Minggu, 07 Mei 2017

Integrasi Ilmu Sosial dan Hadis (P-IPS E Semester Genap 2016/2017)




INTEGRASI ILMU SOSIAL DENGAN HADIST
Fyanka Noor Agusningtias dan Mufudah Khairiyyah
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas E (ICP) Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: fyankanoor11@gmail.com

Abstract
Pemaparan pandangan Islam mengenai masalah-masalah sosial ini sangat perlu, agar setiap orang Islam sadar mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya ditinggalkan. Sebab selain mengatur akidah manusia, Islam juga mengatur kehidupannya. Tujuan penulisan ini sebagai upaya mengintegrasikan hadits dengan ilmu-ilmu sosial. Objek kajian sosiologi adalah masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok-kelompoknya. Kelompok tersebut mencakup dengan meneliti keluarga, etnis atau suku bangasa, komunitas pemerintahan dan bebagai organisasi sosial, agama , politik, budaya, organisasi lainnya. Ilmu sosial dan ilmu hadits merupakaan dua sains terpisah namun memiliki dimensi yang sama yaaitu manusia. Kedua sains ini bisa diintegrasikan sebagai perpaduan. Ruang lingkup ilmu sosiaol dapat dikelompokkan beberapa disiplin ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu sosial adalah sosiologi, antropologi, gegografi, ekonomi, sejarah, psikologi, hukum, dan ilmu poliltik.

Abstract
The exposition of the Islamic view on social matters is necessary, so that every Muslim is aware of what should be done and what should be abandoned. Because in addition to regulating the creed of man, Islam also regulate his life. The purpose of this writing as an effort to integrate the hadith with the social sciences. The object of sociology studies is the society and social behavior of human beings by examining the groups. The group includes researching family, ethnic or ethnic groups, governmental communities and other social, religious, political, cultural, and organizational organizations. Social science and science of hadith merupakaan two separate science but have the same dimension yaaitu human. Both of these sciences can be integrated as a blend. The scope of social science can be grouped several disciplines categorized as social science is sociology, anthropology, gegography, economics, history, psychology, law, and science poliltik

Keywords: Social interaction, Islamic perspective, hadith




  1. Penduhuluan
llmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam, hal ini terlihat dari banyaknya ayat al-Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulya disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu. Dalam al-Qur’an, kata ilmu dalam berbagai bentuknya digunakan lebih dari 800 kali, ini menunjukkan bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari al-Qur’an sangat kental dengan nuansa nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dariagama Islam sebagamana dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani bahwa salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (sains), al-Qur’an dan Sunnah mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan Ilmu dan kearifan ,serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat tinggi.[1]

