Sabtu, 15 April 2017

Pembaharuan Islam di Asia Selatan (PBA B Semester Genap 2016/2017)





PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM MODERN ASIA SELATAN (INDIA-PAKISTAN)
Risqi Wulan Permatasari: 16150063
Indah Fauziah: 16150064
Himmatul Adzimah: 16150065
Maulana Yusuf Qordhawi: 16150078
ABSTRAC
   This paper describes the renewal of Islamic thought Modern in India-Pakistan. Related to the discussion of ideas, it can not be separated from the discussion on the reform movement of Muslims in India Pakistan, the characters and their thoughts. Therefore in this article will discuss about business reform movement before the modern period and the modern period, then the figures reformer South Asia.
Reformer-reformer in India have their respective roles, intentionally or not, in the birth of Pakistan. Sayyid Ahmad Khan thought that Islam is not opposed to modern progress, and iqbal with dynamic ideas, supremely helpful in moving the business Jinna Muslims in India. The four men and the struggle continued by Maulana Sayyid Abd Al-'Ala Madudi senhingga formed the ideal of Islam in Pakistan.
Keyword: Renewal,  Tought of Modern Islam, Asia Selatan
ABSTRAK
                              Tulisan ini menjelaskan tentang pembaharuan pemikiran Islam Modern di India-Pakistan. Terkait pembahasan mengenai gagasan, maka tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai gerakan pembaharuan umat Islam di India Pakistan, tokoh-tokoh serta pemikiran mereka. Oleh karena itu dalam artikel ini akan dibahas tentang usaha gerakan pembaharuan sebelum periode modern dan pada masa modern, kemudian tokoh-tokoh pembaharu Asia Selatan.
     Pembaharu-pembaharu di India mempunyai peran masing-masing, sengaja atau tidak, dalam lahirnya negara Pakistan. Sayyid Ahmad Khan dengan pemikirannya bahwa islam tidak menentang kemajuan modern, dan iqbal dengan ide dinamikanya, amat  membantu usaha Jinna dalam menggerakkan umat islam di India. Dan perjuangan keempat tokoh tersebut dilanjutkan oleh Maulana Sayyid Abd Al-‘Ala Madudi senhingga terbentuklah Islam di pakistan yang ideal.
      Kata Kunci: Pembaharuan, Pemikiran Islam Modern, Tokoh-tokoh Pembaharu Asia Selatan

PENDAHULUAN
                              Perkembangan  agama Islam di dunia tidak bisa lepas dari munculnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam sejak abad ke-XIX. Gerakan pembaharuan ini dilatarbelakangi oleh kemunduran Islam pada abad ke-X yang kemudian tenggelam berabad-abad lamanya. Salah satu faktor yang menjadi penyebab utama kemunduran Islam adalah mundurnya semangat yang menimpa kaum muslimin yaitu dalam bentuk khurafat, umat islam tidak lagi memanfaatkan pikirannya sebagaimana para pemikir-pemikir sebelumnya melakukan ijtihad, untuk menggali dari sumber yang asli yaitu Al-Quran dan Hadits Nabi. Setelah ratusan tahun lamanya masa kemunduran Islam, kemudian muncullah gerakan pemikiran yang dimotori oleh pelopor-pelopor pembaharuan Islam.
                              Diantara negara yang melakukan gerakan pembaharuan Islam ialah negara India dan Pakistan. Dimana keduanya memiliki keterkaitan sejarah, bahkan merupakan satu kesatuan dalam sejarahnya. Negara ini termasuk negara yang besar, luas daerahnya maupun kebudayaan dan peradabannya, yang pada akhirnya menjadi suram dan bahkan hancur karena kedatangan orang-orang berkulit putih.
                              Terkait pembahasan mengenai gagasan, maka tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai gerakan pembaharuan umat Islam di India Pakistan, tokoh-tokoh serta pemikiran mereka. Oleh karena itu dalam artikel ini akan dibahas tentang usaha gerakan pembaharuan sebelum periode modern dan pada masa modern, kemudian tokoh-tokoh pembaharu Asia Selatan.

A.    GERAKAN-GERAKAN PEMBAHARUAN SEBELUM MODERNISASI INDIA
                              Pada permualaan ke delapan belas Kerajaan Mughol di India, mulai memasuki zaman kemunduran. Perang saudara untuk merebut kekuasaan di Delhi selalu terjadi. Setelah Aurangzeb meninggal dunia di tahun1707, putranya yang bernama Mu’azzamah yang berhasil menggantikan ayahnya sebagai Raja dengan nama Bahadur Syah. Lima tahun kemudia, terjadi pula perebutan kekuasaan putra-putra Baharun Syah. Dalam persaingan ini, Jendral zulfikar khan turut memainkan rol penting dan atas pengaruhnya, putra terlemah, Jahandar Syah diobatkan sebagai raja. Tetapi Jahandar Syah mendapat tantangan dari keponakannya  Muhammad Farrukhsiyar. Dalam pertempuran yang terjadi di tahun 1713, Farrukhsiyar memperoleh kemenangan dan dapat mempertahankan kedudukanya sampai tahun 1719. Raja ini mati dibunuh oleh komplotan Sayyid Husain Ali dan Sayyid Hasan Ali, dua bersaudara yang pada hakekatnya memegang kekuasaan di Istana  Delhi. Sebagai gantinya mereka angkat Muhammad Syah (1719-1748).
                              Dalam keaadan serupa ini, tidak mengherankan kalau golongan-golongan hindu yang lain ingin melepaskan dari dari kekuasaan Mughol mengambil sikap menentang. Bahadur Syah, umpamanya mendapat tantangan dari golongan Sik di bawah pimpinan Banda. Disebelah utara Delhi mereka dapat merampas kota Sadhaura. Dalam serangan ke kota Sirhind mereka mengadakan perampasan dan pembunuhan terhadap penduduk yang beragama islam. Golongan Maratha di bawah pimpinan Baji Rao dapat merampas sebagian dari daerah Gujarat di tahun 1732 dan pada tahun 1737, malahan dapat menyerang sampai ke perbatasan ibu kota. Tetapi setelah mengetahui bahwa tentara Mughol bergerak menuju Delhi, mereka mengundurkan diri.
                              Dari pihak Inggris telah mulai pula diperbesar usaha-usaha untuk memperoleh daerah-daerah kekuasaan di India, terutama di Benggal. Dalam pertempran-pertempuran, umpamanya di Plassey pada tahun 1757 dan Buxar tujuh tahun kemudian, Inggris memperoleh kemenangan. Daerah kekuasaan Mughal kian lama kian kecil.
                              Serangan terhadap Delhi bukan datang dari dalam saja, tetapi juga dari luar india. Di Persia, Nadir Syah dapat merebut kekuasaan dan karena dutanya  tidak diterima Raja Mughal Mahmud Syah untuk beraudiensi, ia memutuskan untuk memukul Delhi. Pesyawar dan Lahore dapat dikuasainya di tahun 1739 dan dari sana meneruskan serangan sampai ke Ibu kota. Tentara Mughal yang datang menemuinya dapat ia kalahkan. Di Delhi ia mendapat perlawanan dari rakyat sebagai hukuman ia memberi izin kepada tentaranya untuk mengadakan perampasan dan pembunuh besar-besaran. Kerajaan mughal mewajibkan membayar upeti dan daerah-daerah yag terletak disebelah barat sungai Indus ia gabungka dengan Persia. Mahmud syah ia tinggalaka tetap menjadi Raja di Delhi, tetapi pratise kerajaan mughal telah jauh sekali menurun.
                              Suasana seperti digambarkan di atas menyadarkan pimpinan-pimpinan isalam di India akan kelemahan umat islam. Salah satu dari pemuka itu adalah Syah Waliullah (1703-1762). Ia lahir di Delhi dan mendapat pendidikan dari orang tuanya Syah Abd Al-Rahim seorang sufi dan ulama yang memiliki madrasah itu. Selanjutnya ia pergi naik haji dan selama setahun di Hejaz. Ia sempat belajar pada ulama-ulama yang adadi Makkah dan Medinah. Ia kembali ke Delhi di tahun 1732 dan meneruskan pekerjaannya yang lama sebagai guru. Di samping itu ia gemar mengarang yag banyak meninggalkan karangan-karangan, di antara buku Hujjatullah Al-Balighah.
                              Diantara sebab- sebab yang membawa kepada kelemahan umat islam, menurut pimikirannya, adalah perobahan sistem pemerintahan dalam islam dari sistem kekhalifahan menjadi sistem kerajaan. Sistem pertama bersifat demokratis, sedag sistem kedua besifat otokratis. Dalam sejarah, raja-raja islam pada umumnya mempunyai kekuasaan absolute. Besarnya pajak yang harus dibayar kaum petani, buruh dan pedagang mereka tentukan sendiri. Pajak tinggi yang harus dibayar rakyat ini menurut Syah Waliulla, membawa pula pada kelemahan umat islam. Selanjutnya hasil dari pajak tinggi itu, dipergunakan buka untuk kepentingan umat, tetapi utuk membelanjai hidup mewah dari kaum bangsawan yang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa. Pemungutan dan pembelanjaan uang yang tidak adil ini menimbulka perasaan tidak senang di kalangan rakyatdan dengan demikian keamanan dan ketertiban masyarakat selalu terganggu. Untuk mengatasi hal-hal negatif di atas, Syah Waliullah berpendapat, bahwa sistem pemerintahan yang terdapat di zaman kholifah yang empat perlu dihidupkan kembali. Dengan lain kata sistem pemeritahan absolute harus diganti dengan sistem pemeritahan demokratis.
                              Perpecahan yang terjadi di kalangan umat islam dalam pendapatnya, merupakan sebab lain bagi lemahnya umat islam. Perpecahan dimaksud ialah perpecahan yang ditimbulkan aliran-aliran dan madzhab-madzhab yang terdapat dalam islam, seperti pertentangan antara golongan Syi’ah dan Sunni, antara aliran Mu’tazilah disatu pihak dan As’ariyah serta Maturidiah dilain pihak, antara kaum sufi dan kaum syari’ah da anatara pengikut-pengikut dari masing-masing madzhab hukum empat yang ada. Oleh sebab itu ia berusaha mengadakan suasana damai antara golongan, aliran dari madzhab yang berbeda-beda itu, pertentangan kuat yang terdapat di zamannya ialah pertentangan syi’ah dan sunni. Syi’ah dipandang telah keluar dari islam. Pendapat ini di awali oleh syah waliullah dengan menegaskan bahwa kaum syi’ah sama halnya dengan kaum sunni, masih tetap orang islam. Ajaran-ajaran yang mereka anut tidak membuat mereka keluar dari islam.
                              Sebab lain sebab masuknya adat-istiadat dan ajran-ajaran bukan islam ke dalam keyakinan umat islam. Di india umat islam menurut penglihatannya banyak dipengaruhi oleh adat-istiadat dan ajaran-ajaran hindu. Keyakinan umat islam harus dibersihkan dari hal-hal yang asing ini. Mereka mesti dibawa kembali kepada ajaran-ajran islam yang sebenarnya. Dan sumber asli dari ajaran islam hayalah Al-Qur’an dan hadits. Oleh karena itu untuk mengetahui ajaran-ajaran islam sejati, orang harus kembali kepada kedua sumber itu,dan bukan kepada buku-buku tafsir, fikh, ilmu-ilmu kalam, dan sebagainya.
      Syah Waliullah tidak setuju dengan taklid, mengikut dan patuh pada penafsiran dan pendapat ulama-ulama di masa lampau. Bahkan hal ini menurut pendapatnya, merupaka salah satu sebab bagi kemunduran umat islam. Ia melihat bahwa masyarakat bersifat dinamis, penafsiran yang sesuai untuk suatu zaman belum tentu sesuai dengan zaman sesudahnya. Oleh sebab itu, ia menentang taklid dan menganjurkan pengadaan ijtihad. Ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits, melalui ijtihad harus di sesuaikan dengan perkembangan zaman. Sebagai pengikut Ibn Taimiyah pintu ijtihad baginya tidak tertutup.
                              Dalam rangka pemikiran ajaran murni dan adat-istiadat yang masu ke dalam islam sebagai tersebut di ata, Syah waliullah memperbedakan anatara islam sebagai terebut di atas, syah waliullah memperbedakan antara islam Universal mengandung ajaran-ajaran dasar dan konkrit sedang islam local mempunyai corak yang ditentukan oleh kondisi tempat yang bersangkutan. Dengan begitulah terdapat islam yang bercorak arab, islam yang bercorak Persia, islam yang bercorak india, dan sebagainya yag dimaksud oleh syah waliullah kelihatannya, ialah keadaan islam dapat di sesuaikan dengan situasi setempat dan dengan kebutuhan zaman yang perlu di pegang dan di pertahankanialah ajaran-ajaran dasar yang bersifat universal itu. Interpretasi dan pelaksanaannya dapat berbeda-beda sesuai dengan tempat dan zaman yang bersangkutan. Sebagai telh dijelaskan oleh syah waliullah melihat bahwa masyarakat manusia bersifat dinamis , dan islam yang juga mengandung ajaran-ajaran tentang hidup kemasyarakatan, harus pula bersifat dinamis. Berpegang hanya pada ajaran-ajaran universallah yang membuat islam bersifat dinamis.
                              Di zaman syah waliullah penterjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa asing malah dianggap terlarang. Tetapi ia melihat bahwa orang di india membaca Al-Qur’an dengan tidak mengerti isinya. Pembacaan tanpa pengertian tak besar faedahnya untuk kehidupan duniawi mereka. Ia melihat perlu Al-Qur’an di terjemahkan ke bahasa yang dapat difahami orang awam, bahasa yag dipilihnya adalah bahasa Persia yang banyak dipakai di kalangan terpelajar islam india ketika itu. Penterjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Persia disempurnakan syah waliullah ditahun 1758. Terjemahan itu pada mulanya mendapat tantangan, tetapi lambat laun dapat juga diterima oleh masyarakat. Karena masyarakat telah mau menerima terjemahan ke dalam bahasa urdu, bahasa yang lebih umum dipakai oleh masyarakat islam india dari pada bahasa Persia.
B.     GERAKAN MUJAHIDIN
                              Ide-ide pembaharuan yang dicetuskan Syah Waliyullah di abad kedelapan belas diteruskan oleh anaknya Syah Abdul Aziz (1746-1823) ke generasi selanjutnya. Syah Abdul Aziz merupakan ulama terkemuka di zamannya. Ketika umumnya orang berpendapat bahwa belajar bahasa Eropa haram, ia memberi fatwa bahwa belajar bahasa Inggris bukan boleh saja, tetapi perlu untuk kemajuan umat Islam India.[1]
                              Di waktu itu Inggris telah mulai menanam kekuasaannya di India dan kemajuan peradaban Barat telah mulai dirasakan rakyat India, baik yang beragama Islam maupun yang beragama Hindu. Tetapi di antara kedua umat tersebut, orang-orang Hindu lah yang lebih banyak menguasai oleh peradaban baru itu, sehingga orang Hindu lebih maju dari orang Islam dan mereka telah menguasai bahasa tersebut sehingga mereka lebih banyak berperan dalam bidang administrasi dan pemerintahan negara dibandingkan dengan umat Islam. Keadaan umat Islam kalah maju dibandingkan umat Hindu. Hal inilah yang ingin diatasi oleh Syah Abdul Aziz dan tokoh-tokoh pembaharuan sesudahnya, terutama Sayyid Ahmad Khan.
                              Gerakan Waliyullah ini diteruskan oleh Syah Abd al ‘Aziz (1746-1823). Bahkan, dikala kebanyakan ulama ortodoks gigih mengharamkan orang mempelajari kebudayaan Barat, dengan sadar sekali ia malah menganjurkan umat agar mempelajari bahasa Inggris untuk mempercepat arus kemajuan yang telah ketinggalan oleh umat Hindu.
                              Gerakan pembaharuan berikutnya dilanjutkan oleh Sayyid Ahmad Barelvi Syahid (1786-1831) yang lahir di Rai Bareli. Pada awalnya dia adalah seorang tentara kavaleri yang handal di masa Nawab Amir Khan. Setelah Nawab bergabung dengan Inggris, Sayyid Ahmad keluar dari dunia militer dan berguru dengan Syah Abd Aziz di New Delhi.[2]
Sayyid Ahmad Barelvi (1786-1831), setelah mendengarkan fatwa guru bahwa India dalam keadaan sebagai “Dar al Harb” dan harus berlaku jihad, kemudian ia menghimpun umat dengan nama Tariqa-I Muhammadi. Perhimpunan ini didukung penuh oleh keturunan keluarga Waliyullah, Syah Islami dan Syah Abd al Hayy.      
                              Inti pembaharuannnya meliputi dua aspek, politik dan akidah. Dari segi politik, Sayyid Ahmad Barelvi ingin mengembalikan daerah kekuasaan islam yang jatuh ke tangan umat Hindu dan Sikh. Sementara dari segi tauhid, sebagai berikut :
Pertama, Allah disembah secara langsung tanpa perantara. Kedua, tawassul dan wasilah yang intinya adalah kedudukan manusia di hadapan Allah adalah sama, sehingga tidak dianjurkan manusia meminta pertolongan kepada manusia dalam masalah ibadah. Ketiga, menolak semua bentuk tradisi bid’ah yang bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu pintu ijtihad harus selalu terbuka karena pintu ijtihad menjadi solusi bagi semua permasalahan di atas.[3]    
                              Buah pikirannya ditulis dalam buku Sirat al-Mustaqim  sebuah karya akidah yang berbeda dari buku sejenisnya di zaman itu yang kental dengan unsur-unsur mistik. Selain bekerja sebagai penulis, dia juga seorang pendakwah sukses walaupun bukan seorang orator.
      Setelah cukup memperoleh pengetahuan keagamaan, ia mulai mengadakan dakwah di muka umum, sehingga namanya mulai dikenal. Ia berdakwah tidak hanya di Delhi saja, tetapi juga di daerah-daerah yang jauh dari ibu kota. Di Patna dia mempunyai pengikut yang banyak. Di Rampur orang-orang dari Afghanistan turut mendengar dakwahnya. Di Kalkutta ia disambut dengan meriah oleh umat Islam yang ada disitu.
                              Menurut pendapat Sayyid Ahmad, umat Islam India mundur karena agama yang mereka anut tidak lagi Islam yang murni, tetapi Islam yang telah bercampur-baur dengan paham dan praktek kaum tarekat sufi seperti kepatuhan tidak terbatas kepada guru dan ziarah ke kuburan wali untuk meminta syafaat. Juga dari adat-istiadat Hindu yang masih terdapat di kalangan umat Islam India. Lebih terperinci ajarannya mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut:
1.      Yang boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa upacara yang berlebih-lebihan.
2.      Kepada makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali dan lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam mengatasi kesultan-kesulitannya. Mereka sama lemahnya dengan manusia dan sama terbatasnya pengetahuan mengenai Tuhan.
3.      Sunnah (tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunnah yang timbul di zaman Khalifah yang empat. Kebiasaan membaca tahlil dan menghiasi kuburan adalah bid’ah yang menyesatkan dan harus dijauhi.[4]
      Sayyid Ahmad juga menentang taqlid pada pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat imam besar. Oleh karena itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguhpun ia sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang, pintu ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup. Ijtihad diperlukan untuk memperoleh interpretasi baru terhadap ayat-ayat Al-Quran dan Hadits.
      Ide yang berpengaruh kemudian bukanlah ide-ide di atas, tetapi pemikirannya dalam bidang politik. Daerah India telah banyak dikuasai oleh orang bukan Islam, dan oleh karena itu bukan lagi merupakan Dar Al-Islam malahan telah menjadi  Dar Al-Harb. Terhadap Dar Al-Harb orang islam harus mengambil salah satu dari dua sikap berikut, berperang melawan Dar  Al-Harb  atau hijrah, meninggalkan Dar Al-Harb pindah ke Dar Al-Islam. Yang dipilih Sayyid Ahmad ialah berperang.
      Kerajaan Mughal di waktu itu memang telah menghadapi hari-hari akhirnya. Kerajaan ini didirikan oleh orang-orang berasal dari Asia Tengah, yang berlainan bangsa dan berlainan agama dengan orang Hindu. Mayoritas rakyat kerajaan Mughal tetap memeluk agama Hindu. Dinasti asing ini tidak mudah dapat diterima oleh penduduk asli, maka ketika kerajaan Mughal mulai menurunkan kekuasaannya , golongan Hindu mulai bergerak, terutama kaum Mahrata. Daerah-daerah yang terletak jauh dari ibu kota melepaskan diri dan dalam keadaan ini kaum Mahrata dapat membentuk kerajaan yang merdeka di India Barat. Kekuasaan mereka dirahasiakan sampai ke Delhi. Selain dari Hindu, golongan Sikh juga turut bergerak melawan Kerajaan Mughal. Di samping itu  berdiri pula kerajaan-kerajaan kecil lainnya seperti Gwalior, Indore, Najpur dan Baroda. Inggris dari pihaknya telah pula dapat menundukkan daerah besar yang ke bawah kekuasaannya. Daerah kekuasaan kerajaan Mughal makin lama makin kecil.
      Daerah yang dahulu terletak di bawah Islam sekarang jatuh ketangan bukan Islam. Di sini timbullah persoalan Dar al-harb, daerah yang jatuh ke bawah kekuasaan bukan Islam dan Dar Al-Islam, daerah yang masih berada di bawah kekuasaan Islam.
      Sayyid Ahmad berpendirian bahwa daerah-daerah yang telah jatuh ke bawah tangan bukan Islam harus kembali ke tangan Islam. Dar Al-Harb mesti menjadi Dar Al- Islam  kembali. Dengan demikian timbullah perang jihad terhadap dua musuh, Hindu di satu pihak dan Inggris di pihak lain. Inggris dengan kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologinya ternyata kuat dan sulit untuk dikalahkan. Kemungkinan memperoleh kemenangan lebih banyak, jika serangan dihadapkan kepada Sikh.
                              Sayyid Ahmad dengan gerakan mujahidinnya memulai peperangan terhadap golongan Sikh di India Utara. Ia serang pusat kekuatan meeka di Akora, sehingga mereka mundur. Ia teruskan peperangan ke medan datar dan dapat menguasai Pesyawar. Kekuatan militernya menurut keterangan berjumlah seratus ribu orang. Dengan bantuan Afghanistan ia mengharap dapat mengembalikan daerah-daerah yang telah lepas dari tangan Islam. Sokongan dalam menjalankan jihad banyak ia peroleh dari kepala suku-suku bangsa  yang ada di daerah tersebut.
      Kerajaan mughal dianggap sudah terlalu lemah dan tidak dapat lagi menguasai keadaan, dan oleh karena itu perlu dibentuk suatu Imamah, negara yang dikepalai seorang imam. Sebagai Imam dipilih Sayyid Ahmad. Imam mengangkat khalifah atau wakilnya di kota-kota pentingya. Di antara tugas mereka adalah mengumpulkan zakat untuk pemerintahan imam dan mencari mujahidin untuk meneruskan jihad. Imamah itu dibentuk pada tahun 1827 tetapi tidak dapat bertahan lama karena kepala-kepala suku bangsa melihat Imamah itu sebagai saingan terhadap kekuasaan mereka. Begitu juga dengan perubahan dan perbaikan sosial yang dijalankan Sayyid Ahmad mendapat tantangan dari masyarakat.
      Pada waktu itu, perlawanan dari golongan Sikh bertambah kuat dengan bergabungnya golongan non-muslim lainnya, seperti golongan Barakzai. Sayyid Ahmad terbunuh pada tahun 1831 dalam suatu pertempuran dengan golongan Sikh di Balekot. Dari peristiwa innilah Sayyid Ahmad mendapatkan gelar Syahid
      Semenjak terbunuhnya Sayyid Ahmad,pengikutnya terpecah menjadi dua. Satu golongan mengalihkan perjuangannya dalam bidang pendidikan, kemudian mendirikan madrasah Darul Ulum Deoband, segolongan lain meneruskan jihad di bawah pimpinan dua bersaudara Maulvi Wilayat Ali (wafat 1852) dan Maulvi Inayat Ali (wafat 1902) anak dari Maulvi Wilayat Ali. Pertempuran-pertempuran terus terjadi dengan golongan Sikh di Punjab, kemudian pada akhirnya Punjab jatuh ke tangan Inggris, dan disini pula terjadilah pertempuran langsung antara Mujahidin dengan Inggris. Suku-suku bangsa yang ada di perbatasan selalu mereka dorong untuk melawan Inggris.[5]
      Sementara itu di kalangan umat Hindu timbul rasa benci terhadap Inggris. Sebab sebab yang menimbulkan rasa benci terhadap Inggris menurut para ahli antara lain adalah:
1.      Masyarakat Hindu merupakan masyarakat yang kuat mempertahankan agama dan tradisi. Inggris di samping urusan dagang, juga berusaha untuk menanamkan kebudayaan Barat kedalam masyarakat Hindu. Hal ini akan merusak tradisi dan merubah struktur sosial yang ada pada waktu itu.
2.      Inggris juga mendirikan sekolah yang di dalamnya diajarkan bahasa Inggris dan ide-ide baru yang berasal dari Barat. Pendidikan Inggris ini terlihat merusak keyakinan pemuda Hindu. Pada waktu itu juga didatangkan missionaris Kristen untuk menyebarkan ajaran-ajaran agama Barat di kalangan masyarakat Hindu.
3.      Pemerintah Inggris di India masih mempertahankan aristokrasi dan tidak membuka pintu bagi orang-orang Hindu untuk menduduki posisi yang penting dalam pemerintahan karena orang India masih dianggap rendah.
4.      Rasa khawatir yang timbul dari pemilik tanah karena sawaktu-waktu tanahnya bisa dikuasai oleh Inggris, raja dan pangeran juga merasa tidak tenteram karena daerah yang mereka kuasai mungkin saja dirampas oleh Inggris
Rasa benci itu juga ada di kalangan prajurit Hindu yang menjadi tentara Inggris. Dengan golongan ini pemuka gerakan mujahidin telah mengadakan kontak dan kesepakatan untuk sama-sama menentang Inggris. Dan dikatakan bahwa juga telah tercapai kesepakatan untuk mengakui Bahadur Syah, raja Mughal di Delhi sebagai raja untuk India.
                              Pada tanggal 10 mei 1857 satu pasukan Hindu di Meerut, suatu kota yang terletak kira-kira 60 km di sebelah utara Delhi memulai perlawanan. Setelah membunuh perwira-perwira Inggris yang memimpin pasukan, mereka keluar ke jalanan bersenjata lengkapdan berbaris menuju Delhi, kemudian Delhi berhasil dikuasai dan Bahadur Syah diangkat sebagai raja India. Dengan demikian pecahlah pemberontakan terhadap kekuasaan Inggris yang dalam sejarah India dikenal dengan nama Pemberontakan 1857.
      Kaum mujahidin turut ambil bagian dalam pemberontakan itu. Tetapi pemberontakan gagal, para pemuka ditangkap dan dibuang. Walaupun golongan Hindu yang memulai pemberontakan, Inggris menganggap bahwa golongan islamlah yang menjadi penggerak utamanya. Sebagai bukti yang dinyatakan oleh Inggris adalah turut sertanya Bahadur Syah, pemmpin-pemimpin Islam di kerajaan Oudh dan gerakan Mujahidin dalam pemberontakan tersebut.
                              Delhi diserang sehingga gedung-gedung megah kerajaan Mughal hancur berkeping-keping dan penduduknya diusir, Delhi yang selama ini sebagai kebanggaan kerajaan Mughal telah tiada.
                              Perhatian pemuka-pemuka gerakan Mujahidin pada lapangan pendidikan meningkat setelah gagalnya pemberontakan 1857. Diantara pemuka-pemuka itu terdapat Maulana Muhammad Qasim Nanantawi dan Maulana Muhammad Ishaq, seorang cucu dari Syah Abdul Aziz. Di bawah pimpinan mereka, suatu madrasah kecil di Deoband ditingkatkan menjadi perguruan tinggi agama dan diberi nama Darul Ulum Deoband.
      Darul Ulum Deoband inilah yang kemudian mengeluarkan ulama-ulama besar India dan melalui ulama-ulama besar itu, Deoband mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat Islam India, terutama masyarakat umumnya. Kedudukan Deoband di India sama dengan kedudukan al-Azhar d Mesir.
                              Ide-ide Syah Waliyullah yanng kemudian ditonjolkan oleh Sayyid Ahmad Syahid dan gerakan Mujahidin itulah yang menjadi pegangan bagi Deoband. Yang diutamakan ialah pemurnian tauhi yang dianut umat Islam India dari paham-paham salah yang dibawa tarekat dan dari paham animisme lama. Selanjutnya juga pemurnian praktek keagamaan mereka dari segala macam bid’ah. Yang ingin diwujudkan Deoband ialah Islam murni seperti pada zaman Nabi, Sahabat, Tabi’in dan zaman sesudahnya. Deoband dengan demikian kuat berpegang pada tradisi zaman klasik. Mazhab yang dianut Deoband ialah mazhab Hanafi.[6]
                              Dalam bidang politik, Deoband mengambil sikap anti-Inggris. Demikian karena Deoband didirikan oleh pemuka gerakan Mujahidin yang melawan kekuatan Inggris dan didirikan untuk menentang pendidikan sekuler Barat yang dibawa Inggris. Oleh karena itu, mengadakan kerja sama dengan Hindu untuk melawan Inggris dapat diterma oleh ulama-ulama Deoband. Partai Kongres Nasional India mendapat dukungan dari Deoband tetapi liga Muslim karena dianggap pro Inggris tidak didukung bahkan ditentang oleh Deoband. Deoband juga kurang setuju dengan ide pembagian India menjadi dua negara, negara Islam Pakistan dan negara Hindu. Menurut Deoband, politik pembagian India dan pembentukan negara Pakistan berasal dari Inggris.
                              Ajaran pembaharuan yang dibawa oleh Syah Waliyullah dan yang kemudian diteruskan oleh anaknya Syah Abdul Aziz, dan dilanjutkan lagi oleh Sayyid Ahmad Syahid serta pengikutnya, banyak mempunyai persamaan dengan ajaran Wahabiah dari Arab Saudi. Dan yang paling banyak dilaksanakan adalah ajaran pemurnian praktek umat Islam dari berbagai macam bid’ah. Oleh karena itu Gerakan Mujahidin disebut juga oleh sebagian penulis Barat dengan Gerakan Wahabiah India.[7]
Tetapi antara gerakan Wahabiah dan Gerakan Mujahiidin terdapat perbedaan besar dalam sikap terhadap ajaran sufi. Wahabiah dengan keras menentang tarekat, sedangkan Mujahidin banyak dipengaruhi oleh ajaran sufi India. Syah Waliyullah sendiri tidak menentang tasawwuf dan dapat menyetujui tasawwuf yang bersifat moderat.
C.    SAYYID AHMAD KHAN
Perincian masa kecilnya Ahmad Sayyid Khan tidaklah tercatat, tetapi apa yang dapat diperoleh dari tulisan-tulisan yang ada, dapat diduga bahwa kekuatan intelektualnya berkembang sangat lamban, dan pada waktu kanak-kanak dan remaja ia ditandai dengan fisik yang kuat dan aktif di luar rumah daripada kegiatan intelektual. Pada waktu kakeknya melihat sewaktu lahir dan memperhatikan tangan dan kakinya yang sangat besar, ia berkata: “seorang yang keras lagi kasar dilahirkan diantara keluarga kita!”[8]. Beliau dilahirkan pada tanggal 17 Oktober 1817 di Delhi, India. Nenek moyangnya sangat terkenal di medan perang, namun karena mereka adalah keturunan Husain cucu Rosulullah SAW melalui Fatimah bin Ali. Kakek Sir Sayid yang asal mulanya menjadi panglima perang di kemudian hari diberi kedudukan agamis semi-hakim oleh Kaisar Mughal.
Ayah Sayid Ahmad yang bernama Mir Muttaqi adalah seorang pemimpin agama, tetapi karena keturunan Sayid maka ia juga memperoleh pengaruh besar dan juga sangat dihormati oleh raja Mughal pada waktu itu, Akbar Syah II. Ayahnya memiliki hubungan dekat dengan Syah Ghulam Ali Naqshabandi Mujaddidi, seorang wali setempat yang sangat terkenal. Pada waktu ayahnya meninggal, Mir Muttaqi diberi kedudukan gelar yang turun temurun, yang dengan sopan ditolaknya pemberian itu karena hal tersebut tidak lain hanya merupakan tontonan yang kosong saja pada waktu kemunduran dinasti Mughal.
Syaikh Ghulam Ali, sahabat kental ayah Sayyid Ahmad pada waktu itu sebagai syaikh dari tarikat Mujaddidi. Tarekat tersebut merupakan cabang India dari tarekat Naqshabandi yang berasal dari Syaikh Ahmad dari Sirhind. Pengikut tarekat Mujaddidi merupakan orang-orang muslim yang berpegang pada ajaran agama secara ketat sampai aliran Wahabi dari Negri Arab mulai tersiar dan mengunggulinya, merupakan pemurni-pemurni Islam di India.[9]
Karena Syaikh Ghulam tidak mempunyai anak, beliau biasanya memanggil anak-anak Mir Muttaqi dengan “Dadar Hazrat” (Yang Mulia Eyang). Syaikh Ghulam Ali sangat dekat dengan Sayyid Ahmad Khan hingga ketika Sayyid Ahmad Khan pergi ke sekolah untuk pertama kali, beliaulah yang mengantarkannya. Beliau juga yang telah mengajarkan Sayyid Ahmad huruf Arab hingga beliau berkembang menjadi anak yang taat pada agama.
Pemahaman Sayyid Ahmad Khan yang mendalam tentang masalah-masalah kenegaraan dan hubungan pertamanya dengan pengetahuan dan peradaban Barat berasal dari kakek dari pihak ibunya yaitu Khwaja Fariduddin yang selama 8 tahun menjadi perdana mentri di Istana Mughol.
Masa kecil Sayid Ahmad Khan dilalui dalam kesenangan dan kecukupan, tetapi dengan wafat kakeknya, kekayaan keluarganya mulai menurun. Pada tahun 1838 ayahnya meninggal dan keuntungan hasil tanah yang diperuntukkan baginya oleh pemerintah mulai hilang atau mulai dikurangi. Sayid Ahmad yang masih muda itu mulai mencari penghidupannya sendiri. Pertama-tama ia harus puas mendapat pengangkatan sebagai juru tulis tingkat rendahan, tetapi segera ia diangkat sebagai Munsif (Wakil Hakim), dan pada tahun 1841 ditempatkan sebagai Munsif di kota yang bersejarah Fatihpur Sikri.
Pada tahun 1856 , Ahmad Khan diangkat sebagai sadramin dan dipindahkan Bijnur. Tahun-tahun pertamanya diisi dengan mngedit dan mnerbitkan karya terpenting tentang sejarah pemerintahan kaum muslimin di India, yakni ‘Aini-Akbar, karya Abdul Fazl. Dalam menyiapkan buku ini, Ahmad Khan tidak hanya melakukan penyuntingan tetapi juga menjelaskan terminologi-terminologi administrasi Mughol, menganilisis asal-usul bahasanya, melengkapinya dengan gambar-gambar dan data numismatik, serta menyertakan sebuah apendiks tentang kebijakan Akbar di bidang pajak. Hasil kerja tersebut kemudian dijadikan pijakan oleh Blochman ketika menerjemahkan karya Abdul Fazl tersebut ke dalam Bahasa Inggris.
Ketika terjadi pemberontakan Sepoy dan pembunuhan besar0besaran orang-orang Eropa di Delhi sampai keDistrik Bijinur, para pegawai Eropa beserta keluarganya yang ada disana menjadi kalang kabut dan gelisah. Melihat situasi tersebut, beliau menghibur dan berjanji akan menyelamatkan mereka bahkan dengan taruhan nyawanya. Belum lama ssetelah aksi fisik yang dipimpin oleh Nawab Mahmud Khan pecah dan mulai meneroro orang-orang Eropa yang kemudian lari bersembunyi serta mencari perlindungan di rumah kepala Diwani. Ahmad Khan berusaha meyakinkan Nawab Mahmud Khan bahwa tanggung jawabnya untuk menjaga orang-orang Eropa dia daerah itu mengungsi dengan selamat.
Ahmad Khan sukses dengan misinya, beliau bersama Nawab Mahmud Khan berhasil membuat perjanjian dengan orang-orang Eropa bahwa orang-orang Eropa boleh meniggalkan tempat itu dengan aman, tetapi daerah tersebut jatuh ke tangan orang-orang Nawab.[10]
Tidak lama kemudian, para zamindar Hindu bangkit menentang Nawab. Ketika kekacauan telah mencapai titik klimaksnya, Komisioner Divisi Mirut  meminta kesediaan Ahmad Khan bertindak selaku Administrator Distrik Bijnur. Beliau menjalankan tugasnya ini selama beberapa saat, namun karena situasinya semakin memburuk, maka beliau dipindahkan ke Mirut.
Pemberontakan di Bijnur memang telah memberikan kesempatan kepada Ahmad Khan untuk memperlihatkan kecakapannya dalam menangani masyarakat. Tetapi, pemberontakan besar yang melanda hampir seluruh daerah Indo-Pakistan ini juga telah memberikan pukulan yang telak terhadap jiwanya. Ia secara langsung menyaksikan kemalangan habis-habisan yang diderita ummat Islam India, karena Inggris tidaklah memainkan peran penting di dalamnya. Keadaan ummat islam ini membuat Beliau frustasi dan berniat pindah ke Mesir.
Namun beliau mengayunkan kembali langkahnya untuk membangun kembali masyarakatnya. Beliau berusaha menjalin hubungan baik dengan Inggris , beliau bersedia menjadi mediator antara ummat islam dengan Inggris. Beliau meyakinkan ummat Islam India  bahwa persahabatan mereka dengan Inggris ditolerir oleh Syariat, dan bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang amat respek terhadap Isa Al-Masih (Yesus) beserta ajaran-ajarannya. Dan kepada orang-orang Inggris meyakinkan bahwa ajaran Islam; jika suatu bangsa dikuasai bangsa lain yang menjamin kemerdekaan religius, memerintah dengan adil, menjaga keamanan di dalam Negri, serta respek terhadap kepribadian hak milik bangsa yang dikuasainya maka bangsa tersebut harus loyal kepada penguasanya.
Beliau menulis artikel, majalah dan buku-bku untuk usahanya merekonsiliasi Muslim dan Inggris. Namun tidak hanya itu, beliau juga melangkah lebih jauh dengan menyusun tiga jilid komentar Bibel yang diberi judul Tabyin Al-Kalam. Seperti dikemukakan kepada orang-orang Islam India: “lihatlah, betapa banyaknya persamaan antara agama kita dengan agam kristen, agamanya orang-orang inggris.”[11]
Selain menjalin hubungan baik antara muslim dengan Inggris, Ahmad Khan juga bercita-cita membangun kembali citra kaum muslimin India. Ia menyadari bahwa jalan satu-satunya untuk menggapai cita-cita tersebut adalah melalui jalur pendidikan. G.F.I. Graham menceritakan bahwa suatu ketika Ahmad Khan berkata kepadanya: “Seluruh penyakit sosio-politik India dapat disembuhkan dengan resep ini (yakni pendidikan).
Karena keyakinan tersebut, Ahmad Khan mulai mendirikan sekolah-sekolah di daerah-daerah dimana beliau ditempatkan. Pada tahun 1861 mendirikan sekolah Inggris di Muradabad dan di tahun 1876 ia minta berhenti sebagai pegawai pemerintah Inggris dan sampai akhir hayatnya di tahun 1898. Ia mementingkan pendidikan umat islam India. Di tahun 1878, ia mendirikan sekolah Muhammedan Anglo Oriental Collage (M.A.O.C) di Aligarh yang merupakan karyanya yang bersejarah dan berpengaruh dalam cita-citanya untuk memajukan ummat islam India. M.O.A.C dibentuk sesuai dengan model sekolah di Inggris dan bahasa yang dipakai di dalamnya ialah bahasa Inggris. Pendidikan Islam dan ketaatan siswa dan menjalankan ajaran agama diperhatikan dan dipentingkan.[12]
a.      Pembaharuan Pemikiran Bidang Politik
Pada tahun 1857 ketika Sayyid Ahmad Khan genap berusia 40 tahun, terjadi satu fase baru dari kepribadiannya yang serba segi itu terungkap. Pada waktu itu terjadi kekacauan politik besar terjadi yang dimulai dengan pemeberontakan Angkatan Darat India terhadap pemerintahan Inggris di India yang kemudian merambah pada penduduk sipil. Menurut Sayyid Ahmad Khan, sebab pokok yang akhirnya membawa kepada pemberontakan tersebut adalah tidak adanya orang India yang mewakili pandangan India pada tingkat atas badan-badan yang memerintah negeri tersebut. Ia menyatakan:
“Sebagian orang setuju adalah sangat sesuai bagi kebahagiaan dan kemakmuran pemerintah jika rakyat harus mempunyai suara dalam Badan-badan Perwakilannya”.[13]
Ia membuka dengan jelas segala kejelekan yang disebabkan karena tidak adanya orang India di Dewan Legislatif, tidak mengertinya Dewan tersebut tentang pandangan yang sebenarnya mengenai orang-orang India. Selanjutnya ia menunjuk kepada campur tangan pemerintah dalam soal agama; “Tidak ada kebimbangan sedikitpun pada semua orang, baik bodoh atau pandai, tinggi atau rendah pangkatnya mempunyai keyakinan yang kukuh bahwa pemerintah Inggris condong untuk campur tangan dengan agama mereka dan adat kebiasaan mereka yang telah ada sejak lama”. Ia juga mengeluh tidak adanya pergaulan dan komunikasi antara orang Inggris dan orang India. Ia merenungkan tragedi yang menimpa Negrinya dan mendapatkan kesimpulan bahwa hal tersebut disebabkan karena kebodohan. Oleh karena itu ia bertekad untuk mulai mendidik orang yang memerintah dan yang diperintah, dan menghilangkan sebab-sebab yang memungkinkan pertentangan dan salah paham.
Tugas pertama ia mulai dengan bukunya Causes of the Indian Revolt, dan ia teruskan sepanjang hidupnya dengan mengajukan pikiran-pikiran rakyatnya dengan berani. Untuk tujuan inilah maka pada tahun 1866, ia mendirikan British Indian Association di Aligarh yang digambarkan sebagai macam pandangan yang berguna dan efektif bagi parlemen Inggris dan pemerintah di India mengenai kesulitan-kesulitan yang dialami rakyat India.
Sayyid Ahmad Khan juga mengetahui bahwa pemberontakan tersebut dikatakan sebagai pemeberontakan Muslim, dan ummat Muslim ditindas dengan kekerasan,. Ia berusaha untuk membetulkan kesan yang salah dari pejabat-pejabat Inggris. Namun secara politis, ia tetap anggota komisi pemerintah dan dan terus mengembangkan loyalitas dari ummat islam kelas menengah dan India Utara. Lebih dari itu, ia kemudian mendirikan Muhammad Educational Conference yang segera berkembang menjadi organisasi yang sangat baik dan memperoleh dukungan dari banyak pihak, dan cabang-cabangnya segera tumbuh dikalangan masyarakat Islam India. Konferensi ini menjadi alat penyiaran ide-ide Sir Sayyid Ahmad Khan di bidang sosial dan agama. Selain itu, ahmad Khan juga mendirikan organisasi yang bersifat politik, yaitu Muhammadan Defence Associaton, yang tujuannya adalah melindungi anggota-anggotanya dari saingan golongan yang kuat dan lebih maju.
Mohammaden Educational Conference, sebagaimana tersirat dalam namanya, memang berkepentingan dengan pendidikan islam. Namun, pada faktanya, lembaga ini tidak hanya merupakan ajang pertemuan tokoh-tokoh pendidikan Muslim, tetapi juga merupakan sebuah instrumen yang tangguh untuk kebangunan intelektual dan penyebaran ilmu pengetahuan di kalangan muslim di India. Lembaga ini mampu menarik para orator seperti Nawab Muhsin Al-Mulk, Dr. Nazir Ahmad, serta penyair besar seperti Hali dan Syibli Nu’mani yang menggunakan acara-acara pertemuan sebagai arena untuk memupuk entusiasme terhadap pembaruan sosial pendidikan modern serta kemajuan ekonomi dan intelektual. Lebih jauh, lembaga tersebut bahkan merupakan juru bicara politik ummat islam Indo-Pakistansebelum pembentukan Muslim League pada 1906.
b.      Pembaharuan Pemikiran Bidang Pendidikan
Pada awal 1869, putra Ahmad Khan yaitu Sayyid Mahmud dianugerahi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tingginya ke Cambridge, Inggris. Ahmad Khan, yang telah lama kagum serta berkeinginan mempelajari  peradaban dan institusi Barat demi kemajuan India, memutuskan menemani anaknya ke Inggris. Untuk membiayai perjalanan, ia menjual perpustakaan serta menggadai rumahnya. Pada 1 April 1869, ia meninggalkan Benares bersama anaknya dalam suatu perjalanan laut menuju Inggris.
Dalam perjalanan menuju Inggris ia berkenalan dengan Ferdinand de Lesseps, sarjana Perancis termasyhur yang berhasil membuat terusan Suez di Mesir serta mengunjungi beberapa kota penting di Perancis, ketika kapal yang ditumpanginya singgah di sana.
Ketika melakukan kunjungan ke Universitas Cambridge dan perguruan tinggi Inggris lainnya, Ahmad Khan tidak menyia-nyiakan kesempatan mengkaji secara mendalam pengelolaan lembaga-lembaga serta sistem pendidikannya. Ia akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa suatu lembaga pendidikan tinggi serupa Cambridge akan merupakan terapi yang efektif bagi masyarakatnya yang tengah mengalami keruntuhan. Setelah berdiskusi dengan serta sahabat-sahabatnya, Ahmad Khan akhirnya memutuskan bahwa sekembalinya ke India ia akan mendirikan sebuah universitas Muslim ala Cambridge dan akan bekerja keras untuk menyebarkan pendidikan modern yang memadai bagi kaumnya.
Langkah pertama yang dilakukan Ahmad Khan untuk merealisasikan rencana besarnya setiba di India adalah memulai penerbitan berkala Tahzib Al-Akhlaq edisi perdananya muncul pada 24 Desember  1870 yang meniru pola majalah kenamaan Inggris ketika itu: The Tatler dan The Spectator. [14]
Tujuan diterbitkannya berkala ini adalah untuk membuat kaum Muslimin India mendambakan jenis peradaban terbaik, sehingga peradaban itu akan menghilangkan pandangan rendah masyarakat beradab terhadap umat Islam, dan agar kaum Muslimin diperhitungkan di kalangan masyarakat terhormat serta beradab di dunia.
Tahzib Al-Akhlaq juga membawa pengaruh yang amat revolusioner terhadap perkembangan sastra Urdu, dengan mengubah bentuk jurnalisme Urdu, menyederhanakan prosanya, serta memberinya semacam kekenyalan dan kemampuan menyampaikan konsep-konsep intelektual baru dalam bahasa yang mudah dicerna. Dengan demikian, cukup beralasan jika Hali menganggap Ahmad Khan sebagai “Bapak Kesusteraaan Urdu Modern.”
Pada bulan Juli 1876, ahmad Khan pensiun dari pekerjaannya sebagai abdi Negara dan memilih menetap di Aligarh. Dengan pilihan domisili ini, ia bermaksud menumpahkan seluruh perhatian guna mewujudkan cita-citanya di bidang pendidikan tinggi. Usaha-usaha serius yang dilakukan beliau akhirnya membuahkan hasil dengan upacara peletakan batu pertama bangunan Mohammad Anglo-Oriental Collage di Aligarh. Upacara ini diselenggarakan pada 8 Januari 1877, dan peletakan batu pertama oleh wakil pemerinta Inggris, Lord Lytton.
Cita-cita beliau memang hampir terwujud dengan peletakan batu pertama Kolese Aligarh. Tetapi, anggaran pembangunan selanjutnya serta biaya pengelolaan lembaga pendidikan masih harus dicari. Untuk itu beliau melanglang buana ke seluruh penjuru India. Kerja keras tarsebut akhirnya mendapat imbalan yang memadai. Golongan ortodoks yang selalu menentang pandangan-pandangan Ahmad Khan sebagaimana yang diekspresikannya dalam Tahzib Al-Akhlaq yang pada mulanya amat curiga dan kritis terhadap ide pembangunan kolese Aligarh. Akan tetapi, pada 1877, beliau melakukan kompromi dengan menyerahkan seluruh masalah yang berkaitan dengan pendidikan agama bagi para mahasiswa Aligarh kepada sebuah komisi kaum ortodoks. Dengan demikian kecemasan dan kecurigaan mereka berangsur-angsur lenyap.
Namun kebijakan tersebut tidak berhasil memadukan antara pendidikan yang modern dan tradisional. Yang dihasilkan hanyalah seuatu kelas pemimpin muslim yanng sebelah kakinya berada di Barat dan sebelahnya lagi berada di atas  kultur Islam.
Pada 1 Januri 1873, kolase Aligarh ,memulai tahun ajarannya yang pertama. Tujuan-tujuan kolase tersebut adalah untuk membangun sebuah kolase dimana kaum muslimin memperoleh pendidikan Inggris tanpa merugikan agama mereka, mengorganisasi sebuah asrama di mana orang tua dapat memasukkan anaknya dengan harapan agar perilaku anaknya dapat diawasi secar teliti dan di dalam asrama tersebut akan dijauhkan dari godaan-godaan pemuda di kota besar, serta memberikan sebuah pendidikan yang lengkap selain mengembangkan intelektual tetapi juga menyediakan latihan fisik, membantu perkembangan prilaku yang baik dan memperbaiki karakter normal.
Tak cukup hanya dengan kolase, beliau juga membentuk Mohammadan Educational Conference, untuk mengatasi masalah pendidikan di India.
Dengan berhasil menggapai sukses demi suksesdalam merealisasikan impiannya, pengaruh beliau baik di kalangan bangsanya sendiri maupun di kalangan pemerintah kian membesar. Ia dianggap sebagai pemimpin utama kaum muslimin India serta figur nasional yang agun. Pada 1878, Lord Lyton mengangkatnya sebagai anggota Imperial Legislative Council, dan jabatan ini dikonfirmasi kembali oleh Lord Ripon. Tetapi, setelah beberapa waktu beliau melatakkan jabatn tersebut karena kesibukannya mengurus Kolase Aligarh. Lord Rippon juga pernah menunjuknya sebagai anggota Education Commission. Tetapi, jabatan ini ditolaknya juga dan kedudukan tersebut akhirnya diambil alih kakaknya, yaitu Sayyid Ahmad.
c.       Pemikiran pembaharuan bidang sosial keagamaan
Perjuangan beliau untuk memulihkan citra bangsanya hjuga telah mendorong Ahmad Khan memperjuangkan persamaan derajat antara orang-orang India dan orang-orang Eropa. Usaha emansipasi ini memang layak diperjuangkan, karena selain merupakan keturunan bangsawan Mughal terhormat, sejak kecil beliau telah belajar dari memperhatikan kakeknya yaitu Khwaja Farid Al-Diin yang berteman akrab dengan Inggris.
Usaha emansipasi memang telah lama diperjuangkan oleh beliau. Bahkan pada 1867 ia pernah walk out dari sebuah perhelatan (darbar) di Agra karena kursi untuk tamu-tamu dari kalangan bumiputra ditempatkan lebih rendah dari krsi untuk tamu-tamu Eropa. Usaha emansipasi ini dijalankan terus menerus, meski beliau menyadari bahwa upaya tersebut membuahkan hasil seketika.
Ahmad Khan memulai karir teologisnya dengan menyusun sebuah sketsa biografi Nabi, Jila Al-Qulub bi Dzikr Al-Mahbub (1842). Pada permulaan buku ini terdapat puisi pendek berbahasa Persia berisi pujian untuk Nabi Muhammad SAW, serta sebuah puisi berbahsa Arab dibagian akhirnya. Namun sebagian besar kandungannya ditulis dalam untaian prosa idiomatik Urdu.
Karya Ahmad Khan yang kedua yaitu Tuhfa Hasan (1844),  meruoakan terjemahan bab 10 dan 12 buju Tuhfa Itsna Asy’ariyyah, yang disusun Syahd Abd Al-Aziz. Penerjamahan buku ini dilakukannya atas dorongan Maulan Nur Al-Hasan. Bab 10  karya tersebut berisi celaan-celaan orang Syi’ah terhadap para sahabat Nabi dan Aisyah, disertai jawaban atas cercaan-cercaan tersebut. Sedangkan pada bab 12 berisi istilah-istilah keagamaan Syi’ah, seperti tawalla dan tabarra yang berarti cinta dan membenci tetangga karena agama.
Dalam tulisan ketiga Al-Haq (1849), beliau berudaha menjelaskan penyimpangan-penyingan sufisme. Di dalamnya membahas mengenai pir dan sampai pada kesimpulan bahwa Nabi Muhammad merupakan seorang pir yang absah. Implikasinya yaitu seluruh tata kehidupan sufi harus diarahkan secara ketat mengikuti tuntunan Nabi dengan menaati petunjuk Alquran dan sunnah. Pada bagian kedua beliau membahas konsep serta praktek bai’at dan sufi. 
Dari karya-karya yang beliau hasilkan pada periode pertam dapata disimpulkan bahwa beliau dengan tegar berdiri di atas tradisi ortodoksi Islam India yang puritan.
Perubahan radikal dalam pemikiran keagamaan Ahmad Khan ke arah pemikiran yang independen dan liberal ditandai dengan penerbitan karya apologetiknya, Life of Mohammed and Subjects Subsidiary Thereto (1870). Dalam karya ini beliau meletakkan kriteria penilaian kebenaran agama berdasarkan prinsip “conformity to nature”, beliau juga menerapkan suatu metodologi yang tampapak seperti metodologi yang tampak seperti metodologi yang “terbaratkan” sebagiannya ilmiah dan sebagian lagi bersifat apologetik spekulatif trhadap sejarah Arabia pra-islam dan beberapa aspek tertentu Sirah yakni biografi tradisional Nabi Muhammad.[15]
Sayyid Ahmad menjelajah hampir semua literatur Islam untuk menggali pendapat-pendapat yang memiliki otoritas yang mendukung tesisnya, bahwa dalam Alquran tidak ada sesuatupun yang tidak sesuai dengan sains modern. Cocok dengan alam adalah ukuran untuk menilai pelbagai macam agama, dan agama islam adalah agama yang benar karena sesuai dengan alam. “Kalimat Allah (Alquran)”, ia menyatakan harus sesuai dengan perbuatan Allah (alam)”. Ia mengikuti metode Mu’tazillah dalam mencocokkan agama dengan sains, dan ia dianggap sebagai Mu’tazillah modern. Dengan demikina dapat dipahami bahwa agama yang dipahami oleh Sir Sayyid Ahmad Khan adalah suatu paham agama yang secara eksplisit sesuai dengan kemajuan dan khususnya dengan kebudayaan Inggris pada abad ke-19 dengan ilmu, moralitas liberal, humanisme, dan rasionalisme ilmiahnya.
Kegiatan penulisan bahkan tetap dilakukan menjelang wafatnya. Delapan hari sebelum tiba ajalnya, Ahmad khan masih meluangkan waktu menulis sebuah artikel tentang kontroversi Hindi-Urdu dan mendukungkeabhsan bahsa Urdu. Setelah itu, ia juga masih menyempatkan diri memulai penulisan sebuah artikel apologetik yang berisi pembelaan terhadap Nabi Muhammad.
Akan tetapi, saat kematian itupun akhirnya datang juga. Pada tanggal 24 Maret 1898, beliau jatuh sakit, dan meninggalkan dua hari kemudian. Kepulangan orang besar ini merupakan suatu kehilangan bagi kaum muslimin di anak benua Indo-Pakistan dan dunia  Islam.
D.    MUHAMMAD IQBAL
Iqbal dilahirkan pada 1873 di Sialkot, suatu kota tua bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan Khasmir. Seperti sebagian besar tokoh-tokoh yag digambarkan oleh buku ini, ia datang dari keluarga miskin, tetapi dengan bantuan beasiswa yang diperoleh di sekolah menengah dan perguruan tinggi, ia mendapatkan pendidikan yang bagus. Setelah pendidikan dasarnya di Sialkot ia masuk Government Collenge (Sekolah Tinggi pemerintahan) Lahore. Ia menjadi mahasiswa kesayangan Sir Thomas Arnold yang meninggalkan Aligarh dan pindah bekerja di Government Collenge Lahore. Iqbal lulus pada tahun1897 dan memperoleh beasiswa serta dua  medali emas karena baiknya bahasa Inggris dan Arab. Ia akhirnya memperoleh gelar M.A dalam filsafat pada tahun 1899.[16]
Setelah menyelesaikan pelajarannya, Iqbal menjadi dosen di perguruan tinggi pemerintah (Government College), tetapi karier sastranya telah membayangi semua aspek kerjanya terlebih dahulu. Pada waktu itu Iqbal mulai menulis bukunya dalam bahasa urdu yang pertama kali mengenai ekonomi. Namun sebelum itu, ia telah mulai mengambil bagian pada simposium syair lokal, dan telah menarik perhatian pada penyair senior. Kemasyhuran Iqbal juga menarik perhatian otoritas-otoritas dari “Anjuman Himayat-Islam”, suatu organisasi yang sangat berpengaruh di Lahore yang tujuannya antara lain untuk memperkenalkan pendidikan modern kepada umat muslim.
 Iqbal mulai membaca syairnya yang panjang-panjang pada setiap rapat tahunan dari Anjuman tersebut, dan segera kemasyhuran tersiar sebagai penyair yang hebat dari Punjab. Pena iqbal sangat sibuk pada waktu itu, dan ia menulis banyak syair mengenai berbagai macam masalah. Beberapa syairnya adalah tentang hal-hal yang berhubungan dengan alam, dan mewakili sebagian usaha yang paling berhasil yang dilakukan dalam bahasa Urdu, untuk meniupkan tradisi-tradisi pensyairan dari Wordworth, Coliridge dan Cowper. Iqbal merupakan seorang kampiun nasionalis India yang baru bangkit.[17]
Periode petama karir syair iqbal berakhir pada tahun 1905 sewaktu ia pergi meneruskan pelajaran di Eropa. Ia menulis beberapa lirik yang indah dalam bentuknya yang lama pada waktu itu ia belajar di Inggris dan Jerman, tetapi sikapnya terhadap banyak hal mengalami perubahan besar. Iqbal pergi ke Inggris sebagai nasionalis dan panties, tetapi kembali ke india sebagai pan-Islamis dan hampir-hampir saja puritan (pemurni). Perubahan itu sebagian karena penelitiannya pada sejarah tasawuf islam, Ia menulis disertasinya tentang Development of Metaphysics in Persia untuk gelar Ph.D.-nya, dan  pada waktu belajarnya ia sampai pada kesimpulan bahwa tasawuf (atau apa yang dikatakan mistik islam) tidak mempunyai dasar yang kukuh dan historis dalam ajaran islam yang murni. Ia menulis kepada kawannya Khwaja Hasan Nizami di Dhelhi dan minta kepadanya beberapa bukti yang meyakinkan bagi teori yang menyatakan bahwa tasawuf adalah bentuk esoteris islam. Jawaban-jawabannya tidak memuaskan Iqbal, dan berangsur-angsur dia sampai pada kesimpulan bahwa dalam islam, tasawuf merupakan pertumbuhan yang asing, bahkan tidak sehat.
Sekembalinya dari Eropa, perubahan spiritual dan ideologis Iqbal makin mendalam. Kita mempunyai suatu surat yang menarik dari periode ini yang menggambarkan proses perubahan Iqbal dari nasionalis India kepada kampiun kebangsaan muslim. Pada 1909 ia diundang ke Amritsar untuk menghadiri pertemuan Minerva Lodge, yaitu suatu organisasi kosmopolitan dengan anggota dari orang-orang Hindu dan orang-orang muslim. Iqbal dengan ramah menolak undangan itu, da dalam surat-menyurat pada 28 Maret 1909 ia menulis:[18]
“Saya sendiri berpendapat bahwa perbedaan-perbeadaan agama harus lenyap dari negeri ini, dan bahkan sekarang ini. Itu merupakan prinsip dalam kehidupan pribadi saya,. Tetapi saat ini saya berpikir bahwa memelihara kesatuan nasional masing-masing yang terpisah adalah baik bagi kedua belah pihak, antara umat hindu dan umat muslim. Visi tentang kebangsaan yang satu bagi India merupakan cita yang bagus, dan mempunyai daya tarik puisi, tetapi memperhatikan keadaan sekarang ini dan kecenderungan-kecenderungan yang tanpa disadari dari kedua komunitas, tampaknya mustahil untuk dilaksanakan”.
Ia mempergunakan keahlian puisinya yang dimiliki untuk menyatukan umat muslim, dan untuk mempercepat proses dimana islam dapat benar-benar memenuhi misi spiritual dan kulturalnya di dunia ini. Ia menulis puisi pada sat tertentu saja, yang diilhami atau didorong oleh berbagai macam topic yag terjadi.
Pada 1918 Iqbal menerbikan “Rumuz-i Bekhudi” (Secrets of Non-ego) yang membahas perkembangan ego nasional. Syair ini lebih banyak memberi ilham dari pada yang pertama, dan Karena ia tidak menimbulkan isu-isu controversial, maka popularitasnya cepat dan tersiar luas.
Sejak 1907 iqbal menganjurkan solidaritas dan persaudaraan muslim. Namun demikian hal itu tidak menyebabkan konflik dengan  sesama rakyat senegerinya. Dan kenyataannya (Sebagaimana lebih bayak lagi dapat dilihat pada dukungan Gendhi kepada Gerakan khilafat), kaum nasionalis Hindu telah untuk keuntungan-keuntungan politik sementara mendukung satu Pan-islam yang memudahkan memudahkan pembentukan front bersama melawan Inggris.
Iqbal yang pada tahun 1926 setuju untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Legislatif Lokal, dan yang saat itu anggota Legislatif Punjab, melihat dekat dari apa yang terjadi, betapa orang-orang hindu dan orang-orang muslim satu sama yang lain saling membenci dan mereka berbaris dalam kamp-kamp dan yang berlawanan dan bermusuhan yang dapat dijauhkan dari perang saudara yang pahit hanya karena tangan yang kuat tentara Inggris.
Di dalam riwayat hidupnya telah disinggung bahwa Iqbal menjadi Presiden Liga Muslim di tahun 1930. Dalam hubungan ini baik disebut bahwa sebelum pergi ke Eropa ia sebenarnya seorang nasionalisme India. Tetapi kemudian ia robah pandangannya. Nasionalisme ia tentang, karena dalam nasionalisme seperti yang ia jumpai di Eropa, ia melihat bibit materialisme dan ateisme dan keduanya merupakan ancaman besar bagi perikemanusiaan. Nasionalisme India nyang mencakup Muslin dan Hindu adalah ide yang bagus, tetapi sulit sekali untuk dapat diwujudkan. Ia curiga bahwa di belakang nasionalisme India terletak konsep Hinduisme dalam bentuk baru.
Iqbal mempelajari situasi itu dan sadar bahwa hal ini terang tidak akan membawa kepada penciptaan kebangsaan yang satu. Beberapa tahun setelah ia melihat “kecenderungan-kecenderungan yang tidak sadar” dari kedua kelompok rakyat, yang beberapa waktu kemudian kekuatannya yang sangat jelek itu tampaknya menjadi kenyataan. Pandangannya mengkristal, dan ia mulai menekankan bahwa umat hindu dan umat muslim india adalah dua bangsa yang terpisah, dan penyusunan konstitusi di hari-hari yang akan datang harus didasarkan pada pengakuan yang jelas tentang kenyataan tersebut. Kejadian-kejadian di luar india juga mendukung kecenderungan ini, Turki yang dulu merupakan harapan bagi dunia muslim kehilangan kerajaannya yang besar dalam perang dunia. Umat muslim india yag dulu dipenuhi dengan kesadaran tentang kecilnya diri sendiri, sekarang ini mulai merasa bahwa bagaimanapun juga mereka menjadi tumpuan yang paling pokok dari dunia muslim. Dalam hal ini iqbal menyatakan bahwa “umat muslim india yang kebetulan jumalahnya lebih besar dibandingkan denga umat muslim di negeri-negeri asia lainnya dijadikan satu, kiranya perlu mempertimbangkan dari mereka sendiri diri sebagai kekayaan yang paling besar dari islam, dan harus tenggelam dalam akunya sendiri yang lebih dalam. Seperti bagsa-bangsa muslim lainnya di asia, agar dapat menghimpun sumber-sumber kehidupan mereka yang bercerai-berai, dan menurut nasihat Sir Fazl ‘berdiri pada kaki kita sendiri’.[19]
Puncak karier polotik iqbal terjadi pada sidang tahunan All India Muslim League ia mengajukan uatuk pertama kalinya di hadapan umat muslim india, tujuan nasional dari apa yang kemudian dikenal sebagai Pakistan. Dalam pidato kepresidenan sidang tahunan tersebut tersebut  menyatakan:[20]
“Saya ingin melihat Punjab, propinsi North_West Frontier, Sindh dan Balicistan, bergabung menjadi satu Negara. Berpemerintahan sendiri dalam kerajaan inggris, atau di luar kerajaan inggris, pembentukan Negara muslim Barat Laut india tampaknya menjadi tujuan akhir umat muslim, palingt tidak bagi umat muslim india Barat Laut”.
Pidato iqbal di sidang liga itu hanya menimbulkan reaksi sedikit di kalangan politisi, tetapi pada umumnya hal itu tidak di anggap serius. Tahun berikutnya iqbal di undang ke inggris untuk menghadiri konferensi meja bundar. Di sana pada waktu membicarakan hari depan Punjab, sebuah rencana Sir Geoffery Corbet dipertimbangkan, yang mungkin memudahkan menerima usul iqbal. Tetapi usul iqbal tersebut tidak pernah diajukan pada keonferensi itu. Namun demikian pada waktu berada di inggris, iqbal dapat mengadakan hubungan yang sangat berharga. Satu hal yang perlu dicatat disini ialah bahwa ia bayak mengadakan pertemuan dengan Muhammad Ali Jinnah, yang ia mampu menarik perhatiannya tentang rencana hari depan india, dan yang akan menjadikan “imoian puisinya” sebuah realitas yang hidup. Iqbal merupakan orang pertama yang meletakkan rencana Pakistan dalam persefektif yag bisa diterima oleh akal, untuk melaksanankan rencana tersebut, suatu tugas yang lebih berat lagi, sebagian besar tugas dari Ali Jinnah, namun demikian Chaudhri Rahmad Ali memiliki saham tersendiri, iqbal tidak memberi nama pada Negara usulannya itu, Chaudhri Rahmad Ali mengumpulkan huruf-huruf pertama dari lima wilayah disebelah utara india, yaitu “P” (Punjab, “A” (Propinsi Afgan), “K” (Khasmir), “S” (Sind), “TAN” (untuk BaluchisTAN), dan memberikan nama Pakistan kepada negra yang diusulkan itu. Nama itu menrik imajinasi rakyat, dan sudah barang tentu menambah popularitasnya rencana itu.
Tidak mengherankan kalau Iqbal dipandang sebagai Bapak Pakistan. Ide Iqbal bahwa umat islam India merupakan suatu bangsa dan oleh karena itu memerlukan satu negara tersendiri tidaklah bertentangan dengan pendiriannya tentang persaudaraan dan persatuan umat islam. Pengaruh Iqbal dalam pembaharuan India ialah menimbulkan faham dinamisme dikalangan umat islam dan menunjukkan jalan yang harus mereka tempuh untuk masa depan agar sebagai umat minoritas di anak benua itu mereka dapat hidup bebas dari tekanan-tekanan dari luar.
Iqbal merupakan pimpinan umat muslim yang diakui dan  mengambil peranan aktif dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan umat muslim pada waktu itu.
Pada akhir hayatnya iqbal ingin menulis suatu buku tersendiri tentang ”Recontruction of Islamic Jurisprudence”. Sayang sekali kematian menjemputnya. Tetapi observasi yang diberikan oleh iqbal mengenai masalah tersebut dalam ceramahnya “Reconstruction of Religious Thought in Islam” adalah cukup jelas menunjukkan tentang kebijaksanaan dan orisinalitasnya. Barang kali yang paling berguna tentang semua ini adalah bahwa ia menekankan kepada “Ijma” dan betuknya yang harus di ambil dalam kondisi modern ini. Ia menyatakan “Sumber ketiga dari hukum islamadalah Ijma’ yang menurut pendapat saya merupakan pandangan hukum yang paling penting dalam islam’. Menurut iqbal alat yang paling cocok untuk mempergunakan sumber hukum islam yang diakui adalah “Dewan legislatif muslim”. Setelah menunjukkan mengapa khalifah-khalifah Umayyah dan Abbasiyah lebih senang untuk “menyerahkan kekuatan ijtihad kepada mujtahid-mujtahid secara individual dari pada menggerakkan untuk menciptakan suatu Dewan yang permanen yang bisa juga akan menjadi terlalu kuat bagi mereka”.[21]
Iqbal tidak diberi umur panjang untuk melihat realisasi dari impiannya tentang Negara muslim. Ia meninggal dunia pada 18 Maret 1938 sedikit kurang dari sepuluh tahun sebelum berdirinya Pakistan, tetapi pada perjuangan akhir terjadi di propinsi yang sangat penting, yaitu Punjab, di antara orang-orang yang menghempaskan bangunan Unionist dan meratakan jalanuntuk berdirinya Pakistan, adala anak-anak muda, laki-laki dan perempuan, yang telah minum sepuas-puasnya dari pencurahan puisi Iqbal.
E.     Muhammad Ali Jinnah (1876-1948): Bapak Pakistan
                        Tokoh yang sezaman dengan Iqbal adalah Muhammad Ali Jinnah (selanjutnya disebut dengan Jinnah), anak seorang saudagar yang lahir di Karachi pada tanggal 25 Desember 1976. Semenjak masa remaja dia telah meninggalkan India menuju London untuk melanjutkan studi di bidang Hukum dan menjadi pengacara sukses.
                        Jinnah memasuki dunia politik pada tahun 1906, kemudian bergabung dengan Indian National Congress dibawah bimbingan Dadabhai Naoroji. Pada tahun 1910 dia terpilih menjadi ahli Viceroy’s Legislative Council mewakili masyarakat muslim Bombay.
                        Berbeda dengan tokoh pergerakan islam sebelum dan sezamannya yang biasanya melalui pendidikan islam tradisional, Jinnah justru melalui semua pendidikan di sekolah secular. Maka ada sebagian pendapat menyatakan bahwa Jinnah pada awalnya tidak lebih dai seorang nasionalis moderat yang tidak memiliki keterikatan apapun dengan gerakan islam. Maka wajar jika pada awalnya dia tidak menolak konsep suatu negara yang dicadangkan masyarakat Hindu dan nasionalis Muslim. Sesudah tahun 1913 barulah Jinnah lebih dekat kepada kepentingan Islam dan mendukung berdirinya negara Islam Pakistan. Perubahan pada diri Jinnah terjadi pada April tahun 1913 saat mengunjungi London dan bertemu dengan Maulana Muhammad Ali dan Syed Wazir Hasan. Kedua tokoh ini meminta Jinnaah untuk bergabung dengan Liga Muslim.
                        Ide tentang negara Islam Pakistan sudah mulai ditiupkan oleh Shah Waliullah, lalu dimunculkan oleh Ahmad Khan, dan dikumandangkan oleh Iqbal, akan tetapi Jinnah sesungguhnya orang yang merealisasikannya. Artinya, Jinnah mampu merealisasikan ide-ide tokoh sebelumnya ke alam nyata. Dia lebih cenderung kepada praktisi bukan pemikir. Walaupun tidak banyak mengeluarkan filsafat dan pemikiran seperti Iqbal, akan tetapi perannya dalam membangun negara Islam Pakistan  tidak dapat diingkari. Pada sisi lain perannya mewujudkan negara islam adalah bukti bahwa dia tetap berasumsi Islam sebagai agama yang sempurna, bukan hanya mengatur permasalahan ibadah, akan tetapi juga negara.
                        Pada hakikatnya pendirian negara Islam Pakistan yang merdeka tanggal 15 Austus 1947 adalah klimaks dari perjuangan umat islam di India untuk memiliki negara sendiri yang didasari keyakinan bahwa Hindu dan Muslim di India sesungguhnya tidak mungin dapat bersatu. Karena agama, budaya dan adat yang berbeda akan menjadi penghalang perpaduan bangsa di masa akan datang seperti telah diramalkan oleh Shah Waliullah, Ahmad Khan dan Iqbal[22].
                        Cita-cita Ali Jinnah mendirikan negara tersendiri yang terpisah dari india mendapat kesulitan karena bertentangan dengan ide nasionalisme Gandi yang merangkul umat Islam dan Hindu di India. Dalam menghadapi kesulitan, Jinnah lewat Liga Muslimin mengadakan rapat pada 1940 di Lahore dan menyetujui pembentukan negara Pakistan, sebagai negara umat islam di India. Akhirnya pada 15 Agustus 1947, negara Pakistan lahir, dan Ali Jinnah sebagai kepala negara pertama. Dan mendapat gelar qaid-I azam (pemimpin besar). Muhammad Ali Jinnah lebih dikenal sebagai politikus daripada seorang pemikir pembaharu Islam. Tetapi di samping idenya dalam pemikiran politik, ia juga mempunyai pemikiran dalam memajukan umat Islam. Salah satunya ide tentang perlunya emansipasi wanita. Ia menganjurkan agar wanita juga ikut berkiprah dalam segala bidang, termasuk bidang politik[23].
                        Walaupun penciptaan Pakistan telah menyelesaikan satu persoalan yaitu pembentukan tanah air tersendiri bagi para muslim, tetapi tidak menyelesaikan persoalan identitas. Perdebatan tentang identitas di Pakistan menegaskan politik yang tidak pasti, korupsi dan nepotisme menyebar luas. Orang-orang Bengali protes karena merasa diperlakukan seperti sasaran penjajahan oleh orang-orang Pakistan Barat dan di tahun 1971 terbantu dengan adanya perang Pakistan dengan India. Pakistan lebih dari sekedar sebuah negara, ia juga sebuah ide, ekspresi kebudayaan dari sebuah identitas. Arsitekturnya, bahasanya, pakaian dan makanannya merupakan sebuah ekspresi. Ini adalah mata rantai yang membawa orang-orang muslim kembali ke masa lalu. Ketika kritik-kritik tentang Pakistan merebak di tahun 1971, “Pakistan telah mati”, mereka salah. Justru sangat hidup, baik di permukaan dan di dalam hati kaum muslim. Pakistan telah berhasil menyelesaikan segala permasalahannya dengan jalan demokrasi[24].
F.     Maulana Sayid Abul A’la Maududi
                        Abul A’la dilahirkan pada tanggal 3 Rajab 1321 H/25 September 1903 M di Aurangbad, suatu kota terkenal di kesultanan Hyderabad (Deccan). Ia dilahirkan dari keluarga terhormat, dan nenek moyangnya dari segi ayah keturunan Nabi Muhammad saw. Inilah sebabnya ia memakai nama “sayyid”. Abul ‘Ala adalah anak yang paling kecil dari tiga saudaranya. Setelah memperoleh pendidikan di rumahnya ia masuk sekolah menengah madrasah Fawqaniyah, suatu madrasah yang menggabungkan pendidikan barat modern dengan pendidikan islam tradisional. Abul ‘Ala menyelesaikan pendidikan menengahnya dengan sukses lalu memasuki perguruan tinggi Darul Ulum di Hyderabad. Tetapi pada waktu itu pendidikan formalnya terganggu karena bapaknya sakit kemudian meninggal dunia. Namun demikian hal itu tidak menganggu Maududi untuk meneruskan pendidikannya, sekalipun dilakukan di luar lembaga-lembaga pendidikan regular. Pada permulaan 1920-an Abul ‘Ala telah menguasai bahasa Arab, Parsi dan Inggris disamping bahasa ibunya (Urdu). Untuk mempelajari masalah-masalah yang menjadi perhatiannya secara bebas, jadi sebagian besr dari apa yang ia pelajari itu diperoleh dengan belajar sendiri dan dorongan yang ia terima dari guru-gurunya.
                        Setelah berhenti dari pendidikan formal itu Maududi berbelok kepada jurnalisme untuk mencari nafkah hidup. Pada tahun 1918 ia telah menulis artikel-artikel untuk surat kaba Urdu yang terkemuka, dan pada tahun 1920, pada usia 17 tahun ia telah diangkat menjadi editor surat kabar Taj yang diterbitkan di Jabalpore, India.  Pada akhir 1920 Maududi datang ke Delhi dan pertama-tama memegang pimpinan surat kabar Muslim (1921-1923) dan kemudian Al-Jam’iyat (1925-1928), dua surat kabar  yang diterbitkan oleh Jam’iyyat-I Ulama-I Hind, suatu organisasi ulama-ulama muslim. Dibawah pimpinannya Al-Jam’iyat menjadi surat kabar terkemuka umat muslim di India.
                        Sekitar tahun 1920-an Maududi juga mulai mengambil pehatian dalam kegiatan politik. Ia mengambil bagian dalam gerakan khilafat dan terlibat dalam suatu gerakan rahasia. Tetapi segera ia meninggalkan organisasi itu karena tidak setuju dengan idenya. Maududi juga bergabung dengan gerakan Tahrikh-i-Hijrat, suatu organisasi oposisi terhadap pemerintahan Inggris atas India, dan menganjurkan kepada umat muslim dari negeri itu untuk hijrah secara missal ke Afghanistan. Namun lagi-lagi ia berbeda pendapat dengan pimpinan gerakan itu. Dengan itu Maududi makin memusatkan dirinya pada kegiatan-kegiatan akademik dan jurnalistik. Selama tahun 1920 – 1928 Abul A’la Maududi menerjemahkan 4 buku, satu dari bahasa Arab dan kettiga buku lainnya berbahasa Inggris. Buku yang ditulis pertama kali oleh ia adalah “Al-jihad fil-islam”. Buku itu beris hukum islam tentang perang dan damai. Buku itu mendapat pujian dari Muhammad Iqbal dan Maulana Ali Jauhar. Setelah meninggalkan Al-Jam'iyat, ia bergabung dengan majalah bulanan Tarjuman Al-Qur’an, ia selalu megemukakan pikiran-pikirannya melalui majalah tersebut.
            Sekitar tahun 1940, Maududi mengembangkan pikiran untuk mendirikan gerakan yang lebih komprehensif, dan itulah yang menyebabkan ia mendirikan organisasi Jama’at-I Islami, dan ia juga menjabat sebagai ketuanya hingga tahun 1972. Madudi melewati kehidupan untuk masyarakat selama hamper 60 tahun. Selama tahun-tahun ini ia terus menerus aktif dan vokal dalam bicaranya. Ia telah menulis lebih dari 120 buku dan telah memberika ribuan pidato atau statemen di surat-surat kabar. Karyanya yang paling besar adalah Tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Urdu, Tafhim Al-Qur’an, suatun karya yang ia selesaikan selama 30 tahun. Pena Maududi sangat tajam, kuat dan kaya. Jangkauan yang dibahas sangat luas. Ilmu sepeti tafsir, hadits, hukum, filsafat dan sejarah, semua memperoleh perhatian. Ia telah membahas berbagai macam masalah politik, ekonomi, kebudayaan, sosial, teologi, dan sebagainya. Maududi berusaha untuk menerangkan betapa ajaran islam mempunyai hubungan dengan masalah-masalah ini.
                        Pengaruh Maulana Maududi tidak terbatas kepada anggota-anggota Jama’at-I Islami saja. Pengaruh itu melampaui batas pertain dan organisasi. Sebagai seorang ulama dan penulis dapat dikatakan bahwa ia adalah penulis yang tulisannya paling banyak dibaca orang. Ia juga diminta untuk menjadi komite penasihat yang menyiapkan berdirinya Universitas Islam Madinah, dan menjadi anggota dewan akademis sejak berdirinya Universitas itu pada tahun 1962. Ia juga menjadi anggota bkomite pendiri Rabitah Al-Alam Al-Islami Makkah, dan anggota Akademi Riset tentang hukum islam di Madinah. Ia meninggal dunia pada tahun 1983[25].
Pemikiran Maulana Sayid Abul Abul A’la Maududi
1.        Pandangan Tentang Islam
Pangkal tolak pandangan agamis Maulana Maududi adalah konsepsinya tentang Tuhan. Bagian pertama dari pengakuan kepercayaan islam adalah “Tidak ada Tuhan selain Allah”, suatu pernyataan yang tampaknya hanya mengakui dengan kukuh tentang keesaan sang pencipta, dalam pandangan maududi mempunyai implikasi yang lebih jauh daripada apa yang ditunjukkan oleh keterangan itu sepintas. Bagian dari syahadat itu bukan hanya menerangkan tentang keesaan Tuhan sebagai pencipta atau bahkan sebagai satu-satunya sasran penyembahan, tetapi ia juga menerangkan tentang tidak adanya sesuatu yang menyerupai Tuhan sebagai yang maha kuasa, sebagai yan maha pengatur. Sebagai pencipta manusia, maka hanya Tuhan lah yang mempunyai hak untuk memberitahu kepada manusia apa tujuan yang sebenarnya dari penciptaan ini dan cara apa untuk mencapainya. Oleh karena itu syahadat dalam islam sebagaimana tersebut di atas pada dasarnya merupakan deklarasi moral, suatu ajakan kepada manusia agar menanggapinya dengan keseluruhan dirinya untuk beramal dan berbakti kepada-Nya. Maulana Maududi menekankan bahwa penyerahan total kepada Tuhan inilah Islam, suatu kalimat yang menurut akar katanya menunjukkan pada penyerahan atau ketundukan. Adapun manusia sebagai makhluk tuhan, ia harus tunduk dan patuh kepada-Nya. Bukan hanya itu, Tuhan telah memilih manusia, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai tugas yang unik, sebagai wakil Tuhan di Bumi. Masalahnya adalah dengan cara bagaimana orang harus tunduk kepada Tuhan, sebagaimana ia harus mengetahui perintah-perintah dan petunjuk Tuhan yang harus ia ikuti? Jawaban pertanyaan ini terletak pada doktrin tentang kerasulan, suatu doktrin yang merupakan pelengkap yang sangat esensial bagi doktrin tentang kekuasaan Tuhan. Maulana Maududi membahas secara panjang lebar tentang kenabian itu, dan menganggap sebagai tanggapan Tuhan terhadap keperluan manusia akan petunjuk. Karena sangat mendasarnya keperluan itu, maka kenabian mulai dengan permulaan kehidupan manusia di dunia ini. Manusia pertama adalah juga nabi dan rasul yang pertama.
                        Maulana Maududi menekankan tentang adanya dua sikap hidup yang pada asasnya satu sama lain sangat berbeda: Satu menerima Tuhan sebagai yang maha kuasa dan yang member hukum, dan dengan itu berhadapan dengan Tuhan sebagai hamba-Nya. Sedang yang lain adalah menolak dan memberontak terhadap Tuhan dan menyombongkan diri-Nya atau orang lain terhadap Tuhan Esa yang sebenarnya sebagai yang mempunyai otoritas untuk memerintah. Para Rasul menentang sikap yang belakangan ini, dan mengajak umat manusia agar tunduk dan patuh kepada Tuhan yang maha Esa. Sikap salah inilah yang esensinya menolak otoritas petunjuk kepada umat manusia yang dibawa para Rasul, menurut Maulana Maududi, termasuk kepada jahiliyah (kebodohan). Sikap itu dinamakan jahiliyah karena pengetahuan yang sebenarnya tentang prinsip-prinsip yang benar yang dapat mengatur kehidupan umat manusia tidak bisa diambilkan dari sumber yang lain daripada apa yang diwahyukan kepada para Rasul untuk disampaikan kepada umat manusia.
                        Hal lain yang ditekankan oleh Maulana Maududi adalah bahwa petunjuk yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah itu meliputi kehidupan seantero manusia. Berulang kali ia menekankan bahwa Islam adalah jalan hidup dan merupakan jalan hidup yang lengkap. Maulana Maududi menekankan bahwa kesalahan kebudayaan modern makin jelas bagi para cendekiawan dan orang-orang yang berpikir . Ia merasa bahwa kebudayaan dewasa ini berjalan di jalan kehancuran dan disintegrasi[26].
2.         Pandangannya Tentang Sejarah
Sejarah menurut pandangan Maududi berisi perjuangan yang terus menerus antara Islam dan Jahiliyah. Islam menolak jahiliyah dalam segala bentuk dan coraknya, dan berusaha untuk membawa revolusi total dalam kehidupan manusia dengan maksud membentuk kehidupan itu sesuai dengan petunjuk Tuhan. Revolusi ini mulai dengan memberikan manusia serangkaian kepercayaan, pandangan hidup, konsepsi realitas, skala baru dari nilai-nilai, keterikatan moral yang segar, dan transformasi motivasi dan pribadi. Usaha ini bermaksud untuk membina kembali kehidupan manusia secara utuh dan membawa kepada berdirinya masyarakat dan negara baru, kepada suatu orde yang dalam bentuk idealnya disebutkan oleh maududi sebagai Khilafah ‘ala minhaj Al-Nubuwah (Kekhalifahan atas pola kenabian), dan menjadi pola yang ideal dari orde sosial politik, dimana umat muslim harus berusaha untuk menciptakan dalam kehidupan mereka. Dalam keangka menyeluruh perjuangan antara islam dan jahiliyah terdapat dua kutub pertumbuhan yang berbeda. Disatu ujung adalah Tajdid, suatu usaha untuk menegakkan Islam kembali dalam kemurniannya yang bersih dan untuk membangun kehidupan dan masyarakat dalam konteks waktu dan tempat sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Ujung yang lain adalah tajaddud, yang berarti diantaranya apa saja yang mengambil salah satu atau semua dari tiga bentuk dibawah ini:
a)      Tumbuhnya perhatian yang melampaui batas untuk kepentingan materi, untuk perluasan wilayah, dan sebagainya, dengan mengabaikan jiwa moral yang sebenarnya dari Islam. Ini menghancurkan keseimbangan, yang diusahakan islam, antara aspek kehidupan spiritual dan material.
b)      Mengadakan kompromi dengan jiwa dan bentuk jahiliyah yang dominan pada masanya, yang membawa kepada timbul-nya campuran baru antara islam dan jahiliyah.
c)      Nilai, prinsip, dan cara tindak laku diambilkan dari masyarakat non-islam, tetapi di luarnya islam tetap dipertahankan, biasanya dengan mempergunakan terminology islam untuk member ciri kepada pinjaman-pinjaman itu.
Sekalipun kedua pendekatan itu bercorak dinamis, tujuan revolusi islam bisa diperoleh hanya dengan perantaraan tajdid dan bukan dengan tajaddud. Tajdid menunjukkan kesinambungan misi dari para Nabi untuk melaksanakan islam[27].
3.        Penerapan Pandangan Maududi Pada Situasi Kontemporer
Menurut Maududi, situasi dewasa ini adalah bahwa masyarakat muslim berangsur-angsur menjauh dari tatanan yang ideal yang ditegakkan oleh Rasulullah SAW. Perubahan penting pertama dalam tubuh politik islam adalah perubahan dari khilafah kepada monarki yang duniawi, dengan akibat-akibat perubahan yang penting pada peranan agama dalam kehidupan sosio-politik. Perubahan besar yang kedua terjadi dalam sistem pendidikan. Ini mempunyai akibat yang merusak, karena hal itu mulai menyebabkan perpecahan dan ketegangan yang menimpa masyarakat muslim dan berangsur-angsur mengeringkan sumber kreativitas yang menamin vitalitas kebudayaan Islam pada semua segi usaha umat manusia.
Sebagai akibat dari perubahan-perubahan di atas, kehidupan moral rakyat mulai kacau. Tetapi kerusakan itu terus berlangsung hingga akhirnya umat muslim bertekuk lutut di bawah kekuasaan kolonal barat. Bagaimana caranya untuk mengobati situasi yang demikian itu? Jawab Maududi adalah dengan perantaraan iman dan perjuangan yang terus menerus. Abul A’la Maududi telah berusaha sekeras-kerasnya untuk mengembangkan progam komprehensif yang akan mengubah Pakistan menjadi suatu masyarakat dan negara islam yang ideal. Organisasi yang ia pimpin, Jama’at-i Islami merupakan alat utama yang dengan itu ia berusaha untuk melaksanakan program ini. Ia menekankan bahwa Islam akan menjadi realitas yang operatif pada masa kita sekarang ini apabila manusia yang memiliki iman, integritas dan visi yang jelas tentang tatanan islam, orang-orang yang di baris depan dari kehidupan intelektual manusia dan mempunyai kemampuan untuk mengrus masalah-masalah dunia akan memegang tampuk pimpinan. Maulana Maududi mengumpamakan peranan pimpinan itu dengan peranan yang dilakukan oleh pengemudi kereta api. Ia menyatakan bahwa pengemudi itu dapat saja membawa keretanya ke mana ia kehendaki (kecuali apabila ada penumpang yang berusaha untuk menggantikan pengemudi itu). Karena negara itu mempunyai kontrol terhadap pendidikan, media massa, kehidupan ekonomi, maka usaha-usaha untuk membawa perubahan dalam kehidupan manusia pasti akan mengalami kegagalan kecuali apabila negara itu bekerja sama dalam usaha-usaha itu.
Memperhatikan semua itu, sekarang kita akan mencoba untuk menguraikan program yang diajukan Maududi yang berpusat sekitar empat hal:
a)      Masalah pokok yang pertama dari program ini sifatnya intelektual, yaitu penyampaian yang jelas ajaran-ajaran Islam yang bersih dari ide-ide palsu dan dari campuran-campuran tidak sehat. Penyampaian ini juga harus diarahkan untuk menunjukkan bahwa ajaran islam itu dapat diterapkan dalam kehidupan dunia dewasa ini, dan untuk menunjukkan tindakan-tindakan apa yang harus diambil untuk mengembangkan tata kehidupan yang baik dan sehat. Adapun tentang ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah maka hal itu adalah mengikat secara abadi, dan dengan itu harus diikuti oleh umat muslim dalam semua periode sejarah.
b)      Masalah yang kedua dari program itu adalah mencari orang-orang yang suka kebenaran dan bersedia untuk kerja menegakkan kebenaran itu pada kehidupan manusia. Dengan itu Maududi berusaha untuk menekankan keharusan memelihara sekelompok kecil orang-orang yang ikhlas dan jujur sebagain dasar kebangkitan islam.
c)      Soal ketiga dari program itu adalah usaha untuk membawa perubahan sosial yang sesuai dengan ajaran islam. Idenya adalah bahwa orang yang telah berusaha untuk islam, atau paling tidak mempunyai orientasi islam dan memperhatikan terhadap kesejahteraan masyarakat umat manusia harus mengambil inisiatif dan mempergunakan waktunya, usaha dan sumber-sumber kekuatannya, untuk membawa perubahan dan perkembangan yang sehat secara maksimal. Ia berusaha membuat masjid sebagai pusat dari semua kegiatan islam. Pendidikan Islam yang mendasar harus disampaikan kepada semua lapisan masyarat, mulai dari rakyat jelata sampai rakyat berada.
d)     Soal yang keempat dari program itu menekankan perubahan pimpinan dalam arti yang luas. Negara islam yang sebenarnya tidak bisa dibayangkan kecuali urusannya diurus oleh orang-orang yang mempunyai visi islam yang jelas dan merasa terikat kepadanyam jujur dan kompeten.
Maududi selalu mengingat ini sebagai salah satu dari tujuannya. Adapun tentang program dari pimpinan politik dalam negara demokrasi, ini bisa diadakan dengan pemiliha umum. Maududi penuh dengan harapan bahwa apabila gerakan itub terus diusahakan dengan sabar, maka akhirnya akan berhasil mengangkat orang-orang yang betul untuk memegang kekuasaan. Ia juga yakin bahwa struktur demokrasi adalah cocok dengan agama islam. Ia juga berpikir bahwa demokrasi akan memberikan kerangka di mana gerakan islam bisa berkembang, menghimpun kekuatan dan mengadakan transformasi total, yang itu menjadi tujuannya. Untuk ini semua Maududi menekankan adanya pemerintahan demokrasi yang betul di Pakistan[28].
4.         Pandangan Tentang Revolusi atau Reformasi
Maududi seringkali mempergunakan istilah “Revolusi” untuk menunjukkan perubahan radikal yang ia usahakan. Penggunaan istilah ini tidak menunjukkan pilihannya kepada proses atau metode yang dipergunakan oleh gerakan-gerakan revolusioner yang modern untuk mencapai tujuan mereka. Maududi menunjukkan bahwa pendekatan revolusioner dari barat cenderung ke arah ekstremitas. Revolusi-revolusi itu mengabaikan perubahan manusia itu sendiri, sedangkan revolusi islam mencari perubahan yang lebih radikal dan tuntas. Ia menganjurkan orang-orang yang menginginkan perubahan harus bertindak sebagaimana dokter bedah mendekati pasiennya, yaitu mempergunakan alat bedahnya hanya seperlunya untuk menghilangkan bagian dari organ-organ yang tidak diinginkan. Maududi menekankan bahwa baik tujuan mauun cara harus elas dan baik, karena hanya dengan itu perubahan yang sehat akan terjadi.
Salah satu jasa Maududi ialah bahwa ia sanggup mencarikan dasar-dasr dalam ajaran islam secara tertulis tentang segala tindak laku umat manusia[29].
G.    PENUTUP
Pembaharu-pembaharu di India mempunyai peran masing-masing, sengaja atau tidak, dalam lahirnya negara Pakistan. Sayyid Ahmad Khan dengan pemikirannya bahwa islam tidak menentang kemajuan modern, dan iqbal dengan ide dinamikanya, amat  membantu usaha Jinna dalam menggerakkan umat islam di India. Dan perjuangan keempat tokoh tersebut dilanjutkan oleh Maulana Sayyid Abd Al-‘Ala Madudi senhingga terbentuklah Islam di pakistan yang ideal.
H.    DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Akbar, S. 2002. Rekonstruksi Sejarah Islam di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
Ali, H. A, Mukti. 1993. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung: Mizan Anggota IKAPI
Ali, Thariq. 2004. Benturan Antar Fundamentalis Jihad Melawan Imperialisme Barat. Jakarta: Paramadina
Alimi, Nur, dkk. 2008. Sejarah Kebudayaan Islam. Mojokerto: Mutiara Ilmu
Amin, Saidul. 2012. Pembaharuan Pemikiran Islam di India. Yogyakarta: Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII, No. 1.
Amal, Taufik, Adnan. 2004. Ahmad Khan Bapak Tafsir Midernis. Jakarta: Teraju
Karim, M, Abdul. 2003. Sejarah Islam di India. Yogyakarta: Bunga Grafies Production
Nasution, Ahmad. 1975. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Nurlidiawati. 2014. Pandangan Abul A’la Maududi tentang Nrgara Islam. Makassar: Jurnal Rihlah, Vol. I, No. 2.
Susmihara. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak


Catatan:
1.      Abstrak seharusnya cuma satu paragraf.
2.      Penulisan footnote dan daftar pustaka salah, tolong diperbaiki.
3.      Pembahasan mengenai gerakan pembaharuan sebelum modernisasi India tidak ada referensi, copy-paste?
4.      Secara umum, perujukan dalam makalah ini sangat minim.Perlu diperbanyak lagi.














           


                          


        




[1] Ahmad Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 156.
[2] Saldul Amin, Pembaharuan Pemikiran Islam di India (Jurnal Ushuluddin Vol. XVIII, 2012),87
[3] Ibid, hal.87
[4] Ahmad Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 157-158
[5] Ibid, hal. 160
[6] Ibid, hal. 163
[7] Ibid, hal. 164
[8] Mukti Ali,  Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: 1996, Mizan, hlm. 56
[9] Ibid., hlm. 54
[10] Taufik Adnan Amel, Ahmad Khan Bapak Tafsir Modern, Jakarta: 2004, Teraju, hlm. 7-9
[11] Ibid., hlm. 14
[12] Nur Alimi, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, Mojokerto:2008, Mutiara Ilmu, hlm. 9
[13] Ibid., hlm. 10
[14] Taufik Adnan Amal, Ahmad Khan Bapak Tafsir Modernis, Jakarta: 2004, Teraju PT Mizan Publika, hlm. 23
[15] Ibid., hlm. 64
[16]H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1993), hal 173
[17] Ibid., hal: 175
[18] H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1993), hal: 181.
[19] H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1993) hal:181
[20] Ibid., hal: 182
[21] H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1993) hal:188.
[22] Saidul Amin, “Pembaharuan Pemikiran Islam di India”, Ushuluddin, Vol. XVIII, No. 1, 2012, hlm. 94, http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/ushuludin.  
[23] Susmihara, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm 344
[24] Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi Sejarah Islam di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hlm 200
[25]H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan,(Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996), hlm 283 - 243
[26] Ibid, hlm. 243 - 253
[27] Ibid, hlm.254 - 255
[28] Ibid.. hlm. 258 - 261
[29] Ibid..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar