Kamis, 04 Mei 2017

Relasi Agama dan Negara di Indonesia (PBA B Semester Genap 2016/2017)





RELASI AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA
Imaduddin Muhammad (16150054), Ika Rizki Fauziah (16150055), Nurul Syahrayni (161550056)
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: emadfaqot8@gmail.com
Abstract
Relations among the state and religion in the state of Pancasila, wherein the first principle of pancasila is Belief in the one and only God asserted that indonesia is not a country which is based on a religion and not a state that separates religion and state. But countries that belive in the existence of God, wherein the state puts the religion and belief as spirit of integrity of the unitary Republic of indonesia. Relations among the state and religion are interdependent relations, where in religion gives spirituality in the nation and state, while the state guarantees religious life. Nation and state of indonesia is a nation that has unity, both in ethnic groups, islands, cultures, classes, and religions. Therefor, the state of indonesia is state based on pancasila as a unity as contained in the 1945 constitution which forms a unitary state of the indonesian republic sovereignty of the people. Indonesia is a united state that protects the whole nation and the entire blood spill indonesia. Therefor, with the existance of religion in the cauntry of indonesia will provide more convenience for the people of indonesia to be able to create a life nation and unity. 

Abstrak
Hubungan negara dan agama dalam negara yang berdasarkan pancasila dimana sila ketuhanan yang Maha Esa menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan suatu agama dan bukan pula negara yang memisahkan agama dan negara. Tetapi negara yang berketuhanan dimana negara yang menempatkan agama dan kepercayaan sebagai roh atau spirit keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Hubungan agama dan negara adalah hubungan yang saling membutuhkan, dimana agama yang memberikan kerohanian dalam berbangsa dan bernegara, sedangkan negara yang menjamin kehidupan keagamaan. Bangsa dan Negara Indonesia merupakan bangsa yang memiliki kesatuan, baik dalam suku bangsa, kepulauan, kebudayaan, golongan, serta agama. Oleh karena itu Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan pancasila sebagai suatu kesatuan yang sebagaimana termuat dalam  UUD 1945, yang membentuk negara kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Negara Indonesia adalah negara persatuan yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Maka dari itu, dengan adanya agama yang berada di negara Indonesia, akan lebih memberikan kemudahan bagi rakyat indonesia untuk dapat menciptakan kehidupan  yang berbangsa dan bersatu.
Keywords: Negara, Agama, Pancasila.


  1. PENDAHULUAN
Berbicara tentang agama memerlukan suatu sikap ekstra hati-hati. Sebab, sekalipun agama merupakan persoalan sosial, tetapi penghayatannya amat bersifat individual[1]. Indonesia dikenal sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, sekitar 87,55 persen rakyat Indonesia beragama islam, sekalipun islam tidak disebut dengan konstitusi sebagai agama negara. Islam di Indonesia adalah suatu agama yang hidup dan vital, yang kini terlibat dalam proses transformasi dari posisi kuantitas ke posisi kualitas. Dengan kata lain, Islamisasi di Indonesia bukanlah suatu poduk sejarah yang telah rampung, tapi merupakan proses yang berkelanjutan[2]
Karena proses islamisasi di Indonesia sesungguhnya secara kualitatif belum pernah mencapai tingkatan yang sempurna, maka Islam sebegitu jauh belum lagi menggantikan sepenuhnya kepercayaan-kepercayaan dan tradisi-tradisi kultural lokal sebagai basis bagi organisasi sosial. Karena kesadaran akan pentingnya menutup jurang antara islam sejarah dan islam cita-cita pada masa modern, maka intensitas kegiatan dakwah islam semakin disemangatkan dan semakin meluas, terutama di kalangan anak muda Indonesia, dan dalam beberapa kasus juga di kalangan kelompok-kelompok etnis Cina, suatu gejala yang sangat menarik untuk diamati lebih jauh.[3]

  1. Bentuk Relasi Agama dan Negara
1. Pengertian Negara
Secara terminologi, negara diartikan dengan organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu dan  mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara, yaitu masyarakat (rakyat), wilayah (daerah) dan pemerintahan yang berdaulat.
            Roger H. Soltau mendefinisikan negara sebagai alat (agensi) atau wewnang (autoriti) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat. Adapun menurut Harold J. Laski, negara merupakan masyarakat yang di integrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat tersebut.
            Sejalan dengan Harold J. Laski, Max Weber mendefinisikan negara sebagai masyarakan yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. Dalam konsep Robert M. Mac Iver, negara diartikan dengan asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarkan dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarkan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut, terdapat kekuasaan memaksa.
            Dari bebrapa pendapat tentang negara tersebut, dapat dipahami bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan monopolistis dari kekuasaan yang sah.[4]

2. Pengertian Agama
            Dalam kamus umum bahasa Indonesia, agama berarti segenap kepercayaan (kepada Tuhan, Dewa dsb) serta dengan ajaran kebaktian dan kewajiban- kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. (Poerwadarminta : 1982: 18) Agama dari sudut bahasa (etimologi) berarti peraturan- peraturan tradisional, ajaran- ajaran, kumpulan- kumpulan hukum yang turun temurun dan ditentukan oleh adat kebiasaan. Agama asalnya terdiri dari dua suku kata, yaitu a berarti tidak dan gama berarti kacau. Jadi agama mempunyai arti tidak kacau. Arti ini dapat dipahami dengan melihat hasil yang diberikan oleh peraturan- peraturan agama kepada moral atau materiil pemeluknya, seperti yang diakui oleh orang yang mempunyai pengetahuan, (Abdullah : 2004 : 2) Dalam bahasa Arab, agama berasal dari kata ad-din, dalam bahasa Latin dari kata religi, dan dalam bahasa Inggeris dari kata religion. Religion dalam bahasa inggeris (dinun) dalam bahasa Arab memiliki arti sebagai berikut:
a.       Organisasi masyarakat yang menyusun pelaksanaan segolongan manusia yang periodik, pelaksanaan ibadah, memiliki kepercayaan, yaitu kesempurnaan zat yang mutlak, mempercayai hubungan manusia dengan kekuatan rohani yang leibih mulia dari pada ia sendiri. Rohani itu terdapat pada seluruh alam ini, baik dipandang esa, yaitu Tuhan atau dipandang berbilang- bilang.
b.      Keadaan tertentu pada seseorang, terdiri dari perasaan halus dan kepercayaan, termasuk pekerjaan biasa yang digantungkan dengan Allah SWT.
c.       Penghormatan dengan khusuk terhadap sesuatu perundang- undangan atau adat istiadat dan perasaan. (Abdullah : 3) Agama semakna juga dengan kata ad-din (bahasa Arab) yang berarti cara, adat kebiasaan, peraturan, undang- undang, taat dan patuh, mengesakan Tuhan, pembalasan, perhitungan, hari kiamat dan nasihat.( Ali : 2007 : 25).
Pengertian ini sejalan dengan kandungan agama yang di dalamnya terdapat peraturan-peraturan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi panganut agama yang bersangkutan. Selanjutnya agama juga menguasai diri seseorang dan membuat dia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran- ajaran agama. Agama lebih lanjut membawa utang yang harus dibayar oleh penganutnya. Paham kewajiban dan kepatuhan ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham balasan. Orang yang menjalankan kewajiban dan patuh kepada perintah agama akan mendapat balasan yang baik dari Tuhan, Sedangkan orang yang tidak menjalankan kewajiban dan ingkar terhadap perintah Tuhan akan mendapat balasan yang menyedihkan.
Adapun kata religi berasal dari bahasa Latin yaitu berasal dari kata relegere yang mengandung arti yang mengumpulkan dan membaca. Pengertian demikian itu juga sejalan dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara- cara mengabdi kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Ada yang berpendapat kata itu berasal dari kata religare yang berarti mengikat. Ajaran- ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Dalam agama selanjutnya terdapat pula ikatan antara roh manusia dengan Tuhan, dan agama lebih lanjut lagi memang mengikat manusia dengan Tuhan.[5]

3.. Relasi Agama dan Negara
            Hubungan antara agama dan negara sampai saat ini masih menjadi perbincangan. Menilik dari pandangan islam dari data sejarah yang bersumber pada wahyu ilahi (Al-Baqarah 256) bahwa tidak boleh dilakukan paksaan atau kekerasan terhadap seseorang untuk menganut suatu agama, dalam hal ini agama islam.[6]
Islam mengakui kebebasan setiap orang untuk memilih keyakinan agamanya sendiri, tidak boleh dilakukan dengan paksaan baik secara terang-terangan maupun secara terselubung.
            Kemerdekaan untuk menganut suatu agama adalah salah satu diantara hak-hak asasi manusia yang dilindungi dengan undang-undang dalam semua negara-negara maju yang sifatnya internasional dan universal. Dalam pernyataan umum hak-hak manusia (Declaration of Human Right) yang dipermaklumkan dan diterima oleh sidang umum PBB di Paris tanggal 10 Desember 1948, soal kebebasan beragama itu disebutkan dalm salah satu fasal dari 30 fasal hak-hak asasi manusia.
            Pada fasal 18 disebutkan:
            “Setiap orang berhak akan kebebasan berfikir, keinsafan batin dan   agama; dalam hak ini termasuk kebebasan akan mengubah agama atau kepercayaanya, baik-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baikpun beramai-ramai, ataupun dalam hidup partikelir dalam pengajaran, amal ibadat dan dalammenjalankan aturan-aturanya”.
Pada hakekatnya, pernyataan itu adalah membaharui kepercayaan bangsa-bangsa terhadap hak-hak dasar manusia tentang kebebasan beragama yang memang jauh sebelum itu telah diperjuangkan oleh berbagai bangsa dan negara sampai tercapai satu tingkat pengakuan yang bersifat internasional dan universal.
Negara Republik Indonesia sebagai satu negara demokrasi, menempatkan soal kebebasan beragama itu dalam fasal 29 UUD 1945, yang menyatakan:
1.      Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.      Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dengan kepercayaanya itu.
Jelaslah bahwa baik dilihat dari sudut hukum nasional maupun hukum internasional, kebebasan dan kemerdekaan beragama itu merupakan hak-hak asasi manusia yang bersifat fondamental.[7]
Dengan ini, jelaslah bentuk relasi agama dan negara yakni dibebaskanya seluruh manusia di alam ini untuk memilih keyakinanya sendiri tanpa ada paksaan dan dilindungi oleh hukum nasional, internasional dan universal.