Al-Qurán dan Hadits Nabi memerintahkan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan cara memikirkan ciptaan langit dan bumi, menyuruh untuk berpikir,mmengamati, dan meneliti alam semesta. Al-Qurán menantang manusia untuk meneliti alam semesta hingga sekecil-kecilnya. Misalnya, QS. al-Ghasiyah, (88): 17-30: “Tidakkah mereka perhatikan bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung ditegakkan dan bumi dihamparkan”. Ayat-ayat tersebut jika diresapi maknanya secara mendalam, sebenarnya merupakan perintah dan anjuran mengggali ilmu pengetahuan seluas-luasnya dengan melakukan riset terhadap alam semesta. Persoalannya adalah, bahwa selama ini para ilmuan seperti; ahli biologi, kimia, fisika, sosiologi, psikologi dan seterusnya, dalam mengembangkan dan meneliti alam semesta belum mengacu kepada ayat-ayat al-Qur’an. Sementara kebanyakan para ulama yang menekuni al-Qurán dan Hadits berhenti pada kajian teks saja, belum sampai melahirkan semangat untuk meneliti alam semesta ciptaan Allah secara ilmiah sebagaimana yang dipesan al-Qurán.
Masih akrab di telinga kita istilah dikotomi ilmu agama dan sains (ilmu umum). Ilmu agama Islam adalah ilmu yang berbasiskan wahyu, hadits Nabi dan ijtihad para Ulama. Misalnya; ilmu fiqh, ilmu tauhid, ilmu tasawuf, Ilmu tafsir, ilmu hadits, sejarah peradaban Islam dan lain sebagainya. Sedang sains (ilmu umum) adalah ilmu yang berbasiskan penalaran manusia berdasarkan data yang empiris melalui penelitian. Seperti; matematika, astronomi, biologi, kimia, kedokteran, antropologi, ekonomi, sosiologi, psikologi dan lain sebagainya. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dengan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, dan juga peran yang dimainkan[2]
  1. Ilmu-ilmu sosial dan hadis nabi
1.      Ilmu-ilmu sosial dan ruang lingkupnya
Secara pendek dapatlah dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan (knowledge) yang tersusun sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, yang selalu dapat diperiksa dan ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap orang lain yang ingin mengetahuinya. Perumusan tadi sebetulnya dari sempurna, tetapi terpenting adalah perumusan tersebut mencakup beberapa unsur yang pokok. Unsur-unsur (elements) yang meruapakan bagian-bagian yang tergabung dalam suatu kebutuhan adalah :
a)      Pengetahuan (knowledge).
b)      Tersusun secara sistematis.
c)      Menggunakan pemikiran.
d)     Dapat dikontrol secara kritis oleh orang lain atau umum (objektif).
Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indranya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan, takhayul, dan penerangan-penerangan yang keliru. Sangat penting untuk diketahui bahwa pengetahuan berbeda dengan buah pikiran (ideas) tidak semua buah pikiran merupakan pengetahuan. [3]
Ilmu-ilmu sosial dinamakan ilmu sosial dikarenakan ilmu-ilmu tersebut mengambil masyarakat atau kehidupan bersama sebagai objek yang dipelajarinya. Ilmu-ilmu sosial belum mempunyai kaidah-kaidah dan dalil-dalil tetap yang diterima oleh bagian terbesar masyarakat karena ilmuilmu tersebut belum lama berkembang, sedsngkan yang menjadi objeknya adalah masyarakat manusia yang selalu berubah-ubah. Karena sifat masyarakat yang selalu berubah-ubah, hingga kini belum dapat diselidiki dan dianalisis secara tuntas hubungan antara unsur-unsur di dalam masyarakat secara lebih mendalam. Lain halnya dengan ilmu pengetahuan alam yang telah lama berkembang sehingga telah mempunyai kaidah-kaidah dan dalil-dalil yang teratur dan diterima oleh masyarakat, yang juga disebabkan karena objeknya bukan manusia.
Istilah social pada ilmu-ilmu sosial mempunyai arti yang berbeda dengan misalnya istilah sosialisme atau istilah sosial pada Departemen Sosial. Apabila istilah "sosial" pada ilmu-ilmu sosial menunjuk pada objeknya, yaitu masyarakat, sosialisme merupakan suatu ideologi yang berpokom pada prinsip pemilikan umum (atas alat-alat produksi dan jasa-jasa dalam bidang ekonomi). Sementara itu, istilah sosial pada Departemen Sosial menunjukkan pada kegiatan-kegiatan di lapangan sosial. Artinya kegiatan-kegiatan yang ditunjukan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh mayarakat dalam bidang kesejahteraan, seperti misalnya tuna karya, tuna susila, orang jompo, yatim piatu dan lain sebagainya, yang ruang lingkupnya adakah pekerjaan ataupun kesejahteraan sosial.
Secara keilmuwan, terdapat banyak teori tentang masyarakat maupun sosial. Aritosteles filsuf Yunani Kuno yang menggunakan pendekatan biologis bahwa manusia adalah seekor binatang dengan unsur-unsur tertentu yang khas , khususnya rasio dan tuturan. Keduanya penting karena memberinya kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan sttandar-standar etis. Sebelum lahirnya teori-teori raksasa, seperti Thomas Hobbers (yang dikenal dengan teori individualisme instumental dengan diktumnya homo hominilipus.
Istilah sosial (Social dalam bahasa Inggris) dalam ilmu sosial memilliki arti yang berbeda-beda, misalnya istilah sosial dalam sosialisme dengan istilah Departemen Sosial, jelas kedua-duanya menunjukan makna yang sangat jauh berbeda. Menurut Soeknto, apabila istilah sosial pad ilmu sosial menunjuk pada objeknya, yaitu masyarakat, sosialisme adalah suatu ideologi yang berpokok pada prinsip pemilikan umum atas alat-alat produksi dan jasa-jasa dalam bidang ekonomi. Sedangkan istilah sosial pada Departemen Sosial, menunjukkan pada kegiatan-kegiatan di lapangan sosial. Artinya, kegiatan-kegiatan yang ditunjukkan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang di hadapi masyarakat dalam bidang kesejahteraan ,  seperti tuna karya, tuna susila, tuna wisma, orang jompo, anak yatim piatu, dan lain-lain. Selain itu, Soekanto mengemukakan bahwa istilah sosial pun berkenaan dengan perilaku interpersonal, atau yang berkaitan dengan proses-proses sosial. Secara keilmuan, masyarakat yang menjadi objek kajian ilmu-ilmu sosial, dapat dilihat sebagai sesuatu yang terdiri atas beberapa segi. Dilihat dari segi ekonomi, akan bersangkut-paut dengan faktor produksi, distribusi, penggunaan barang-barang, serta jasa-jasa. Di sinilah ilmu ekonomi yang akan membahas tentang usaha-usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan materialnya dari bahan-bahan yang terbatas ketersediaannya. Sedangkan dari segi politik, antara lain berhubungan dengan penggunaan kekuasaan dalam masyarakat. Berbeda dengan psikologi sosial, yang pada hakikatnya mempelajari perilaku manusia sebagai induvidu secara sosial. Selain itu, terdapat antropologi budaya yang lebih menekankan pada masyarakat dan kebudayaannya, dan begitu seterusnya untuk ilmu sosial lainnya, seperti gegografi sosial, sejarah, maupun sosiologi.[4]
Mengenai ruang lingkup ilmu sosial, sampai sekarang ini para ahli sebenarnya tidak ada kesepakatan yang bulat. Wallerstein  mengelompokkan beberapa disiplin ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu sosial adalah sosiologi, antropologi, gegografi, ekonomi, sejarah, psikologi, hukum, dan ilmu poliltik. Sedangkan Brown dalam karyanya yang berjudul Explanation in Social Sciences (1972) bahwa yang termasuk dalam paket ilmu sosial meliputi sosiologi, antropologi, ekonomi, sejarah, demografi, ilmu politik, dan psikologi.[5]

Objek kajian sosiologi adalah masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok-kelompoknya. Kelompok tersebut mencakup dengan meneliti keluarga, etnis atau suku bangasa, komunitas pemerintahan dan bebagai organisasi sosial, agama , politik, budaya, organisasi lainnya. Sosiologi pun mempelajari perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal usul pertumbuhannya, serta menganalisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap para anggotanya. Dengan demikan, sebagai objek kajian sosiologi adalah masyarakat manusia yang dilihat dari sudut hubungan antarmanusia dan proses-proses yang timbul dari hubungan manusia dalam masyarakat. [6]

2.      Relasi ilmu sosial dengan hadis nabi
Hadist atau al-hadist menurut bahasa al-jadii yang artinya sesuatu yang baru, lawan dari  al Qadim (lama) yang artinya menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadist juga sering disebut dengan al-khabar, yang berarti yaitusesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lai, sama maknanya dengan hadist.[7]
Sedangkan menurut istilah (terminologi), para ahli memberikan definisi (ta'rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disipilin ilmunya. Seperti pengertian hadist menurut ahli ushul akan berebeda dengan pengertian yang diberikan oleh ahli hadist. Menurut ahli hadist ialah : "Segala perkataan Nabi, perbuatan dan hal ihwanya nabi. Yang dimaksut dengan "hal ihwal" ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW, yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaan-kebiasannya.[8]
Fungsi sunnah pada pokoknya memberikan penjelasan atau keterangan atau perincian terhadap hal-hal yang diperkatakan dalam Al-Qur’an itu bersifat mujmal/global atau bersifat umum atau universal. Ketetapan sunnah itu sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan bersifat penjelasan terhadap hal-hal yang di bicarakan dalam Al-Qur’an.[9]
Pemaparan pandangan Islam mengenai masalah-masalah sosial ini sangat perlu, agar setiap orang Islam sadar mengenai apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang seharusnya ditingglkan. Sebab selain mengatur akidah manusia, Islam juga mengatur kehidupannya. Selain itu, Islam menjelaskan pula perihal agama dan menerapkan mengenai perkara dunia. Menurut kacama mata Islam, manusia tidak memiliki tabiat sesuci Malaikat dan tidak pula mewarisi tabiat sebuas binatang. Namun, melalui pendidikan dan pengajaran, manusia bisa mencapai tarf yang tinggi. Sebaliknya, bilamana mengabaikan hal tersebut, manusia dapat terjerumus ke lembah paling rendah dan hina serta ke arah yang primitif dan egoistik yang terburuk. Oleh karena itu, untuk kepentingan kehidupan manusia, Islam mengatur Ihwal kehidupan manusia. Misalnya, mengatur makan, minum, berpakaina, berparangai dan bertingkah laku. Selain itu, Islam mengatur pula cara-cara bergaul yang benar antar sesama manusia.[10]

C.    Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Hadis Nabi
1)      Pemahaman Hadis dengan Ilmu-Ilmu Sosial
a.       Konsep Pemahaman Hadis
Tiap istilah selalu memiliki definisi, dan dalam mendefinisikan sebuah istilah, sering kali kita dihadapkan pada berbagai pengertian dan perbedaan, yang mana perbedaan tersebut terdapat dalam berbagai buku rujukan atau statemen yang disampaikan oleh para ulama, dan tidak jarang perbedaan  itu memicu kebingungan, khususnya saat hendak menyimpulkan makna yang sebenarnya. Namun apabila kita mengetahui akar permasalahannya dan sudut pandang penuturnya maka kebingungan itu akan hilang dan dapat dihindari.[11]
Adanya perbedaan definisi, sebenarnya lebih dipengarui oleh disiplin dan konsentrasi para pendefinisi istilah tersebut. Tipa ulama yang berkecimpung dalam bidang ilmu tertentu memiliki definisi sesuai dengan bidnag ilmu yang digeluti, yang pada gilirannya akan memunculkan  satu definisi baru yang berbeda dengan definisi  yang disampaikan oleh ulama lain yang berbeda konsentrasinya. Semua definisi itu dapat dianggap benar, selama kita dapat menempatkan definisi tersebut sesuai dengan bidang dan disiplin ilmu yang dimaksud.
Di sisi lain, didapatkan bahwa tiap pengetahuan memiliki tiga omponen utama yang merupakan tiang penyangga batang tubuh pengetahuan yang disusunnya. Ketiga komponen itu adalah: ontologi, epistimologi dan aksiologi.[12]
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas ruang lingkup objek penelaahan dan penafsiran hakikatrealitas (metafisik) dari objek ontologi tersebut. Epistimologi merupakan asas cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi satu tubuh pengetahuan. Aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan.
Hadis secara etimologis berarti al-jadid atau al-khabar (berita). Menurut terminologi agama, pemakaian istilah hadis juga berbeda-beda sesuai dengan disiplin  ilmu masing-masing pendefinisi. Hadis bisa bermakna ucapan atau kalimat yang digunakan dalam percakapan, atau informasi yang datang melalui wahyu.[13]
Pengertian umum dari kata hadis itu sebagaimana halnya shalat, puasa dan zakat, kemudia mengalami pergeseran di bawah pengaruh kuatnyaajaran islam. Kata hadis kemudian digunakan secara khusus untuk menunjukkan salah satu jenis informasi (ikhbar) dalam agama, dengantanpa meninggalkan maknanya yang umum.[14]
Ketika menjadi istilah teknis, hadis kemudian didefinisikan secara beragam oleh banyak ulama dari berbagai latar belakang keilmuwan dan aliran sebagian ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai: “Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan (pengukuhan), maupun sifat yang berupa penampilan fisik dan budi pekerti.”
Berbeda dengan pandangan ahli hadis, ulama ushul fiqih justru mendefinisikan hadis secara lebih sempit. Menurut mereka adalah “perkataan, perbuatan, ataupun persetujuan Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum. Dalam hal ini, budi pekerti  dan penampilan fiisk bukanlah bagian dari hadis. Ada pula yang menyebutkan, bahwa jika digunakan kata hadis, maka dalam perspektif ulama ushul fiqih, maksudnya adalah sunnah qauliyah.[15]
Sunnah secara literal berarti jalan hidup (sirah) atau jalan (thariqah) yang baik maupun yang buruk. Ibn Taimiyah mengungkapkan bahwa sunnah adalah “adat kebiasaan (al-adah), atau cara (thariqah) yang terus diulang-ulang oleh beragam manusia, baik yang dianggap sebagai ibadah ataupun bukan ibadah.”
Ulama hadis pada umumnya menilai bahwa sunnah merupakan sinonim dari kata hadis, khabar dan atsar. Mereka mendefinisikan sunnah sebagai “sesuatu yang diriwayatkan atau dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, penampilan fisik dan budi pekerti, sirah, ataupun maghazy (peperangan atau perjuangan), baik yang terjadi sebelum masa kenabian maupun setelahnya.[16]
Adapun menurut ulama fiqih, sunnah berarti: perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat sanksi siksa.[17]
Sedangkan khabar secara harfiah bermakna “berita” (khabar) atau “ucapan yang masih mengandung kemungkinan benar atua dusta”. Dengan makna kebahasaan seperti ini maka kata khabar menjadi aquivalen (sebanding) dengan hadis, karena kata hadis sendiri secara harfiah memang bisa berarti “berita” (khabar).
Dari segi terminologi, khabar juga dianggap sebagai sinonim dengan hadis. Jumhur ulama hadis Sunni mendefinisikan khabar sebagai “sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat, ataupun tabiin.” Dengan demikian, khabar meliputi sesuatu yang marfu’, mauquf, dan mauqtu.
Namun demikian, ada sebagian sarjana hadis yang menganggap bahwa khabar dan hadis bukanlah sinonim. Dikemukakan bahwa hadis adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW, sedangkan khabar adalah sesuatu yang datang dari selain Nabi. Sehingga orang yang menekuni bidang sejarah disebut “akhbary” (informan), sementara yang berkecimpung dalam sunnah disebut “muhaddits”. Adapula yang berpendapat bahwa antara khabar dan hadis mengandung pengertian umum dan khusus. Semua hadis adalah khabar, dan sebaliknya tidak semua khabar adalah hadis. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa hadis hanya mencakup sesuatu yang marfu’ (disandarkan kepada Nabi SAW) sedangkan khabar mencakup sesuatu yang marfu’ dan juga mauquf (disandarkan kepada sahabat) serta mauqtu’ dan juga yang mauquf (disandarkan kepada tabi’in).
Kata atsar dari sudut kebahasaan mengandung arti “sisa dari sesuatu”. Selain itu, kata atsar juga berarti “khabar”. Secara etimologiatsar dianggap sinonim dengan hadis, khabar dan sunnah. Jumhur ulama hadis mengartikan atsar dengan “sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabt dan tabi’in.” Sementara imam Nawawi menyebutkan bahw aatsar dalam terminologi ulama salaf dan mayoritas ulama khalaf ada;h sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi SAW, (marfu’) maupun dari sahabat (mauquf).[18]
Hadis dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat urgen. Di mana hadis merupakan salah satu sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Al-qur’an akan sulit untuk dipahami tanpa interfensi hadis.[19]
Memakai Al-Qur’an tanpa mengambil hadis sebagai landasan hukum dan pedoman hidup adalah hal yang tidak mungkin, karena Al-Qur’an akan sulit dipahami tanpa menggunakan hadis. Kaitannya dengan kedudukan hadis di samping Al-Qur’an sebagia sumber ajaran Islam, maka Al-Qur’an merupakan sumber pertama, sedangkan hadis merupakan sumber kedua. Bahkan sulit dipisahkan antara AL-Qur’an dan hadis, karena keduanya adalah wahyu, hanya saja Al-Qur’an merupakan wahyu matluw dan hadis wahyu ghairu matluw.
Banyak dalil qath’iy yang menunjukkan bahwa hadis merupakan sumber hukum yang dapat dijadikan sebagai hujjah dalam agama, baik dalil dari Al-Qur’an, sunnah maupun ijma’ ulama.
Sementara itu, kata pemahaman dalam tata kebahasaan berasal dari kata paham yang memiliki arti pengertian, pendapat, pikiran, aliran, haluan, pandangan; mengerti benar, tahu benar; pandai dan mengerti benar (tentang suatu hal). Pemahaman sendiri didefinisikan sebagai proses, perbuatan, cara memahami, atau memahamkan. Kata ini, dalam bahasa Arab diredaksikan dengan menggunakan kata  fahm atau fiqh , yang keduanya adalah sinonim dan bermakna memahami, mengerti, atau mengetahui (‘alima ,  ‘arafa , dan adraka ).[20]
Pemahaman  Hadis  adalah  bagian  dari  pengkajian  Hadis. Pada  awalnya, pema-haman  hadis  dilakukan  secara  sederhana dengan mengambil  penjelasan-penjelasan  dari  kitab-kitab  syarh  Hadis  secara  tekstual  tanpa  menggunakan metode  dan  pendekatan  di luar  kebahasaan  dan  kaedah-kaedah  agama.  Ahmad Surkati  (1874-1943  M)  dipandang  sebagai  tokoh  awal  dalam  perkembangan kajian  hadis  di  Indonesia.  Ia  mengajak  umat  agar kembali    kepada  Alquran  dan Hadis. Menurutnya, dalil hanya datang dari Allah dan Rasul-Nya. Ahmad Hassan (1887-1958  M)  juga  mengajak  umat  agar  kembali  kepada  Alquran  dan  Hadis.  Ia berdialog,  polemik  dan  menulis  dengan  dalil  Alquran  dan  Hadis.  Pemikirannya banyak tertuang  dalam  bukunya, Soal  Jawab (4  Jilid,  1968).  Syaikh  Muhammad Nahfuz  at-Tirmasi  (1920  M) termasuk  tokoh  Hadis  Indonesia  yang  walaupun kiprahnya banyak di  Arab  Saudi, tetapi karya-karyanya  di  bidang  ilmu  Hadis  banyak  dipakai  di  pesantren-pesantren  Pulau  Jawa.  T.M.  Hasbi  Ash  Shidiqiey (1904-1975  M)  merupakan  ulama  paling  produktif  menulis di  masanya  dan menerjemahkan buku-buku Hadis dan ilmu Hadis. Buku-buku mereka tersebut di atas menunjukkan  bahwa  pemahaman  yang  mereka  terapkan  terhadap  Hadis bersifat  konservatif  dan  pemurnian.  Buku-buku  mereka  tidak  mengenal  istilah kontekstual,  semantik,  dan  hermeneutik. Demikian  juga  mereka  tidak  pernah menyebutkan  macam-macam  pendekatan  yang  dikenal  pada  zaman  modern, seperti pendekatan historis, sosiologis, sosio-historis, antropologis, dan psikologis. Istilah-istilah dan konsep-konsep ini muncul di Indonesia pada pertengahan tahun 1990-an.[21]
Dari  bahasan  di atas  dapat  dipahami  bahwa  hadis  adalah  wahyu  yang diturunkan  kepada  seorang  Nabi  untuk  menjadi  penjelasan  kepada  Al-Qur’an yang menjadi  petunjuk  bagi  umat  manusia  sepanjang  zaman.  Untuk  memahami  hadis dan  menggali  hukum  darinya  dibutuhkan  bukan  hanya  ilmu-ilmu  yang  berkaitan dengannya, tetapi juga penguasaan materinya dan rasa tanggung jawab dunia dan akhirat. Karena itu, jumlah para ulama yang diakui berkompeten memahami hadis tidaklah  terlalu  banyak.  Di  antara  tanda  tanggung  jawab  mereka  adalah penguasaan mereka terhadap hadis dan ilmu-ilmu yang berkaitan langsung dengan hadis  dan  luasnya  bacaan  dan  wawasan  mereka  terhadap  materi  hadis.[22]
a.       Perangkat Hadis dengan Ilmu-Ilmu Sosial
Proses pemahaman dilakukan dengan menelaah aspek sejarah yang terjadi pada masa Nabi, sehingga studi hadis tidak hanya berhenti pada upaya kritik ( naqd) eksternal ( sanad ) dan internal (matan) hadis saja. Lebih dari itu, harus ada upaya pembongkaran makna yang terkandung di dalamnya, yang dikolaborasikan dengan pendekatan historis kritis, baik yang bersifat mikro (konteks khusus) maupun makro (konteks historis). Hal ini penting karena kesejarahan Nabi dengan masa sekarang ini sangat berbeda jauh. Hasil dari upaya ini adalah agar dapat diketahui latar belakang kemunculan suatu hadis dan kemudian bisa dipahami bagaimana cara menerapkannya pada era sekarang.[23]
Menuju upaya di atas, maka sangat penting menggunakan piranti keilmuan sosial, seperti Sosiologi, Antropologi, dan Sejarah dalam memahami hadis Nabi. Sosiologi berbicara mengenai masyarakat Arab dan konstruksi sosialnya, Antropologi membincang manusia dan praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Arab, dan Sejarah mendiskusikan situasi historis empiris masyarakat Arab ketika itu.Kesadaran sejarah ( historical awareness) pada hakikatnya akan mudah terciptamelaluitiga varian ilmu sosial itu. Kesadaran sejarah ini sangat urgen dalam kajian hadis, sebab hadissebagai informasi hal ihwal seputar Nabi sendiriterbentuk pada abad pertama hijriyah. [24]
Para  ulama  modern  sendiri  telah  menyadari  pentingnya kesadaran sejarah dalam memahami hadis Nabi. Menurut Syuhudi Ismail, sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk semua manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Hal ini berarti kehadiran Nabi membawa kebajikan dan rahmat bagi semua umat manusia dalam segala waktu dan tempat. Meskipun demikian, Nabi Muhammad dibatasi oleh waktu dan tempat, yakni pada abad pertama hijriyah di Saudi Arabia. Hadis Nabi, yang merupakan salah satu sumber utama ajaran Islam di samping al-Qur’an, mengandung ajaran yang bersifat universal tetapi sekaligus temporal, dan lokal.
Bagi Syuhudi Ismail segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasana yang melatarbelakangi ataupun hal-hal menyebabkan munculnya  hadis  tersebut  mempunyai  kedudukan  penting  dalam pemahaman suatu hadis. Sehingga mungkin saja suatu hadis tertentu lebih tepat dipahami secara tersurat (tekstual), sedang hadis lainnya lebih  sesuai  dimaknai  secara  tersirat  (kontekstual).  Pemahaman hadis secara tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dikaitkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman yang sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan. Sementara itu, pemahaman hadis secara kontekstual dilakukan biladi belakang teks suatu hadis, terdapat petunjuk kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami tidak sebagaimana maknanya yang tersurat.
Beberapa ulama telah merancang metode dalam memahami hadis Nabi, yang dikaitkan dengan ilmu Sejarah, misalnya saja Syuhudi Ismail,seorang  sarjana  hadis  dari  Indonesia.  Menurutnya,  untuk mengetahui dikotomi antara hadis yang tekstual dan kontekstual, seseorang harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut,  pertama, aspek-aspek linguistik matan hadis dan cakupan petunjuknya, yang dapat berupa  jawāmi‘ al-kalim  (pernyataan singkat tapi padat makna), bahasa tamŝīl , ungkapan-ungkapan simbolik, bahasa percakapan, dan ungkapan analogi;  kedua , fungsi dan kedudukan Nabi Muhammad; ketiga , latar belakang historis munculnya suatu hadis, yang meliputi beberapa karakter, yaitu hadis yang tidak mempunyai sebab khusus, hadis yang memiliki sebab khusus, dan hadis yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi (berkembang); dan  keempat , menyelesaikan hadis-hadis yang secara tekstual tampak saling bertentangan.[25]
Ada  pula  Yūsuf  al-Qaradhāwī  yang  memberikan  delapan langkah dalam berinteraksi dengan hadis Nabi. Bagi ulama Mesir ini, jika seseorang menerapkan delapan langkah tersebut, maka akan diperoleh pemahaman hadis yang ideal ( husn fahm al-Sunnah al-Nabawiyah). Adapun bentuk konkret dari delapan langkah tersebut adalah, pertama,  memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Qur`an; kedua , mengumpulkan hadis-hadis yang setema (tematik);  ketiga, kompromi atau tarjī h terhadap hadis-hadis yang kontradiktif; keempat, memahami hadis sesuai dengan latar belakang, situasi, dan kondisi serta tujuannya;  kelima , membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap;  keenam, membedakan antara ungkapan haqīqah  dan majāz;  ketujuh, membedakan antara yang gaib dan yang nyata; dan delapan, memastikan makna kata-kata dalam hadis.
Pendekatan yang ditawarkan oleh pemerhati studi hadispun cukup  beragam,  yang  pada  umumnya  menggunakan  perangkat ilmu-ilmu sosial. Misalnya saja Nizar Ali yang menawarkan beberapa pendekatan dalam memahami hadis.  Pertama, pendekatan bahasa, yaitu pendekatan yang dilakukan apabila dalam sebuah matan terdapat aspek-aspek  keindahan  bahasa  (balaghah ),  yang  memungkinkan mengandung pengertian metaforis(majazi), sehingga berbeda dengan pengertian  hakiki.  Kedua ,  pendekatan  historis,  yaitu  pendekatan dengan cara memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa sejarah yang terkait dengan latar belakang munculnya hadis.  Ketiga , pendekatan sosiologis, yaitu pendekatan dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan kondisi dan situasi masyarakat pada saat  munculnya  hadis.  Keempat ,  pendekatan  sosio-historis,  yakni pendekatan dengan melihat sejarah sosial dan setting sosial pada saat dan menjelang hadis tersebut disabdakan. Kelima , pendekatan antropologis, yaitu pendekatan dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tradisi, dan budaya yang berkembang dalam masyarakat yang dihadapi Nabi ketika hadis itu disabdakan. Keenam, pendekatan psikologis, yaitu pendekatan  dengan  memperhatikan  kondisi  psikologis  Nabi  dan masyarakat yang dihadapi Nabi ketika hadis tersebut disabdakan.
Sementara  itu,  Abdul  Mustaqimmenyuguhkan  pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis. Pendekatan historis adalah suatu cara memahami hadis dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis itu disampaikan Nabi. Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengaitkan ide atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-determinasi sosial dan situasi historis kultural yang mengitarinya. Adapun pendekatan sosiologis merupakan pendekatan yang menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu. Hal ini dilakukan dengan memahami hadis dengan tingkah laku sosial yang ada pada masa Nabi. Sedangkan pendekatan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia. Mustaqim menambahkan bahwa ketiga pendekatan tersebut, yakni historis, sosiologis, dan antropologis secara simplisistis dapat disebut  asbāb al-wurūd ‘ammah (sebab-sebab munculnya hadis secara makro). [26]
Melihat keterangan di atas, dari beberapa metode pemahaman serta berbagai pendekatan yang ditawarkan, terlihat pemahaman hadis pada era sekarang lebih menitikberatkan pada pemanfaatan ilmu-ilmu sosial sebagai media untuk mengelaborasi makna-makna hadis Nabi. Para ulama modern berusaha untuk membidik orientasinya pada aspek kesejarahan, baik realitas historispada era Nabi di masa lampau maupun sejarah sekarang ini. Konteks kesejarahan di masa lalu ini bukan hanya dilihat dalam perspektif mikro, tetapi juga pada konteks makro.
Meskipun demikian, ada satu hal yang harus diperhatikan bahwa pemahaman pasti memasukkan unsur subjektif, sehingga ketika seseorang yang hendak memahami teks hadis pada realitasnya tidak akan pernah sampai pada dataran objektif. Hal ini sebab pemahaman bukanlah suatu proses mengetahui yang berjalan secara statis di luar kerangka ruang dan waktu, tetapi selalu terjadi dalam keadaan tertentu,  pada  satu  tempat  dan  dalam  ruang  waktu  tertentu. Sebagaimana dipaparkan dalam karakteristik ilmu-ilmu sosial yang tidak pernah mengenal kebenaran pasti, maka pemaknaan hadis tak ubahnya seperti itu juga. Objektivitas secara total tidak mungkin diraih dalam pemahaman hadis. Sebagai bagian dari implikasinya, seseorang tidak bisa mengklaim bahwa hanya dirinya sajalah yang benar (truth claim), sebab hanya Allahlah pemilik kebenaran yang hakiki.[27]
Integrasi ilmu-ilmu sosial dan hadis berpijak pada prinsip shifting paradigm (pergeseran paradigma) dalam diskurus filsafat. M. Amin Abdullahmenjelaskan bahwa menurut telaah filsafat ilmu, hampir semua jenis kegiatan ilmu pengetahuan, baik natural sciences maupun social sciences , selalu mengalami apa yang disebut shifting paradigm. Hal ini dikarenakan kegiatan ilmu pengetahuan selamanya bersifat historis, lantaran dibangun, dirancang, dan dirumuskan oleh akal budi manusia yang juga bersifat historis. Bersifat historis di sini maksudnya adalah terikat oleh ruang dan waktu, terpengaruh oleh perkembangan pemikiran,  dan  perkembangan  kehidupan  sosial  yang  mengitari penggal waktu tertentu. Melihat aspek tersebut, sangat dimungkinkan terjadi perubahan, pergeseran, perbaikan, perumusan kembali,  nasikh  dan  mansukh, serta penyempurnaan rancang bangun epistemologi keilmuan. Jika tidak demikian, maka kegiatan keilmuan akan mandeg dengan sendirinya alias bersifat statis. Islamic studies dalam artian sebagai kegiatan keilmuan, bagi Amin Abdullah, sangatlah kaya nuansa sehingga dimungkinkan untuk dapat diubah, dikembangkan, diperbaiki, dirumuskan kembali, disempurnakan dengan semangat zaman yang mengitarinya.
Studi hadis (hadith  studies ) sebagai salah satu bagian  Islamic studies  juga harus mengalami proses  shifting paradigm. Dalam kata lain, ia melakukan aktivitas integrasikeilmuan dengan ilmu-ilmu yang muncul dan berkembang pada era modern, salah satunya adalah ilmu-ilmu sosial ( social sciences). Kedua bidang ilmu ini bisa saling berdialektika dan bertukar pikiran, sehingga memungkinkan terjadi perubahan,  pergeseran,  perbaikan,  dan  penyempurnaan  kembali. Patut  disadari  bahwa  pada  eramodern  sekarang  ini,  studi  hadis membutuhkan perangkat motodologis yang lebih modern sebagai hasil elaborasi dengan keilmuan yang bermunculan di era modern, seperti ilmu-ilmu sosial. [28]
Lebih jauh dalam proses integrasi,hadis sebagai sumber kedua dalam Islam dikembangkan melalui ijtihad dengan berbagai macam pendekatan. Pendekatan yang digunakan adalah ilmu-ilmu sosial, misalnyaIlmu Sosiologi, Antropologi, dan Sejarah.Hal ini mengandung
makna bahwa hadis sebagai objek material berstatus pasifdan ilmu-ilmu sosial sebagai objek formal (pendekatan) bergerak aktif pada objek material. Dari proses ini lantas memunculkan makna baru yang kontekstual dan selaras dengan perkembangan zaman. Untuk menguraikan proses integrasi tersebutdapat dipahami dari visualisasi di bawah ini:
Jika  memang  hadis  dan  ilmu-ilmu  sosial  harus  saling berintegrasi sebagaimana visualisasi di atas, lantas bagaimanakah cara hadis melakukan integrasi dengan ilmu-ilmu sosial itu? Paling tidak cara yang muncul ada dua bentuk. Pertama, orang yang telah berkecimpung dalam wacana studi hadis mempelajari ilmu-ilmu sosial, dan mengaplikasikannya dalam kajian hadis. Cara pertama inilah yang kerap dipakai oleh para sarjana hadis yang ingin melihat pembacaan hadis dengan kacamata ilmu-ilmu sosial.  Kedua, orang yang telah bergelutdalam studi ilmu-ilmu sosial mencoba untuk memahami hadis dengan latar belakang keilmuan sosial yang dimilikinya. [29]
Memang  disadari  bahwa  keduanya  sama-sama  memiliki kelemahan. Cara pertama memiliki kelemahan, yakni dimungkinkan sarjana  hadis  kurang  begitu  menguasai  bidang  keilmuan  sosial, yang tentunya bisa berakibat hasil kajian yang dilakukannya kurang memuaskan bila ditinjau dari sudut pandang keilmuan sosial. Sementara itu cara yang kedua mempunyai kelemahan berupa dimungkinkannya sarjana dari tradisi keilmuan sosial kurang mempunyai kompetensi dalam ilmu hadis. Tetapi jika keduanya dikolaborasikan atau dalam arti cara dua arah ini bisa terealisasikan secara beriringan, maka bukan tidak mungkin hasil yang maksimal dalam studi hadis bisa didapatkan.
1.      Aplikasi Pemahaman Hadis dengan Ilmu-Ilmu Sosial
Larangan bercerai-berai
         I.            عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ان الله تعالى يرضى لكم أن تعبدوه ولا تشركوا به شيئا وأن تعصموا بحبل الله جميعا ولاتفرقوا ويقره لكم قيل وقال وكثرة السؤال واضاعة المال.{ رواه مسلم }
Terjemahan:
“Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, ‘Sesungguhnya Allah SWT. menyukai tiga macam yaitu, kalau kamu menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Dan supaya kamu berpegang teguh dengan ikatan Allah, dan janganlah bercerai-berai. Dan Dia membenci bila kamu banyak bicara dan banyak bertanya dan memboroskan harta.” (H. R. Muslim).
Penjelasan
Maksudnya Allah membenci hamba-Nya yang banyak  bertanya sesuatu yang tidak berguna, karena ada pernyataan yang mengatakan bahwa semakin banyak bertanya, semakin luas pengetahuan dan ilmu orang tersebut. Pernyataan tersebut benar apabila yang ditanyakan itu adalah hal-hal yang berhubungan dengan ilmu atau hal-hal yang berguna. Akan tetapi, pada kenyataannya, tidak sedikit orang yang banyak bertanya, namun bukan untuk menambah pengetahuannya, tetapi sekedar untuk memperolok-olok orang lalin atau untuk mengetes pengetahuan orang lain atau untuk mengukur sejauh mana pengetahuan orang yang ditanya itu, karena ia sendiri sudah mengetahui jawabannya.[30]
Hadist ini juga biasa kita tarik kesimpulan bahwa agama islam sangat menghargai sebuah persaudaraan terutama antar sesama muslim. Karena persaudaraan yang kuat itu akan menjadikan sebuah kelompok terlihat kuat. Ketika umat islam erat dalam persaudaraan maka tidak ada perang saudara, tidak ada saling menyalahkan karena semua permasalahan diselesaikan dengan cara kekeluargaan, dan orang di luar akan gentar dengan kekuatan umat islam.
Dalam hal ini manusia tidaklah bisa hidup sendirian, Allah SWT telah menjadikan manusia masing-masing membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala hal  atau urusan kepentingan hidup masing masing, baik dengan jalan jual-beli, sewa-menyewa, bercocok tanam, atau perusahaan yang lai-lain, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umat.[31]

 تَرَاضٍ عَنْ الْبَيْعُ إِنَّمَا
“Sesungguhnya Jual Beli itu haruslah dengan saling suka sama suka.” (Riwayat Ibnu Hibban)

Penjelasan
Hadist diatas menerrangkan bahwa jual-beli suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecualai dengan perkataan, karena perasaan suka itu tergantung pada hati masing-masing. Ini pendapat kebanyakan ulama. Tetapi Nawawi, Mutawali, Bagawi dan beberapa ulama yang lain berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja. Apabila menurut adat telah berlakubahwa hal yang sperti ini sudah dipandang sebagai jual beli, itu sudah cukup kareana tidak ada suatu dalil yang jelas untuk mewajibkan lafadz.[32]
Dari hadis tersebut kita bisa mengetahui bahwa manusia itu tidak bisa hidup sendirian atau individualis. Karena manusia itu sangat membutuhkan seseorang atau kelompok untuk berinteraksi. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu interaksi sosial dimulai pada saat itu mereka saling menegur berjabat tangan saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Semacam itu merupakan bentuk interaksi sosial walaupun orang-orang yang bertemu muka tersebut tidak saling berbicara atau tidak tidak saling menukar tanda-tanda interaksi sosial yang telah terjadi karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan maupun saraf orang yang bersangkutan yang disebabkan oleh misalnya bau keringat minyak wangi suara berjalan dan sebagainya.
Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada pembagian faktor antara lain faktor imitasi sugesti identifikasi dan simpati semua faktor tersebut dapat bergerak secara bersamaan atau sendiri-sendiri[33].
Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat (Soerjono Sukanto) yaitu: adanya kontak sosial, dan adanya komunikasi. Kontak sosial berasal dari bahasa latin con atau cum yang berarti bersama-sama dan tango yang berarti menyentuh. Jadi secara harfiah kontak adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah. Sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, karena orang dapat mengadakan hubungan tanpa harus menyentuhnya, seperti misalnya dengan cara berbicara dengan orang yang bersangkutan. Dengan berkembangnya teknologi dewasa ini, orang-orang dapat berhubungan satu sama lain dengan melalui telepon, telegraf, radio, dan yang lainnya yang tidak perlu memerlukan sentuhan badaniah. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk Soerjono Soekanto : yaitu sebagai berikut : a.Antara orang perorangan Kontak sosial ini adalah apabila anak kecil mempelajari kebiasaan-kebiasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi melalui komunikasi, yaitu suatu proses dimana anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana dia menjadi anggota.
  1. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya Kontak sosial ini misalnya adalah apabila seseorang merasakna bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma  masyarakat.
  2. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya. Umpamanya adalah dua partai politik yang bekerja sama untuk mengalahkan partai politik lainnya. Kontak sosial memiliki beberapa sifat, yaitu kontal sosial positif dan kontak sosial negative. Kontak sosial positif adalah kontak sosial yang mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan kontak sosial negative mengarah kepada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan kontak sosial. Selain itu kontak sosial juga memiliki sifat primer atau sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka, sebaliknya kontak yang sekunder memerlukan suatu perantara.
Komunikasi adalah bahwa seseorang yang memberi tafsiran kepada orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan. Dengan adanya komunikasi sikap dan perasaan kelompok dapat diketahui olek kelompok lain aatau orang lain. Hal ini kemudain merupakan bahan untuk menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya. [34]

  1. Kesimpulan

Hadis dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat urgen. Di mana hadis merupakan salah satu sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Al-qur’an akan sulit untuk dipahami tanpa interfensi hadis. Dapat dipahami  bahwa  hadis  merupakan  wahyu  yang diturunkan  kepada  seorang  Nabi  untuk  menjadi  penjelasan  kepada  Al-Qur’an yang menjadi  petunjuk  bagi  umat  manusia  sepanjang  zaman.  Untuk  memahami  hadis dan  menggali  hukum  darinya  dibutuhkan  bukan  hanya  ilmu-ilmu  yang  berkaitan dengannya, tetapi juga penguasaan materinya dan rasa tanggung jawab dunia dan akhirat. Sedangkan Ilmu-ilmu sosial dinamakan ilmu sosial dkarenakan ilmu-ilmu tersebut mengambil masyarakat atau kehidupan bersama sebagai objek yang dipelajarinya. Mengenai ruang lingkup ilmu sosial, sampai sekarang ini para ahli sebenarnya tidak ada kesepakatan yang bulat. Wallerstein  mengelompokkan beberapa disiplin ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu sosial adalah sosiologi, antropologi, gegografi, ekonomi, sejarah, psikologi, hukum, dan ilmu poliltik. Sedangkan Brown dalam karyanya yang berjudul Explanation in Social Sciences (1972) bahwa yang termasuk dalam paket ilmu sosial meliputi sosiologi, antropologi, ekonomi, sejarah, demografi, ilmu politik, dan psikologi.
Dalam menciptakan keilmuwan seorang yang ahli dalam ilmu tertentu, perlu adanya hal yang perlu dilakukan, salah satunya adalah ia dapat mengintegrasikan atau menghubungkan ilmu yang dimilikinya itu dengan ilmu lainnya. Terutama integrasi dengan ilmu agama yang sesuai dengan Ilmu hadist. Dalam mengintegrasikan antara ilmu agama Islam dengan ilmu-ilmu umum perlu adanya tinjauan normatif teologi, melalui tinjauan normatif teologis ini, seseorang akan di bawa kepada suatu keadaan melihat masalah berdasarkan prespektif Tuhan dalam batas-batas yang dapat dipahami manusia. Dalam proses integrasi ini, hadis didudukkan sebagai objek material yang didekati dengan objek formal berupa berbagai macam ilmu sosial yang ada, seperti  Sosiologi,  Antropologi,Ilmu  Geografi,  Ilmu  Sejarah,  Ilmu Ekonomi, Psikologi, dan Ilmu Politik. Melalui bantuan ilmu-ilmu sosial tersebut diharapkan mampu melahirkan makna-makna kontekstual yang siap diterapkan dalam berbagai masa dan tempat di manapunumat Islam berada. Pemaparan pandangan Islam mengenai masalah-masalah sosial ini sangat perlu, agar setiap orang Islam sadar mengenai apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang seharusnya ditingglaka. Sebab selalin mengatur akidah manusia, Islam juga mengatur kehidupannya. Selain itu, Islam menjelaskan pula perihal agama dan menerapkan mengenai perkara dunia.
  1. Daftar pustaka
  1. Afwazi, Benny. 2014. Studi Hadist Kontemporer: Langkah Mudah dan Praktis Dalam Memahami Ilmu Hadist. Yogyakarta : Aura Pustaka
  2. http://andesa-ciamis.blogspot.co.id/2012/04/hadits-tentang-interaksi-sosial-oleh.html
  3. Jurnal Interaksi Sosial
  4. Mufid, Fathul. Integrasi Ilmu-Ilmu Islam.Kudus: STAIN kudus
  5. Sarifandi, Suja'i.2014 Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Hadis Nabii”, JURNAL USHULUDDIN Vol. XXI No. 1
  6. Shalaby, Ahmad. 2001. Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam. Jakarta: Amzah
  7. Soekanto, Soerjono.2013.Sosiologi Suatu Ilmu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
  8. Supardan, Dadang.2013. Pengantar Ilmu Sosial.Jakarta: Bumi Aksara
  9. Suparta, Munzier, 2003.Ilmu Hadist.Jakarta: Raja Grafindo Persiada
  10. Rasjid, Sulaiman, 2010, Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo
  11. Wahid, Ramli Abdul. 2015. Perkembangan Metode Pemahaman Hadist di Indonesia, Jurnal Analytica Islamica. Vol 4, no. 2.
  12. Zuhdi, Masjfuk. 1985. Pengantar Ilmu Hadist,Suarabay:Bina Ilmu
                                  
Catatan:
  1. Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof., Dr., Ustadz, dll) dihilangkan.
  2. Setiap tulisan yang dicantumkan harusnya mempunyai signifikansi dengan tema yang diangkat dalam tulisan.
  3. Tulisan itu bukan hanya dengan copy-paste dari jurnal/buku, tetapi melakukan parafrase.
  4. Penulisan footnote masih banyak kesalahan.
  5. Berikan keterangan lengkap jurnal/buku yang dikutip.
  6. Teliti setiap data yang dicantumkan.



[1] Suja’i Sarifandi, “Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Hadis Nabii”, JURNAL USHULUDDIN Vol. XXI No. 1, Januari 2014, halaman 1
[2] Fathul Mufid,Integrasi Ilmu-Ilmu Ilsam,STAIN Kudus, halaman 1
[3] Prof. Dr. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta : Raja Grafindo Persada) halaman 5-6

[4] Dr. H. Dadang Supardan, M. Pd, Pengantar Ilmu Sosial (Jakarta : Bumi Aksara, 2011) halaman 27
[5] Ibid, halaman 34
[6] Ibid, halaman 74
[7] Drs. Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadist (Jakarta:  Raja Grafindo Persada), halaman 1
[8] Ibid, halaman 2
[9] Drs. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadist (Suarabaya: Bina Ilmu), halaman 63
[10] Prof. Dr Ahmad Shalaby, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam (Jakarta : Amzah), halaman vi
[11] Zeid B. Smeer, Studi Hadis Kontemporer Langkah Mudah dan Praktis Dalam Memahami Hadis ( Yogyakarta: Aura Pustaka, 2014) halaman 1
[12]  Ibid, halaman 2
[13]  Ibid, halaman 3
[14] Ibid, halaman 4
[15] Ibid, halaman 7
[16] Ibid, halaman 8
[17] Ibid, halaman 9
[18] Ibid, halaman 10
[19] Ibid, halaman 11
[20]  Benny Afwadzi, Jurnal Living Hadis, Volume 1, Nomor 1, Mei 2016, halaman 108
[21] Jurnal Analytica Islamica, Vol. 4, No. 2, 2015: 231-243, halaman 231
[22] Ibid, halaman 240
[23] Benny Afwadzi, Jurnal Living Hadis, Volume 1, Nomor 1, Mei 2016, halaman 110
[24] Ibid, halaman 111
[25] Ibid, halaman 112
[26] Ibid, halaman 113
[27] Ibid, halaman 114
[28] Ibid, halaman 115
[29] Ibid, halaman 116
[30] http://andesa-ciamis.blogspot.co.id/2012/04/hadits-tentang-interaksi-sosial-oleh.html
[31] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam,(Bandumg: Sinar Baru Algensindo ) halaman 278
[32] Ibid, halaman 282
[33] Soerjono soekanto-budi sulidtyowati, sosiologi suatu pengantar, (Jakarta, Pt RajaGrafindo Persada,2013),hlm,57.
[34] JURNAL INTERAKSI SOSIAL. pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar