PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM
MODERN ASIA SELATAN (INDIA-PAKISTAN)
Risqi Wulan Permatasari: 16150063
Indah Fauziah: 16150064
Himmatul Adzimah: 16150065
Maulana Yusuf Qordhawi: 16150078
ABSTRAC
This paper describes the renewal of Islamic thought
Modern in India-Pakistan. Related to the discussion of ideas, it can not be
separated from the discussion on the reform movement of Muslims in India
Pakistan, the characters and their thoughts. Therefore in this article will
discuss about business reform movement before the modern period and the modern
period, then the figures reformer South Asia.
Reformer-reformer in India have their respective roles,
intentionally or not, in the birth of Pakistan. Sayyid Ahmad Khan thought that
Islam is not opposed to modern progress, and iqbal with dynamic ideas,
supremely helpful in moving the business Jinna Muslims in India. The four men
and the struggle continued by Maulana Sayyid Abd Al-'Ala Madudi senhingga
formed the ideal of Islam in Pakistan.
Keyword: Renewal, Tought of Modern Islam,
Asia Selatan
ABSTRAK
Tulisan ini menjelaskan tentang
pembaharuan pemikiran Islam Modern di India-Pakistan. Terkait
pembahasan mengenai gagasan, maka tidak bisa dilepaskan dari pembahasan
mengenai gerakan pembaharuan umat Islam di India Pakistan, tokoh-tokoh serta
pemikiran mereka. Oleh karena itu dalam artikel ini
akan dibahas tentang usaha gerakan pembaharuan sebelum periode modern dan pada
masa modern, kemudian tokoh-tokoh pembaharu Asia Selatan.
Pembaharu-pembaharu di India
mempunyai peran masing-masing, sengaja atau tidak, dalam lahirnya negara
Pakistan. Sayyid Ahmad Khan dengan pemikirannya bahwa islam tidak menentang
kemajuan modern, dan iqbal dengan ide dinamikanya, amat membantu usaha Jinna dalam menggerakkan umat
islam di India. Dan perjuangan keempat tokoh tersebut dilanjutkan oleh Maulana
Sayyid Abd Al-‘Ala Madudi senhingga terbentuklah Islam di pakistan yang ideal.
Kata
Kunci: Pembaharuan, Pemikiran Islam Modern, Tokoh-tokoh Pembaharu Asia
Selatan
PENDAHULUAN
Perkembangan agama Islam di dunia tidak bisa lepas dari
munculnya gerakan pembaharuan pemikiran Islam sejak abad ke-XIX. Gerakan
pembaharuan ini dilatarbelakangi oleh kemunduran Islam pada abad ke-X yang
kemudian tenggelam berabad-abad lamanya. Salah satu faktor yang menjadi
penyebab utama kemunduran Islam adalah mundurnya semangat yang menimpa kaum
muslimin yaitu dalam bentuk khurafat, umat islam tidak lagi memanfaatkan
pikirannya sebagaimana para pemikir-pemikir sebelumnya melakukan ijtihad, untuk
menggali dari sumber yang asli yaitu Al-Quran dan Hadits Nabi. Setelah ratusan
tahun lamanya masa kemunduran Islam, kemudian muncullah gerakan pemikiran yang
dimotori oleh pelopor-pelopor pembaharuan Islam.
Diantara negara
yang melakukan gerakan pembaharuan Islam ialah negara India dan Pakistan.
Dimana keduanya memiliki keterkaitan sejarah, bahkan merupakan satu kesatuan
dalam sejarahnya. Negara ini termasuk negara yang besar, luas daerahnya maupun
kebudayaan dan peradabannya, yang pada akhirnya menjadi suram dan bahkan hancur
karena kedatangan orang-orang berkulit putih.
Terkait
pembahasan mengenai gagasan, maka tidak bisa dilepaskan dari pembahasan
mengenai gerakan pembaharuan umat Islam di India Pakistan, tokoh-tokoh serta
pemikiran mereka. Oleh karena itu dalam artikel ini
akan dibahas tentang usaha gerakan pembaharuan sebelum periode modern dan pada
masa modern, kemudian tokoh-tokoh pembaharu Asia Selatan.
A.
GERAKAN-GERAKAN PEMBAHARUAN SEBELUM MODERNISASI INDIA
Pada permualaan
ke delapan belas Kerajaan Mughol di India, mulai memasuki zaman kemunduran.
Perang saudara untuk merebut kekuasaan di Delhi selalu terjadi. Setelah
Aurangzeb meninggal dunia di tahun1707, putranya yang bernama Mu’azzamah yang
berhasil menggantikan ayahnya sebagai Raja dengan nama Bahadur Syah. Lima tahun
kemudia, terjadi pula perebutan kekuasaan putra-putra Baharun Syah. Dalam
persaingan ini, Jendral zulfikar khan turut memainkan rol penting dan atas
pengaruhnya, putra terlemah, Jahandar Syah diobatkan sebagai raja. Tetapi
Jahandar Syah mendapat tantangan dari keponakannya Muhammad Farrukhsiyar. Dalam pertempuran yang
terjadi di tahun 1713, Farrukhsiyar memperoleh kemenangan dan dapat
mempertahankan kedudukanya sampai tahun 1719. Raja ini mati dibunuh oleh komplotan
Sayyid Husain Ali dan Sayyid Hasan Ali, dua bersaudara yang pada hakekatnya
memegang kekuasaan di Istana Delhi.
Sebagai gantinya mereka angkat Muhammad Syah (1719-1748).
Dalam keaadan
serupa ini, tidak mengherankan kalau golongan-golongan hindu yang lain ingin
melepaskan dari dari kekuasaan Mughol mengambil sikap menentang. Bahadur Syah,
umpamanya mendapat tantangan dari golongan Sik di bawah pimpinan Banda.
Disebelah utara Delhi mereka dapat merampas kota Sadhaura. Dalam serangan ke
kota Sirhind mereka mengadakan perampasan dan pembunuhan terhadap penduduk yang
beragama islam. Golongan Maratha di bawah pimpinan Baji Rao dapat merampas
sebagian dari daerah Gujarat di tahun 1732 dan pada tahun 1737, malahan dapat
menyerang sampai ke perbatasan ibu kota. Tetapi setelah mengetahui bahwa tentara
Mughol bergerak menuju Delhi, mereka mengundurkan diri.
Dari pihak
Inggris telah mulai pula diperbesar usaha-usaha untuk memperoleh daerah-daerah
kekuasaan di India, terutama di Benggal. Dalam pertempran-pertempuran,
umpamanya di Plassey pada tahun 1757 dan Buxar tujuh tahun kemudian, Inggris
memperoleh kemenangan. Daerah kekuasaan Mughal kian lama kian kecil.
Serangan
terhadap Delhi bukan datang dari dalam saja, tetapi juga dari luar india. Di
Persia, Nadir Syah dapat merebut kekuasaan dan karena dutanya tidak diterima Raja Mughal Mahmud Syah untuk
beraudiensi, ia memutuskan untuk memukul Delhi. Pesyawar dan Lahore dapat
dikuasainya di tahun 1739 dan dari sana meneruskan serangan sampai ke Ibu kota.
Tentara Mughal yang datang menemuinya dapat ia kalahkan. Di Delhi ia mendapat
perlawanan dari rakyat sebagai hukuman ia memberi izin kepada tentaranya untuk
mengadakan perampasan dan pembunuh besar-besaran. Kerajaan mughal mewajibkan
membayar upeti dan daerah-daerah yag terletak disebelah barat sungai Indus ia
gabungka dengan Persia. Mahmud syah ia tinggalaka tetap menjadi Raja di Delhi,
tetapi pratise kerajaan mughal telah jauh sekali menurun.
Suasana seperti
digambarkan di atas menyadarkan pimpinan-pimpinan isalam di India akan
kelemahan umat islam. Salah satu dari pemuka itu adalah Syah Waliullah
(1703-1762). Ia lahir di Delhi dan mendapat pendidikan dari orang tuanya Syah
Abd Al-Rahim seorang sufi dan ulama yang memiliki madrasah itu. Selanjutnya ia
pergi naik haji dan selama setahun di Hejaz. Ia sempat belajar pada ulama-ulama
yang adadi Makkah dan Medinah. Ia kembali ke Delhi di tahun 1732 dan meneruskan
pekerjaannya yang lama sebagai guru. Di samping itu ia gemar mengarang yag
banyak meninggalkan karangan-karangan, di antara buku Hujjatullah Al-Balighah.
Diantara sebab-
sebab yang membawa kepada kelemahan umat islam, menurut pimikirannya, adalah
perobahan sistem pemerintahan dalam islam dari sistem kekhalifahan menjadi
sistem kerajaan. Sistem pertama bersifat demokratis, sedag sistem kedua besifat
otokratis. Dalam sejarah, raja-raja islam pada umumnya mempunyai kekuasaan
absolute. Besarnya pajak yang harus dibayar kaum petani, buruh dan pedagang
mereka tentukan sendiri. Pajak tinggi yang harus dibayar rakyat ini menurut
Syah Waliulla, membawa pula pada kelemahan umat islam. Selanjutnya hasil dari
pajak tinggi itu, dipergunakan buka untuk kepentingan umat, tetapi utuk
membelanjai hidup mewah dari kaum bangsawan yang tidak mempunyai pekerjaan
apa-apa. Pemungutan dan pembelanjaan uang yang tidak adil ini menimbulka
perasaan tidak senang di kalangan rakyatdan dengan demikian keamanan dan
ketertiban masyarakat selalu terganggu. Untuk mengatasi hal-hal negatif di
atas, Syah Waliullah berpendapat, bahwa sistem pemerintahan yang terdapat di
zaman kholifah yang empat perlu dihidupkan kembali. Dengan lain kata sistem
pemeritahan absolute harus diganti dengan sistem pemeritahan demokratis.
Perpecahan yang
terjadi di kalangan umat islam dalam pendapatnya, merupakan sebab lain bagi
lemahnya umat islam. Perpecahan dimaksud ialah perpecahan yang ditimbulkan
aliran-aliran dan madzhab-madzhab yang terdapat dalam islam, seperti
pertentangan antara golongan Syi’ah dan Sunni, antara aliran Mu’tazilah disatu
pihak dan As’ariyah serta Maturidiah dilain pihak, antara kaum sufi dan kaum
syari’ah da anatara pengikut-pengikut dari masing-masing madzhab hukum empat
yang ada. Oleh sebab itu ia berusaha mengadakan suasana damai antara golongan,
aliran dari madzhab yang berbeda-beda itu, pertentangan kuat yang terdapat di zamannya
ialah pertentangan syi’ah dan sunni. Syi’ah dipandang telah keluar dari islam.
Pendapat ini di awali oleh syah waliullah dengan menegaskan bahwa kaum syi’ah
sama halnya dengan kaum sunni, masih tetap orang islam. Ajaran-ajaran yang
mereka anut tidak membuat mereka keluar dari islam.
Sebab lain sebab
masuknya adat-istiadat dan ajran-ajaran bukan islam ke dalam keyakinan umat
islam. Di india umat islam menurut penglihatannya banyak dipengaruhi oleh
adat-istiadat dan ajaran-ajaran hindu. Keyakinan umat islam harus dibersihkan
dari hal-hal yang asing ini. Mereka mesti dibawa kembali kepada ajaran-ajran
islam yang sebenarnya. Dan sumber asli dari ajaran islam hayalah Al-Qur’an dan
hadits. Oleh karena itu untuk mengetahui ajaran-ajaran islam sejati, orang
harus kembali kepada kedua sumber itu,dan bukan kepada buku-buku tafsir, fikh,
ilmu-ilmu kalam, dan sebagainya.
Syah Waliullah tidak setuju dengan taklid,
mengikut dan patuh pada penafsiran dan pendapat ulama-ulama di masa lampau.
Bahkan hal ini menurut pendapatnya, merupaka salah satu sebab bagi kemunduran
umat islam. Ia melihat bahwa masyarakat bersifat dinamis, penafsiran yang
sesuai untuk suatu zaman belum tentu sesuai dengan zaman sesudahnya. Oleh sebab
itu, ia menentang taklid dan menganjurkan pengadaan ijtihad. Ajaran-ajaran
dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits, melalui ijtihad harus di
sesuaikan dengan perkembangan zaman. Sebagai pengikut Ibn Taimiyah pintu
ijtihad baginya tidak tertutup.
Dalam rangka
pemikiran ajaran murni dan adat-istiadat yang masu ke dalam islam sebagai
tersebut di ata, Syah waliullah memperbedakan anatara islam sebagai terebut di
atas, syah waliullah memperbedakan antara islam Universal mengandung
ajaran-ajaran dasar dan konkrit sedang islam local mempunyai corak yang
ditentukan oleh kondisi tempat yang bersangkutan. Dengan begitulah terdapat
islam yang bercorak arab, islam yang bercorak Persia, islam yang bercorak
india, dan sebagainya yag dimaksud oleh syah waliullah kelihatannya, ialah
keadaan islam dapat di sesuaikan dengan situasi setempat dan dengan kebutuhan
zaman yang perlu di pegang dan di pertahankanialah ajaran-ajaran dasar yang
bersifat universal itu. Interpretasi dan pelaksanaannya dapat berbeda-beda
sesuai dengan tempat dan zaman yang bersangkutan. Sebagai telh dijelaskan oleh
syah waliullah melihat bahwa masyarakat manusia bersifat dinamis , dan islam
yang juga mengandung ajaran-ajaran tentang hidup kemasyarakatan, harus pula
bersifat dinamis. Berpegang hanya pada ajaran-ajaran universallah yang membuat
islam bersifat dinamis.
Di zaman syah
waliullah penterjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa asing malah dianggap
terlarang. Tetapi ia melihat bahwa orang di india membaca Al-Qur’an dengan
tidak mengerti isinya. Pembacaan tanpa pengertian tak besar faedahnya untuk
kehidupan duniawi mereka. Ia melihat perlu Al-Qur’an di terjemahkan ke bahasa
yang dapat difahami orang awam, bahasa yag dipilihnya adalah bahasa Persia yang
banyak dipakai di kalangan terpelajar islam india ketika itu. Penterjemahan
Al-Qur’an ke dalam bahasa Persia disempurnakan syah waliullah ditahun 1758.
Terjemahan itu pada mulanya mendapat tantangan, tetapi lambat laun dapat juga
diterima oleh masyarakat. Karena masyarakat telah mau menerima terjemahan ke
dalam bahasa urdu, bahasa yang lebih umum dipakai oleh masyarakat islam india
dari pada bahasa Persia.
B.
GERAKAN
MUJAHIDIN
Ide-ide
pembaharuan yang dicetuskan Syah Waliyullah di abad kedelapan belas diteruskan
oleh anaknya Syah Abdul Aziz (1746-1823) ke generasi selanjutnya. Syah Abdul
Aziz merupakan ulama terkemuka di zamannya. Ketika umumnya orang berpendapat
bahwa belajar bahasa Eropa haram, ia memberi fatwa bahwa belajar bahasa Inggris
bukan boleh saja, tetapi perlu untuk kemajuan umat Islam India.[1]
Di
waktu itu Inggris telah mulai menanam kekuasaannya di India dan kemajuan
peradaban Barat telah mulai dirasakan rakyat India, baik yang beragama Islam
maupun yang beragama Hindu. Tetapi di antara kedua umat tersebut, orang-orang
Hindu lah yang lebih banyak menguasai oleh peradaban baru itu, sehingga orang
Hindu lebih maju dari orang Islam dan mereka telah menguasai bahasa tersebut
sehingga mereka lebih banyak berperan dalam bidang administrasi dan
pemerintahan negara dibandingkan dengan umat Islam. Keadaan umat Islam kalah
maju dibandingkan umat Hindu. Hal inilah yang ingin diatasi oleh Syah Abdul
Aziz dan tokoh-tokoh pembaharuan sesudahnya, terutama Sayyid Ahmad Khan.
Gerakan
Waliyullah ini diteruskan oleh Syah Abd al ‘Aziz (1746-1823). Bahkan, dikala
kebanyakan ulama ortodoks gigih mengharamkan orang mempelajari kebudayaan
Barat, dengan sadar sekali ia malah menganjurkan umat agar mempelajari bahasa
Inggris untuk mempercepat arus kemajuan yang telah ketinggalan oleh umat Hindu.
Gerakan
pembaharuan berikutnya dilanjutkan oleh Sayyid Ahmad Barelvi Syahid (1786-1831)
yang lahir di Rai Bareli. Pada awalnya dia adalah seorang tentara kavaleri yang
handal di masa Nawab Amir Khan. Setelah Nawab bergabung dengan Inggris, Sayyid
Ahmad keluar dari dunia militer dan berguru dengan Syah Abd Aziz di New Delhi.[2]
Sayyid
Ahmad Barelvi (1786-1831), setelah mendengarkan fatwa guru bahwa India dalam
keadaan sebagai “Dar al Harb” dan harus berlaku jihad, kemudian ia menghimpun
umat dengan nama Tariqa-I Muhammadi. Perhimpunan ini didukung penuh oleh keturunan
keluarga Waliyullah, Syah Islami dan Syah Abd al Hayy.
Inti
pembaharuannnya meliputi dua aspek, politik dan akidah. Dari segi politik,
Sayyid Ahmad Barelvi ingin mengembalikan daerah kekuasaan islam yang jatuh ke
tangan umat Hindu dan Sikh. Sementara dari segi tauhid, sebagai berikut :
Pertama,
Allah disembah secara langsung tanpa perantara. Kedua, tawassul dan wasilah
yang intinya adalah kedudukan manusia di hadapan Allah adalah sama, sehingga
tidak dianjurkan manusia meminta pertolongan kepada manusia dalam masalah
ibadah. Ketiga, menolak semua bentuk tradisi bid’ah yang bertentangan dengan
ajaran Islam. Untuk itu pintu ijtihad harus selalu terbuka karena pintu ijtihad
menjadi solusi bagi semua permasalahan di atas.[3]
Buah pikirannya ditulis
dalam buku Sirat al-Mustaqim sebuah karya akidah yang berbeda dari buku
sejenisnya di zaman itu yang kental dengan unsur-unsur mistik. Selain
bekerja sebagai penulis, dia juga seorang pendakwah sukses walaupun bukan
seorang orator.
Setelah cukup memperoleh pengetahuan
keagamaan, ia mulai mengadakan dakwah di muka umum, sehingga namanya mulai
dikenal. Ia berdakwah tidak hanya di Delhi saja, tetapi juga di daerah-daerah
yang jauh dari ibu kota. Di Patna dia mempunyai pengikut yang banyak. Di Rampur
orang-orang dari Afghanistan turut mendengar dakwahnya. Di Kalkutta ia disambut
dengan meriah oleh umat Islam yang ada disitu.
Menurut pendapat Sayyid
Ahmad, umat Islam India mundur karena agama yang mereka anut tidak lagi Islam
yang murni, tetapi Islam yang telah bercampur-baur dengan paham dan praktek
kaum tarekat sufi seperti kepatuhan tidak terbatas kepada guru dan ziarah ke
kuburan wali untuk meminta syafaat. Juga dari adat-istiadat Hindu
yang masih terdapat di kalangan umat Islam India. Lebih terperinci ajarannya
mengenai tauhid mengandung hal-hal berikut:
1. Yang
boleh disembah hanya Tuhan, secara langsung tanpa perantara dan tanpa upacara
yang berlebih-lebihan.
2. Kepada
makhluk tidak boleh diberikan sifat-sifat Tuhan. Malaikat, roh, wali dan
lain-lain tidak mempunyai kekuasaan apa-apa untuk menolong manusia dalam
mengatasi kesultan-kesulitannya. Mereka sama lemahnya dengan manusia dan sama
terbatasnya pengetahuan mengenai Tuhan.
3. Sunnah
(tradisi) yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunnah yang timbul di zaman
Khalifah yang empat. Kebiasaan membaca tahlil dan menghiasi kuburan adalah
bid’ah yang menyesatkan dan harus dijauhi.[4]
Sayyid Ahmad juga menentang taqlid pada
pendapat ulama, termasuk di dalamnya pendapat keempat imam besar. Oleh karena
itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguhpun ia
sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang, pintu
ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup. Ijtihad diperlukan untuk memperoleh
interpretasi baru terhadap ayat-ayat Al-Quran dan Hadits.
Ide yang berpengaruh kemudian bukanlah
ide-ide di atas, tetapi pemikirannya dalam bidang politik. Daerah India telah
banyak dikuasai oleh orang bukan Islam, dan oleh karena itu bukan lagi
merupakan Dar Al-Islam malahan telah menjadi Dar Al-Harb. Terhadap Dar Al-Harb orang
islam harus mengambil salah satu dari dua sikap berikut, berperang melawan Dar Al-Harb atau hijrah, meninggalkan Dar Al-Harb
pindah ke Dar Al-Islam. Yang dipilih Sayyid Ahmad ialah berperang.
Kerajaan Mughal di waktu itu memang telah
menghadapi hari-hari akhirnya. Kerajaan ini didirikan oleh orang-orang berasal
dari Asia Tengah, yang berlainan bangsa dan berlainan agama dengan orang Hindu.
Mayoritas rakyat kerajaan Mughal tetap memeluk agama Hindu. Dinasti asing ini
tidak mudah dapat diterima oleh penduduk asli, maka ketika kerajaan Mughal
mulai menurunkan kekuasaannya , golongan Hindu mulai bergerak, terutama kaum
Mahrata. Daerah-daerah yang terletak jauh dari ibu kota melepaskan diri dan
dalam keadaan ini kaum Mahrata dapat membentuk kerajaan yang merdeka di India
Barat. Kekuasaan mereka dirahasiakan sampai ke Delhi. Selain dari Hindu,
golongan Sikh juga turut bergerak melawan Kerajaan Mughal. Di samping itu berdiri pula kerajaan-kerajaan kecil lainnya
seperti Gwalior, Indore, Najpur dan Baroda. Inggris dari pihaknya telah pula
dapat menundukkan daerah besar yang ke bawah kekuasaannya. Daerah kekuasaan
kerajaan Mughal makin lama makin kecil.
Daerah yang dahulu terletak di bawah Islam
sekarang jatuh ketangan bukan Islam. Di sini timbullah persoalan Dar al-harb,
daerah yang jatuh ke bawah kekuasaan bukan Islam dan Dar Al-Islam,
daerah yang masih berada di bawah kekuasaan Islam.
Sayyid Ahmad berpendirian bahwa
daerah-daerah yang telah jatuh ke bawah tangan bukan Islam harus kembali ke
tangan Islam. Dar Al-Harb mesti menjadi Dar Al- Islam kembali. Dengan demikian timbullah perang
jihad terhadap dua musuh, Hindu di satu pihak dan Inggris di pihak lain.
Inggris dengan kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologinya ternyata
kuat dan sulit untuk dikalahkan. Kemungkinan memperoleh kemenangan lebih
banyak, jika serangan dihadapkan kepada Sikh.
Sayyid Ahmad
dengan gerakan mujahidinnya memulai peperangan terhadap golongan Sikh di India
Utara. Ia serang pusat kekuatan meeka di Akora, sehingga mereka mundur. Ia
teruskan peperangan ke medan datar dan dapat menguasai Pesyawar. Kekuatan
militernya menurut keterangan berjumlah seratus ribu orang. Dengan bantuan
Afghanistan ia mengharap dapat mengembalikan daerah-daerah yang telah lepas
dari tangan Islam. Sokongan dalam menjalankan jihad banyak ia peroleh dari
kepala suku-suku bangsa yang ada di
daerah tersebut.
Kerajaan mughal dianggap sudah terlalu
lemah dan tidak dapat lagi menguasai keadaan, dan oleh karena itu perlu dibentuk
suatu Imamah, negara yang dikepalai seorang imam. Sebagai Imam dipilih
Sayyid Ahmad. Imam mengangkat khalifah atau wakilnya di kota-kota pentingya. Di
antara tugas mereka adalah mengumpulkan zakat untuk pemerintahan imam dan
mencari mujahidin untuk meneruskan jihad. Imamah itu dibentuk pada tahun
1827 tetapi tidak dapat bertahan lama karena kepala-kepala suku bangsa melihat Imamah
itu sebagai saingan terhadap kekuasaan mereka. Begitu juga dengan perubahan dan
perbaikan sosial yang dijalankan Sayyid Ahmad mendapat tantangan dari
masyarakat.
Pada waktu itu, perlawanan dari golongan
Sikh bertambah kuat dengan bergabungnya golongan non-muslim lainnya, seperti
golongan Barakzai. Sayyid Ahmad terbunuh pada tahun 1831 dalam suatu
pertempuran dengan golongan Sikh di Balekot. Dari peristiwa innilah Sayyid
Ahmad mendapatkan gelar Syahid
Semenjak terbunuhnya Sayyid
Ahmad,pengikutnya terpecah menjadi dua. Satu golongan mengalihkan perjuangannya
dalam bidang pendidikan, kemudian mendirikan madrasah Darul Ulum Deoband,
segolongan lain meneruskan jihad di bawah pimpinan dua bersaudara Maulvi
Wilayat Ali (wafat 1852) dan Maulvi Inayat Ali (wafat 1902) anak dari Maulvi
Wilayat Ali. Pertempuran-pertempuran terus terjadi dengan golongan Sikh di
Punjab, kemudian pada akhirnya Punjab jatuh ke tangan Inggris, dan disini pula
terjadilah pertempuran langsung antara Mujahidin dengan Inggris. Suku-suku
bangsa yang ada di perbatasan selalu mereka dorong untuk melawan Inggris.[5]
Sementara itu di kalangan umat Hindu
timbul rasa benci terhadap Inggris. Sebab sebab yang menimbulkan rasa benci
terhadap Inggris menurut para ahli antara lain adalah:
1. Masyarakat
Hindu merupakan masyarakat yang kuat mempertahankan agama dan tradisi. Inggris
di samping urusan dagang, juga berusaha untuk menanamkan kebudayaan Barat
kedalam masyarakat Hindu. Hal ini akan merusak tradisi dan merubah struktur
sosial yang ada pada waktu itu.
