ILMU JARH WA TA’DIL
Fitrianingsih, Mei Tri
Sulistiorini
Mahasiswa jurusan
Pendidikan Ilmu pengetahuan Sosial angkatan 2015
Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
ABSTRAC
Hadith is everything that is narrated from Rasulullah Saw after becoming a
Prophet. The scholars research hadith, both on the mattan and the sanad. A
discussion of the rawi is very important in relation to the degree of knowledge
of hadith, which is valid, is weak, to acceptance or rejection of a hadith. In
this article will explain the science of the characteristics of the rawi is the
Jarh wa ta'dilscience. This science is closely related to the acceptance of a
hadith. This science is part of the science of Hadith that talks about the
conditions for a rawi for the consideration of his transmission is accepted or
rejected. If a defect is declared the scholars of hadith narrations is
rejected, otherwise if a narrator is credited with the praise of His justice,
received narrations. Rate disability or the receipt of a narrator that there
are twelve levels.
Keyword: jarh wa ta’dil, Adil.
ABSTRAK
Hadis adalah
segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw setelah di utus menjadi
Nabi. Para ulama meneliti hadis baik mengenai matannya maupun mengenai sanadnya.
Pembahasan tentang rawi merupakan hal yang sangat penting dalam kaitannya
dengan pengetahuan akan derajat hadis, yakni sahih, dhaif, dapat diterima atau
ditolaknya suatu hadis. Pada artikel ini akan dijelaskan ilmu tentang
karakteristik para rawi yaitu ilmu jarh wa ta’dil. ilmu ini berkaitan erat
dengan penerimaan sebuah hadis. Ilmu ini bagian dari ilmu hadis yang membahas
tentang syarat-syarat bagi seorang rawi untuk pertimbangan hadis yang
diriwayatkannya diterima atau ditolak. Jika seorang ahli hadis dinyatakan cacat maka
periwayatannya ditolak, sebaliknya jika seorang perawi dipuji dengan pujian
adil, maka periwayatannya diterima. Penilaiancacat
atau diterimanya seorang rawi ada dua belas tingkatan.
Kata kunci: jarh wa ta’dil, adil.
A. PENDAHULUAN
Di
kalangan ulama hadis, hadis merupakan sinonim sunnah, namun hadis pada umumnya
digunakan untuk istilah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw
setelah diutus menjadi Nabi (bit’tsah). Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis
hanya sebatas ucapan dan perbuatan Nabi saja, sedang persetujuan dan
sifat-sifatnya tidak termasuk hadis karena keduanya merupakan ucapan dan
perbuatan sahabat. Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa
hadis lebih khusus daripada sunnah sebab hadis, menurut mereka, adalah sunnah qawliyyah.[1]
Besarnya perhatian umat islam terutama para Ulamanya dalam memelihara dan
menjaga kemurnian ajaran-ajaran Nabi yang berupa hadis-hadis Nabi, mulai dari
menghafalkan sampai kepada menuliskannya dan membukukannya dalam kitab-kitab
hadis yang tidak terhitung jumlahnya. Di samping itu, mereka mengadakan
penyelidikan dan penelitian yang seksama terhadap semua yang dikatakan orang
dari Nabi (hadis-hadis), baik mengenai matannya maupun mengenai sanadnya.
Kemudian mereka memberikan penilaiannya terhadapa hadis-hadis yang bersangkutan
(shahih atau tidak) dengan penuh rasa tanggung jawab.[2]
Pembahasan
tentang rawi merupakan hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan
pengetahuan akan derajat hadis, yakni sahih, dhaif, dapat diterima atau
ditolaknya suatu hadis. Ilmu tentang rawi semakin rumit lantaran ia menyentuh
tentang segala hal yang berkaitan dengan rawi. Ilmu tentang rawi hadis ini
terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pertama tentang ilmu-ilmu yang
membahas karakteristik para rawi dan bagian kedua tentang ilmu-ilmu yang
membahas identitas para rawi.[3]
Dalam kaitan
dengan syarat yang berhubungan dengan sanad, hal itu memberikan indikasi bahwa
perlunya penelitian kredibilitas para perawi Hadis, sehingga muncullah cabang
ilmu Hadis yang disebut al-jarh wa al-ta’dil. Cabang ilmu Hadis ini merupakan
persyaratan bagi seorang perawi sebagai bahan pertimbangan penerimaan atau
penolakan Hadis yang diriwayatkannya. Kata al-jarh mengandung pengertian yang
berkaitan dengan kecacatan seorang perawi sehingga mengakibatkan Hadisnya
tertolak. Sedangkan al-ta’dil mengandung pengertian terkait ‘adalah al-rawy
(keadilan perawi) sehingga Hadisnya diterima.[4]
B. PENGERTIAN
ILMU JARH WA TA’DIL
Pengertian jarh dan ta’dil secara
harfiah
A. Pengertian
jarh menurut bahasa
Jarh
atau tajrih menurut bahasa berarti luka atau melukai dan dapat juga pula
diartikan sebagai aib atau mengaibkan, sedangkan ta’dil berarti lurus,
meluruskan, ta’dil berarti pula tazkiyyah yaitu membersihkan atau menganggap
bersih. Al-jarh adalah bekas luka pada tubuh dengan sebab terkena senjata tajam
sedangkan jika dibaca al-jurh berarti nama sebuah luka, seperti luka karena
pisau atau yang lainnya. [5]
Dalam
lisan al-arab, jarh diterangkan sebagai berikut:
“jarh
adalah bentuk mashdar dari lafal ‘jaraha’, yaitu suatu ungkapan untuk badan
yang terluka, sehingga mengalirkan darah. Umpamanya ‘Seorang hakim telah
men-jarh saksi dan menunjukkan aibnya, yaitu ketika saksi itu tercela sehingga
jatuhlah keadilannya, baik karena dusta atau yang selainnya.”
Dalam
kamus tersebut, jarh di artikan sebagai luka apabila luka itu badan seseorang,
kemugkinan besar akan mengalirkan darah dan menyakitkan. Bila seorang hakim
mencela saksi, dengan menyebutkan bahwa saksi itu majruh dan sesuai dengan
kenyataan bahwa ia majruh atau tercela, berarti saksi itu tidak adil.[6]
B. Pengertian
ta’dil menurut bahasa
Lafal adil seakar dengan lafal ‘adalah
yang apabila dimuta’adilkan atau di transitifkan akan menjadi perkataan ta’dil.
Sebelum perkataan ta’dil diterangkan secara harfiah, ada baiknya jika
diterangkan terlebih dahulu pengertian adil itu secara umum. Adalah menurut
kitab manhaj Dzawin Nazhar adalah sebagai berikut :
من
له ملكة علي ملازم التقوي وهي اجتناب الاعمال السيئة من شرك او فسق او بدعة او
ملكة يقتدر بها علي اجتناب غير صغير الحسنة و الردذائل و ملازمة المروئة
“orang yang memiliki ketepatan dalam
takwa, yaitu dengan menjauhi semua perbuatan yang buruk, baik berupa
kemusyrikan, kefasikan maupun bid’ah. Juga dikatakan ‘adalah jika mereka mampu
menjauhi dosa dosa kecil dan hina, namun ia bertetap dalam hal-hal yang
berkaitan dengan muru’ah.”[7]
Berdasarkan definisinya ialah adalah
suatu watak atau kebiasaan (malakah) untuk menjauhi segala noda dan dosa serta
selalu melaksanakan perintah agama secara terus-menerus. Di samping itu, orang
adil selalu menjauhi segala dosa kecil dan besar, serta dirinya selalu dihiasi
dengan sifat muru’ah, yaitu terpelihara kehormatan pribadinya, sementara yang
dinamakan ta’dil yaitu menilai seseorang sebagai adil :
ماقال
في النفس انه مستقيم وهو ضدالجور...او رجل مقبول الشهادة... تعديل الرجل تزكيته
“sesuatu yang terhunjam dalam diri sebagai
hal yang lurus yang menjadi lawan dari keburukan ... atau seseorang yang
diterima persaksiannya atau mengadilkan seseorang yang berarti
men-tazkiyyah-nya, yaitu membersihkannya dari perbuatan-perbuatan keji.”[8]
Jadi ta’dil menurut bahasa berarti
kelurusan dan kejujuran yang ada pada diri seseorang. Seseorang yang jujur
tidak akan menyeleweng dan dapat diterima segala penyaksiannya. Menilai adil
terhadap seseorang berarti menilai orang itu bersih dari penyelewengan, aib,
ketidak jujuran, dan celaan. Ketika dilakukan ta’dil terhadap seseorang, maka
maksudnya, secara bahasa ialah menyamakan dan meluruskan sesuatu, dan
menimbangnya dengan yang lain.[9]
Pengertian jarh dan ta’dil menurut
istilah
A.
Jarh secara
istilah
Jarh secara
istilah ialah tersifatinya seorang rawi dengan sifat-sifat tercela, seperti,
kadzdzab, su’ al-hifzh, mukhtalath, ghair ma’mun, dan lain-lain, sehingga
tertolak riwayatnya. Adib shahih menyatakan sebagai berikut :
“sifat yang ada
pada rawi yang dengannya riwayatnya ditolak dan tidak diterima”
Ajaj
Al-Khatib dalam karyanya Ushul al-Hadis, mendefinisikan jarh sebagai sifat
lahiriah rawi yang keadilannya cacat, seperti lemah ingatan, sehingga
riwayatnya jatuh atau tertolak dengan tajrih ini, rawi disifati dengan sifat
yang mengarah pada kelemahan atau tidak diterimanya riwayatnya.[10]
B.
Pengertian
ta’dil menurut istilah
Arti ta’dil secara istilahi adalah
tersifatinya seseorang perawi yang mengarah pada diterimanya periwayatannya.
Orang yang dinilai adil adalah orang yang tidak cacat urusan agama dan
muru’ahnya, sehingga kabar dan persaksiannya dapat diterima sepanjang syarat-syaratnya
terpenuhi.
Menurut keterangan tersebut, yang
dinamakan adil adalah orang yang tidak ada ketercelaan pada dirinya, sehingga
tidak ditolak riwayatnya atau pemberitaannya. Jadi, orang yang di-ta’dil atau
yang dinilai adil adalah orang yang dirinya selamat dari segala celaan yang
tidak layak dimiliki oleh seorang rawi agar riwayatnya tidak ditolak. Seorang
yang dinilai adil dalam periwayatan hadis harus seorang muslim, mukallaf,
dhabith, tsiqah dan selamat dari kefasikan.[11]
Untuk itu secara kumulatif Ibn Atsir
Al-Jazari, mendefinisikan jarh dan ta’dil sebagai berikut ;
الجرح
وصف متي التحق بالراوي والشاهد سقط الإعتبار و بطل الآعمال به... التعديل وصف متي
التحق بهما اعتبار قولهما و اخذ به
“jarh
adalah suatu sifat dimana rawi dan persaksiannya dianggap jatuh dan batal
dalam pengamalannya, sedangkan ta’dil
adalah sifat dimana rawi dan persaksiannya diterima.”
Berdasarkan definisi yang dikemukakan
oleh Al-Zahari tersebut, setiap orang yang meriwayatkan hadis atau saksi yang
majruh (orang tercela) riwayat atau penyaksiannya tidak boleh diterima.
Demikian pula rawi atau saksi yang sudah dinilai adil, riwayat dan
penyaksiannya tidak boleh disepekan. Prof Hasbi Ash-Siddiqie, dalam karyanya
Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, mengemukakan definisi jarh dan ta’dil sebagai
berikut :
اظهار عيب يرد فيه الرواية ... التعديل الإعتراف
بالعدالة والضبط والوثوق
“zhahirnya aib sehingga riwayatnya
tertolak (dan) ta’dil didapat ketika keadilan dan ke-dhabith-annya diketahui.”[12]
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah
علم يبحث فيه عن قواعد جرح الرواة وتعديلهم
“ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah
mencela para rawi dan mengadilkannya.”
Kaidah men-jarh merupakan syarat yang
harus dimiliki seorang mujarrih yang merupakan syarat-syarat yang harus ada
dalam jarh-nya itu sendiri, lafal-lafal dan maratibnya serta ketentuan hukum
hadis yang ada pada tiap-tiap martabat yang ditempatinya. Maksud kaidah
menta’dil rawi adalah kaidah yang berkaitan dengan syarat-syarat mu’addil,
syarat-syarat ta’dil,lafal-lafal ta’dil
beserta muratibnya, serta hukum hadis berdasar martabat ta’dil yang
ditempatinya. [13]
Selain itu termasuk pada kaidah jarh wa
ta’dil ini adalah kaidah yang berkaitan dengan ta’arudhnya pendapat para imam
tentang seorang rawi dan ta’arudhnya ucapan seorang imam yang satu itu sendiri.
Sebagai bandingan, dibawah ini
dikemukakan pengertian jarh wa ta’dil lainya, sebagai berikut:
a. Ilmu
yang membahsa tentang kaidah-kaidah untuk menjarh para rawi dan mengadilkannya.
Yang dimaksud dengan kaidah-kaidah menjarh yaitu berkatan erat dengan
syarat-syarat yang banyak yang harus dimiliki oleh mujarrih, dan syarat-syarat
yang banyak pula berkaitan dengan jarh itu sendiri sehingga dapat diterima,
kemudian berkaitan dengan lafal-lafalnya, tingkatanya, beerta hukum hadist yang
diriwayatkan olh perawi pada tiap-tiap tingkatanya itu. Sementara itu, dimaksud
dengan kaidah-kaidah mengadilkan perawi maksudnya, berkaitan dengan
syarat-syarat yang harus dimiliki oleh si mu’adil dan dalam proses
pen-ta’dil-annya itu sendiri sehingga dapat diterima, selain dari itu berkaitan
juga dengan lafal-lafal dan tingkatan dari lafal tadi beserta hukum hadis yang
diriwayatkan oleh rawi pada tingkatannya masing-masing.
b. Jarh
ialah menyipati seseorang rawi dengan merendahkan periwayatannya, atau
men-dha’if-kannya, dan bahkan menolaknya. Sedangkan ta’dil, maksudnya menyifati
rawi dengan menerima periwayatannya.
c. Ilmu
yang menerangkan tentang hal catatan-catatan yang dihadapkan kepada para rawi
dan tentang pen-ta’dil-annya dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang
martabat-martabat dari kata-kata itu.
Dari
beberapa pengertian diatas, jelaslah kiranya, bahwa seorang rawi takkan luput
dari catatan-catatan prestasi akademik dan prestise moralnya dalam sejarah
sehingga dapat dipertimbangkan diterima atau ditolak riwayatnya. Mengutip dari
Imam Hakim dalam Ma’rifah Ulum al-Hadits, Subhi as-Shalih memberi pengertian
jarh wat ta’dil sebagai ilmu yang membahas mengenai para perawi, sekitar
masalah yang membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafaz-lafaz
tertentu. Dari pengertian-pengertian tersebut,
jelas bahwa jarh wat ta’dil berkaitan erat dengan penerimaan sebuah Hadis.[14]
Menurut
efinisi-definisi diatas, jelaslah bahwa jarh merupakan penilaian negatif
terhadap orang yang meriwayatkan hadis, sehingga mengakibatkan riwayatnya perlu
diteliti, dipertimbangkan atau ditolak, lalu orang yang meriwayatkan hadis yang
sudah dinilai adil riwayatnya diterima karena orang itu sudah memiliki
sifat-sifat sebagai orang yang harus diterima riwayatnya.[15]
Jadi ilmu jarh wa ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan
seseorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila
seorang rawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka
periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa
diterima selama syarat-syarat lain dipenuhi.[16]
Illmu jarh wa
ta’dil dibutuhkan untuk menilai tokoh-tokoh isnad dan mengetahui martabat
hadis. Karena tidak mungkin untuk selamanya dimulai mempelajari isnad tanpa
mengetahui kaidah al-jarh wa ta’dil yang dijadikan pegangan oleh para tokoh
disiplin ilmu ini, mengetahui syarat-syarat rawi yang diterima, bagaimana
menetapkan ‘adalah dan dhobitnya dan sebagainya. Jumhur (mayoritas) tokoh-tokoh
hadis dan fiqh sepakat bahwa untuk menjadi seorang yang periwayatannya dapat
dijadikan hujjah minimal memerlukan dua syarat pokok:
1. Al-‘Adalah:
muslim, baligh, berakal, terbebas dari sebab-sebab fasik, bebas dari cela
nilai-nilai kemanusiaan (muru’ah).
2. Ad-Dhobt:
seorang rawi hendaknya mempunyai hafalan yang kuat, tidak berkesallahan fatal,
tidak melawan arus para rawi tsiqot, tidak banyak praduga bersalah, dan tidak
lalai.[17]
C. FAKTOR-FAKTOR
YANG MELATARBELAKANGI MUNCULNYA ILMU JARH WA TA’DIL
Pertumbuhan
ilmu jarh dan ta'dil dimulai sejak adanya periwayatan hadits, ini adalah sebagai usaha ahli hadits dalam memilih dan
menentukan Hadits Shahih dan Dhaif walaupun Jarh dan ta’dil dimulai sejak
adanya periwayatan Hadits alangkah baiknya jika dikerjakan terlebih dahulu masa
perkembangan hati semenjak zaman Rasulullah sampai masa dan saran penafsiran
kitab kitab hadits menurut T.M.
Hasbi as-shiddiqi sekurang-kurangnya ada 7 periode perkembangan Hadis yaitu:
- Masa turun Wahyu, masa ini selama 23 tahun, yaitu tahun ke-8 sebelum Hijriyah sampai tahun ke 11 Hijriah masa ini masa pembentukan tasyri Islami (hukum Islam) yaitu sejak awal kenabian sampai beliau wafat.
- Masa Khulafaur Rasyidin, lamanya 29 tahun yaitu tahun ke 11 Hijriah sampai tahun 40 Hijriah. Masa ini terkenal dengan masa pembatasan dan penyedikitan riwayat.
- Masa perkembangan riwayat dan perlawanan ke kota-kota untuk memberi hadis. Masa ini lamanya 60 tahun yaitu mulai tahun 45 sampai tahun 100 Hijriyah.
- Masa pembukuan hadits yaitu dari permulaan abad ke-2 Hijriyah sampai akhirnya lamanya kurang lebih 100 tahun yaitu dari tahun 100 Hijriah sampai kurang lebih tahun 200 Hijriah.
- Masa pen-tashhih-an hadits menyaringnya dan menafisnya yaitu sejak abad ke 3 Hijriyah sampai akhirnya.lamanya kurang lebih 100 tahun.
- Masa menafis dan menyaring kitab-kitab hadits, lamanya kira-kira tiga setengah abad yaitu mulai abad keempat sampai tahun 656 Hijriyah tujuh
- Masa membuat syarah dan menyusun kitab kitab takhrij, mengumpulkan hadis hukum dan menyusunnya dalam kitab-kitab Jami’, sejak tahun 656 Hijriyah sampai sekarang.[18]
masing-masing
periode tersebut di atas mempunyai ciri khas sendiri-sendiri,
sebagaimana yang akan diterangkan dari ciri-ciri periode tersebut hanya dari
periode pertama sampai periode ketiga karena pada periode itulah banyak faktor
yang melatarbelakangi perkembangan ilmu jarh wa ta'dil,
lebih-lebih pada periode ketiga.
1. Masa turun Wahyu
Pada
periode pertama hanya Rosulullah yang menjadi pusat perhatian umat Islam, baik
mengenai lisan ataupun perbuatannya,
Rasulullah menerangkan dan meragakan hukum-hukum Islam kepada para sahabat,
waktu berada di rumah di masjid,
pada waktu hadir (tidak bepergian), Safar atau
di tempat mana saja tatkala ada kesempatan. Caranya,
para sahabat langsung menanyakan persoalan itu kepada Rasulullah atau dengan
menyuruh orang lain yang bisa dipercaya. Pada
periode ini, ada dua subjek yang berperan dalam
perkembangan tasyri Islam yaitu Rasulullah sebagai penyampaian risalah dan para
sahabat sebagai penerima risalah.[19]
2.
Masa Khulafa al-Rasyidin
Periode kedua adalah periode Khulafaur Rasyidin. Periode ini terkenal
dengan periode pembatasan
riwayat. Periode ini terdiri atas dua masa kekhalifahan, yaitu masa
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan masa kekhalifahan Ustman dan Ali.
- Masa Abu Bakar dan Umar
Sepeninggal Rasulullah para sahabat
secara aklamasi memilih Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama, walaupun
sebelumnya tampak seperti ada perebutan kepemimpinan antara kaum Muhajirin dan
kaum Anshar. Pada masa beliau ini yang diutamakan dipelajari dan disebarluaskan
adalah Al-Qur’an, sedangkan mengenai hadis tidak menjadi pengajaran khusus
sebagaimana Al-Qur’an.[20]
Hadis waktu itu hanya diketahui dan
dipelajari oleh kalangan tertentu, dan orang-orang yang mendalaminya sangat
terbatas, dalam hal ini pun baru diajarkan dan diketahui oleh para sahabat lain
bila ada keperluan. Abu bakar melakukan hal ini dalam rangka menggalakkan
Al-Qur’an sebagai pedoman tasyri yang pertama dan utama. Di samping itu
mengingat sabda Rasulullah yang menyuruh bertindak hati-hati dalam meriwayatkan
hadis, sebagaimana sabdanya yang artinya “Cukuplah seseorang itu berdosa jika mengabarkan
setiap apa yang didengarnya”.[21]
Kebijaksanaan Abu Bakar ini dilanjutkan
pula oleh khalifah kedua, umar bin Khattab. Dua khalifah tersebut tidak
menyebarluaskan hadis, tidak lain agar Al-Qur’an tetap menjadi sumber ajaran
utama. Walaupun demikian, kedua khalifah itu menerima hadis dari sahabat lain
pada waktu-waktu tertentu. Namun, dalam menerima riwayatnya disertai dengan
beberapa persyaratan sebagai contoh akan terungkapkan dalam kasus-kasus berikut
ini.[22]
Sesuai dengan kedudukannya sebagai
khalifah Abu Bakar selalu menerima persyaratan tertentu dalam periwayatan
hadis. Persyaratan yang dimintanya berupa pennyaksian dari sahabat lain. Umar
selalu meminta bayyinah (keterangan) dari orang lain yang meriwayatkan hadis.
Diriwayatkan bahwa Abu Musa Al-Asy’ari
salam tiga kali saat bertamu ke rumah Umar. Umar waktu itu tidak menjawab salam
Abu Musa, kemungkinan beliau beranggapan bahwa Abu Musa itu akan terus masuk ke
rumahnya. Sangkaan Umar trsebut ternyata meleset, Abu Musa terus pulang.
Melihat Abu Musa pulang, Umar menyusul dan menanyakan alasannya kepada Abu
Musa. Abu Musa menyatakan suatu hadis yang menerangkan bahwa bila seseorang
membaca salam sampai tiga kali, tetapi tuan rumah tidak menjawab, maka yang
akan bertamu harus pulang. Umar meminta penyaksian sahabat lain untuk
membuktikan kebenaran hadis itu. Sahabat yang kebetulan mengetahui masalah ini
adalah Ubay bin Ka’ab, setelah itu Umar berkata:
“aku bukan tidak mau menerima keteranganmu, tetapi
aku ini takut jika orang-orang menyatakan sesuatu (kemudian) disandarkan pada
Rasulullah SAW”.[23]
Dalam hadis lain diterangkan bahwa Abu
Bakar, tidak mau menerima hadis sebelum ada penyaksian. Imam Malik menerangkan
sehubungan dengan riwayat tersebut sebagaimana tercantum dalam kitabnya yang
masyhur al-Muwaththa. Sebagaimana diketahui pula bahwa kitab ini diantara kitab
hadis yang sampai ketangan umat islam sekarang ini. Dalam riwayat tersebut
dikatakan bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar As-Shiddiq dan bertanya
kepadanya tentang hak warisnya. Abu Bakar bertanya padanya,”apakah engkau punya
sandaran dari kitab Allah atau sunnah Rasul-Nya, kembalilah sampai engkau
bertanya pada orang-orang”. Maka ia pun bertanya pada orang-orang. Al-Mughirah
bin Syu’bah berkata, “aku hadir kepada Rasulullah Saw., dan ia memberinya
seperenam.” Abu Bakar berkata,”apa engkau punya saksi lain?” berdirilah
Muhammad bin Musallamah Al-Anshari dan berkata sesuai apa yang dikatakan oleh
Al-Mughirah.
Demikianlah ketelitian Abu Bakar dan
Umar dalam menerima hadis, beliau melakukan pembatasan dan seleksi dalam
menerima hadis, semata-mata hanya untuk memelihara kemurnian Syariat Islam.[24]
- Masa Ustman dan Ali bin Abi Thalib
Tatkalla tampuk pemerintahan dipegang
oleh Ustman bin Affan dan setelah wafatnya beliau dilanjutkan oleh Ali bin Abi
Thalib, periwayatan hadis tidak seketat kedua khalifah sebelumnya. Walaupun ada
diriwayatkan bahwa Ali pernah melakukan sumpah kepada pembawa hadis. Pada masa
ini berpergian dari satu kota ke kota lain dalam rangka saling tukar menukar
pengetahuan dan mencari informasi tentang hadis, banyak dilakukan oleh sahabat
dan tabi’in besar, lebih-lebih perlawatan yang dilakukan oleh sahabat kecil dan
tabi’in besar yang berusaha mengumpulkan hadis dari sahabat besar. Keadaan
seperti ini terus berlanjut, semenjak jaman pemerintahan Ustman dan Ali,
sehingga perkembangan riwayat tampak sangat pesat.[25]
3.
Masa Perkembangan Riwayat
Pada masa ketiga, yaitu masa
perkembangan riwayat dan perlawanan ahli hadis dari satu kota ke kota lain
untuk mencari dan mengumpulkan hadis melebihi masa-masa sebelumnya. Dalam suatu
riwayat, diterangkan bahwa Abu Ayub Al-Anshari dari Madinah pergi ke Mesir
untuk menemui Uqbah bin ‘Amr. Perjalanannya ini dalam rangka menyakinkan sebuah
hadis yang menerangkan tentang balasan seseorang yang pernah menutupi kesulitan
saudaranya di dunia ini, Allah akan menutupi kesulitannya pula di akhirat
kelak. Hadis ini berbunyi:
المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه من كان في
حاجة أخيه كان اللّه في حاجته ومن فرج عن
مسلم كربة فرج اللّه عنه بها كربة من كرب يوم القيامة ومن ستره اللّه يوم القيامة
artinya: “muslim itu bersaudara dengan
sesame muslim lainnya. Janganlah ia menzaliminya. Barangsiapa yang menutupi
kebutuhan saudaranya, maka Allah menutupi kebutuhannya. Barangsiapa yang
mengatasi kesulitan saudaranya, maka Allah mengatasi kesulitannya di hari
kiamat. Barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan
menutupi (aibnya) pada hari kiamat”.[26]
Pada masa sebelum masa ketiga ini,
pemalsuan hadis itu sangat minim sekali, bahkan dapat dikatakan tidak ada
karena pada masa sahabat tersebut, di samping para sahabat dinilai jujur
semuanya, juga hadis masih terjaga kemurniannya secara sempurna. Alasan Abu
Ayub pergi sendiri ke Mesir, karena pada masa ketiga ini, diduga sudah timbul
pemalsuan hadis karena fitnah yang melanda umat. Alas an Abu Ayub tersebut
memang dapat dimaklumi karena ternyata kekuatan politik umat islam pada waktu
itu terpecah menjadi beberapa kelompok. Kelompok tersebut demi mempertahankan
eksistensinya cenderung untuk membuat riwayat palsu dengan mengatasnamakan
Rasulullah atau menafikan sama sekali keberadaan hadis tertentu.Adapun kelompok
tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, golongan pembela Ali bin Abi
Thalib, yang kemudian menamakan dirinya dengan golongan syi’ah. Kelompok ini
banyak membuat riwayat palsu tentang imamah dan wilayah yang hanya untuk Ali
karena beliau adalah washiy Nabi. Dalam Nahj al-Balaghah pernyataan tentang
keimaman Ali yang padahal palsu banyak direkam.
Kedua, golongan Jumhur yang sebenarnya
banyak yang netral, tetapi mengikuti kemanapun dan kepada pemerintah yang ada
pada waktu itu tidak menentang secara terang-terangan, golongan ini selanjutnya
terkenal dengan ahli sunnah wal jama’ah karena termasuk mayoritas.
Ketiga, golongan khawarij, yaitu
golongan yang menentang kebijaksanaan Ali dan Muawiyah. Golongan ini mencela
politik Utsman sebelumnya dalam mengendalikan pemerintahan, dan mencela Ali
karena beliau menerima tahkim (arbitrase) dan mencela pula terhadap Muawiyah
yang merebut kekuasaan dengan cara kekuatan, sehingga mengafirkan kedua sahabat
itu.
Keempat, kelompok yang menamakan dirinya
kaum Murji’ah yang tidak menyetujui cara berpikir Khawarij yang mengafirkan
orang berdosa besar.
Kelima, adalah kaum Mu’tazilah yang
menganggap fasik kepada pelaku dosa besar.[27]
Kenyataan-kenyataan tersebut diatas
terbukti setelah umat islam terpecah menjadi beberapa golongan, pemalsuan hadis
tersebut semakin memuncak. Pengarang al-sunnha wa makanatahu fi al-tasyri islamy
menguraikan dengan panjang lebar sebab-sebab orang membuat hadis palsu, yang
antara lain sebagai berikut:
- Perbedaan pandangan politik.
- Kaum Zindiq.
- Ta’ashub kebangsaan, qabilah, bahasa, Negara, dan imam mazhab.
- Pendongeng dan orator.
- Perbedaan fiqh dan kalam (teologi).
- Orang yang mencintai kebaikan, tetapi tidak melengkapi dirinya dengan pengetahuan agama.[28]
D. TINGKATAN-TINGKATAN
JARH WA TA’DIL
Dalam
kitab taqriibu Al-Tahdziib, Ibnu Hajar menjelaskan, bahwa jarh wa ta’dil
(penilaian cacat dan adilnya seorang rawi) itu ada 12 tingkatan, yaitu:
1. Tingkat
kejujuran dan terpercayanya para sahabat.
2. Kejujuran
dan terpercayanya orang-oarang yang dipuja dengan sebutan “orang yang paling
….”, dimana biasanya dikuatkan dengan menggunakn sighat “Af’ala”, seperti menyebutnya
sebagai “Autsaqu al-naasi” (manusia yang paling terpercaya), atau dengan
menyebutkan sifatnya secara lafadz atau makna, dalam bentuk satu kata seperti
“tsiqah”(terpercaya), atau dengan mengulang kata seperti “tsiqqatu al-haafidz”
(seorang hafidz yang terpercaya).
3.
kejujuran dan terpercaya nya orang yang dipuja dengan menyebutkan sifatnya
dalam bentuk satu kata seperti tsiqqah (terpercaya), mutqin (orang yang kuat
untuk dipercaya), tsabat (benar untuk dipercaya), atau adl (orang yang jujur).
4.
Orang yang tingkat kejujuran dan terpercaya nya di bawah sedikit dari
tingkatan ketiga tersebut diatas, seperti disebut sebagai shaduuq (orang yang
banyak jujurnya), la ba’sa bihi (orang yang tidak berbahaya untuk diambil
riwayatnya) atau laisa bihi ba’sun (orang yang tidak ada padanya sesuatu yang
membahayakan untuk diambil riwayatnya).
5. Orang yang tingkat kejujuran dan terpercaya nya dibawa
sedikit dari tingkatan yang keempat tersebut di atas seperti disebut sebagai
shaduuq syayyiu al-hifdzi (orang yang banyak jujurnya, namun jelek hafalannya),
shaduuq yuuham (orang yang banyak jujurnya namun ada persangkaan berbuat
salah), lahu auham (orang yang disangka banyak berbuat kesalahan), yukhthi
(orang yang berbuat kesalahan), atau taghayyar biaakhirihi (orang yang berubah
pada usia lanjutnya). Dan disamakan dengan
orang yang berada pada tingkatan yang kelima ini, orang-orang yang suka
mengikuti hawa nafsu dan ahli bid'ah.
6. Orang yang mempunyai sedikit hadis
kemudian jika hadisnya dianggap benar sebab ada hadis lain yang menguatkannya,
maka dia disebut “maqbul”, tetapi jika Haditsnya dianggap tidak benar, karena
tidak ada hadis lain yang menguatkannya, maka dia disebut “layyinu Al Hadist”.
7. Orang yang meriwayatkan dari padanya
lebih dari satu orang namun tidak tsiqqah (tidak terpercaya). Orang yang
‘adalah (sifat kejujuran dan terpercaya)-nya pada tingkatan yang ketujuh ini
disebut “Mastuur” (tertutup), atau “majhul hal” (tidak diketahui catatan
pribadinya).
8. Orang yang dirinya tidak pernah dianggap
tsiqqah (terpercaya), bahkan ada yang menganggap dhaif meskipun tidak secara
jelas dan tegas. Orang semacam ini disebut “dhaif”.
9. Orang yang tidak ada yang meriwayatkan
dari padanya kecuali satu orang, dan tidak dianggap tsiqqah (terpercaya). Orang
semacam ini disebut “majhul”.
10. Orang yang dirinya tidak pernah dianggap
tsiqqah sama sekali. Orang semacam ini secara jelas dan tegas dinyatakan dhaif
sebab adanya cacat dan disebut “matruuku al-hadis”, “waahilu al-hadis”, atau
saaqithu al hadis” (gugur).
11. Orang yang ada persangkaan berbuat
dusta. Orang semacam ini disebut “muttaham” (tertuduh), atau “muttaham fii
al-kidzbi” (tertuduh dusta).
12. Orang yang secara jelas dan tegas sudah
disebut pendusta atau ahli membuat Hadits palsu. Mereka ini disebut “Kadzdzab”
(orang yang banyak melakukan kebohongan”, atau “wadhdha” (orang yang banyak
membuat Hadits palsu).[29]
Adapun menurut Ibnu Abi Hatim,
tingkatan ‘adalah (kejujuran dan terpercaya) itu ada empat yang bisa diringkas
lagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1.
Orang yang
dengan sendirinya hadisnya bisa dijadikan hujjah. Mereka itu adalah orang-orang
yang mempunyai catatan pribadi sebagai orang yang tsiqqah, adil, penghafal,
cerdas, dan dhabit.
2.
Orang yang bisa
ditulis hadisnya, namun masih perlu diteliti, dan hadisnya itu dapat dijadikan
penguat terhadapp hadis lain sebagai syahid atau mutaba’at. Mereka ialah
orang-orang yang memiliki catatan ribadi sebagai orang yang jujur atau benar,
yang menurut klasifikasi Ibnu Hajar di atas kategori pada tingkatan yang
keempat, kelima, dan keenam.
3.
Orang yang tidak
boleh ditulis hadisnya, sehingga tidak dibolehkan untuk dijjadikan sebagai
hadis enguat. Mereka ini orang-orang yang catatan pribadinya menunjukkan
sebagai seorang pendusta, tertuduh dusta, pembuat hadis palsu, orang yang
ditinggalkan hadisnya, atau orang yang tertolak hadisnya. Mereka ini menurutt
klasifikasi Ibnu Hajar terkategori dalam tingkatan yang kesepuluh, sebelas, dan
dua belas.[30]
Syarat
orang-orang yang menetapkan keadilan dan cacat rawi adalah:
1.
Alim
2.
Taqwa
3.
Wara’ (menghindari hal-hal yang subhat dan makruh
apalagi dosa-dosa kecil dan kemaksiatan lain)
4.
Jujur
5.
Tidak mempunyai kecacatan pribadi
6.
Tidak fanatic
7.
Mengatahui sebab-sebab ta’dil dan jarh[31]
E. PENUTUP
Ilmu jarh wat ta’dil sebagai ilmu yang membahas
mengenai para perawi, sekitar masalah yang membuat mereka tercela atau bersih
dalam menggunakan lafaz-lafaz tertentu. Dari pengertian-pengertian tersebut,
jelas bahwa jarh wat ta’dil berkaitan erat dengan penerimaan sebuah Hadis.Faktor
yang melatarbelakangi munculnya ilmu jarh wa ta’dil yaitu adanya perbedaan
pandangan politik, perbedaan fiqh dan teologi, pemalsuan hadis. Illmu jarh wa
ta’dil dibutuhkan untuk menilai tokoh-tokoh isnad dan mengetahui martabat
hadis. Dan menurut
Ibnu Hajar ada 12 tingkatan tentang cacat dan adilnya seorang rawi.
DAFTAR PUSTAKA
Al Thohhan, Mahmud. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad.
Semarang: Dina Utama.
Alawi Al-Maliki, Muhammad. 2009. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hadi, Saeful. Ulumul Hadis: Panduan Ilmu Memahami Tentang Hadis Secara Komprehensif.
Yogyakarta: Sabda Media.
Idris. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
M. Abdurrahman. Elan Sumarna. 2011.
Metode Kritik Hadis. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Nuruddin ‘Itr. 2012. ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. RajaGrafindo.
Zuhdi, Masjfuk. 1985. Pengantar Ilmu Hadis. Surabaya: PT. Bina
Ilmu.
Abdul Wahab, H. Husin. 2011.Ilmu Jarh wat Ta’dil sebagai Kriteria dalam
Klasifikasi Hadis. Media Akademika, Vol. 26, No. 2.
Ma’ani, Bahrul. 2010. Al-Jarh Wa Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis
dan Hadis Palsu. Media Akademika Vol. 25, No. 2.
Catatan:
1.
Berikan
penjelasan faktor-faktor munculnya al-jarh wa al-ta’dil secara jelas,
2.
Perbaiki lagi
tingkatan al-jarh wa ta’dil
[1] Idri. Studi Hadis.
(Jakarta: Kencana. 2010). Hlm. 6
[2] Masjfuk Zuhdi. Pengantar Ilmu
Hadis. (Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1985). Hlm. 102
[3] Nuruddin ‘Itr. ‘Ulumul hadis.
(Bandung: Remaja Rosdakarya. 2012). Hlm. 65
[4] Bahrul Ma’ani. “Al-jarh wa
Al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu”.Media Akademika
Volume 25, No. 2, April 2010. Hlm. 97
[5] M. Abdurrahman. Elan Sumarna. Metode
Kritik Hadis. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2011). Hlm. 54
[6] Ibid. hlm. 54
[7] Ibid. hlm. 54
[8] Ibid. hlm. 55
[9] Ibid. hlm. 56
[10] Ibid. hlm. 56
[11] Ibid. hlm. 56
[12] Ibid. hlm. 57
[13] Ibid. hlm. 57
[14] H. Husin Abdul Wahab. “Ilmu
Jarh wat Ta’dil sebagai Kriteria dalam Klasifikasi Hadis”. Media Akademika,
Vol. 26, No. 2, April 2011. Hlm. 235.
[15] Ibid. hlm. 58
[16] Munzier Suparto. Ilmu Hadis.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2003). Hlm. 32
[17] Mahmud Al Thohhan. Dasar-Dasar
Ilmu Takhrij dan Studi Sanad. (Semarang: Dina Utama. 1995). Hlm. 143
[18] M. Abdurrahman. Elan Sumarna. Op. Cit. hlm. 70
[19] Ibid. hlm. 71
[20] Ibid. hlm. 76
[21] Ibid. hlm. 77
[22] Ibid. hlm. 77
[23] Ibid. hlm. 77
[24] Ibid. hlm. 78
[25] Ibid. hlm. 78
[26] Ibid. hlm. 79
[27] Ibid. hlm. 79
[28] Ibid. hlm. 80
[29] Muhammad Alawi Al-Maliki. Ilmu
Ushul Hadis.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009). Hlm. 153
[30]Ibid. Hlm. 155
[31] Saeful Hadi. Ulumul Hadis:
Panduan Ilmu Memahami tentang Hadis secara Komprehensif.. (Yogyakarta:
Sabda Media). Hlm. 119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar