INTEGRASI ILMU SOSIAL DENGAN HADIST
Fyanka Noor
Agusningtias dan Mufudah Khairiyyah
Mahasiswa Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Kelas E (ICP) Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: fyankanoor11@gmail.com
Abstract
Pemaparan pandangan Islam mengenai masalah-masalah
sosial ini sangat perlu, agar setiap orang Islam sadar mengenai apa yang
seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya ditinggalkan. Sebab selain
mengatur akidah manusia, Islam juga mengatur kehidupannya. Tujuan penulisan ini sebagai upaya
mengintegrasikan hadits dengan ilmu-ilmu sosial. Objek kajian sosiologi
adalah masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti
kelompok-kelompoknya. Kelompok tersebut mencakup dengan meneliti keluarga,
etnis atau suku bangasa, komunitas pemerintahan dan bebagai organisasi sosial,
agama , politik, budaya, organisasi lainnya. Ilmu sosial dan ilmu hadits merupakaan dua sains terpisah namun
memiliki dimensi yang sama yaaitu manusia. Kedua sains ini bisa diintegrasikan
sebagai perpaduan. Ruang lingkup ilmu sosiaol dapat dikelompokkan
beberapa disiplin ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu sosial adalah sosiologi,
antropologi, gegografi, ekonomi, sejarah, psikologi, hukum, dan ilmu poliltik.
Abstract
The exposition of the Islamic
view on social matters is necessary, so that every Muslim is aware of what
should be done and what should be abandoned. Because in addition to regulating
the creed of man, Islam also regulate his life. The purpose of this writing as
an effort to integrate the hadith with the social sciences. The object of
sociology studies is the society and social behavior of human beings by
examining the groups. The group includes researching family, ethnic or ethnic
groups, governmental communities and other social, religious, political,
cultural, and organizational organizations. Social science and science of
hadith merupakaan two separate science but have the same dimension yaaitu
human. Both of these sciences can be integrated as a blend. The scope of social
science can be grouped several disciplines categorized as social science is
sociology, anthropology, gegography, economics, history, psychology, law, and
science poliltik
Keywords: Social interaction, Islamic perspective, hadith
- Penduhuluan
llmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam
ajaran Islam, hal ini terlihat dari banyaknya ayat al-Qur’an yang memandang
orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulya disamping hadis-hadis nabi
yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu. Dalam
al-Qur’an, kata ilmu dalam berbagai bentuknya digunakan lebih dari 800 kali, ini
menunjukkan bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari al-Qur’an sangat
kental dengan nuansa nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi
ciri penting dariagama Islam sebagamana dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani
bahwa salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah
penekanannya terhadap masalah ilmu (sains), al-Qur’an dan Sunnah mengajak kaum muslim
untuk mencari dan mendapatkan Ilmu dan kearifan ,serta menempatkan orang-orang yang
berpengetahuan pada derajat tinggi.[1]
Al-Qurán dan Hadits Nabi memerintahkan mengembangkan
ilmu pengetahuan dengan cara memikirkan ciptaan langit dan bumi, menyuruh untuk
berpikir,mmengamati, dan meneliti alam semesta. Al-Qurán menantang manusia
untuk meneliti alam semesta hingga sekecil-kecilnya. Misalnya, QS. al-Ghasiyah,
(88): 17-30: “Tidakkah mereka perhatikan bagaimana unta diciptakan, langit
ditinggikan, gunung ditegakkan dan bumi dihamparkan”. Ayat-ayat tersebut
jika diresapi maknanya secara mendalam, sebenarnya merupakan perintah dan
anjuran mengggali ilmu pengetahuan seluas-luasnya dengan melakukan riset
terhadap alam semesta. Persoalannya adalah, bahwa selama ini para ilmuan
seperti; ahli biologi, kimia, fisika, sosiologi, psikologi dan seterusnya,
dalam mengembangkan dan meneliti alam semesta belum mengacu kepada ayat-ayat
al-Qur’an. Sementara kebanyakan para ulama yang menekuni al-Qurán dan Hadits
berhenti pada kajian teks saja, belum sampai melahirkan semangat untuk meneliti
alam semesta ciptaan Allah secara ilmiah sebagaimana yang dipesan al-Qurán.
Masih akrab di telinga kita istilah dikotomi ilmu
agama dan sains (ilmu umum). Ilmu agama Islam adalah ilmu yang berbasiskan
wahyu, hadits Nabi dan ijtihad para Ulama. Misalnya; ilmu fiqh, ilmu tauhid,
ilmu tasawuf, Ilmu tafsir, ilmu hadits, sejarah peradaban Islam dan lain
sebagainya. Sedang sains (ilmu umum) adalah ilmu yang berbasiskan penalaran
manusia berdasarkan data yang empiris melalui penelitian. Seperti; matematika,
astronomi, biologi, kimia, kedokteran, antropologi, ekonomi, sosiologi,
psikologi dan lain sebagainya. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing,
terpisah antara satu dengan lainnya, baik dari segi objek formal-material,
metode penelitian, kriteria kebenaran, dan juga peran yang dimainkan[2]
- Ilmu-ilmu sosial dan hadis nabi
1.
Ilmu-ilmu sosial
dan ruang lingkupnya
Secara pendek dapatlah
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan (knowledge) yang tersusun
sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, yang selalu dapat diperiksa
dan ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap orang lain yang ingin
mengetahuinya. Perumusan tadi sebetulnya dari sempurna, tetapi terpenting
adalah perumusan tersebut mencakup beberapa unsur yang pokok. Unsur-unsur
(elements) yang meruapakan bagian-bagian yang tergabung dalam suatu kebutuhan
adalah :
a)
Pengetahuan (knowledge).
b)
Tersusun secara sistematis.
c)
Menggunakan pemikiran.
d)
Dapat dikontrol secara kritis
oleh orang lain atau umum (objektif).
Pengetahuan adalah
kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indranya, yang
berbeda sekali dengan kepercayaan, takhayul, dan penerangan-penerangan yang
keliru. Sangat penting untuk diketahui bahwa pengetahuan berbeda dengan buah
pikiran (ideas) tidak semua buah pikiran merupakan pengetahuan. [3]
Ilmu-ilmu sosial
dinamakan ilmu sosial dikarenakan ilmu-ilmu tersebut mengambil masyarakat atau
kehidupan bersama sebagai objek yang dipelajarinya. Ilmu-ilmu sosial belum
mempunyai kaidah-kaidah dan dalil-dalil tetap yang diterima oleh bagian
terbesar masyarakat karena ilmuilmu tersebut belum lama berkembang, sedsngkan
yang menjadi objeknya adalah masyarakat manusia yang selalu berubah-ubah.
Karena sifat masyarakat yang selalu berubah-ubah, hingga kini belum dapat
diselidiki dan dianalisis secara tuntas hubungan antara unsur-unsur di dalam
masyarakat secara lebih mendalam. Lain halnya dengan ilmu pengetahuan alam yang
telah lama berkembang sehingga telah mempunyai kaidah-kaidah dan dalil-dalil
yang teratur dan diterima oleh masyarakat, yang juga disebabkan karena objeknya
bukan manusia.
Istilah social pada
ilmu-ilmu sosial mempunyai arti yang berbeda dengan misalnya istilah sosialisme
atau istilah sosial pada Departemen Sosial. Apabila istilah "sosial"
pada ilmu-ilmu sosial menunjuk pada objeknya, yaitu masyarakat, sosialisme
merupakan suatu ideologi yang berpokom pada prinsip pemilikan umum (atas
alat-alat produksi dan jasa-jasa dalam bidang ekonomi). Sementara itu, istilah
sosial pada Departemen Sosial menunjukkan pada kegiatan-kegiatan di lapangan
sosial. Artinya kegiatan-kegiatan yang ditunjukan untuk mengatasi
persoalan-persoalan yang dihadapi oleh mayarakat dalam bidang kesejahteraan,
seperti misalnya tuna karya, tuna susila, orang jompo, yatim piatu dan lain
sebagainya, yang ruang lingkupnya adakah pekerjaan ataupun kesejahteraan
sosial.
Secara keilmuwan,
terdapat banyak teori tentang masyarakat maupun sosial. Aritosteles filsuf
Yunani Kuno yang menggunakan pendekatan biologis bahwa manusia adalah seekor
binatang dengan unsur-unsur tertentu yang khas , khususnya rasio dan tuturan.
Keduanya penting karena memberinya kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
sttandar-standar etis. Sebelum lahirnya teori-teori raksasa, seperti Thomas
Hobbers (yang dikenal dengan teori individualisme instumental dengan diktumnya
homo hominilipus.
Istilah sosial (Social dalam bahasa
Inggris) dalam ilmu sosial memilliki arti yang berbeda-beda, misalnya istilah
sosial dalam sosialisme dengan istilah Departemen Sosial, jelas kedua-duanya
menunjukan makna yang sangat jauh berbeda. Menurut Soeknto, apabila istilah sosial pad ilmu sosial menunjuk
pada objeknya, yaitu masyarakat, sosialisme
adalah suatu ideologi yang berpokok pada prinsip pemilikan umum atas
alat-alat produksi dan jasa-jasa dalam bidang ekonomi. Sedangkan istilah sosial
pada Departemen Sosial, menunjukkan pada kegiatan-kegiatan di lapangan sosial.
Artinya, kegiatan-kegiatan yang ditunjukkan untuk mengatasi persoalan-persoalan
yang di hadapi masyarakat dalam bidang kesejahteraan , seperti tuna karya, tuna susila, tuna wisma,
orang jompo, anak yatim piatu, dan lain-lain. Selain itu, Soekanto mengemukakan
bahwa istilah sosial pun berkenaan dengan perilaku interpersonal, atau yang berkaitan dengan proses-proses sosial.
Secara keilmuan, masyarakat yang menjadi objek kajian ilmu-ilmu sosial, dapat
dilihat sebagai sesuatu yang terdiri atas beberapa segi. Dilihat dari segi
ekonomi, akan bersangkut-paut dengan faktor produksi, distribusi, penggunaan
barang-barang, serta jasa-jasa. Di sinilah ilmu ekonomi yang akan membahas
tentang usaha-usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan materialnya dari
bahan-bahan yang terbatas ketersediaannya. Sedangkan dari segi politik, antara
lain berhubungan dengan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat. Berbeda dengan
psikologi sosial, yang pada hakikatnya mempelajari perilaku manusia sebagai
induvidu secara sosial. Selain itu, terdapat antropologi budaya yang lebih
menekankan pada masyarakat dan kebudayaannya, dan begitu seterusnya untuk ilmu
sosial lainnya, seperti gegografi sosial, sejarah, maupun sosiologi.[4]
Mengenai ruang lingkup ilmu sosial,
sampai sekarang ini para ahli sebenarnya tidak ada kesepakatan yang bulat.
Wallerstein mengelompokkan beberapa
disiplin ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu sosial adalah sosiologi,
antropologi, gegografi, ekonomi, sejarah, psikologi, hukum, dan ilmu poliltik.
Sedangkan Brown dalam karyanya yang berjudul Explanation in Social Sciences (1972) bahwa yang termasuk dalam
paket ilmu sosial meliputi sosiologi, antropologi, ekonomi, sejarah, demografi,
ilmu politik, dan psikologi.[5]
Objek kajian sosiologi adalah masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan
meneliti kelompok-kelompoknya. Kelompok tersebut mencakup dengan meneliti
keluarga, etnis atau suku bangasa, komunitas pemerintahan dan bebagai
organisasi sosial, agama , politik, budaya, organisasi lainnya. Sosiologi pun
mempelajari perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal usul
pertumbuhannya, serta menganalisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap para
anggotanya. Dengan demikan, sebagai objek kajian sosiologi adalah masyarakat
manusia yang dilihat dari sudut hubungan antarmanusia dan proses-proses yang
timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. [6]
2.
Relasi ilmu
sosial dengan hadis nabi
Hadist atau al-hadist menurut bahasa
al-jadii yang artinya sesuatu yang baru, lawan dari al Qadim (lama) yang artinya menunjukkan
kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadist juga sering disebut
dengan al-khabar, yang berarti yaitusesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan
dari seseorang kepada orang lai, sama maknanya dengan hadist.[7]
Sedangkan menurut istilah (terminologi), para ahli memberikan
definisi (ta'rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disipilin
ilmunya. Seperti pengertian hadist menurut ahli ushul akan berebeda dengan
pengertian yang diberikan oleh ahli hadist. Menurut ahli hadist ialah :
"Segala perkataan Nabi, perbuatan dan hal ihwanya nabi. Yang dimaksut
dengan "hal ihwal" ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW, yang
berkaitan dengan himmah, karakteristik,
sejarah kelahiran dan kebiasaan-kebiasannya.[8]
Fungsi sunnah pada pokoknya memberikan
penjelasan atau keterangan atau perincian terhadap hal-hal yang diperkatakan
dalam Al-Qur’an itu bersifat mujmal/global atau bersifat umum atau universal.
Ketetapan sunnah itu sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan bersifat
penjelasan terhadap hal-hal yang di bicarakan dalam Al-Qur’an.[9]
Pemaparan pandangan Islam mengenai
masalah-masalah sosial ini sangat perlu, agar setiap orang Islam sadar mengenai
apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang seharusnya ditingglkan. Sebab selain
mengatur akidah manusia, Islam juga mengatur kehidupannya. Selain itu, Islam
menjelaskan pula perihal agama dan menerapkan mengenai perkara dunia. Menurut
kacama mata Islam, manusia tidak memiliki tabiat sesuci Malaikat dan tidak pula
mewarisi tabiat sebuas binatang. Namun, melalui pendidikan dan pengajaran,
manusia bisa mencapai tarf yang tinggi. Sebaliknya, bilamana mengabaikan hal
tersebut, manusia dapat terjerumus ke lembah paling rendah dan hina serta ke
arah yang primitif dan egoistik yang terburuk. Oleh karena itu, untuk
kepentingan kehidupan manusia, Islam mengatur Ihwal kehidupan manusia.
Misalnya, mengatur makan, minum, berpakaina, berparangai dan bertingkah laku. Selain
itu, Islam mengatur pula cara-cara bergaul yang benar antar sesama manusia.[10]
C.
Integrasi
Ilmu-Ilmu Sosial dan Hadis Nabi
1) Pemahaman
Hadis dengan Ilmu-Ilmu Sosial
a. Konsep
Pemahaman Hadis
Tiap istilah
selalu memiliki definisi, dan dalam mendefinisikan sebuah istilah, sering kali
kita dihadapkan pada berbagai pengertian dan perbedaan, yang mana perbedaan
tersebut terdapat dalam berbagai buku rujukan atau statemen yang disampaikan
oleh para ulama, dan tidak jarang perbedaan
itu memicu kebingungan, khususnya saat hendak menyimpulkan makna yang
sebenarnya. Namun apabila kita mengetahui akar permasalahannya dan sudut
pandang penuturnya maka kebingungan itu akan hilang dan dapat dihindari.[11]
Adanya perbedaan
definisi, sebenarnya lebih dipengarui oleh disiplin dan konsentrasi para
pendefinisi istilah tersebut. Tipa ulama yang berkecimpung dalam bidang ilmu
tertentu memiliki definisi sesuai dengan bidnag ilmu yang digeluti, yang pada
gilirannya akan memunculkan satu
definisi baru yang berbeda dengan definisi
yang disampaikan oleh ulama lain yang berbeda konsentrasinya. Semua
definisi itu dapat dianggap benar, selama kita dapat menempatkan definisi
tersebut sesuai dengan bidang dan disiplin ilmu yang dimaksud.
Di sisi lain,
didapatkan bahwa tiap pengetahuan memiliki tiga omponen utama yang merupakan
tiang penyangga batang tubuh pengetahuan yang disusunnya. Ketiga komponen itu
adalah: ontologi, epistimologi dan aksiologi.[12]
Ontologi
merupakan asas dalam menetapkan batas ruang lingkup objek penelaahan dan
penafsiran hakikatrealitas (metafisik) dari objek ontologi tersebut.
Epistimologi merupakan asas cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan
disusun menjadi satu tubuh pengetahuan. Aksiologi merupakan asas dalam
menggunakan pengetahuan.
Hadis secara
etimologis berarti al-jadid atau al-khabar (berita). Menurut terminologi agama,
pemakaian istilah hadis juga berbeda-beda sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing pendefinisi. Hadis bisa
bermakna ucapan atau kalimat yang digunakan dalam percakapan, atau informasi
yang datang melalui wahyu.[13]
Pengertian umum
dari kata hadis itu sebagaimana halnya shalat, puasa dan zakat, kemudia
mengalami pergeseran di bawah pengaruh kuatnyaajaran islam. Kata hadis kemudian
digunakan secara khusus untuk menunjukkan salah satu jenis informasi (ikhbar)
dalam agama, dengantanpa meninggalkan maknanya yang umum.[14]
Ketika menjadi istilah teknis, hadis kemudian didefinisikan secara beragam
oleh banyak ulama dari berbagai latar belakang keilmuwan dan aliran sebagian
ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai: “Segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan (pengukuhan),
maupun sifat yang berupa penampilan fisik dan budi pekerti.”
Berbeda dengan
pandangan ahli hadis, ulama ushul fiqih justru mendefinisikan hadis secara
lebih sempit. Menurut mereka adalah “perkataan, perbuatan, ataupun persetujuan
Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum. Dalam hal ini, budi pekerti dan penampilan fiisk bukanlah bagian dari
hadis. Ada pula yang menyebutkan, bahwa jika digunakan kata hadis, maka dalam
perspektif ulama ushul fiqih, maksudnya adalah sunnah qauliyah.[15]
Sunnah secara
literal berarti jalan hidup (sirah) atau jalan (thariqah) yang baik maupun yang
buruk. Ibn Taimiyah mengungkapkan bahwa sunnah adalah “adat kebiasaan (al-adah),
atau cara (thariqah) yang terus diulang-ulang oleh beragam manusia, baik yang
dianggap sebagai ibadah ataupun bukan ibadah.”
Ulama hadis pada
umumnya menilai bahwa sunnah merupakan sinonim dari kata hadis, khabar dan
atsar. Mereka mendefinisikan sunnah sebagai “sesuatu yang diriwayatkan atau
dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan,
penampilan fisik dan budi pekerti, sirah, ataupun maghazy (peperangan atau
perjuangan), baik yang terjadi sebelum masa kenabian maupun setelahnya.[16]
Adapun menurut
ulama fiqih, sunnah berarti: perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala
dan apabila ditinggalkan tidak mendapat sanksi siksa.[17]
Sedangkan khabar
secara harfiah bermakna “berita” (khabar) atau “ucapan yang masih mengandung kemungkinan
benar atua dusta”. Dengan makna kebahasaan seperti ini maka kata khabar menjadi
aquivalen (sebanding) dengan hadis, karena kata hadis sendiri secara harfiah
memang bisa berarti “berita” (khabar).
Dari segi
terminologi, khabar juga dianggap sebagai sinonim dengan hadis. Jumhur ulama
hadis Sunni mendefinisikan khabar sebagai “sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW, sahabat, ataupun tabiin.” Dengan demikian, khabar meliputi sesuatu yang
marfu’, mauquf, dan mauqtu.
Namun demikian,
ada sebagian sarjana hadis yang menganggap bahwa khabar dan hadis bukanlah
sinonim. Dikemukakan bahwa hadis adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi
SAW, sedangkan khabar adalah sesuatu yang datang dari selain Nabi. Sehingga
orang yang menekuni bidang sejarah disebut “akhbary” (informan), sementara yang
berkecimpung dalam sunnah disebut “muhaddits”. Adapula yang berpendapat bahwa
antara khabar dan hadis mengandung pengertian umum dan khusus. Semua hadis
adalah khabar, dan sebaliknya tidak semua khabar adalah hadis. Maksud dari
pernyataan ini adalah bahwa hadis hanya mencakup sesuatu yang marfu’
(disandarkan kepada Nabi SAW) sedangkan khabar mencakup sesuatu yang marfu’ dan
juga mauquf (disandarkan kepada sahabat) serta mauqtu’ dan juga yang mauquf
(disandarkan kepada tabi’in).
Kata
atsar dari sudut kebahasaan mengandung arti “sisa dari sesuatu”. Selain itu,
kata atsar juga berarti “khabar”. Secara etimologiatsar dianggap sinonim dengan
hadis, khabar dan sunnah. Jumhur ulama hadis mengartikan atsar dengan “sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabt dan tabi’in.” Sementara imam Nawawi
menyebutkan bahw aatsar dalam terminologi ulama salaf dan mayoritas ulama
khalaf ada;h sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi SAW, (marfu’) maupun dari
sahabat (mauquf).[18]
Hadis
dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat urgen. Di mana hadis merupakan salah
satu sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Al-qur’an akan sulit untuk dipahami
tanpa interfensi hadis.[19]
Memakai
Al-Qur’an tanpa mengambil hadis sebagai landasan hukum dan pedoman hidup adalah
hal yang tidak mungkin, karena Al-Qur’an akan sulit dipahami tanpa menggunakan
hadis. Kaitannya dengan kedudukan hadis di samping Al-Qur’an sebagia sumber
ajaran Islam, maka Al-Qur’an merupakan sumber pertama, sedangkan hadis
merupakan sumber kedua. Bahkan sulit dipisahkan antara AL-Qur’an dan hadis,
karena keduanya adalah wahyu, hanya saja Al-Qur’an merupakan wahyu matluw dan
hadis wahyu ghairu matluw.
Banyak
dalil qath’iy yang menunjukkan bahwa hadis merupakan sumber hukum yang dapat
dijadikan sebagai hujjah dalam agama, baik dalil dari Al-Qur’an, sunnah maupun
ijma’ ulama.
Sementara
itu, kata pemahaman dalam tata kebahasaan berasal dari kata paham yang memiliki
arti pengertian, pendapat, pikiran, aliran, haluan, pandangan; mengerti benar,
tahu benar; pandai dan mengerti benar (tentang suatu hal). Pemahaman sendiri
didefinisikan sebagai proses, perbuatan, cara memahami, atau memahamkan. Kata
ini, dalam bahasa Arab diredaksikan dengan menggunakan kata fahm atau fiqh , yang keduanya adalah sinonim
dan bermakna memahami, mengerti, atau mengetahui (‘alima , ‘arafa , dan adraka ).[20]
Pemahaman Hadis
adalah bagian dari
pengkajian Hadis. Pada awalnya, pema-haman hadis
dilakukan secara sederhana dengan mengambil penjelasan-penjelasan dari
kitab-kitab syarh Hadis
secara tekstual tanpa
menggunakan metode dan pendekatan
di luar kebahasaan dan
kaedah-kaedah agama. Ahmad Surkati
(1874-1943 M) dipandang
sebagai tokoh awal
dalam perkembangan kajian hadis
di Indonesia. Ia
mengajak umat agar kembali kepada
Alquran dan Hadis. Menurutnya, dalil
hanya datang dari Allah dan Rasul-Nya. Ahmad Hassan (1887-1958 M)
juga mengajak umat
agar kembali kepada
Alquran dan Hadis.
Ia berdialog, polemik dan
menulis dengan dalil Alquran
dan Hadis. Pemikirannya banyak tertuang dalam
bukunya, Soal Jawab (4 Jilid,
1968). Syaikh Muhammad Nahfuz at-Tirmasi
(1920 M) termasuk tokoh
Hadis Indonesia yang
walaupun kiprahnya banyak di Arab Saudi, tetapi karya-karyanya di
bidang ilmu Hadis
banyak dipakai di
pesantren-pesantren Pulau Jawa.
T.M. Hasbi Ash
Shidiqiey (1904-1975 M) merupakan
ulama paling produktif
menulis di masanya dan menerjemahkan buku-buku Hadis dan ilmu
Hadis. Buku-buku mereka tersebut di atas menunjukkan bahwa
pemahaman yang mereka
terapkan terhadap Hadis bersifat konservatif
dan pemurnian. Buku-buku
mereka tidak mengenal
istilah kontekstual,
semantik, dan hermeneutik. Demikian juga
mereka tidak pernah menyebutkan macam-macam
pendekatan yang dikenal
pada zaman modern, seperti pendekatan historis,
sosiologis, sosio-historis, antropologis, dan psikologis. Istilah-istilah dan
konsep-konsep ini muncul di Indonesia pada pertengahan tahun 1990-an.[21]
Dari bahasan di atas
dapat dipahami bahwa
hadis adalah wahyu
yang diturunkan kepada seorang
Nabi untuk menjadi
penjelasan kepada Al-Qur’an yang menjadi petunjuk
bagi umat manusia
sepanjang zaman. Untuk
memahami hadis dan menggali
hukum darinya dibutuhkan
bukan hanya ilmu-ilmu
yang berkaitan dengannya, tetapi
juga penguasaan materinya dan rasa tanggung jawab dunia dan akhirat. Karena
itu, jumlah para ulama yang diakui berkompeten memahami hadis tidaklah terlalu
banyak. Di antara
tanda tanggung jawab
mereka adalah penguasaan mereka
terhadap hadis dan ilmu-ilmu yang berkaitan langsung dengan hadis dan
luasnya bacaan dan
wawasan mereka terhadap
materi hadis.[22]
a. Perangkat
Hadis dengan Ilmu-Ilmu Sosial
Proses
pemahaman dilakukan dengan menelaah aspek sejarah yang terjadi pada masa Nabi,
sehingga studi hadis tidak hanya berhenti pada upaya kritik ( naqd) eksternal (
sanad ) dan internal (matan) hadis saja. Lebih dari itu, harus ada upaya
pembongkaran makna yang terkandung di dalamnya, yang dikolaborasikan dengan
pendekatan historis kritis, baik yang bersifat mikro (konteks khusus) maupun
makro (konteks historis). Hal ini penting karena kesejarahan Nabi dengan masa
sekarang ini sangat berbeda jauh. Hasil dari upaya ini adalah agar dapat
diketahui latar belakang kemunculan suatu hadis dan kemudian bisa dipahami
bagaimana cara menerapkannya pada era sekarang.[23]
Menuju
upaya di atas, maka sangat penting menggunakan piranti keilmuan sosial, seperti
Sosiologi, Antropologi, dan Sejarah dalam memahami hadis Nabi. Sosiologi
berbicara mengenai masyarakat Arab dan konstruksi sosialnya, Antropologi
membincang manusia dan praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat Arab, dan Sejarah mendiskusikan situasi historis empiris masyarakat
Arab ketika itu.Kesadaran sejarah ( historical awareness) pada hakikatnya akan
mudah terciptamelaluitiga varian ilmu sosial itu. Kesadaran sejarah ini sangat
urgen dalam kajian hadis, sebab hadissebagai informasi hal ihwal seputar Nabi
sendiriterbentuk pada abad pertama hijriyah. [24]
Para ulama
modern sendiri telah
menyadari pentingnya kesadaran
sejarah dalam memahami hadis Nabi. Menurut Syuhudi Ismail, sesuai dengan
petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk semua manusia dan
sebagai rahmat bagi seluruh alam. Hal ini berarti kehadiran Nabi membawa
kebajikan dan rahmat bagi semua umat manusia dalam segala waktu dan tempat.
Meskipun demikian, Nabi Muhammad dibatasi oleh waktu dan tempat, yakni pada
abad pertama hijriyah di Saudi Arabia. Hadis Nabi, yang merupakan salah satu
sumber utama ajaran Islam di samping al-Qur’an, mengandung ajaran yang bersifat
universal tetapi sekaligus temporal, dan lokal.
Bagi
Syuhudi Ismail segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasana yang
melatarbelakangi ataupun hal-hal menyebabkan munculnya hadis
tersebut mempunyai kedudukan
penting dalam pemahaman suatu
hadis. Sehingga mungkin saja suatu hadis tertentu lebih tepat dipahami secara
tersurat (tekstual), sedang hadis lainnya lebih
sesuai dimaknai secara
tersirat (kontekstual). Pemahaman hadis secara tekstual dilakukan
bila hadis yang bersangkutan, setelah dikaitkan dengan segi-segi yang berkaitan
dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman yang
sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan. Sementara
itu, pemahaman hadis secara kontekstual dilakukan biladi belakang teks suatu
hadis, terdapat petunjuk kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan
dipahami tidak sebagaimana maknanya yang tersurat.
Beberapa
ulama telah merancang metode dalam memahami hadis Nabi, yang dikaitkan dengan
ilmu Sejarah, misalnya saja Syuhudi Ismail,seorang sarjana
hadis dari Indonesia.
Menurutnya, untuk mengetahui
dikotomi antara hadis yang tekstual dan kontekstual, seseorang harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut,
pertama, aspek-aspek linguistik matan hadis dan cakupan petunjuknya,
yang dapat berupa jawāmi‘ al-kalim (pernyataan singkat tapi padat makna), bahasa
tamŝīl , ungkapan-ungkapan simbolik, bahasa percakapan, dan ungkapan
analogi; kedua , fungsi dan kedudukan
Nabi Muhammad; ketiga , latar belakang historis munculnya suatu hadis, yang
meliputi beberapa karakter, yaitu hadis yang tidak mempunyai sebab khusus,
hadis yang memiliki sebab khusus, dan hadis yang berkaitan dengan keadaan yang
sedang terjadi (berkembang); dan keempat
, menyelesaikan hadis-hadis yang secara tekstual tampak saling bertentangan.[25]
Ada pula
Yūsuf al-Qaradhāwī yang
memberikan delapan langkah dalam
berinteraksi dengan hadis Nabi. Bagi ulama Mesir ini, jika seseorang menerapkan
delapan langkah tersebut, maka akan diperoleh pemahaman hadis yang ideal ( husn
fahm al-Sunnah al-Nabawiyah). Adapun bentuk konkret dari delapan langkah
tersebut adalah, pertama, memahami hadis
sesuai dengan petunjuk al-Qur`an; kedua , mengumpulkan hadis-hadis yang setema
(tematik); ketiga, kompromi atau tarjī h
terhadap hadis-hadis yang kontradiktif; keempat, memahami hadis sesuai dengan
latar belakang, situasi, dan kondisi serta tujuannya; kelima , membedakan antara sarana yang
berubah-ubah dan tujuan yang tetap;
keenam, membedakan antara ungkapan haqīqah dan majāz;
ketujuh, membedakan antara yang gaib dan yang nyata; dan delapan,
memastikan makna kata-kata dalam hadis.
Pendekatan
yang ditawarkan oleh pemerhati studi hadispun cukup beragam,
yang pada umumnya
menggunakan perangkat ilmu-ilmu
sosial. Misalnya saja Nizar Ali yang menawarkan beberapa pendekatan dalam
memahami hadis. Pertama, pendekatan
bahasa, yaitu pendekatan yang dilakukan apabila dalam sebuah matan terdapat
aspek-aspek keindahan bahasa
(balaghah ), yang memungkinkan mengandung pengertian
metaforis(majazi), sehingga berbeda dengan pengertian hakiki.
Kedua , pendekatan historis,
yaitu pendekatan dengan cara
memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa sejarah yang terkait dengan
latar belakang munculnya hadis. Ketiga ,
pendekatan sosiologis, yaitu pendekatan dengan memperhatikan dan mengkaji
keterkaitannya dengan kondisi dan situasi masyarakat pada saat munculnya
hadis. Keempat , pendekatan
sosio-historis, yakni pendekatan
dengan melihat sejarah sosial dan setting sosial pada saat dan menjelang hadis
tersebut disabdakan. Kelima , pendekatan antropologis, yaitu pendekatan dengan
cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat, tradisi, dan budaya yang berkembang dalam masyarakat yang dihadapi
Nabi ketika hadis itu disabdakan. Keenam, pendekatan psikologis, yaitu
pendekatan dengan memperhatikan
kondisi psikologis Nabi
dan masyarakat yang dihadapi Nabi ketika hadis tersebut disabdakan.
Sementara itu,
Abdul Mustaqimmenyuguhkan pendekatan historis, sosiologis, dan
antropologis. Pendekatan historis adalah suatu cara memahami hadis dengan cara
mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis itu disampaikan Nabi.
Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengaitkan ide atau gagasan yang terdapat
dalam hadis dengan determinasi-determinasi sosial dan situasi historis kultural
yang mengitarinya. Adapun pendekatan sosiologis merupakan pendekatan yang
menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu. Hal
ini dilakukan dengan memahami hadis dengan tingkah laku sosial yang ada pada
masa Nabi. Sedangkan pendekatan antropologi memperhatikan terbentuknya
pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan
masyarakat manusia. Mustaqim menambahkan bahwa ketiga pendekatan tersebut,
yakni historis, sosiologis, dan antropologis secara simplisistis dapat
disebut asbāb al-wurūd ‘ammah
(sebab-sebab munculnya hadis secara makro). [26]
Melihat
keterangan di atas, dari beberapa metode pemahaman serta berbagai pendekatan
yang ditawarkan, terlihat pemahaman hadis pada era sekarang lebih
menitikberatkan pada pemanfaatan ilmu-ilmu sosial sebagai media untuk
mengelaborasi makna-makna hadis Nabi. Para ulama modern berusaha untuk membidik
orientasinya pada aspek kesejarahan, baik realitas historispada era Nabi di
masa lampau maupun sejarah sekarang ini. Konteks kesejarahan di masa lalu ini
bukan hanya dilihat dalam perspektif mikro, tetapi juga pada konteks makro.
Meskipun
demikian, ada satu hal yang harus diperhatikan bahwa pemahaman pasti memasukkan
unsur subjektif, sehingga ketika seseorang yang hendak memahami teks hadis pada
realitasnya tidak akan pernah sampai pada dataran objektif. Hal ini sebab
pemahaman bukanlah suatu proses mengetahui yang berjalan secara statis di luar
kerangka ruang dan waktu, tetapi selalu terjadi dalam keadaan tertentu, pada
satu tempat dan
dalam ruang waktu
tertentu. Sebagaimana dipaparkan dalam karakteristik ilmu-ilmu sosial
yang tidak pernah mengenal kebenaran pasti, maka pemaknaan hadis tak ubahnya
seperti itu juga. Objektivitas secara total tidak mungkin diraih dalam
pemahaman hadis. Sebagai bagian dari implikasinya, seseorang tidak bisa
mengklaim bahwa hanya dirinya sajalah yang benar (truth claim), sebab hanya
Allahlah pemilik kebenaran yang hakiki.[27]
Integrasi
ilmu-ilmu sosial dan hadis berpijak pada prinsip shifting paradigm (pergeseran
paradigma) dalam diskurus filsafat. M. Amin Abdullahmenjelaskan bahwa menurut
telaah filsafat ilmu, hampir semua jenis kegiatan ilmu pengetahuan, baik
natural sciences maupun social sciences , selalu mengalami apa yang disebut
shifting paradigm. Hal ini dikarenakan kegiatan ilmu pengetahuan selamanya
bersifat historis, lantaran dibangun, dirancang, dan dirumuskan oleh akal budi
manusia yang juga bersifat historis. Bersifat historis di sini maksudnya adalah
terikat oleh ruang dan waktu, terpengaruh oleh perkembangan pemikiran, dan
perkembangan kehidupan sosial
yang mengitari penggal waktu
tertentu. Melihat aspek tersebut, sangat dimungkinkan terjadi perubahan,
pergeseran, perbaikan, perumusan kembali,
nasikh dan mansukh, serta penyempurnaan rancang bangun
epistemologi keilmuan. Jika tidak demikian, maka kegiatan keilmuan akan mandeg
dengan sendirinya alias bersifat statis. Islamic studies dalam artian sebagai
kegiatan keilmuan, bagi Amin Abdullah, sangatlah kaya nuansa sehingga
dimungkinkan untuk dapat diubah, dikembangkan, diperbaiki, dirumuskan kembali,
disempurnakan dengan semangat zaman yang mengitarinya.
Studi
hadis (hadith studies ) sebagai salah
satu bagian Islamic studies juga harus mengalami proses shifting paradigm. Dalam kata lain, ia
melakukan aktivitas integrasikeilmuan dengan ilmu-ilmu yang muncul dan
berkembang pada era modern, salah satunya adalah ilmu-ilmu sosial ( social
sciences). Kedua bidang ilmu ini bisa saling berdialektika dan bertukar
pikiran, sehingga memungkinkan terjadi perubahan, pergeseran,
perbaikan, dan penyempurnaan
kembali. Patut disadari bahwa
pada eramodern sekarang
ini, studi hadis membutuhkan perangkat motodologis yang
lebih modern sebagai hasil elaborasi dengan keilmuan yang bermunculan di era
modern, seperti ilmu-ilmu sosial. [28]
Lebih
jauh dalam proses integrasi,hadis sebagai sumber kedua dalam Islam dikembangkan
melalui ijtihad dengan berbagai macam pendekatan. Pendekatan yang digunakan adalah
ilmu-ilmu sosial, misalnyaIlmu Sosiologi, Antropologi, dan Sejarah.Hal ini
mengandung
makna
bahwa hadis sebagai objek material berstatus pasifdan ilmu-ilmu sosial sebagai
objek formal (pendekatan) bergerak aktif pada objek material. Dari proses ini lantas
memunculkan makna baru yang kontekstual dan selaras dengan perkembangan zaman.
Untuk menguraikan proses integrasi tersebutdapat dipahami dari visualisasi di
bawah ini:
Jika memang
hadis dan ilmu-ilmu
sosial harus saling berintegrasi sebagaimana visualisasi
di atas, lantas bagaimanakah cara hadis melakukan integrasi dengan ilmu-ilmu
sosial itu? Paling tidak cara yang muncul ada dua bentuk. Pertama, orang yang
telah berkecimpung dalam wacana studi hadis mempelajari ilmu-ilmu sosial, dan
mengaplikasikannya dalam kajian hadis. Cara pertama inilah yang kerap dipakai
oleh para sarjana hadis yang ingin melihat pembacaan hadis dengan kacamata
ilmu-ilmu sosial. Kedua, orang yang
telah bergelutdalam studi ilmu-ilmu sosial mencoba untuk memahami hadis dengan
latar belakang keilmuan sosial yang dimilikinya. [29]
Memang disadari
bahwa keduanya sama-sama
memiliki kelemahan. Cara pertama memiliki kelemahan, yakni dimungkinkan
sarjana hadis kurang
begitu menguasai bidang
keilmuan sosial, yang tentunya
bisa berakibat hasil kajian yang dilakukannya kurang memuaskan bila ditinjau
dari sudut pandang keilmuan sosial. Sementara itu cara yang kedua mempunyai
kelemahan berupa dimungkinkannya sarjana dari tradisi keilmuan sosial kurang
mempunyai kompetensi dalam ilmu hadis. Tetapi jika keduanya dikolaborasikan
atau dalam arti cara dua arah ini bisa terealisasikan secara beriringan, maka
bukan tidak mungkin hasil yang maksimal dalam studi hadis bisa didapatkan.
1. Aplikasi Pemahaman Hadis dengan Ilmu-Ilmu Sosial
Larangan bercerai-berai
I.
عن أبى هريرة
رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ان الله تعالى يرضى لكم أن
تعبدوه ولا تشركوا به شيئا وأن تعصموا بحبل الله جميعا ولاتفرقوا ويقره لكم قيل
وقال وكثرة السؤال واضاعة المال.{ رواه مسلم }
Terjemahan:
“Abu Hurairah r.a. berkata bahwa
Rasulullah SAW. Bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT. menyukai tiga macam yaitu,
kalau kamu menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Dan
supaya kamu berpegang teguh dengan ikatan Allah, dan janganlah bercerai-berai.
Dan Dia membenci bila kamu banyak bicara dan banyak bertanya dan memboroskan
harta.” (H. R.
Muslim).
Penjelasan
Maksudnya Allah membenci hamba-Nya yang
banyak bertanya sesuatu yang tidak berguna, karena ada pernyataan yang
mengatakan bahwa semakin banyak bertanya, semakin luas pengetahuan dan ilmu
orang tersebut. Pernyataan tersebut benar apabila yang ditanyakan itu adalah
hal-hal yang berhubungan dengan ilmu atau hal-hal yang berguna. Akan tetapi,
pada kenyataannya, tidak sedikit orang yang banyak bertanya, namun bukan untuk
menambah pengetahuannya, tetapi sekedar untuk memperolok-olok orang lalin atau
untuk mengetes pengetahuan orang lain atau untuk mengukur sejauh mana
pengetahuan orang yang ditanya itu, karena ia sendiri sudah mengetahui
jawabannya.[30]
Hadist ini juga biasa kita tarik
kesimpulan bahwa agama islam sangat menghargai sebuah persaudaraan terutama
antar sesama muslim. Karena persaudaraan yang kuat itu akan menjadikan sebuah
kelompok terlihat kuat. Ketika umat islam erat dalam persaudaraan maka tidak
ada perang saudara, tidak ada saling menyalahkan karena semua permasalahan
diselesaikan dengan cara kekeluargaan, dan orang di luar akan gentar dengan
kekuatan umat islam.
Dalam hal ini manusia tidaklah bisa
hidup sendirian, Allah SWT telah menjadikan manusia masing-masing membutuhkan
satu sama lain, supaya mereka tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam
segala hal atau urusan kepentingan hidup
masing masing, baik dengan jalan jual-beli, sewa-menyewa, bercocok tanam, atau
perusahaan yang lai-lain, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk
kemaslahatan umat.[31]
تَرَاضٍ عَنْ الْبَيْعُ إِنَّمَا
“Sesungguhnya Jual Beli itu haruslah dengan
saling suka sama suka.” (Riwayat Ibnu Hibban)
Penjelasan
Hadist diatas menerrangkan bahwa
jual-beli suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecualai dengan
perkataan, karena perasaan suka itu tergantung pada hati masing-masing. Ini
pendapat kebanyakan ulama. Tetapi Nawawi, Mutawali, Bagawi dan beberapa ulama
yang lain berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat
kebiasaan saja. Apabila menurut adat telah berlakubahwa hal yang sperti ini
sudah dipandang sebagai jual beli, itu sudah cukup kareana tidak ada suatu
dalil yang jelas untuk mewajibkan lafadz.[32]
Dari
hadis tersebut kita bisa mengetahui bahwa manusia itu tidak bisa hidup
sendirian atau individualis. Karena manusia itu sangat membutuhkan seseorang
atau kelompok untuk berinteraksi. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial
yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan antara
kelompok-kelompok manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok
kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu interaksi sosial dimulai pada saat
itu mereka saling menegur berjabat tangan saling berbicara atau bahkan mungkin
berkelahi. Semacam itu merupakan bentuk interaksi sosial walaupun orang-orang
yang bertemu muka tersebut tidak saling berbicara atau tidak tidak saling
menukar tanda-tanda interaksi sosial yang telah terjadi karena masing-masing
sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam
perasaan maupun saraf orang yang bersangkutan yang disebabkan oleh misalnya bau
keringat minyak wangi suara berjalan dan sebagainya.
Berlangsungnya
suatu proses interaksi didasarkan pada pembagian faktor antara lain faktor
imitasi sugesti identifikasi dan simpati semua faktor tersebut dapat bergerak
secara bersamaan atau sendiri-sendiri[33].
Suatu
interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat
(Soerjono Sukanto) yaitu: adanya kontak sosial, dan adanya komunikasi. Kontak
sosial berasal dari bahasa latin con atau cum yang berarti bersama-sama dan
tango yang berarti menyentuh. Jadi secara harfiah kontak adalah bersama-sama
menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah.
Sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, karena
orang dapat mengadakan hubungan tanpa harus menyentuhnya, seperti misalnya
dengan cara berbicara dengan orang yang bersangkutan. Dengan berkembangnya
teknologi dewasa ini, orang-orang dapat berhubungan satu sama lain dengan
melalui telepon, telegraf, radio, dan yang lainnya yang tidak perlu memerlukan
sentuhan badaniah. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk Soerjono
Soekanto : yaitu sebagai berikut : a.Antara orang perorangan Kontak sosial ini
adalah apabila anak kecil mempelajari kebiasaan-kebiasaan dalam keluarganya.
Proses demikian terjadi melalui komunikasi, yaitu suatu proses dimana anggota
masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana
dia menjadi anggota.
- Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya Kontak sosial ini misalnya adalah apabila seseorang merasakna bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat.
- Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya. Umpamanya adalah dua partai politik yang bekerja sama untuk mengalahkan partai politik lainnya. Kontak sosial memiliki beberapa sifat, yaitu kontal sosial positif dan kontak sosial negative. Kontak sosial positif adalah kontak sosial yang mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan kontak sosial negative mengarah kepada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan kontak sosial. Selain itu kontak sosial juga memiliki sifat primer atau sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka, sebaliknya kontak yang sekunder memerlukan suatu perantara.
Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi
tafsiran kepada orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah
atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.
Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin
disampaikan. Dengan adanya komunikasi sikap dan perasaan kelompok dapat
diketahui olek kelompok lain aatau orang lain. Hal ini kemudain merupakan bahan
untuk menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya. [34]
- Kesimpulan
Hadis dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat
urgen. Di mana hadis merupakan salah satu sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Al-qur’an akan sulit untuk dipahami tanpa interfensi hadis. Dapat dipahami bahwa
hadis merupakan wahyu
yang diturunkan kepada seorang
Nabi untuk menjadi
penjelasan kepada Al-Qur’an yang menjadi petunjuk
bagi umat manusia
sepanjang zaman. Untuk
memahami hadis dan menggali
hukum darinya dibutuhkan
bukan hanya ilmu-ilmu
yang berkaitan dengannya, tetapi
juga penguasaan materinya dan rasa tanggung jawab dunia dan akhirat. Sedangkan
Ilmu-ilmu sosial dinamakan ilmu sosial dkarenakan ilmu-ilmu tersebut mengambil
masyarakat atau kehidupan bersama sebagai objek yang dipelajarinya. Mengenai
ruang lingkup ilmu sosial, sampai sekarang ini para ahli sebenarnya tidak ada
kesepakatan yang bulat. Wallerstein
mengelompokkan beberapa disiplin ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu
sosial adalah sosiologi, antropologi, gegografi, ekonomi, sejarah, psikologi,
hukum, dan ilmu poliltik. Sedangkan Brown dalam karyanya yang berjudul Explanation in Social Sciences (1972)
bahwa yang termasuk dalam paket ilmu sosial meliputi sosiologi, antropologi,
ekonomi, sejarah, demografi, ilmu politik, dan psikologi.
Dalam
menciptakan keilmuwan seorang yang ahli dalam ilmu tertentu, perlu adanya hal
yang perlu dilakukan, salah satunya adalah ia dapat mengintegrasikan atau
menghubungkan ilmu yang dimilikinya itu dengan ilmu lainnya. Terutama integrasi
dengan ilmu agama yang sesuai dengan Ilmu hadist. Dalam mengintegrasikan antara
ilmu agama Islam dengan ilmu-ilmu umum perlu adanya tinjauan normatif teologi,
melalui tinjauan normatif teologis ini, seseorang akan di bawa kepada suatu
keadaan melihat masalah berdasarkan prespektif Tuhan dalam batas-batas yang
dapat dipahami manusia. Dalam
proses integrasi ini, hadis didudukkan sebagai objek material yang didekati
dengan objek formal berupa berbagai macam ilmu sosial yang ada, seperti Sosiologi,
Antropologi,Ilmu Geografi, Ilmu
Sejarah, Ilmu Ekonomi, Psikologi,
dan Ilmu Politik. Melalui bantuan ilmu-ilmu sosial tersebut diharapkan mampu
melahirkan makna-makna kontekstual yang siap diterapkan dalam berbagai masa dan
tempat di manapunumat Islam berada. Pemaparan pandangan Islam mengenai masalah-masalah
sosial ini sangat perlu, agar setiap orang Islam sadar mengenai apa yang
seyogyanya dilakukan dan apa yang seharusnya ditingglaka. Sebab selalin
mengatur akidah manusia, Islam juga mengatur kehidupannya. Selain itu, Islam
menjelaskan pula perihal agama dan menerapkan mengenai perkara dunia.
- Daftar pustaka
- Afwazi, Benny. 2014. Studi Hadist Kontemporer: Langkah Mudah dan Praktis Dalam Memahami Ilmu Hadist. Yogyakarta : Aura Pustaka
- http://andesa-ciamis.blogspot.co.id/2012/04/hadits-tentang-interaksi-sosial-oleh.html
- Jurnal Interaksi Sosial
- Mufid, Fathul. Integrasi Ilmu-Ilmu Islam.Kudus: STAIN kudus
- Sarifandi, Suja'i.2014 Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Hadis Nabii”, JURNAL USHULUDDIN Vol. XXI No. 1
- Shalaby, Ahmad. 2001. Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam. Jakarta: Amzah
- Soekanto, Soerjono.2013.Sosiologi Suatu Ilmu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
- Supardan, Dadang.2013. Pengantar Ilmu Sosial.Jakarta: Bumi Aksara
- Suparta, Munzier, 2003.Ilmu Hadist.Jakarta: Raja Grafindo Persiada
- Rasjid, Sulaiman, 2010, Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo
- Wahid, Ramli Abdul. 2015. Perkembangan Metode Pemahaman Hadist di Indonesia, Jurnal Analytica Islamica. Vol 4, no. 2.
- Zuhdi, Masjfuk. 1985. Pengantar Ilmu Hadist,Suarabay:Bina Ilmu
Catatan:
- Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof., Dr., Ustadz, dll) dihilangkan.
- Setiap tulisan yang dicantumkan harusnya mempunyai signifikansi dengan tema yang diangkat dalam tulisan.
- Tulisan itu bukan hanya dengan copy-paste dari jurnal/buku, tetapi melakukan parafrase.
- Penulisan footnote masih banyak kesalahan.
- Berikan keterangan lengkap jurnal/buku yang dikutip.
- Teliti setiap data yang dicantumkan.
[1] Suja’i Sarifandi, “Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Hadis Nabii”, JURNAL USHULUDDIN Vol. XXI No. 1, Januari 2014, halaman
1
[3] Prof. Dr.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu
Pengantar (Jakarta : Raja Grafindo Persada) halaman 5-6
[11] Zeid B.
Smeer, Studi Hadis Kontemporer Langkah
Mudah dan Praktis Dalam Memahami Hadis ( Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014)
halaman 1
[30]
http://andesa-ciamis.blogspot.co.id/2012/04/hadits-tentang-interaksi-sosial-oleh.html
[33] Soerjono
soekanto-budi sulidtyowati, sosiologi suatu pengantar, (Jakarta, Pt
RajaGrafindo Persada,2013),hlm,57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar