ILMU JARH WA AL-TA’DIL
Tifliatul huzaimah dan iffah hidayati
Pendidikan ilmu pengetahuan sosial
Kelas E
Universitas islam negeri maulana malik ibrahim malang
Email :thifliamkhuzaima@gmail.com
Abstrack:
To measure the truth and error or false
hadith is not easy, so there are some groups consider shohih and there are
other groups who brand dhoif, science jarh wa ta'dil is very important and can
not be separated with other science of hadith because in science jarh wa ta '
This dil we can determine the acceptance or rejection of a hadith if an expert
hadith is deemed defective then his reporting is rejected and if a hadith is
transmitted with fair praises then the transmission is accepted. A hadith must
be known to be true because hadith is one source in Islam after al- Quran,
because the hadith is one of the sources of Islam it must be tested its truth.
Abstrak:
untuk mengukur kebenaran dan kesalahan atau kepalsuan hadis itu
tidak mudah,sehingga ada sebagian kelompok menganggap shohih dan ada kelompok
lain yang menggap dhoif, ilmu jarh wa ta’dil ini sangat penting dan tidak bisa
dipisahkan dengan ilmu hadis lainnya karena dalam ilmu jarh wa ta’dil ini kita
bisa menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadis jika seorang ahli hadis dinyatakan cacat maka
periwayatannya ditolak dan jika seorang periwat hadis dipiji dengan puji-pujian
adil maka periwayatannya diterima.suatu hadis harus diketahui kebenarannya
karena hadis merupakan salah satu sumber dalam islam setelah al-quran, karena
hadits merupaka salah satu sumber islam maka harus diuji kebenarannya.
keyword: Ilmu al-Jarh, al-Ta’dil,
A.PENDAHULUAN
Ilmu jarh wa ta’dil merupakan buah manis
dari jerih payah para ulama hadis yang telah maksimal berusaha menjaga dan
membersihkam hadis-hadis nabi muhammad saw dari tangan-tangan kotor yang hendak
merusak dan memalsuka hadi-hadis Nabi saw.
Jarh adalah ungkapan yang digunakan untuk menyebutkan sifat negatif
atau keadaan seorang rawi yang menyebabkan ditolaknya atau dilemahkannya
periwayatan perawi tersebut, sedangkan ta’dil merupakan ungkapan yang digunakan
untuk menyebut atau mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri perawi,
sehingga riwayatnya dapat diterima.
Ilmu jarh wa ta’dil merupakan ilmu yang dapat digunakan sebagai
timbangan dalam melihat kualitas para perawi, dan dengan ilmu ini dapat pula
diketahui siapa diantara para perawi yang
dapat diterima riwayatnya dan siapa pula yang harus ditolak.
Untuk menentukan layak tidaknya sebuah berita atau riwayat untuk
diterima, perlu dilakukan pelacakan, dan pendeteksian terhadap
penuturnya.pelacakan itu meliputi sifat, karakter dan kepribadian pembawa
berita.
B.PEMBAHASAN
1.
Definisi ilmu jarh wa al-ta’dil
Al-jarh wa al-ta’dil terdiri dari dua
perkataan yang menggambarkan keseluruhan perbincangan ilmu ini, yaitu al-jarh
dan al-ta,dil
Kata Al-Jarh (الجرح) merupakan bentuk dari kata
(جرح - يجرح) atau Jariha-Yajrahu (جرح - يجرح) yang artinya melukai. Keadaan luka dalam
hal ini dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, atau
dengan non-fisik, misalnya luka hati karena kata kasar yang dilontarkan oleh
seseorang. Apabila kata jarh dipakai oleh hakim di pengadilan yang
ditujukan kepada kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti ‘’menggugurkan
keabsahan saksi’’.[1]
Dalam istilah lain Menurut bahasa, al-jarh artinya cacat, istilah
ini digunakan untuk menunjukkan ‘’sifat
jelek’’ yang melekat pada periwayat hadis, seperti, pelupa, pembohong, dan
sebagainya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa periwayat
tersebut cacat, hadis yang dibawa oleh periwayat semacam ini ditolak, dan
hadisnya dinilai lemah (dhaif).[2]
Sedangkan kata Al-Ta’dil (التعديل) merupakan
bentuk mashdar dari kata kerja
‘Addala-Yu’addilu (عدل - يعدل) yang
artinya mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang.
Sedangkan menurut istilah, al-ta’dil adalah mengungkap sifat-sifat
bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga tampak jelas keadilan perawi itu
dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima.[3]
Sedangkan menurut istilah ahli hadis adalah :
ظُهُوْرُصِفَةُفِى الرَّوِى يُفْسِدُعَدَ الَةِ اَوْحِيْلَ يُفْطِه وَ
طَبَتُهُ مَا يُتَرَتِبُ عَا سُقُوُ طِ رِ وَ ا يَتِهِ اَوْ طَعْفُهَا وُ رُدَ هَا
Tampak suatu sifat pada perawi yang merusakkan keadilannya,
hafalannya, karena gugurlah riwayatnya atau dipandang lemah (‘Ajaj
al-khatib,1989: 260).
Di samping istilah tersebut, ada juga yang dinamakan dengan tarijh.
Tarijh menurut bahasa, berarti tsaqiq (melakukan) atau ta’jib
(menggalibkan) (Idris Marbawi, tt : 324). Sedangkan menurut istilah ahli hadis
, tarijh ialah :
وَصِفَةِ الرَّ ا وِ ى بِصِفا تِ تَقْضِى تضْعِيْف رِ وَبَتِهِ اَ وْ
عَدَ مِ قيو لما
Menafsirkan para perawi dengan sifat-sifat yang menyebabkan lemah
riwayatnya atau tidak diterima riwayatnya .(Ibid, 1981: 204).
Atau dengan perkataan lain tarjih adalah :
اِظْهَا رُ عَيْبُ يُرَ وِ يَهُ ا لرِ وَ ا يَةِ
Menempatkan suatu sifat cacat, yang karenanya ditolak riwayatnya
(Hasbi,1981: 204).
Pengertian ta’dil dalam masalah periwayatan, dapat dilihat dari 2
sisi yaitu :
1. Ta’dil dalam arti al- Tawsiyah (menyamakan) (Al-Munjid,491).
2. Ta’dil menurut istilah ahli hadis adalah :
وَ صفَةُ ا لرَّ ا وِ ى بِصِفَا تِ نَزْ كِيْهِ فَيُطَهِّرُ عَدَ ا
لَةِ وَ نُقْبَلُ خَي هُ
Menafsirkan para perawi dengan sifat-sifat yang menetapkan
kebersihannnya, maka tampaklah keadilannya, dan diterima riwayatnya. (Hasbi,
1981:205)
Sedangkan ‘urfuahli hadis memberikan batasan tentang pengertian
ta’dil dengan:
ا لاِ عْتِرَ ا وِ بِعَدَ ا لَةِ ا لرَ ا وِ ى وَ طَبْطِهِ وَ
ثِقَتِهِ
Mengakui keadilan seseorang ke- dhibit-annya dan kepercayaannya.
(Hasbi, 1981 : 204)
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan ilmu jarh wa al-ta’dil adalah sebagai berikut :
ا لعِلْمُ الَّذِ ى جُب فِى اَحْوَ ا لِ وَ ا هْ مِنْ قَبْلِ رِ وَ ا
يَتِهِمْ
Ilmu yang mempelajari keadaan para perawi dari segi diterima atau
ditolaknya riwayatannya. (Faturrahman,1907:204).[4]
Maka, ilmu al-Jarh wa Ta’dil adalah: satu disiplin ilmu yang
membahas tentang para perawi diterima atau tidaknya riwayat mereka, dengan
menggunakan lafadz-lafadz khusus sesuai urutan atau tingkatan yang berlaku.[5]
2.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya ilmu jarh wa
al-ta’dil
Ada beberapa faktor penting yang menjadi penyebab lahirnya konsep al-jarh
wa al-ta’dil dalam tradisi ulama hadis. Sebagai satu disip;in ilmu yang
memiliki piranti dan kaidah-kaidah khusus, tujuan yang paling agung adalah
untuk memelihara dua sumber islam : alquran dan sunnah nabi muhammad saw.
Faktor penyebab lahirnya disiplin ilmu ini adalah munculnya gerakan
pemalsuan hadis (al-wadh’u), gerakan inilah yang menjadi pemicu utama lahirnya
ilmu tersebut.oleh karena itu, para ulama bergerak untuk membendung arus
pemalsuan hadis tersebut, dengan melakukan bebrapa langkah diantaranya yaitu :
1)
Pengamatan
sanad hadis
2)
Melakukan
check atas validitas hadis, hal ini dilakukan dengan merujuk kepada para
sahabat, tabiin dan para ulama yang pakar dalam ilmu ini.
3)
Kritik
para perawi dan menjelaskan kepribadian mereka, dari sisi kejujuran dan
kecacatannya.
4)
Membuat
kaidah-kaidah umum dalam mengklasifikasikan hadis.[6]
Perlu dijelaskan pula, bahwa jarh wa ta’dil bukanlah
termasuk dalam ghibah yang dilarang, bahkan para ulama mengkategorikannya
sebagai nasehat dalam agama. Lebih dari itu, dasar jarh wa ta’dil sendiri sudah
digariskan oleh allah swt. Dalam al-quran maupun sunnah nabi saw, diantaranya
surat Al-hujurat (49) 6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ
فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا
فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
‘’Hai oang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu’’.
Dalam ayat ini, allah swt, memerintahkan agar kita tidak mengambil
riwayat-riwayat (informasi)yang datang dari orang-orang fasiq dan tidak tsiqat
(terpercaya). Allah swt juga mencela orang-orang munafik dan kafir dalam
berbagai ayat, sebagaimana juga allah swt, mengapresiasi para sahabat dan
memuji mereka di dalam kitab-nya, surat al-imran (3):110
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ
خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
‘’Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.’’
Beberapa hadits yang menjelaskan boleehnya seseorang melakukan jarh
wa ta’dil kepada orang lain diantaranya adalah :
a.
Sabda
rasulullah saw, kepada seorang laki-laki:’’(dan) itu seburuk-buruk saudara
ditengah-tengah keluarganya’’(HR,Bukhari).
b.
Sabda
rasulullah saw, kepada fathimah binti qais yang menanyakan tentang mu’awiyah
bin abi sufyan dan abu jahm yang tengah melamarnya:’’adapun abu jahm, dia tidak
pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan muawiyyah
seorang yang miskin tidak mempunyai harta’’ (HR.Muslim). dua hadis diatas
merupakan dalil al-jarh dalam rangka nasihat dan kemaslahatan, adapun al-ta’dil,
salah satunya berdasarkan hadits :
c.
Rasulullah
saw bersabda : ‘’sebaik-baik hamba allah adalah khalid bin walid, salah satu
pedang diantara pedang-pedang allah swt’’(HR.Ahmad dan tirmidzi dari abi
hurairah radliyallahuanhu).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan aktifitas jarh wa ta’dil
untuk menjaga syariat atau agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan
sebagaimana dinolehkan jarh dalam persaksian, maka para perawi pun juga
diperbolehkan, bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih
utama dari pada masalah hak dan harta.
Al-jarh wa al-ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang
dikalangan sahabat, tabiin dan para ulama setelahnya hingga saat ini, karena
takut apa yang diperingatkan rasulullah saw.
‘’akan ada pada umatku yang terakhir nanti, orang-orang yang
menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga
bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka da
waspadailah mereka’’ (Muqaddimah shahih muslim).[7]
3.
Pertumbuhan serta perkembangan ilmu jarh wa ta’dil
Ilmu jarh wa ta’dil tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya
periwayatan hadis dalam islam karena untuk mengetahui hadis yang sahih dan
keadaan para perawinya sehingga dengan ilmu ini, memungkinkan menetapkan
kebenaran seorang perawi atau kedustaannya sampai mereka bisa membedakan antara
yang diterima dan yang ditolak (maqbul dan mardud). Karena itu, para ulama
menanyakan pertama kali tentang keadaan para perawi, meneliti kehidupannya, dan
mengetahui segala keadaan mereka, setiap yang lebih hafal, lebih kuat
ingatannya, dan lebih lama menyertai gurunya.
Demikianlah ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya
periwayatan, untuk menentukan bobot dan kualitas dari pada suatu hadis, sejak
dahulu para ulama menerangkan tentang cacat atau tidaknya seorang perawi hadis,
sehingga membuka tabir kegelapan dalam menentukan nilai atau kualitas hadis
bagi ulama berikutnya[8]
Eksistensi al-jarh wa ta’dil dalam kritik sanad hadis
berfungsi sebagai tolok ukur dan timbangan bagi seorang perawi apakah hadis yang
diriwayatkan itu diterima atau ditolak, dan penerimaan atau penolakan itu di
dasarkan pada kualitas pribadi dan kapsitas intelektual perawi tersebut, dalam
konteks inilah al-jarh wa al-ta’dil memberi sumbangan dalam melihat dan
meneliti aspek-aspek tersebut.
Permasalahan al-jarh wa al-ta’dil, al-khatib menyatakan
bahwa sebenarnya al-jarh wa al-ta’dil tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya
periwayatan dalam islam itu sendiri. Al-Naisaburi juga mengatakan bahwa
generasi pertama yang telah memperkenalkan azas dan kaidah al-jarh wa ta’dil
ini adalah generasi sahabat, diantaranya adalah : abu bakar, umar, ali, zaid
ibn thabit, dimana mereka menyeleksi, memberikan nilai negatif dan positif, dan
membahas riwayat-riwayat yang sahih dan tidak sahih.
Yang dimaksud dengan al-khatib maupun al-naisaburi tentang al-jarh
wa al-ta’dil adalah dalam arti praktis, yakni kritik terhadap pembawa
berita (perawi). Sedangkan dalam arti teoretis,al-jarh wa al-ta’dil
muncul bersamaan dengan munculnya ilmu hadis lain yang terdapat dalam berbagai
kitab hasil karya para ulama hadis.
Pembahasan mengenai al-jarh wa al-ta’dil pada tahap
berikutnya mengalami perkembangan yang demikian pesat. Pada abad kedua muncul
tokok-tokoh al-jarh wa al-ta’dil, diantaranya adalah Ma’mar (w. 153
H),Hisyam al-Distiwai (w. 154 H), al-Auza’i (w. 156 H), al-tsauri (w. 161 H),
Hammad ibn salamah (w. 167 H) dan al-laits ibn sa’ad ( 2.197 H) pada penghujung
periode tarkhir abad kedua itu juga muncul tokoh-tokoh al-jarh wa al-ta’dil
seperti yahya ibn sa’id al- qattan (w. 109 H) dan abdur rahman ibn mahdi (w.
198 H).[9]
Ulama merasa
berkewajiban menerangkan keadaan yang
sebenarnya dari perawi-perawi hadis, meskipun menyangkut soal-soal intern atau
pribadi demi untuk menjaga kemurnian ajaran-ajaran nabi (hadits). Menurut ibnu
adi dalam kitab Al-kamil, bahwa membicarakan kualitas perawi-perawi hadits itu
sudah mulai sejak dari masa sahabat. Dari kalangan sahabat antara lain : ibnu
abbas (wafat tahun 68 H), ubadah bin ash-shamit (34 H),dan anas bin malik (93
H). Dari kalangan tabiin antara lain : said bin Al- musayyab (94 H), ibnu sirin
(110 H) dan Asy-sya’bi (103 H). Pada masa ini masih sedikit sekali perawi
hadits yang dipandang lemah atau cacat karena perawi-perawinya sebagian besar
adalah sahabat-sahabat nabi, sedang semua sahabat-sahabat nabi itu dipandang
adil. Adapun perawi-perawi lain yang bukan sahabat, sebagian besar adalah
orang-orang yang terpercaya.
Pada permulaan abad ke II H, barulah terdapat banyak perawi-perawi
yang lemah. Kelemahan mereka pada umumnya disebabkan karena tidak dlabith
(tidak kuat hafalannya, dan tidak teliti), misalnya meng-irsalkan
(mursal)hadits, dan merafa’kan (marfu’) hadis yang sebenarnya mauquf. Diantara
mereka ialah Abu Harun Al- abdari (143 H).
Pada akhir masa tabi’in lebih kurang tahun 150 H, mulai banyak
ulama yang membicarakan hal ikhwal dan kualitas para perawi hadits, yang
terkenal antara lain : yahya bin sa’id Al- qaththan (189 H) dan abdurrahman bin
mahdi (198 H). Penilainnya tentang kualitas para perawi hadits dapat diterima
umat islam karena kedua ulama ini diakui sebagai orang yang ahli dalam bidang
ini dan penilaiannya obyektif.
Pada akhir abad III H, mulailah ulama menyusun kitab-kitab tentang
jarh dan ta’dil dan didalamnya diterangkan nama-nama perawi hadits dan
keadaannya yang dapat diterima riwayatnya dan yang ditolak. Tokoh-tokoh yang
terkenal antara lain : yahya bin ma’in (233 H), Ali bin Al-madini (234 H) dan
Al- bukhari (256 H).selanjutnya tia-tiap masa selama 8 abad penuh mulai masa sahabat
sampai masa hidupnya ibnu hajar (652 H), terdapat ‘’ ulama al-jarh wa-ta’dil’’
yang selalu mengadakan penelitian terhadap keadaan para perawi hadits kemudian
memberikan penilaiannya secara obyektif dan dengan penuh rasa tanggung jawab,
dan hasil penilaiannya itu banyak pula dibukukan dalam kitab-kitab jarh dan
ta’dil.[10]
4.
Syarat-syarat
pen-ta’dil dan pen-tarjih
Para ulama sependapat
tentang syarat-syarat dan kriteria yang harus dipenuhi oleh para pen-ta’dil dan
pen-tarjih sebagai berikut :
a.
Memenuhi
kriteria sebagai orang yang alim
b.
Memenuhi
kriteria sebagai seorang yang bertaqwa
c.
Memenuhi
kriteria sebagai orang yang wara’
d.
Memnuhi
kriteria sebagai orang yang jujur
e.
Seorang
yang tidak terkena jarh
f.
Tidak
fanatik terhadap sebagian rawi
g.
Memahami
dengan baik sebab-sebab jarh dan ta’dil.
h.
Penta'dil
harus seorang yang adil, yaitu, muslim, baligh, berakal, dan
selamat dari sebab-sebab kefasikan dan dari perangai yang buruk.
i.
Penta'dil
harus bersungguh-sungguh dalam mencari dan mempelajari
keadaan para perawi.
Mereka yang tidak memenuhi syarat dan kriteria tersebut diatas,
kritiknya terhadap perawi tidak bisa diterima.[11][11]
5. Tingkatan al-Jarh wa Ta’dil
Dalam
muqaddimah kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, ibnu Abu Hatim membagi jarh dan ta’dil
masing-masing menjadi 4 tingkatan, kemudian para ulama menambah masing-masing 2
tingkatan. Jadi seluruhnya menjadi enam tingkatan.Berikut pembahasan
tingkatan-tingkatan tersebut berikut lafal-lafalnya.
1. Tingkatan Ta’dil dan Lafal-lafalnya
a. Dengan lafal yang menunjukkan arti lebih atau
paling atau yang bentuk Af’al al-Tafdil. Tingkatan ini yang paling tinggi
kualitasnya seperti:
فلاالليهالنتهيفيالتثبت
“Si fulan
adalah orang yang paling top keteguhan hati dan hafalannya”
فلاناثيتالناس
“Si fulan
adalah orang yang mantap hafalan dan keadilan-nya”
b. Dengan lafal yang menta’qidkan ketsiqahan
perawi dengan membubuhi satu sifat atau beberapa yang menunjukkan keadilan dan
kedlabitannya, baik yang sifat yang dibubuhkan itu delafal (dengan
mengulangnya) atau semakna seperti :
ثقة ثقة : “dia betul-betul tsiqah”.
ثقة ثبت : “dia adalah orang yang tsiqah lagi teguh”.
c. Dengan lafal yang menunjukkan arti tsiqah tanpa
ta’qid, seperti contoh :
ثقة : “dia orang yang
tsiqah”.
حجة : “dia
orang yang petah lidahnya”.
d. Dengan lafal lain yang menunjukkan arti adil
atau dlabith, seperti:
صدوق : “dia orang yang sangat jujur”.
محل الصدق :
“dia orang yang berstatus jujur”.
لاباس به : “dia orang yang tidak cacat menurut
sebagian ulama”.
e. Dengan lafal yang tidak menunjukkan tsiqah dan
jarh seperti :
فلان شيخ : “si fuan adalah seorang guru”.
روي عنه الناس : “orang yang meriwayatkan hadist darinya”.
f. Dengan lafal yang mendekati arti jarh, seperti
:
فلان صا لح الحديث
بكتب حديثه
Hukum
tingkatan ta’dil tersebut adalah:
• Perawi yang dita’dil dengan 3 tingkatan yang
pertama hadisnya dapat dipakai sebagai hujjah, apabila masing-masing saling
menguatkan.
• Perwi yang dita’dil dengan tingkatan yang
keempat dan kelima di-ikhtibar (dapat dipertimbangkan)
• Perawi yang dita’dil dengan tingkatan yang
keenam hadisnya (sebgai pertimbangan ) tidak untuk diikhtibar, karena jelas
tidak menunnjukkan arti dlabith.
2. Tingkatan Jarh dan Lafal-lafalnya
a. Dengan lafal yang menunjukkan arti lemah, ini
adalah tingkan yang paling rendah adalah jarh, seperti :
فلان لين الحدي :
“si fulan aadalah orang yang lunak hadisnya”.
فيه مقا : “si fulan adalah orang yang
diperbincangkan (hadisnya)”.
b. Dengan lafal yang menjelaskan bahwa hadisnya
tidak dapat dipai hujjah atau sejenisnya, seperti :
فلان لايحتج به :”si
fulan hadisnya tidak dipakai hujjah”.
ضعيف :”dia adalah perawi lemah”.
له منا كير :”mulanya dia adalah perawi yang
munkar”.
c. Dengan lafal yang menjelaskan bahwa hadisnya
tidak ditulis atau sejenisnya, seperti:
فلان لايكتب حديثه :”si fulan hadisnya tidak ditulis”.
لاتحل روايته :”tidak
halal riwayat hadis darinya”.
ضعيف جدا :”dia adalah orang yang sangt
lemah”.
واه بمرة :”dia adalah orang yang sering
menduga-duga (peragu)”.
d. Dengan lafal yang mengandung arti dugaan dusta
atau sejenisnya, seperti :
فلان متهم بالكذب :”si fulan diduga orang yang suka
dusta”.
متهم بالوضع :”si fulan
orang yang diduga bohong”.
يسرق الحديث :”dia adalah
orang yang mencuri hadis”.
سا قط :”dia
adalah orang yang gugur”.
متروك :”dia
adalah orang yang ditinggal hadisnya”
ليس بثقة :”dia
adalah orang yang tidak tsiqah”.
e. Dengan lafal yang menunjukkan sifat bohong atau
sejenisnya, seperti :
ذاب :”dia adalah pembohong”.
دجال :”dia
adalah penipu”.
وضاع :”dia adalah pendusta”.
يكذب :”dia dusta”.
يضع :”dia bohong”.
f. Dengan lafal yang menunjukan arti sagat dusta
atau lafal yang berbentuk af’al al-tafdil, seperti :
فلان اكذب الناس :”dia adalah orang yang paling
bohong”.
المنتهي في الكذب :”dia adalah orang paling top
kebohongannya”.
هوركن الكذب :”dia adalah
termasuk orang-orang yang berbohong”.
Hukum
tingkatan jarh tersebut adalah :
Tingkatan pertama merupakan tingkatan Jarh
yang paling buruk dan parah, perawi yang berada pada tingkatan ini, merupakan
perawi yang paling bermasalah kecacatan pribadinya, disusul kemudian tingkatan
ke dua, ketiga dan seterusnya. Hadis yang diriwayatkan oleh perwi yang berada
pada tingkatan yang pertama hingga keempat, hadis-hadis mereka tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh diriwayatkan, bahkan tidak dianggap sama
sekali. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh perwai yang berada pada tingkatan
5 dan 6 , hadits mereka masih boleh diriwayatkan, boleh juga ditulis dan masih
bisa dijadikan pembanding.
• Perawi yang di-jarh dengan 2 tingkatan yang
pertama, hadisnya tidak dapat dihujjah, namun hadisnya bisa dicatat sebagai
I’tibar.
• Perwi yang di Jarh dengan tingkatan terakhir
hadisnya tidak dapat dipakai hujjah, tidak dapat dicatat dan tidak bi sebagai
I’tibar.[12][12]
6. Sifat-sifat yang Menyebabkan Seorang Perawi Dinilai Jarh
Seorang perawi hadi dapat tidak diterima
periwayatannya manakala terdapat suatu sifat atau beberapa sifat yang dapat
menggugurkan keadilannya, yang efeknya tidak dapat diterima periwayatannya.
Sifat-sifat tersebut, antara lain seperti diuraikan berikut ini.
1. Dusta
Yang dimaksud dengan dusta dalam hal ini ialah bahwa
orang itu pernah berbuat dusta terhadap sesuatu atau beberpa hadis. Dalam
pengartian, seorang perawi berbuat dusta terhadap Rasulullah saw, seperti
membuat hadis palsu, pernah menjadi saksi palsu, kecuali ia sudah tobat.
Menetapkan kepalsuan suatu hadis yang diriwayatkan
oleh orang yang oleh orang yang pernah berbuat dusta adalah berdasarkan
keyakinan yang kuat, bukan atas dasar sangkaan, sehingga mungkin pada suatu
saat, ia berbuat dusta dan dalam keaadan lain, ia berkata sebenarnya. Dalam
masalah ini, para ulama berpendapat. Menurut Imam Ahmad dan Abu Bakar
al-Humaidi, guru Imam al-Bukhari, riwayatnya tidak dapat diterima, meski ia
sudah berbuat. Pendapat ini dikutip oleh Mudhaafar al Sam’any, sedangkan al
Nawawi me-naskh-kan atau menerima riwayatnya apabila ia betul telah bertobat.
2. Tertunduh Berbuat Dusta
Yang dimaksud dengan tertunduh dengan berbuat dusta
adalah seorang perawi sudah tenar di kalangan masyarakat sebagai orang yang
berdusta. Periwayatan orang yang tertunduh dusta dapat diterima apabila ia
betul-betul telah bertaubat sehingga masyarakat tidak lagi menunduh dusta.
3. Fasik (Melanggar Ketentuan Syarak)
Yang dimaksud fasik disini ialah fasik
dalam perbuatan yang tampak secara lahiriyah, bukan dalam I’tiqiyah, nama tetap
periwayatannya ditolak, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah (Q.S.
Al-Hujurat:7) sebagai berikut.
وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ
ٱللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِى كَثِيرٍ
مِّنَ ٱلْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ ٱلْإِيمَٰن
وَزَيَّنَهُۥ فِى قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ
إِلَيْكُمُ ٱلْكُفْرَ وَٱلْفُسُوقَ وَٱلْعِصْيَانَ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلرَّٰشِدُون
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada
Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapaurusan benar-benarlah
kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada
keimanan itu indah didalam hatimu serta
menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci
kepada kefakiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang
mengikuti jalan yang lurus (Hasbi Ash-Shiddieqi, 1989:846)
4. Jahalah
Yang
dimaksud dengan jahalah adalah perawi hadis itu tidak diketahui kepribadiannya,
apakah ia sebagai orang yang atau tercatat (jarih). Dengan tidak diketahuinya
itu, menjadi alasan untuk tidak diterima riwayatnya, kecuali dari golongan
sahabat atau orang yang disebut dengan lafal yang menyebutkan atau menunjukkan
kepada kepercayaan, seperti lafal hadatsan, tsiqan, atau akhbar-nya ‘adlun,dan
sebaginya.
5. Ahli bi’ah
Yang
dimaksud dengan ahli bid’ah, yaitu perawi yang tergolong melakukan bid’ah, dalam I’tikad yang menyebabkan ia kufur, maka riwayatnya ia
di tolak.[13][13]
KESIMPULAN
ilmu al-jarh wa at-ta’dil
merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadits yang membahas cacat
atau adilnya seseorang yang meriwayatkan hadits yang berpengaruh besar terhadap
klasifikasi haditsnya.
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil muncul bersamaan dengan munculnya
periwayatan di dalam Islam yang sudah ada sejak awal kemunculan Islam.
Jarh wa ta’dil bukanlah
termasuk ghibah yang dilarang, bahkan para ulama mengategorikannya sebagai
nasehat dalam agama. Oleh karena itu, para ulama membolehkan jarh wa ta’dil
untuk menjaga syariat/agama ini, bukan untuk mencela menusia.
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil
bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima
atau harus ditolak sama sekali serta untuk menyeleksi mana hadits shahih,
hasan, ataupun hadits dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari
matannya.
Ada beberapa syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan (mu’addil) dan
orang yang men-jarh-kan (jarih), yaitu: berilmu pengetahuan, takwa, wara’,
jujur, menjauhi fanatic golongan dan mengetahui sebab-sebab untuk
men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.
DAFTAR PUSTAKA
Smeer, zeid, 2014. Studi Hadis Kontemporer.Yogyakarta Aura pustaka
Sumbulah, umi,2008. Kritik Hadis. Malang UIN Press
Sulaiman,Noor.2008. Antologi Ilmu Hadis.Gaung Persada Press Jakarta
Zuhri, muhammad,2003. Hadis Nabi.PT Tiara Wacana Yogya
Ahmad,Muhammad,dkk,2000.Ulumul Hadis.CV Pustaka Setia
Sahrani,Sohari,2010.Ulumul Hadits.Ghalia Indonesia
Thahhan Mahmud,2007.Intisari Ilmu Hadis.UIN-malang press
Soetari, Endang, 2005.Ilmu Hadis:kajian Riwayah dan
Dirayah.Bandung.Mimbar Pustaka
Idri,2010.Studi Hadis.Jakata:Kencana Prenada Media Group
Zulhilmi bin Mohamed Nor,http://lms.kuis.edu.my/jurnal/wp-content/uploads/2013/11/Hadis_Jurnal_Bil_3_4
Catatan:
1.
Pendahuluan
tolong diperbaiki.
2.
Penulisan
footnote masih ada yang salah, begitu pula daftar pustaka: judul buku dibuat
miring.
3.
Perujukan
masih minim.
4.
Buatkan
makalah sesuai format yang menjadi acuan.
5.
Jika
diambil dari jurnal, maka berikan referensi ke jurnalnya, lengkap dengan
keterangan jurnal tersebut.
6. Referensi yang dicantumkan di buku atau artikel harus dihilangkan.
[1]Noor sulaiman, Antologi ilmu
hadist(Jakarta: Gaung persada press 2008) hlm.176.
[2]Muh zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta PT
Tiara Wacana 1997)hlm.120.
[3]Ibid hlm 176
[4]Sohari Sahrani, Ullumul
Hadist(Bogor:Ghalia Indonesia)hlm.150-151
[5]Zeid B. Smeer, Studi HadisKontenporer(Yogyakarta:Aura
Pustaka)hlm. 197-198
[7]Zaid B. Smeer, Studi Hadist
kontenporer (Yogyakarta:Aura Pustaka)hlm.199-200.
[8]Sohari Sahrani, Ummul Hadist (Bogor:Ghalia
Indonesia)hml.151-152.
[9]Umi
Sumbulah, Kritik Hadis (Malang:UIN malang press)hml.80-82
[11]Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadist
(Jakarta:Gaung Persada Press)hlm.177.
[12]Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadis
(UIN-Malang press)hlm.168-172
[13]Sohari Shrani, Ulumul Hadis
(Bogor:Ghalia Indonesia)hlm.152-153
Tidak ada komentar:
Posting Komentar