Rabu, 26 April 2017

Ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil (P-IPS C Semester Genap 2016/2017)





ILMU JARH WA TA’DIL

Fitrianingsih, Mei Tri Sulistiorini
Mahasiswa jurusan Pendidikan Ilmu pengetahuan Sosial angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

ABSTRAC
Hadith is everything that is narrated from Rasulullah Saw after becoming a Prophet. The scholars research hadith, both on the mattan and the sanad. A discussion of the rawi is very important in relation to the degree of knowledge of hadith, which is valid, is weak, to acceptance or rejection of a hadith. In this article will explain the science of the characteristics of the rawi is the Jarh wa ta'dilscience. This science is closely related to the acceptance of a hadith. This science is part of the science of Hadith that talks about the conditions for a rawi for the consideration of his transmission is accepted or rejected. If a defect is declared the scholars of hadith narrations is rejected, otherwise if a narrator is credited with the praise of His justice, received narrations. Rate disability or the receipt of a narrator that there are twelve levels.
Keyword: jarh wa ta’dil, Adil.

ABSTRAK
Hadis adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw setelah di utus menjadi Nabi. Para ulama meneliti hadis baik mengenai matannya maupun mengenai sanadnya. Pembahasan tentang rawi merupakan hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengetahuan akan derajat hadis, yakni sahih, dhaif, dapat diterima atau ditolaknya suatu hadis. Pada artikel ini akan dijelaskan ilmu tentang karakteristik para rawi yaitu ilmu jarh wa ta’dil. ilmu ini berkaitan erat dengan penerimaan sebuah hadis. Ilmu ini bagian dari ilmu hadis yang membahas tentang syarat-syarat bagi seorang rawi untuk pertimbangan hadis yang diriwayatkannya diterima atau ditolak. Jika seorang ahli hadis dinyatakan cacat maka periwayatannya ditolak, sebaliknya jika seorang perawi dipuji dengan pujian adil, maka periwayatannya diterima. Penilaiancacat atau diterimanya seorang rawi ada dua belas tingkatan.
Kata kunci: jarh wa ta’dil, adil.


A.    PENDAHULUAN
Di kalangan ulama hadis, hadis merupakan sinonim sunnah, namun hadis pada umumnya digunakan untuk istilah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw setelah diutus menjadi Nabi (bit’tsah). Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis hanya sebatas ucapan dan perbuatan Nabi saja, sedang persetujuan dan sifat-sifatnya tidak termasuk hadis karena keduanya merupakan ucapan dan perbuatan sahabat. Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa hadis lebih khusus daripada sunnah sebab hadis, menurut mereka, adalah sunnah qawliyyah.[1] Besarnya perhatian umat islam terutama para Ulamanya dalam memelihara dan menjaga kemurnian ajaran-ajaran Nabi yang berupa hadis-hadis Nabi, mulai dari menghafalkan sampai kepada menuliskannya dan membukukannya dalam kitab-kitab hadis yang tidak terhitung jumlahnya. Di samping itu, mereka mengadakan penyelidikan dan penelitian yang seksama terhadap semua yang dikatakan orang dari Nabi (hadis-hadis), baik mengenai matannya maupun mengenai sanadnya. Kemudian mereka memberikan penilaiannya terhadapa hadis-hadis yang bersangkutan (shahih atau tidak) dengan penuh rasa tanggung jawab.[2]
Pembahasan tentang rawi merupakan hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengetahuan akan derajat hadis, yakni sahih, dhaif, dapat diterima atau ditolaknya suatu hadis. Ilmu tentang rawi semakin rumit lantaran ia menyentuh tentang segala hal yang berkaitan dengan rawi. Ilmu tentang rawi hadis ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pertama tentang ilmu-ilmu yang membahas karakteristik para rawi dan bagian kedua tentang ilmu-ilmu yang membahas identitas para rawi.[3]
Dalam kaitan dengan syarat yang berhubungan dengan sanad, hal itu memberikan indikasi bahwa perlunya penelitian kredibilitas para perawi Hadis, sehingga muncullah cabang ilmu Hadis yang disebut al-jarh wa al-ta’dil. Cabang ilmu Hadis ini merupakan persyaratan bagi seorang perawi sebagai bahan pertimbangan penerimaan atau penolakan Hadis yang diriwayatkannya. Kata al-jarh mengandung pengertian yang berkaitan dengan kecacatan seorang perawi sehingga mengakibatkan Hadisnya tertolak. Sedangkan al-ta’dil mengandung pengertian terkait ‘adalah al-rawy (keadilan perawi) sehingga Hadisnya diterima.[4]

B.     PENGERTIAN ILMU JARH WA TA’DIL
Pengertian jarh dan ta’dil secara harfiah
A.    Pengertian jarh menurut bahasa
            Jarh atau tajrih menurut bahasa berarti luka atau melukai dan dapat juga pula diartikan sebagai aib atau mengaibkan, sedangkan ta’dil berarti lurus, meluruskan, ta’dil berarti pula tazkiyyah yaitu membersihkan atau menganggap bersih. Al-jarh adalah bekas luka pada tubuh dengan sebab terkena senjata tajam sedangkan jika dibaca al-jurh berarti nama sebuah luka, seperti luka karena pisau atau yang lainnya. [5]
            Dalam lisan al-arab, jarh diterangkan sebagai berikut:
            “jarh adalah bentuk mashdar dari lafal ‘jaraha’, yaitu suatu ungkapan untuk badan yang terluka, sehingga mengalirkan darah. Umpamanya ‘Seorang hakim telah men-jarh saksi dan menunjukkan aibnya, yaitu ketika saksi itu tercela sehingga jatuhlah keadilannya, baik karena dusta atau yang selainnya.”
            Dalam kamus tersebut, jarh di artikan sebagai luka apabila luka itu badan seseorang, kemugkinan besar akan mengalirkan darah dan menyakitkan. Bila seorang hakim mencela saksi, dengan menyebutkan bahwa saksi itu majruh dan sesuai dengan kenyataan bahwa ia majruh atau tercela, berarti saksi itu tidak adil.[6]
B.     Pengertian ta’dil menurut bahasa
Lafal adil seakar dengan lafal ‘adalah yang apabila dimuta’adilkan atau di transitifkan akan menjadi perkataan ta’dil. Sebelum perkataan ta’dil diterangkan secara harfiah, ada baiknya jika diterangkan terlebih dahulu pengertian adil itu secara umum. Adalah menurut kitab manhaj Dzawin Nazhar adalah sebagai berikut :
من له ملكة علي ملازم التقوي وهي اجتناب الاعمال السيئة من شرك او فسق او بدعة او ملكة يقتدر بها علي اجتناب غير صغير الحسنة و الردذائل و ملازمة المروئة
“orang yang memiliki ketepatan dalam takwa, yaitu dengan menjauhi semua perbuatan yang buruk, baik berupa kemusyrikan, kefasikan maupun bid’ah. Juga dikatakan ‘adalah jika mereka mampu menjauhi dosa dosa kecil dan hina, namun ia bertetap dalam hal-hal yang berkaitan dengan muru’ah.”[7]
Berdasarkan definisinya ialah adalah suatu watak atau kebiasaan (malakah) untuk menjauhi segala noda dan dosa serta selalu melaksanakan perintah agama secara terus-menerus. Di samping itu, orang adil selalu menjauhi segala dosa kecil dan besar, serta dirinya selalu dihiasi dengan sifat muru’ah, yaitu terpelihara kehormatan pribadinya, sementara yang dinamakan ta’dil yaitu menilai seseorang sebagai adil :
ماقال في النفس انه مستقيم وهو ضدالجور...او رجل مقبول الشهادة... تعديل الرجل تزكيته
“sesuatu yang terhunjam dalam diri sebagai hal yang lurus yang menjadi lawan dari keburukan ... atau seseorang yang diterima persaksiannya atau mengadilkan seseorang yang berarti men-tazkiyyah-nya, yaitu membersihkannya dari perbuatan-perbuatan keji.”[8]
Jadi ta’dil menurut bahasa berarti kelurusan dan kejujuran yang ada pada diri seseorang. Seseorang yang jujur tidak akan menyeleweng dan dapat diterima segala penyaksiannya. Menilai adil terhadap seseorang berarti menilai orang itu bersih dari penyelewengan, aib, ketidak jujuran, dan celaan. Ketika dilakukan ta’dil terhadap seseorang, maka maksudnya, secara bahasa ialah menyamakan dan meluruskan sesuatu, dan menimbangnya dengan yang lain.[9]
Pengertian jarh dan ta’dil menurut istilah
A.    Jarh secara istilah
Jarh secara istilah ialah tersifatinya seorang rawi dengan sifat-sifat tercela, seperti, kadzdzab, su’ al-hifzh, mukhtalath, ghair ma’mun, dan lain-lain, sehingga tertolak riwayatnya. Adib shahih menyatakan sebagai berikut :
“sifat yang ada pada rawi yang dengannya riwayatnya ditolak dan tidak diterima”
Ajaj Al-Khatib dalam karyanya Ushul al-Hadis, mendefinisikan jarh sebagai sifat lahiriah rawi yang keadilannya cacat, seperti lemah ingatan, sehingga riwayatnya jatuh atau tertolak dengan tajrih ini, rawi disifati dengan sifat yang mengarah pada kelemahan atau tidak diterimanya riwayatnya.[10]

B.     Pengertian ta’dil menurut istilah
Arti ta’dil secara istilahi adalah tersifatinya seseorang perawi yang mengarah pada diterimanya periwayatannya. Orang yang dinilai adil adalah orang yang tidak cacat urusan agama dan muru’ahnya, sehingga kabar dan persaksiannya dapat diterima sepanjang syarat-syaratnya terpenuhi.
Menurut keterangan tersebut, yang dinamakan adil adalah orang yang tidak ada ketercelaan pada dirinya, sehingga tidak ditolak riwayatnya atau pemberitaannya. Jadi, orang yang di-ta’dil atau yang dinilai adil adalah orang yang dirinya selamat dari segala celaan yang tidak layak dimiliki oleh seorang rawi agar riwayatnya tidak ditolak. Seorang yang dinilai adil dalam periwayatan hadis harus seorang muslim, mukallaf, dhabith, tsiqah dan selamat dari kefasikan.[11]
Untuk itu secara kumulatif Ibn Atsir Al-Jazari, mendefinisikan jarh dan ta’dil sebagai berikut ;
الجرح وصف متي التحق بالراوي والشاهد سقط الإعتبار و بطل الآعمال به... التعديل وصف متي التحق بهما اعتبار قولهما و اخذ به
“jarh adalah suatu sifat dimana rawi dan persaksiannya dianggap jatuh dan batal dalam  pengamalannya, sedangkan ta’dil adalah sifat dimana rawi dan persaksiannya diterima.”
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Al-Zahari tersebut, setiap orang yang meriwayatkan hadis atau saksi yang majruh (orang tercela) riwayat atau penyaksiannya tidak boleh diterima. Demikian pula rawi atau saksi yang sudah dinilai adil, riwayat dan penyaksiannya tidak boleh disepekan. Prof Hasbi Ash-Siddiqie, dalam karyanya Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, mengemukakan definisi jarh dan ta’dil sebagai berikut :
اظهار عيب يرد فيه الرواية ... التعديل الإعتراف بالعدالة والضبط والوثوق
“zhahirnya aib sehingga riwayatnya tertolak (dan) ta’dil didapat ketika keadilan dan ke-dhabith-annya diketahui.”[12]
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah
علم يبحث فيه عن قواعد جرح الرواة وتعديلهم
“ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah mencela para rawi dan mengadilkannya.”
Kaidah men-jarh merupakan syarat yang harus dimiliki seorang mujarrih yang merupakan syarat-syarat yang harus ada dalam jarh-nya itu sendiri, lafal-lafal dan maratibnya serta ketentuan hukum hadis yang ada pada tiap-tiap martabat yang ditempatinya. Maksud kaidah menta’dil rawi adalah kaidah yang berkaitan dengan syarat-syarat mu’addil, syarat-syarat  ta’dil,lafal-lafal ta’dil beserta muratibnya, serta hukum hadis berdasar martabat ta’dil yang ditempatinya. [13]
Selain itu termasuk pada kaidah jarh wa ta’dil ini adalah kaidah yang berkaitan dengan ta’arudhnya pendapat para imam tentang seorang rawi dan ta’arudhnya ucapan seorang imam yang satu itu sendiri.
Sebagai bandingan, dibawah ini dikemukakan pengertian jarh wa ta’dil lainya, sebagai berikut:
a.       Ilmu yang membahsa tentang kaidah-kaidah untuk menjarh para rawi dan mengadilkannya. Yang dimaksud dengan kaidah-kaidah menjarh yaitu berkatan erat dengan syarat-syarat yang banyak yang harus dimiliki oleh mujarrih, dan syarat-syarat yang banyak pula berkaitan dengan jarh itu sendiri sehingga dapat diterima, kemudian berkaitan dengan lafal-lafalnya, tingkatanya, beerta hukum hadist yang diriwayatkan olh perawi pada tiap-tiap tingkatanya itu. Sementara itu, dimaksud dengan kaidah-kaidah mengadilkan perawi maksudnya, berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh si mu’adil dan dalam proses pen-ta’dil-annya itu sendiri sehingga dapat diterima, selain dari itu berkaitan juga dengan lafal-lafal dan tingkatan dari lafal tadi beserta hukum hadis yang diriwayatkan oleh rawi pada tingkatannya masing-masing.
b.      Jarh ialah menyipati seseorang rawi dengan merendahkan periwayatannya, atau men-dha’if-kannya, dan bahkan menolaknya. Sedangkan ta’dil, maksudnya menyifati rawi dengan menerima periwayatannya.
c.       Ilmu yang menerangkan tentang hal catatan-catatan yang dihadapkan kepada para rawi dan tentang pen-ta’dil-annya dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat dari kata-kata itu.
Dari beberapa pengertian diatas, jelaslah kiranya, bahwa seorang rawi takkan luput dari catatan-catatan prestasi akademik dan prestise moralnya dalam sejarah sehingga dapat dipertimbangkan diterima atau ditolak riwayatnya. Mengutip dari Imam Hakim dalam Ma’rifah Ulum al-Hadits, Subhi as-Shalih memberi pengertian jarh wat ta’dil sebagai ilmu yang membahas mengenai para perawi, sekitar masalah yang membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafaz-lafaz tertentu. Dari pengertian-pengertian tersebut, jelas bahwa jarh wat ta’dil berkaitan erat dengan penerimaan sebuah Hadis.[14]
Menurut efinisi-definisi diatas, jelaslah bahwa jarh merupakan penilaian negatif terhadap orang yang meriwayatkan hadis, sehingga mengakibatkan riwayatnya perlu diteliti, dipertimbangkan atau ditolak, lalu orang yang meriwayatkan hadis yang sudah dinilai adil riwayatnya diterima karena orang itu sudah memiliki sifat-sifat sebagai orang yang harus diterima riwayatnya.[15] Jadi ilmu jarh wa ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seseorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat lain dipenuhi.[16]
Illmu jarh wa ta’dil dibutuhkan untuk menilai tokoh-tokoh isnad dan mengetahui martabat hadis. Karena tidak mungkin untuk selamanya dimulai mempelajari isnad tanpa mengetahui kaidah al-jarh wa ta’dil yang dijadikan pegangan oleh para tokoh disiplin ilmu ini, mengetahui syarat-syarat rawi yang diterima, bagaimana menetapkan ‘adalah dan dhobitnya dan sebagainya. Jumhur (mayoritas) tokoh-tokoh hadis dan fiqh sepakat bahwa untuk menjadi seorang yang periwayatannya dapat dijadikan hujjah minimal memerlukan dua syarat pokok:
1.      Al-‘Adalah: muslim, baligh, berakal, terbebas dari sebab-sebab fasik, bebas dari cela nilai-nilai kemanusiaan (muru’ah).
2.      Ad-Dhobt: seorang rawi hendaknya mempunyai hafalan yang kuat, tidak berkesallahan fatal, tidak melawan arus para rawi tsiqot, tidak banyak praduga bersalah, dan tidak lalai.[17]

C.     FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI MUNCULNYA ILMU JARH WA TA’DIL
Pertumbuhan ilmu jarh dan ta'dil dimulai sejak adanya periwayatan hadits, ini adalah sebagai usaha ahli hadits dalam memilih dan menentukan Hadits Shahih dan Dhaif walaupun Jarh dan ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan Hadits alangkah baiknya jika dikerjakan terlebih dahulu masa perkembangan hati semenjak zaman Rasulullah sampai masa dan saran penafsiran kitab kitab hadits menurut T.M. Hasbi as-shiddiqi sekurang-kurangnya ada 7 periode perkembangan Hadis yaitu:
  1. Masa turun Wahyu, masa ini selama 23 tahun, yaitu tahun ke-8 sebelum Hijriyah sampai tahun ke 11 Hijriah masa ini masa pembentukan tasyri Islami (hukum Islam) yaitu sejak awal kenabian sampai beliau wafat.
  2. Masa Khulafaur Rasyidin, lamanya 29 tahun yaitu tahun ke 11 Hijriah sampai tahun 40 Hijriah. Masa ini terkenal dengan masa pembatasan dan penyedikitan riwayat.
  3. Masa perkembangan riwayat dan perlawanan ke kota-kota untuk memberi hadis. Masa ini lamanya 60 tahun yaitu mulai tahun 45 sampai tahun 100 Hijriyah.
  4. Masa pembukuan hadits yaitu dari permulaan abad ke-2 Hijriyah sampai akhirnya lamanya kurang lebih 100 tahun yaitu dari tahun 100 Hijriah sampai kurang lebih tahun 200 Hijriah.
  5. Masa pen-tashhih-an hadits menyaringnya dan menafisnya yaitu sejak abad ke 3 Hijriyah sampai akhirnya.lamanya kurang lebih 100 tahun.
  6. Masa menafis dan menyaring kitab-kitab hadits, lamanya kira-kira tiga setengah abad yaitu mulai abad keempat sampai tahun 656 Hijriyah tujuh
  7. Masa membuat syarah dan menyusun kitab kitab takhrij, mengumpulkan hadis hukum dan menyusunnya dalam kitab-kitab Jami’, sejak tahun 656 Hijriyah sampai sekarang.[18]
masing-masing periode tersebut di atas mempunyai ciri khas sendiri-sendiri, sebagaimana yang akan diterangkan dari ciri-ciri periode tersebut hanya dari periode pertama sampai periode ketiga karena pada periode itulah banyak faktor yang melatarbelakangi perkembangan ilmu jarh wa ta'dil, lebih-lebih pada periode ketiga.
1.      Masa turun Wahyu
Pada periode pertama hanya Rosulullah yang menjadi pusat perhatian umat Islam, baik mengenai lisan ataupun perbuatannya, Rasulullah menerangkan dan meragakan hukum-hukum Islam kepada para sahabat, waktu berada di rumah di masjid, pada waktu hadir (tidak bepergian), Safar atau di tempat mana saja tatkala ada kesempatan. Caranya, para sahabat langsung menanyakan persoalan itu kepada Rasulullah atau dengan menyuruh orang lain yang bisa dipercaya. Pada periode ini, ada dua subjek yang berperan dalam perkembangan tasyri Islam yaitu Rasulullah sebagai penyampaian risalah dan para sahabat sebagai penerima risalah.[19]
2.      Masa Khulafa al-Rasyidin
Periode kedua adalah periode Khulafaur Rasyidin. Periode ini terkenal dengan periode pembatasan riwayat. Periode ini terdiri atas dua masa kekhalifahan, yaitu masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dan masa kekhalifahan Ustman dan Ali.
  1. Masa Abu Bakar dan Umar
Sepeninggal Rasulullah para sahabat secara aklamasi memilih Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama, walaupun sebelumnya tampak seperti ada perebutan kepemimpinan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Pada masa beliau ini yang diutamakan dipelajari dan disebarluaskan adalah Al-Qur’an, sedangkan mengenai hadis tidak menjadi pengajaran khusus sebagaimana Al-Qur’an.[20]
Hadis waktu itu hanya diketahui dan dipelajari oleh kalangan tertentu, dan orang-orang yang mendalaminya sangat terbatas, dalam hal ini pun baru diajarkan dan diketahui oleh para sahabat lain bila ada keperluan. Abu bakar melakukan hal ini dalam rangka menggalakkan Al-Qur’an sebagai pedoman tasyri yang pertama dan utama. Di samping itu mengingat sabda Rasulullah yang menyuruh bertindak hati-hati dalam meriwayatkan hadis, sebagaimana sabdanya yang artinya “Cukuplah seseorang itu berdosa jika mengabarkan setiap apa yang didengarnya”.[21]
Kebijaksanaan Abu Bakar ini dilanjutkan pula oleh khalifah kedua, umar bin Khattab. Dua khalifah tersebut tidak menyebarluaskan hadis, tidak lain agar Al-Qur’an tetap menjadi sumber ajaran utama. Walaupun demikian, kedua khalifah itu menerima hadis dari sahabat lain pada waktu-waktu tertentu. Namun, dalam menerima riwayatnya disertai dengan beberapa persyaratan sebagai contoh akan terungkapkan dalam kasus-kasus berikut ini.[22]
Sesuai dengan kedudukannya sebagai khalifah Abu Bakar selalu menerima persyaratan tertentu dalam periwayatan hadis. Persyaratan yang dimintanya berupa pennyaksian dari sahabat lain. Umar selalu meminta bayyinah (keterangan) dari orang lain yang meriwayatkan hadis.
Diriwayatkan bahwa Abu Musa Al-Asy’ari salam tiga kali saat bertamu ke rumah Umar. Umar waktu itu tidak menjawab salam Abu Musa, kemungkinan beliau beranggapan bahwa Abu Musa itu akan terus masuk ke rumahnya. Sangkaan Umar trsebut ternyata meleset, Abu Musa terus pulang. Melihat Abu Musa pulang, Umar menyusul dan menanyakan alasannya kepada Abu Musa. Abu Musa menyatakan suatu hadis yang menerangkan bahwa bila seseorang membaca salam sampai tiga kali, tetapi tuan rumah tidak menjawab, maka yang akan bertamu harus pulang. Umar meminta penyaksian sahabat lain untuk membuktikan kebenaran hadis itu. Sahabat yang kebetulan mengetahui masalah ini adalah Ubay bin Ka’ab, setelah itu Umar berkata:
“aku bukan tidak mau menerima keteranganmu, tetapi aku ini takut jika orang-orang menyatakan sesuatu (kemudian) disandarkan pada Rasulullah SAW”.[23]
Dalam hadis lain diterangkan bahwa Abu Bakar, tidak mau menerima hadis sebelum ada penyaksian. Imam Malik menerangkan sehubungan dengan riwayat tersebut sebagaimana tercantum dalam kitabnya yang masyhur al-Muwaththa. Sebagaimana diketahui pula bahwa kitab ini diantara kitab hadis yang sampai ketangan umat islam sekarang ini. Dalam riwayat tersebut dikatakan bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar As-Shiddiq dan bertanya kepadanya tentang hak warisnya. Abu Bakar bertanya padanya,”apakah engkau punya sandaran dari kitab Allah atau sunnah Rasul-Nya, kembalilah sampai engkau bertanya pada orang-orang”. Maka ia pun bertanya pada orang-orang. Al-Mughirah bin Syu’bah berkata, “aku hadir kepada Rasulullah Saw., dan ia memberinya seperenam.” Abu Bakar berkata,”apa engkau punya saksi lain?” berdirilah Muhammad bin Musallamah Al-Anshari dan berkata sesuai apa yang dikatakan oleh Al-Mughirah.
Demikianlah ketelitian Abu Bakar dan Umar dalam menerima hadis, beliau melakukan pembatasan dan seleksi dalam menerima hadis, semata-mata hanya untuk memelihara kemurnian Syariat Islam.[24]
  1. Masa Ustman dan Ali bin Abi Thalib
Tatkalla tampuk pemerintahan dipegang oleh Ustman bin Affan dan setelah wafatnya beliau dilanjutkan oleh Ali bin Abi Thalib, periwayatan hadis tidak seketat kedua khalifah sebelumnya. Walaupun ada diriwayatkan bahwa Ali pernah melakukan sumpah kepada pembawa hadis. Pada masa ini berpergian dari satu kota ke kota lain dalam rangka saling tukar menukar pengetahuan dan mencari informasi tentang hadis, banyak dilakukan oleh sahabat dan tabi’in besar, lebih-lebih perlawatan yang dilakukan oleh sahabat kecil dan tabi’in besar yang berusaha mengumpulkan hadis dari sahabat besar. Keadaan seperti ini terus berlanjut, semenjak jaman pemerintahan Ustman dan Ali, sehingga perkembangan riwayat tampak sangat pesat.[25]
3.      Masa Perkembangan Riwayat
Pada masa ketiga, yaitu masa perkembangan riwayat dan perlawanan ahli hadis dari satu kota ke kota lain untuk mencari dan mengumpulkan hadis melebihi masa-masa sebelumnya. Dalam suatu riwayat, diterangkan bahwa Abu Ayub Al-Anshari dari Madinah pergi ke Mesir untuk menemui Uqbah bin ‘Amr. Perjalanannya ini dalam rangka menyakinkan sebuah hadis yang menerangkan tentang balasan seseorang yang pernah menutupi kesulitan saudaranya di dunia ini, Allah akan menutupi kesulitannya pula di akhirat kelak. Hadis ini berbunyi:
المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه من كان في حاجة  أخيه كان اللّه في حاجته ومن فرج عن مسلم كربة فرج اللّه عنه بها كربة من كرب يوم القيامة ومن ستره اللّه يوم القيامة
artinya: “muslim itu bersaudara dengan sesame muslim lainnya. Janganlah ia menzaliminya. Barangsiapa yang menutupi kebutuhan saudaranya, maka Allah menutupi kebutuhannya. Barangsiapa yang mengatasi kesulitan saudaranya, maka Allah mengatasi kesulitannya di hari kiamat. Barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aibnya) pada hari kiamat”.[26]
Pada masa sebelum masa ketiga ini, pemalsuan hadis itu sangat minim sekali, bahkan dapat dikatakan tidak ada karena pada masa sahabat tersebut, di samping para sahabat dinilai jujur semuanya, juga hadis masih terjaga kemurniannya secara sempurna. Alasan Abu Ayub pergi sendiri ke Mesir, karena pada masa ketiga ini, diduga sudah timbul pemalsuan hadis karena fitnah yang melanda umat. Alas an Abu Ayub tersebut memang dapat dimaklumi karena ternyata kekuatan politik umat islam pada waktu itu terpecah menjadi beberapa kelompok. Kelompok tersebut demi mempertahankan eksistensinya cenderung untuk membuat riwayat palsu dengan mengatasnamakan Rasulullah atau menafikan sama sekali keberadaan hadis tertentu.Adapun kelompok tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, golongan pembela Ali bin Abi Thalib, yang kemudian menamakan dirinya dengan golongan syi’ah. Kelompok ini banyak membuat riwayat palsu tentang imamah dan wilayah yang hanya untuk Ali karena beliau adalah washiy Nabi. Dalam Nahj al-Balaghah pernyataan tentang keimaman Ali yang padahal palsu banyak direkam.
Kedua, golongan Jumhur yang sebenarnya banyak yang netral, tetapi mengikuti kemanapun dan kepada pemerintah yang ada pada waktu itu tidak menentang secara terang-terangan, golongan ini selanjutnya terkenal dengan ahli sunnah wal jama’ah karena termasuk mayoritas.
Ketiga, golongan khawarij, yaitu golongan yang menentang kebijaksanaan Ali dan Muawiyah. Golongan ini mencela politik Utsman sebelumnya dalam mengendalikan pemerintahan, dan mencela Ali karena beliau menerima tahkim (arbitrase) dan mencela pula terhadap Muawiyah yang merebut kekuasaan dengan cara kekuatan, sehingga mengafirkan kedua sahabat itu.
Keempat, kelompok yang menamakan dirinya kaum Murji’ah yang tidak menyetujui cara berpikir Khawarij yang mengafirkan orang berdosa besar.
Kelima, adalah kaum Mu’tazilah yang menganggap fasik kepada pelaku dosa besar.[27]
Kenyataan-kenyataan tersebut diatas terbukti setelah umat islam terpecah menjadi beberapa golongan, pemalsuan hadis tersebut semakin memuncak. Pengarang al-sunnha wa makanatahu fi al-tasyri islamy menguraikan dengan panjang lebar sebab-sebab orang membuat hadis palsu, yang antara lain sebagai berikut:
  1. Perbedaan pandangan politik.
  2. Kaum Zindiq.
  3. Ta’ashub kebangsaan, qabilah, bahasa, Negara, dan imam mazhab.
  4. Pendongeng dan orator.
  5. Perbedaan fiqh dan kalam (teologi).
  6. Orang yang mencintai kebaikan, tetapi tidak melengkapi dirinya dengan pengetahuan agama.[28]

D.    TINGKATAN-TINGKATAN JARH WA TA’DIL
Dalam kitab taqriibu Al-Tahdziib, Ibnu Hajar menjelaskan, bahwa jarh wa ta’dil (penilaian cacat dan adilnya seorang rawi) itu ada 12 tingkatan, yaitu:
1.      Tingkat kejujuran dan terpercayanya para sahabat.
2.      Kejujuran dan terpercayanya orang-oarang yang dipuja dengan sebutan “orang yang paling ….”, dimana biasanya dikuatkan dengan menggunakn sighat “Af’ala”, seperti menyebutnya sebagai “Autsaqu al-naasi” (manusia yang paling terpercaya), atau dengan menyebutkan sifatnya secara lafadz atau makna, dalam bentuk satu kata seperti “tsiqah”(terpercaya), atau dengan mengulang kata seperti “tsiqqatu al-haafidz” (seorang hafidz yang terpercaya).
3.      kejujuran dan terpercaya nya orang yang dipuja dengan menyebutkan sifatnya dalam bentuk satu kata seperti tsiqqah (terpercaya), mutqin (orang yang kuat untuk dipercaya), tsabat (benar untuk dipercaya), atau adl (orang yang jujur).
4.      Orang yang tingkat kejujuran dan terpercaya nya di bawah sedikit dari tingkatan ketiga tersebut diatas, seperti disebut sebagai shaduuq (orang yang banyak jujurnya), la ba’sa bihi (orang yang tidak berbahaya untuk diambil riwayatnya) atau laisa bihi ba’sun (orang yang tidak ada padanya sesuatu yang membahayakan untuk diambil riwayatnya).
5.      Orang yang tingkat kejujuran dan terpercaya nya dibawa sedikit dari tingkatan yang keempat tersebut di atas seperti disebut sebagai shaduuq syayyiu al-hifdzi (orang yang banyak jujurnya, namun jelek hafalannya), shaduuq yuuham (orang yang banyak jujurnya namun ada persangkaan berbuat salah), lahu auham (orang yang disangka banyak berbuat kesalahan), yukhthi (orang yang berbuat kesalahan), atau taghayyar biaakhirihi (orang yang berubah pada usia lanjutnya). Dan disamakan dengan orang yang berada pada tingkatan yang kelima ini, orang-orang yang suka mengikuti hawa nafsu dan ahli bid'ah.
6.      Orang yang mempunyai sedikit hadis kemudian jika hadisnya dianggap benar sebab ada hadis lain yang menguatkannya, maka dia disebut “maqbul”, tetapi jika Haditsnya dianggap tidak benar, karena tidak ada hadis lain yang menguatkannya, maka dia disebut “layyinu Al Hadist”.
7.      Orang yang meriwayatkan dari padanya lebih dari satu orang namun tidak tsiqqah (tidak terpercaya). Orang yang ‘adalah (sifat kejujuran dan terpercaya)-nya pada tingkatan yang ketujuh ini disebut “Mastuur” (tertutup), atau “majhul hal” (tidak diketahui catatan pribadinya).
8.      Orang yang dirinya tidak pernah dianggap tsiqqah (terpercaya), bahkan ada yang menganggap dhaif meskipun tidak secara jelas dan tegas. Orang semacam ini disebut “dhaif”.
9.      Orang yang tidak ada yang meriwayatkan dari padanya kecuali satu orang, dan tidak dianggap tsiqqah (terpercaya). Orang semacam ini disebut “majhul”.
10.  Orang yang dirinya tidak pernah dianggap tsiqqah sama sekali. Orang semacam ini secara jelas dan tegas dinyatakan dhaif sebab adanya cacat dan disebut “matruuku al-hadis”, “waahilu al-hadis”, atau saaqithu al hadis” (gugur).
11.  Orang yang ada persangkaan berbuat dusta. Orang semacam ini disebut “muttaham” (tertuduh), atau “muttaham fii al-kidzbi” (tertuduh dusta).
12.  Orang yang secara jelas dan tegas sudah disebut pendusta atau ahli membuat Hadits palsu. Mereka ini disebut “Kadzdzab” (orang yang banyak melakukan kebohongan”, atau “wadhdha” (orang yang banyak membuat Hadits palsu).[29]
Adapun menurut Ibnu Abi Hatim, tingkatan ‘adalah (kejujuran dan terpercaya) itu ada empat yang bisa diringkas lagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1.      Orang yang dengan sendirinya hadisnya bisa dijadikan hujjah. Mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai catatan pribadi sebagai orang yang tsiqqah, adil, penghafal, cerdas, dan dhabit.
2.      Orang yang bisa ditulis hadisnya, namun masih perlu diteliti, dan hadisnya itu dapat dijadikan penguat terhadapp hadis lain sebagai syahid atau mutaba’at. Mereka ialah orang-orang yang memiliki catatan ribadi sebagai orang yang jujur atau benar, yang menurut klasifikasi Ibnu Hajar di atas kategori pada tingkatan yang keempat, kelima, dan keenam.
3.      Orang yang tidak boleh ditulis hadisnya, sehingga tidak dibolehkan untuk dijjadikan sebagai hadis enguat. Mereka ini orang-orang yang catatan pribadinya menunjukkan sebagai seorang pendusta, tertuduh dusta, pembuat hadis palsu, orang yang ditinggalkan hadisnya, atau orang yang tertolak hadisnya. Mereka ini menurutt klasifikasi Ibnu Hajar terkategori dalam tingkatan yang kesepuluh, sebelas, dan dua belas.[30]
Syarat orang-orang yang menetapkan keadilan dan cacat rawi adalah:
1.      Alim
2.      Taqwa
3.      Wara’ (menghindari hal-hal yang subhat dan makruh apalagi dosa-dosa kecil dan kemaksiatan lain)
4.      Jujur
5.      Tidak mempunyai kecacatan pribadi
6.      Tidak fanatic
7.      Mengatahui sebab-sebab ta’dil dan jarh[31]

E.     PENUTUP
Ilmu jarh wat ta’dil sebagai ilmu yang membahas mengenai para perawi, sekitar masalah yang membuat mereka tercela atau bersih dalam menggunakan lafaz-lafaz tertentu. Dari pengertian-pengertian tersebut, jelas bahwa jarh wat ta’dil berkaitan erat dengan penerimaan sebuah Hadis.Faktor yang melatarbelakangi munculnya ilmu jarh wa ta’dil yaitu adanya perbedaan pandangan politik, perbedaan fiqh dan teologi, pemalsuan hadis. Illmu jarh wa ta’dil dibutuhkan untuk menilai tokoh-tokoh isnad dan mengetahui martabat hadis. Dan menurut Ibnu Hajar ada 12 tingkatan tentang cacat dan adilnya seorang rawi.

DAFTAR PUSTAKA

Al Thohhan, Mahmud. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad. Semarang: Dina Utama.
Alawi Al-Maliki, Muhammad. 2009. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadi, Saeful. Ulumul Hadis: Panduan Ilmu Memahami Tentang Hadis Secara Komprehensif. Yogyakarta: Sabda Media.
Idris. 2010. Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
M. Abdurrahman. Elan Sumarna. 2011. Metode Kritik Hadis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nuruddin ‘Itr. 2012. ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. RajaGrafindo.
Zuhdi, Masjfuk. 1985. Pengantar Ilmu Hadis. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Abdul Wahab, H. Husin. 2011.Ilmu Jarh wat Ta’dil sebagai Kriteria dalam Klasifikasi Hadis. Media Akademika, Vol. 26, No. 2.
Ma’ani, Bahrul. 2010. Al-Jarh Wa Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu. Media Akademika Vol. 25, No. 2.

Catatan:
1.      Berikan penjelasan faktor-faktor munculnya al-jarh wa al-ta’dil secara jelas,
2.      Perbaiki lagi tingkatan al-jarh wa ta’dil



[1] Idri. Studi Hadis. (Jakarta: Kencana. 2010). Hlm. 6
[2] Masjfuk Zuhdi. Pengantar Ilmu Hadis. (Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1985). Hlm. 102
[3] Nuruddin ‘Itr. ‘Ulumul hadis. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2012). Hlm. 65
[4] Bahrul Ma’ani. “Al-jarh wa Al-Ta’dil: Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu”.Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010. Hlm. 97
[5] M. Abdurrahman. Elan Sumarna. Metode Kritik Hadis. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2011). Hlm. 54
[6] Ibid. hlm. 54
[7] Ibid. hlm. 54
[8] Ibid. hlm. 55
[9] Ibid. hlm. 56
[10] Ibid. hlm. 56
[11] Ibid. hlm. 56
[12] Ibid. hlm. 57
[13] Ibid. hlm. 57
[14] H. Husin Abdul Wahab. “Ilmu Jarh wat Ta’dil sebagai Kriteria dalam Klasifikasi Hadis”. Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011. Hlm. 235.
[15] Ibid. hlm. 58
[16] Munzier Suparto. Ilmu Hadis. (Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2003). Hlm. 32
[17] Mahmud Al Thohhan. Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad. (Semarang: Dina Utama. 1995). Hlm. 143
[18] M. Abdurrahman. Elan Sumarna. Op. Cit. hlm. 70
[19] Ibid. hlm. 71
[20] Ibid. hlm. 76
[21] Ibid. hlm. 77
[22] Ibid. hlm. 77
[23] Ibid. hlm. 77
[24] Ibid. hlm. 78
[25] Ibid. hlm. 78
[26] Ibid. hlm. 79
[27] Ibid. hlm. 79
[28] Ibid. hlm. 80
[29] Muhammad Alawi Al-Maliki. Ilmu Ushul Hadis.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009). Hlm. 153
[30]Ibid. Hlm. 155
[31] Saeful Hadi. Ulumul Hadis: Panduan Ilmu Memahami tentang Hadis secara Komprehensif.. (Yogyakarta: Sabda Media). Hlm. 119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar