Rabu, 26 April 2017

Ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil (P-IPS E Semester Genap 2016/2017)




ILMU JARH WA AL-TA’DIL
Tifliatul huzaimah dan iffah hidayati
Pendidikan ilmu pengetahuan sosial
Kelas E
Universitas islam negeri maulana malik ibrahim malang
Email :thifliamkhuzaima@gmail.com
Abstrack:
To measure the truth and error or false hadith is not easy, so there are some groups consider shohih and there are other groups who brand dhoif, science jarh wa ta'dil is very important and can not be separated with other science of hadith because in science jarh wa ta ' This dil we can determine the acceptance or rejection of a hadith if an expert hadith is deemed defective then his reporting is rejected and if a hadith is transmitted with fair praises then the transmission is accepted. A hadith must be known to be true because hadith is one source in Islam after al- Quran, because the hadith is one of the sources of Islam it must be tested its truth.
Abstrak:
untuk mengukur kebenaran dan kesalahan atau kepalsuan hadis itu tidak mudah,sehingga ada sebagian kelompok menganggap shohih dan ada kelompok lain yang menggap dhoif, ilmu jarh wa ta’dil ini sangat penting dan tidak bisa dipisahkan dengan ilmu hadis lainnya karena dalam ilmu jarh wa ta’dil ini kita bisa menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadis jika  seorang ahli hadis dinyatakan cacat maka periwayatannya ditolak dan jika seorang periwat hadis dipiji dengan puji-pujian adil maka periwayatannya diterima.suatu hadis harus diketahui kebenarannya karena hadis merupakan salah satu sumber dalam islam setelah al-quran, karena hadits merupaka salah satu sumber islam maka harus diuji kebenarannya.
keyword: Ilmu al-Jarh, al-Ta’dil,


A.PENDAHULUAN
Ilmu jarh wa ta’dil merupakan buah manis dari jerih payah para ulama hadis yang telah maksimal berusaha menjaga dan membersihkam hadis-hadis nabi muhammad saw dari tangan-tangan kotor yang hendak merusak dan memalsuka hadi-hadis Nabi saw.
Jarh adalah ungkapan yang digunakan untuk menyebutkan sifat negatif atau keadaan seorang rawi yang menyebabkan ditolaknya atau dilemahkannya periwayatan perawi tersebut, sedangkan ta’dil merupakan ungkapan yang digunakan untuk menyebut atau mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri perawi, sehingga riwayatnya dapat diterima.
Ilmu jarh wa ta’dil merupakan ilmu yang dapat digunakan sebagai timbangan dalam melihat kualitas para perawi, dan dengan ilmu ini dapat pula diketahui siapa diantara para perawi yang  dapat diterima riwayatnya dan siapa pula yang harus ditolak.
Untuk menentukan layak tidaknya sebuah berita atau riwayat untuk diterima, perlu dilakukan pelacakan, dan pendeteksian terhadap penuturnya.pelacakan itu meliputi sifat, karakter dan kepribadian pembawa berita.












B.PEMBAHASAN
1.      Definisi ilmu jarh wa al-ta’dil
Al-jarh wa al-ta’dil terdiri dari dua perkataan yang menggambarkan keseluruhan perbincangan ilmu ini, yaitu al-jarh dan al-ta,dil
Kata Al-Jarh (الجرح) merupakan bentuk dari kata  (جرح - يجرح) atau Jariha-Yajrahu (جرح - يجرح) yang artinya melukai. Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, atau dengan non-fisik, misalnya luka hati karena kata kasar yang dilontarkan oleh seseorang. Apabila kata jarh dipakai oleh hakim di pengadilan yang ditujukan kepada kesaksian, maka kata tersebut mempunyai arti ‘’menggugurkan keabsahan saksi’’.[1]
Dalam istilah lain Menurut bahasa, al-jarh artinya cacat, istilah ini digunakan  untuk menunjukkan ‘’sifat jelek’’ yang melekat pada periwayat hadis, seperti, pelupa, pembohong, dan sebagainya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa periwayat tersebut cacat, hadis yang dibawa oleh periwayat semacam ini ditolak, dan hadisnya dinilai lemah (dhaif).[2]

Sedangkan kata Al-Ta’dil (التعديل) merupakan  bentuk mashdar dari kata kerja  ‘Addala-Yu’addilu (عدل - يعدل) yang  artinya mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki oleh seseorang.
Sedangkan menurut istilah, al-ta’dil adalah mengungkap sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga tampak jelas keadilan perawi itu dan karenanya riwayat yang disampaikannya dapat diterima.[3]

Sedangkan menurut istilah ahli hadis adalah :
ظُهُوْرُصِفَةُفِى الرَّوِى يُفْسِدُعَدَ الَةِ اَوْحِيْلَ يُفْطِه وَ طَبَتُهُ مَا يُتَرَتِبُ عَا سُقُوُ طِ رِ وَ ا يَتِهِ اَوْ طَعْفُهَا وُ رُدَ هَا
Tampak suatu sifat pada perawi yang merusakkan keadilannya, hafalannya, karena gugurlah riwayatnya atau dipandang lemah (‘Ajaj al-khatib,1989: 260).
Di samping istilah tersebut, ada juga yang dinamakan dengan tarijh.
Tarijh menurut bahasa, berarti tsaqiq (melakukan) atau ta’jib (menggalibkan) (Idris Marbawi, tt : 324). Sedangkan menurut istilah ahli hadis , tarijh ialah :
وَصِفَةِ الرَّ ا وِ ى بِصِفا تِ تَقْضِى تضْعِيْف رِ وَبَتِهِ اَ وْ عَدَ مِ قيو لما
Menafsirkan para perawi dengan sifat-sifat yang menyebabkan lemah riwayatnya atau tidak diterima riwayatnya .(Ibid, 1981: 204).
Atau dengan perkataan lain tarjih adalah :
اِظْهَا رُ عَيْبُ يُرَ وِ يَهُ ا لرِ وَ ا يَةِ
Menempatkan suatu sifat cacat, yang karenanya ditolak riwayatnya (Hasbi,1981: 204).
Pengertian ta’dil dalam masalah periwayatan, dapat dilihat dari 2 sisi yaitu :
1. Ta’dil dalam arti al- Tawsiyah (menyamakan) (Al-Munjid,491).
2. Ta’dil menurut istilah ahli hadis adalah :
وَ صفَةُ ا لرَّ ا وِ ى بِصِفَا تِ نَزْ كِيْهِ فَيُطَهِّرُ عَدَ ا لَةِ وَ نُقْبَلُ خَي هُ
Menafsirkan para perawi dengan sifat-sifat yang menetapkan kebersihannnya, maka tampaklah keadilannya, dan diterima riwayatnya. (Hasbi, 1981:205)
Sedangkan ‘urfuahli hadis memberikan batasan tentang pengertian ta’dil dengan:
ا لاِ عْتِرَ ا وِ بِعَدَ ا لَةِ ا لرَ ا وِ ى وَ طَبْطِهِ وَ ثِقَتِهِ
Mengakui keadilan seseorang ke- dhibit-annya dan kepercayaannya. (Hasbi, 1981 : 204)
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ilmu jarh wa al-ta’dil adalah sebagai berikut :
ا لعِلْمُ الَّذِ ى جُب فِى اَحْوَ ا لِ وَ ا هْ مِنْ قَبْلِ رِ وَ ا يَتِهِمْ
Ilmu yang mempelajari keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayatannya. (Faturrahman,1907:204).[4]
Maka, ilmu al-Jarh wa Ta’dil adalah: satu disiplin ilmu yang membahas tentang para perawi diterima atau tidaknya riwayat mereka, dengan menggunakan lafadz-lafadz khusus sesuai urutan atau tingkatan yang berlaku.[5]
2.      Faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya ilmu jarh wa al-ta’dil
Ada beberapa faktor penting yang menjadi penyebab lahirnya konsep al-jarh wa al-ta’dil dalam tradisi ulama hadis. Sebagai satu disip;in ilmu yang memiliki piranti dan kaidah-kaidah khusus, tujuan yang paling agung adalah untuk memelihara dua sumber islam : alquran dan sunnah nabi muhammad saw.
Faktor penyebab lahirnya disiplin ilmu ini adalah munculnya gerakan pemalsuan hadis (al-wadh’u), gerakan inilah yang menjadi pemicu utama lahirnya ilmu tersebut.oleh karena itu, para ulama bergerak untuk membendung arus pemalsuan hadis tersebut, dengan melakukan bebrapa langkah diantaranya yaitu :
1)      Pengamatan sanad hadis
2)      Melakukan check atas validitas hadis, hal ini dilakukan dengan merujuk kepada para sahabat, tabiin dan para ulama yang pakar dalam ilmu ini.
3)      Kritik para perawi dan menjelaskan kepribadian mereka, dari sisi kejujuran dan kecacatannya.
4)      Membuat kaidah-kaidah umum dalam mengklasifikasikan hadis.[6]
Perlu dijelaskan pula, bahwa jarh wa ta’dil bukanlah termasuk dalam ghibah yang dilarang, bahkan para ulama mengkategorikannya sebagai nasehat dalam agama. Lebih dari itu, dasar jarh wa ta’dil sendiri sudah digariskan oleh allah swt. Dalam al-quran maupun sunnah nabi saw, diantaranya surat Al-hujurat (49) 6 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
‘’Hai oang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu’’.
Dalam ayat ini, allah swt, memerintahkan agar kita tidak mengambil riwayat-riwayat (informasi)yang datang dari orang-orang fasiq dan tidak tsiqat (terpercaya). Allah swt juga mencela orang-orang munafik dan kafir dalam berbagai ayat, sebagaimana juga allah swt, mengapresiasi para sahabat dan memuji mereka di dalam kitab-nya, surat al-imran (3):110
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ  وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ  مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
‘’Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.’’
Beberapa hadits yang menjelaskan boleehnya seseorang melakukan jarh wa ta’dil kepada orang lain diantaranya adalah :
a.       Sabda rasulullah saw, kepada seorang laki-laki:’’(dan) itu seburuk-buruk saudara ditengah-tengah keluarganya’’(HR,Bukhari).
b.      Sabda rasulullah saw, kepada fathimah binti qais yang menanyakan tentang mu’awiyah bin abi sufyan dan abu jahm yang tengah melamarnya:’’adapun abu jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan muawiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta’’ (HR.Muslim). dua hadis diatas merupakan dalil al-jarh dalam rangka nasihat dan kemaslahatan, adapun al-ta’dil, salah satunya berdasarkan hadits :
c.       Rasulullah saw bersabda : ‘’sebaik-baik hamba allah adalah khalid bin walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang allah swt’’(HR.Ahmad dan tirmidzi dari abi hurairah radliyallahuanhu).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan aktifitas jarh wa ta’dil untuk menjaga syariat atau agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dinolehkan jarh dalam persaksian, maka para perawi pun juga diperbolehkan, bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama dari pada masalah hak dan harta.
Al-jarh wa al-ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang dikalangan sahabat, tabiin dan para ulama setelahnya hingga saat ini, karena takut apa yang diperingatkan rasulullah saw.
‘’akan ada pada umatku yang terakhir nanti, orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka da waspadailah mereka’’ (Muqaddimah shahih muslim).[7]
3.      Pertumbuhan serta perkembangan ilmu jarh wa ta’dil
Ilmu jarh wa ta’dil tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan hadis dalam islam karena untuk mengetahui hadis yang sahih dan keadaan para perawinya sehingga dengan ilmu ini, memungkinkan menetapkan kebenaran seorang perawi atau kedustaannya sampai mereka bisa membedakan antara yang diterima dan yang ditolak (maqbul dan mardud). Karena itu, para ulama menanyakan pertama kali tentang keadaan para perawi, meneliti kehidupannya, dan mengetahui segala keadaan mereka, setiap yang lebih hafal, lebih kuat ingatannya, dan lebih lama menyertai gurunya.
Demikianlah ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan, untuk menentukan bobot dan kualitas dari pada suatu hadis, sejak dahulu para ulama menerangkan tentang cacat atau tidaknya seorang perawi hadis, sehingga membuka tabir kegelapan dalam menentukan nilai atau kualitas hadis bagi ulama berikutnya[8]
Eksistensi al-jarh wa ta’dil dalam kritik sanad hadis berfungsi sebagai tolok ukur dan timbangan bagi seorang perawi apakah hadis yang diriwayatkan itu diterima atau ditolak, dan penerimaan atau penolakan itu di dasarkan pada kualitas pribadi dan kapsitas intelektual perawi tersebut, dalam konteks inilah al-jarh wa al-ta’dil memberi sumbangan dalam melihat dan meneliti aspek-aspek tersebut.
Permasalahan al-jarh wa al-ta’dil, al-khatib menyatakan bahwa sebenarnya al-jarh wa al-ta’dil tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya periwayatan dalam islam itu sendiri. Al-Naisaburi juga mengatakan bahwa generasi pertama yang telah memperkenalkan azas dan kaidah al-jarh wa ta’dil ini adalah generasi sahabat, diantaranya adalah : abu bakar, umar, ali, zaid ibn thabit, dimana mereka menyeleksi, memberikan nilai negatif dan positif, dan membahas riwayat-riwayat yang sahih dan tidak sahih.
Yang dimaksud dengan al-khatib maupun al-naisaburi tentang al-jarh wa al-ta’dil adalah dalam arti praktis, yakni kritik terhadap pembawa berita (perawi). Sedangkan dalam arti teoretis,al-jarh wa al-ta’dil muncul bersamaan dengan munculnya ilmu hadis lain yang terdapat dalam berbagai kitab hasil karya para ulama hadis.
Pembahasan mengenai al-jarh wa al-ta’dil pada tahap berikutnya mengalami perkembangan yang demikian pesat. Pada abad kedua muncul tokok-tokoh al-jarh wa al-ta’dil, diantaranya adalah Ma’mar (w. 153 H),Hisyam al-Distiwai (w. 154 H), al-Auza’i (w. 156 H), al-tsauri (w. 161 H), Hammad ibn salamah (w. 167 H) dan al-laits ibn sa’ad ( 2.197 H) pada penghujung periode tarkhir abad kedua itu juga muncul tokoh-tokoh al-jarh wa al-ta’dil seperti yahya ibn sa’id al- qattan (w. 109 H) dan abdur rahman ibn mahdi (w. 198 H).[9]
 Ulama merasa berkewajiban  menerangkan keadaan yang sebenarnya dari perawi-perawi hadis, meskipun menyangkut soal-soal intern atau pribadi demi untuk menjaga kemurnian ajaran-ajaran nabi (hadits). Menurut ibnu adi dalam kitab Al-kamil, bahwa membicarakan kualitas perawi-perawi hadits itu sudah mulai sejak dari masa sahabat. Dari kalangan sahabat antara lain : ibnu abbas (wafat tahun 68 H), ubadah bin ash-shamit (34 H),dan anas bin malik (93 H). Dari kalangan tabiin antara lain : said bin Al- musayyab (94 H), ibnu sirin (110 H) dan Asy-sya’bi (103 H). Pada masa ini masih sedikit sekali perawi hadits yang dipandang lemah atau cacat karena perawi-perawinya sebagian besar adalah sahabat-sahabat nabi, sedang semua sahabat-sahabat nabi itu dipandang adil. Adapun perawi-perawi lain yang bukan sahabat, sebagian besar adalah orang-orang yang terpercaya.
Pada permulaan abad ke II H, barulah terdapat banyak perawi-perawi yang lemah. Kelemahan mereka pada umumnya disebabkan karena tidak dlabith (tidak kuat hafalannya, dan tidak teliti), misalnya meng-irsalkan (mursal)hadits, dan merafa’kan (marfu’) hadis yang sebenarnya mauquf. Diantara mereka ialah Abu Harun Al- abdari (143 H).
Pada akhir masa tabi’in lebih kurang tahun 150 H, mulai banyak ulama yang membicarakan hal ikhwal dan kualitas para perawi hadits, yang terkenal antara lain : yahya bin sa’id Al- qaththan (189 H) dan abdurrahman bin mahdi (198 H). Penilainnya tentang kualitas para perawi hadits dapat diterima umat islam karena kedua ulama ini diakui sebagai orang yang ahli dalam bidang ini dan penilaiannya obyektif.
Pada akhir abad III H, mulailah ulama menyusun kitab-kitab tentang jarh dan ta’dil dan didalamnya diterangkan nama-nama perawi hadits dan keadaannya yang dapat diterima riwayatnya dan yang ditolak. Tokoh-tokoh yang terkenal antara lain : yahya bin ma’in (233 H), Ali bin Al-madini (234 H) dan Al- bukhari (256 H).selanjutnya tia-tiap masa selama 8 abad penuh mulai masa sahabat sampai masa hidupnya ibnu hajar (652 H), terdapat ‘’ ulama al-jarh wa-ta’dil’’ yang selalu mengadakan penelitian terhadap keadaan para perawi hadits kemudian memberikan penilaiannya secara obyektif dan dengan penuh rasa tanggung jawab, dan hasil penilaiannya itu banyak pula dibukukan dalam kitab-kitab jarh dan ta’dil.[10]

4.      Syarat-syarat pen-ta’dil dan pen-tarjih
 Para ulama sependapat tentang syarat-syarat dan kriteria yang harus dipenuhi oleh para pen-ta’dil dan pen-tarjih sebagai berikut :
a.       Memenuhi kriteria sebagai orang yang alim
b.      Memenuhi kriteria sebagai seorang yang bertaqwa
c.       Memenuhi kriteria sebagai orang yang wara’
d.      Memnuhi kriteria sebagai orang yang jujur
e.       Seorang yang tidak terkena jarh
f.       Tidak fanatik terhadap sebagian rawi
g.      Memahami dengan baik sebab-sebab jarh dan ta’dil.
h.      Penta'dil harus seorang yang adil, yaitu, muslim, baligh, berakal, dan
selamat dari sebab-sebab kefasikan dan dari perangai yang buruk.
i.        Penta'dil harus bersungguh-sungguh dalam mencari dan mempelajari
keadaan para perawi.
Mereka yang tidak memenuhi syarat dan kriteria tersebut diatas, kritiknya terhadap perawi tidak bisa diterima.[11][11]
5.      Tingkatan al-Jarh wa Ta’dil
Dalam muqaddimah kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, ibnu Abu Hatim membagi jarh dan ta’dil masing-masing menjadi 4 tingkatan, kemudian para ulama menambah masing-masing 2 tingkatan. Jadi seluruhnya menjadi enam tingkatan.Berikut pembahasan tingkatan-tingkatan tersebut berikut lafal-lafalnya.
1. Tingkatan Ta’dil dan Lafal-lafalnya
a. Dengan lafal yang menunjukkan arti lebih atau paling atau yang bentuk Af’al al-Tafdil. Tingkatan ini yang paling tinggi kualitasnya seperti:
فلاالليهالنتهيفيالتثبت
“Si fulan adalah orang yang paling top keteguhan hati dan hafalannya”
فلاناثيتالناس
“Si fulan adalah orang yang mantap hafalan dan keadilan-nya”
b. Dengan lafal yang menta’qidkan ketsiqahan perawi dengan membubuhi satu sifat atau beberapa yang menunjukkan keadilan dan kedlabitannya, baik yang sifat yang dibubuhkan itu delafal (dengan mengulangnya) atau semakna seperti :
ثقة ثقة                                : “dia betul-betul tsiqah”.
ثقة ثبت                               : “dia adalah orang yang tsiqah lagi teguh”.
c. Dengan lafal yang menunjukkan arti tsiqah tanpa ta’qid, seperti contoh :
ثقة                                     : “dia orang yang tsiqah”.
حجة                                  : “dia orang yang petah lidahnya”.
d. Dengan lafal lain yang menunjukkan arti adil atau dlabith, seperti:
صدوق                               : “dia orang yang sangat jujur”.
محل الصدق             : “dia orang yang berstatus jujur”.
لاباس به                             : “dia orang yang tidak cacat menurut sebagian ulama”.
e. Dengan lafal yang tidak menunjukkan tsiqah dan jarh seperti :
فلان شيخ                            : “si fuan adalah seorang guru”.
روي عنه الناس                     : “orang yang meriwayatkan hadist darinya”.
f.  Dengan lafal yang mendekati arti jarh, seperti :
فلان صا لح الحديث
بكتب حديثه
Hukum tingkatan ta’dil tersebut adalah:
   Perawi yang dita’dil dengan 3 tingkatan yang pertama hadisnya dapat dipakai sebagai hujjah, apabila masing-masing saling menguatkan.
   Perwi yang dita’dil dengan tingkatan yang keempat dan kelima di-ikhtibar (dapat dipertimbangkan)
   Perawi yang dita’dil dengan tingkatan yang keenam hadisnya (sebgai pertimbangan ) tidak untuk diikhtibar, karena jelas tidak menunnjukkan arti dlabith.
2. Tingkatan Jarh dan Lafal-lafalnya
a. Dengan lafal yang menunjukkan arti lemah, ini adalah tingkan yang paling rendah adalah jarh, seperti :
فلان لين الحدي                     : “si fulan aadalah orang yang lunak hadisnya”.
فيه مقا                                : “si fulan adalah orang yang diperbincangkan (hadisnya)”.
b. Dengan lafal yang menjelaskan bahwa hadisnya tidak dapat dipai hujjah atau sejenisnya, seperti :
فلان لايحتج به                      :”si fulan hadisnya tidak dipakai hujjah”.
ضعيف                               :”dia adalah perawi lemah”.
له منا كير                            :”mulanya dia adalah perawi yang munkar”.
c. Dengan lafal yang menjelaskan bahwa hadisnya tidak ditulis atau sejenisnya, seperti:
فلان لايكتب حديثه                 :”si fulan hadisnya tidak ditulis”.
لاتحل روايته                        :”tidak halal riwayat hadis darinya”.
ضعيف جدا                          :”dia adalah orang yang sangt lemah”.
واه بمرة                              :”dia adalah orang yang sering menduga-duga (peragu)”.
d. Dengan lafal yang mengandung arti dugaan dusta atau sejenisnya, seperti :
فلان متهم بالكذب                   :”si fulan diduga orang yang suka dusta”.
متهم بالوضع                        :”si fulan orang yang diduga bohong”.
يسرق الحديث                       :”dia adalah orang yang mencuri hadis”.
سا قط                                 :”dia adalah orang yang gugur”.
متروك                               :”dia adalah orang yang ditinggal hadisnya”
ليس بثقة                              :”dia adalah orang yang tidak tsiqah”.
e. Dengan lafal yang menunjukkan sifat bohong atau sejenisnya, seperti :
ذاب                                   :”dia adalah pembohong”.
دجال                                  :”dia adalah penipu”.
وضاع                                :”dia adalah pendusta”.
يكذب                                  :”dia dusta”.
يضع                                  :”dia bohong”.
f.  Dengan lafal yang menunjukan arti sagat dusta atau lafal yang berbentuk af’al al-tafdil, seperti :
فلان اكذب الناس                    :”dia adalah orang yang paling bohong”.
المنتهي في الكذب                   :”dia adalah orang paling top kebohongannya”.
هوركن الكذب                       :”dia adalah termasuk orang-orang yang berbohong”.
Hukum tingkatan jarh tersebut adalah :
    Tingkatan pertama merupakan tingkatan Jarh yang paling buruk dan parah, perawi yang berada pada tingkatan ini, merupakan perawi yang paling bermasalah kecacatan pribadinya, disusul kemudian tingkatan ke dua, ketiga dan seterusnya. Hadis yang diriwayatkan oleh perwi yang berada pada tingkatan yang pertama hingga keempat, hadis-hadis mereka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh diriwayatkan, bahkan tidak dianggap sama sekali. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh perwai yang berada pada tingkatan 5 dan 6 , hadits mereka masih boleh diriwayatkan, boleh juga ditulis dan masih bisa dijadikan pembanding.
   Perawi yang di-jarh dengan 2 tingkatan yang pertama, hadisnya tidak dapat dihujjah, namun hadisnya bisa dicatat sebagai I’tibar.
   Perwi yang di Jarh dengan tingkatan terakhir hadisnya tidak dapat dipakai hujjah, tidak dapat dicatat dan tidak bi sebagai I’tibar.[12][12]
6.      Sifat-sifat yang Menyebabkan Seorang Perawi Dinilai Jarh
Seorang perawi hadi dapat tidak diterima periwayatannya manakala terdapat suatu sifat atau beberapa sifat yang dapat menggugurkan keadilannya, yang efeknya tidak dapat diterima periwayatannya. Sifat-sifat tersebut, antara lain seperti diuraikan berikut ini.
1.      Dusta
Yang dimaksud dengan dusta dalam hal ini ialah bahwa orang itu pernah berbuat dusta terhadap sesuatu atau beberpa hadis. Dalam pengartian, seorang perawi berbuat dusta terhadap Rasulullah saw, seperti membuat hadis palsu, pernah menjadi saksi palsu, kecuali ia sudah tobat.
Menetapkan kepalsuan suatu hadis yang diriwayatkan oleh orang yang oleh orang yang pernah berbuat dusta adalah berdasarkan keyakinan yang kuat, bukan atas dasar sangkaan, sehingga mungkin pada suatu saat, ia berbuat dusta dan dalam keaadan lain, ia berkata sebenarnya. Dalam masalah ini, para ulama berpendapat. Menurut Imam Ahmad dan Abu Bakar al-Humaidi, guru Imam al-Bukhari, riwayatnya tidak dapat diterima, meski ia sudah berbuat. Pendapat ini dikutip oleh Mudhaafar al Sam’any, sedangkan al Nawawi me-naskh-kan atau menerima riwayatnya apabila ia betul telah bertobat.
2.      Tertunduh Berbuat Dusta
Yang dimaksud dengan tertunduh dengan berbuat dusta adalah seorang perawi sudah tenar di kalangan masyarakat sebagai orang yang berdusta. Periwayatan orang yang tertunduh dusta dapat diterima apabila ia betul-betul telah bertaubat sehingga masyarakat tidak lagi menunduh dusta.
3.      Fasik (Melanggar Ketentuan Syarak)
Yang dimaksud fasik disini ialah fasik dalam perbuatan yang tampak secara lahiriyah, bukan dalam I’tiqiyah, nama tetap periwayatannya ditolak, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah (Q.S. Al-Hujurat:7) sebagai berikut.
وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ ٱللَّهِ  لَوْ يُطِيعُكُمْ فِى كَثِيرٍ مِّنَ ٱلْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ ٱلْإِيمَٰن
 وَزَيَّنَهُۥ فِى قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ ٱلْكُفْرَ وَٱلْفُسُوقَ وَٱلْعِصْيَانَ  أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلرَّٰشِدُون
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapaurusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan  itu indah didalam hatimu serta menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kefakiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus (Hasbi Ash-Shiddieqi, 1989:846)
4.      Jahalah
Yang dimaksud dengan jahalah adalah perawi hadis itu tidak diketahui kepribadiannya, apakah ia sebagai orang yang atau tercatat (jarih). Dengan tidak diketahuinya itu, menjadi alasan untuk tidak diterima riwayatnya, kecuali dari golongan sahabat atau orang yang disebut dengan lafal yang menyebutkan atau menunjukkan kepada kepercayaan, seperti lafal hadatsan, tsiqan, atau akhbar-nya ‘adlun,dan sebaginya.
5.      Ahli bi’ah
Yang dimaksud dengan ahli bid’ah, yaitu perawi yang tergolong melakukan bid’ah, dalam I’tikad yang menyebabkan ia kufur, maka riwayatnya ia di tolak.[13][13]



KESIMPULAN
 ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadits yang membahas cacat atau adilnya seseorang yang meriwayatkan hadits yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi haditsnya.
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil muncul bersamaan dengan munculnya periwayatan di dalam Islam yang sudah ada sejak awal kemunculan Islam.
 Jarh wa ta’dil bukanlah termasuk ghibah yang dilarang, bahkan para ulama mengategorikannya sebagai nasehat dalam agama. Oleh karena itu, para ulama membolehkan jarh wa ta’dil untuk menjaga syariat/agama ini, bukan untuk mencela menusia.
 Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali serta untuk menyeleksi mana hadits shahih, hasan, ataupun hadits dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.
Ada beberapa syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan (mu’addil) dan orang yang men-jarh-kan (jarih), yaitu: berilmu pengetahuan, takwa, wara’, jujur, menjauhi fanatic golongan dan mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil­-kan dan men-tajrih­-kan.
                     










DAFTAR PUSTAKA
Smeer, zeid, 2014. Studi Hadis Kontemporer.Yogyakarta Aura pustaka
Sumbulah, umi,2008. Kritik Hadis. Malang UIN Press
Sulaiman,Noor.2008. Antologi Ilmu Hadis.Gaung Persada Press Jakarta
Zuhri, muhammad,2003. Hadis Nabi.PT Tiara Wacana Yogya
Ahmad,Muhammad,dkk,2000.Ulumul Hadis.CV Pustaka Setia
Sahrani,Sohari,2010.Ulumul Hadits.Ghalia Indonesia
Thahhan Mahmud,2007.Intisari Ilmu Hadis.UIN-malang press
Soetari, Endang, 2005.Ilmu Hadis:kajian Riwayah dan Dirayah.Bandung.Mimbar Pustaka
Idri,2010.Studi Hadis.Jakata:Kencana Prenada Media Group
 Zulhilmi bin Mohamed Nor,http://lms.kuis.edu.my/jurnal/wp-content/uploads/2013/11/Hadis_Jurnal_Bil_3_4

Catatan:
1.      Pendahuluan tolong diperbaiki.
2.      Penulisan footnote masih ada yang salah, begitu pula daftar pustaka: judul buku dibuat miring.
3.      Perujukan masih minim.
4.      Buatkan makalah sesuai format yang menjadi acuan.
5.      Jika diambil dari jurnal, maka berikan referensi ke jurnalnya, lengkap dengan keterangan jurnal tersebut.
6. Referensi yang dicantumkan di buku atau artikel harus dihilangkan.







[1]Noor sulaiman, Antologi ilmu hadist(Jakarta: Gaung persada press 2008) hlm.176.                              

[2]Muh zuhri, Hadis Nabi (Yogyakarta PT Tiara Wacana 1997)hlm.120.

[3]Ibid hlm 176
[4]Sohari Sahrani, Ullumul Hadist(Bogor:Ghalia Indonesia)hlm.150-151
[5]Zeid B. Smeer, Studi HadisKontenporer(Yogyakarta:Aura Pustaka)hlm. 197-198
[6]Zeid B. Smeer, Studi Hadis Kontenporer(Yogyakarta:Aura Pustaka)hlm. 201-202
[7]Zaid B. Smeer, Studi Hadist kontenporer (Yogyakarta:Aura Pustaka)hlm.199-200.
[8]Sohari Sahrani, Ummul Hadist (Bogor:Ghalia Indonesia)hml.151-152.
[9]Umi Sumbulah, Kritik Hadis (Malang:UIN malang press)hml.80-82
[10]SoetariEndang, ilmu Hadiskajian Riwayah dan Dirayah (Bandung:Mimbar Pustaka)hlm.104-105.
[11]Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadist (Jakarta:Gaung Persada Press)hlm.177.
[12]Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadis (UIN-Malang press)hlm.168-172
[13]Sohari Shrani, Ulumul Hadis (Bogor:Ghalia Indonesia)hlm.152-153

Tidak ada komentar:

Posting Komentar