HADIS DITINJAU DARI ASPEK
KUALITASNYA
Mohammad Syaifuddin dan Umahatika
Briliana Guntama
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Kelas E
Univerisitas Islam Negeri Mulana
Malik Ibrahim Malang
Abstrack:
Dalam ilmu hadis banyak sekali
yang menerangkan bahasan di dalam hadist yang sangat menarik dan yang sangat
penting untuk dipelajari. Terutama adalah masalah tentang ilmu hadis. Sebagian
orang melihat bahwa pembagian hadis yang sangat banyak dan tentunya beragam. Tetapi
dengan berbagai macam dari pembagian dari hadis, maka timbullah kebingungan dan
kesalahpahaman. Akan tetapi kebingungan dan ketidak tahuan akan menjadi mudah
untuk dimengerti setelah melihat pembagian-pembagian hadis yang ternyata
dilihat dari berbagai macam segi pandangan.Untuk mempermudah dalam pemahaman
mengenai hadis, maka pada bahasan ini hanya akan membahas mengenai pembagian
hadis dari segi kualitasnya, yakni shahih, hasan, dan dha’if.
Abstrack:
In the science of Hadith describing an
awful lot of discussion in the Hadith is very interestingand
very important to study.Foremost is the issue about the science of Hadith. Some
people see thatDivision of the Hadith which very much and
of coursevaried. But with several of the Division from the
Hadith, so there is confusion and misunderstanding. But the confusion
andlack of understanding will become easier to understand after
seeing the Division-the Division of the Hadith which turned out
to be seen in terms of a variety of views.For ease in understanding
of the Hadith, so this discussion will only discuss about the
Divisionofthe Hadith in terms of quality, there is a shahih, hasan,
and dha’if.
Keyword:
shahih, hasan, and dha’if.
A. Pendahuluan
Semua
peraturan dan ketentuan jajaran Islam adalah berdasarkan pada Al-Qur’an dan
Hadis Nabi.[1]Sudah menjadi asumsi dasar bagi masyarakat dunia Islam bahwa
eksistensi hadis merupakan sumber ajaran Islam setelah al-quran, yang berfungsi
sebagai tafsir (penjelas) terhadap al-quran. Dan oleh Allah swt. Nabi saw,
dianugrahi hak paten sebagai otoritas untuk menetapkan hukum untuk disampaikan
kepada umatnya.[2]
Pembahasan
tentang kehujahan hadits meliputi nilai atau kualitas hadits dan pengalaman
hadits. Kualitas hadits ada yang maqbul dan ada yang mardud. Yang dimaksud
dengan maqbul menurut lughat, adalah “ما خوذ”atau ”مصدق” . Artinya yang diambil atau yang
dibenarkan, maksudnya yang diterimanya.
Menurut
istilah muhaditsin Maqbul berarti :
ماَ دَلّ دَ لِيْل على رَجْحاَنِ ثُبُو تِهِ
“Yang ditunjuk oleh suatu
keterangan, bahwa Nabi Muhammad SAW ada menyabdakannya, yakni adanya lebih
berat dan tidak adanya”.
Yang dimaksud dengan mardud
menurut lughat adalah “yang ditolak, yang tidak diterima”.
Menurut
istilah Muhaditsin Mardud berarti :
ماَ دَلّ دَ لِيْل على رَجْحاَنِ ثُبُو تِهِ بَل يَتَسَاوى
الأَمْراَنِ فِيهِ
“Sesuatu hadits yang tidak
ditunjuk oleh suatu keterangan atas beratnya dan tiada ditunjuk atas berat
ketiadaannya, adanta dengan tidak adanya bersamaan”.
Dalam
istilah lain:
ماَلَم تُوجَدُ فِيهِ صِفَةُ هاقُبُولِ
“yang
tiada didapati padanya sifat menerimanya”
Dengan
demikian, hadits maqbul adalah hadits yang dapat diterima atau pada dasarnya
dapat dijadikan hujah, yakni dapat dijadikan pedoman dan pengalaman Syari’at,
dapat dijadikan alat istinbath dan bayan terhadap al-Qur’an, dan dapat di
istinbath dengan Ushul Fiqh. Sedangkan hadits mardud adalah hadits yang ditolak
atau tidak dapat dijadikan hulah.
Ditinjau
dari segi maqbul dan mardud di atas, hadis Ahad terbagi kepada: (a) Hadits
Shahih, (b) Hadis Hasan (c) Hadits Dha’if. Hadits Shahih dan hasan nilainya maqbul,
sedangkan hadits dha’if nilainya mardud.[3]
A. Hadis Sahih
1. Pengertian Hadis Sahih
Sahih menurut bahasa berartiضِدُّ السَّقِيْمِ (lawan
sakit). Kata sahih juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti sah,
benar, sempurna, sehat (tiada celanya); pasti. Pengertian hadis sahih secara
definitive eksplisit belum di nyatakan oleh ulama ahli hadis dari kalangan Al-Mutaqaddimin
sampai abad 3 H.[4]
Definisi sahih menurut lughat
adalah lawan “saqim”, artinya sehat, lawan sakit, haq lawan batil.
Menurut istilah Muhaditsin, hadis sahih adalah :
مَانَقَلَهُ عدْ لٌ تَامُّ
الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غيْرُمُعَلّلٍ وَلاَ شَادٍ ّ.
Artinya :“Hadis yang di nukil
atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung-sambung, tidak ber’illat, dan tidak janggal”.[5]
Para ulama telah memberikan definisi hadis
sahih sebagai hadis yang telah diakui dan di sepakati kebenarannya oleh para
ahli hadis. Namun berikut ini kami pilihkan suatu definisi yang bebas dari
cacat dan kritik, sebagai berikut.
الحَدِ ىْثُ الصَّحِيْحُ هُوَالحَدِىْثُ الَّذِى اِتَّصَلَ
سَنَهٌ بِنَقْلِ العَدْ لِ الضَّا بِطِ اِلَى مُنْتَهَا هُ وَلاَ يَكُوْنُ
شَاذًاوَلاَ مُعَلَّلاً
Hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya yang
diriw Wayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi lain yang
(juga) adil daan dhabith sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal
serta tidak mengandung cacat (illat).[6]
2. Syarat-syarat Hadis Sahih
Menurut Huhaditsin, suatu hadis
dapat di nilai sahih, apabila memenuhi syarat berikut :
1. Rawinya bersifat adil(‘adalat
al-ruwat)
Kata adil, menurut bahasa
berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus, dan
jujur. Seseorang dikatakan adil apabila pada dirinya terdapat sifat yang
dapat mendorong terpeliharanya ketakwaan, yaitu senantiasa melaksanakan
perintah agama dan meninggalkan larangannya, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu
senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah lakunya. Dengan demikian, maka
yang dimaksud dengan parawi yang adil dalam periwayatan sanad-hadis adalah
bahwa semua parawinya disamping harus Islam dan balig, juga memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Senantiasa melaksanakan segala
perintah agama dan meninggalkan semua larangannya.
b. Senantiasa menjauhi dosa-dosa
kecil.
c. Senantiasa memelihara ucapan dan
perbuatan yang dapat menodai muruah.
Sifat-sifat adil para parawi dapat diketahui
melalui :
a. Popularitas keutamaan parawi di
kalangan ulama ahli hadis; parawi yang terkenal keutamaan pribadinya.
b. Penilaian dari para kritikus
parawi hadis tentang kelabihan dan kekurangan yang ada pada diri parawi
tersebut.
c. Penerapan kaidah Al-Jahr wa
At-Ta’dil, bila tidak ada kesepakatan diantara para kritikus parawi hadis mengenai
kualitas pribadi para parawi tertentu.
Khusus mengenai parawi hadis pada
tingkat sahabat, jumhur ulama ahli sunah mengatakan bahwa seluruh
sahabat dikatakan adil. Sementara itu golongan Mu’tazilah menganggap
bahwa sahabat-sahabat yang terlibat dalam pembunuhan Ali dianggap fisik dan
periwayatannya ditolak.[7]
Menurut Ar-Razi, keadilan adalah
tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa
besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan Mubah yang menodai muru’ah, seperti makan
sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang bukan disediakan
untuknya, dan bergurau yang berlebihan.
Menurut Syahudi Ismail,
kriteria-kriteria periwayatan yang bersifat adil, adalah:
a. Beragama Islam.
b. Berstatus mukalaf (Al-Mukallaf).
c. Melaksanakan ketentuan agama.
d. Memelihara muru’ah.[8]
Menurut Ibn As-Sam’ani, keadilan
harus memenuhi syarat :
a. Selalu memelihara perbuatan taat
dan menjauhi perbuatan maksiat;
b. Menjauhi dosa-dosa kecil dan dapat
menodai agama dan sopan santun;
c. Tidak melakukan perkara-perkara mubah
yang dapat menggugurkan iman dan mengakibatkan penyesalan;
d. Tidak mengikuti pendapat salah
satu madzab yang bertentangan dengan dasar syara’.
Menurut
Muhyi Ad-Din ‘Abd Al-Hamid, syarat keadilan rawi itu adalah:
a. Islam, maka periwayatan orang
kafir tidak diterima;
b. Mukallaf, maka periwayatan anak yang belum
dewasa menurut pendapat yang lebih sahih, tidak diterima;
c. Selamat dari sebab-sebab yang
menjadikan seorang fisik dan memiliki cacat pribadi.
Pengertian
dan ketentuan adil dalam periwayatan berbeda dengan adil dalam kesaksian. Dalam
persaksian (syahadah), dikatakan adil jika terdiri atas dua orang
laki-laki yang merdeka. Adapun dalam periwayatan, dapat dikatakan adilcukup
seorang saja, baik orang perempuan, budak, atau merdeka.[9]
2. Rawinya bersifat dhabit (dhawabith
al-ruwat)
Dhabit adalah bahwa rawi yang
bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hapalan yang
kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkannya kembali ketika
meriwayatkannya.[10]
Dhabith ada dua macam :
a. Dhabith ash-Shadri, yakni seseorang yang mempunyai
daya hafal dan ingatan yang kuat, serta daya paham yang tinggi, sejak menerima
sampai menyampaikan pada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan
kapan dan di mana saja dikehendakinya.
b. Dhabith al-kitab, yakni seseorang yang dhabith atau
cermat memelihara catatan atau buku yang ia terima.
Unsur-unsur dhabith:
a. Tidak pelupa
b. Hafal terhadap yang didektekan
kepada muridnya apabila ia memberikan hadis dengan hafalan, dan terjaga
kitabnya dari kelemahan apabila ia meriwayatkan hadis dengan kitabnya; dan
c. Menguasai apa yang diriwayatkan,
memahami maksudnya dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud apabila
ia meriwayatkan hadis menurut maknanya saja. Rawi yang adil dan dhabith disebut
tsiqat.[11]’Umarah
bin Al-Qa’qa juga seorang tsiqat. Demikian pula Abu Zur’ah al-Tabi’I. Ia
adalah putra ‘Amr bin Jarir bin Abdullah al-Bajali.[12]
3. Kebersambungan Sanad (ittishal
al-sanad)
Kebersambungan sanad dalam
parawinya hadis, artinya bahwa seorang parawi dengan parawi hadis di atasnya
atau parawi di bawahnya terdapat pertemuan langsung (liqa) atau adanya
pertautan langsung dalam bentuk relasi guru-murid, mulai dari awal hingga akhir
sanad.[13]
Untuk mengetahui bersambung atau
tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian
berikut :
·
Mencatat semua rawi dalam sanad yang
diteliti.
·
Mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi.
·
Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara
para rawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.
Jadi, suatu sanad hadis dapat
dinyatakan bersambung apabila :
·
Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat
(adil dan dhabit)
·
Antara masing-masing rawi dengan rawi
terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar
telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahamul
wa ada al-hadis.[14]
4. Tanpa ‘Illat (Ghair Mu’allal atau
‘adam ‘ilal)
Kata ‘illat betuk jamaknya
adalah Illal atau Al-Ilal yang menurut bahasa berarti cacat,
penyakit, keburukan, dan kesalahan baca.[15]Kata
‘illat secara lughawi berarti sakit.
Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan. Adapun dalam terminologi Kata
‘illat secara lughawi berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan
kesibukan. Adapun dalam terminologi ilmu hadis, ‘llat didefinisikan sebagai sebuah hadis yang di dalamnya terdapat
sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak keshahihan hadis yang secara lahir
tampak shahih. Di dalam konteks ini, Ibn Shalah mendefinisikan ’illat sebagai sebab tersembunyi yang merusak kualitas hadis, karena
keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya berkualitas shahih menjadi
tidak shahih lagi. Sedangkan Ibn Taimiyah menyatakan bahwa hadis mengandung ‘illat adalah hadis yang sanadnya secara
lahir tampak baik, namun ternyata setelah diteliti lebih lanjut, di dalamnya
terdapat rawi yang ghalt (banyak
melakukan kesalahan), sanadnya mawquf atau
mursal, bahkan ada kemunginan
masuknya hadis lain pada hadis tersebut.
5. Tidak Syadz (‘adam syudzudz (Janggal))
Yang dimkasud dengan syadz atau
syudzudz (bentuk jamak dari syadz) di sini ialah suatu hadis yang bertentangan
dengan hadis yang diriwayatkan oleh parawi lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah.
Ini pengertian yang di pegang oleh Asy-Syifi’I dan dikutip oleh kebanyakan
para ulama lainnya.
Melihat pengertian syadz di
atas, dapat dipahami bahwa hadis yang tidak syadz (ghoir syadz) adalah hadis
yang matan-nya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau
lebih tsiqah.
Al-Hakim An-Naisaburi memasukkan hadis-fard (hadis
yang diriwayatkan oleh seorang parawi yang tsiqat, tetapi tidak ada
perawi lain yang meriwayatkannya), dalam kelompok hadis syadz. Pendapat
ini tidak dipegang oleh jumhur ulama ahli hadis.[16]
Kejanggalan hadis terletak pada adanya perlawanan antara
suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang adapat
diterima periwayatannya) dengan hadis
yang diriwayatkan oelh rawi yang lebih kuat (rajah) daripadanya,
disebabkan dengan kelebihan jumlah sanad dalam ke-dhabit-an atau
adanya segi-segi tarjih yang lain.[17]
Jadi, hadis sahih adalah hadis yang rawinya adil dan
sempurna ke-dhabit-annya, sanadnya muttashil, dan tidak cacat
matannya marfu’, tidak cacat dan tidak janggal.[18]
3. Klasifikasi Hadis Shahih
Hadis shahih terbagi menjadi dua, shahih lidzatih
dan shahih ligharih. Hadis shahih lidzatih adalah hadis yang
memuat semua sifat-sifat penerimaan hadis pada tingkat tertinggi atau dengan
kata lain memenuhui seluruh persyaratan ke-shshihan hadis. Contohnya adalah
hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari berikut:
حَدِّ ثَنَاعَبْدُ اللّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ
أَخْبَرَنَامَالِكٌ عَنِ ابْنِ شَهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنُ
مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِحْتُ رَسُولَاللهِ – صلى الله عليه
وسلم-قَرَأَفِى الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ
“dari Muhammad bin Jubair bin
Mut’in dari ayahnya, dia berkata bahwa dia mendengar Rasulullah Saw., membaca
surat al-Thur pada waktu shalat maghrib.”
Sedangkan
hadis shahih lighayrih lebih mengacu
kepada hadis yang bisa menjadi shahih karena sesuatu yang lain, atas topangan
hadis lain, atau karena di dalamnya terdapat atu syarat yang kurang dipenuhi.
Di antar contoh hadis shahih lighayrih
ini adalah hadis yang di-takhrij oleh Imam al-Tir midzi berikut
حد ثنا ابؤ كريب حد ثنا ءبدة بن سليما ن ءن
محمد بن ءمر و ءن أبي سلمة ءن أبي هريرة
قال : قال رسول الله صلى الله ءليه وسلم لو لا أن أشق ءلى أمتي لأ كل صلا ةعنذلسواكبامرتهم
“Abu
Hurairah berkata, Rasulullah SAW., bersabda seandainya tidak menyulitkan dengan
bagi umatku niscaya aku peritahkan mereka untuk bersiwak setiap akan
melaksanakan shalat”.[19]
4. Martabat Hadis Shahih
Hadis sahih yang paling tinggi derajatnya adalah hadis
yang bersanad ashahul asanid.[20]Para
ulama ahli hadis membagi tingkatan hadis shahih menjadi tujuh,
yang secara berurutan adalah sebagai berikut :
1. Hadis yang disepakati oleh Imam
Bukhari dan Muslim (Muttafaq alaih);
2. Hadis yang di-takhrij oleh
Imam Bukhari sendiri;
3. Hadis yang di-takhrij oleh
Imam Muslim sendiri;
4. Hadis yang di-takhrij oleh
atas dasar syarat-syarat Bukhari-Muslim, akan tetapi keduanya tidak men-takhrij-nya;
5. Hadis yang di-takhrij atas
dasar syarat Bukhari, akan tetapi Bukhari tidak men-takhrij-nya;
6. Hadis yang di-takhrij atas
dasar syarat Muslim, akan tetapi Imam Muslim tidak men-takhrij-nya;
7. Hadis yang di-takhrij oleh
para imam selain Bukhari-Muslim tanpa berpegang kepada syarat-syarat keduanya.[21]
5. Karya-karya yang Hanya Memuat
Haadis Sahih
Di antara karya-karya yang hanya meemuat hadis sahih
adalah :
1. Shahih Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Mustadrak Al-Hakim
4. Shahih Ibnu Hibban
5. Shahih Ibnu Khuzaimah[22]
B. Hadis Hasan
A. Pengertian Hadis Hasan
Hasan, menurut lughhat adalah sifat musybahah dari
‘Al-Husna’, artinya bagus.[23]Hasan
menurut bahasa berarti :
مَاتَشْتَهِيْهِ النَّفْسُ
وَتَمِيْلُ اِلَيْهِ
(sesuatu yang disenangi dan
dicondongi oleh nafsu), sedangkan hasan menurut istilah para ulama
berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Perbedaan pendapat ini terjadi
disebabkan di antara mereka ada yang menggolongkan hadis hasan sebagai
hadis yang menduduki posisi diantara hadis shahih dan hadis dhaif, tetapi
ada juga yang memasukkannya sebagai bagian dari hadis dhaif yang dapat di jadikan hujjah. Menurut
sejarah ulama yang mula-mula memunculkan istilah hasan menjadi hadis
yang berdiri sendiri adalah Turmidzi. Untuk lebih jelasnya dibawah ini
dikemukakan beberapa definisi hadis hasan.
At-Turmidzi mendefinisikan hadis
hasan sebagai berikut :
كُلُّ حَدِيْثٍ يُرْوَىْ
لاَيَكُوْنُ فِى اِسْنَادِهِ مَنْ يُتَّهَمُ بِالْكَذِبِوَلاَيَكُوْنُ الْحَدِيْثُ
شَاذًاوَيُرْوَى مِنْ غَيْرِوَجْهِ نَحْوِدآلِكَ
“tiap-tiap hadis yang pada sanadnya
tidak terdapat parawi yang tertuduh dusta, pada matannya tidak terdapat
kejanggalan, dan hadis itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu jalan
(mempunyai banyak jalan) yang sepadan dengannya.”[24]
Defiinisi hadis hasan ialah
:
مَانَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ
الظَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِغَيْرُمُعَلَّلٍ وَلاَ شَادٍّ
Artinya :
“hadis
yang dinuklikan oleh seorah yang adil, tak begitu kokoh ingatannya, sanadnya
bersambung, dan tidak dapat ‘illat serta kejanggalan.”[25]
Untuk membedakan antara hadis sahih dan hadis hasan, kita
harus mengetahui bataan dari kedua hadis tersebut. Batasannya adalah keadilan
pada hadis hasan disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya,
sedangkan pada hadis sahih terdapat rawi-rawi yang benar-benar kuat ingatannya.
Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit. Keduanya bisa
digunakan sebagai hujjah dan kandungannya dapat dijadikan penguat.[26]
B. Syarat-syarat Hadis Hasan
a. Sanadnya bersambung;
b. Parawinya adil;
c. Parawinya dhabit, tetapi
ke-dhabit-annya di bawah ke-dhabit-an parawi hadis hasan;
d. Tidak terdapat kejanggalan (syadz);
e. Tidak ada illat (illat).[27]
C. Klasifikasi Hadis Hasan
Urutan martabat atau derajat hadis
hasan adalah :
1. Hadis hasan dengan ahsan
al-asanid, di antaranya :
a. Bahaz ibn Hakim, Hakim ibn
Mu’awiyah, Mu’awiyah ibn Haidah.
b. ‘Amr ibn Syu’aib, Syu’aib ibn
Muhammad, Muhammad ibn ‘Abdullah.[28]
2. Hadis hasan li dzatihi dan
hadis hasan li ghairihi
Hadis hasan terbagi dalam dua jenis: hadis li dzatih (hasan
dengan sendirinya) dan hasan lighairih (hasan dengan topangan hadis
lain).[29]
Dengan demikian, maka pengertian hadis hasan li dzatih
sama dengan pengertian hadis hasan sebagaimana yang telah di uraikan
di atas. Adapun yang dimaksud hadis hasan lighairih ialah hadis hsan yang
tidak memenuhi persyaratan hadis hasa secara sempurna atau pada dasarnya hadis
tersebut adalah Hadis Dhaif, tatapi karena ada sanad atau matan
lain yang menguatkannya (syahid atau mutabi’), maka kedudukan
hadis dhaif tersebut naik derajatnya menjadi hasan lighairih.
Di antara contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam al-Tirmidzi tentang pintu surga di bawah kilatan pedang, sebagai berikut :
حد ثنا قتيبة حد ثنا جعفر بن سليمان
عن الضبعي عن أبى عمران الجوني عن أبي موسى الأشري قال سمعت أبي بحدرة العدو يقول
قال رسول الله عليه وسلم – ((إن أبواب الجنة تحت ظلال السيوب
“ Rasulullah Saw., bersabda bahwa sesungguhnya pintu
surga di bawah kilatan pedang.”[30]
Ibnu Ash-Shalah, sebagaimana dikutip oleh Al-Qasimi
menyebutkan bahwa hadis hasan lighairih ialah hadis yang sandaran atau
sanadnya terdapat seoramg mastur (yang belum jelas terbukti keahliannya),
bukan pelupa yang banyak kesalahannya, tidak terlihat sebab-sebab yang
menjadikan fasiq, dan matan hadisnya diketahui (baik) berdasarkan
periwayatannya hadis lain yang semakna.
Pengertian menurut Ibnu Ash-Shalah ini memperkuat uraian
bahwa pada dasarnya hadis hasan li ghairih adalah hadis dhaif ,
yang memiliki syahid dan muttabi’ sehingga kualitasnya menjadi
naik menjadi hadis hasan. Akan tetapi, hadis-hadis yang sangat lemah,
seperti hadis maudu, hadis mankar, dan hadis matruk, sekalipun
ada syahid dan muttabi’ kedudukannya tetap sebagai Hadis Dhaif
dan tidak dapat berubah menjadi hadis hasan.[31]
D. Kedudukan Hadis Sahih dan Hasan
dalam Berhujjah
Kebanyakan ulama ahli hadis dan fuqaha bersepakat untuk
menggunakan hadis sahih dan hadis hasan sebagai hujjah. Disamping itu,
ada ulama yang mengsyaratkan bahwa hadis hasan dapat digunakan sebagai hujjah,
bilamana memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini
memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab, sifat-sifat yang adapat diterima itu
ada yyang tinggi, menengah, dan rendah. Hadis yang sifat dapat diterimanya
tinggi dan menengah adalah hadis sahih, sedangkan hadis yang sifat dapat diterimanya
rendah adalah hadis hasan.
Hadis-hadis yang mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah
disebut hadis maqbul, dan hadis yang tidak mempunyai sifat-sifat
yang dapat diterima disebut hadis mardud.
Yang termasuk hadis maqbul adalah :
1.
Hadis sahih, baik sahih li dzatihi
maupun sahih li ghairih.
2.
Hadis hasan, baik hasan li dzatih maupun
hasan li ghairih.
Yang termasuk hadis mardud adalah segala macam hadis
dhaif. Hadis mardud tidak dapat diterima sebagai hujjah karena
terdapat sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya atau pada sanadnya.[32]
Para ulama yang berusaha membedakan kehujjahan hadis
berdasarkan perbedaan kualitas, sebagaimana yang dianut oleh kelompok pertama,
mereka lebih jauh membedakan rutbah hadis-hadis tersebut berdasarkan
kualitas para perawinya, yaitu berikut ini.
1. Pada urutan pertama, mereka
menempatkan hadis-hadis riwayat Mutafaq Alaih (hadis yang disepakati oleh
Bukharri dan Muslim),
2. Urutan kedua hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari;
3. Urutan ketiga hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh Muslim;
4. Urutan Keempat hadis-hadis
diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim (Sahih’ala Syart
Al-Bukhari Wa Muslim);
5. Urutan kelima hadis-hadis
yang diriwayatkan menurut syart-syarat Bukhari (Sahih’ala Syart Al-Bukhari)
sedang ia sendiri tidak meriwayatkannya;
6. Urutan keenam hadis-hadis
yang diriwayatkan menurut syart-syarat Muslim (Sahih’ala Syart Muslim) dan ia
sendiri tidak meriwayatkannya.
7. Urutan ketujuh, ialah
hadis-hadis yang diriwayatkan tidak berdasarkan kepada salah satu syarat dari
Bukhari dan Muslim.
Penempatan hadis-hadis tersebut
berdasarkan urutan-urutan diatas akan terllihat kegunaanya ketika terlihat
adanya pertentangan (ta’arud) antara dua hadis. Hadis-hadis yang
menempati urutan pertama dinilai lebih kuat dari pada hadis-hadis yang
menempati urutan kedua atau ketiga, begitu juga hadis-hadis pada urutan ketiga
dinilai lebih kuat dari pada hadis-hadis pada urutan keempat atau kelima.[33]
E. Kitab-kitab yang mengandung Hadis
Hasan
Para ulama belum menyusun kitab khusus tentang
hadis-hadis hasan secara terpisah sebagaimana mereka melakukannya dalam hadis
sahih, tetapi hadis hasan banyak kita dapatkan pada sebagian kitab, diataranya
:
·
Fami’at-Tirmidzi, dikenal sebagai sunan At-Tirmidzi,
merupakan sumber untuk mengetahui hadis hasan.
·
Sunan Abu Dawud
·
Sunan At-Daruquthi.[34]
C. Hadis Dhaif
A. Pengertian Hadis Dha’if
Dha’if, menurut lughat artinya lemah,
lawan qawi(yang kuat).
Adapu menurut Muhaditsin,
هُوَكُلُّ حَدِيْثٍ لَمْ تَجْتَمِعْ
فِيْهِ صِفَاتُ الْقَبُوْلِ وَقَالَ أَكْثَرُالْعُلَمَاءِهُوَمَالَمْ يَجْمَعْ
صِفَةَالصَّحِيْحِ وَاْلحَسَنِ
“Hadis dhaif adalah semua hadis yang
tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadis yang diterima dan menurut
pendapat kebanyakan ulama; hadis dhaif adalah yang tidak terkumpul padanya
sifat hadis sahih dan hasan.”[35]
ماَلَم يَبْلُغُ مَرتَبَةَ دَرَجَةِ الحَسَنِ
“Hadits yang tidak sampai pada
derajad hasan”
ماَلَم يَجمَعُ صِفاَتُ الحَدِيثِ الصَحِيحِ وَلاَصِفاَتُ
الحَدِيثِ الحَسَنِ
“Hadits yang tidak mengumpulkan
sifat-sifat hadits shahih atau sifat-sifat hadis hasan”.
ماَ فَقَدَ شَرطٌ اَو اَكْثَرُ مِن
شُرُوْطِ الصَحِيحِ اَوِالحَسَنِ
“Hadits yang kehilangan salah
satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan”.Klasifikasi
Hadis Dhaif
Para ulama Muhaditsin mengemukakan
sebab-sebab bertolaknya hadis dari 2 jurusan yakni jurusan sanad dan
jurusan matan.
Sebab-sebab bertolaknya hadis dari
jurusan sanad adalah :
1.
Terwujudnya cacat-cacat rawinya, baik tentang
keadilan maupun ke-dhabit-annya.
2.
Ketidakbersambungan sanad, dikarenakan adalah
seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama
lain.[36]
Dari sumber lain, suatu hadis
menjadi dha’if karena sanad-nya tidak bersambung-sambung (tidak
muttashil), rawi murid tidak bertemu dengan rawi guru sehingga terdapat inqhita’
(gugur rawi) pada sanad. Hal ini terbagi atas sebagai berikut.
a.
Gugur sanad pertama (guru mudawin), yakni
rawi yang menyampaikan hadis kepada mudawin . hadisnya disebut mu’allaq:
اَلَّذِيْ يَسْقُطَمِنْ أَوَّلِ
سَنَدِهِ رَاوٍ فَأَكْثَرَ
Artinya :
“hadis yang gugur rawinya seorang atau llebih
dari awal sanad.”
b.
Gugur pada sanad terakhir atau rawi
pertama (sahabat), yakni tabi’in menisbahkan matan hadis kepada
Nabi SAW, tanpa menyebutkan daeri sahabat mana ia menerima hadis tersebut.
Hadisnya disebut mursal :
اَلَّذِيْ يَسْكُتً مِنْ
آخِرِسِنَدِهِ مَنْ بَعْدَالتَّابِعِىِ
Artinya :
“hadis yang gugur dari akhir sanadnya
seseorang setelah tabi’in”[37]
Adapun cacat pada keadilan dan ke-dhabit-tan
rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut :
1. Dusta : yakni berdusta dalam
membuat hadits walaupun hanya sekali dalam seumur hidup. Hadits dha’if yang
karena rawinya dusta disebut hadits maudhu’.
Hadits Maudhu’ adalah :
هُوَ المُختَلَعُ المصنُوعُ المَنسُوبُ إِلى
رَسُولِ الله صَلىَّ اللهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ زُوراً بُهتاَناً سَواَءٌ كاَنَ
ذاَلِكَ عَمداً اَمْ خَطَاءً
“Hadis yang dicipta serta serya oleh
seseorang (pendusta) yang ciptaan itu dinisbahkan oleh Rasulullah saw secara
palsu dan dusta, baik hal itu sengaja atau tidak ”.
2. Tertuduh dusta, yakni rawi yang
terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tapi belum dibuktikan bahwa ia
pernah berdusta dalam membuat hadits. Rawi ini bila brnar-benar bertaubat dapat
diterima periwayatan (hadits)-nya. Hadits nya disebut matruk :
الحَدِيثُ الّذِى يَنْفَرِدُ
بِراَوَيَتِهِ مَنْ يُتَّهّمُ باِلكِذِبِ فىِ الحَدِيثِ
“Hadits yang
menyendiri dalam periwayatannya yang diri watankan oleh yang tertuduh berdusta
dalam (periwayatan) hadits”.
3. Fasiq, ialah kecenderungan dalam
amal, bukan kecurangan dalam i’tikad, juga mereka bebuat maksiat.
4. Lengah hafalan dan banyak salah,
lengah baiasanya terjadi dalam penerimaan hadits, sedangkan banyak salah
terjadi dalam penyampainnya.
Hadits yang rawinya fasiq, lengah dalam hafalan dan
banyak salah, disebut hadits munkar :
الحَدِيثُ الّذِى يَنْفَرِدُ
بِراَوَيَتِهِ مَن فَحُشَ غَلطُهُ اَو كَثثُرَتْ غَفْلَتُهُ اَو بَيَّنَ فِسْقُهُ
بِغَيرِ الكَذِبِ
“Hadits yang menyendiri dalam
periwayatan yang diriwayatkan oleh orang yang banyakkesalahannya banyak
kelengahannya atau jelas kefasiqannya yang bukan karena dusta ”.
5. Banyak faham (purbasangka), yakni
salah sangka seolah-olah hadits tersebut tidak ada cacat baik pada matan maupun
pada sanad. Hadits yang demikian disebut hadits Mu’allal
مَطُلِعَ فِيهِ بَعْدَ البَحثِ
والتَّبعِ عَلَى وَهمٍ وَقَعَ لِرُواَتِهِ مَن وَصَلَ مثنقَطِعٌ اَوهِدْخاَلُ حَدِيثٍ فِى حَدِيثٍ
اَوْ نَحْوِ ذاَلِكَ
“Hadits yang
setelah diadakan penelitian dan penyelidikan, tempat adanya salah sangka dari
rawinya, dengan mewahamnkan (menganggap bersambung suatu sanad) hadits yang
munqathi’ (terputus) atau memasukkan sebuah hadits pada suatu hadits yang lain,
atau yang semisal dengan itu”.[38]
6. Banyak salah
7. Menyalahi riwayat orang
kepercayaan
8. Tidak diketahui identitasnya
9. Penganut Bid’ah
10. Tidak baik hafalannya[39]
Selain dari jurusan sanad dan
jurusan sanad-nya, dari sumber lain juga diterangkan bahwa hal lain yang
menganggap suatu hadis bersifat dha’if adalahdari segi Matan. Penissbatan matan
tidak kepada Nabi Muhammad SAW, yag terdiri atas sebagai berikut :
a. Penisbatan matan kepada
sahabat, disebut mauquf.
b. Penisbatan matan kepada thabi’in,
disebut maqthu.[40]
B. Klasifikasi Hadis Dha’if
Para ulama berbeda pendapat dalam
membagi hadis Dha’if. Sebagian ulama membaginya menjadi 81 (delapan puluh satu)
macam. Dan yang lain mengatakan, hadis dha’f itu ada empat puluh Sembilan
macam. Sebagian yang lain lagi mengatakan, ada 42 (empat puluh dua) macam.[41]
1.
Klasifikasi Hadis Dha’if Berdasarkan Cacat
pada Keadilan dan Ke-dhabit-an Rawi
a.
Hadis Maudhu’ :hadis yang diciptakan serta dibuat
oleh seseoraang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rasulullah SAW
secara palsu dan dusta.[42]
c.
Hadis Munkar :hadis yang diriwayatkan oleh
parawi yang dhaif bertentangan dengan periwayatan yang disampaikan oleh parawi
yang tsiqah.[44]
d.
Hadis Syadzdz :hadis yang diriwayatkan oleh
perawi yang tsiqah tetapi bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh
sejumlah perawi yang lebih tsiqah.[45]
2.
Klasifikasi Hadis Dha’if Berdasarkan Gugurnya
Rawi
a.
Hadis Mu’allaq :Muallaq, menurut bahasa, adalah isim
maf’ul yang berarti terikat atau tergantung. Sanad seperti ini di sebut mu’allaq
yang berarti terikat dan tersambung pada bagian atas saja, sementara bagian
bawahnya terputus sehingga menjadi seperti sesuatu yang bergantung pada atap
daan yang semacamnya. Sementara itu menurut istilah, hadis mu’allaq adalah
hadis yang seorang rawinya atau lebih gugur dari awal sanad secara berurutan.[46]
b.
Hadis Mudallas :hadis yang diriwayatkan menurut
cara yang diperkirakan bahwa hadis itu ternoda, atau hadis yang didalamnya
terdapat penyembunyian cacat yang dilakukan oleh perawinya.[47]
c.
Hadis Munqathi : hadis munqathi’
adalah hadis yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat,
atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.[48]
d.
Hadis Mursal :Marshal, menurut bahasa , isim maf’ul, yang
berarti ‘yang dilepaskan’. Adapun hadis marshal mnurut istilah adalah hadis
yang gugur rawi dari sanaadnya setelah tabiin, baik tabiin besar maupun tabiin
kecil.[49]ada
tiga macamhadis marshal :
·
Marsal jail, yaitu bila pengguguran
yang telah dilakukan oleh rawi (tabi’in) dapat diketahui dengan jelas
sekali, dia tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang memepunyai
berita.
·
Mursal shahabi, yaitu pemberitaan
sahabat yang didasarkan kepada Nabi Muhammad SAW atau menyaksikan apa yang dia
beritakan, namun di saat Rasulullaah SAW hidup ia masih kecil atau terakhir
masuknya kedalam Islam.
·
Murshal khafi, yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh thabi’in, dan thabi’in yang diriwayatkan
sezaman dengan sahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadis pun
darinya. Hadis Murshal shahabi bisa sahih, apabila sahabat yang
meriwayatkannya itu adil.[50]
e.
Hadis Mu’allaq :yaitu hadis yang gugur parawinya
seorang atau lebih, yang terjadi dari awal sanad.[51]
Kesimpulan :
Dari penjelasan diatas, hadis jika
di tinjau dari segi kualitasnya dapat di bagi menjadi tiga yaitu hadis sahih,
hasan dan dha’if. Menurut para ulama Muhaditsin, hadis sahih adalah hadis yang
dapat di jadikan sebagai hujjah dan wajib untuk diamalkan oleh umat Islam, oleh
para ulama hadis shahih dibagi menjadi dua, yaitu shahih lidzatih dan shahih
ligharih. Adapun kehujahhan dari hadis hasan menurut para muhaditsin
bersepakat bahwa hadis hasan sama dengan hadis shahih meskipun pada tingkatan
yang tidak sama, dan sebagian para ulama juga membagi kelompok hadis sahih
menjadi dua kelompok yaituhasan li dzatihi dan hasan li ghairihi. Jika
dalam salah satu hadis telah hilang satu syarat saja dari sekian banyak syarat
dari suatu hadis shahih dan hasan, maka hadis tersebut di sebut hadis dha’if,
dan hadis tersebut tidak dapat untuk dijadikan hujjah dan tidak wajib untuk
diamalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Soetari, Endang. 2008. Ilmu Hadits. Bandung.
CV. Mimbar Pustaka
Mudasir. 1999. Ilmu Hadis Bandung. CV.
Pustaka Setia
Khaeruman, Badri. 2010. Ulum Al-Hadis.
Bandung CV. Pustaka Setia
Nuruddin. 2012.Ulumul Hadis Bandung PT.
Remaja Rosdakarya
Solahudin, Agus, dkk. 2013. Ulumul Hadis. Bandung
CV Pustaka Setia
Sumbulah, Umi, dkk. 2014 Studi Al-Qur’an
Dan Hadis. Malang UIN Press
Ash-Shalih, Subhi. 1993.Membahas Ilmu-Ilmu
Hadis. Jakarta Pustaka Firdaus
Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2006. Ilmu
Ushul Hadis. Yogyakarta Pustaka Pelajar
Sullaiman. M. Noor, (2005). “Isnad dan Pengaruhnya Terhadap
Status Hadis”. Jurnal
Hunafa. Vol. 2 No. 2, 93-106
Arifin. Johar, (2014). “Pendekatan Ulama Hadis dan
Ulama Fiqh dalam Menelaah Kontroversial Hadis”. Ushuluddin.Vol. XXII No. 2,
July 2014
1.
Abstrak bahasa Inggris dulu, baru
bahasa Indonesia.
2.
Penulisan gelar (Prof. Dr., Ustadz,
dll) dalam karya ilmiah dihilangkan, termasuk dalam footnote.
3.
Pendahuluan tidak berisi materi
pembahasan, tetapi pengantar menuju materi.
[1] M.
Noor Sulaiman PL, “Isnad dan Pengaruhnya Terhadap Status Hadis”, Jurnal
Hunafa. Vol. 2 No. 2. Agustus 2005, hal 93
[2]
Johar Arifin, “Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah
Kontroversial Hadis”. Ushuluddin.Vol. XXII No. 2, July 2014, hal 145.
[3] Prof. Dr. H. Endang Soetari AD., M.Si, Ilmu
Hadits (Bandung:CV. Mimbar Pustaka, 2008), hlm, 130-131
[4]
Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm, 143.
[5] Dr.
Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010),
hlm, 119
[6] Dr.
Nuruddin’Itr, Ulumul Hadis (Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm,
240.
[7]
Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm, 146
[8]
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 142.
[9] Dr.
Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010),
hlm, 120
[10]
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 142
[11] Dr.
Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010),
hlm, 121
[12] Dr.
Nuruddin’ltr, Ulumul Hadis (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm,
244
[13] Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. dkk, Studi
Al-Qur’an Dan Hadis (Malang:UIN Press, 2014), hlm, 204
[14]
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 143.
[15]
Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm, 148.
[16]
Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm, 148.
[17] Dr.
Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010),
hlm, 121-122
[18]
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 144
[19]Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. dkk, Studi
Al-Qur’an Dan Hadis (Malang:UIN Press, 2014), hlm, 206-208
[20]
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 144
[21]
Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm, 151.
[22]
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 145
[23]
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 145
[24]
Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm,
151-152
[25] Dr.
Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010),
hlm, 123
[26]
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 146
[27]
Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm, 154
[28] Dr.
Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010),
hlm, 123
[29] Dr.
Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1993), hlm. 142
[30]Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. dkk, Studi
Al-Qur’an Dan Hadis (Malang:UIN Press, 2014), hlm, 209
[31]
Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm,
154-155
[32]
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 147
[33]Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. dkk, Studi
Al-Qur’an Dan Hadis (Malang:UIN Press, 2014), hlm, 155-156
[34]
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 147
[35]
Ibid., hlm 148
[36]
Ibid., hlm 148
[37] Dr.
Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010),
hlm, 129-230
[38]Prof. Dr. H. Endang Soetari AD., M.Si, Ilmu
Hadits (Bandung:CV. Mimbar Pustaka, 2008), hlm, 135-137
[39]
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 148-149
[40] Dr.
Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010),
hlm, 131
[41]
Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki., Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), hlm, 64
[42]
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 149
[43]
Ibid., 150
[44]Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. dkk, Studi
Al-Qur’an Dan Hadis (Malang:UIN Press, 2014), hlm, 223
[45]
Ibid., 222
[46]
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 151
[47]Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. dkk, Studi
Al-Qur’an Dan Hadis (Malang:UIN Press, 2014), hlm, 214
[48]
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 153
[49]Ibid.,
hlm. 152
[50]Prof. Dr. H. Endang Soetari AD., M.Si, Ilmu
Hadits (Bandung:CV. Mimbar Pustaka, 2008), hlm, 141
[51]Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. dkk, Studi
Al-Qur’an Dan Hadis (Malang:UIN Press, 2014), hlm, 212
Tidak ada komentar:
Posting Komentar