  1. Relasi Agama dan Negara Indonesia
Bagaimana agama terlibat dalam perubahan, modernisasi, dan kemajuan?                                                          Agama adalah sumber nilai yang abadi dan kriteria dalam membuat keputusan. Ditegaskannnya, meskipun secara umum disetujui oleh para penyumbang tulisan bahwa agama, apapun orientasi yang dimilikinya, banyak berkait dengan totalitas proses sosial dan dasar-dasar eksistensi manusia, khususnya di Asia, dimana agama masih menentukan sebagian besar kebudayaan tradisional. Karena keterlibatannya yang begitu mendalam dalam kehidupan pribadi dan masyarakat, tidak dapat dielakkan bahwa agama sering mempunyai pengaruh mendalam bagi arah perkembangan sejarah, mendorong atau menghambat modernisasi ekonomi, politik, dan sosial.
Karenanya, peranan agama dalam memodernisasi masyarakat sangat jelas dan penting. Dalam Islam, persoalan tersebut bahkan lebih penting. Kesemuanya itu dapat ditemukan dalam Al-Qur’an sebagai kompilasi wahyu Ilahi. Tujuan diturunkannnya Al-Qur’an, menurut Dr. Mohammad Iqbal, adalah untuk “membangunkan kesadaran yang tinggi dalam diri manusia  tentang hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta”. Al-Qur’an juga berisi hukum yang harus dipatuhi oleh umat islam”. Bagian yang berisi hukum itulah yang disebut syari’ah. akan tetapi, bagaimanapun juga Al-Qur’an melalui syari’ah pada umumnya tidaklah memberikan peraturan-peraturan tingkah laku secara rinci. Ayat-ayat Al-Qur’an memberikan peraturan umum untuk membimbing manusia menuju kesempurnaan dan kehidupan yang didasarkan atas keharmonisan. Yakni harmonisasi spiritual antara manusia dengan alam semesta, dan antara manusia dengan masyarakatnya.[8]
            Salah satu ajaran Islam yang utama adalah persamaan manusia, persamaan kesempatan, dan persamaan di depan hukum. Perbedaan dalam status sosial dan kekayaan tidak boleh menjadi alasan untuk membedakan hak-hak hukum dan agama masyarakat. Islam tidak mengakui perbedaan keturunan atau hak-hak tertentu untuk mengambil keuntungan dalam kehidupan. Barangkali karena ajaran-ajaran ini, khususnya di lapangan sosial dan etika keagamaan, Islam menyebar dengan cepat, mudah, dan penuh kedamaian di seluruh dunia.[9]
  1. Hubungan antara agama dan kemerdekaan berfikir
“Salah satu dari tiang-tiang ajaran Junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang penting ialah : Menghargai akal manusia dan melindunginya daripada tindasan-tindasan yang mungkin dilakukan atas nikmat Tuhan yang tiada ternilai itu. Muhammad SAW meletakkan akal pada tempat yang terhormat dan menjadikan akal itu sebagai salah satu alat untuk mengetahui Tuhan.
Dalam islam, akal mendapat tempat yang mulia, dalam islam, akal tidak ditindas dan tidak dipaksa. Tapi dipergunakan dan diberi jalan, disalurkan untuk ketinggian dan keluhuran manusia.
Kebebasan dan keterbukaan tidak berarti tanpa batas. Sebaliknya, batasan-batasan tidak boleh berarti tekanan-teanan. Apalagi penindasan-penindasan. Globalisasi informasi, dalam hal ini terutama karena datang dari Barat yang masyarakatnya menganut prinsip “serba boleh”, tidak boleh ditelan mentah-mentah. Penyaringan mutlak diperlukan untuk mengetahui mana yang bermanfaat, dan mana yang merusak.
Disinilah diperlukan dialog-dialog secara kontinu sehingga ditemukan persepsi yang sama diantara lembaga-lembaga kemasyarakatan dan lembaga kenegaraan.[10]
  1. Hubungan antara agama, bangsa, dan negara
Latar belakang
Menurut Salim, riwayat kedatangan islam berbeda dengan riwayat kedatangan Hindu yang penyebarnya hidup terpisah dari anak negeri. Berbeda pula dengan agama kristen yang datang sebagai agama pertuanan, yang dari awal dimenangkan deerajatnya dan dilebihkan anggapannya oleh pihak pertuanan itu. Islam datang tidak dibawa oleh orang asing yang menjadi tuan disini. Agama islam timbul dan tumbuh di dalam ruh  bangsa kita disini dari bermula ditumbuhi beninhnya. “Patut sekali kita katakan bahwa agama islam bagi bangsa kita adalah agama sebangsa, malah agama kebangsaan”.[11]
Pandangan M. Natsir
“Pergerakan islam lah yang lebih dulu membuka jalan medan politik kemerdekaan di tanah ini, yang mula-mula menanam bibit persatuan Indonesia yang menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian, yang mula –mula menanam persaudaraan dengan kaum yang senasib di luar batas Indonesia, dengan tali ke-islaman.[12]
Bagi beliau, islam merupakan:
“suatu peraturan pergaulan hidup yang memberi hak sama rata, memberi kewajiban sama berat atas segenap manusia penduduk alam ini. Peraturan mengangkat budi pekerti, mengurus rumah tangga, mengurus pergaulan dalam negeri, mengurus pemerintahan dan kerajaan, mengurus perhubungan dengan mereka yang berlainan negeri, mendidik dan memimpin tubuh dengan semangat, pencapai derajat kemanusiaan yang sepenuh-penuhnya[13]
Pada tahun 1984, ketika muncul gagasan politik menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi sosial politik, pendiriannya tentang islam ditegaskannya lagi. Fungsi keyakinan agama, menurutnya ialah:
“Sumber motivasi, sumber inspirasi, sumber kekuatan untuk menahan derita, titik tolak bagi berbuat, pegangan hidup yang akan dibawa mati.”
Bagi Natsir, sebagaimana yang telah dikutip sebelumnya, Pancasila adalah netral dan sekuler, dan tidak punya substansi apa-apa. Menurut jalan pemikiran ini, hanya Islamlah yang cukup kualifaid untuk dijadikan dasar falsafah negara Republik Indonesia [14]
Jelas terlihat, sebagaimana para pemimpin islam lainnya, beliau meletakkan perasaan cinta kepada tanah air dan bangsa dibawah  bimbingan ajaran islam. Bagi kita, menegakkan islam itu tidak dapat dilepaskan dari menegakkan masyarakat, menegakkan negara, menegakkan kemerdekaan.
Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Revolusi Indonesia” yang dipublikasikan pada bulan Juni 1954, beliau mengungkapkan betapa dunia  takjub dan heran mendengar diproklamasikannya negara Indonesia. Bung Tomo bukan saja berani tampil ke muka memimpin perjuangan, tetapi ia juga mempunyai suatu pengetahuan yang sering kali banyak orang tidak mengetahuinya, yaitu pengetahuan dimana terletaknya kunci daripada kekuatan bangsa kita ini. Dibukanya kunci hati umat-umat yang banyak itu dengan perkataan “Allohu Akbar!” tahu pula dia siapa-siapa teman yang dapat membangunkan tenaga dan menggelorakan tenaga itu.
Dengan sudut pandang demikian, tidak ada masalah antara islam dengan kebangsaan. Kita dapat menjadi muslim yang ta’at, yang dengan riang gembira pula menyanyikan “Indonesia Tanah Airku”[15]
Baginya, pancasila bukanlah lawan islam. Bahkan, di dalamnya terkandung ajaran agama islam. Meskipun demikian, pancasila tidaklah identik dengan islam. Dan agar pancasila dapat tumbuh berkembang, dia harus hidup dalam pangkuan islam. Bung Hatta berkali-kali menegaskan bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala yang baik dan sebagai dasar fundamen moral, sedang empat sila lainnya adalah fundamen politik. Kata Hatta selanjutnya:
“Dan dasar ketuhanan YME tidak hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan pula menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, kebaikan, dan kejujuran.
Pada rapat tanggal 6 Desember 1957, panitia mengajukan kompromi dasar negara sebagai berikut:
“Negara Republik Indonesia berdasarkan atas kehendak menyusun masyarakat yang sosialistis yang ber-tuhan Yang Maha Esa dengan pengertian, bahwa akan terjaminlah keadilan sosial yang wajar dan kemakmuran yang merata dengan dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, menurut Islam, Katolik, Kristen, dan lain agama yang berada di tanah air kita. Dasar-dasar negara selanjutnya ialah persatuan bangsa yang diwujudkan dengan sifat-sifat gotong-royong, prikemanusiaan,  kebangsaan, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanan dalam permusyawaratan perwakilan.”[16]

  1. Agama dan kehidupan modern.
Dalam perspektif global, sekalipun Indonesia tidak termasuk negara maju dengan masyarakat modern, namun ia menghadapi persoalan modern. Dalam hubungannya dengan agama ialah, apakah ia masih mampu berperan dalam memberikan alternatif cara hidup yang tidak terlampau terikat pada ukuran-ukuran materiil. Hal itu berarti, dengan perkataan lain, apakah agama sanggup menjadi sumber inspirasi dan konsep bagi suatu pola pembangunan yang dapat dijadikan alternatif bagi yang ada sekarang? (seperti banyak kritik yang dilontarkan bahwa pola pembangunan sekarang terlalu berorientasi kepada usaha kenaikan GNP, meskipun masih dapat dibela sebagai sesuatu yang tak mungkin dielakkan mengingat urgensi nasional kita).[17]
Masyarakat agama dan kehidupan individual orang-orang agama harus mempunyai suatu hubungan organis dengan masyarakat secara keseluruhan dalam hal yang berkenaan dengan pikiran, moral, dan perasaan. Hal itu berarti bahwa keagamaan harus relevan dengan kehidupan nyata. Dalam hubungannya dengan hal ini, kita sering lupa bahwa dunia ini sebenarnya senantiasa berkembang. Sedangkan dalam setiap perkembangan, tentu berarti terdapat perubahan. Maka, keagamaan harus mampu menampung perubahan masyarakat. (social change)[18]
Bagi kita umat islam, dalam kemajemukan bangsa ini, percaturan pendapat dan pemikiran tidaklah membuat risau apalagi gusar. Kita selalu bersedia mencari dasar-dasar persamaan dalam hal-hal yang dapat dijalankan bersama. Sebagai muslim, insya Alloh kita dapat menempatkan diri pada posisi dan sikap yang jelas, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“,,,,,berbuatlah (berjuanglah) sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya Aku pun berbuat (berjuang) pula...” (Al-An’am: 135)
Berdasarkan ajaran Al-Qur’an di atas, kepada semua pihak kita dapat berkata: “Marilah berbuat yang terbaik untuk kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia kita, sesuai tanggung jawab menurut posisi kita masing-masing, di mana pun kita berada.”[19]
  1. Sejarah Terbentuknya Negara Indonesia
Berapa banyaknya definisi yang telah diberikan pada "sejarah?"tidak ada yang pernah menghitung dan mengadakan klasifikasi, seperti yang telah dilakukan oleh Kroeber dan kluchkhohn tentang "kebudayaan" tetapi mungkin tak perlu. Sebab sejarah atau hari lampau itu sangat mudah mengundang tanggapan-tanggapan yang filosofis dan bahkan skeptic dan sarkastik[20]. Herder bisa mengatakan bahwa sejarah adalah proses kerarah tercapainya kemanusiaan (Menschheit) yang tertinggi. dalam pembahasan ini terdapat beberapa pengertian sejarah. Pada pengertian yang pertama sejarah adalah sesuatu yang terlepas dari jaman ahli sejarah. "ia terjadi", dikatakan atau tidak, diceritakan atau tidak. Pada pengertian yang kedua telah terlekat didalamnya usaha untuk menceritakan dan menerangkan apa yang terjadi itu, yang dalam artinya sejarah pada dasarnya mengambil seluruh kegiatan dan aktivitas itu – dari perang[21], yang mengancam kehancuran sampai agama, yang menjanjikan kebahagiaan. Sebagai ilmu dan sebagai cermin dari pengalaman masa lalu sejarah bersifat selektif – ia hrus memilih. Sebagai ilmu, maka sejarah diharuskan untuk memberikan "keterangan " (explanation) dan ini berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan kesadaran ilmiah dan peningkatan kemampuan metodologis. "sejarah" berkisar dari perkembangan dan perubahan dari ukuran yang "penting" dalam seleksi faktor yang tanpa batas dan dalam usaha "menerangkan" fakta-fakta tersebut. Sejarah pergerakan nasional cukup bisa  diterangkan dari sudut perjuangan rakyat yang tertindas oleh penjajah.
Penulisan sejarah muncul bukan saja didorong oleh keingintahuan filosofis yang mempertanyakan asal dan arah tujuan manusia atau cita kemanusian. Ia juga bermula sebagai usaha untuk menempatkan diri ditengah alam semesta dan di dalam untaian waktu. Dalam sejarah historiografi tampak bahwa ia mendekati kedewasaannya ketika keinginan untuk menemukan atau meneruskan identitas diri sebagai bangsa, dalam kaitannya dengan bangsa-bangsa lain, bertambah keras.
Terbentuknya negara Indonesia tidak terlepas dari kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Indonesia. Ratusan tahun penjajahan bangsa asing yang terjadi di Indonesia dan pergerakkan perjuangan rakyatnya yang menuntun kesatuan. Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki 17.508 kepulauan dan berbagai macam bentuk kebudayaan.                             
Pada masa-masa awal munculnya kerajaan diindonesia. Agama yang mereka anut adalah hindu karena mereka dipengaruhi oleh budaya india. Dari beberapa prasasti yang ditemukan. Dipercaya bahwa digunung raksa, panaitan ditemukan sebuah patung Ganesha dari abad pertama. Ada juga bukti yang ditemukan tentang di sebuah kerajaan sunda dijawa barat yang ada pada abad ke-2 yang juga merupakan perkiraan masa dibangunnya kuli jaya di batujaya.
Masa-masa kerajaan ini merupakan tonggak lain yang menjadi Sejarah terbentuknya negara Indonesia karena pada masa ini sudah ada pemikiran dari beberapa raja untuk menyatukan Indonesia, salah satu kerajaan yang cukup terkenal yaitu kerajaan Tarumanegara yang Berjaya sekitar tahun 358 hingga 669 dan beralokasi dijawa barat. Dekat dengan tempat yang sekarang menjadi kota Jakarta. Raja ke-5 mereka.bernama Purnawarman, menjadi pembuat prasasti paling awal dijawa, yaitu prasasti Ciaruteun di bogor yang memiliki telapak kakinya. Agama islam menjadi agama lain yang menguasai nusantara saat pedagang muslim memasuki daerah imdonesia sekitar abad ke-13 di sumatera bagian utara. Tidak seperti penyebaran agama hindu dan budha yang pesat. Penyebaran agama islam amat rumit dan pelan, penyebarannya hanya melalui jual-beli, dan yamg menjadi penganut agama baru ini adalah raja-raja dan pedagang. Baru pada akhir abad ke-16 islam mendominasi area jawa dan sumatera, dan bahkan di beberapa bagian nusantara harus membaur dengan kepercayaan yang sudah ada. Hanya di Bali mayoritas penduduknya menganut kepercayaan sebelumnya yaitu agama Hindu.
Dengan berkembangnya agama islam juga, otomatis mengubah anutan agama kerajaan yang telah dan akan berdiri. Salah satu dari kerajaan tersebut merupakan kesultanan mataram. Pada tahun 1584, Senopati Ingalaga menggantikan ayahnya sebagai raja dan kekuatan militer meningkat tajam. Setelah ingalaga turun dan digantikan Seda ing Krapyak perang terus berlanjut. Dan pada masa pemerintahan Krapyak yang terjadi kontak pertama dengan VOC. Kerajaan ini runtuh pada masa pemerintahan Amgkurat II di tahun 1677 karena ulah Belanda.

Dari beberapa urain singkat diatas, akan diperjelas lagi bagaimana sejarah terbentuknya negara Indonesia yang melalui salah satu kerajaan dibawah ini:

A.    TARUMANEGARA

1.      Sumber-sumber
ahli ilmu bumi Yunani Purba Claudius Ptolemaeus, ketika menyebutkan daerah-daerah di Timur Jauh, antara lain kota Argry, yang terletak diujung barat pulau labadiou yang berasal dari Bahasa sanskerta, yawadwipa, yang berarti pulau jelai yang kemungkinanya bahwa pulau yang dimaksud itu adalah Pulau Jawa. Namun, terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa pulau Labadiou dari pulau Sumatra, bukan pulau jawa, karena di pulau Sumatra juga didapatkan jelai atau bahkan dengan Kalimantan Barat daya. Terdapat berita yang lain bahwa ada sebuah daerah yang bernamaa Tu-po[22], yang sangat dekat lafadznya dengan Cho-po, yang didalam Bahasa Sanskerta berbunyi Jawaka. Dalam berita yang lebih akhir disebut Cho-ye yang dianggap sama dengan jawa oleh Silvain Levi, akan tetapi oleh G. Ferrand disesuaikan dengan kata sanskerta Jaya, dan karenanya dihubungkan dengan kerajaan Sriwijaya.
Berita-berita luar yang disebutkan diatas, belum ada satupun yang jelas mengacu kepada kerajaan Tarumanegara. Sedemikian jauh sumber-sumber yang berhubungan dengan negara ini, bisa dikatakan sedikit sekali. Kerajaan ini hanya ditandai dengan tujuh buah prasasti batu dan beberapa arca.
Beberapa prasasti dan arca dibawah ini:
1)       Prasasti Ciaruton yang sebelumnya bernama prasasti Ciampea, yang   terletak di pinggir sungai Ciaruon, yang dekat dengan Cisadane. Yang menarik dari prasasti ini ialah lukisan labah-labah dan tapak kaki yang dipahatkan diatas hurufnya[23]. Melihat bentuknya, prasasti ini mengingatkan adanya hubungan dengan prasasti raja Mahendrawarman I dari keluarga Palla yang didapatkan di Dalavanur.
2)      Prasasti Pasir Koleangkak yang didapatkan di bukit yang bernama demikian, termasuk daerah Perkebunan Jambu kira-kira 30 km sebelah barat Bogor. Didalam prasasti ini ini, dijumpai nama negara yang pertama kali dikemukakan oleh Brandes, yang berbunyi tarumayam. Sementara itu ada yang mencoba menghubungkan kata ustadana yang terdapat pada baris 2 prasasti tersebut, dengan nama sebuah sungai besar yang bernama Cisadane. Namun pada umumnya tafsiran ini tidak diterima para sarjana yang lain.
3)      Prasasti Kebonkopi yang terletak di kampong Muara Hilir, Cibung-bulang, dan yang menarik dari prasasti ini ialah adanya dua tapak kaki gajah Airawata.
4)      Prasasti Tugu yang didapatkan ditugu Jakarta, yang merupakan praasasti yang terpanjang dari semua peninggalan Purnawarman. Prasasti ini juga berbentuk anustubh[24], tulisannya dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang secara melingkar. Prasasti ini juga memiliki hal-hal yang menarik seperti: pertama, disebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Panjab, yaitu sungai-sungai Candrabhaga dan Gomati, yang ternyata telah menimbulkan berbagai tafsiran para sarjana. Kedua , prasasti ini satu-satunya prasasti Purnawarman yang menyebutkan anasir penggalan. Ketiga, prasasti ini menyebutkan dilakukannya upacara selamatan oleh  Brahmana disertai dengan seribu ekor sapi yng dihadiahkan. Keempat, prasasti ini menyebutkan dua buah nama lain disamping Purnawarman, sehingga setidak-tidaknya dapat dipergunakan untuk menentukan siapa sebenarnya Purnawarman.
5)      Candrabhaga yang disebutkan dalam prasasti tugu, Poerbatjaraka beranggapan, bahwa itu tentulah nama sungai india yang diberikan kepada sebatang sungai dipulau jawa. Yang paa kesimpulannya, bahwa nama itu sekarang dikenal dengan nama Bekasi, yang diduga sebagai pusat kerajaan Tarumanegara.
6)      Prasasti Pasir Awi dan Muara Cianten yang tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca, seperti halnya dengan yang terdapat pda prasasti Ciaruton, disebelah gambar tapak kaki[25].
7)       Prasasti Cidanghiang atau Lebak yang didapatkan di kampung Lebak, dipinggir sungai cidanghiang, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten. Prasasti ini ditemukan tahun 1947 dan berisi dua baris huruf yang merupakan satu Sloka  dalam metrum anustubh. Hurufnya Pallawa, yang dalam beberapa hal mirip dengan huruf pada prasasti Tugu.
Dan kerajaan Tarumanegara juga ditandai dengan adanya beberapa Arca Batu seperti: Arca Rajarsi yang diperkirakan berasal daerah Jakarta. Arca Wisnu Cibuaya I yang memperlihatkan adanya beberapa persamaaan dengan aeca yang ditemukkan di Semananjung Melayu, Siam dan Kamboja. Arca Wisnu Cibuaya termasuk arca yang agak tuayang memiliki kesamaan dengan arca-arca dari seni Pala abad VII-VIII M, baik dari jenis batu, bentuk arca beserta laksananya, bentuk badan dan makuta. yang pada kesimpulannya Jawa Barat masih menjadi pusat srbi dan agama, dan sesuai dengan berita Cina yang mengatakan bahwa pada abad VII M, masih ada sebuah negara bernama To-Lo-Mo, yang dianggap merupakan lafal cina dari Taruma.
1.      Keadaan Masyarakat
Segi yang sangat penting didalam kehidupan suatu masyarakat itu. Hal ini tidak hanya berarti mengenai apa yang mereka makan saja, tetapi juga bagaimana mereka memperoleh makanan mereka. Berdasarkan bukti-bukti dan sumber-sumber yang terdapat sampai saat ini, dapatlah diduga bagaimana kira-kira mata pencaharian penduduk zaman Tarumanegara. Kaluar dugaan tentang barang-barang dagangan yang berasal dari daerah Ho-Ling dapat diterima, maka kita memperoleh gambaran bahwa pada masa itu perburuan, pertambangan, perikanan, dan perniagaan termasuk mata pencarian penduduk, disamping pertanian, pelayaran dan peternakan.

Berita tentang perburuan dapat diperoleh dari berita tentang adanya culak badak dan gading gajah yang diperdagangkan, sementara itu kita tahu bahwa badak dan gajah adalah binatang liar, dan untuk mendapatkan cula dan gadingnya, yang terlebih dulu harus dilakukan perburuan. Perikanan dapat disimpulkan dari berita yang mengatakan bahwa kulit penyu juga termasuk barang dagangan yang banyak digemari saudagar-saudagar Cina. Kemungkinan akan adanya pertambangan, kita peroleh dari berita tentang diperdagangkanya mas dan perak yang disebutkan sebagai barang dagangannya, maka dengan sendirinya tidak usah disangsikan lagi, bahwa perniagaan dengan demikian juga merupakan salah satu mata pencarian penduduk. Sementara itu, kemungkinan tentang adanya pertanian dan peternakan sebagai mata-pencarian, dapat kita peroleh berdasarkan sumber-sumber prasasti, terutama prasasti Tugu[26] yang terlengkap dari semuanya itu. Pada prasasti ini telah disebutkan bahwa usaha pembuatan saluran yang dilakukan pada tahun keduapuluh-dua tahun pemerintahan raja Purnawarman, yang memiliki kegunaanya sebagai usaha untuk mengatasi banjir yang selalu melanda daerah pertanian disekitar itu. Disamping itu,juga ditemukan beberapa alat yang terbuat dari batu yang erat sekali hubungannya dengan usaha pertanian dan perladangan.
Tentang usaha peternakan yang berkaitan dengan prasasti Tugu tentang penghadiahan seribu ekor sapi kepada para Brahmana sebagai upacara selamatan[27].
Mengenai pelayaran, para pedagang Tarumanegara sendiri juga sudah melakukan usaha perniagaan dengan melakukan pelayaran ke daerah-daerah luar wilayahnya. Hal ini memungkinkan juga karena letaknya di Tarumanegara[28]. Namun, sayangnya dari semua uraian diatas hampir tidak dapat kita ketahui bagaimana teknologi yang bertalian dengan mata pencarian itu karena bukti-buktinya tidak ada.
Tidak dapat disangsikan lagi, bahwa perhubungan yang paling tua umurnya dilakukan melalui darat, bahwa perhubungan lebih jarang dilakukan, hanya pada saat-saat tertentu saja. Dengan berkembangnya Budaya, bertambah pula keinginan untuk mengadakan perhubungan niaga dengan masyarakat luar. Dengan adanya hubungan niaga dengan luar negeri, jelaslahlah bahwa hubungan melalui air memang merupakan salah satu bukti. Mengenai hubngan dd darat adanya perkiraaan bahwa lembu merupakan hewan piaraan yang selain untuk hadiah kepada kaum Brahmana dan pertanian,  juga dipergunakan untuk melakukan hubungan dalam negeri, dari satu tempat ketempat lainnya.
Semua yang dibicarakan bertalian dengan landasan ekonomi di atas, terjalin dalam kehidupan masyarakat yang menyebabkan semuanya itu menjadi efektif. Jalinan itulah yang disebut dengan organisasi sosial, yang merupakan pusat dari segala kegiatan manusia yang hidup di dalamnya, baik untuk meninggalkan derajat hidupnya, maupun untuk mengabadiakan dirinya.
Ditinjau dari segi budaya, terdapat dua golongan dalam masyarakat itu, ialah golongan masyarakat yang berbudaya Hindu dan golongan masyarakat yang berbudaya asli. Dapat dikatakan bahwa golongan yang pertama itu terbatas pada lingkungan kraton saja, sedangkan golongan yang kedua meliputi bagian terbesar penduduk Tarumanegara. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari, kedua golongan itu tidaklah berpisah, malahan dalam beberapa hal mereka dapat bekerja sama.
Pada kerajaan Tarumanegara terdapat agama Budha yang sama sekali terbatas pada berita Fa-hsien, yang mengatakan bahwa pada waktu itu disana hanya sedikit saja ditemui orang-orang yang beragama Buddha seperti Fa-hsien sendiri. Yang cukup menarik untuk diungkapkan, berita Fa-hsien tentang agama kotor yang telah menimbulkan pertentangan di antara para sarjan. Ada yang berpendapat bahwa agama kotor itu ialah agama Siwa Pasupata, sehingga dapat dikatakan bahwa agama Siwa Pasupata termasuk salah satu agama yang tersebar di Tarumanegara.
Sementara itu pula, pendapat yang menghubungkan agama kotor itu dengan agama parsi (Majusi),[29] yang mengenal upacara penanaman mayat dengan menempatkannya demikian saja didalam hutan.  Dengan ditunjang pendapatnya bahwa Ye-po-ti sebagaimana diberitakan oleh Fa-hsien itu sebenarnya tidak terletak di Jawa, tetapi di Kamboja, dan akhirnya pendapaat ini melahirkan kesimpulan bahwa agama kotor ditafsirkan sebagai agama yang sudah lama ada sebelum masuknya pengaruh India ke Indonesia. Oleh karena itu, agama ini mempunyai Upacara-upacara yang cukup berbeda dengan kedua agama India yang dikenal dengan Fa-hsien (Buddha-Hindu), maka disimpulkan pula bahwa penamaan agama kotor itu pada dasarnya disebabkan karena ketidaktahuan Fa-hsien akan sistem dan kehidupan keagamaan yang asli Indonesia pada masa itu, yang dapat dipastikan masih dianut oleh bagian terbesar penduduk Tarumanegara.
Berbicara mengenai sejarah terbentuknya negara Indonesia, juga tidak terlepas dari penjajahan-penjajahan yang pernah terjadi di Indonesia. Berikut ini akan dikupas  secara singkat bagaimana negara Indonesia yang telah dijajah oleh negara-negara asing:
Bermula dari pendudukan Malaka pada tahun 1512, Portugal akhirnya tiba di Indonesia dan menjadi bangsa Eropa yang pertama  menduduki tanah Nusantara. Tujuan mereka adalah untuk mendominasi Rempah-rempah dan menyebarkan ajaran katolik. Mereka mulai mendirikan pos jual-beli dan benteng di  kepulauan Ternate, Ambon, Solor, dan pulau-pulau lainnya. Puncak kejayaan aktifitas misionaris Portugal adalah abad ke-16 akhir, dimana kejayaan pada saat itu kejayaan Portugal tinggal Solor, Flores, dan Nusa Tenggara menyusul kekalahan mereka di Ternate dan Maluku.

Pada tahun 1619, pendudukan Jawa oleh VOC menjadi bagian terkelam dari sejarah berdirinya negara Indonesia pendudukan itu bermula dengan pendirian kota Batavia, dimana setelahnya VOC menjadi sangat berperan dalam politik di pulau Jawa dan beberapa kali melakukan perang dengan kerajaan Mataram dan Banten. VOC mengalami kebangkrutan pada  tahun 1800 dan dibubarkan, sehingga Thomas Stamford Raffles ditunjuk untuk mengambil alih pada tahun 1816 setelah sebelumnya Nusantara sempat diduduki oleh Inggris. Culturstelsel diterapkan pada tahun 1830, membawa Belanda dan Indonesia menuju kemakmuran dan sistem ini dihapuskan pada 1870. Pada tahun 1901, Belanda mulai menerapkan Politik Etis yang mulai sedikit lebih Manusiawi.

Pendudukan dan penjajahan jepang di Indonesia pada tahun 1940 menjadi bagian akhir sejarah berdirinya Indonesia terlebih dengan telah berdirinya beberapa Gerakan nasionalis sejak 1908 seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam. Pendudukan jepang dilatar belakangi embargo besar-besaran amerika terhadap pasukan minyak bumi jepang. Pada tahun 1942,seluruh  pasukan Belanda di Indonesia berhasil dikalahkan, dan pada tahun 1943, Soekarno dan Muhammad Hatta diberi penghargaan oleh kaisar Jepang. Kekalahan Jepang pada sekutu mendorong barisan pemuda Indonesia untuk menculik Soekarno dan Hatta untuk mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus, dan akhirnya menjadi awal berdirinya negara Indonesia.

Setiap kali kita berbicara masalah pristiwa sejarah, tidak lain kita akan disodorkan mengenai Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Lahirnya Pancasila, kesaktian Pancasila dan lain sebagainya. Sehingga timbul tanda tanya, apakah seluruh hari-hari istimewa[30] yang telah ditetapkan sebagai momentum sejarah itu, sekedar  sebagai rutinitas waktu yang sepi dari imajinasi budaya: ataukah hari-hari itu merupakan amanat hari pristiwa yang luar biasa (extraordinary) yang menagih keharusan kolektif untuk merefleksikan seluruh makna yang dipesankan. Jika yang pertama kita sedang mensakralkan waktu dalam bentuk mitos yang terkurung dalam ruang museum politik, maka yang kedua, kita sedang ditagih untuk melakukan evaluasi atas pemaknaan pristiwa yang terkandung dalam hari Istimewa itu. Berbicara mengenai Pancasila yang sangat dibutuhkan oleh agama disuatu negara, khususnya negara Indonesia  untuk dapat menyelesaikan  keterbatasannya, khusunya dalam mempertemukan kehendak bersama antar agama, sehingga dapat menyelesaikan masalah. Begitupun sebaliknya, Pancasila juga membutuhkan agama dalam memperkaya kedalaman makna hidup.
Pada 1 Juni,[31] Bung Karno merumuskan Pancasila sebagai Ideologi negara yang kemudian diperingati sebagai lahirnya Pancasila, sebagai upaya mempertegas kembali bahwa pluralitas condition sine quo non bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya tragedi tahun 1965 yang dalam versi rezim Orde baru disebut G-30-S/PKI, yang sering kali dianggap sebagai hari penghianatan Pancasila[32]. Hari itu ditetapkan sebagai hari kesaktian Pancasila. Sehingga, timbulah makna dalam seluruh Gerakan ini yaitu kuatnya semangat unity in diversity, berbeda-beda tetap satu jua, Bhineka tunggal ika. Namun sayangnya, semangat itu mulai memudar bahkan dalam kadar tertentu sedang terancam.
Pada tahun 1940  tepatnya lima tahun sebelum proklamasi kemerdekaan. Soekarno telah terlibat polemik  dengan natsir tentang hubungan antara agama dan negara dalam majalah Panji Islam yang berpangkalan di Medan. Soekarno secara tegas memperlihatkan dukungannya Pemisahan Islam dari Negara. Ia menentang pandangan mengenai hubungan formal antara Islam dan negara, khususnya dalam derajat ancaman yang akan menimpa bangsa ini jika hal itu tidak terselesaikan. Apa yang kita butuhkan kedepan disamping kita belajar dari masalah lalu, juga melakukan Revitalisasi: bagaimana agar Pancasila benar-benar mampu menjadi landasan pemecah masalah bangsa yang masih belum dapat keluar dari krisis multidimensi.  Apa yang dibutuhkan untuk merevilitasi Pancasila???
Pertama adalah bagaimana agar Pancasila dicoba dijadikan sebagai school of thought[33] bangsa Indonesia. Semangat kerakyatan yang dipesankan Pancasila, bukan saja masih relavan sampai hari ini, tetapi juga menjadi kebutuhan utama bangsa ini. Kemudian yang kedua, agar Pancasila memiliki kesaktian[34], maka ia harus benar-benar dipergunakan sebagai alat menyisir seluruh kebijakan pemerintah atas poleksosbudhankam, karena selama ini, tidak ada alat penyisir yang efektif dalam melakukan pengawasan terhadap penyelewengan Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, Pancasila sebagai ideologi terbuka. Pancasila harus bersedia untuk direvisi, diperbaharui, direaktualisasi dan tidak dimitoskan menjadi sebuah kesaktian semu.
Namun, di tingkat empiris, Pancasila telah gagal menjadi  guidance atas prinsip-prinsip yang dirumuskan sendiri. Dalam tingkat implementasi, pancasila telah kehilangan kemampuan untuk merumuskan "kehendak bersama". Kegagalan Pancasila pertama-tama bukan karena Pancasila memiliki elemen-elemen yang mendasari pembukaan UUD 1945 yang cenderung menjadi fosil tata nilai. Kemudian Pancasila juga hanya dijadikan sebagai penampung daftar keinginan bersama, tetapi kosong akan implementasinya[35]. Dimasa depan ketegangan baru yang paling mungkin terjadi adalah polarisasi pemahaman keagamaan yang telah menjamur pasca-orde baru. Derasnya pemahaman konservatisme keagaman, khususnya dikalangan mahasiswa dikampus-kampus umum, yang diduga untuk mempengaruhi corak pergumulan baru dalam eksistensi Pancasila. Maka dari itu, kebutuhan kita sekarang adalah bagaimana mencapai konsensus baru untuk menciptakan kewarganegaraan inklusif ditengah Tarik-manarik  kepentingan ideologi dan mengerasnya semangat neo-primordialisme, khususnya semangat egoisme kolektif dalam kesadaran keagamaan.
Sikap kompetitif Pancasila dengan Agama, sebagai sistem nilai yang memiliki watak dan karakteristik yang berbeda, telah melahirkan kompetisi baik dalam bidang idelogi (politik) maupun sebagai pendefinisi realitas. Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan antara partai berlandaskan ideologi agama dengan partai berlandaskan sekuler, kecuali sistem simboliknya, secara ideologis keduanya tidak mudah dipertemukan dan dalam kepanjangan waktu berpotensi melahirkan konflik. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa negara Indonesia menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang mampu menyelesaikan setiap ada masalah, agar negara Indonesia terhindar dari berbagai macam konflik yang bisa memecahbelahkan  antara satu dengan yang lainya. Seperti yang terdapat dalam sila pertama hingga sila kelima yang berbunyi: 
1.    Ketuhanan yang Maha Esa yang memiliki nilai yang mengandung bahwa negara yang didirikan adalah sebagai pengenjawantahan tujuan manusia sebagai makhluk ciptaan ciptaan tuhan yang Maha Esa. Oleh sebab itu, segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara bahkan moral negara, moral penyelenggaraan negara, politik negara, pemerintahan negara bahkan kebebasan dan hak asasi warga negara harus dijiwai nilai-nilai ketuhanan yang Maha Esa[36].
2.    Kemanusiaan yang adil dan beradap yang mengandung nilai-nilai bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat[37] dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradap.
3.         Persatuan Indonesia. Nilai yang terkandung dalam sila yang ketiga, tidak dapat dipisahkan dari keempat sila lainya karena seluruh sila merupakan suatu kesatuan yang bersifat sistematis[38]. Negara merupakan suatu persekutuan hidup bersamadiantara elemen-elemen yang membentuk negara yang berupa suku, ras, kelompok, maupun kelompok golongan agama.
4.        Kerakyatan yang Dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang memiliki nilai filosofis bahwa hakikat negara sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial karena hakikat rakyat sendiri merupakan sekelompok manusia sebagai makhluk tuhan yang Maha Esa yang bersatu yang bertujuan mewujudkan harkat martabat manusia dalam suatu wilayah negara.
5.    Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang mengandung nilai keadilan[39] yang harus terwujud dalam kehidupan bersama (kehidupan sosial)

  1. PENUTUP
Berbicara masalah negara tidak bisa dipisahkan dengan pancasila, kerena pancasila yang merupakan dasar dari negara Indonesia yang mana, Pancasila sendiri memiliki fungsi sebagai pedoman bagi negara Indonesia. Begitupun dengan agama juga tidak bisa dipisahkan dengan Pancasila, karena antara agama, negara dan pancasila saling berkaitan. Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dimana pada sila pertama yang berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa, yang bermakna" bukanlah negara yang terpisah dengan agama, tetapi negara juga tidak menyatu dengan agama". hubungan yang ideal antara negara dengan agama dalam suatu negara yang memiliki prinsip berdasarkan Ketuhana yang Maha Esa yang merupakan negara yang secara aktif dan dinamis dalam membimbing, memelihara serta  mengembangkan agama dan kepercayaan. Yang berarti, setiap warga negara berhak untuk memeluk Agama/bebas berkeyakinan sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Kebebasan yang dimaksud adalah, keputusan beragama atau beribadah diletakkan pada tingkat individu dan tidak ada persoalan yang bersangkutan dengan negara. Hanya saja negara menjamin dan memfasilitasi agar warga negara dapat menjalankan ibadah dengan aman, tentram dan damai tanpa ada gangguan dari setiap orang atau sekelompok masyarakat selama pelaksanaan keyakinan tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahawa negara dan agama saling membutuhkan satu sama lain. Agama membutuhkan negara untuk perkembangan agamanya, begitupun sebaliknya negara juga membutuhkan agama untuk dapat meningkatkan moral bangsa.   













DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press, 2010
Harjono, Anwar, Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan Iman Islam, Jakarta: Penerbit Buku Andalan, Gema Insani Press, 1995
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Penerbit: Paradigma Yogyakarta, 2014
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Pustaka LP3S, 2006
Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan, 1987
Mahpudin dan Suparman, Pancasila, Bandung: CV Pustaka Setia, 2016
Muhammadin, Kebutuhan Manusia Terhadap Agama, JIA/Juni 2014/Th.XIV/Nomor 1/99-114/101-102
Notosusanto, Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: Penerbit Balai Jakarta, 1993
Saidi, Anas, Relasi Pancasila, Agama, dan Kebudayaan Sebuah Refleksi, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 11 NO 1 Tahun  2009
Yunan, Nasution, Islam dan Problema-problema Kemasyarakatan, Jakarta: PT Bulan Bintang




Catatan:
1.      Makalah ini kurang dapat menangkap maksud dalam SAP. Seharusnya dalam pembahasan relasi agama dan negara dibahas mengenai tiga jenis paradigma, yaitu integratif, sekularistik, dan simbiotik.
2.      Dalam pembahasan sejarah terbentuknya negara Indonesia seharusnya langsung fokus pada sejarah di sekitar kemerdekaan, yang kala itu Pancasila lahir dan mengalami perbuahan-perubahan. Tidak usah muter-muter ke mana-mana.
3.      Pendahuluan dirubah, itu bukan seperti bentuk pendahuluan.






[1] [1]Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan: 1987, hlm 121
[2] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2006, hlm. 1
[3]ibid, hlm. 3

[4] Mahpudin dan suparman, Pancasila (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2016), hlm. 81-82.
[5]Muhammaddin, Kebutuhan Manusia Terhadap Agama,  JIA/Juni 2013/Th.XIV/Nomor 1/99-114 101-102
[6]Nasution Yunan, Islam dan Problema-probema Kemasyarakatan, (Jakarta: PT Bulan Bintang), hlm. 22
[7] Ibid,hlm 22-23
[8]Anwar Harjono, Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta: Penerbit  Buku Andalan: Gema Insani Press, 1995, hlm. 40
[9]ibid, hlm. 39

[10]ibid, hlm. 206


[11]ibid, hlm. 208


[12]ibid, hlm. 210



[13]ibid, hlm. 211




[14] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2006, hlm. 168

[15]Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2006, hlm. 211-212





[16]ibid, hlm. 215-217




[17] Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Penerbit Mizan: 1987, hlm 124-125

[18]ibid, hlm 126


[19] Anwar Harjono, Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, Jakarta: Penerbit  Buku Andalan: Gema Insani Press, 1995, hlm. 221



[20] Taufik Abdullah, Sejarah Lokal Di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit: Gadjah Mada university Press, 2010, hlm, 1-2
[21]  Ibid, hlm 2
[22] Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: penerbit: Balai Jakarta, 1993, hlm 38
[23] Ibid, hlm 40
[24] Ibid, hlm 40
[25] Ibid, hlm 42
[26] Ibid, hlm 46
[27] Ibid, hlm 46
[28] Ibid, hlm 49
[29] Ibid, hlm 50

[31] Anas Saidi, Relasi Pancasila, Agama, dan Kebudayaan Sebuah Refleksi, Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 11 No 1 tahun 2009, hlm 28
[32] Ibid, hlm
[33] Ibid, hlm 38
[34] Ibid, hlm 38
[35] Ibid, hlm 39
[36] Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Penerbit: Paradigma Yogyakarta, 2014, hlm 72-73
[37] Ibid, hlm 73
[38] Ibid, hlm 74
[39] Ibid, hlm 76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar