Senin, 24 April 2017

Mantuq-Mafhum dan Mujmal-Mubayyan (PAI C Semester Genap 2016/2017)




MANTUQ DAN MAFHUM, MUJMAL DAN MUBAYYAN DALAM KAJIAN USHUL FIQH

Zahrotul Azizah, Agis Maolana Patoni, Fitriyatus Sholihah, Andriyanto
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Abstract :  
In Islamic law would not necessarily be made directly without processing and extracting source of law must be based on legal principles that have been determined by the scholars and mujtahids Muslims. Rule of law in the language form such as mantuq, mafhum, mujmal and mubayyan which are discussed in depth in the study of usul fiqh. Mantuq, mafhum, mujmal and Mubayyan basically wanted to give an understanding that the existing law could be interpreted as true and correct. With istinbat method in which there are pembahasa mantuq, mafhum, mujmal and mubayyan will be very beneficial for every individual in the understanding of Islamic law appropriately.

Abstrak  :
Dalam hukum islam tentunya tidak serta merta bisa dibuat langsung tanpa pengolahan dan penggalian sumber hukum yang harus berdasarkan pada kaidah-kaidah hukum yang telah ditentukan oleh para ulama dan mujtahid umat islam. Kaidah hukum bahasa diantaranya berupa mantuq, mafhum, mujmal mubayyan yang penjelasanya dibahas secara mendalam dalam kajian ushul fiqh. Mantuq, Mafhum, Mujmal dan Mubayyan pada dasarnya ingin memberikan pemahaman agar hukum yang ada bisa diintepretasikan secara benar dan tepat. Dengan metode istinbat yang didalamnya terdapat pembahasa mantuq, mafhum, mujmal dan mubayyan akan sangat bermanfaat bagi setiap individu dalam memahami hukum islam secara tepat.
Keyword: Mantuq, Mafhum, Mujmal, Mubayyan

A. PENDAHULUAN

Islam sebagai nama dari sebuah agama tentunya tidak serta  merta diturunkan begitu saja tanpa adanya maksud dan tujuan yang terkandung didalamnya, melainkan islam adalah sebagai agama yang artinya kepatuhan dan penyerahan diri. Bagi seorang muslim tentunya untuk patuh dan melaksanakan kepatuhan tersebut tidaklah semata-mata memohon perlindungan kepada Allah tetapi juga mematuhi dan mentaati setiap takdir yang diberikan kepada umat-Nya.[1]
Penulis berpendapat jikalau bukti seorang hamba mengimani Allah selaku Tuhan agama Islam tentunya percaya bahwa ketentuannya sudah terletak dalam hukum-hukumnya yang terdapat pada sumber hukum umat manusia yaitu Al-Quran dan Al Hadis.
Hukum islam sebagai keseluruhan dari perintah Allah yang wajib diturut oleh seorang muslim yang bertujuan untuk membentuk manusia menjadi tertib, aman dan selamat. Berdasarkan hal tersebut, maka ketentuan-ketentuannya selalu berupa perintah Allah. Perintah tersebut memuat kewajiban, hak, dan larangan yang harus dilakukan oleh setiap muslim dalam kehidupannya sehari-hari.[2] Karena hukum islam memiliki tujuan untuk memenuhi keperluan manusia yang bersifat primer, sekunder dan tersier.[3] Tujuan lain dari hukum islam adalah bahwa hukum islam adalah untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera.[4]
Dalam memahami hukum tentunya tidak langsung bisa diinterpretasikan dengan seenaknya namun ada objek ushul fiqh yang mengenai menjelaskan metodologi penetapan hukum-hukum tersebut.[5] Khususnya dalam ushul fiqh ini dibahas tentang metode istinbat yang berarti upaya menarik hukum dari Al-Quran dan sunnah dengan ijtihad.[6]
Secara garis besar metode istinbat dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu segi kebahasaan, segi maqasid (tujuan) dan segi beberapa dalil yang bertentangan.[7] Maka dengan alasan inilah penulis sangat yakin akan pentingnya memahami al-quran dengan membahas tentang mantuq, mafhum, mujmal dan mubayyan yang termasuk metode istinbat dalam kaidah bahasa yang sekiranya bisa memberikan manfaat bagi pembaca untuk memahami hukum secara benar dan tepat yang terdapat dalam sumber hukum islam.

B. MANTHUQ DAN MAFHUM DALAM KAJIAN USHUL FIQH

1.      Pengertian Manthuq
            Suatu lafadzh bila ditinjau dari cara menunjukkan suatu makna, menurut Syafi’iyah terbagi dalam mantuq dan mafhum.[8] Manthuq artinya “yang diucapkan”, sedang menurut istilah ialah suatu makna yang diperoleh dari suatu lafal atau susunan lafal itu sendiri.[9] Manthuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri. Manthuq merupakan pengertian yang ditunjukkan oleh lafal di tempat pembicaraan.[10] Tegasnya, manthuq ialah makna atau arti yang tersurah.[11]Definisi tersebut mengandung arti bila kita memahami suatu hukum menurut apa yang tersurat secara jelas dalam lafadz itu, maka pemahaman tersebut disebut secara manthuq. Umpamanya firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 23:
4:23
 Jangan kamu mengawini) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri”
Dalam ayat tersebut dijelaskan menurut apa adanya yakni: haram mengawini anak tiri dengan dua ketentuan, yaitu anak itu berada di bawah asuhan suami dan ibu dari anak tiri telah digauli.[12]
            Jadi manthuq ini apa yang sedang dibicarakan ditunjukkan langsung oleh lafadz, tanpa ada maksud lain dalam lafadz tersebut, atau suatu makna yang ditunjukkan oleh lafal pada tempat yang dibicarakan. Manthuq ini disebutkan secara langsung dalam sebuah lafadz (makna tersurat).
2.      Pembagian Manthuq
Manthuq dibagi menjadi dua:
a.       Manthuq nash (Manthuq sharih), yaitu lafal atau susunan yang jelas dan tidak mungkin ditakwilkan lagi.[13]Mantuq nash merupakan lafadz yang tidak mungkin di arahlkan pada makna selain makna asli makna tersebut. [14]Atau merupakan manthuq yang penunjukannya terhadap hukum muncul dari istilah lengkap dan resmi digunakan[15], contoh:
5:89
 Maka hendaknya berpuasa tiga hari...” (QS AL-Ma’idah: 89)
Pada ayat tersebut tidak dapat dimaknai lain, selain tentang kewajiban berpuasa tiga hari (jelas lafadz sesuai dengan maknanya, tidak ada makna lain).
b.      Manthuq dhahir (Manthuq ghairu sharih), ialah suatu lafal atau susunan yang menunjukkan suatu makna, tetapi makna ini bukannya yang dimaksud.[16] Atau merupakan manthuq yang penunjukannya tidak muncul dari istilah yang resmi untuk itu, tetapi dari kelazimannya.[17] Atau merupakan lafadz yang masih mungkin dipalingkan kepada arti yang lain, selain dari pada arti harfiyahnya. Seperti pada lafadz:
51:47
Dan langit itu Kami bangun dengan tangan...”(QS. Ad-Dzariyat: 47)
            Menurut dhahirnya lafadz: aidin jama’ dari yadun artinya tangan. Tetapi mustahil kalau Allah mempunyai tangan, maka ditakwilkan kepada arti kekuasaan atau kekuatan.[18] Sehingga tangan yang dimaksud dalam ayat tersebut, lazimnya merupakan kekuasaan Allah.
            Ada tiga dilalah yang disamakan dengan kedudukan Al-Manthuq, yaitu:
1) Dilalatul Iqtida’, yaitu suatu lafadz yang menunjuk kepada sesuatu yang tidak disebut, yang kebenaran pembicaraan tergantung pada sesuatu yang tidak disebut itu, baik kebenaran menurut syara’ atau kebenaran menurut akal. Contoh kebenaran syara’ tergantung pada sesuatu yang tidak disebut, misalnya hadist:
“Diangkat dari umatku (perbuatan) tersalah dan (karena) lupa apa-apa yang mereka dipaksakan kepadanya.”
            Mengangkat sesuatu yang telah terjadi adalah tidak mungkin. Karena itu supaya pembicaraan itu benar dan tepat, harusnya ditakdirkan sesuatu yang tidak disebut, misalnya lafadz: istmun (dosa) atau  mu’akhidah (siksa). Sehingga, semestinya bunyi hadist itu menjadi:
Diangkat dari ummatku dosa/siksa (perbuatan) tersalah dan (karena) lupa dan apa-apa yang mereka dipaksakan kepadanya.”[19]
            Agar hadist tesebut menjadi tepat menurut syara’, maka perlu ditentukan sesuatu yang tidak disebut dalam dalil tersebut, seperti dosa dan siksa. Contoh di atas merupakan contoh kebenaran menurut syara’ tergantung pada sesuatu yang tidak disebut.
2) Dilalatul Ima’ yaitu suatu sifat disertakan dengan hukum, yang sekiranya sifat disertakan dengan hukum, yang sekiranya sifat itu buka ‘ilat bagi hukum tersebut, tentu menyebutnya bersama hukum tidak pada tempatnya dan tidak ada gunanya. Contoh ayat:
5:38
Lelaki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya...” (Surat Al-Maidah: 38)
Ayat ini menunjukkan bahwa mencuri menjadi ‘ilat untuk hukuman potong tangan.
3) Dilalatul Isyarah, yaitu suatu lafadz menunjukkan kepada sesuatu yang tidak dimaksudkan oleh pembicaraan, tetapi ia merupakan kelaziman (kemestian) dari pembicaraan itu. Misalnya ayat:
2:236
Tidak ada satupun dosa (atau mahar) atas kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan mahar...” (Surat Al-Baqarah: 236)
            Ayat ini menunjukkan boleh menceraikan isteri sebelum disetubuhi dan sebelum ditetapkan baginya maskawinnya. Suatu kelaziman bagi hukum tersebut, bahwa akad nikah sah meskipun tidak disebutkan maskawain dalam akad, karena baru ada setelah adanya akad nikah secara sah. Sah akad nikah yang tidak disebut dalamnya maskawin merupakan Dilalah Isyarah dari ayat tersebut.[20]
c.       Pengertian Mafhum
            Secara bahasa mafhum berarti “yang diucapkan”, sedang menurut istilah ialah suatu makna yang tidak diperoleh dari suatu lafal atau susunan, melainkan diperoleh dari pemahaman terhadap ucapan lafal tersebut.[21] Mafhum merupakan sesuatu yang ditunjuk oleh lafal, tapi bukan dari ucapan lafal itu sendiri.[22] Mafhum ialah apa yang ditunjukkan oleh lafaz tentang apa yang tidak dibicarakan.[23] Dalam sumber lain disebutkan bahwa mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz tidak di tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut.[24]Tegasnya mafhum adalah makna atau arti yang tersirat. Contoh mafhum misalnya:
17:23
Dan janganlah engkau katakan kepada keduanya (ibu bapakmu) perkataan “ah”...”(QS Al-Ira’: 23)
            Dalam ayat tersebut terdapat pengertian manthuq dan mafhum. Manthuq ayat ini menunjukkan haram mengatakan “ah” kepada orangtua dan mafhumnya menunjukkan haram (juga) “memukul” mereka. Haram memukul orangtua tidak ditunjukkan oleh lafadz pada ayat ini, tetapi ditunjukkan oleh mafhum, yang dapat dipahami dari padanya.[25] Kita dapat memahami, kalau ucapan uff= cih/ah yang begitu kecil saja tidak boleh kita tujukan kepada orangtua, pastinya memukul atau menyiksa kedua orangtua sudah jelas tidak diperbolehkan.
d.      Pembagian Mafhum
Dilalah Mafhum dibagi menjadi dua:
1. Mafhum Muwafaqah:  yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafadz yang disebutkan.[26] Mafhum muwafaqah adalah apabila hukum yang dikandung senada dengan bunyi lafadznya.[27] Sumber lain menjelaskan Mafhum Muwafaqah yaitu suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Hal ini dapat diketahui dengan pengertian bahasa, tanpa memerlukan pembahasan yang mendalam ataupun ijtihad.[28] Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua, yakni:
a. Fahwal Khithob, yakni apabila hukum yang difahamkan lebih berat dari bunyi lafadznya. Misalnya, janganlah kamu berkata “ah” kepada kedua orangtuamu. Maka secara fahwal khithob kita juga dilarang memukul orangtua. Karena memukul lebih berat daripada berkata “ah”.
b. Lahnul Khithob, yakni apabila hukum yang difahamkan itu sama atau seimbang dengan bunyi lafadznya. Misalnya, dilarang memakan harta anak yatim. Secara Lahnul Khithob kita juga dilarang membakar harta anak yatim, karena keduanya sama-sama merusak/ melenyapkan harta anak yatim.[29]
2. Mafhum Mukholafah, adalah apabila hukum yang difahamkan berbeda atau kebalikan dengan apa yang diucapkan (bunyi lafadznya).[30] Mafhum Mukholafah merupakan petunjuk lafadz yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir dari lafadz itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafadz itu, yang hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahir dari manthuqnya, karena tidak adanya batasan (kayd) yang berpengaruh dalam hukum.[31] Misalnya:
62:9
 Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakannya dan tinggalkanlah jual beli” (QS Al-Jumuah: 9)
Dari ayat tersebut dapat kita ketahui bahwa diperbolehkan jual beli di hari jum’at sebelum Muadzin mengumandangkan adzan dan sesudah mengerjakan shalat jum’at.
Mafhum mukholafah dibagi menjadi sepuluh, antara lain:
a. Mafhum shifat, yaitu menggabungkan hukum sesuatu kepada salah satu sifatnya.[32]Contohnya;
Dan barang siapa diantara kamu tidak sanggup mengawini perempuan merdeka lagi beriman (dalam hal perbelanjaan) maka tidaklah mengapa menikahi budak perempuannya yang ia miliki.(QS An-Nisa’: 25)
Menyifatkan hamba sahaya wanita dengan yang beriman, maka mafhumnya haram kawin dengan hamba sahaya wanita yang kafir.[33]Ayat tersebut menunjukkan bahwa diperbolehkan menikahi budak dengan syarat budak tersebut beriman.Sebaliknya tidak diperbolehkan menikahi budak yang tidak beriman.
b. Mafhum ‘illat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut ‘illatnya.[34] Contonya dalam hadist Nabi: Setiap minuman yang memabukkan adalah haram. Berarti mafhum mukholafahnya adalah bahwa minuman yang tidak memabukkan adalah tidak haram.[35]
c. Mafhum Syarat, yaitu berlakunya kebalikan hukum sesuatu yang disangkutkan dengan syarat, apabila syarat itu tidak terdapat padanya.[36] Misalnya firman Allah SWT QS An-Nisa’: 100
“Apabila kamu bepergian maka tidaklah menghalangi kamu untuk menqoshor shalat.”
            Artinya secara manthuq kita diperbolehkan menqoshor shalat dengan syarat harus bepergian, maka kebalikannya (mafhum mukholafahnya) kita tidak boleh menqoshor shalat diluar sebab bepergian (apabila tidak bepergian)
d. Mafhum Adad, yaitu menghubungkan hukum sesuatu, kepada bilangan tertentu.[37] Di sini ketentuan manthuqnya berupa bilangan. Misalnya QS Nur: 4
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dari mereka tidak dapat mendatangkan saksi, maka deralah mereka itu delapan puluh kali.”
            Manthuqnya adalah diperintah memukul delapan puluh kali, maka mafhum mukholafahnya adalah kita dilarang mendera mereka lebih dari delapan puluh kali (jumlah yang telah ditentukan).[38]
e. Mafhum ghoyah, yaitu mafhum yang difahami dari makna ghoyah (sampai/hingga). Atau merupakan berlakunya hukum yang disebutkan sampai batas waktu tertentu, dan berlaku kebalikan hukum setelah batas waktu tersebut berlalu. Contohnya ayat:
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar...” (QS Al-Baqarah: 187)
            Ayat ini menunjukkan boleh makan dan minum pada waktu malam bulan Ramadhan sampai terbit fajar, mafhumnya haram makan dan minum setelah terbit fajar.[39]
f. Mafhum Hasher, yakni mafhum dari lafadz yang mengandung hasher (pembatasan yang khusus).[40] Misalnya QS Al-Maidah: 75
Tidaklah Al masih Ibnu Maryam itu kecuali hanya seorang Rasul”
            Jadi hubungannya dengan masalah Ketuhanan, Isa al Masih itu hanyalah seorang Rasul, bukan malaikat, anak Tuhan dan atau yang lainnya.
g. Mafhum Haal, yakni mafhum yang diambil dari lafadz yang menunjukkan keadaan sesuatu. Misalnya QS Al-Isra’: 37
Janganlah kamu berjalan di atas muka bumi dengan sombong”
            Manthuqnya dilarang berjalan sombong, maka mafhum mukholafahnya berarti kitadiperintah untuk berjalan di muka bumi dengan sopan santun.
h. Mafhum zaman, yakni mafhum yang diambil dari lafadz yang menunjukkan zaman (waktu). Misalnya QS Al-Baqarah: 197
Haji itu pada bulan-bulan tertentu”.
            Manthuqnya kita diperintah melaksanakan haji pada bulan tertentu (Syawal, Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah), maka berarti kita dilarang menunaikan haji di luar bulan yang ditentukan itu.
i. Mafhum makan, yaitu mafhum yang diambil dari lafadz yang menunjukkan tempat tertentu. Misalnya Nabi SAW bersabda:
“Bumi itu seluruhnya Masjid (tempat sujud/shalat) selain kamar mandi dan pekuburan. (HR. Abu Daud)
            Manthuqnya selain kamar mandi dan kuburan boleh dijadikan sebagai tempat shalat, sedangkan mafhum mukholafahnya adalah tidak boleh menjadikan kamar mandi dan kuburan untuk masjid/ tempat sujud.
j. Mafhum Laqob, yaitu  mafhum yang dipahami dari makna nama atau barang.[41]Atau menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fi’il. Seperti sabda Nabi SAW:
Abu Bakar masuk surga, Umar masuk surga, Ustman masuk surga, dan Ali masuk surga sampai-sampai bilangan itu sepuluh.” (Hadist Hasan)
e.       Kehujjahan Mafhum
            Untuk mafhum muwafaqah semuanya bisa dijadikan hujjah. Hampir semua ulama’ berpendapat demikian kecuali golongan zhahiriyah. Semua mafhum mukholafah bisa dijadikan hujjah kecuali mafhum laqab.
            Demikian pendapat kebanyakian ulama’ ushul, mengkhususkan sesuatu untuk disebut, tentulah ada faedahnya. Kalau tidak demikian, apa gunanya disebutkan?. Juga dapat diketahui dalam bahasa Arab, bahwa apabila sesuatu mempunyai dua sifat dan yang disebutkan hanya salah satunya, maka yang dikehendaki, ialah sifat yang disebutkan, bukan sifat yang lainnya.
            Berlainan dengan pendapat di atas, maka Abu Hanifah dan Ibn Hazm dari golongan zhahiriyah mengatakan, bahwa semua mafhum mukholafah tidak bisa menjadi hujjah (pegangan). Menyebutkan salah satu sifat, tidak berati meniadakan sifat-sifat lainnya.[42]
            Adapun syarat-syarat berhujjah dengan mafhum mukholafah antara lain:
a. Mafhum mukholafahnya itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, seperti manthuq dan mafhum muwafaqah.[43]Misalnya Nabi SAW bersabda:
Sesungguhnya wajib mandi apabila keluar air (mani) (HR. Ahmad dan Abu Daud)
            Berdasarkan hadist tersebut dapat difahami secara mukholafah bahwa apabila bersenggama tidak sampai keluar mani maka tidak wajib mandi. Mafhum tersebut bertentangan dengan hadist Nabi SAW[44]:
Apabila ketemu dua organ khitan, maka sungguh wajib atasnya mandi (HR.Muslim)
            Dalam tradisi Arab organ yang biasa dikhitan adalah kelamin lelaki dan kelamin perempuan. Memang dengan keluarnya air mani itu mewajibkan mandi (secara manthuq), namun hal ini tidak bisa diartikan apabila bersenggama tanpa mengeluarkan air mani lalu tidak berkewajiban mandi. Orang yang bersenggama walaupun tanpa mengeluarkan mani, tetap harus mandi wajib.
b. Dalil yang difahami tidak untuk menunjukkan imtinan (kenikmatan sesuatau)
            Apabila dalam dalil yang difahami secra mukholafah itu memberi petunjuk tentang kenikmatan sesuatu maka mafhum mukholafah tidak dapat dipakai sebagai hujjah. Misalnya firman Allah SWT QS. An-Nahl ayat 14:
Dan Dialah yang menundukkan lautan untukmu, agar supaya kamu dapat memakan daripadanya dagingnya (ikan) yang segar.
            Secara mafhum mukholafah maka ikan yang tidak segar bukan untuk dimakan. Kata thoriyan (segar) menunjukkan kenikmatan, maka pemahaman secara mukholafah yang demikian itu tidak dapat diterima/ digunakan.
c. Dalil itu tidak dimaksud untuk menjelaskan sesuatu yang berlaku pada saat tertentu.
            Apabila dalil yang difahami itu dalam rangka menjelaskan keadaan tertentu yang saat dalil itu dititahkan berlaku, maka mafhum mukholafah tidak bisa digunakan.[45] Misalnya firman Allah SWT QS. Al-Baqarah: 130
Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
Kebiasaan orang jahiliyah saat ayat ini diturunkan adalah melakukan riba berlipat ganda. Maka mafhum mukholafahnya berarti boleh melakukan riba asal tidak berlipat ganda, dan mafhum ini tidak boleh digunakan.
d. Dalil itu tidak ada lafadz yang mengikuti yang lain.
            Bila ada lafadz yang diikutkan kepada dalil itu maka mafhum mukholafahnya tidak boleh digunakan. Misalnya Allah SWT berfirman QS. Al-Isro’ 31:
Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin.
            Takut miskin tersebut hanya kata tambahan (tidak berdiri sendiri) maka tidak boleh dimafhumi mukholafah bahwa boleh membunuh anak-anak asal tidak karena takut miskin.
e. Dalil itu tidak dimaksudkan atas ghalibnya (atas umunya demikian)
            Apabila dalil itu dilafadzkan dengan sesuatu yang sudah menjadi ghalib, maka mafhum mukholafahnya tidak dapat dipergunakan. Misalnya QS An-Nisa’ 23:
Diharamkan...Anak-anak isterimu yang ada dalam genggaman (pemeliharaan)mu
            Sudah menjadi ghalib atau umumnya bahwa anak-anak dan isteri itu menjadi beban pemeliharaan suami si istri (ayah tiri). Maka dengan dalil tersebut tidak boleh dimafhumi mukholafah bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya lalu boleh dinikahi oleh si ayah tiri itu.[46]

C. MUJMAL DAN MUBAYYAN DALAM KAJIAN USHUL  FIQH

1.      Pengertian Mujmal
            Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci.[47] Menurut istilah tentang mujmal ada beberapa pendapat:
“Al-mujmaalu huwallafdzul ladzii la yadzullu bi shighotihi alal murodi minhu”
Artinya: Al-Mujmal ialah lafadz yang dengan sigatnya tidak (jelas menunjukkan yang dimaksudkan dari padanya.[48]
“Al-mubayyanu huwallafdzu al-ladzii yadullu bishighotihi ‘alal murodhi minhu”
Artimnya: Al-mubayyan ialah Lafadz yang belum jelas karena masih bersifat garis besar.[49]
            Mujmal ialah sesuatu yang belum jelas maksudnya dan untuk mengetahuinya diperlukan penjelasan dari yang lainnya. Penjelasan ini disebut al-bayyan. Ketidakjelasan ini disebut ijmal.[50]Lafadz dalam sebuah dalil (Al-Qur’an dan Hadist) ada yang masih bersifat global, lafadz tersebut belum menjelaskan dengan terang, sehingga menimbulkan pertaanyaan. Maka dari itu diperlukan diamalkan.
            Mengenai hukum lafadz mujmal dikatakan:
“Wahukmul mujmalit tawaqqufu fihi ilaa ayyufassaro”
Artinya :Hukum Al-Mujmal ditangguhkan sampai ia ditafsirkan (dijelaskan maksudnya).[51]
            Bila terdapat lafadz yang mujmal dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Maka kita tidak boleh menggunakannya sebelum ada penjelasan tentang lafadz tersebut.
            Sedangkan mubayyan ialah suatu lafal yang terang maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya.[52]

“Al-Mubayyan ialah lafadz yang dengan sigatnya (jelas) menunjukkan yang dimaksud dari padanya.”
“Al-Bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari kedudukan yang samar-samar kepada kedudukan yang jelas.” Dalam bahasa Indonesia, al-bayan dapat kita terjemahkan dengan penjelasan.[53]
2.      Sebab-sebab adanya Ijmal
Ijmal terdapat dalam:
a. Kata-kata tunggal (ifrad), dalam kata-kata tunggal, ijmal adakalanya karena:
1). Tafsir kata-kata atau pengambilannya, seperti qaala dari qaulun (perkataan) atau qailulah (tidur siang). Juga seperti mukhtar bisa menjadi isim fail atau isim maf’ul.
2). Aatu lafal untuk menunjukkan beberapa arti (musytarak)
3). Lafal yang digunakanuntuk menunjukkan istilah syara’ yang tertentu seperti lafal, shalat, zakat, puasa dan lain-lain.
Contoh ijmal, dalam kata-kata tunggal:
Isim     : 1) Qur’un dengan pengertian suci atau datang bulan
              2) jaun dengan pengertian hitam atau putih
              3) naahil dengan pengertian dahaga atau segar
Fiil       : 1) Qaala dengan pengrtian berkata atau tidur siang
              2) khataba dengan pengertian berpidato atau meminang
              3) ‘as’asa dengan pengertian menghadap atau membelakangi
Huruf   : 1) Waw yang menunjukkan huruf athaf (penghubung) atau huruf isti’naf
                  (Menunjukkan permulaan kata), atau sebagai hal.
              2) ilaa, yang menunjukkan ghayah atau berarti beserta (ma’a)
b.  Susunan kata-kata (jumlah, tarkib), contoh:
2:237
...”Atau memaafkan orang yang mempunyai ikatan perkawinan”. (QS. Al-Baqarah: 237)
Yang mempunyai ikatan perkawinan bisa diartikan wali atau suami.[54] Secara keseluruhan, nada dari ayat ini menekankan bahwa perceraian tidak yang dilakukan oleh perselisihan melainkan dengan kemuliaan dan kebaikan hati yang dilakukan oleh wali atau suami kepada istri (orang yang mempunyai ikatan nikah).[55]
3.      Macam-macam penjelasan
a. Penjelasan dengan kata-kata (penjelasan penguat), seperti puasa tamattu’dalam ayat  :
2:196
Maka wajib tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi bila kamu telah pulang kembali; itulah sepuluh hari yang sempurna...(QS Al-Baqarah: 196)
            Kalimat “itulah sepuluh hari yang sempurna” penjelasan penguat bagi tiga dan tujuh hari yang telah ditegaskan sebelumnya.[56]
b. Penjelasan dengan perbuatan, seperi penjelasan Nabi tentang mengadakan shalat, haji dan lain sebagainya.
c. Penjelasan dengan tulisan, seperti penjelasan Nabi tentang batas dan macam harta yang terkena zakat dan juga diyat bermacam-macam anggota badan.
d. Isyarat, Nabi mengangkat kesepuluh jarinya tiga kali. Kemudian nabi mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Dimaksudkan, bahwa bulan dalam Arab itu kadang-kadang berisi 30 hari atau 29 hari.[57]
e. Tidak berbuat/ penjelasan dengan meninggalkan, seperti Nabi tidak berwudhu lagi setelah makan daging yang telah dimasak. Mula-mula Nabi SAW mengambil whudu setelah memakan makanan yang dimasak, hal ini menunjukkan bahwa memakan makanan yang dimasak membatalkan wudhu. Kemudian meninggalkan wudhu setelah memakan makanan yang dimasak, artinya Nabi SAW tidak mengambil wudhu sesudah memakannya. Ini merupakan penjelasan bahwa memakan makanan yang dimasak tidak membatalkan wudhu.[58]
f. Diam, tidak berkata. Tatkala Nabi menerangkan tentang wajibnya haji, ada seorang sahabat menanyakan apakah kewajiban tersebut tiap-tiap tahun. Nabi diam tidak menjawab. Berati kewajiban haji tidak tiap tahun.
g. Dengan dalil-dalil yang mentakhsiskan.
1) dari waktu mengerjakan perintah
            Menunda penjelasan dari waktu mengerjakannya tidak mungkin. Artinya sampai waktunya belum ada penjelasan. Kalau penundaan ini terjadi, berati membolehkan adanya kepercayaan atau perbuatan yang salah, karena belum dijelaskan. Hal ini tidak mungkin. Sebagai contoh ialah urut-urutan wali dalam pernikahan. Menurut sebagian ulama tidak wajib memperhatikan urut-urutan wali dari yang terdekat sampai yang terjauh. Karena itu apabila wali yang dari jauh menikahkan, padahal ada yang dekat, maka pernikahan sah. Kalau urut-urutan tersebut diharuskan tentulah dijelaskan oleh Rasulullah SAW
2) dari waktu turunya perintah
            Menunda penjelasan dari waktu turunnya perintah bisa terjadi, artinya pada waktu dikeluarkannya perintah belum ada penjelasan. Alasan:
75:18
75:19
 Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS. AL-Qiyamah: 18-19)
            Lafal tsumma (kemudian) berarti datang kemudian dengan ada perselangan waktu (ra’qib dan tarakhi).[59]
4.      Contoh-contoh Mujmal Mubayyan
a. Menghubungkan hukum haram atau halal kepada benda orang a’yan seperti :
Artinya :
“Diharamkan atasmu ibumu” (An-Nisa ayat 23)
“Diharamkan atasmu bangkai” (Al-Maidah ayat 3)
Ada yang mengatakan ayat teresebut mujmal, karena ibu dan bangkai (a’yan) tidak bisa disifati dengan haram atau halal. Dalam keadaannya, yang bisa disifati demikian adalah (mahkum fih), yaitu perbuatan kita seperti tidur, makan, melihat, menjual (dalam contoh ibu). Sedang perbuatan-perbuatan tersebut tidak disebutkan . Karena itu perlu penjelasan, mana yang diharamkan dan mana yang tidak. Menurut pendapat lain, kedua ayat tersebut tidak mujmal. Pendapat inilah yang kuat. Dari penyelidikan bahasa, ternyata bahwa yang dimaksud perkataan yang semacam itu ialah perbuatan. Dalam soal bangkai yang dimaksud ialah memakannya, sedang dalam contoh ialah mengawininya.[60]
b. Perkataan yang meniadakan sesuatu perbuatan, seperti :
Artinya :
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali” (H.R  Ahmad dan Tirmidzi)
“Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Fatihah” (H.R Muslim)
Menurut golongan ulama, kedua hadis tersebut mujmal, karen ayang ditiadakan ialah perkawinan dan solat, padahal keduanya dapat terwujud. Jadi, yang dimaksudkan, ialah meniadakan sifat-sifat (hal-hal) yang tidak disebut dalam kedua hadis tersebut, yaitu tidak sahnya atau tidak sempurnanya. Untuk mengetahui mana sifat tersebut yang dikehendaki, masih diperlukan penjelasan. Pendapat lain kedua hadis tersebut mujmal. Pendapat inilah yang benar. Nabi bukan meniadakan ujudnya perbuatan, tetapi meniadakannya menurut syariat (meniadakan hukumnya). Dengan perkataan lain yang ditiadakan ialah sahnya. Seolah-olah dikatakan perkawinan tidak sah menurut syariat kecuali dengan wali. Demikian juga solat tidak sah jika tidak membaca al-fatihah.[61]

D. PENUTUP

Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan  menurut istilah yaitu pengertian harfiah yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri. Manthuq sendiri terbagi menjadi nash, zahir dan mu’awwal.
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah). Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Dalam mafhum muwafaqah terdapat (fahwal khitab dan lahnal khitab). Sedangkan dalam Mafhum mukhalafat terdapat (mafhum al-washfhi, illat, ghayah, laqaab, hasr dan syarat).
Mujmal adalah lafazh atau kata yang tidak jelas (global) artinya. Kedua disamping tidak jelas artinya, tidak pula terdapat petunjuk atau qorinah yang menjelaskan arti global dari kata tersebut. Jadi ketidak jelasan atau kesamaran arti kata al-Mujmal berasal dari kata itu sendiri bukan karena factor eksternal dari luar kata tersebut. Ketiga, jalan untuk mengetahui maksud Mujmal tidak dalam batas kemampuan akal manusia, tetapi satu-satunya jalan untuk memahami adalah melalui penjelesan dari yang me-mujmalkan atau dalam hal ini Syari’.
Mubayyan adalah apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau setelah adanya penjelasan. Tidak boleh ada penundaan bayan dari waktu pelaksanaannya. Alasannya, tidak mungkin Allah SWT mengungkap suatu hukum yang mujmal kemudian masuk waktu pelaksanaannya, sementara bayan terhadap hukum yang mujmal itu belum ada. Hal ini tidak pernah dan tidak akan dijumpai dalam syari’at Islam.



E. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin. 1932 H. Ushul Fiqh. Jakarta : Departemen Agama RI
Al-Anshari, Saikh al-Islam Zakaria.2015. Lubbul Ushul. Terj. Saiful Muhit dkk. Kediri: Lirboyo Press.
Amiruddin, Zen. 2006. Ushul Fiqh. Surabaya : Lembaga Kajian Agama dan Filsafat
Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : Rajawali Press
Djamali, Abdul. 1997. Hukum Islam. Bandung : CV Mandar Maju
Faqih, Allamah Kamal. 2006. Tafsir Nurul Qura’an. Terj. Hikmat Danaatmajaa. Jakarta : Penerbit Al-Huda
Hasbiyallah. 2014. Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqh-Ushul Fiqh. Bandung : Cv Pustaka Setia
Khallaf, Abdul Wahab. 2002. Kaidah-Kaidah Hukum Islam : (Ilmu Ushul Fqih). Cetakan ke-8. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Mardani. 2010. Hukum Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
Rifai, Moh. Ushul Fiqh. Bandung : PT. Al-Maarif
Satria Effendi dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana
Syafe’i, Rahmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh, cetakan ke 4. Bandung: CV Pustaka Setia
Syafe’i, Rahmat. 2015. Ilmu Ushul Fiqh. Cetakan ke-5. Bandung: CV PustakaSetia
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Cetakan ke-1. Jakarta: Kencana

Catatan:
1.      Cetakan ditaruh setelah tanda kurung terakhir, dan bukan di dalam kurung.
2.      Cobalah menulis satu paragraf terdiri atas beberapa kalimat.



[1]Abdul Djamali, Hukum Islam, (Bandung : CV Mandar Maju, 1997), hlm. 10
[2]Ibid hlm. 11
[3]Mardani. Hukum Islam, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010) hlm. 20
[4]Ibid hlm. 21
[5]Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2014) hlm. 4
[6]Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2005) hlm. 177
[7]Ibid hlm. 177
[8]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, cet.IV, 2010), hlm. 215
[9]Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung: Al-Ma’arif), hlm. 84
[10]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali, cet.1, 19  93), hlm. 170
[11]Moh. Rifa’i, op.cit, hlm. 84
[12]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 122
[13]Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung: Al-Ma’arif), hlm. 85
[14]Saikh Al-Islam Zakaria Al-Anshari, Lubbul Ushul, terj., Saiful Muhid dkk, (Kediri:Lirboyo Press, 2015), hlm. 49
[15]Amir Syarifuddin, op.cit, hlm. 122
[16]Moh. Rifa’i, op.cit, hlm. 85
[17]Amir Syarifuddin, op.cit, hlm. 123
[18]Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1931), hlm. 108
[19]Ibid, hlm. 108
[20]Ibid, hlm. 109-111
[21]Moh. Rifa’i, op.cit, hlm. 84
[22]Syafi’i Karim, op.cit, hlm. 177
[23]Zainal Abidin Ahmad, op.cit, hlm. 106
[24]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Press, cet.I, 1993), hlm. 170
[25]Zainal Abidin Ahmad, op.cit, hlm. 107
[26]Nazar Bakry, op.cit, hlm. 171
[27]Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, (Surabaya: Elkaf, cet.1, 2006), hlm. 139
[28]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, cet. IV, 2010), hlm. 216
[29]Zen Amiruddin, op.cit, hlm. 140
[30]Ibid, hlm. 140
[31]Rachmat Syafe’i, op.cit, hlm. 216
[32]Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, cet. 1, 1997), hlm. 183
[33]Zainal Abidin Ahmad, op.cit, hlm. 113
[34]Nazar Bakry, op.cit, hlm. 175
[35]Zen Amiruddin, op.cit, hlm. 141
[36]Zainal Abidin Ahmad, op.cit, hlm. 113
[37]Syafi’i Karim, op.cit, hlm. 183
[38]Zen Amiruddin, op.cit, hlm. 142
[39]Zainal Abidin Ahmad, op.cit, hlm. 114
[40]Zen Amiruddin, op.cit, hlm. 142
[41]Ibid, hlm. 142
[42]Syafi’i Karim, op.cit, hlm. 186-187
[43] Rachmat Syafi’i, op.cit, hlm. 2 19
[44]Zen Amiruddin, op.cit, hlm. 144
[45]Ibid, hlm. 145
[46]Ibid, hlm. 146
[47] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, cet.V, 2015) hlm. 166
[48]Zainal Abidin Ahmad, op.cit, hlm. 119
[49]Zen Amiruddin, op.cit, hlm. 146
[50]Syafi’i Karim, op.cit, hlm. 188
[51]Zainal Abiddin Ahmad, op.cit, hlm.119
[52]Moh. Rifa’i, op.cit, hlm. 93
[53]Zainal Abiddin Ahmad, op.cit, hlm. 119-121 
[54]Syafi’i Karim, op.cit, hlm. 188-189
[55]Allamah Kamal Faqih, Tafsir Nurul Qura’an, terjemahan, Hikmat Danaatmajaa, (Jakarta : Penerbit Al-Huda : 2006) hlm. 257
[56] Zainal abidin ahmad, op.cit, hlm. 121
[57]Syafi’i Karim, op.cit, hlm. 190
[58]Zainal Abidin Ahmad, op.cit, hlm. 122
[59]Syafi’i Karim, op.cit, hlm. 191
[60]Ibid hlm. 192
[61]Ibid hlm. 193

Tidak ada komentar:

Posting Komentar