Sabtu, 15 April 2017

Hadis ditinjau dari Aspek Kualitas (P-IPS E Semester Genap 2016/2017)





HADIS DITINJAU DARI ASPEK KUALITASNYA

Mohammad Syaifuddin dan Umahatika Briliana Guntama
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas E
Univerisitas Islam Negeri Mulana Malik Ibrahim Malang

Abstrack:
Dalam ilmu hadis banyak sekali yang menerangkan bahasan di dalam hadist yang sangat menarik dan yang sangat penting untuk dipelajari. Terutama adalah masalah tentang ilmu hadis. Sebagian orang melihat bahwa pembagian hadis yang sangat banyak dan tentunya beragam. Tetapi dengan berbagai macam dari pembagian dari hadis, maka timbullah kebingungan dan kesalahpahaman. Akan tetapi kebingungan dan ketidak tahuan akan menjadi mudah untuk dimengerti setelah melihat pembagian-pembagian hadis yang ternyata dilihat dari berbagai macam segi pandangan.Untuk mempermudah dalam pemahaman mengenai hadis, maka pada bahasan ini hanya akan membahas mengenai pembagian hadis dari segi kualitasnya, yakni shahih, hasan, dan dha’if.
Abstrack:
In the science of Hadith describing an awful lot of discussion in the Hadith is very interestingand very important to study.Foremost is the issue about the science of Hadith. Some people see thatDivision of the Hadith which very much and of coursevaried. But with several of the Division from the Hadith, so there is confusion and misunderstanding. But the confusion andlack of understanding will become easier to understand after seeing the Division-the Division of the Hadith which turned out to be seen in terms of a variety of views.For ease in understanding of the Hadith, so this discussion will only discuss about the Divisionofthe Hadith in terms of quality, there is a shahih, hasan, and dha’if.

Keyword: shahih, hasan, and dha’if.

A.    Pendahuluan
Semua peraturan dan ketentuan jajaran Islam adalah berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis Nabi.[1]Sudah menjadi asumsi dasar bagi masyarakat dunia Islam bahwa eksistensi hadis merupakan sumber ajaran Islam setelah al-quran, yang berfungsi sebagai tafsir (penjelas) terhadap al-quran. Dan oleh Allah swt. Nabi saw, dianugrahi hak paten sebagai otoritas untuk menetapkan hukum untuk disampaikan kepada umatnya.[2]
Pembahasan tentang kehujahan hadits meliputi nilai atau kualitas hadits dan pengalaman hadits. Kualitas hadits ada yang maqbul dan ada yang mardud. Yang dimaksud dengan maqbul menurut lughat, adalahما خوذatau مصدق . Artinya yang diambil atau yang dibenarkan, maksudnya yang diterimanya.

            Menurut istilah muhaditsin Maqbul berarti :
ماَ دَلّ دَ لِيْل على رَجْحاَنِ ثُبُو تِهِ
Yang ditunjuk oleh suatu keterangan, bahwa Nabi Muhammad SAW ada menyabdakannya, yakni adanya lebih berat dan tidak adanya”.
            Yang dimaksud dengan mardud menurut lughat adalah “yang ditolak, yang tidak diterima”.
            Menurut istilah Muhaditsin Mardud berarti :
ماَ دَلّ دَ لِيْل على رَجْحاَنِ ثُبُو تِهِ بَل يَتَسَاوى الأَمْراَنِ فِيهِ

“Sesuatu hadits yang tidak ditunjuk oleh suatu keterangan atas beratnya dan tiada ditunjuk atas berat ketiadaannya, adanta dengan tidak adanya bersamaan”.
            Dalam istilah lain:
ماَلَم تُوجَدُ فِيهِ صِفَةُ هاقُبُولِ
yang tiada didapati padanya sifat menerimanya
            Dengan demikian, hadits maqbul adalah hadits yang dapat diterima atau pada dasarnya dapat dijadikan hujah, yakni dapat dijadikan pedoman dan pengalaman Syari’at, dapat dijadikan alat istinbath dan bayan terhadap al-Qur’an, dan dapat di istinbath dengan Ushul Fiqh. Sedangkan hadits mardud adalah hadits yang ditolak atau tidak dapat dijadikan hulah.
            Ditinjau dari segi maqbul dan mardud di atas, hadis Ahad terbagi kepada: (a) Hadits Shahih, (b) Hadis Hasan (c) Hadits Dha’if. Hadits Shahih dan hasan nilainya maqbul, sedangkan hadits dha’if nilainya mardud.[3]
A.    Hadis Sahih
1.      Pengertian Hadis Sahih
Sahih menurut bahasa berartiضِدُّ السَّقِيْمِ (lawan sakit). Kata sahih juga telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti sah, benar, sempurna, sehat (tiada celanya); pasti. Pengertian hadis sahih secara definitive eksplisit belum di nyatakan oleh ulama ahli hadis dari kalangan Al-Mutaqaddimin sampai abad 3 H.[4]
Definisi sahih menurut lughat adalah lawan “saqim”, artinya sehat, lawan sakit, haq lawan batil. Menurut istilah Muhaditsin, hadis sahih adalah :
مَانَقَلَهُ عدْ لٌ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غيْرُمُعَلّلٍ وَلاَ شَادٍ ّ.
Artinya :“Hadis yang di nukil atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat, dan tidak janggal”.[5]
Para ulama telah memberikan definisi hadis sahih sebagai hadis yang telah diakui dan di sepakati kebenarannya oleh para ahli hadis. Namun berikut ini kami pilihkan suatu definisi yang bebas dari cacat dan kritik, sebagai berikut.
الحَدِ ىْثُ الصَّحِيْحُ هُوَالحَدِىْثُ الَّذِى اِتَّصَلَ سَنَهٌ بِنَقْلِ العَدْ لِ الضَّا بِطِ اِلَى مُنْتَهَا هُ وَلاَ يَكُوْنُ شَاذًاوَلاَ مُعَلَّلاً
Hadis sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya yang diriw Wayatkan oleh rawi yang adil dan dhabith dari rawi lain yang (juga) adil daan dhabith sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).[6]
2.      Syarat-syarat Hadis Sahih
Menurut Huhaditsin, suatu hadis dapat di nilai sahih, apabila memenuhi syarat berikut :
1.      Rawinya bersifat adil(‘adalat al-ruwat)
Kata adil, menurut bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus, dan jujur. Seseorang dikatakan adil apabila pada dirinya terdapat sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketakwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah agama dan meninggalkan larangannya, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala tingkah lakunya. Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan parawi yang adil dalam periwayatan sanad-hadis adalah bahwa semua parawinya disamping harus Islam dan balig, juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Senantiasa melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan semua larangannya.
b.      Senantiasa menjauhi dosa-dosa kecil.
c.       Senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai muruah.
Sifat-sifat adil para parawi dapat diketahui melalui :
a.       Popularitas keutamaan parawi di kalangan ulama ahli hadis; parawi yang terkenal keutamaan pribadinya.
b.      Penilaian dari para kritikus parawi hadis tentang kelabihan dan kekurangan yang ada pada diri parawi tersebut.
c.       Penerapan kaidah Al-Jahr wa At-Ta’dil, bila tidak ada kesepakatan diantara para kritikus parawi hadis mengenai kualitas pribadi para parawi tertentu.
Khusus mengenai parawi hadis pada tingkat sahabat, jumhur ulama ahli sunah mengatakan bahwa seluruh sahabat dikatakan adil. Sementara itu golongan Mu’tazilah menganggap bahwa sahabat-sahabat yang terlibat dalam pembunuhan Ali dianggap fisik dan periwayatannya ditolak.[7]
Menurut Ar-Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan Mubah yang menodai muru’ah, seperti makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang bukan disediakan untuknya, dan bergurau yang berlebihan.
Menurut Syahudi Ismail, kriteria-kriteria periwayatan yang bersifat adil, adalah:
a.       Beragama Islam.
b.      Berstatus mukalaf (Al-Mukallaf).
c.       Melaksanakan ketentuan agama.
d.      Memelihara muru’ah.[8]
Menurut Ibn As-Sam’ani, keadilan harus memenuhi syarat :
a.       Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat;
b.      Menjauhi dosa-dosa kecil dan dapat menodai agama dan sopan santun;
c.       Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman dan mengakibatkan penyesalan;
d.      Tidak mengikuti pendapat salah satu madzab yang bertentangan dengan dasar syara’.
Menurut Muhyi Ad-Din ‘Abd Al-Hamid, syarat keadilan rawi itu adalah:
a.       Islam, maka periwayatan orang kafir tidak diterima;
b.      Mukallaf, maka periwayatan anak yang belum dewasa menurut pendapat yang lebih sahih, tidak diterima;
c.       Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seorang fisik dan memiliki cacat pribadi.
Pengertian dan ketentuan adil dalam periwayatan berbeda dengan adil dalam kesaksian. Dalam persaksian (syahadah), dikatakan adil jika terdiri atas dua orang laki-laki yang merdeka. Adapun dalam periwayatan, dapat dikatakan adilcukup seorang saja, baik orang perempuan, budak, atau merdeka.[9]
2.      Rawinya bersifat dhabit (dhawabith al-ruwat)
Dhabit adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hapalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya.[10]
Dhabith ada dua macam :
a.       Dhabith ash-Shadri, yakni seseorang yang mempunyai daya hafal dan ingatan yang kuat, serta daya paham yang tinggi, sejak menerima sampai menyampaikan pada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja dikehendakinya.
b.      Dhabith al-kitab, yakni seseorang yang dhabith atau cermat memelihara catatan atau buku yang ia terima.
Unsur-unsur dhabith:
a.       Tidak pelupa
b.      Hafal terhadap yang didektekan kepada muridnya apabila ia memberikan hadis dengan hafalan, dan terjaga kitabnya dari kelemahan apabila ia meriwayatkan hadis dengan kitabnya; dan
c.       Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud apabila ia meriwayatkan hadis menurut maknanya saja. Rawi yang adil dan dhabith disebut tsiqat.[11]’Umarah bin Al-Qa’qa juga seorang tsiqat. Demikian pula Abu Zur’ah al-Tabi’I. Ia adalah putra ‘Amr bin Jarir bin Abdullah al-Bajali.[12]
3.      Kebersambungan Sanad (ittishal al-sanad)
Kebersambungan sanad dalam parawinya hadis, artinya bahwa seorang parawi dengan parawi hadis di atasnya atau parawi di bawahnya terdapat pertemuan langsung (liqa) atau adanya pertautan langsung dalam bentuk relasi guru-murid, mulai dari awal hingga akhir sanad.[13]
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian berikut :
·         Mencatat semua rawi dalam sanad yang diteliti.
·         Mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi.
·         Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.
Jadi, suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila :
·         Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
·         Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad  itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadis.[14]
4.      Tanpa ‘Illat (Ghair Mu’allal atau ‘adam ‘ilal)
Kata ‘illat betuk jamaknya adalah Illal atau Al-Ilal yang menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan, dan kesalahan baca.[15]Kata ‘illat secara lughawi berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan. Adapun dalam terminologi Kata ‘illat secara lughawi berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan. Adapun dalam terminologi ilmu hadis, ‘llat didefinisikan sebagai sebuah hadis yang di dalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak keshahihan hadis yang secara lahir tampak shahih. Di dalam konteks ini, Ibn Shalah mendefinisikan ’illat sebagai sebab tersembunyi yang merusak kualitas hadis, karena keberadaannya menyebabkan hadis yang pada lahirnya berkualitas shahih menjadi tidak shahih lagi. Sedangkan Ibn Taimiyah menyatakan bahwa hadis mengandung ‘illat adalah hadis yang sanadnya secara lahir tampak baik, namun ternyata setelah diteliti lebih lanjut, di dalamnya terdapat rawi yang ghalt (banyak melakukan kesalahan), sanadnya mawquf atau mursal, bahkan ada kemunginan masuknya hadis lain pada hadis tersebut.
5.      Tidak Syadz (‘adam syudzudz (Janggal))
Yang dimkasud dengan syadz atau syudzudz (bentuk jamak dari syadz) di sini ialah suatu hadis yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh parawi lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah. Ini pengertian yang di pegang oleh Asy-Syifi’I dan dikutip oleh kebanyakan para ulama lainnya.
Melihat pengertian syadz di atas, dapat dipahami bahwa hadis yang tidak syadz (ghoir syadz) adalah hadis yang matan-nya tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah.
Al-Hakim An-Naisaburi memasukkan hadis-fard (hadis yang diriwayatkan oleh seorang parawi yang tsiqat, tetapi tidak ada perawi lain yang meriwayatkannya), dalam kelompok hadis syadz. Pendapat ini tidak dipegang oleh jumhur ulama ahli hadis.[16]
Kejanggalan hadis terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang adapat diterima periwayatannya)  dengan hadis yang diriwayatkan oelh rawi yang lebih kuat (rajah) daripadanya, disebabkan dengan kelebihan jumlah sanad dalam ke-dhabit-an atau adanya segi-segi tarjih yang lain.[17]
Jadi, hadis sahih adalah hadis yang rawinya adil dan sempurna ke-dhabit-annya, sanadnya muttashil, dan tidak cacat matannya marfu’, tidak cacat dan tidak janggal.[18]
3.      Klasifikasi Hadis Shahih
Hadis shahih terbagi menjadi dua, shahih lidzatih dan shahih ligharih. Hadis shahih lidzatih adalah hadis yang memuat semua sifat-sifat penerimaan hadis pada tingkat tertinggi atau dengan kata lain memenuhui seluruh persyaratan ke-shshihan hadis. Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari berikut:
حَدِّ ثَنَاعَبْدُ اللّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَامَالِكٌ عَنِ ابْنِ شَهَابٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنُ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ سَمِحْتُ رَسُولَاللهِ – صلى الله عليه وسلم-قَرَأَفِى الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ
“dari Muhammad bin Jubair bin Mut’in dari ayahnya, dia berkata bahwa dia mendengar Rasulullah Saw., membaca surat al-Thur pada waktu shalat maghrib.”
Sedangkan hadis shahih lighayrih lebih mengacu kepada hadis yang bisa menjadi shahih karena sesuatu yang lain, atas topangan hadis lain, atau karena di dalamnya terdapat atu syarat yang kurang dipenuhi. Di antar contoh hadis shahih lighayrih ini adalah hadis yang di-takhrij oleh Imam al-Tir midzi berikut
حد ثنا ابؤ كريب حد ثنا ءبدة بن سليما ن ءن محمد  بن ءمر و ءن أبي سلمة ءن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله ءليه وسلم لو لا أن أشق ءلى أمتي لأ  كل صلا ةعنذلسواكبامرتهم
“Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW., bersabda seandainya tidak menyulitkan dengan bagi umatku niscaya aku peritahkan mereka untuk bersiwak setiap akan melaksanakan shalat”.[19]
4.      Martabat Hadis Shahih
Hadis sahih yang paling tinggi derajatnya adalah hadis yang bersanad ashahul asanid.[20]Para ulama ahli hadis membagi tingkatan hadis shahih menjadi tujuh, yang secara berurutan adalah sebagai berikut :
1.      Hadis yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Muslim (Muttafaq alaih);
2.      Hadis yang di-takhrij oleh Imam Bukhari sendiri;
3.      Hadis yang di-takhrij oleh Imam Muslim sendiri;
4.      Hadis yang di-takhrij oleh atas dasar syarat-syarat Bukhari-Muslim, akan tetapi keduanya tidak men-takhrij-nya;
5.      Hadis yang di-takhrij atas dasar syarat Bukhari, akan tetapi Bukhari tidak men-takhrij-nya;
6.      Hadis yang di-takhrij atas dasar syarat Muslim, akan tetapi Imam Muslim tidak men-takhrij-nya;
7.      Hadis yang di-takhrij oleh para imam selain Bukhari-Muslim tanpa berpegang kepada syarat-syarat keduanya.[21]
5.      Karya-karya yang Hanya Memuat Haadis Sahih
Di antara karya-karya yang hanya meemuat hadis sahih adalah :
1.      Shahih Bukhari
2.      Shahih Muslim
3.      Mustadrak Al-Hakim
4.      Shahih Ibnu Hibban
5.      Shahih Ibnu Khuzaimah[22]

B.     Hadis Hasan
A.    Pengertian Hadis Hasan
Hasan, menurut lughhat adalah sifat musybahah dari ‘Al-Husna’, artinya bagus.[23]Hasan menurut bahasa berarti :
مَاتَشْتَهِيْهِ النَّفْسُ وَتَمِيْلُ اِلَيْهِ
(sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu), sedangkan hasan menurut istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan di antara mereka ada yang menggolongkan hadis hasan sebagai hadis yang menduduki posisi diantara hadis shahih dan hadis dhaif, tetapi ada juga yang memasukkannya sebagai bagian dari hadis dhaif yang  dapat di jadikan hujjah. Menurut sejarah ulama yang mula-mula memunculkan istilah hasan menjadi hadis yang berdiri sendiri adalah Turmidzi. Untuk lebih jelasnya dibawah ini dikemukakan beberapa definisi hadis hasan.
At-Turmidzi mendefinisikan hadis hasan sebagai berikut :
كُلُّ حَدِيْثٍ يُرْوَىْ لاَيَكُوْنُ فِى اِسْنَادِهِ مَنْ يُتَّهَمُ بِالْكَذِبِوَلاَيَكُوْنُ الْحَدِيْثُ شَاذًاوَيُرْوَى مِنْ غَيْرِوَجْهِ نَحْوِدآلِكَ
“tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat parawi yang tertuduh dusta, pada matannya tidak terdapat kejanggalan, dan hadis itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan dengannya.”[24]
Defiinisi hadis hasan ialah :
مَانَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الظَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِغَيْرُمُعَلَّلٍ وَلاَ شَادٍّ
Artinya :
“hadis yang dinuklikan oleh seorah yang adil, tak begitu kokoh ingatannya, sanadnya bersambung, dan tidak dapat ‘illat serta kejanggalan.”[25]
Untuk membedakan antara hadis sahih dan hadis hasan, kita harus mengetahui bataan dari kedua hadis tersebut. Batasannya adalah keadilan pada hadis hasan disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadis sahih terdapat rawi-rawi yang benar-benar kuat ingatannya. Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai hujjah dan kandungannya dapat dijadikan penguat.[26]
B.     Syarat-syarat Hadis Hasan
a.       Sanadnya bersambung;
b.      Parawinya adil;
c.       Parawinya dhabit, tetapi ke-dhabit-annya di bawah ke-dhabit-an parawi hadis hasan;
d.      Tidak terdapat kejanggalan (syadz);
e.       Tidak ada illat (illat).[27]
C.    Klasifikasi Hadis Hasan
Urutan martabat atau derajat hadis hasan adalah :
1.      Hadis hasan dengan ahsan al-asanid, di antaranya :
a.       Bahaz ibn Hakim, Hakim ibn Mu’awiyah, Mu’awiyah ibn Haidah.
b.      ‘Amr ibn Syu’aib, Syu’aib ibn Muhammad, Muhammad ibn ‘Abdullah.[28]
2.      Hadis hasan li dzatihi dan hadis hasan li ghairihi
Hadis hasan terbagi dalam dua jenis: hadis li dzatih (hasan dengan sendirinya) dan hasan lighairih (hasan dengan topangan hadis lain).[29]
Dengan demikian, maka pengertian hadis hasan li dzatih sama dengan pengertian hadis hasan sebagaimana yang telah di uraikan di atas. Adapun yang dimaksud hadis hasan lighairih ialah hadis hsan yang tidak memenuhi persyaratan hadis hasa secara sempurna atau pada dasarnya hadis tersebut adalah Hadis Dhaif, tatapi karena ada sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau mutabi’), maka kedudukan hadis dhaif tersebut naik derajatnya menjadi hasan lighairih.
Di antara contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi tentang pintu surga di bawah kilatan pedang, sebagai berikut :
حد ثنا قتيبة حد ثنا جعفر بن سليمان عن الضبعي عن أبى عمران الجوني عن أبي موسى الأشري قال سمعت أبي بحدرة العدو يقول قال رسول الله عليه وسلم – ((إن أبواب الجنة تحت ظلال السيوب
“ Rasulullah Saw., bersabda bahwa sesungguhnya pintu surga di bawah kilatan pedang.”[30]
Ibnu Ash-Shalah, sebagaimana dikutip oleh Al-Qasimi menyebutkan bahwa hadis hasan lighairih ialah hadis yang sandaran atau sanadnya terdapat seoramg mastur (yang belum jelas terbukti keahliannya), bukan pelupa yang banyak kesalahannya, tidak terlihat sebab-sebab yang menjadikan fasiq, dan matan hadisnya diketahui (baik) berdasarkan periwayatannya hadis lain yang semakna.
Pengertian menurut Ibnu Ash-Shalah ini memperkuat uraian bahwa pada dasarnya hadis hasan li ghairih adalah hadis dhaif , yang memiliki syahid dan muttabi’ sehingga kualitasnya menjadi naik menjadi hadis hasan. Akan tetapi, hadis-hadis yang sangat lemah, seperti hadis maudu, hadis mankar, dan hadis matruk, sekalipun ada syahid dan muttabi’ kedudukannya tetap sebagai Hadis Dhaif dan tidak dapat berubah menjadi hadis hasan.[31]
D.    Kedudukan Hadis Sahih dan Hasan dalam Berhujjah
Kebanyakan ulama ahli hadis dan fuqaha bersepakat untuk menggunakan hadis sahih dan hadis hasan sebagai hujjah. Disamping itu, ada ulama yang mengsyaratkan bahwa hadis hasan dapat digunakan sebagai hujjah, bilamana memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab, sifat-sifat yang adapat diterima itu ada yyang tinggi, menengah, dan rendah. Hadis yang sifat dapat diterimanya tinggi dan menengah adalah hadis sahih, sedangkan hadis yang sifat dapat diterimanya rendah adalah hadis hasan.
Hadis-hadis yang mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah disebut hadis maqbul, dan hadis yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima disebut hadis mardud.
Yang termasuk hadis maqbul adalah :
1.      Hadis sahih, baik sahih li dzatihi maupun sahih li ghairih.
2.      Hadis hasan, baik hasan li dzatih maupun hasan li ghairih.
Yang termasuk hadis mardud adalah segala macam hadis dhaif. Hadis mardud tidak dapat diterima sebagai hujjah karena terdapat sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya atau pada sanadnya.[32]
Para ulama yang berusaha membedakan kehujjahan hadis berdasarkan perbedaan kualitas, sebagaimana yang dianut oleh kelompok pertama, mereka lebih jauh membedakan rutbah hadis-hadis tersebut berdasarkan kualitas para perawinya, yaitu berikut ini.
1.      Pada urutan pertama, mereka menempatkan hadis-hadis riwayat Mutafaq Alaih (hadis yang disepakati oleh Bukharri dan Muslim),
2.      Urutan kedua hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari;
3.      Urutan ketiga hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Muslim;
4.      Urutan Keempat hadis-hadis diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim (Sahih’ala Syart Al-Bukhari Wa Muslim);
5.      Urutan kelima hadis-hadis yang diriwayatkan menurut syart-syarat Bukhari (Sahih’ala Syart Al-Bukhari) sedang ia sendiri tidak meriwayatkannya;
6.      Urutan keenam hadis-hadis yang diriwayatkan menurut syart-syarat Muslim (Sahih’ala Syart Muslim) dan ia sendiri tidak meriwayatkannya.
7.      Urutan ketujuh, ialah hadis-hadis yang diriwayatkan tidak berdasarkan kepada salah satu syarat dari Bukhari dan Muslim.
Penempatan hadis-hadis tersebut berdasarkan urutan-urutan diatas akan terllihat kegunaanya ketika terlihat adanya pertentangan (ta’arud) antara dua hadis. Hadis-hadis yang menempati urutan pertama dinilai lebih kuat dari pada hadis-hadis yang menempati urutan kedua atau ketiga, begitu juga hadis-hadis pada urutan ketiga dinilai lebih kuat dari pada hadis-hadis pada urutan keempat atau kelima.[33]
E.     Kitab-kitab yang mengandung Hadis Hasan
Para ulama belum menyusun kitab khusus tentang hadis-hadis hasan secara terpisah sebagaimana mereka melakukannya dalam hadis sahih, tetapi hadis hasan banyak kita dapatkan pada sebagian kitab, diataranya :
·         Fami’at-Tirmidzi, dikenal sebagai sunan At-Tirmidzi, merupakan sumber untuk mengetahui hadis hasan.
·         Sunan Abu Dawud
·         Sunan At-Daruquthi.[34]

C.    Hadis Dhaif
A.    Pengertian Hadis Dha’if
Dha’if, menurut lughat artinya lemah, lawan qawi(yang kuat).
Adapu menurut Muhaditsin,
هُوَكُلُّ حَدِيْثٍ لَمْ تَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَاتُ الْقَبُوْلِ وَقَالَ أَكْثَرُالْعُلَمَاءِهُوَمَالَمْ يَجْمَعْ صِفَةَالصَّحِيْحِ وَاْلحَسَنِ
“Hadis dhaif adalah semua hadis yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadis yang diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama; hadis dhaif adalah yang tidak terkumpul padanya sifat hadis sahih dan hasan.”[35]
ماَلَم يَبْلُغُ مَرتَبَةَ دَرَجَةِ الحَسَنِ
“Hadits yang tidak sampai pada derajad hasan”
ماَلَم يَجمَعُ صِفاَتُ الحَدِيثِ الصَحِيحِ وَلاَصِفاَتُ الحَدِيثِ الحَسَنِ
Hadits yang tidak mengumpulkan sifat-sifat hadits shahih atau sifat-sifat hadis hasan”.
ماَ فَقَدَ شَرطٌ اَو اَكْثَرُ مِن شُرُوْطِ الصَحِيحِ اَوِالحَسَنِ
Hadits yang kehilangan salah satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan”.Klasifikasi Hadis Dhaif
Para ulama Muhaditsin mengemukakan sebab-sebab bertolaknya hadis dari 2 jurusan yakni jurusan sanad dan jurusan matan.
Sebab-sebab bertolaknya hadis dari jurusan sanad adalah :
1.      Terwujudnya cacat-cacat rawinya, baik tentang keadilan maupun ke-dhabit-annya.
2.      Ketidakbersambungan sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.[36]
Dari sumber lain, suatu hadis menjadi dha’if karena sanad-nya tidak bersambung-sambung (tidak muttashil), rawi murid tidak bertemu dengan rawi guru sehingga terdapat inqhita’ (gugur rawi) pada sanad. Hal ini terbagi atas sebagai berikut.
a.       Gugur sanad pertama (guru mudawin), yakni rawi yang menyampaikan hadis kepada mudawin . hadisnya disebut mu’allaq:
اَلَّذِيْ يَسْقُطَمِنْ أَوَّلِ سَنَدِهِ رَاوٍ فَأَكْثَرَ
Artinya :
“hadis yang gugur rawinya seorang atau llebih dari awal sanad.”
b.      Gugur pada sanad terakhir atau rawi pertama (sahabat), yakni tabi’in menisbahkan matan hadis kepada Nabi SAW, tanpa menyebutkan daeri sahabat mana ia menerima hadis tersebut.
Hadisnya disebut mursal :
اَلَّذِيْ يَسْكُتً مِنْ آخِرِسِنَدِهِ مَنْ بَعْدَالتَّابِعِىِ
Artinya :
“hadis yang gugur dari akhir sanadnya seseorang setelah tabi’in”[37]
Adapun cacat pada keadilan dan ke-dhabit-tan rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut :
1.      Dusta : yakni berdusta dalam membuat hadits walaupun hanya sekali dalam seumur hidup. Hadits dha’if yang karena rawinya dusta disebut hadits maudhu’.
Hadits Maudhu’ adalah :
هُوَ المُختَلَعُ المصنُوعُ المَنسُوبُ إِلى رَسُولِ الله صَلىَّ اللهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ زُوراً بُهتاَناً سَواَءٌ كاَنَ ذاَلِكَ عَمداً اَمْ خَطَاءً
“Hadis yang dicipta serta serya oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan itu dinisbahkan oleh Rasulullah saw secara palsu dan dusta, baik hal itu sengaja atau tidak ”.
2.      Tertuduh dusta, yakni rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tapi belum dibuktikan bahwa ia pernah berdusta dalam membuat hadits. Rawi ini bila brnar-benar bertaubat dapat diterima periwayatan (hadits)-nya. Hadits nya disebut matruk :
الحَدِيثُ الّذِى يَنْفَرِدُ بِراَوَيَتِهِ مَنْ يُتَّهّمُ باِلكِذِبِ فىِ الحَدِيثِ
“Hadits yang menyendiri dalam periwayatannya yang diri watankan oleh yang tertuduh berdusta dalam (periwayatan) hadits”.
3.      Fasiq, ialah kecenderungan dalam amal, bukan kecurangan dalam i’tikad, juga mereka bebuat maksiat.
4.      Lengah hafalan dan banyak salah, lengah baiasanya terjadi dalam penerimaan hadits, sedangkan banyak salah terjadi dalam penyampainnya.
Hadits yang rawinya fasiq, lengah dalam hafalan dan banyak salah, disebut hadits munkar :
الحَدِيثُ الّذِى يَنْفَرِدُ بِراَوَيَتِهِ مَن فَحُشَ غَلطُهُ اَو كَثثُرَتْ غَفْلَتُهُ اَو بَيَّنَ فِسْقُهُ بِغَيرِ الكَذِبِ
“Hadits yang menyendiri dalam periwayatan yang diriwayatkan oleh orang yang banyakkesalahannya banyak kelengahannya atau jelas kefasiqannya yang bukan karena dusta ”.
5.      Banyak faham (purbasangka), yakni salah sangka seolah-olah hadits tersebut tidak ada cacat baik pada matan maupun pada sanad. Hadits yang demikian disebut hadits Mu’allal
مَطُلِعَ فِيهِ بَعْدَ البَحثِ والتَّبعِ عَلَى وَهمٍ وَقَعَ لِرُواَتِهِ مَن وَصَلَ  مثنقَطِعٌ اَوهِدْخاَلُ حَدِيثٍ فِى حَدِيثٍ اَوْ نَحْوِ ذاَلِكَ
“Hadits yang setelah diadakan penelitian dan penyelidikan, tempat adanya salah sangka dari rawinya, dengan mewahamnkan (menganggap bersambung suatu sanad) hadits yang munqathi’ (terputus) atau memasukkan sebuah hadits pada suatu hadits yang lain, atau yang semisal dengan itu”.[38]
6.      Banyak salah
7.      Menyalahi riwayat orang kepercayaan
8.      Tidak diketahui identitasnya
9.      Penganut Bid’ah
10.  Tidak baik hafalannya[39]
Selain dari jurusan sanad dan jurusan sanad-nya, dari sumber lain juga diterangkan bahwa hal lain yang menganggap suatu hadis bersifat dha’if  adalahdari segi Matan. Penissbatan matan tidak kepada Nabi Muhammad SAW, yag terdiri atas sebagai berikut :
a.       Penisbatan matan kepada sahabat, disebut mauquf.
b.      Penisbatan matan kepada thabi’in, disebut maqthu.[40]
B.     Klasifikasi Hadis Dha’if
Para ulama berbeda pendapat dalam membagi hadis Dha’if. Sebagian ulama membaginya menjadi 81 (delapan puluh satu) macam. Dan yang lain mengatakan, hadis dha’f itu ada empat puluh Sembilan macam. Sebagian yang lain lagi mengatakan, ada 42 (empat puluh dua) macam.[41]
1.      Klasifikasi Hadis Dha’if Berdasarkan Cacat pada Keadilan dan Ke-dhabit-an Rawi
a.      Hadis Maudhu’ :hadis yang diciptakan serta dibuat oleh seseoraang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rasulullah SAW secara palsu dan dusta.[42]
b.      Hadis Matruk :hadis yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta.[43]
c.       Hadis Munkar :hadis yang diriwayatkan oleh parawi yang dhaif bertentangan dengan periwayatan yang disampaikan oleh parawi yang tsiqah.[44]
d.      Hadis Syadzdz :hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah tetapi bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang lebih tsiqah.[45]
2.      Klasifikasi Hadis Dha’if Berdasarkan Gugurnya Rawi
a.      Hadis Mu’allaq :Muallaq, menurut bahasa, adalah isim maf’ul yang berarti terikat atau tergantung. Sanad seperti ini di sebut mu’allaq yang berarti terikat dan tersambung pada bagian atas saja, sementara bagian bawahnya terputus sehingga menjadi seperti sesuatu yang bergantung pada atap daan yang semacamnya. Sementara itu menurut istilah, hadis mu’allaq adalah hadis yang seorang rawinya atau lebih gugur dari awal sanad secara berurutan.[46]
b.      Hadis Mudallas :hadis yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadis itu ternoda, atau hadis yang didalamnya terdapat penyembunyian cacat yang dilakukan oleh perawinya.[47]

c.       Hadis Munqathi : hadis munqathi’ adalah hadis yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.[48]
d.      Hadis Mursal :Marshal, menurut bahasa , isim maf’ul, yang berarti ‘yang dilepaskan’. Adapun hadis marshal mnurut istilah adalah hadis yang gugur rawi dari sanaadnya setelah tabiin, baik tabiin besar maupun tabiin kecil.[49]ada tiga macamhadis marshal :
·         Marsal jail, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabi’in) dapat diketahui dengan jelas sekali, dia tidak hidup sezaman dengan orang yang digugurkan yang memepunyai berita.
·         Mursal shahabi, yaitu pemberitaan sahabat yang didasarkan kepada Nabi Muhammad SAW atau menyaksikan apa yang dia beritakan, namun di saat Rasulullaah SAW hidup ia masih kecil atau terakhir masuknya kedalam Islam.
·         Murshal khafi, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh thabi’in, dan thabi’in yang diriwayatkan sezaman dengan sahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadis pun darinya. Hadis Murshal shahabi bisa sahih, apabila sahabat yang meriwayatkannya itu adil.[50]
e.       Hadis Mu’allaq :yaitu hadis yang gugur parawinya seorang atau lebih, yang terjadi dari awal sanad.[51]
Kesimpulan :
Dari penjelasan diatas, hadis jika di tinjau dari segi kualitasnya dapat di bagi menjadi tiga yaitu hadis sahih, hasan dan dha’if. Menurut para ulama Muhaditsin, hadis sahih adalah hadis yang dapat di jadikan sebagai hujjah dan wajib untuk diamalkan oleh umat Islam, oleh para ulama hadis shahih dibagi menjadi dua, yaitu shahih lidzatih dan shahih ligharih. Adapun kehujahhan dari hadis hasan menurut para muhaditsin bersepakat bahwa hadis hasan sama dengan hadis shahih meskipun pada tingkatan yang tidak sama, dan sebagian para ulama juga membagi kelompok hadis sahih menjadi dua kelompok yaituhasan li dzatihi dan hasan li ghairihi. Jika dalam salah satu hadis telah hilang satu syarat saja dari sekian banyak syarat dari suatu hadis shahih dan hasan, maka hadis tersebut di sebut hadis dha’if, dan hadis tersebut tidak dapat untuk dijadikan hujjah dan tidak wajib untuk diamalkan.






DAFTAR PUSTAKA

Soetari, Endang. 2008. Ilmu Hadits. Bandung. CV. Mimbar Pustaka
Mudasir. 1999. Ilmu Hadis Bandung. CV. Pustaka Setia
Khaeruman, Badri. 2010. Ulum Al-Hadis. Bandung CV. Pustaka Setia
Nuruddin. 2012.Ulumul Hadis Bandung PT. Remaja Rosdakarya
Solahudin, Agus, dkk. 2013. Ulumul Hadis. Bandung CV Pustaka Setia
Sumbulah, Umi, dkk. 2014 Studi Al-Qur’an Dan Hadis. Malang UIN Press
Ash-Shalih, Subhi. 1993.Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Jakarta Pustaka Firdaus
Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2006. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta Pustaka Pelajar
Sullaiman. M. Noor, (2005). “Isnad dan Pengaruhnya Terhadap Status Hadis”. Jurnal Hunafa. Vol. 2 No. 2, 93-106
Arifin. Johar, (2014). “Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah Kontroversial Hadis”. Ushuluddin.Vol. XXII No. 2, July 2014

Catatan:
1.      Abstrak bahasa Inggris dulu, baru bahasa Indonesia.
2.      Penulisan gelar (Prof. Dr., Ustadz, dll) dalam karya ilmiah dihilangkan, termasuk dalam footnote.
3.      Pendahuluan tidak berisi materi pembahasan, tetapi pengantar menuju materi.


[1] M. Noor Sulaiman PL, “Isnad dan Pengaruhnya Terhadap Status Hadis”, Jurnal Hunafa. Vol. 2 No. 2. Agustus 2005, hal 93
[2] Johar Arifin, “Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah Kontroversial Hadis”. Ushuluddin.Vol. XXII No. 2, July 2014, hal 145.
[3] Prof. Dr. H. Endang Soetari AD., M.Si, Ilmu Hadits (Bandung:CV. Mimbar Pustaka, 2008), hlm, 130-131
[4] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm, 143.
[5] Dr. Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010), hlm, 119
[6] Dr. Nuruddin’Itr, Ulumul Hadis (Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm, 240.
[7] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm, 146
[8] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 142.
[9] Dr. Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010), hlm, 120
[10] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 142
[11] Dr. Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010), hlm, 121
[12] Dr. Nuruddin’ltr, Ulumul Hadis (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm, 244
[13] Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. dkk, Studi Al-Qur’an Dan Hadis (Malang:UIN Press, 2014), hlm, 204
[14] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 143.
[15] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm, 148.
[16] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm, 148.
[17] Dr. Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010), hlm, 121-122
[18] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 144
[19]Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. dkk, Studi Al-Qur’an Dan Hadis (Malang:UIN Press, 2014), hlm, 206-208
[20] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 144
[21] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm, 151.
[22] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 145
[23] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 145
[24] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm, 151-152
[25] Dr. Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010), hlm, 123
[26] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 146
[27] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm, 154
[28] Dr. Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010), hlm, 123
[29] Dr. Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 142
[30]Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. dkk, Studi Al-Qur’an Dan Hadis (Malang:UIN Press, 2014), hlm, 209
[31] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 1999), hlm, 154-155
[32] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 147
[33]Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. dkk, Studi Al-Qur’an Dan Hadis (Malang:UIN Press, 2014), hlm, 155-156
[34] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 147
[35] Ibid., hlm 148
[36] Ibid., hlm 148
[37] Dr. Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010), hlm, 129-230
[38]Prof. Dr. H. Endang Soetari AD., M.Si, Ilmu Hadits (Bandung:CV. Mimbar Pustaka, 2008), hlm, 135-137
[39] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 148-149
[40] Dr. Badri Khaeruman, M.Ag., Ulum Al-Hadis (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2010), hlm, 131
[41] Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki., Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm, 64
[42] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 149
[43] Ibid., 150
[44]Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. dkk, Studi Al-Qur’an Dan Hadis (Malang:UIN Press, 2014), hlm, 223
[45] Ibid., 222
[46] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 151
[47]Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. dkk, Studi Al-Qur’an Dan Hadis (Malang:UIN Press, 2014), hlm, 214
[48] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag. dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), hlm. 153
[49]Ibid., hlm. 152
[50]Prof. Dr. H. Endang Soetari AD., M.Si, Ilmu Hadits (Bandung:CV. Mimbar Pustaka, 2008), hlm, 141
[51]Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag. dkk, Studi Al-Qur’an Dan Hadis (Malang:UIN Press, 2014), hlm, 212

Tidak ada komentar:

Posting Komentar