2. Inggris
juga mendirikan sekolah yang di dalamnya diajarkan bahasa Inggris dan ide-ide
baru yang berasal dari Barat. Pendidikan Inggris ini terlihat merusak keyakinan
pemuda Hindu. Pada waktu itu juga didatangkan missionaris Kristen untuk
menyebarkan ajaran-ajaran agama Barat di kalangan masyarakat Hindu.
3. Pemerintah
Inggris di India masih mempertahankan aristokrasi dan tidak membuka pintu bagi
orang-orang Hindu untuk menduduki posisi yang penting dalam pemerintahan karena
orang India masih dianggap rendah.
4. Rasa
khawatir yang timbul dari pemilik tanah karena sawaktu-waktu tanahnya bisa
dikuasai oleh Inggris, raja dan pangeran juga merasa tidak tenteram karena
daerah yang mereka kuasai mungkin saja dirampas oleh Inggris
Rasa
benci itu juga ada di kalangan prajurit Hindu yang menjadi tentara Inggris.
Dengan golongan ini pemuka gerakan mujahidin telah mengadakan kontak dan
kesepakatan untuk sama-sama menentang Inggris. Dan dikatakan bahwa juga telah
tercapai kesepakatan untuk mengakui Bahadur Syah, raja Mughal di Delhi sebagai
raja untuk India.
Pada tanggal 10
mei 1857 satu pasukan Hindu di Meerut, suatu kota yang terletak kira-kira 60 km
di sebelah utara Delhi memulai perlawanan. Setelah membunuh perwira-perwira
Inggris yang memimpin pasukan, mereka keluar ke jalanan bersenjata lengkapdan
berbaris menuju Delhi, kemudian Delhi berhasil dikuasai dan Bahadur Syah
diangkat sebagai raja India. Dengan demikian pecahlah pemberontakan terhadap
kekuasaan Inggris yang dalam sejarah India dikenal dengan nama Pemberontakan
1857.
Kaum mujahidin turut ambil bagian dalam
pemberontakan itu. Tetapi pemberontakan gagal, para pemuka ditangkap dan dibuang.
Walaupun golongan Hindu yang memulai pemberontakan, Inggris menganggap bahwa
golongan islamlah yang menjadi penggerak utamanya. Sebagai bukti yang
dinyatakan oleh Inggris adalah turut sertanya Bahadur Syah, pemmpin-pemimpin
Islam di kerajaan Oudh dan gerakan Mujahidin dalam pemberontakan tersebut.
Delhi diserang
sehingga gedung-gedung megah kerajaan Mughal hancur berkeping-keping dan
penduduknya diusir, Delhi yang selama ini sebagai kebanggaan kerajaan Mughal
telah tiada.
Perhatian
pemuka-pemuka gerakan Mujahidin pada lapangan pendidikan meningkat setelah
gagalnya pemberontakan 1857. Diantara pemuka-pemuka itu terdapat Maulana
Muhammad Qasim Nanantawi dan Maulana Muhammad Ishaq, seorang cucu dari Syah
Abdul Aziz. Di bawah pimpinan mereka, suatu madrasah kecil di Deoband
ditingkatkan menjadi perguruan tinggi agama dan diberi nama Darul Ulum Deoband.
Darul Ulum Deoband inilah yang kemudian
mengeluarkan ulama-ulama besar India dan melalui ulama-ulama besar itu, Deoband
mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat Islam India, terutama masyarakat
umumnya. Kedudukan Deoband di India sama dengan kedudukan al-Azhar d Mesir.
Ide-ide Syah
Waliyullah yanng kemudian ditonjolkan oleh Sayyid Ahmad Syahid dan gerakan
Mujahidin itulah yang menjadi pegangan bagi Deoband. Yang diutamakan ialah
pemurnian tauhi yang dianut umat Islam India dari paham-paham salah yang dibawa
tarekat dan dari paham animisme lama. Selanjutnya juga pemurnian praktek
keagamaan mereka dari segala macam bid’ah. Yang ingin diwujudkan Deoband ialah
Islam murni seperti pada zaman Nabi, Sahabat, Tabi’in dan zaman sesudahnya.
Deoband dengan demikian kuat berpegang pada tradisi zaman klasik. Mazhab yang
dianut Deoband ialah mazhab Hanafi.[6]
Dalam bidang
politik, Deoband mengambil sikap anti-Inggris. Demikian karena Deoband
didirikan oleh pemuka gerakan Mujahidin yang melawan kekuatan Inggris dan
didirikan untuk menentang pendidikan sekuler Barat yang dibawa Inggris. Oleh
karena itu, mengadakan kerja sama dengan Hindu untuk melawan Inggris dapat
diterma oleh ulama-ulama Deoband. Partai Kongres Nasional India mendapat
dukungan dari Deoband tetapi liga Muslim karena dianggap pro Inggris tidak
didukung bahkan ditentang oleh Deoband. Deoband juga kurang setuju dengan ide
pembagian India menjadi dua negara, negara Islam Pakistan dan negara Hindu.
Menurut Deoband, politik pembagian India dan pembentukan negara Pakistan
berasal dari Inggris.
Ajaran pembaharuan yang
dibawa oleh Syah Waliyullah dan yang kemudian diteruskan oleh anaknya Syah
Abdul Aziz, dan dilanjutkan lagi oleh Sayyid Ahmad Syahid serta pengikutnya,
banyak mempunyai persamaan dengan ajaran Wahabiah dari Arab Saudi. Dan
yang paling banyak dilaksanakan adalah ajaran pemurnian praktek umat Islam dari
berbagai macam bid’ah. Oleh karena itu Gerakan Mujahidin disebut juga oleh
sebagian penulis Barat dengan Gerakan Wahabiah India.[7]
Tetapi
antara gerakan Wahabiah dan Gerakan Mujahiidin terdapat perbedaan besar dalam
sikap terhadap ajaran sufi. Wahabiah dengan keras menentang tarekat, sedangkan Mujahidin
banyak dipengaruhi oleh ajaran sufi India. Syah Waliyullah sendiri tidak
menentang tasawwuf dan dapat menyetujui tasawwuf yang bersifat moderat.
C.
SAYYID
AHMAD KHAN
Perincian
masa kecilnya Ahmad Sayyid Khan tidaklah tercatat, tetapi apa yang dapat diperoleh
dari tulisan-tulisan yang ada, dapat diduga bahwa kekuatan intelektualnya
berkembang sangat lamban, dan pada waktu kanak-kanak dan remaja ia ditandai
dengan fisik yang kuat dan aktif di luar rumah daripada kegiatan intelektual.
Pada waktu kakeknya melihat sewaktu lahir dan memperhatikan tangan dan kakinya
yang sangat besar, ia berkata: “seorang yang keras lagi kasar dilahirkan
diantara keluarga kita!”[8].
Beliau dilahirkan pada tanggal 17 Oktober 1817 di Delhi,
India. Nenek moyangnya sangat terkenal di medan perang, namun karena mereka adalah
keturunan Husain cucu Rosulullah SAW melalui Fatimah bin Ali.
Kakek Sir Sayid yang asal mulanya menjadi panglima perang di kemudian hari
diberi kedudukan agamis semi-hakim oleh Kaisar Mughal.
Ayah
Sayid Ahmad yang bernama Mir Muttaqi adalah seorang pemimpin agama, tetapi
karena keturunan Sayid maka ia juga memperoleh pengaruh besar dan juga sangat
dihormati oleh raja Mughal pada waktu itu, Akbar Syah II. Ayahnya memiliki
hubungan dekat dengan Syah Ghulam Ali Naqshabandi Mujaddidi, seorang wali
setempat yang sangat terkenal. Pada waktu
ayahnya meninggal, Mir Muttaqi diberi kedudukan gelar yang turun temurun, yang
dengan sopan ditolaknya pemberian itu karena hal tersebut tidak lain hanya
merupakan tontonan yang kosong saja pada waktu kemunduran dinasti Mughal.
Syaikh
Ghulam Ali, sahabat kental ayah Sayyid Ahmad pada waktu itu sebagai syaikh dari
tarikat Mujaddidi. Tarekat tersebut merupakan cabang India dari tarekat
Naqshabandi yang berasal dari Syaikh Ahmad dari Sirhind. Pengikut tarekat
Mujaddidi merupakan orang-orang muslim yang berpegang pada ajaran agama secara
ketat sampai aliran Wahabi dari Negri Arab mulai tersiar dan mengunggulinya,
merupakan pemurni-pemurni Islam di India.[9]
Karena
Syaikh Ghulam tidak mempunyai anak, beliau biasanya memanggil anak-anak Mir
Muttaqi dengan “Dadar Hazrat” (Yang Mulia Eyang). Syaikh Ghulam Ali sangat
dekat dengan Sayyid Ahmad Khan hingga ketika Sayyid Ahmad Khan pergi ke sekolah
untuk pertama kali, beliaulah yang mengantarkannya. Beliau juga yang telah
mengajarkan Sayyid Ahmad huruf Arab hingga beliau berkembang menjadi anak yang
taat pada agama.
Pemahaman
Sayyid Ahmad Khan yang mendalam tentang masalah-masalah kenegaraan dan hubungan
pertamanya dengan pengetahuan dan peradaban Barat berasal dari kakek dari pihak
ibunya yaitu Khwaja Fariduddin yang selama 8 tahun menjadi perdana mentri di
Istana Mughol.
Masa
kecil Sayid Ahmad Khan dilalui dalam kesenangan dan kecukupan, tetapi dengan
wafat kakeknya, kekayaan keluarganya mulai menurun. Pada tahun 1838 ayahnya
meninggal dan keuntungan hasil tanah yang diperuntukkan baginya oleh pemerintah
mulai hilang atau mulai dikurangi. Sayid Ahmad yang masih muda itu mulai
mencari penghidupannya sendiri. Pertama-tama ia harus puas mendapat pengangkatan
sebagai juru tulis tingkat rendahan, tetapi segera ia diangkat sebagai Munsif
(Wakil Hakim), dan pada tahun 1841 ditempatkan sebagai Munsif di kota yang
bersejarah Fatihpur Sikri.
Pada tahun 1856 , Ahmad Khan diangkat sebagai sadramin dan dipindahkan Bijnur.
Tahun-tahun pertamanya diisi dengan mngedit dan mnerbitkan karya terpenting
tentang sejarah pemerintahan kaum muslimin di India, yakni ‘Aini-Akbar, karya Abdul Fazl. Dalam menyiapkan buku ini, Ahmad
Khan tidak hanya melakukan penyuntingan tetapi juga menjelaskan
terminologi-terminologi administrasi Mughol, menganilisis asal-usul bahasanya,
melengkapinya dengan gambar-gambar dan data numismatik, serta menyertakan
sebuah apendiks tentang kebijakan Akbar di bidang pajak. Hasil kerja tersebut
kemudian dijadikan pijakan oleh Blochman ketika menerjemahkan karya Abdul Fazl
tersebut ke dalam Bahasa Inggris.
Ketika terjadi pemberontakan Sepoy dan pembunuhan
besar0besaran orang-orang Eropa di Delhi sampai keDistrik Bijinur, para pegawai
Eropa beserta keluarganya yang ada disana menjadi kalang kabut dan gelisah.
Melihat situasi tersebut, beliau menghibur dan berjanji akan menyelamatkan
mereka bahkan dengan taruhan nyawanya. Belum lama ssetelah aksi fisik yang
dipimpin oleh Nawab Mahmud Khan pecah dan mulai meneroro orang-orang Eropa yang
kemudian lari bersembunyi serta mencari perlindungan di rumah kepala Diwani.
Ahmad Khan berusaha meyakinkan Nawab Mahmud Khan bahwa tanggung jawabnya untuk
menjaga orang-orang Eropa dia daerah itu mengungsi dengan selamat.
Ahmad Khan sukses dengan misinya, beliau bersama Nawab
Mahmud Khan berhasil membuat perjanjian dengan orang-orang Eropa bahwa
orang-orang Eropa boleh meniggalkan tempat itu dengan aman, tetapi daerah
tersebut jatuh ke tangan orang-orang Nawab.[10]
Tidak lama kemudian, para zamindar Hindu bangkit menentang Nawab. Ketika kekacauan telah
mencapai titik klimaksnya, Komisioner Divisi Mirut meminta kesediaan Ahmad Khan bertindak selaku
Administrator Distrik Bijnur. Beliau menjalankan tugasnya ini selama beberapa
saat, namun karena situasinya semakin memburuk, maka beliau dipindahkan ke
Mirut.
Pemberontakan di Bijnur memang telah memberikan
kesempatan kepada Ahmad Khan untuk memperlihatkan kecakapannya dalam menangani
masyarakat. Tetapi, pemberontakan besar yang melanda hampir seluruh daerah
Indo-Pakistan ini juga telah memberikan pukulan yang telak terhadap jiwanya. Ia
secara langsung menyaksikan kemalangan habis-habisan yang diderita ummat Islam
India, karena Inggris tidaklah memainkan peran penting di dalamnya. Keadaan
ummat islam ini membuat Beliau frustasi dan berniat pindah ke Mesir.
Namun beliau mengayunkan kembali langkahnya untuk
membangun kembali masyarakatnya. Beliau berusaha menjalin hubungan baik dengan
Inggris , beliau bersedia menjadi mediator antara ummat islam dengan Inggris.
Beliau meyakinkan ummat Islam India
bahwa persahabatan mereka dengan Inggris ditolerir oleh Syariat, dan
bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang amat respek terhadap Isa Al-Masih
(Yesus) beserta ajaran-ajarannya. Dan kepada orang-orang Inggris meyakinkan
bahwa ajaran Islam; jika suatu bangsa dikuasai bangsa lain yang menjamin
kemerdekaan religius, memerintah dengan adil, menjaga keamanan di dalam Negri,
serta respek terhadap kepribadian hak milik bangsa yang dikuasainya maka bangsa
tersebut harus loyal kepada penguasanya.
Beliau menulis artikel, majalah dan buku-bku untuk
usahanya merekonsiliasi Muslim dan Inggris. Namun tidak hanya itu, beliau juga
melangkah lebih jauh dengan menyusun tiga jilid komentar Bibel yang diberi
judul Tabyin Al-Kalam. Seperti dikemukakan kepada orang-orang Islam India:
“lihatlah, betapa banyaknya persamaan antara agama kita dengan agam kristen,
agamanya orang-orang inggris.”[11]
Selain menjalin hubungan baik antara muslim dengan
Inggris, Ahmad Khan juga bercita-cita membangun kembali citra kaum muslimin
India. Ia menyadari bahwa jalan satu-satunya untuk menggapai cita-cita tersebut
adalah melalui jalur pendidikan. G.F.I. Graham menceritakan bahwa suatu ketika
Ahmad Khan berkata kepadanya: “Seluruh penyakit sosio-politik India dapat
disembuhkan dengan resep ini (yakni pendidikan).
Karena keyakinan tersebut, Ahmad Khan mulai mendirikan
sekolah-sekolah di daerah-daerah dimana beliau ditempatkan. Pada
tahun 1861 mendirikan sekolah Inggris di Muradabad dan di tahun 1876 ia minta
berhenti sebagai pegawai pemerintah Inggris dan sampai akhir hayatnya di tahun
1898. Ia mementingkan pendidikan umat islam India. Di tahun 1878, ia mendirikan
sekolah Muhammedan Anglo Oriental Collage (M.A.O.C) di Aligarh yang
merupakan karyanya yang bersejarah dan berpengaruh dalam cita-citanya untuk
memajukan ummat islam India. M.O.A.C dibentuk sesuai dengan model sekolah di
Inggris dan bahasa yang dipakai di dalamnya ialah bahasa Inggris. Pendidikan
Islam dan ketaatan siswa dan menjalankan ajaran agama diperhatikan dan
dipentingkan.[12]
a.
Pembaharuan
Pemikiran Bidang Politik
Pada
tahun 1857 ketika Sayyid Ahmad Khan genap berusia 40 tahun, terjadi satu fase
baru dari kepribadiannya yang serba segi itu terungkap. Pada waktu itu terjadi
kekacauan politik besar terjadi yang dimulai dengan pemeberontakan Angkatan
Darat India terhadap pemerintahan Inggris di India yang kemudian merambah pada
penduduk sipil. Menurut Sayyid Ahmad Khan, sebab pokok yang akhirnya membawa
kepada pemberontakan tersebut adalah tidak adanya orang India yang mewakili
pandangan India pada tingkat atas badan-badan yang memerintah negeri tersebut.
Ia menyatakan:
“Sebagian
orang setuju adalah sangat sesuai bagi kebahagiaan dan kemakmuran pemerintah
jika rakyat harus mempunyai suara dalam Badan-badan Perwakilannya”.[13]
Ia
membuka dengan jelas segala kejelekan yang disebabkan karena tidak adanya orang
India di Dewan Legislatif, tidak mengertinya Dewan tersebut tentang pandangan
yang sebenarnya mengenai orang-orang India. Selanjutnya ia menunjuk kepada
campur tangan pemerintah dalam soal agama; “Tidak ada kebimbangan sedikitpun
pada semua orang, baik bodoh atau pandai, tinggi atau rendah pangkatnya
mempunyai keyakinan yang kukuh bahwa pemerintah Inggris condong untuk campur
tangan dengan agama mereka dan adat kebiasaan mereka yang telah ada sejak
lama”. Ia juga mengeluh tidak adanya pergaulan dan komunikasi antara orang
Inggris dan orang India. Ia merenungkan tragedi yang
menimpa Negrinya dan mendapatkan kesimpulan bahwa hal tersebut disebabkan
karena kebodohan. Oleh karena itu ia bertekad untuk mulai mendidik orang yang
memerintah dan yang diperintah, dan menghilangkan sebab-sebab yang memungkinkan
pertentangan dan salah paham.
Tugas pertama ia mulai dengan bukunya Causes of the
Indian Revolt, dan ia teruskan sepanjang hidupnya dengan mengajukan
pikiran-pikiran rakyatnya dengan berani. Untuk tujuan inilah maka pada tahun
1866, ia mendirikan British Indian
Association di Aligarh yang digambarkan sebagai macam pandangan yang
berguna dan efektif bagi parlemen Inggris dan pemerintah di India mengenai
kesulitan-kesulitan yang dialami rakyat India.
Sayyid Ahmad Khan juga mengetahui bahwa pemberontakan
tersebut dikatakan sebagai pemeberontakan Muslim, dan ummat Muslim ditindas
dengan kekerasan,. Ia berusaha untuk membetulkan kesan yang salah dari
pejabat-pejabat Inggris. Namun secara politis, ia tetap anggota komisi
pemerintah dan dan terus mengembangkan loyalitas dari ummat islam kelas
menengah dan India Utara. Lebih dari itu, ia kemudian mendirikan Muhammad Educational Conference yang
segera berkembang menjadi organisasi yang sangat baik dan memperoleh dukungan
dari banyak pihak, dan cabang-cabangnya segera tumbuh dikalangan masyarakat
Islam India. Konferensi ini menjadi alat penyiaran ide-ide Sir Sayyid Ahmad
Khan di bidang sosial dan agama. Selain itu, ahmad Khan juga mendirikan
organisasi yang bersifat politik, yaitu
Muhammadan Defence Associaton, yang tujuannya adalah melindungi
anggota-anggotanya dari saingan golongan yang kuat dan lebih maju.
Mohammaden
Educational Conference, sebagaimana tersirat dalam
namanya, memang berkepentingan dengan pendidikan islam. Namun, pada faktanya,
lembaga ini tidak hanya merupakan ajang pertemuan tokoh-tokoh pendidikan
Muslim, tetapi juga merupakan sebuah instrumen yang tangguh untuk kebangunan
intelektual dan penyebaran ilmu pengetahuan di kalangan muslim di India.
Lembaga ini mampu menarik para orator seperti Nawab Muhsin Al-Mulk, Dr. Nazir
Ahmad, serta penyair besar seperti Hali dan Syibli Nu’mani yang menggunakan
acara-acara pertemuan sebagai arena untuk memupuk entusiasme terhadap pembaruan
sosial pendidikan modern serta kemajuan ekonomi dan intelektual. Lebih jauh,
lembaga tersebut bahkan merupakan juru bicara politik ummat islam
Indo-Pakistansebelum pembentukan Muslim
League pada 1906.
b.
Pembaharuan Pemikiran Bidang Pendidikan
Pada awal 1869, putra Ahmad Khan yaitu Sayyid Mahmud
dianugerahi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tingginya ke Cambridge,
Inggris. Ahmad Khan, yang telah lama kagum serta berkeinginan mempelajari peradaban dan institusi Barat demi kemajuan
India, memutuskan menemani anaknya ke Inggris. Untuk membiayai perjalanan, ia
menjual perpustakaan serta menggadai rumahnya. Pada 1 April 1869, ia meninggalkan
Benares bersama anaknya dalam suatu perjalanan laut menuju Inggris.
Dalam perjalanan menuju Inggris ia berkenalan dengan
Ferdinand de Lesseps, sarjana Perancis termasyhur yang berhasil membuat terusan
Suez di Mesir serta mengunjungi beberapa kota penting di Perancis, ketika kapal
yang ditumpanginya singgah di sana.
Ketika melakukan kunjungan ke Universitas Cambridge dan
perguruan tinggi Inggris lainnya, Ahmad Khan tidak menyia-nyiakan kesempatan
mengkaji secara mendalam pengelolaan lembaga-lembaga serta sistem
pendidikannya. Ia akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa suatu lembaga
pendidikan tinggi serupa Cambridge akan merupakan terapi yang efektif bagi
masyarakatnya yang tengah mengalami keruntuhan. Setelah berdiskusi dengan serta
sahabat-sahabatnya, Ahmad Khan akhirnya memutuskan bahwa sekembalinya ke India
ia akan mendirikan sebuah universitas Muslim ala Cambridge dan akan bekerja
keras untuk menyebarkan pendidikan modern yang memadai bagi kaumnya.
Langkah pertama yang dilakukan Ahmad Khan untuk
merealisasikan rencana besarnya setiba di India adalah memulai penerbitan
berkala Tahzib Al-Akhlaq edisi
perdananya muncul pada 24 Desember 1870
yang meniru pola majalah kenamaan Inggris ketika itu: The Tatler dan The Spectator.
[14]
Tujuan diterbitkannya berkala ini adalah untuk membuat
kaum Muslimin India mendambakan jenis peradaban terbaik, sehingga peradaban itu
akan menghilangkan pandangan rendah masyarakat beradab terhadap umat Islam, dan
agar kaum Muslimin diperhitungkan di kalangan masyarakat terhormat serta
beradab di dunia.
Tahzib Al-Akhlaq juga membawa pengaruh yang amat revolusioner terhadap perkembangan sastra
Urdu, dengan mengubah bentuk jurnalisme Urdu, menyederhanakan prosanya, serta
memberinya semacam kekenyalan dan kemampuan menyampaikan konsep-konsep
intelektual baru dalam bahasa yang mudah dicerna. Dengan demikian, cukup
beralasan jika Hali menganggap Ahmad Khan sebagai “Bapak Kesusteraaan Urdu
Modern.”
Pada bulan Juli 1876, ahmad Khan pensiun dari
pekerjaannya sebagai abdi Negara dan memilih menetap di Aligarh. Dengan pilihan
domisili ini, ia bermaksud menumpahkan seluruh perhatian guna mewujudkan
cita-citanya di bidang pendidikan tinggi. Usaha-usaha serius yang dilakukan
beliau akhirnya membuahkan hasil dengan upacara peletakan batu pertama bangunan
Mohammad Anglo-Oriental Collage di Aligarh. Upacara ini diselenggarakan pada 8
Januari 1877, dan peletakan batu pertama oleh wakil pemerinta Inggris, Lord
Lytton.
Cita-cita beliau memang hampir terwujud dengan peletakan
batu pertama Kolese Aligarh. Tetapi, anggaran pembangunan selanjutnya serta
biaya pengelolaan lembaga pendidikan masih harus dicari. Untuk itu beliau
melanglang buana ke seluruh penjuru India. Kerja keras tarsebut akhirnya
mendapat imbalan yang memadai. Golongan ortodoks yang selalu menentang
pandangan-pandangan Ahmad Khan sebagaimana yang diekspresikannya dalam Tahzib Al-Akhlaq yang pada mulanya amat
curiga dan kritis terhadap ide pembangunan kolese Aligarh. Akan tetapi, pada
1877, beliau melakukan kompromi dengan menyerahkan seluruh masalah yang
berkaitan dengan pendidikan agama bagi para mahasiswa Aligarh kepada sebuah
komisi kaum ortodoks. Dengan demikian kecemasan dan kecurigaan mereka
berangsur-angsur lenyap.
Namun kebijakan tersebut tidak berhasil memadukan antara
pendidikan yang modern dan tradisional. Yang dihasilkan hanyalah seuatu kelas
pemimpin muslim yanng sebelah kakinya berada di Barat dan sebelahnya lagi
berada di atas kultur Islam.
Pada 1 Januri 1873, kolase Aligarh ,memulai tahun
ajarannya yang pertama. Tujuan-tujuan kolase tersebut adalah untuk membangun sebuah
kolase dimana kaum muslimin memperoleh pendidikan Inggris tanpa merugikan agama
mereka, mengorganisasi sebuah asrama di mana orang tua dapat memasukkan anaknya
dengan harapan agar perilaku anaknya dapat diawasi secar teliti dan di dalam
asrama tersebut akan dijauhkan dari godaan-godaan pemuda di kota besar, serta
memberikan sebuah pendidikan yang lengkap selain mengembangkan intelektual
tetapi juga menyediakan latihan fisik, membantu perkembangan prilaku yang baik
dan memperbaiki karakter normal.
Tak cukup hanya dengan kolase, beliau juga membentuk Mohammadan Educational Conference, untuk
mengatasi masalah pendidikan di India.
Dengan berhasil menggapai sukses demi suksesdalam merealisasikan impiannya,
pengaruh beliau baik di kalangan bangsanya sendiri maupun di kalangan
pemerintah kian membesar. Ia dianggap sebagai pemimpin utama kaum muslimin
India serta figur nasional yang agun. Pada 1878, Lord Lyton mengangkatnya
sebagai anggota Imperial Legislative
Council, dan jabatan ini dikonfirmasi kembali oleh Lord Ripon. Tetapi,
setelah beberapa waktu beliau melatakkan jabatn tersebut karena kesibukannya
mengurus Kolase Aligarh. Lord Rippon juga pernah menunjuknya sebagai anggota Education Commission. Tetapi, jabatan
ini ditolaknya juga dan kedudukan tersebut akhirnya diambil alih kakaknya,
yaitu Sayyid Ahmad.
c.
Pemikiran pembaharuan bidang sosial keagamaan
Perjuangan beliau untuk memulihkan citra bangsanya hjuga
telah mendorong Ahmad Khan memperjuangkan persamaan derajat antara orang-orang
India dan orang-orang Eropa. Usaha emansipasi ini memang layak diperjuangkan,
karena selain merupakan keturunan bangsawan Mughal terhormat, sejak kecil
beliau telah belajar dari memperhatikan kakeknya yaitu Khwaja Farid Al-Diin
yang berteman akrab dengan Inggris.
Usaha emansipasi memang telah lama diperjuangkan oleh
beliau. Bahkan pada 1867 ia pernah walk
out dari sebuah perhelatan (darbar)
di Agra karena kursi untuk tamu-tamu dari kalangan bumiputra ditempatkan lebih
rendah dari krsi untuk tamu-tamu Eropa. Usaha emansipasi ini dijalankan terus
menerus, meski beliau menyadari bahwa upaya tersebut membuahkan hasil seketika.
Ahmad Khan memulai karir teologisnya dengan menyusun
sebuah sketsa biografi Nabi, Jila
Al-Qulub bi Dzikr Al-Mahbub (1842). Pada permulaan buku ini terdapat puisi
pendek berbahasa Persia berisi pujian untuk Nabi Muhammad SAW, serta sebuah
puisi berbahsa Arab dibagian akhirnya. Namun sebagian besar kandungannya
ditulis dalam untaian prosa idiomatik Urdu.
Karya Ahmad Khan yang kedua yaitu Tuhfa Hasan (1844), meruoakan
terjemahan bab 10 dan 12 buju Tuhfa Itsna
Asy’ariyyah, yang disusun Syahd Abd Al-Aziz. Penerjamahan buku ini
dilakukannya atas dorongan Maulan Nur Al-Hasan. Bab 10 karya tersebut berisi celaan-celaan orang
Syi’ah terhadap para sahabat Nabi dan Aisyah, disertai jawaban atas
cercaan-cercaan tersebut. Sedangkan pada bab 12 berisi istilah-istilah
keagamaan Syi’ah, seperti tawalla dan
tabarra yang berarti cinta dan
membenci tetangga karena agama.
Dalam tulisan ketiga Al-Haq
(1849), beliau berudaha menjelaskan penyimpangan-penyingan sufisme. Di dalamnya
membahas mengenai pir dan sampai pada
kesimpulan bahwa Nabi Muhammad merupakan seorang pir yang absah. Implikasinya yaitu seluruh tata kehidupan sufi
harus diarahkan secara ketat mengikuti tuntunan Nabi dengan menaati petunjuk
Alquran dan sunnah. Pada bagian kedua beliau membahas konsep serta praktek bai’at dan sufi.
Dari karya-karya yang beliau hasilkan pada periode pertam
dapata disimpulkan bahwa beliau dengan tegar berdiri di atas tradisi ortodoksi
Islam India yang puritan.
Perubahan radikal dalam pemikiran keagamaan Ahmad Khan ke arah pemikiran
yang independen dan liberal ditandai dengan penerbitan karya apologetiknya, Life of Mohammed and Subjects Subsidiary
Thereto (1870). Dalam karya ini beliau meletakkan kriteria penilaian
kebenaran agama berdasarkan prinsip “conformity
to nature”, beliau juga menerapkan suatu metodologi yang tampapak seperti
metodologi yang tampak seperti metodologi yang “terbaratkan” sebagiannya ilmiah
dan sebagian lagi bersifat apologetik spekulatif trhadap sejarah Arabia
pra-islam dan beberapa aspek tertentu Sirah yakni biografi tradisional Nabi
Muhammad.[15]
Sayyid Ahmad menjelajah hampir semua literatur Islam
untuk menggali pendapat-pendapat yang memiliki otoritas yang mendukung tesisnya,
bahwa dalam Alquran tidak ada sesuatupun yang tidak sesuai dengan sains modern.
Cocok dengan alam adalah ukuran untuk menilai pelbagai macam agama, dan agama
islam adalah agama yang benar karena sesuai dengan alam. “Kalimat Allah
(Alquran)”, ia menyatakan harus sesuai dengan perbuatan Allah (alam)”. Ia
mengikuti metode Mu’tazillah dalam mencocokkan agama dengan sains, dan ia
dianggap sebagai Mu’tazillah modern. Dengan demikina dapat dipahami bahwa agama
yang dipahami oleh Sir Sayyid Ahmad Khan adalah suatu paham agama yang secara
eksplisit sesuai dengan kemajuan dan khususnya dengan kebudayaan Inggris pada
abad ke-19 dengan ilmu, moralitas liberal, humanisme, dan rasionalisme
ilmiahnya.
Kegiatan penulisan bahkan tetap dilakukan menjelang
wafatnya. Delapan hari sebelum tiba ajalnya, Ahmad khan masih meluangkan waktu
menulis sebuah artikel tentang kontroversi Hindi-Urdu dan mendukungkeabhsan
bahsa Urdu. Setelah itu, ia juga masih menyempatkan diri memulai penulisan
sebuah artikel apologetik yang berisi pembelaan terhadap Nabi Muhammad.
Akan tetapi, saat kematian itupun akhirnya datang juga.
Pada tanggal 24 Maret 1898, beliau jatuh sakit, dan meninggalkan dua hari
kemudian. Kepulangan orang besar ini merupakan suatu kehilangan bagi kaum
muslimin di anak benua Indo-Pakistan dan dunia
Islam.
D.
MUHAMMAD IQBAL
Iqbal
dilahirkan pada 1873 di Sialkot, suatu kota tua bersejarah di perbatasan Punjab
Barat dan Khasmir. Seperti sebagian besar tokoh-tokoh yag digambarkan oleh buku
ini, ia datang dari keluarga miskin, tetapi dengan bantuan beasiswa yang
diperoleh di sekolah menengah dan perguruan tinggi, ia mendapatkan pendidikan
yang bagus. Setelah pendidikan dasarnya di Sialkot ia masuk Government Collenge
(Sekolah Tinggi pemerintahan) Lahore. Ia menjadi mahasiswa kesayangan Sir
Thomas Arnold yang meninggalkan Aligarh dan pindah bekerja di Government
Collenge Lahore. Iqbal lulus pada tahun1897 dan memperoleh beasiswa serta
dua medali emas karena baiknya bahasa
Inggris dan Arab. Ia akhirnya memperoleh gelar M.A dalam filsafat pada tahun
1899.[16]
Setelah
menyelesaikan pelajarannya, Iqbal menjadi dosen di perguruan tinggi pemerintah
(Government College), tetapi karier sastranya telah membayangi semua aspek
kerjanya terlebih dahulu. Pada waktu itu Iqbal mulai menulis bukunya dalam
bahasa urdu yang pertama kali mengenai ekonomi. Namun sebelum itu, ia telah
mulai mengambil bagian pada simposium syair lokal, dan telah menarik perhatian
pada penyair senior. Kemasyhuran Iqbal juga menarik perhatian otoritas-otoritas
dari “Anjuman Himayat-Islam”, suatu organisasi yang sangat berpengaruh di
Lahore yang tujuannya antara lain untuk memperkenalkan pendidikan modern kepada
umat muslim.
Iqbal mulai membaca syairnya yang
panjang-panjang pada setiap rapat tahunan dari Anjuman tersebut, dan segera
kemasyhuran tersiar sebagai penyair yang hebat dari Punjab. Pena iqbal sangat
sibuk pada waktu itu, dan ia menulis banyak syair mengenai berbagai macam
masalah. Beberapa syairnya adalah tentang hal-hal yang berhubungan dengan alam,
dan mewakili sebagian usaha yang paling berhasil yang dilakukan dalam bahasa
Urdu, untuk meniupkan tradisi-tradisi pensyairan dari Wordworth, Coliridge dan
Cowper. Iqbal merupakan seorang kampiun nasionalis India yang baru bangkit.[17]
Periode
petama karir syair iqbal berakhir pada tahun 1905 sewaktu ia pergi meneruskan
pelajaran di Eropa. Ia menulis beberapa lirik yang indah dalam bentuknya yang
lama pada waktu itu ia belajar di Inggris dan Jerman, tetapi sikapnya terhadap
banyak hal mengalami perubahan besar. Iqbal pergi ke Inggris sebagai nasionalis
dan panties, tetapi kembali ke india sebagai pan-Islamis dan hampir-hampir saja
puritan (pemurni). Perubahan itu sebagian karena penelitiannya pada sejarah
tasawuf islam, Ia menulis disertasinya tentang Development of Metaphysics in
Persia untuk gelar Ph.D.-nya, dan
pada waktu belajarnya ia sampai pada kesimpulan bahwa tasawuf (atau apa
yang dikatakan mistik islam) tidak mempunyai dasar yang kukuh dan historis
dalam ajaran islam yang murni. Ia menulis kepada kawannya Khwaja Hasan Nizami
di Dhelhi dan minta kepadanya beberapa bukti yang meyakinkan bagi teori yang
menyatakan bahwa tasawuf adalah bentuk esoteris islam. Jawaban-jawabannya tidak
memuaskan Iqbal, dan berangsur-angsur dia sampai pada kesimpulan bahwa dalam
islam, tasawuf merupakan pertumbuhan yang asing, bahkan tidak sehat.
Sekembalinya
dari Eropa, perubahan spiritual dan ideologis Iqbal makin mendalam. Kita
mempunyai suatu surat yang menarik dari periode ini yang menggambarkan proses
perubahan Iqbal dari nasionalis India kepada kampiun kebangsaan muslim. Pada
1909 ia diundang ke Amritsar untuk menghadiri pertemuan Minerva Lodge, yaitu
suatu organisasi kosmopolitan dengan anggota dari orang-orang Hindu dan
orang-orang muslim. Iqbal dengan ramah menolak undangan itu, da dalam
surat-menyurat pada 28 Maret 1909 ia menulis:[18]
“Saya
sendiri berpendapat bahwa perbedaan-perbeadaan agama harus lenyap dari negeri
ini, dan bahkan sekarang ini. Itu merupakan prinsip dalam kehidupan pribadi
saya,. Tetapi saat ini saya berpikir bahwa memelihara kesatuan nasional
masing-masing yang terpisah adalah baik bagi kedua belah pihak, antara umat
hindu dan umat muslim. Visi tentang kebangsaan yang satu bagi India merupakan
cita yang bagus, dan mempunyai daya tarik puisi, tetapi memperhatikan keadaan
sekarang ini dan kecenderungan-kecenderungan yang tanpa disadari dari kedua
komunitas, tampaknya mustahil untuk dilaksanakan”.
Ia
mempergunakan keahlian puisinya yang dimiliki untuk menyatukan umat muslim, dan
untuk mempercepat proses dimana islam dapat benar-benar memenuhi misi spiritual
dan kulturalnya di dunia ini. Ia menulis puisi pada sat tertentu saja, yang
diilhami atau didorong oleh berbagai macam topic yag terjadi.
Pada
1918 Iqbal menerbikan “Rumuz-i Bekhudi” (Secrets of Non-ego) yang membahas perkembangan
ego nasional. Syair ini lebih banyak memberi ilham dari pada yang pertama, dan
Karena ia tidak menimbulkan isu-isu controversial, maka popularitasnya cepat
dan tersiar luas.
Sejak
1907 iqbal menganjurkan solidaritas dan persaudaraan muslim. Namun demikian hal
itu tidak menyebabkan konflik dengan
sesama rakyat senegerinya. Dan kenyataannya (Sebagaimana lebih bayak
lagi dapat dilihat pada dukungan Gendhi kepada Gerakan khilafat), kaum
nasionalis Hindu telah untuk keuntungan-keuntungan politik sementara mendukung
satu Pan-islam yang memudahkan memudahkan pembentukan front bersama melawan
Inggris.
Iqbal
yang pada tahun 1926 setuju untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan
Legislatif Lokal, dan yang saat itu anggota Legislatif Punjab, melihat dekat
dari apa yang terjadi, betapa orang-orang hindu dan orang-orang muslim satu
sama yang lain saling membenci dan mereka berbaris dalam kamp-kamp dan yang
berlawanan dan bermusuhan yang dapat dijauhkan dari perang saudara yang pahit
hanya karena tangan yang kuat tentara Inggris.
Di
dalam riwayat hidupnya telah disinggung bahwa Iqbal menjadi Presiden Liga
Muslim di tahun 1930. Dalam hubungan ini baik disebut bahwa sebelum pergi ke
Eropa ia sebenarnya seorang nasionalisme India. Tetapi kemudian ia robah pandangannya.
Nasionalisme ia tentang, karena dalam nasionalisme seperti yang ia jumpai di
Eropa, ia melihat bibit materialisme dan ateisme dan keduanya merupakan ancaman
besar bagi perikemanusiaan. Nasionalisme India nyang mencakup Muslin dan Hindu
adalah ide yang bagus, tetapi sulit sekali untuk dapat diwujudkan. Ia curiga
bahwa di belakang nasionalisme India terletak konsep Hinduisme dalam bentuk
baru.
Iqbal
mempelajari situasi itu dan sadar bahwa hal ini terang tidak akan membawa
kepada penciptaan kebangsaan yang satu. Beberapa tahun setelah ia melihat
“kecenderungan-kecenderungan yang tidak sadar” dari kedua kelompok rakyat, yang
beberapa waktu kemudian kekuatannya yang sangat jelek itu tampaknya menjadi
kenyataan. Pandangannya mengkristal, dan ia mulai menekankan bahwa umat hindu
dan umat muslim india adalah dua bangsa yang terpisah, dan penyusunan
konstitusi di hari-hari yang akan datang harus didasarkan pada pengakuan yang
jelas tentang kenyataan tersebut. Kejadian-kejadian di luar india juga
mendukung kecenderungan ini, Turki yang dulu merupakan harapan bagi dunia
muslim kehilangan kerajaannya yang besar dalam perang dunia. Umat muslim india
yag dulu dipenuhi dengan kesadaran tentang kecilnya diri sendiri, sekarang ini
mulai merasa bahwa bagaimanapun juga mereka menjadi tumpuan yang paling pokok
dari dunia muslim. Dalam hal ini iqbal menyatakan bahwa “umat muslim india yang
kebetulan jumalahnya lebih besar dibandingkan denga umat muslim di
negeri-negeri asia lainnya dijadikan satu, kiranya perlu mempertimbangkan dari
mereka sendiri diri sebagai kekayaan yang paling besar dari islam, dan harus
tenggelam dalam akunya sendiri yang lebih dalam. Seperti bagsa-bangsa muslim
lainnya di asia, agar dapat menghimpun sumber-sumber kehidupan mereka yang
bercerai-berai, dan menurut nasihat Sir Fazl ‘berdiri pada kaki kita sendiri’.[19]
Puncak
karier polotik iqbal terjadi pada sidang tahunan All India Muslim League ia
mengajukan uatuk pertama kalinya di hadapan umat muslim india, tujuan nasional
dari apa yang kemudian dikenal sebagai Pakistan. Dalam pidato kepresidenan
sidang tahunan tersebut tersebut
menyatakan:[20]
“Saya
ingin melihat Punjab, propinsi North_West Frontier, Sindh dan Balicistan,
bergabung menjadi satu Negara. Berpemerintahan sendiri dalam kerajaan inggris,
atau di luar kerajaan inggris, pembentukan Negara muslim Barat Laut india
tampaknya menjadi tujuan akhir umat muslim, palingt tidak bagi umat muslim
india Barat Laut”.
Pidato
iqbal di sidang liga itu hanya menimbulkan reaksi sedikit di kalangan politisi,
tetapi pada umumnya hal itu tidak di anggap serius. Tahun berikutnya iqbal di
undang ke inggris untuk menghadiri konferensi meja bundar. Di sana pada waktu
membicarakan hari depan Punjab, sebuah rencana Sir Geoffery Corbet
dipertimbangkan, yang mungkin memudahkan menerima usul iqbal. Tetapi usul iqbal
tersebut tidak pernah diajukan pada keonferensi itu. Namun demikian pada waktu
berada di inggris, iqbal dapat mengadakan hubungan yang sangat berharga. Satu
hal yang perlu dicatat disini ialah bahwa ia bayak mengadakan pertemuan dengan
Muhammad Ali Jinnah, yang ia mampu menarik perhatiannya tentang rencana hari
depan india, dan yang akan menjadikan “imoian puisinya” sebuah realitas yang
hidup. Iqbal merupakan orang pertama yang meletakkan rencana Pakistan dalam persefektif
yag bisa diterima oleh akal, untuk melaksanankan rencana tersebut, suatu tugas
yang lebih berat lagi, sebagian besar tugas dari Ali Jinnah, namun demikian
Chaudhri Rahmad Ali memiliki saham tersendiri, iqbal tidak memberi nama pada
Negara usulannya itu, Chaudhri Rahmad Ali mengumpulkan huruf-huruf pertama dari
lima wilayah disebelah utara india, yaitu “P” (Punjab, “A” (Propinsi Afgan),
“K” (Khasmir), “S” (Sind), “TAN” (untuk BaluchisTAN), dan memberikan nama
Pakistan kepada negra yang diusulkan itu. Nama itu menrik imajinasi rakyat, dan
sudah barang tentu menambah popularitasnya rencana itu.
Tidak
mengherankan kalau Iqbal dipandang sebagai Bapak Pakistan. Ide Iqbal bahwa umat
islam India merupakan suatu bangsa dan oleh karena itu memerlukan satu negara
tersendiri tidaklah bertentangan dengan pendiriannya tentang persaudaraan dan
persatuan umat islam. Pengaruh Iqbal dalam pembaharuan India ialah menimbulkan
faham dinamisme dikalangan umat islam dan menunjukkan jalan yang harus mereka
tempuh untuk masa depan agar sebagai umat minoritas di anak benua itu mereka
dapat hidup bebas dari tekanan-tekanan dari luar.
Iqbal
merupakan pimpinan umat muslim yang diakui dan
mengambil peranan aktif dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan
umat muslim pada waktu itu.
Pada
akhir hayatnya iqbal ingin menulis suatu buku tersendiri tentang ”Recontruction
of Islamic Jurisprudence”. Sayang sekali kematian menjemputnya. Tetapi
observasi yang diberikan oleh iqbal mengenai masalah tersebut dalam ceramahnya “Reconstruction
of Religious Thought in Islam” adalah cukup jelas menunjukkan tentang
kebijaksanaan dan orisinalitasnya. Barang kali yang paling berguna tentang
semua ini adalah bahwa ia menekankan kepada “Ijma” dan betuknya yang harus di
ambil dalam kondisi modern ini. Ia menyatakan “Sumber ketiga dari hukum
islamadalah Ijma’ yang menurut pendapat saya merupakan pandangan hukum yang
paling penting dalam islam’. Menurut iqbal alat yang paling cocok untuk
mempergunakan sumber hukum islam yang diakui adalah “Dewan legislatif muslim”.
Setelah menunjukkan mengapa khalifah-khalifah Umayyah dan Abbasiyah lebih
senang untuk “menyerahkan kekuatan ijtihad kepada mujtahid-mujtahid secara
individual dari pada menggerakkan untuk menciptakan suatu Dewan yang permanen
yang bisa juga akan menjadi terlalu kuat bagi mereka”.[21]
Iqbal
tidak diberi umur panjang untuk melihat realisasi dari impiannya tentang Negara
muslim. Ia meninggal dunia pada 18 Maret 1938 sedikit kurang dari sepuluh tahun
sebelum berdirinya Pakistan, tetapi pada perjuangan akhir terjadi di propinsi
yang sangat penting, yaitu Punjab, di antara orang-orang yang menghempaskan
bangunan Unionist dan meratakan jalanuntuk berdirinya Pakistan, adala anak-anak
muda, laki-laki dan perempuan, yang telah minum sepuas-puasnya dari pencurahan
puisi Iqbal.
E. Muhammad Ali
Jinnah (1876-1948): Bapak Pakistan
Tokoh yang sezaman dengan Iqbal
adalah Muhammad Ali Jinnah (selanjutnya disebut dengan Jinnah), anak seorang
saudagar yang lahir di Karachi pada tanggal 25 Desember 1976. Semenjak masa
remaja dia telah meninggalkan India menuju London untuk melanjutkan studi di
bidang Hukum dan menjadi pengacara sukses.
Jinnah memasuki
dunia politik pada tahun 1906, kemudian bergabung dengan Indian National
Congress dibawah bimbingan Dadabhai Naoroji. Pada tahun 1910 dia terpilih
menjadi ahli Viceroy’s Legislative Council mewakili masyarakat muslim
Bombay.
Berbeda dengan
tokoh pergerakan islam sebelum dan sezamannya yang biasanya melalui pendidikan
islam tradisional, Jinnah justru melalui semua pendidikan di sekolah secular.
Maka ada sebagian pendapat menyatakan bahwa Jinnah pada awalnya tidak lebih dai
seorang nasionalis moderat yang tidak memiliki keterikatan apapun dengan
gerakan islam. Maka wajar jika pada awalnya dia tidak menolak konsep suatu
negara yang dicadangkan masyarakat Hindu dan nasionalis Muslim. Sesudah tahun
1913 barulah Jinnah lebih dekat kepada kepentingan Islam dan mendukung
berdirinya negara Islam Pakistan. Perubahan pada diri Jinnah terjadi pada April
tahun 1913 saat mengunjungi London dan bertemu dengan Maulana Muhammad Ali dan
Syed Wazir Hasan. Kedua tokoh ini meminta Jinnaah untuk bergabung dengan Liga
Muslim.
Ide tentang negara Islam Pakistan
sudah mulai ditiupkan oleh Shah Waliullah, lalu dimunculkan oleh Ahmad Khan,
dan dikumandangkan oleh Iqbal, akan tetapi Jinnah sesungguhnya orang yang
merealisasikannya. Artinya, Jinnah mampu merealisasikan ide-ide tokoh
sebelumnya ke alam nyata. Dia lebih cenderung kepada praktisi bukan pemikir.
Walaupun tidak banyak mengeluarkan filsafat dan pemikiran seperti Iqbal, akan
tetapi perannya dalam membangun negara Islam Pakistan tidak dapat diingkari. Pada sisi lain
perannya mewujudkan negara islam adalah bukti bahwa dia tetap berasumsi Islam
sebagai agama yang sempurna, bukan hanya mengatur permasalahan ibadah, akan
tetapi juga negara.
Pada hakikatnya
pendirian negara Islam Pakistan yang merdeka tanggal 15 Austus 1947 adalah
klimaks dari perjuangan umat islam di India untuk memiliki negara sendiri yang
didasari keyakinan bahwa Hindu dan Muslim di India sesungguhnya tidak mungin
dapat bersatu. Karena agama, budaya dan adat yang berbeda akan menjadi
penghalang perpaduan bangsa di masa akan datang seperti telah diramalkan oleh
Shah Waliullah, Ahmad Khan dan Iqbal[22].
Cita-cita Ali
Jinnah mendirikan negara tersendiri yang terpisah dari india mendapat kesulitan
karena bertentangan dengan ide nasionalisme Gandi yang merangkul umat Islam dan
Hindu di India. Dalam menghadapi kesulitan, Jinnah lewat Liga Muslimin
mengadakan rapat pada 1940 di Lahore dan menyetujui pembentukan negara
Pakistan, sebagai negara umat islam di India. Akhirnya pada 15 Agustus 1947,
negara Pakistan lahir, dan Ali Jinnah sebagai kepala negara pertama. Dan
mendapat gelar qaid-I azam (pemimpin besar). Muhammad Ali Jinnah lebih dikenal
sebagai politikus daripada seorang pemikir pembaharu Islam. Tetapi di samping
idenya dalam pemikiran politik, ia juga mempunyai pemikiran dalam memajukan
umat Islam. Salah satunya ide tentang perlunya emansipasi wanita. Ia
menganjurkan agar wanita juga ikut berkiprah dalam segala bidang, termasuk
bidang politik[23].
Walaupun penciptaan Pakistan telah
menyelesaikan satu persoalan yaitu pembentukan tanah air tersendiri bagi para
muslim, tetapi tidak menyelesaikan persoalan identitas. Perdebatan tentang
identitas di Pakistan menegaskan politik yang tidak pasti, korupsi dan
nepotisme menyebar luas. Orang-orang Bengali protes karena merasa diperlakukan
seperti sasaran penjajahan oleh orang-orang Pakistan Barat dan di tahun 1971
terbantu dengan adanya perang Pakistan dengan India. Pakistan lebih dari
sekedar sebuah negara, ia juga sebuah ide, ekspresi kebudayaan dari sebuah
identitas. Arsitekturnya, bahasanya, pakaian dan makanannya merupakan sebuah
ekspresi. Ini adalah mata rantai yang membawa orang-orang muslim kembali ke
masa lalu. Ketika kritik-kritik tentang Pakistan merebak di tahun 1971,
“Pakistan telah mati”, mereka salah. Justru sangat hidup, baik di permukaan dan
di dalam hati kaum muslim. Pakistan telah berhasil menyelesaikan segala
permasalahannya dengan jalan demokrasi[24].
F. Maulana Sayid
Abul A’la Maududi
Abul A’la dilahirkan pada tanggal 3
Rajab 1321 H/25 September 1903 M di Aurangbad, suatu kota terkenal di
kesultanan Hyderabad (Deccan). Ia dilahirkan dari keluarga terhormat, dan nenek
moyangnya dari segi ayah keturunan Nabi Muhammad saw. Inilah sebabnya ia
memakai nama “sayyid”. Abul ‘Ala adalah anak yang paling kecil dari tiga
saudaranya. Setelah memperoleh pendidikan di rumahnya ia masuk sekolah menengah
madrasah Fawqaniyah, suatu madrasah yang menggabungkan pendidikan barat modern
dengan pendidikan islam tradisional. Abul ‘Ala menyelesaikan pendidikan
menengahnya dengan sukses lalu memasuki perguruan tinggi Darul Ulum di
Hyderabad. Tetapi pada waktu itu pendidikan formalnya terganggu karena bapaknya
sakit kemudian meninggal dunia. Namun demikian hal itu tidak menganggu Maududi
untuk meneruskan pendidikannya, sekalipun dilakukan di luar lembaga-lembaga
pendidikan regular. Pada permulaan 1920-an Abul ‘Ala telah menguasai bahasa
Arab, Parsi dan Inggris disamping bahasa ibunya (Urdu). Untuk mempelajari
masalah-masalah yang menjadi perhatiannya secara bebas, jadi sebagian besr dari
apa yang ia pelajari itu diperoleh dengan belajar sendiri dan dorongan yang ia
terima dari guru-gurunya.
Setelah berhenti dari pendidikan
formal itu Maududi berbelok kepada jurnalisme untuk mencari nafkah hidup. Pada
tahun 1918 ia telah menulis artikel-artikel untuk surat kaba Urdu yang
terkemuka, dan pada tahun 1920, pada usia 17 tahun ia telah diangkat menjadi
editor surat kabar Taj yang diterbitkan di Jabalpore, India. Pada akhir 1920 Maududi datang ke Delhi dan
pertama-tama memegang pimpinan surat kabar Muslim (1921-1923) dan kemudian
Al-Jam’iyat (1925-1928), dua surat kabar
yang diterbitkan oleh Jam’iyyat-I Ulama-I Hind, suatu organisasi
ulama-ulama muslim. Dibawah pimpinannya Al-Jam’iyat menjadi surat kabar
terkemuka umat muslim di India.
Sekitar tahun
1920-an Maududi juga mulai mengambil pehatian dalam kegiatan politik. Ia
mengambil bagian dalam gerakan khilafat dan terlibat dalam suatu gerakan
rahasia. Tetapi segera ia meninggalkan organisasi itu karena tidak setuju
dengan idenya. Maududi juga bergabung dengan gerakan Tahrikh-i-Hijrat, suatu
organisasi oposisi terhadap pemerintahan Inggris atas India, dan menganjurkan kepada
umat muslim dari negeri itu untuk hijrah secara missal ke Afghanistan. Namun
lagi-lagi ia berbeda pendapat dengan pimpinan gerakan itu. Dengan itu Maududi
makin memusatkan dirinya pada kegiatan-kegiatan akademik dan jurnalistik.
Selama tahun 1920 – 1928 Abul A’la Maududi menerjemahkan 4 buku, satu dari
bahasa Arab dan kettiga buku lainnya berbahasa Inggris. Buku yang ditulis
pertama kali oleh ia adalah “Al-jihad fil-islam”. Buku itu beris hukum islam
tentang perang dan damai. Buku itu mendapat pujian dari Muhammad Iqbal dan
Maulana Ali Jauhar. Setelah meninggalkan Al-Jam'iyat, ia bergabung dengan
majalah bulanan Tarjuman Al-Qur’an, ia selalu megemukakan pikiran-pikirannya
melalui majalah tersebut.
Sekitar tahun 1940, Maududi
mengembangkan pikiran untuk mendirikan gerakan yang lebih komprehensif, dan
itulah yang menyebabkan ia mendirikan organisasi Jama’at-I Islami, dan ia juga
menjabat sebagai ketuanya hingga tahun 1972. Madudi melewati kehidupan untuk
masyarakat selama hamper 60 tahun. Selama tahun-tahun ini ia terus menerus
aktif dan vokal dalam bicaranya. Ia telah menulis lebih dari 120 buku dan telah
memberika ribuan pidato atau statemen di surat-surat kabar. Karyanya yang
paling besar adalah Tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Urdu, Tafhim Al-Qur’an, suatun
karya yang ia selesaikan selama 30 tahun. Pena Maududi sangat tajam, kuat dan
kaya. Jangkauan yang dibahas sangat luas. Ilmu sepeti tafsir, hadits, hukum,
filsafat dan sejarah, semua memperoleh perhatian. Ia telah membahas berbagai
macam masalah politik, ekonomi, kebudayaan, sosial, teologi, dan sebagainya.
Maududi berusaha untuk menerangkan betapa ajaran islam mempunyai hubungan
dengan masalah-masalah ini.
Pengaruh Maulana
Maududi tidak terbatas kepada anggota-anggota Jama’at-I Islami saja. Pengaruh
itu melampaui batas pertain dan organisasi. Sebagai seorang ulama dan penulis
dapat dikatakan bahwa ia adalah penulis yang tulisannya paling banyak dibaca
orang. Ia juga diminta untuk menjadi komite penasihat yang menyiapkan
berdirinya Universitas Islam Madinah, dan menjadi anggota dewan akademis sejak
berdirinya Universitas itu pada tahun 1962. Ia juga menjadi anggota bkomite
pendiri Rabitah Al-Alam Al-Islami Makkah, dan anggota Akademi Riset tentang
hukum islam di Madinah. Ia meninggal dunia pada tahun 1983[25].
Pemikiran
Maulana Sayid Abul Abul A’la Maududi
1.
Pandangan
Tentang Islam
Pangkal
tolak pandangan agamis Maulana Maududi adalah konsepsinya tentang Tuhan. Bagian
pertama dari pengakuan kepercayaan islam adalah “Tidak ada Tuhan selain Allah”,
suatu pernyataan yang tampaknya hanya mengakui dengan kukuh tentang keesaan
sang pencipta, dalam pandangan maududi mempunyai implikasi yang lebih jauh
daripada apa yang ditunjukkan oleh keterangan itu sepintas. Bagian dari
syahadat itu bukan hanya menerangkan tentang keesaan Tuhan sebagai pencipta
atau bahkan sebagai satu-satunya sasran penyembahan, tetapi ia juga menerangkan
tentang tidak adanya sesuatu yang menyerupai Tuhan sebagai yang maha kuasa,
sebagai yan maha pengatur. Sebagai pencipta manusia, maka hanya Tuhan lah yang
mempunyai hak untuk memberitahu kepada manusia apa tujuan yang sebenarnya dari
penciptaan ini dan cara apa untuk mencapainya. Oleh karena itu syahadat dalam
islam sebagaimana tersebut di atas pada dasarnya merupakan deklarasi moral,
suatu ajakan kepada manusia agar menanggapinya dengan keseluruhan dirinya untuk
beramal dan berbakti kepada-Nya. Maulana Maududi menekankan bahwa penyerahan
total kepada Tuhan inilah Islam, suatu kalimat yang menurut akar katanya
menunjukkan pada penyerahan atau ketundukan. Adapun manusia sebagai makhluk
tuhan, ia harus tunduk dan patuh kepada-Nya. Bukan hanya itu, Tuhan telah
memilih manusia, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai tugas yang
unik, sebagai wakil Tuhan di Bumi. Masalahnya adalah dengan cara bagaimana
orang harus tunduk kepada Tuhan, sebagaimana ia harus mengetahui
perintah-perintah dan petunjuk Tuhan yang harus ia ikuti? Jawaban pertanyaan
ini terletak pada doktrin tentang kerasulan, suatu doktrin yang merupakan
pelengkap yang sangat esensial bagi doktrin tentang kekuasaan Tuhan. Maulana
Maududi membahas secara panjang lebar tentang kenabian itu, dan menganggap
sebagai tanggapan Tuhan terhadap keperluan manusia akan petunjuk. Karena sangat
mendasarnya keperluan itu, maka kenabian mulai dengan permulaan kehidupan
manusia di dunia ini. Manusia pertama adalah juga nabi dan rasul yang pertama.
Maulana Maududi menekankan tentang
adanya dua sikap hidup yang pada asasnya satu sama lain sangat berbeda: Satu
menerima Tuhan sebagai yang maha kuasa dan yang member hukum, dan dengan itu
berhadapan dengan Tuhan sebagai hamba-Nya. Sedang yang lain adalah menolak dan
memberontak terhadap Tuhan dan menyombongkan diri-Nya atau orang lain terhadap
Tuhan Esa yang sebenarnya sebagai yang mempunyai otoritas untuk memerintah.
Para Rasul menentang sikap yang belakangan ini, dan mengajak umat manusia agar
tunduk dan patuh kepada Tuhan yang maha Esa. Sikap salah inilah yang esensinya
menolak otoritas petunjuk kepada umat manusia yang dibawa para Rasul, menurut
Maulana Maududi, termasuk kepada jahiliyah (kebodohan). Sikap itu dinamakan
jahiliyah karena pengetahuan yang sebenarnya tentang prinsip-prinsip yang benar
yang dapat mengatur kehidupan umat manusia tidak bisa diambilkan dari sumber
yang lain daripada apa yang diwahyukan kepada para Rasul untuk disampaikan
kepada umat manusia.
Hal lain yang
ditekankan oleh Maulana Maududi adalah bahwa petunjuk yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah itu meliputi kehidupan seantero manusia. Berulang kali
ia menekankan bahwa Islam adalah jalan hidup dan merupakan jalan hidup yang
lengkap. Maulana Maududi menekankan bahwa kesalahan kebudayaan modern makin
jelas bagi para cendekiawan dan orang-orang yang berpikir . Ia merasa bahwa
kebudayaan dewasa ini berjalan di jalan kehancuran dan disintegrasi[26].
2.
Pandangannya
Tentang Sejarah
Sejarah
menurut pandangan Maududi berisi perjuangan yang terus menerus antara Islam dan
Jahiliyah. Islam menolak jahiliyah dalam segala bentuk dan coraknya, dan
berusaha untuk membawa revolusi total dalam kehidupan manusia dengan maksud
membentuk kehidupan itu sesuai dengan petunjuk Tuhan. Revolusi ini mulai dengan
memberikan manusia serangkaian kepercayaan, pandangan hidup, konsepsi realitas,
skala baru dari nilai-nilai, keterikatan moral yang segar, dan transformasi
motivasi dan pribadi. Usaha ini bermaksud untuk membina kembali kehidupan
manusia secara utuh dan membawa kepada berdirinya masyarakat dan negara baru,
kepada suatu orde yang dalam bentuk idealnya disebutkan oleh maududi sebagai
Khilafah ‘ala minhaj Al-Nubuwah (Kekhalifahan atas pola kenabian), dan menjadi
pola yang ideal dari orde sosial politik, dimana umat muslim harus berusaha
untuk menciptakan dalam kehidupan mereka. Dalam keangka menyeluruh perjuangan
antara islam dan jahiliyah terdapat dua kutub pertumbuhan yang berbeda. Disatu
ujung adalah Tajdid, suatu usaha untuk menegakkan Islam kembali dalam
kemurniannya yang bersih dan untuk membangun kehidupan dan masyarakat dalam
konteks waktu dan tempat sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam.
Ujung yang lain adalah tajaddud, yang berarti diantaranya apa saja yang
mengambil salah satu atau semua dari tiga bentuk dibawah ini:
a) Tumbuhnya
perhatian yang melampaui batas untuk kepentingan materi, untuk perluasan
wilayah, dan sebagainya, dengan mengabaikan jiwa moral yang sebenarnya dari
Islam. Ini menghancurkan keseimbangan, yang diusahakan islam, antara aspek
kehidupan spiritual dan material.
b) Mengadakan
kompromi dengan jiwa dan bentuk jahiliyah yang dominan pada masanya, yang
membawa kepada timbul-nya campuran baru antara islam dan jahiliyah.
c) Nilai,
prinsip, dan cara tindak laku diambilkan dari masyarakat non-islam, tetapi di
luarnya islam tetap dipertahankan, biasanya dengan mempergunakan terminology
islam untuk member ciri kepada pinjaman-pinjaman itu.
Sekalipun kedua
pendekatan itu bercorak dinamis, tujuan revolusi islam bisa diperoleh hanya
dengan perantaraan tajdid dan bukan dengan tajaddud. Tajdid menunjukkan
kesinambungan misi dari para Nabi untuk melaksanakan islam[27].
3.
Penerapan
Pandangan Maududi Pada Situasi Kontemporer
Menurut
Maududi, situasi dewasa ini adalah bahwa masyarakat muslim berangsur-angsur
menjauh dari tatanan yang ideal yang ditegakkan oleh Rasulullah SAW. Perubahan
penting pertama dalam tubuh politik islam adalah perubahan dari khilafah kepada
monarki yang duniawi, dengan akibat-akibat perubahan yang penting pada peranan
agama dalam kehidupan sosio-politik. Perubahan besar yang kedua terjadi dalam
sistem pendidikan. Ini mempunyai akibat yang merusak, karena hal itu mulai
menyebabkan perpecahan dan ketegangan yang menimpa masyarakat muslim dan
berangsur-angsur mengeringkan sumber kreativitas yang menamin vitalitas
kebudayaan Islam pada semua segi usaha umat manusia.
Sebagai
akibat dari perubahan-perubahan di atas, kehidupan moral rakyat mulai kacau.
Tetapi kerusakan itu terus berlangsung hingga akhirnya umat muslim bertekuk
lutut di bawah kekuasaan kolonal barat. Bagaimana caranya untuk mengobati
situasi yang demikian itu? Jawab Maududi adalah dengan perantaraan iman dan
perjuangan yang terus menerus. Abul A’la Maududi telah berusaha
sekeras-kerasnya untuk mengembangkan progam komprehensif yang akan mengubah
Pakistan menjadi suatu masyarakat dan negara islam yang ideal. Organisasi yang
ia pimpin, Jama’at-i Islami merupakan alat utama yang dengan itu ia berusaha
untuk melaksanakan program ini. Ia menekankan bahwa Islam akan menjadi realitas
yang operatif pada masa kita sekarang ini apabila manusia yang memiliki iman,
integritas dan visi yang jelas tentang tatanan islam, orang-orang yang di baris
depan dari kehidupan intelektual manusia dan mempunyai kemampuan untuk mengrus
masalah-masalah dunia akan memegang tampuk pimpinan. Maulana Maududi
mengumpamakan peranan pimpinan itu dengan peranan yang dilakukan oleh pengemudi
kereta api. Ia menyatakan bahwa pengemudi itu dapat saja membawa keretanya ke
mana ia kehendaki (kecuali apabila ada penumpang yang berusaha untuk
menggantikan pengemudi itu). Karena negara itu mempunyai kontrol terhadap
pendidikan, media massa, kehidupan ekonomi, maka usaha-usaha untuk membawa
perubahan dalam kehidupan manusia pasti akan mengalami kegagalan kecuali
apabila negara itu bekerja sama dalam usaha-usaha itu.
Memperhatikan
semua itu, sekarang kita akan mencoba untuk menguraikan program yang diajukan
Maududi yang berpusat sekitar empat hal:
a) Masalah
pokok yang pertama dari program ini sifatnya intelektual, yaitu penyampaian
yang jelas ajaran-ajaran Islam yang bersih dari ide-ide palsu dan dari
campuran-campuran tidak sehat. Penyampaian ini juga harus diarahkan untuk
menunjukkan bahwa ajaran islam itu dapat diterapkan dalam kehidupan dunia
dewasa ini, dan untuk menunjukkan tindakan-tindakan apa yang harus diambil
untuk mengembangkan tata kehidupan yang baik dan sehat. Adapun tentang ajaran
Al-Qur’an dan As-Sunnah maka hal itu adalah mengikat secara abadi, dan dengan
itu harus diikuti oleh umat muslim dalam semua periode sejarah.
b) Masalah
yang kedua dari program itu adalah mencari orang-orang yang suka kebenaran dan
bersedia untuk kerja menegakkan kebenaran itu pada kehidupan manusia. Dengan
itu Maududi berusaha untuk menekankan keharusan memelihara sekelompok kecil
orang-orang yang ikhlas dan jujur sebagain dasar kebangkitan islam.
c) Soal
ketiga dari program itu adalah usaha untuk membawa perubahan sosial yang sesuai
dengan ajaran islam. Idenya adalah bahwa orang yang telah berusaha untuk islam,
atau paling tidak mempunyai orientasi islam dan memperhatikan terhadap
kesejahteraan masyarakat umat manusia harus mengambil inisiatif dan
mempergunakan waktunya, usaha dan sumber-sumber kekuatannya, untuk membawa
perubahan dan perkembangan yang sehat secara maksimal. Ia berusaha membuat
masjid sebagai pusat dari semua kegiatan islam. Pendidikan Islam yang mendasar
harus disampaikan kepada semua lapisan masyarat, mulai dari rakyat jelata
sampai rakyat berada.
d) Soal
yang keempat dari program itu menekankan perubahan pimpinan dalam arti yang
luas. Negara islam yang sebenarnya tidak bisa dibayangkan kecuali urusannya
diurus oleh orang-orang yang mempunyai visi islam yang jelas dan merasa terikat
kepadanyam jujur dan kompeten.
Maududi
selalu mengingat ini sebagai salah satu dari tujuannya. Adapun tentang program
dari pimpinan politik dalam negara demokrasi, ini bisa diadakan dengan pemiliha
umum. Maududi penuh dengan harapan bahwa apabila gerakan itub terus diusahakan
dengan sabar, maka akhirnya akan berhasil mengangkat orang-orang yang betul
untuk memegang kekuasaan. Ia juga yakin bahwa struktur demokrasi adalah cocok
dengan agama islam. Ia juga berpikir bahwa demokrasi akan memberikan kerangka
di mana gerakan islam bisa berkembang, menghimpun kekuatan dan mengadakan
transformasi total, yang itu menjadi tujuannya. Untuk ini semua Maududi
menekankan adanya pemerintahan demokrasi yang betul di Pakistan[28].
4.
Pandangan
Tentang Revolusi atau Reformasi
Maududi
seringkali mempergunakan istilah “Revolusi” untuk menunjukkan perubahan radikal
yang ia usahakan. Penggunaan istilah ini tidak menunjukkan pilihannya kepada
proses atau metode yang dipergunakan oleh gerakan-gerakan revolusioner yang
modern untuk mencapai tujuan mereka. Maududi menunjukkan bahwa pendekatan
revolusioner dari barat cenderung ke arah ekstremitas. Revolusi-revolusi itu
mengabaikan perubahan manusia itu sendiri, sedangkan revolusi islam mencari
perubahan yang lebih radikal dan tuntas. Ia menganjurkan orang-orang yang
menginginkan perubahan harus bertindak sebagaimana dokter bedah mendekati
pasiennya, yaitu mempergunakan alat bedahnya hanya seperlunya untuk
menghilangkan bagian dari organ-organ yang tidak diinginkan. Maududi menekankan
bahwa baik tujuan mauun cara harus elas dan baik, karena hanya dengan itu
perubahan yang sehat akan terjadi.
Salah
satu jasa Maududi ialah bahwa ia sanggup mencarikan dasar-dasr dalam ajaran
islam secara tertulis tentang segala tindak laku umat manusia[29].
G.
PENUTUP
Pembaharu-pembaharu di India mempunyai peran masing-masing, sengaja atau
tidak, dalam lahirnya negara Pakistan. Sayyid Ahmad Khan dengan pemikirannya
bahwa islam tidak menentang kemajuan modern, dan iqbal dengan ide dinamikanya,
amat membantu usaha Jinna dalam
menggerakkan umat islam di India. Dan perjuangan keempat tokoh tersebut
dilanjutkan oleh Maulana Sayyid Abd Al-‘Ala Madudi senhingga terbentuklah Islam
di pakistan yang ideal.
H.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Akbar, S. 2002. Rekonstruksi Sejarah Islam di Tengah Pluralitas
Agama dan Peradaban. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
Ali, H. A, Mukti. 1993. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan.
Bandung: Mizan Anggota IKAPI
Ali, Thariq. 2004. Benturan Antar Fundamentalis Jihad Melawan Imperialisme
Barat. Jakarta: Paramadina
Alimi, Nur, dkk. 2008. Sejarah Kebudayaan Islam. Mojokerto: Mutiara Ilmu
Amin, Saidul. 2012. Pembaharuan Pemikiran Islam di India. Yogyakarta:
Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII, No. 1.
Amal, Taufik, Adnan. 2004. Ahmad Khan Bapak Tafsir Midernis. Jakarta:
Teraju
Karim, M, Abdul. 2003. Sejarah Islam di India. Yogyakarta: Bunga Grafies
Production
Nasution, Ahmad. 1975. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Nurlidiawati. 2014. Pandangan Abul A’la Maududi tentang Nrgara Islam.
Makassar: Jurnal Rihlah, Vol. I, No. 2.
Susmihara. 2013. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Catatan:
1.
Abstrak
seharusnya cuma satu paragraf.
2.
Penulisan
footnote dan daftar pustaka salah, tolong diperbaiki.
3.
Pembahasan
mengenai gerakan pembaharuan sebelum modernisasi India tidak ada referensi,
copy-paste?
4.
Secara umum,
perujukan dalam makalah ini sangat minim.Perlu diperbanyak lagi.
[1] Ahmad Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), 156.
[2] Saldul Amin, Pembaharuan Pemikiran Islam di India (Jurnal
Ushuluddin Vol. XVIII, 2012),87
[3] Ibid, hal.87
[4] Ahmad Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), 157-158
[5] Ibid, hal. 160
[6] Ibid, hal. 163
[7] Ibid, hal. 164
[8] Mukti Ali, Alam Pikiran
Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: 1996, Mizan, hlm. 56
[9] Ibid., hlm. 54
[12] Nur Alimi, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, Mojokerto:2008,
Mutiara Ilmu, hlm. 9
[14] Taufik Adnan Amal, Ahmad Khan Bapak Tafsir Modernis, Jakarta:
2004, Teraju PT Mizan Publika, hlm. 23
[16]H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan,
(Bandung: Mizan, 1993), hal 173
[17] Ibid., hal: 175
[18] H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan,
(Bandung: Mizan, 1993), hal: 181.
[19] H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan,
(Bandung: Mizan, 1993) hal:181
[20] Ibid., hal: 182
[21] H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan,
(Bandung: Mizan, 1993) hal:188.
[22] Saidul Amin, “Pembaharuan Pemikiran Islam di India”, Ushuluddin, Vol.
XVIII, No. 1, 2012, hlm. 94, http://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/ushuludin.
[23] Susmihara, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2013), hlm 344
[24] Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi Sejarah Islam di Tengah Pluralitas
Agama dan Peradaban, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hlm 200
[25]H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan,(Bandung:
Mizan Anggota IKAPI, 1996), hlm 283 - 243
[26] Ibid, hlm. 243 - 253
[27] Ibid, hlm.254 - 255
[28] Ibid.. hlm. 258 - 261
[29] Ibid..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar