MANTUQ DAN MAFHUM, MUJMAL DAN MUBAYYAN DALAM KAJIAN USHUL
FIQH
Zahrotul Azizah, Agis Maolana Patoni, Fitriyatus Sholihah, Andriyanto
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
e-mail: zahrotulazizah2@gmail.com
Abstract :
In Islamic law would not necessarily be made directly without processing and extracting source of law must be based on legal principles that have been determined by the scholars and mujtahids Muslims. Rule of law in the language form such as mantuq, mafhum, mujmal and mubayyan which are discussed in depth in the study of usul fiqh. Mantuq, mafhum, mujmal and Mubayyan basically wanted to give an understanding that the existing law could be interpreted as true and correct. With istinbat method in which there are pembahasa mantuq, mafhum, mujmal and mubayyan will be very beneficial for every individual in the understanding of Islamic law appropriately.
Abstrak :
Dalam hukum islam tentunya tidak serta merta bisa
dibuat langsung tanpa pengolahan dan penggalian sumber hukum yang harus
berdasarkan pada kaidah-kaidah hukum yang telah ditentukan oleh para ulama dan
mujtahid umat islam. Kaidah hukum bahasa diantaranya berupa mantuq, mafhum,
mujmal mubayyan yang penjelasanya dibahas secara mendalam dalam kajian ushul
fiqh. Mantuq, Mafhum, Mujmal dan Mubayyan pada dasarnya ingin memberikan
pemahaman agar hukum yang ada bisa diintepretasikan secara benar dan tepat.
Dengan metode istinbat yang didalamnya terdapat pembahasa mantuq, mafhum,
mujmal dan mubayyan akan sangat bermanfaat bagi setiap individu dalam memahami
hukum islam secara tepat.
Keyword: Mantuq, Mafhum, Mujmal,
Mubayyan
A. PENDAHULUAN
Islam sebagai nama dari sebuah agama tentunya tidak
serta merta diturunkan begitu saja tanpa
adanya maksud dan tujuan yang terkandung didalamnya, melainkan islam adalah
sebagai agama yang artinya kepatuhan dan penyerahan diri. Bagi seorang muslim
tentunya untuk patuh dan melaksanakan kepatuhan tersebut tidaklah semata-mata
memohon perlindungan kepada Allah tetapi juga mematuhi dan mentaati setiap
takdir yang diberikan kepada umat-Nya.[1]
Penulis berpendapat jikalau bukti seorang hamba mengimani
Allah selaku Tuhan agama Islam tentunya percaya bahwa ketentuannya sudah
terletak dalam hukum-hukumnya yang terdapat pada sumber hukum umat manusia
yaitu Al-Quran dan Al Hadis.
Hukum islam sebagai keseluruhan dari perintah Allah yang
wajib diturut oleh seorang muslim yang bertujuan untuk membentuk manusia
menjadi tertib, aman dan selamat. Berdasarkan hal tersebut, maka
ketentuan-ketentuannya selalu berupa perintah Allah. Perintah tersebut memuat
kewajiban, hak, dan larangan yang harus dilakukan oleh setiap muslim dalam
kehidupannya sehari-hari.[2]
Karena hukum islam memiliki tujuan untuk memenuhi keperluan manusia yang
bersifat primer, sekunder dan tersier.[3]
Tujuan lain dari hukum islam adalah bahwa hukum islam adalah untuk mencapai
kehidupan yang bahagia dan sejahtera.[4]
Dalam memahami hukum tentunya tidak langsung bisa
diinterpretasikan dengan seenaknya namun ada objek ushul fiqh yang mengenai
menjelaskan metodologi penetapan hukum-hukum tersebut.[5]
Khususnya dalam ushul fiqh ini dibahas tentang metode istinbat yang berarti
upaya menarik hukum dari Al-Quran dan sunnah dengan ijtihad.[6]
Secara garis besar metode istinbat dapat dibagi kepada
tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasid (tujuan) dan segi beberapa
dalil yang bertentangan.[7]
Maka dengan alasan inilah penulis sangat yakin akan pentingnya memahami
al-quran dengan membahas tentang mantuq, mafhum, mujmal dan mubayyan yang
termasuk metode istinbat dalam kaidah bahasa yang sekiranya bisa memberikan
manfaat bagi pembaca untuk memahami hukum secara benar dan tepat yang terdapat
dalam sumber hukum islam.
B. MANTHUQ DAN MAFHUM DALAM KAJIAN USHUL FIQH
1. Pengertian Manthuq
Suatu lafadzh bila
ditinjau dari cara menunjukkan suatu makna, menurut Syafi’iyah terbagi dalam mantuq
dan mafhum.[8]
Manthuq artinya “yang diucapkan”, sedang menurut istilah ialah suatu makna yang
diperoleh dari suatu lafal atau susunan lafal itu sendiri.[9]
Manthuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri. Manthuq merupakan pengertian yang ditunjukkan oleh lafal di tempat
pembicaraan.[10]
Tegasnya, manthuq ialah makna atau arti yang tersurah.[11]Definisi
tersebut mengandung arti bila kita memahami suatu hukum menurut apa yang
tersurat secara jelas dalam lafadz itu, maka pemahaman tersebut disebut secara manthuq.
Umpamanya firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 23:
“Jangan
kamu mengawini) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang
telah kamu campuri”
Dalam ayat tersebut dijelaskan menurut apa adanya yakni:
haram mengawini anak tiri dengan dua ketentuan, yaitu anak itu berada di bawah
asuhan suami dan ibu dari anak tiri telah digauli.[12]
Jadi manthuq ini apa yang
sedang dibicarakan ditunjukkan langsung oleh lafadz, tanpa ada maksud lain
dalam lafadz tersebut, atau suatu makna yang ditunjukkan oleh lafal pada tempat
yang dibicarakan. Manthuq ini disebutkan secara langsung dalam sebuah lafadz
(makna tersurat).
2. Pembagian Manthuq
Manthuq dibagi menjadi dua:
a. Manthuq nash (Manthuq sharih), yaitu lafal atau susunan
yang jelas dan tidak mungkin ditakwilkan lagi.[13]Mantuq
nash merupakan lafadz yang tidak mungkin di arahlkan pada makna selain makna
asli makna tersebut. [14]Atau merupakan manthuq yang penunjukannya terhadap hukum muncul dari
istilah lengkap dan resmi digunakan[15],
contoh:
“Maka
hendaknya berpuasa tiga hari...” (QS AL-Ma’idah: 89)
Pada ayat tersebut tidak dapat dimaknai lain, selain tentang kewajiban
berpuasa tiga hari (jelas lafadz sesuai dengan maknanya, tidak ada makna lain).
b. Manthuq dhahir (Manthuq ghairu sharih), ialah suatu lafal
atau susunan yang menunjukkan suatu makna, tetapi makna ini bukannya yang
dimaksud.[16]
Atau merupakan manthuq yang penunjukannya tidak muncul dari istilah yang resmi
untuk itu, tetapi dari kelazimannya.[17]
Atau merupakan lafadz yang masih mungkin dipalingkan kepada arti yang lain,
selain dari pada arti harfiyahnya. Seperti pada lafadz:
“Dan langit itu Kami bangun dengan
tangan...”(QS. Ad-Dzariyat: 47)
Menurut dhahirnya lafadz: aidin
jama’ dari yadun artinya tangan. Tetapi mustahil kalau Allah
mempunyai tangan, maka ditakwilkan kepada arti kekuasaan atau kekuatan.[18]
Sehingga tangan yang dimaksud dalam ayat tersebut, lazimnya merupakan
kekuasaan Allah.
Ada tiga dilalah yang
disamakan dengan kedudukan Al-Manthuq, yaitu:
1) Dilalatul Iqtida’, yaitu suatu lafadz yang menunjuk kepada
sesuatu yang tidak disebut, yang kebenaran pembicaraan tergantung pada sesuatu
yang tidak disebut itu, baik kebenaran menurut syara’ atau kebenaran menurut
akal. Contoh kebenaran syara’ tergantung pada sesuatu yang tidak disebut, misalnya
hadist:
“Diangkat dari umatku (perbuatan) tersalah dan (karena) lupa apa-apa yang
mereka dipaksakan kepadanya.”
Mengangkat sesuatu yang
telah terjadi adalah tidak mungkin. Karena itu supaya pembicaraan itu benar dan
tepat, harusnya ditakdirkan sesuatu yang tidak disebut, misalnya lafadz:
istmun (dosa) atau mu’akhidah (siksa).
Sehingga, semestinya bunyi hadist itu menjadi:
“Diangkat dari ummatku dosa/siksa (perbuatan) tersalah dan (karena) lupa
dan apa-apa yang mereka dipaksakan kepadanya.”[19]
Agar hadist tesebut
menjadi tepat menurut syara’, maka perlu ditentukan sesuatu yang tidak disebut
dalam dalil tersebut, seperti dosa dan siksa. Contoh di atas merupakan contoh
kebenaran menurut syara’ tergantung pada sesuatu yang tidak disebut.
2) Dilalatul Ima’ yaitu suatu sifat disertakan dengan hukum, yang
sekiranya sifat disertakan dengan hukum, yang sekiranya sifat itu buka ‘ilat
bagi hukum tersebut, tentu menyebutnya bersama hukum tidak pada tempatnya dan
tidak ada gunanya. Contoh ayat:
“Lelaki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya...” (Surat Al-Maidah: 38)
Ayat ini menunjukkan bahwa mencuri menjadi ‘ilat
untuk hukuman potong tangan.
3) Dilalatul Isyarah, yaitu suatu lafadz menunjukkan kepada sesuatu
yang tidak dimaksudkan oleh pembicaraan, tetapi ia merupakan kelaziman
(kemestian) dari pembicaraan itu. Misalnya ayat:
“Tidak ada satupun dosa (atau mahar) atas kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan mahar...” (Surat Al-Baqarah: 236)
Ayat ini menunjukkan boleh
menceraikan isteri sebelum disetubuhi dan sebelum ditetapkan baginya
maskawinnya. Suatu kelaziman bagi hukum tersebut, bahwa akad nikah sah
meskipun tidak disebutkan maskawain dalam akad, karena baru ada setelah
adanya akad nikah secara sah. Sah akad nikah yang tidak disebut dalamnya
maskawin merupakan Dilalah Isyarah dari ayat tersebut.[20]
c. Pengertian Mafhum
Secara bahasa mafhum berarti “yang diucapkan”, sedang menurut istilah ialah
suatu makna yang tidak diperoleh dari suatu lafal atau susunan, melainkan
diperoleh dari pemahaman terhadap ucapan lafal tersebut.[21]
Mafhum merupakan sesuatu yang ditunjuk oleh lafal, tapi bukan dari ucapan lafal
itu sendiri.[22]
Mafhum ialah apa yang ditunjukkan oleh lafaz tentang apa yang tidak
dibicarakan.[23]
Dalam sumber lain disebutkan bahwa mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan
oleh lafadz tidak di tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan
tersebut.[24]Tegasnya
mafhum adalah makna atau arti yang tersirat. Contoh mafhum misalnya:
“Dan janganlah engkau katakan kepada keduanya (ibu bapakmu) perkataan
“ah”...”(QS Al-Ira’: 23)
Dalam ayat tersebut
terdapat pengertian manthuq dan mafhum. Manthuq ayat ini menunjukkan haram
mengatakan “ah” kepada orangtua dan mafhumnya menunjukkan haram (juga)
“memukul” mereka. Haram memukul orangtua tidak ditunjukkan oleh lafadz pada
ayat ini, tetapi ditunjukkan oleh mafhum, yang dapat dipahami dari padanya.[25]
Kita dapat memahami, kalau ucapan uff= cih/ah yang begitu kecil saja
tidak boleh kita tujukan kepada orangtua, pastinya memukul atau menyiksa kedua
orangtua sudah jelas tidak diperbolehkan.
d. Pembagian Mafhum
Dilalah Mafhum dibagi menjadi dua:
1. Mafhum Muwafaqah: yaitu
pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafadz yang disebutkan.[26]
Mafhum muwafaqah adalah apabila hukum yang dikandung senada dengan bunyi
lafadznya.[27]
Sumber lain menjelaskan Mafhum Muwafaqah yaitu suatu petunjuk kalimat yang
menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah
yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang
tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Hal ini dapat diketahui
dengan pengertian bahasa, tanpa memerlukan pembahasan yang mendalam ataupun
ijtihad.[28]
Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua, yakni:
a. Fahwal Khithob, yakni apabila hukum yang difahamkan lebih berat dari
bunyi lafadznya. Misalnya, janganlah kamu berkata “ah” kepada kedua orangtuamu.
Maka secara fahwal khithob kita juga dilarang memukul orangtua. Karena memukul
lebih berat daripada berkata “ah”.
b. Lahnul Khithob, yakni apabila hukum yang difahamkan itu sama atau
seimbang dengan bunyi lafadznya. Misalnya, dilarang memakan harta anak yatim.
Secara Lahnul Khithob kita juga dilarang membakar harta anak yatim, karena keduanya
sama-sama merusak/ melenyapkan harta anak yatim.[29]
2. Mafhum Mukholafah, adalah apabila hukum yang difahamkan berbeda atau
kebalikan dengan apa yang diucapkan (bunyi lafadznya).[30]
Mafhum Mukholafah merupakan petunjuk lafadz yang menunjukkan bahwa hukum yang
lahir dari lafadz itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafadz
itu, yang hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahir dari manthuqnya, karena
tidak adanya batasan (kayd) yang berpengaruh dalam hukum.[31]
Misalnya:
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan
shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakannya dan
tinggalkanlah jual beli” (QS Al-Jumuah: 9)
Dari ayat tersebut dapat
kita ketahui bahwa diperbolehkan jual beli di hari jum’at sebelum Muadzin
mengumandangkan adzan dan sesudah mengerjakan shalat jum’at.
Mafhum mukholafah dibagi menjadi
sepuluh, antara lain:
“Dan barang siapa diantara kamu
tidak sanggup mengawini perempuan merdeka lagi beriman (dalam hal perbelanjaan)
maka tidaklah mengapa menikahi budak perempuannya yang ia miliki.(QS An-Nisa’:
25)
Menyifatkan hamba sahaya
wanita dengan yang beriman, maka mafhumnya haram kawin dengan hamba
sahaya wanita yang kafir.[33]Ayat
tersebut menunjukkan bahwa diperbolehkan menikahi budak dengan syarat budak
tersebut beriman.Sebaliknya tidak diperbolehkan menikahi budak yang tidak
beriman.
b. Mafhum ‘illat, yaitu
menghubungkan hukum sesuatu menurut ‘illatnya.[34]
Contonya dalam hadist Nabi: Setiap minuman yang memabukkan adalah haram. Berarti
mafhum mukholafahnya adalah bahwa minuman yang tidak memabukkan adalah tidak
haram.[35]
c. Mafhum Syarat, yaitu berlakunya
kebalikan hukum sesuatu yang disangkutkan dengan syarat, apabila syarat itu
tidak terdapat padanya.[36]
Misalnya firman Allah SWT QS An-Nisa’: 100
“Apabila kamu bepergian maka
tidaklah menghalangi kamu untuk menqoshor shalat.”
Artinya
secara manthuq kita diperbolehkan menqoshor shalat dengan syarat harus
bepergian, maka kebalikannya (mafhum mukholafahnya) kita tidak boleh menqoshor
shalat diluar sebab bepergian (apabila tidak bepergian)
d. Mafhum Adad, yaitu menghubungkan
hukum sesuatu, kepada bilangan tertentu.[37]
Di sini ketentuan manthuqnya berupa bilangan. Misalnya QS Nur: 4
“Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dari mereka tidak dapat
mendatangkan saksi, maka deralah mereka itu delapan puluh kali.”
Manthuqnya
adalah diperintah memukul delapan puluh kali, maka mafhum mukholafahnya adalah
kita dilarang mendera mereka lebih dari delapan puluh kali (jumlah yang telah
ditentukan).[38]
e. Mafhum ghoyah, yaitu mafhum yang
difahami dari makna ghoyah (sampai/hingga). Atau merupakan berlakunya hukum
yang disebutkan sampai batas waktu tertentu, dan berlaku kebalikan hukum
setelah batas waktu tersebut berlalu. Contohnya ayat:
“Dan makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar...” (QS Al-Baqarah: 187)
Ayat
ini menunjukkan boleh makan dan minum pada waktu malam bulan Ramadhan
sampai terbit fajar, mafhumnya haram makan dan minum
setelah terbit fajar.[39]
f. Mafhum Hasher, yakni mafhum dari
lafadz yang mengandung hasher (pembatasan yang khusus).[40]
Misalnya QS Al-Maidah: 75
“Tidaklah Al masih Ibnu Maryam
itu kecuali hanya seorang Rasul”
Jadi
hubungannya dengan masalah Ketuhanan, Isa al Masih itu hanyalah seorang Rasul,
bukan malaikat, anak Tuhan dan atau yang lainnya.
g. Mafhum Haal, yakni mafhum yang
diambil dari lafadz yang menunjukkan keadaan sesuatu. Misalnya QS Al-Isra’: 37
“Janganlah kamu berjalan di atas
muka bumi dengan sombong”
Manthuqnya
dilarang berjalan sombong, maka mafhum mukholafahnya berarti kitadiperintah
untuk berjalan di muka bumi dengan sopan santun.
h. Mafhum zaman, yakni mafhum yang
diambil dari lafadz yang menunjukkan zaman (waktu). Misalnya QS Al-Baqarah: 197
“Haji itu pada bulan-bulan
tertentu”.
Manthuqnya
kita diperintah melaksanakan haji pada bulan tertentu (Syawal, Dzul Qo’dah,
Dzul Hijjah), maka berarti kita dilarang menunaikan haji di luar bulan yang
ditentukan itu.
i. Mafhum makan, yaitu mafhum yang
diambil dari lafadz yang menunjukkan tempat tertentu. Misalnya Nabi SAW
bersabda:
“Bumi itu seluruhnya Masjid (tempat
sujud/shalat) selain kamar mandi dan pekuburan. (HR. Abu Daud)
Manthuqnya
selain kamar mandi dan kuburan boleh dijadikan sebagai tempat shalat, sedangkan
mafhum mukholafahnya adalah tidak boleh menjadikan kamar mandi dan kuburan
untuk masjid/ tempat sujud.
j. Mafhum Laqob, yaitu mafhum yang dipahami dari makna nama atau
barang.[41]Atau
menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fi’il. Seperti sabda Nabi SAW:
“Abu Bakar masuk surga, Umar
masuk surga, Ustman masuk surga, dan Ali masuk surga sampai-sampai bilangan itu
sepuluh.” (Hadist Hasan)
e.
Kehujjahan Mafhum
Untuk mafhum muwafaqah semuanya bisa
dijadikan hujjah. Hampir semua ulama’ berpendapat demikian kecuali golongan
zhahiriyah. Semua mafhum mukholafah bisa dijadikan hujjah kecuali mafhum laqab.
Demikian
pendapat kebanyakian ulama’ ushul, mengkhususkan sesuatu untuk disebut,
tentulah ada faedahnya. Kalau tidak demikian, apa gunanya disebutkan?. Juga
dapat diketahui dalam bahasa Arab, bahwa apabila sesuatu mempunyai dua sifat
dan yang disebutkan hanya salah satunya, maka yang dikehendaki, ialah sifat
yang disebutkan, bukan sifat yang lainnya.
Berlainan
dengan pendapat di atas, maka Abu Hanifah dan Ibn Hazm dari golongan zhahiriyah
mengatakan, bahwa semua mafhum mukholafah tidak bisa menjadi hujjah (pegangan).
Menyebutkan salah satu sifat, tidak berati meniadakan sifat-sifat lainnya.[42]
Adapun
syarat-syarat berhujjah dengan mafhum mukholafah antara lain:
a. Mafhum mukholafahnya itu tidak
bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, seperti manthuq dan mafhum
muwafaqah.[43]Misalnya
Nabi SAW bersabda:
Sesungguhnya wajib mandi apabila
keluar air (mani) (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Berdasarkan
hadist tersebut dapat difahami secara mukholafah bahwa apabila bersenggama
tidak sampai keluar mani maka tidak wajib mandi. Mafhum tersebut bertentangan
dengan hadist Nabi SAW[44]:
Apabila ketemu dua organ khitan,
maka sungguh wajib atasnya mandi (HR.Muslim)
Dalam tradisi Arab organ yang biasa
dikhitan adalah kelamin lelaki dan kelamin perempuan. Memang dengan keluarnya
air mani itu mewajibkan mandi (secara manthuq), namun hal ini tidak bisa
diartikan apabila bersenggama tanpa mengeluarkan air mani lalu tidak
berkewajiban mandi. Orang yang bersenggama walaupun tanpa mengeluarkan mani,
tetap harus mandi wajib.
b. Dalil yang difahami tidak untuk
menunjukkan imtinan (kenikmatan sesuatau)
Apabila
dalam dalil yang difahami secra mukholafah itu memberi petunjuk tentang
kenikmatan sesuatu maka mafhum mukholafah tidak dapat dipakai sebagai hujjah.
Misalnya firman Allah SWT QS. An-Nahl ayat 14:
Dan Dialah yang menundukkan lautan
untukmu, agar supaya kamu dapat memakan daripadanya dagingnya (ikan) yang
segar.
Secara
mafhum mukholafah maka ikan yang tidak segar bukan untuk dimakan. Kata thoriyan
(segar) menunjukkan kenikmatan, maka pemahaman secara mukholafah yang demikian
itu tidak dapat diterima/ digunakan.
c. Dalil itu tidak dimaksud untuk
menjelaskan sesuatu yang berlaku pada saat tertentu.
Apabila
dalil yang difahami itu dalam rangka menjelaskan keadaan tertentu yang saat
dalil itu dititahkan berlaku, maka mafhum mukholafah tidak bisa digunakan.[45]
Misalnya firman Allah SWT QS. Al-Baqarah: 130
Janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda
Kebiasaan orang
jahiliyah saat ayat ini diturunkan adalah melakukan riba berlipat ganda. Maka
mafhum mukholafahnya berarti boleh melakukan riba asal tidak berlipat ganda,
dan mafhum ini tidak boleh digunakan.
d. Dalil itu tidak ada lafadz yang
mengikuti yang lain.
Bila
ada lafadz yang diikutkan kepada dalil itu maka mafhum mukholafahnya tidak
boleh digunakan. Misalnya Allah SWT berfirman QS. Al-Isro’ 31:
Janganlah kamu membunuh anak-anakmu
karena takut miskin.
Takut
miskin tersebut hanya kata tambahan (tidak berdiri sendiri) maka tidak boleh
dimafhumi mukholafah bahwa boleh membunuh anak-anak asal tidak karena takut
miskin.
e. Dalil itu tidak dimaksudkan atas
ghalibnya (atas umunya demikian)
Apabila
dalil itu dilafadzkan dengan sesuatu yang sudah menjadi ghalib, maka mafhum
mukholafahnya tidak dapat dipergunakan. Misalnya QS An-Nisa’ 23:
Diharamkan...Anak-anak isterimu yang
ada dalam genggaman (pemeliharaan)mu
Sudah
menjadi ghalib atau umumnya bahwa anak-anak dan isteri itu menjadi beban
pemeliharaan suami si istri (ayah tiri). Maka dengan dalil tersebut tidak boleh
dimafhumi mukholafah bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya
lalu boleh dinikahi oleh si ayah tiri itu.[46]
C. MUJMAL DAN MUBAYYAN DALAM KAJIAN USHUL FIQH
1.
Pengertian Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci.[47]
Menurut istilah tentang mujmal ada beberapa pendapat:
“Al-mujmaalu huwallafdzul ladzii la yadzullu bi shighotihi alal murodi
minhu”
Artinya:
Al-Mujmal ialah lafadz yang dengan sigatnya tidak (jelas
menunjukkan yang dimaksudkan dari padanya.[48]
“Al-mubayyanu huwallafdzu al-ladzii
yadullu bishighotihi ‘alal murodhi minhu”
Artimnya:
Al-mubayyan ialah Lafadz yang belum jelas karena masih bersifat garis
besar.[49]
Mujmal ialah sesuatu yang
belum jelas maksudnya dan untuk mengetahuinya diperlukan penjelasan dari yang
lainnya. Penjelasan ini disebut al-bayyan. Ketidakjelasan ini disebut
ijmal.[50]Lafadz
dalam sebuah dalil (Al-Qur’an dan Hadist) ada yang masih bersifat global,
lafadz tersebut belum menjelaskan dengan terang, sehingga menimbulkan
pertaanyaan. Maka dari itu diperlukan diamalkan.
Mengenai hukum lafadz
mujmal dikatakan:
“Wahukmul mujmalit tawaqqufu fihi ilaa
ayyufassaro”
Artinya
:Hukum Al-Mujmal ditangguhkan sampai ia ditafsirkan
(dijelaskan maksudnya).[51]
Bila terdapat lafadz yang
mujmal dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Maka kita tidak boleh menggunakannya
sebelum ada penjelasan tentang lafadz tersebut.
Sedangkan mubayyan ialah
suatu lafal yang terang maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya.[52]
“Al-Mubayyan ialah lafadz yang dengan sigatnya (jelas) menunjukkan yang
dimaksud dari padanya.”
“Al-Bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari kedudukan yang samar-samar kepada
kedudukan yang jelas.” Dalam bahasa Indonesia,
al-bayan dapat kita terjemahkan dengan penjelasan.[53]
2. Sebab-sebab adanya Ijmal
Ijmal terdapat dalam:
a. Kata-kata tunggal (ifrad), dalam kata-kata tunggal, ijmal adakalanya
karena:
1). Tafsir kata-kata atau pengambilannya, seperti qaala
dari qaulun (perkataan) atau qailulah (tidur siang). Juga seperti mukhtar bisa
menjadi isim fail atau isim maf’ul.
2). Aatu lafal untuk menunjukkan beberapa arti
(musytarak)
3). Lafal yang digunakanuntuk menunjukkan istilah syara’
yang tertentu seperti lafal, shalat, zakat, puasa dan lain-lain.
Contoh ijmal, dalam kata-kata tunggal:
Isim : 1) Qur’un dengan
pengertian suci atau datang bulan
2) jaun dengan pengertian hitam atau
putih
3) naahil dengan pengertian dahaga
atau segar
Fiil : 1) Qaala
dengan pengrtian berkata atau tidur siang
2) khataba dengan pengertian berpidato
atau meminang
3) ‘as’asa dengan pengertian menghadap
atau membelakangi
Huruf : 1) Waw
yang menunjukkan huruf athaf (penghubung) atau huruf isti’naf
(Menunjukkan permulaan kata), atau
sebagai hal.
2) ilaa, yang menunjukkan ghayah atau
berarti beserta (ma’a)
b. Susunan kata-kata (jumlah,
tarkib), contoh:
...”Atau memaafkan orang yang mempunyai ikatan perkawinan”. (QS.
Al-Baqarah: 237)
Yang mempunyai ikatan perkawinan
bisa diartikan wali atau suami.[54]
Secara keseluruhan, nada dari ayat ini menekankan bahwa perceraian tidak yang
dilakukan oleh perselisihan melainkan dengan kemuliaan dan kebaikan hati yang
dilakukan oleh wali atau suami kepada istri (orang yang mempunyai ikatan
nikah).[55]
3.
Macam-macam penjelasan
a. Penjelasan dengan kata-kata
(penjelasan penguat), seperti puasa tamattu’dalam ayat :
“ Maka wajib tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi bila kamu
telah pulang kembali; itulah sepuluh hari yang sempurna...(QS Al-Baqarah: 196)
Kalimat “itulah sepuluh
hari yang sempurna” penjelasan penguat bagi tiga dan tujuh hari
yang telah ditegaskan sebelumnya.[56]
b. Penjelasan dengan perbuatan, seperi penjelasan Nabi tentang mengadakan
shalat, haji dan lain sebagainya.
c. Penjelasan dengan tulisan, seperti penjelasan Nabi tentang batas dan
macam harta yang terkena zakat dan juga diyat bermacam-macam anggota badan.
d. Isyarat, Nabi mengangkat kesepuluh jarinya tiga kali. Kemudian nabi
mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Dimaksudkan,
bahwa bulan dalam Arab itu kadang-kadang berisi 30 hari atau 29 hari.[57]
e. Tidak berbuat/ penjelasan dengan meninggalkan, seperti Nabi tidak
berwudhu lagi setelah makan daging yang telah dimasak. Mula-mula Nabi SAW
mengambil whudu setelah memakan makanan yang dimasak, hal ini menunjukkan bahwa
memakan makanan yang dimasak membatalkan wudhu. Kemudian meninggalkan wudhu
setelah memakan makanan yang dimasak, artinya Nabi SAW tidak mengambil wudhu
sesudah memakannya. Ini merupakan penjelasan bahwa memakan makanan yang dimasak
tidak membatalkan wudhu.[58]
f. Diam, tidak berkata. Tatkala Nabi menerangkan tentang wajibnya haji, ada
seorang sahabat menanyakan apakah kewajiban tersebut tiap-tiap tahun. Nabi diam
tidak menjawab. Berati kewajiban haji tidak tiap tahun.
g. Dengan dalil-dalil yang mentakhsiskan.
1) dari waktu mengerjakan perintah
Menunda penjelasan dari
waktu mengerjakannya tidak mungkin. Artinya sampai waktunya belum ada
penjelasan. Kalau penundaan ini terjadi, berati membolehkan adanya kepercayaan
atau perbuatan yang salah, karena belum dijelaskan. Hal ini tidak mungkin.
Sebagai contoh ialah urut-urutan wali dalam pernikahan. Menurut sebagian ulama
tidak wajib memperhatikan urut-urutan wali dari yang terdekat sampai yang
terjauh. Karena itu apabila wali yang dari jauh menikahkan, padahal ada yang
dekat, maka pernikahan sah. Kalau urut-urutan tersebut diharuskan tentulah
dijelaskan oleh Rasulullah SAW
2) dari waktu turunya perintah
Menunda penjelasan dari
waktu turunnya perintah bisa terjadi, artinya pada waktu dikeluarkannya
perintah belum ada penjelasan. Alasan:
“Apabila kami telah selesai
membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS. AL-Qiyamah: 18-19)
Lafal tsumma
(kemudian) berarti datang kemudian dengan ada perselangan waktu (ra’qib dan
tarakhi).[59]
4. Contoh-contoh Mujmal Mubayyan
a. Menghubungkan hukum haram atau halal kepada
benda orang a’yan seperti :
Artinya :
“Diharamkan atasmu ibumu”
(An-Nisa ayat 23)
“Diharamkan atasmu bangkai”
(Al-Maidah ayat 3)
Ada yang mengatakan ayat
teresebut mujmal, karena ibu dan bangkai (a’yan) tidak bisa disifati dengan
haram atau halal. Dalam keadaannya, yang bisa disifati demikian adalah (mahkum
fih), yaitu perbuatan kita seperti tidur, makan, melihat, menjual (dalam contoh
ibu). Sedang perbuatan-perbuatan tersebut tidak disebutkan . Karena itu perlu
penjelasan, mana yang diharamkan dan mana yang tidak. Menurut pendapat lain,
kedua ayat tersebut tidak mujmal. Pendapat inilah yang kuat. Dari penyelidikan
bahasa, ternyata bahwa yang dimaksud perkataan yang semacam itu ialah
perbuatan. Dalam soal bangkai yang dimaksud ialah memakannya, sedang dalam
contoh ialah mengawininya.[60]
b. Perkataan yang meniadakan sesuatu perbuatan,
seperti :
Artinya :
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali” (H.R Ahmad dan Tirmidzi)
“Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca
Fatihah” (H.R Muslim)
Menurut golongan ulama, kedua hadis tersebut
mujmal, karen ayang ditiadakan ialah perkawinan dan solat, padahal keduanya dapat
terwujud. Jadi, yang dimaksudkan, ialah meniadakan sifat-sifat (hal-hal) yang
tidak disebut dalam kedua hadis tersebut, yaitu tidak sahnya atau tidak
sempurnanya. Untuk mengetahui mana sifat tersebut yang dikehendaki, masih
diperlukan penjelasan. Pendapat lain kedua hadis tersebut mujmal. Pendapat
inilah yang benar. Nabi bukan meniadakan ujudnya perbuatan, tetapi
meniadakannya menurut syariat (meniadakan hukumnya). Dengan perkataan lain yang
ditiadakan ialah sahnya. Seolah-olah dikatakan perkawinan tidak sah menurut
syariat kecuali dengan wali. Demikian juga solat tidak sah jika tidak membaca
al-fatihah.[61]
D. PENUTUP
Mantuq secara bahasa adalah
“sesuatu yang diucapkan”, sedangkan
menurut istilah yaitu pengertian harfiah yang ditunjukkan oleh lafadz
yang diucapkan itu sendiri. Manthuq sendiri terbagi menjadi nash, zahir dan
mu’awwal.
Mafhum secara bahasa adalah
sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah
“pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum
muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah). Mafhum dapat dibagi
kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Dalam mafhum
muwafaqah terdapat (fahwal khitab dan lahnal khitab). Sedangkan dalam Mafhum
mukhalafat terdapat (mafhum al-washfhi,
illat, ghayah, laqaab, hasr dan syarat).
Mujmal adalah
lafazh atau kata yang tidak jelas (global) artinya. Kedua disamping tidak jelas
artinya, tidak pula terdapat petunjuk atau qorinah yang menjelaskan arti global
dari kata tersebut. Jadi ketidak jelasan atau kesamaran arti kata al-Mujmal
berasal dari kata itu sendiri bukan karena factor eksternal dari luar kata
tersebut. Ketiga, jalan untuk mengetahui maksud Mujmal tidak dalam batas
kemampuan akal manusia, tetapi satu-satunya jalan untuk memahami adalah melalui
penjelesan dari yang me-mujmalkan atau dalam hal ini Syari’.
Mubayyan adalah
apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau setelah
adanya penjelasan. Tidak boleh ada penundaan bayan dari waktu pelaksanaannya.
Alasannya, tidak mungkin Allah SWT mengungkap suatu hukum yang mujmal kemudian
masuk waktu pelaksanaannya, sementara bayan terhadap hukum yang mujmal itu
belum ada. Hal ini tidak pernah dan tidak akan dijumpai dalam syari’at Islam.
E. DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin. 1932 H. Ushul Fiqh. Jakarta : Departemen Agama
RI
Al-Anshari, Saikh al-Islam Zakaria.2015. Lubbul
Ushul. Terj. Saiful Muhit dkk. Kediri: Lirboyo Press.
Amiruddin, Zen. 2006. Ushul Fiqh. Surabaya : Lembaga Kajian
Agama dan Filsafat
Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : Rajawali
Press
Djamali, Abdul. 1997. Hukum Islam. Bandung
: CV Mandar Maju
Faqih, Allamah Kamal. 2006. Tafsir
Nurul Qura’an. Terj. Hikmat Danaatmajaa. Jakarta : Penerbit Al-Huda
Hasbiyallah. 2014. Fiqh dan Ushul
Fiqh. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqh-Ushul Fiqh. Bandung : Cv Pustaka
Setia
Khallaf, Abdul Wahab. 2002. Kaidah-Kaidah Hukum Islam : (Ilmu Ushul
Fqih). Cetakan ke-8. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Mardani. 2010. Hukum Islam.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
Rifai, Moh. Ushul Fiqh. Bandung : PT. Al-Maarif
Satria Effendi dan M. Zein. 2005. Ushul
Fiqh. Jakarta : Kencana
Syafe’i, Rahmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh, cetakan ke 4. Bandung:
CV Pustaka Setia
Syafe’i, Rahmat. 2015. Ilmu Ushul Fiqh. Cetakan ke-5. Bandung:
CV PustakaSetia
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Cetakan
ke-1. Jakarta: Kencana
Catatan:
1. Cetakan ditaruh setelah tanda kurung terakhir, dan bukan
di dalam kurung.
2. Cobalah menulis satu paragraf terdiri atas beberapa kalimat.
[1]Abdul
Djamali, Hukum Islam, (Bandung : CV
Mandar Maju, 1997), hlm. 10
[2]Ibid hlm. 11
[3]Mardani. Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2010) hlm. 20
[4]Ibid hlm. 21
[5]Hasbiyallah,
Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung : PT
Remaja Rosdakarya, 2014) hlm. 4
[6]Satria
Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh,
(Jakarta : Kencana, 2005) hlm. 177
[7]Ibid hlm.
177
[8]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, cet.IV, 2010), hlm.
215
[9]Moh. Rifa’i,
Ushul Fiqih, (Bandung: Al-Ma’arif), hlm. 84
[10]Nazar Bakry,
Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali, cet.1, 19 93), hlm. 170
[11]Moh. Rifa’i,
op.cit, hlm. 84
[12]Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012),
hlm. 122
[13]Moh. Rifa’i,
Ushul Fiqih, (Bandung: Al-Ma’arif), hlm. 85
[14]Saikh Al-Islam Zakaria
Al-Anshari, Lubbul Ushul, terj., Saiful Muhid dkk, (Kediri:Lirboyo
Press, 2015), hlm. 49
[15]Amir Syarifuddin,
op.cit, hlm. 122
[16]Moh. Rifa’i,
op.cit, hlm. 85
[17]Amir
Syarifuddin, op.cit, hlm. 123
[18]Zainal
Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1931), hlm. 108
[19]Ibid, hlm.
108
[20]Ibid, hlm.
109-111
[21]Moh. Rifa’i,
op.cit, hlm. 84
[22]Syafi’i
Karim, op.cit, hlm. 177
[23]Zainal
Abidin Ahmad, op.cit, hlm. 106
[24]Nazar Bakry,
Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Press, cet.I, 1993), hlm. 170
[25]Zainal
Abidin Ahmad, op.cit, hlm. 107
[26]Nazar Bakry,
op.cit, hlm. 171
[27]Zen
Amiruddin, Ushul Fiqih, (Surabaya: Elkaf, cet.1, 2006), hlm. 139
[28]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, cet. IV, 2010), hlm.
216
[29]Zen
Amiruddin, op.cit, hlm. 140
[30]Ibid, hlm.
140
[31]Rachmat
Syafe’i, op.cit, hlm. 216
[33]Zainal
Abidin Ahmad, op.cit, hlm. 113
[34]Nazar Bakry,
op.cit, hlm. 175
[35]Zen
Amiruddin, op.cit, hlm. 141
[36]Zainal
Abidin Ahmad, op.cit, hlm. 113
[37]Syafi’i
Karim, op.cit, hlm. 183
[38]Zen
Amiruddin, op.cit, hlm. 142
[39]Zainal
Abidin Ahmad, op.cit, hlm. 114
[40]Zen Amiruddin,
op.cit, hlm. 142
[41]Ibid, hlm.
142
[42]Syafi’i
Karim, op.cit, hlm. 186-187
[43] Rachmat
Syafi’i, op.cit, hlm. 2 19
[44]Zen
Amiruddin, op.cit, hlm. 144
[45]Ibid, hlm.
145
[46]Ibid, hlm.
146
[47] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, cet.V, 2015) hlm.
166
[48]Zainal
Abidin Ahmad, op.cit, hlm. 119
[49]Zen
Amiruddin, op.cit, hlm. 146
[50]Syafi’i
Karim, op.cit, hlm. 188
[51]Zainal
Abiddin Ahmad, op.cit, hlm.119
[52]Moh. Rifa’i,
op.cit, hlm. 93
[53]Zainal
Abiddin Ahmad, op.cit, hlm. 119-121
[54]Syafi’i
Karim, op.cit, hlm. 188-189
[55]Allamah
Kamal Faqih, Tafsir Nurul Qura’an,
terjemahan, Hikmat Danaatmajaa, (Jakarta : Penerbit Al-Huda : 2006) hlm. 257
[56] Zainal
abidin ahmad, op.cit, hlm. 121
[57]Syafi’i
Karim, op.cit, hlm. 190
[58]Zainal
Abidin Ahmad, op.cit, hlm. 122
[59]Syafi’i
Karim, op.cit, hlm. 191
[60]Ibid hlm.
192
[61]Ibid hlm.
193
Tidak ada komentar:
Posting Komentar