamnya pemerintah harus bertanggungjawab atas semua tindakannya di wilayah publik oleh warga negara, yang dilakukan dengan tidak langsung yamg dilakukan dengan para wakilnya secara komperisi dan kerjasama. Oleh karena itu demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana rakyat yang berkuasa penuh dalam menentukan kehidupan dan menilai kebijakan negara. Rakyat berkuasa penuh dalam pemerintahan mengandung tiga hal: a) government of the people ( pemerintah dari rakyat), b) government by people (pemerintahan oleh rakyat), c) government for people (pemerintahan untuk rakyat).[5]
Musyawarah menurut Al-Asfahani dapat dilihat dari kata al-Tasyawur, al-Musyawarah dan al-Masyurah, yang berarti mengemukakan pendapat dengan mengambil pertimbangan dari orang lain. Sedangkan Ahmad Muhyiddin al-Ajuz berpendapat bahwa musyawarah yaitu dapat menghasilkan suatu keputusan yang baik dan dapat membuat kemaslahatan umat manusia dengan cara pertukaran pendapat.[6]
Ulama’ memiliki pandangan yang berbeda dalam menyikapi konsep demokrasi yaitu ada yang menerima dan ada juga yang menolak. Menurut Yusuf al-Qardhawi dalam Islam demokrasi dan musyawarah mempunyai kesamaan antara lain yaitu demokrasi memberikan bentuk dan beberapa sistem yang praktis untuk meminta pendapat rakyat dan kebebasan berpendapat yang mana hal tersebut juga termasuk bagian penting dalam musyawarah.
Jika ditelusuri kata musyawarah dan demokrasi memiliki perbedaan yang mendasar. Konsep musyawarah telah dikenal dan diterapkan oleh seluruh umat muslim, karena ia merupakan tuntunan yang telah diajarkan agama islam. Sedangkan konsep demokrasi yang mencetuskan dan yang mengenalkan adalah orang barat, selain itu demokrasi tidak diterapkan pada semua negara. Kedua istilah ini memang berbeda, akan tetapi memiliki kesamaan diantaranya yaitu[7]:
1.      Dalam sistem demokrasi dan musyawarah hakikatnya tidak dibatasi peraturan dan ikatan norma hukum yaitu berupa derajat yang sama, adanya kebebasan dalam berfikir, kebebasan memeluk agama dan adanya keadilan sosial.
2.      Dalam musyawarah dan demokrasi rakyat memiliki hak dan kebebasan dalam memilih wakilnya untuk menentukan kebijakan bersama dengan pemimpin yang dipilihnya. Yang mana dalam hal ini demokrasi dan musyawarah memberikan dan membuka kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta membuat keputusan yang akan disepakati.
3.       Pada dasarnya tetap tidak diperbolehkan melakukan penyimpangan dari kemaslahatan umat pada konsep demokrasi dan musyawarah,karena hasil dari keputusan yang telah diputuskan semuanya untuk kepentingan bersama.

C.    Sejarah Demokrasi

. Kata atau istilah demokrasi pada mulanya tidak dikenal dalam Islam. Demokrasi mulai dikenal sejak abad ke-5 masehi sebagai respons terhadap pengalaman buruk monarki dengan negara-negara kota Yunani Kuno, akan tetapi ide-ide demokrasi modern baru berkembang pada abad ke-16 Masehi, yakni tentang kedaulatan rakyat dan kontrak sosial yang di perkenalkan oleh Jean-Jacques Rousseau (1712-1778). Demokrasi ini mempunyai titik kesamaan dengan konsep musyawarah yang dikenal dalam Islam, yaitu rakyat mempunyai hak ikut serta dalam menentukan kebijkan yang diambil oleh negara.[8]
Musyawarah sudah ada sejak pra Islam karena sudah menjadi tradisi secara turun-menurun. Majlis, mala, dan nadi merupakan suatu lembaga, dewan atau badan yang ada sebelum orang-orang Arab masuk Islam. Dalam lembaga tersebut orang-orang Arab melakukan musyawarah dan menentukan kepala pemerintahan dengan tujuan persoalan-persoalan yang ada dapat diselesaikan dengan baik. Kemudian Islam mempertahankan tradisi ini, karena musyawarah merupakan sebuah fitrah manusia sebagai makhluk yang sosial-politik. Lembaga musyawarah pra Islam yang dilandasi dengan suku atau darah diubah oleh Islam menjadi lembaga musyawarah sebagai institusi komunitas (ummah) yang mengutamakan prinsip hubungan iman.[9]
Ketika nabi Muhammad hijrah ke Yastrib, demokrasi (musyawarah) semakin mendapat tempat ditengah-tengah masyarakat karena dikota ini kesepakatan ini telah dibuat oleh nabi Muhammad. Dan perjanjian tersebut bernama mitsaq al Madinah (konstitusi atau piagam Madinah). Setelah dua hari nabi wafat, kebiasaan demokrasi (musyawarah) ini tetap berjalan sampai dengan pengangkatan khalifah Abu Bakar as-Sidiq sampai dengan sahabat-sahabat setelahnya.[10]




D.    Musyawarah dalam Al-Qur’an

Kitab suci Al-Qur’an yang membahas tentang musyawarah dijelaskan dengan singkat dan pada umumnya hanya prinsip-prinsipnya saja. Nabi SAW juga menjelaskan tentang musyawarah dengan petunjuk umumnya. Sehingga mengakibatkan perbedaan pandangan antara sahabat dalam hal musyawarah. Nabi SAW tidak menjelaskan dengan jelas tentang musyawarah, karena apabila ditetapkan hukum musyawarah maka akan bertentangan dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an diperintahkan untuk memecahkan suatu masalah dengan bersama akan tetapi itu hanya berlaku pada masa Rasulullah saja dan tidak berlaku untuk masa setelahnya. Karena umat Muslim diberi kebebasan oleh Rasulullah dalam mengatur urusan dunianya sendiri.[11] Hal ini terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
أنتم أعلم بأمور دنيا كم
Artinya: Kalian lebih baik mengetahui persoalan dunia kalian.
Dan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad,
ما كان من امر دينكم فاءلي وما من أمر دنيا كم فأنتم أعلم به
Artinya: Yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka kepadaku (rujukannya), dan yang berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka kalian lebih mengetahuinya.[12]
Demokrasi dan musyawarah memiliki beberapa kesamaan. Sehingga dalam  membahas konsep Musyawarah pada Al-Qur’an tidak dapat dilepaskan dari konsep demokrasi dalam Al-Qur’an. Dan para ulama’ menggunakan dua surat dalam menjelaskan musyawarah yaitu surat Ali ‘Imran ayat 159 dan surat Al-Syura’ ayat 38.
Surat Ali ‘Imran ayat 159 berbunyi:
فبما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب لا نفضوا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في الأمر فأذا عزمت فتوكل على الله ان الله يحب المتوكلين.
Artinya: Maka disebabkan oleh rahmat dari Allah lah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekat, bertakwallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada_Nya.[13]
Pada surat Ali ‘Imran ayat 159 tersebut terdapat tiga sifat yang harus ada sebelum musyawarah yaitu lemah lembut, tidak berlaku kasar, dan tidak berhati keras. Pada dasarnya musyawarah memiliki lingakaran yang terdiri dari peserta dan orang yang berpendapat.[14]
Disisi lain, memberi maaf kepada orang lain harus disiapkan dalam bermusyawarah. Karena didalam musyawarah biasanya terjadi perbedaan pendapat dan perkataan yang dapat menyinggung hati orang lain, jika tidak saling memaafkan maka akan terjadi perubahan dari musyawarah menjadi pertengkaran. Selain itu, orang yang bermusyawarah harus sadar bahwa ketajaman dan kecerahan analisis saja tidak cukup.[15]
Sedangkan surat Al-Syura ayat 38 berbunyi:
والذين استجابوا لربهم واقامو الصلاة وامرهم شورى بينهم ومما رزقنا هم ينفقونز
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizeki yang Kami berikan kepada mereka.[16]
Dalam surat Al-Syura ayat 38 diatas terkandung makna musyawarah. Yang pada hakikatnya musyawarah merupakan ajaran yang mulia dan bersifat istemewa dalam Islam. Ayat tersebut turun dimekkah dan disebut surat makkiyah. Hal ini bermakna bahwa sebelum islam ada dan sebelum hijrah ke Madinah, masyarakat pada saat itu sudah mengenal dengan tradisi musyawarah. Semua ini dapat dibuktikan dalam pertemuan orang-orang Quraish di Dar al-Nadwah yang bertujuan untuk membicarakan dan menyelesaikan masalah-masalah yang mereka  hadapi. Suku-suku Arab Madinah memiliki tempat sendiri dalam mengadakan pertemuan-pertemuan yang disebut sebagai Saqifah Bani Saidah yang berada di Madinah. Al-Maragi pun menjelaskan bahwa musyawarah dapat dimiliki oleh semua manusia karena musyawarah sebuah fitrah.[17] 
Di sisi lain, surat al-Syura ayat 38 menjelaskan bahwa didalam ayat ini tidak disebutkan bentuk dan sistem dalam bermusyawarah. Tetapi hanya disebutkan orang yang melakukan musyawarah merupakan salah satu sifat terpuji orang mukmin dan bernilai ibadah. Dan menurut Muhammad al-Ghazali musyawarah pertama kali tidak berasal dari Islam melainkan suatu tuntutan dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial.[18]
Di dalam Al-Qur’an surat yang menjelaskan musyawarah tidak hanya pada dua surat yang disebutkan diatas, melainkan ada lagi surat yang menjelaskan musyawarah yaitu pada surat al-Baqarah ayat 30-32 yang berbunyi:
واذ قال ربك للملائكة اءني جاعل في لأرض خليفة قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال اءني أعلم ما لا تعلمون* وعلم ادم لأسماء كلها ثم عرضهم على الملا ئكة فقال أنبئوني بأسماء هؤلاء اءن كنتم صادقين* قالوا سبحانك لا علم لنا اءلا ما علمتنا اءنك أنت العليم الحكيمز
“30. Ingatah ketika Tuhanmu berfirmankepada para Malaikat. “sesunguhnya aku hendak menjadikan seorang khaliah di muka bumi.” Mereka berkata: “mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakanpadanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau?” Tuhan berfirman: “sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar.”
32. Mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang maha mengetahui lagi maha bijaksana.”
Ayat diatas menerangkan tentang musyawarah penciptaan manusia. Hal ini merupakan petunjuk bagi keturunan Nabi Adam tentanng pentingnya adanya musyawarah. Selain itu dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah memuliakan malaikatnya dengan mengajak bermusyawarah sekaligus sebagai pemberitahuan tentang penciptaan manusia. Ayat diatas merupakan tanda bahwasannya musyawarah merupakan tradisi sosial yang pertama kali diberlakukan oleh Allah kepada hambanya. Hal-hal yang dimusyawarhkan tidak hanya perkara hissiyah saja melainkan hal-hal yang kasat mata. Karena pada dasarnya musyawarah memiliki banyak manfaat yang berguna untuk kemaslahatan umat.

E.     Musyawarah dalam Hadis

a.    Musyawarah itu Dapat Dipercaya
حدثنا ابن المثنى, حدثنا يحيى بن أبي بكير, حدثنا شيبان, عن عبد الملك بن عمير, عن أبي سلمة, عن أبي هريرة, قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((المستشار مؤتمن))
Artinya: Musyawarah/ orang yang dimintai pendapat dalam musyawarah itu                 dapat dipercaya.
Dapat dilihat dari hadis tersebut, imam al-Qurtubi mengambil pendapat dari ulama yang menyatakan syarat bermusyawarah yaitu orang yang alim yang dapat menguasai ilmu agama dengan baik dan orang yang dapat mengamalkan ilmunya, sehingga pendapatnya dapat diambil dalam bemusyawarah. Mempunyai ilmu saja tidak cukup akan tetapi lebih baiknya mengamalkan ilmu agama tersebut. Apabila ada orang yang berijtihad kemudian orang tersebut salah dalam memutuskan suatu masalah maka itu tidak ada masalah. Karena orang yang berijtihad jika memutuskan suatu masalahnya benar maka dia akan mendapat dua pahala dan jika salah akan mendapatkan satu pahala. Sedangkan orang yang faham dalam urusan ilmu dunia, mempunyai pengalaman dan rasa kasih sayang terhadap orang yang meminta pendapat maka dia layak untuk dimintai suatu pendapat.[19]
Di dalam musyawarah terdapat manfaat yang banyak yang mana manfaat itu memiliki keberkahan tersendiri yang tidak didapatkan pada opini mandiri. Menurut Imam Qatadah, Muqatul dan al-Rabi’ musyawarah merupakan tradisi dari bangsa Arab yang digunakan untuk mengambil suatu keputusan. Dan bangsa Arab mengatakan apabila ada orang yang bangga dengan pendapatnya sendiri maka ia termasuk orang yang merugi. Hasan al-Bisri dan al-Dhahhak meriwayatkan bahwasanya allah memerintah nabi Muhammad untuk melakukan musyawarah dengan sahabatnya, hal itu tidak dikarenakan Rasulullah membutuhkan pendapat sahabat, akan tetapi hal tersebut dilakukan agar semua umat manusia setelah baliau wafat dapat menjadikan musyawarah sebagai petunjuk dan teladan yang dapat diikuti.[20]
b.    Musyawarah dengan Perempuan dan Istri
حدثنا قتيبة بن سعيد, حدثنا حماد بن خالد الخياط, حدثنا عبد الله العمري, عن عبيد الله, عن القاسم, عن عائشة اءنما النساء شقائق الرجالز
Artinya: Sesungguhnya perempuan adalah bagian dari laki-laki.
Melihat dari arti hadis diatas bahwasanya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang sosial dan politik, semuanya sama. Apabila laki-laki memiliki hak dalam memilih atau dipilih rakyat dalam sebuah pemerintahan maka perempuan pun juga memiliki hak yang sama dalam peran suatu kepemerintahan.
 Dapat  ditemukan pendapat dari dalil tersebut, bahwasanya terdapat riwayat di dalam kitab Shahih al-Bukhary yang menjelaskan istri nabi Muhammad yang bernama Ummu Salamah dimintai pendapat oleh Rasulullah tentang masalah-masalah yang terkait dengan kepentingan masyarakat luas. Hal ini bermula pada kejadian perjanjian damai Hudaibiyyah, yang mana Rasulullah berkata kepada sahabatnya; “bangunlah, kemudian potonglah rambut tersebut setelah kalian menyembelih kurban!” Rasulullah mengatakan hal itu sebanyak tiga kali. Tetapi tidak ada satu orang pun yang melakukan apa yang dikatakan nabi. Kemudian Rasulullah menceritakan kejadian yang dialaminya kepada Ummu Salamah. Lalu Ummu Salamah berkata: “wahai Rasulullah, apakah engkau ingin hal itu terjadi? Jika ingin maka aku akan mengatakan kepada mereka apa yang sudah engkau katakan kepadaku, agar mereka menuruti apa yang engkau katakan setelah engkau keluar menemui mereka dan tanpa sedikitpun berbicara. Setelah Ummu Salamah berkata kepada mereka, maka mereka langsung menyembelih kurban dan memotong rambutnya. Kejadian tersebut menyatakan bahwa diperbolehkan meminta pendapat wanita dalam wilayah publik.[21]

F.     Penutup

Demokrasi dapat dilihat dari dua sisi yaitu ditinjau dari bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara bahasa arti dari sebuah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahnnya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.[22] Dalam islam sendiri demokrasi ini masih menjadi pemabahasan yang bermacam-macam. Dimana ada yang berpendapat sama dengan musyawarah dan juga ada yang tidak. Kesesuaian tersebut terjadikarena konsepnya juga lebih mengutamakan masyarakat dan bedanya ada yang menggap karena hal tersebut pencetusnya merupakan bukan orang muslim. Jika dilihat dari musyawarah bahwa musyawarah tersebut terdapat dalam Al-Quran surah al-syura ayat 38, al-baqarah ayat 30-32 dll dan hadits seperti hasdits bukhari yang dimana didalamnya terdapat perihal musyawarah.

 







































DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. 2003.  Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani.  Jakarta: Pernada Media.
Al-Hasyim, Muhammad Ali. Musyawarah dalam Islam. Jurnal, hlm. 3.
Ghafur, Waryono Abdul. 2005. Tafsir Sosial. Yogyakarta: eLSAQ Press.
 Ichsan Muhammad. 2014. Demokrasi dan Syura: Perspektif Islam dan Barat. Langsa: Vol.16 No. 1: 7.
Indirawati, Emma. 2006. Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan Kecenderungan Strategi Coping. Diponegoro: Vol. 3 No. 2: 77.
Mamang, Damrah. 2017. Islam dan Demokrasi. Jakarta: 2.
Pulungan. J. Suyuti. 1996. Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Shihab, M. Quraish. 2007. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Sumbulah, Umi dkk. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN Maliki Press.
Thaha Idris Thaha. 2005. Demokrasi Religius. Bandung: PT. Mizan Publika.

Catatan:
Makalah ini sudah cukup bagus. Hanya saja terlalu sedikit halamannya dan dalam sebuah pembahasan bercampur satu dengan yang lain. Setiap kajian harus dibedakan agar pemetaannya mudah.


[1] Idris Thaha, Demokrasi Religius, (Bandung: PT. Mizan Publika, 2005), hlm. 39.
[2] Damrah Mamang, Islam dan Demokrasi, (Jakarta, 2017), hlm. 2.
[3] Emma Indirawati, Hubungan Antara Kematangan Beragama Dengan Kecenderungan Strategi Coping. Vol. 3 No. 2, Diponegoro, 2006, hlm. 77.
[4] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, (Jakarta: Pernada Media, 2003), hlm. 110.
[5] Ibid, hlm. 110.
[6] Umi Sumbullah dkk, Studi Al-Qur’an dan Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2014), hlm. 349.
[7] Ibid, hlm 351.
[8] Ibid, hlm. 349.
[9] Idris Thaha, Demokrasi Religius, (Bandung: PT. Mizan Publika, 2005), hlm. 51.
[10] Ibid, hlm. 52.
[11] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), hlm.621.
[12] Ibid, hlm. 621.
[13] Muhammad Ichsan, Demokrasi dan Syura: Perspektif Islam dan Barat. Vol.16 No. 1. Langsa, 2014, hlm. 7.
[14] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 154.
[15] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), hlm. 624.
[16] Muhammad Ali al-Hasyimi, Musyawarah dalam Islam, Jurnal, hlm. 3.
[17] Umi Sumbulah dkk, Studi Al-Qur’an dan Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2014), hlm.352.
[18] J. Suyuti Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm.217.
[19] Umi Sumbulah dkk, Studi Al-Qur’an dan Hadis, (Malang: UIN Maliki Press, 2014), hlm.361.
[20] Ibid, hlm. 362.
[21] Ibid, hlm. 364.
[22] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, (Jakarta: Pernada Media, 2003), hlm. 110.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar