HUKUM TAKLIFI, HUKUM WAD’I, MAHKUM FIHI, DAN MAHKUM ALAIH
Yuni Wijayanti. Musribah, Muhammad Albar
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam kelas C Angkatan 2014
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: yuniwijayanti2014@gmail.com
Abastrack
Islamic law is derived from the provisions of Allah, which is useful as an approach to the relationship, either vertically, or horizontally. Secaara vertical relationships that directly connects us as Muslims to know God, for God who created Nature. While horizontally is a relationship with fellow beings created by God. This means that as Muslims do not necessarily our individual lives, but also a social need. To be able to establish a relationship vertically and horizontally, we need to know the laws relating to the Personality '. Because by knowing the law we will know that we as a mukallaf (those who weighed) has an obligation to implement it, leave it, or select it. Therefore, this time it will peel pembehasan yyang taklifi relating to the law, the law wadh'I, mahkum fihi and mahkum alaih
Abstrack
Hukum islam merupakan
ketentuan ketentuan yang berasal dari Allah Swt yang berguna sebagai pendekatan
hubungan, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Hubungan secaara
vertikal yang secara langsung menghubungkan kita sebagai umat islam untuk
mengenal Allah, sebagai Tuhan yang menciptakan Alam. Sedangkan secara
horizontal adalah hubungan dengan sesama makhluk yang diciptakan Allah. Artinya
sebagai umat muslim tidak serta merta kita hidup individual, namun juga perlu
sosial. Untuk dapat menjalin hubungan secara vertikal dan horizontal, kita
perlu mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan syara’. Karena dengan
mengetahui hukum tersebut kita akan tau bahwa kita sebagai seorang
mukallaf(orang yang terbebani) mempunyai kewajiban untuk melaksanakannya,
meninggalkannya, atau memilihnya. Maka dari itu, pembehasan kali ini akan
mengupas yyang berkaitan dengan hukum taklifi, hukum wadh’I, mahkum fihi dan
mahkum alaihi
Keywoard: hukum taklifi, hukum wadh’I, mahkum bihi, mahkum
alaihi
A.
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna. Karena manusia
dikaruniai akal. Akal yang diberikan Allah adalah sebagai fasilitas manusia
dalam menjalani kehidupan, terutama dalam menjalankan syariat islam. Syariat
adalah hukum Allah yang dibebankan kepada umat muslim, baik untuk dilaksanakan,
ditinggalkan, maupun dijadikan pilhan untuk memilihnya, baik yang tertera dalam
Al qur’an maupun As-sunah. .
Dalam memahami hukum islam yang dibebankan kepada umat muslim, perlu
kiranya kita memahami bagaimana proses dari terjadinya hukum. Pemahaman iini
yang kemudian akan menghantarkan kita menjadi orang yang tidak hanya
tekstualis, namum juga kontekstualis. Agar dalam realita tidak mudah
mengkafirkan orang
Pembagian hukum ada 2, yaitu hukum taklifi, dan hukum wadh’i. hukum
taklifi yang nantinya akan dibagi ke dalam hukum seperti wajib, haram, makruh,
mubah, dan sunnah. Begitu juga denga hukum wadh’I, kita akan mengetahui apa
yang menyebab kan adanya “ sebab, syarat, dan mani”. Tidak hanya sekedar itu,
kita juga harus mengetahui apa itu mahkuum bihi, dan mahkum alaih, karena
mahkum bihi dan mahkum alaih memiliki keterkaitan dengan hukum taklifi.
B.
Hukum Taklifi
Hukum Taklifi yaitu apa yang berkehendak minta perbuatan mukallaf
atau memberhentikan dari membuat atau memilih antara memperbuat dan
memperhentikan.Misalnya apa yang diperlukan tuntutan terhadap perbuatan mukalaf
Firman Tuhan yang berbunyi “Ambillah sedekah dari harta benda mereka. Lagi kata
Tuhan “Allah swt yang mewajibkan kepada manusia itu haji di baitullah. Lagi
firman Tuhan “hai orang-orang beriman tepatilah janji.
Hukum taklifi Ialah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu
pekerjaan oleh mukallaf atau melarang mengerjakannya atau melakukan pilihan
antara melakukan dan meninggalkannya.
Contoh hukum yang menghendaki dilakukannya perbuatan oleh mukallaf
ialah firman Allah swt:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
Artinya: Ambillah zakat dari sebagaian harta mereka (Qs. 9, Al
taubah 103).
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ
Artinya: “Mengerjakan haji ke baitullah adalah kewajiban manusia
terhadap Allah swt” (Qs Ali Imran 97).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya: “Hai orang-orang beriman. Penuhilah akad-akad itu
(Qs Al Maidah 1).
Dan nash-nash lain yang menuntut mukallaf mengerjakannya. Sedangkan
contoh lain yang menuntut meninggalkannya ialah firman Allah swt:
لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ
Artinya: “janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (Qs
Al hujarat 11)
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina (Qs Al isra’
32).
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِي
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging
babi” (Qs Al Maidah 3).
Dan nash-nash lainnya yang menuntut mukallaf tidak mengerjakannya.
Sedangkan hukum yang menghendaki pemilihan oleh si mukallaf antara
mengerjan dan meninggalkan ilah firman Allah swt :
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُو
Artinya :”Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka
boleh berburu (Qs Al maidah 2).
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ
Artinya: “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebalah
kamu di muka bumi” (Qs Al jumuah 10).
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ
تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
Artinya: “Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka
tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat” (Qs An nisa 101).
Dan nash-nash lain yang menuntut kepada mukallaf untuk melakukan
pilihan antara mengerjakan sesuatu dan meninggalkannya. Macam ini disebut Hukum
Taklifi, karena mengandung tuntutan (taklif) kepada mukallaf untuk mengerjakan
(sesuatu) atau melarangnya atau melakukan pilihan antara mengerjakan dan
meningglakan. Penamaan ini jelas
mengenai suatu yang di perintah kepada mukallaf
untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkan.[1]
·
Pembagian Hukum
Taklifi
Hukum Taklifi itu terbagi kepada lima bagian, yaitu: wajib, sunnah,
haram, makruh dan mubah. Yang demikian karena hukum taklifi itu menghendaki
permintaan suatu perkerjaan. Jika tuntutannya itu tidak atas tujuan mewajibkan
atau menetapkan, maka hukumnya wajib,
pengaruhnya adalah kewajiban yang di tuntut pelaksanaannya adalah wajib. Dan
jika tuntutannya itu tidak atas tujuan mewajibkan atau menetapkan maka hukum itu
adalah sunnat, pengaruhnya adalah kesunnatan. Dan apabila pengehendaki larangan
suatu pekerjaan maka jika tuntutan itu atas segi keajiban dan menetapkan maka
hukum itu adalah haram, pengaruhnya adalah keharaman. Dan jika tuntutan itu
tidak atas segi mewajibkan dan menetapkan maka hukum itu adalah makruh,
pengaruhnya adalah kemakruhan. Dan apabila menghendaki memerintah memilih
kepada mukallaf di antara mengerjakan atau meninggalkan, maka itu adalah mubah.
Pengaruhnya adalah kebolehan dan pekerjaan di suruh memilih melaksanakan atau
meninggalkan.[2]
Macam-macam hukum taklifi:
A.
Wajib
Definisi
wajib yang paling terkenal ialah setiap perbuatan diberi pahala apabila
dikerjakan dan diberi siksa apabila ditinggalkan.Wajib menurut ulama sama
artinya dengan fardlu, mahtum, lazim.Imam Abu Hanifah membedakan antara fardlu
dan wajib. Meskipun perbedaan ini juga bersifat teoritis, sedangkan secara
praktis tidak banyak berarti.
Menurut Abu Hanifah, fardlu adalah perbuatan yang di tetapkan
kemestiaannya dilaksanakan dengan dalil yang qath’iy tanpa subhat, sedangkan
wajib adalah perbuatan yang ditetapkan kemestiannya dilakukan dengan dalil
dhanniy (subhat). Oleh karena itu, apabila meninggalkan yang fardlu di dalam
sesuatu perbuatan, maka perbuatan itu menjadi batal, seperti wukuf di padang
arafah adalah fardlu haji. Barang siapa yang meninggalkan, batal hajinys.
Sedangkan meninggalkan Sa’I antara Safa dan Marwa’ tidak membatalkan haji. Sa’I
di tetapkan dengan dalil yang qath’iy tanpa subhat menurut mereka. Orang yang
maninggalkan fardlu dianggapkufur oleh merka seperti orang yang mengingkari
shalat, zakat, sedang yang mengingkari wajib tidak kufur.[3]
Wajib
dibagi menjadi empat bagian:
1)
Pembagian
pertama: wajib dari segi waktu menunaikannya diikat dengan waktu dan adakalanya
terlepas dari ikatan waktu. Maka wajib yang
diikat dengan waktu yaitu wajib yang diperintah oleh syar’I mengerjakannya
secara pasi dan pada waktu tertentu, seperti: shalat fardhu, syari’ telah
membatasi untuk menunaikan tiap-tiap sholat diantara shalat fardhu dengan waktu
tertentu, sekira shlat itu tidak wajib sebelum waktu tertentu itu dan seorang
mukallaf berdosa jika mengakhirkan shalat itu dari waktu tertentu tanpa alasan
syara’ (uzur). Dan seperti puasa Ramadhan dan tidak pula di kerjakan sesudah
bulan itu. Demikian setiap wajib yang oleh syari’ telah ditentukan waktu
mengerjakannya.
Sedangkan wajib yang telepas dari ikatan waktu, ialah wajib yang
diperintah oleh syari’ mengerjakannya secara pasti dan syari’ tidak menentukan
waktu menunaikannya, seperti kafarah (denda tebussan) yang wajib ats orang yang
sumppah dan melanggar, maka tidaklah untuk mengerjakan ini ada waktu tertentu.
Maka jika pelanggar hendak kufur dia bisa kufur setelah melanggar secara
langsung. [4]
kewajiban yang tidak dibatasi waktunya boleh dilakukan kapan saja: qodlo’ puasa
menurut Abu Hanifah ibadah haji dari
segi kewajibannya membayar kafarah sumpah.[5]
2)
Pembagian kedua: wajib dari segi perintah melaksanakan, kepada Wajib ‘Aini
(wajib ain) dan Wajib Kifa’I (wajib kifayah). Wajib ‘aini adalah kewajiban yang
diperintah syara’ untuk dikerjakan oleh masing-masing orang mukallaf:shalat,
zakat, haji, menghindari khomar serta judi.
Sedangkan wajib kifa’I ialah kewajiban yang diperintahkan syar’i untuk
dikerjakan oleh sekumpulan mukallaf, bukan dari masing-masing perorangan di
antara mereka, sekira apabila sebagaian mukallaf melaksanakan hal itu berarti
telah dilaksanakan keajiban tersebut dan gugurlah dosa serta beban orang-orang
lainnya. Dan apabila tiap-tiap perorangan di antara perorangan-perorangan
mukallaf tidak mengerjakan hal itu, maka ssemua berdosa, sebab mengabaikan
kewajian ini, seperti perintah-perintah kebaikan dan melarang perbuatan munkar
dan mensholati mayit.
3)
Pembagian ketiga: wajib dari segi ukuran yang diperintahkan kepada Muhaddad
(ukuran yang dibatasi) dan kepada Ghairu Muhaddad (ukuran yang tidak dibatasi).
Wajib muhaddad ialah wajib yang oleh syari’ telah ditentukan kepadanya,
ukuran yang sudah diketahui, sekira tidak menjadi beban tanggungan mukalaf dari
kewajiban ini kecuali yang telah ditentukan oleh syari’, seperti shalat lima
waktu, zakat dan utang piutang harta kekayaan. Maka setiap shalat fardhu dari
lima shalat fardhu itu membebani tanggungan kepada mukallaf sampai shalat
fardhu tersebut dilaksanakan menurut bilangan rakaatnya, tukun dan syaratnya.
Sedangkan wajib yang tidak dibatasi ialah wajib yang syari’ tidak
menentuka ukurannya, tetapi menuntut wajib itu dari mukallaf tanpa batas,
seperti: bersedah di jalan Allah swt, tolong-menolong atas kebaikan, bersedekah
kepada orang lain, memberi makan orang yang lapar serta menolong orang yang
kesulitan dan wajib –wajiblain syari’ tidak membatasinya. Karena yang dimaksud
wajib-wajib tersebut adalah memenuhi kebutuhan dan perbedaan orang-orang yang
membutuhkan serta menurut perbedaan kondisi.
4)
Pembagian keempat: wajib itu menjadi wajib Mu’ayyan (tertentu) dan wajib
Mukhayyar (diperintah memilih).
Wajib mua’ayyan ialah kewajiban yang diperintahkan oleh syari’ dengan
sedirinya, seperti: shalat, puasa, harga sesuatu yang dibeli, ongkos sesuatu
yang disewa dan mengembalikan sesuatu yang di ghosob atau dipakai tanpa seizin
yang punya. Tanggungan mukallaf tidak akan bebas kecuali dengan melaksanakan
kewajiban itu dengan sendirinya.
Wajib mukhayar (memilih) ialah kewajiban yang diperintahkan oleh syari’
kepada salah satu di antara beberapa khafarat (denda tebusan), maka
sesungguhnya Allah swt telah mengharuskan kepada orang yang melanggar sumpahnya
agar memberi makan kepada sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepadanya
atau memerdekakan budak, maka yang wajib adalah satu di antara tiga hal
tersebut. Sedangkan perintah memilih bagi mukallaf adalah dalam menentukan
salah satu dalam pelaksanaanya dan tanggungan wajibnya jadi bebas dengan
melaksanakan salah satu di antaranya.
B.
Mandub (sunnat)
Mandub adalah permintaan syari’ untuk melakukan sesuatu perbuatan
dengan permintaan yang tidak tegas atau sesuatu perbuatan di mana pelakunya
mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak di siksa atau perbuatan di mana
pelakunya terpuji sedang yang meninggalkannya tidak tercela menurut syara’,
atau yang lebih baik/rojih melakukannya boleh meninggalkannya”.
Sunnah ini apabila di hubungkan dengan perbuatan Rasulullah ada
tiga macam:
1.
Sunnah mu’akkad
ialah sunnah-sunnahyang selalu di lakukan Rasulullah tetapi bukan wajib,
seperti shalat sunnah dua rakaat sebelum fajar, ba’da magrib dan ba’da isya’,
membaca suart atau ayat-ayat Al-Qur’an sesudah fatihah.
2.
Sunnah yang
bukan mu’akkad yang itu sunnah-sunnah yang tidak selalu dilaksanakan oleh
Rasulallah saw, seperti shalat sunnah empat rakkat sebelum Ashar dan sebelum
Isya’.[6]
Sunnah ini disebut sunnah Zaidah (tambahan).[7]
3.
Sunnah
tambahan, artinya dianggap pelengkap bagi mukallaf. Di antara mandub ini ialah
mengikuti Rasul dalam segala perbuatan yang bersifat kebiasaan dan yang di
lakukan oleh beliau dengan sifatnya sebagai manusia, seperti: makan, minum,
berjalan, tidur dan berpakaian dengan sebgaimana yang di lakukan oleh
Rasulullah.[8]
Sedangkan apabila ditinjau dari segi subyek hukum sunnah ada dua
macam:
a.
Sunnah
‘ayniyah, yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap individu,
seperti shalat-shalat sunnah.
b.
Sunnah kifayah,
yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap orang, akan tetapi
apabila telah dilakukan oleh salah seorang, yang lainnya dianggap telah
melaksanakan anjuran tadi, seperti memberi salam dan adzan.[9]
C.
Haram
Haram ialah firman Allah swt yang menunut
ditinggalkannnya pekerjaan, dengan tuntutan yang jelas dan pasti, sama saja,
baik yang mewajibkan kepastian tadi qath’iy atau dhanniy atau pekerjaan yang
diancam hukuman”.
Dalil dhanniy bisa menentukan wajib karena
menurut jumhur dalil dhanniy seperti Hadits Ahad adalah hujjah untuk
perbuatan/amal dan tidak bisa dijadikan hujjah di dalam I’tikad.
Menurut
Imam Abu Hanifah apabila larangan itu diterapkan dengan dalil yang qath’iy
disebut haram. Pembagian haram dari segi kualitasnya;
1.
Haram karena
dzatnya.
Haram karena
dzatnya adalah sesuatu yang diharamkan karena adanya madharat pada dzatnya,
seperti makan bangkai, minum kahmr, zina, pencurian dan sebagainya.[10]
2.
Haram karena
yang lainnya.
Artinya bahwa
hukum syara telah membuat hukumnya sejak permulaan berupa wajib atau sunnah
atau mubah. Tetapi hukum itu dibarengi
dengan sesuatu yang baru yang menjadikan hal itu diharamkan, seperti shalat
dengan pakaian hasil ghasab, jual beli yang terkandung di dalamnya terdapat
tipuan.[11]
D.
Makruh
Yang dimaksud dengan makruh adalah perbuatan
yang hbila ditinggalkan, orang yang meningglkannya mendapat pahala, tapi orang
yang mengerjakannya tidak dapat dosa (iqab) misalnya, merokok, memakan makanan
yang menimbulkan bau yang tidak sedap, dan lain sebagainay. Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian
1. Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang
meninggalkan lebih baik darpada mengerjakan, pereti contoh-contoh tersebut
diatas.
2. Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang
dilarang tetapi dalil yang elarangnya itu zhanny, bukan Qat’i. misalnya bermain
catur, memakan kala, dan memakan daging ular (menurut madzab Hanafiayh dan
Malikiyah).
E. MUBAH
Yang dimaksud dengan mubah adalah
segala perbuatan yang diberi pahala karena perbuatannya, dan tidak karena
meninggalkannya. Secara umum ini dinakaman juga halal atau jaiz.
Mubah dibagi kedalam tiga bagian:
1.
Perbuatan yang
ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara’, dan manusia diberi kebebasan
untuk melakukan atau tidak melakukannya. Misalnya, meminang wanita dengan
sindiran sindiran yang baik (QS Al baqarah :225)
2. Perbuatan yang tidak ada dalil syara’ menyatakan
kebolehan memilih, tetapi ada perintah untuk melakukannya. Hanya saja, perintah
itu hanya dimaksudkan berdaarkan qarinah menunjukkan mubah atau kebolehannya saja,
bukan uuntuk wajib. Misalnya. Perintah berburu ketika telah selesai
melaksanakan ibadah haji. (QS Al-maidah :52)
3. Perbuatan yang tidak ada keteranygannya
sama sekali dan syar’I tentang kebolehan atau tidak kebolehannya. Hal ini di
kembalikan pada hukum baraat al-ashliyah (bebas menurut asalnya). Oleh sebab itu segala
perbuatan dalam segala bidang muamalat menurut asalnya adalah
diperbolehkan selama tidak ada dalil
yang melarangnya. Untuk itu, ulama uhul fiqih membuat aidah “menurut asalnya
segaa sesuatu itu adalah mubah”. [12]
Perbedaan antara hukum taklifi dan wadliy
1.
Hukum Taklifi
di maksudkan untuk menuntut atau melarang atau membolehkan pemilihan sesuatu
perbuatan sedang kan hukum wadl’iy hanya menjelaskan sesuatu itu adalah sabab,
syarat atau mani’.
2.
Hukum taklifi
selalu dalam batas-batas kemampuan mukallaf sesuai dengan keadilan tuntunan/taklif,
sedangkan hukum wadl’iy tidak selamnya ada dalam kemampuan mukallaf.[13]
Contoh
|
Yang ada dalam kemampuan mukallaf.
|
Yang di luar kemampuan mukallaf.
|
Sebab
|
Berpergian menjadi sebab kebolehan berbuka puasa.
|
Hubungan kekerabatan menjadi sebab adanya saling mewaris.
|
Mani’
|
Mebunuh pewaris menjadi penghalang untuk mendapatkan hak terhadap
harta warisan.
|
Kekerabatan yang dekat menjadi penghalang pernikahan.
|
C.Hukum Wadh’i
Yang dimaksud hukum wadh’i adalah titah Allah yang terjadi dengan menjadikan sesuatu
sebagai sabab, syarath, mani’,shahih, fasid, ‘azimah, atau rukhsah.Inilah definisi yang menyeluruh yang dikemukakan oleh beberapa
ulama ushul seperti al-Amidi, al-Ghazali, dan al-Syathibi. Para ulama ini
memasukkan ‘azimah dan rukhsah ke
dalam hukum wadh’i. Pendapat ini juga diikuti oleh al-Khudlari.
Hukum wadh’i bukanlah
dalam bentuk tuntunan, tetapi dalam bentuk ketentuan yang ditetapkan pembuat
hukum sebagai suatu yang berkaitan dengan hukum taklifi atau merupakan akibat dari pelaksanaan hukum taklifi itu. Hukum wadh’i tidak tidak harus berhubungan dengan perbuatan manusia,
tetapi bisa berbentuk ketentuan-ketentuan yang ada kaitannya dengan perbuatan
manusia (mukallaf) yang dinamakan hukum taklifi.[14]
Oleh karena itu, pada hakikatnya, hukum wadh’i sangat erat kaitannya dengan hukum taklifi, baik dalam bentuk sebab (sabab), sehingga melahirkan akibat (musabbab) suatu hukum taklifi,
atau dalam bentuk syarat (syarth),
sehingga dimungkinkan berlakunya (masyruth)
suatu hukum taklifi, ataupun dalam
bentuk halangan (mani’), sehingga
suatu hukum taklifi menjadi tidak
terlaksana (mamnu’). Di samping itu,
termasuk pula dalam pembahasan hukum wadh’i
pembahasan yang berkaitan dengan ‘azimah
(hukum yang berlaku umum dan keadaan normal) dan rukhshah (keringanan), as-shihhah
(sah) dan al-buthlan (batal). Dengan
demikian, pembahasan tentang hukum wadh’i
berkaitan dengan tujuh hal utama yaitu, sabab,
syarth, dan mani’, ‘azimah, rukhshah, ash-shihhah, dan al-buthlan.[15]
Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan diuraikan secara terperinci tentang
hukum wadh’i.
1.
Sabab
a.
Pengertian
sabab
Sabab menurut bahasa berarti “sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang
kepada sesuatu yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan
Abdul Karim Zaidan, sebab berarti: Yaitu
sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak
adanya sebab sebagai tanda tidak adanya hukum.[16]
Dalam ungkapan yang agak berbeda, sebagian ulama lainnya
menyebutkan: Sesuatu yang nyata dan
terukur yang dijadikan oleh asy-syari’ sebagai tanda adanya hukum, ditinjau
dari segi adanya sebab memastikan adanya akibat atau hukum, dan tidak ada
memastikan tidak adanya akibat atau hukum.[17]
Misalnya, tindakan perzinaan menjadi sebab (alasan) bagi wajib
dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan) bagi
keharusan ada pembimbingnya, dan tindakan perampokan sebagai sebab bagi
kewajiban mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya.[18]
b.
Pembagian
sabab
Para ulama membagi sabab kepada dua bagian yaitu,
sabab hukum yang merupakan perbuatan mukallaf, dan sabab hukum yang bukan perbuatan mukallaf.
§ Sabab hukum yang merupakan perbuatan mukallaf.
Sabab yang merupakan perbuatan mukallaf ialah,
perbuatan mukallaf yang ditetapkan asy-syari’
sebagai pengenal/ penanda adanya musabbab/
akibat dalam bentuk hukum syara’.[19] Contohnya, perjalanan menjadi sebab bagi bolehnya
berbuka puasa di siang hari Ramadhan, pembunuhan disengaja menjadi sebab bagi
dikenakan hukuman qisas atas
pelakunya, dan akad transaksi jual beli menjadi sebab bagi perpindahan milik
dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Sebab
yang merupakan perbuatan mukallaf ini berlaku padanya ketentuan-ketentuan hukum
taklifi. Oleh sebab itu, diantaranya
ada yang diperintahkan untuk dilakukan, seperti perintah untuk melakukan akad
nikah ketika khawatir akan terjadi perzinaan, diantaranya ada yang dilarang
seperti larangan berzina yang merupakan sebab bagi ancaman hukuman, dan adapula
yang mubah, seperti boleh melakukan akad jual beli sebagai sebab bagi
perpindahan milik dari pihak penjual kepada pihak pembeli.[20]
§ Sabab hukum yang bukan perbuatan mukallaf.
Sabab hukum yang bukan merupakan perbuatan
mukallaf ialah, sesuatu yang asy-syari’
menjadikannya sebagai penanda/pengenal adanya hukum syara’, dalam bentuk sabab, sedangkan ia bukan merupakan
perbuatan mukallaf. Pada umumnya, sabab yang
kedua ini merupakan fenomena alam yang dijadikan sebagai sabab bagi waktu-waktu pelaksanaan ibadah. Misalnya, melihat hilal Ramadhan dan hilal Syawal, sebagai tanda/ pengenal wajibnya melaksanakan puasa
Ramadhan dan berakhirnya bulan Ramadhan;[21] tergelincirnya matahari menjadi sebab (alasan) bagi
datangnya waktu shalat zuhur, dan keadaan terdesak menjadi sebab bagi bolehnya
seseorang memakan sesuatu yang diharamkan.[22]Karena sabab ini
merupakan fenomena alam, maka manusia tidak dapat merekayasa terjadinya sabab tersebut karena ia berada di luar
kemampuan manusia.
c.
Perbedaan
antara sabab dan ‘illat.
Abdul Karim Zaidan menjelaskan perbedaan dan persamaan antara sabab dan ‘illat. Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi
adanya hukum terdiri dari dua bentuk. Bertuk pertama, antara tanda (sebab) dengan sesuatu yang ditandai
(musabbab) mempunyai hubungan logis, dalam pengertian bisa ditelusuri oleh akal
pikiran hubungan antara keduanya, dan bentuk kedua, hubungan diantara keduanya tidak bisa ditelusuri dengan akal
pikiran.
Bentuk pertama diatas, disamping disebut sebagai sebab, juga
disebut sebagai ‘illat, sedangkan
bentuk yang kedua hanya disebut sebab. Contoh bentuk pertama, perjalanan adalah
sabab dan juga ‘illat bagi bolehnya berbuka puasa di siang hari bulan Ramadhan,
dan keadaan memabukkan menjadi sabab
atau ‘illat bagi haramnya meminum khamr.
Sedangkan contoh bentuk kedua, yaitu sebab yang bukan ‘illat seperti terbenamnya matahari menjadi sabab bagi wajib melaksanakan shalat magrib dan terbit fajar
menjadi sabab bagi masuk waktu shalat
subuh.
Pada sebab semacam ini, Allah menjadikan terbenam matahari sebagai
tanda bagi masuknya waktu shalat magrib dan terbit fajar menjadi tanda bagi
masuknya waktu shalat subuh, tanpa ada hubungan logis antara peristiwa terbenam
matahari dan terbit fajar itu dengan kewajiban melaksanakan shalat.[23]
2.
Asy-syarth
a.
Pengertian
asy-syarth
Dari segi etimologi, syarth (syarat)
berarti, sesuatu yang diperlukan untuk adanya sesuatu yang lain. Sedangkan dari
segi terminologi, ialah:
Sesuatu
yang kepadanya bergantung keberadaan sesuatu yang kedua, sedangkan sesuatu yang
pertama itu bukanlah merupakan sesuatu yang kedua itu, sementara ketiadaan
sesuatu yang kedua tidak mesti menyebabkan ketiadaan sesuatu yang pertama.
Sebagian ulama seperti Abu Zahrah, menyebutkan:
Sesuatu
yang kepadanya bergantung adanya hukum, dimana jika ia tidak ada, maka hukum
pun tidak ada, tetapi tidak berarti jika hukum tidak ada, sesuatu itu pun
menjadi tidak ada juga.[24]
Dalam bahasa lain, syarth
adalah suatu sifat yang keberadaannya sangat menentukan keberadaan hukum syar’i
dan ketiadaan sifat itu membawa kepada ketiadaan hukum, tetapi ia berada diluar
hukum syar’i itu sendiri dan keberadaannya itu tidak senantiasa menyebabkan
adanya hukum. Tidak eksisnya suatu hukum syar’i tanpa keberadaan syarat dan
syarat itu sendiri ditentukan oleh syara’. Misalnya, wudhu’ sebagai syarat sah
shalat. Eksistensi shalat secara syar’i tidak ada kecuali dengan berwudhu’,
tetapi wudhu’ itu sendiri bukanlah bagian dari shalat dan ada wudhu’ tidak
mesti ada shalat.
Dalam contoh lain, haul
adalah syarat wajib zakat. Kalau belum (ketiadaan) haul, maka kewajiban zakat tidak ada. Adanya haul tidak mesti adanya zakat. Contoh lain, saksi adalah syarat
dalam perkawinan. Pernikahan tanpa saksi tidak sah. Tetapi saksi bukanlah
bagian dari pernikahan, karena saksi bisa tetap ada tanpa adanya pernikahan.[25]
b.
Perbedaan
syarth dan rukn
Rukun adalah sifat yang tergantung keberadaan hukum padanya dan
sifat yang termasuk ke dalam hukum itu sendiri. Misalnya, takbiratul ihram adalah salah satu rukun shalat, dan ia berada
dalam shalat itu sendiri. Tidak ada rukun, hukum menjadi tidak sah. Adapun syart adalah sifat yang kepadanya
tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum tersebut. Misalnya,
wudhu’ merupakan syarat sah shalat, tetapi wudhu’ itu berada di luar shalat dan
ada wudhu’ tidak mesti ada shalat.[26]
Disamping tiap-tiap keduanya ini terhenti karena adanya hukum atas
adanya itu. Pada hakikatnya rukun adalah sebagian dari sesuatu. Adapun syarat
ialah urusan luar dari hakikat, bukan termasuk bagian-bagiannya. Rukuk itu
adalah rukun shalat, karena merupakan bagian hakikatnya. Bersuci itu syarat
shalat, karena dia urusan luar dari hakikatnya.[27]
c.
Hubungan
antara sabab dengan syarth
Syarat merupakan penyempurna bagi sebab, apabila ada sebab dan
syarat tidak terpenuhi, maka hukum tidak ada. Oleh sebab itu, sebab mesti ada
pada hukum, syarat-syarat terpenuhi, dan tidak halangan yang menghambat
pemberlakuan hukum tersebut. Misalnya, pembunuhan sebagai sebab dikenakan
hukuman qishash, jika syaratnya terpenuhi, yaitu disengaja dan dilakukan
dengan rasa permusuhan. Akad perkawinan menjadi penyebab dibolehkannya hubungan
suami istri jika syaratnya terpenuhi, yaitu dihadiri dua orang saksi.[28]
d.
Pembagian
syarth
Para ulama memberi uraian tentang pembagian syarth
dengan berbagai tinjauan, tetapi yang terpenting ialah, bahwa ditinjau dari
segi penetapannya sebagai syara’, syarth dibagi kepada dua bagian yaitu,
syarth asy-syar’iyyah dan syarth al-ja’liyyah.[29]
§ Syarth asy-syar’iyyah yaitu syarat
yang datang langsung dari syariat sendiri. Misalnya, keadaan rusyd
(kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubazir) bagi
seorang anak yatim dijadikan oleh syariat sebagai syarat wajib menyerahkan
harta miliknya kepadanya sebagaimana firman Allah:[30]
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ
آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا
تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا ۚ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا
فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا
دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ
بِاللَّهِ حَسِيبًا
“ Dan ujilah
anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah
kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari
batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum
mereka dewasa. Barangsiapa (diantara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka
bolehlah ia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan
cukuplah Allah sebagai pengawas”. (QS. An-Nisa’:
6)[31]
§ Syarth al-ja’liyyah yaitu syarat
yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri. Misalnya, seorang suami
berkata kepada istrinya: “Jika engkau memasuki rumah si fulan, maka jatullah
talakmu satu”, dan seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin
untuk membayarkan utang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu
membayar utangnya itu.[32]
3.
Mani’
a.
Pengertian
mani’
Kata mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari
sesuatu”. Secara terminologi, para ulama ushul fiqh merumuskannya dengan:
Sifat zhahir yang dapat diukur yang keberadaannya menyebabkan tidak
adanya hukum atau ketiadaan sebab.[33]
Dalam pengertian lain seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan,
kata mani’ berarti:
Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya
hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.[34]
Mani’ adalah sesuatu
yang adanya meniadakan hukum atau membatalkan sebab. Dalam suatu masalah,
kadang sebab syara’ sudah jelas dan telah memenuhi syarat-syaratnya, tetapi
ditemukan adanya mani’ (penghalang) yang menghalangi konsekuensi hukum
atas masalah tersebut. Seperti ditemukan adanya perkawinan yang sah atau adanya
hubungan kekerabatan, tetapi salah satunya terhalang dalam mendapat hak waris;
misalnya perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris, atau ahli waris
membunuh pewaris. Juga seperti adanya pembunuhan yang disengaja dan aniaya,
tetapi terhalang untuk dilakukan qishah, karena si pembunuh adalah ayah
korban itu sendiri.
Mani’ menurut
istilah ulama ushul fiqh adalah sesuatu yang ditemukan setelah terbukti
sebabnya dan memenuhi syaratnya tetapi dapat menghalangi hubungan sebab dan
akibat. Tidak adanya satu syarat, menurut istilah mereka tidak disebut mani’,
meskipun dapat menghalangi hubungan sebab akibat.[35]Mani’
itu sendiri mestilah berdasarkan ketentuan syara’.
b.
Pembagian
mani’
Sebagaimana halnya syarth, ulama ushul
fiqh juga membagi mani’ dengan meninjaunya dari beberapa segi, tetapi
tinjauan yang terpenting ialah pembagian mani’ ditinjau dari segi
objeknya. Dalam hal ini mani’ dibagi menjadi dua, yaitu:
§ Mani’ al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan
syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haid bagi
wanita ditetapkan Allah sebagai mani’ (penghalang) bagi kecakapan wanita
itu untuk melakukan shalat, dan oleh karena itu shalat tidak wajib dilakukannya
waktu haid.
§ Mani’ al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan
syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan
demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum.[36]
Misalnya, orang yang memiliki harta senisab yang harusnya wajib zakat, karena
ia sedang berhutang, maka ia tidak dikenai kewajiban zakat. Dengan demikian,
maka berhutang menjadi mani’ bagi wajibnya zakat bagi orang yang
memiliki harta yang cukup senisab.[37]
c.
Kaitan
antara sabab, syarth dan mani’.
Dari rumusan definisi dan penjelasan terlihat antara sebab,syarat,
dan halangan terdapat hubungan yang saling terkait. Mani’ ada bersamaan
dengan sebab dan syarat, dan berakibat tidak adanya hukum disebabkan keberadaan
mani’. Misalnya, matahari telah tergelincir sebagai penyebab
diwajibkannya shalat dhuhur dan seorang wanita mukallaf wajib berwudhu’ sebagai
syarat sah shalat. Tetapi, jika wanita yang akan shalat itu sedang haid yang
akan menjadi penghalang (mani’), maka hukumnya menjadi tidak ada, karena
wanita dalam keadaan haid tidak boleh melaksanakan shalat.[38]
Ketiga unsur tersebut menjadi mutlak, mengingat bahwa suatu hukum
syara’ tidak mungkin ada dan berlaku jika tidak ada sabab yang
melahirkan musabbab (akibat) hukum. Demikian juga, suatu hukum terkadang
memiliki beberapa syarth. Jika salah satu syarth tersebut tidak
terpenuhi, maka hukum juga menjadi tidak ada. Tidak kalah pentingnya ialah,
tidak terdapatnya mani’ yang ditetapkan untuk berlakunya hukum tersebut.[39]
4.
Al-‘Azimah
dan ar-Rukhshah
a.
Pengertian
al-‘azimah dan ar-rukhshah
Bentuk lain dari hukum wadh’i adalah ‘azimah dan rukhshah.
Dalam hal ini para ulama ushul fiqh berbeda pendapat dalam menempatkannya
sebagai hukum wadh’i. Alasan mereka pada hakikatnya ketentuan ‘azimah
berkaitan erat dengan keadaan yang normal yang menjadi sebab diberlakukannya hukum-hukum
syara’ yang umum bagi mukallaf, sementara kriteria rukhshah pada umumnya
berkaitan erat dengan keadaan tertentu yang menjadi sebab berlakunya keringanan
bagi mukallaf dalam melaksanakan hukum.
Dalam pada itu, sebagian ulama membicarakan ‘azimah dan rukhshah
dalam kelompok hukum taklifi. Alasan mereka, pembicaraan ‘azimah dan
rukhshah berkaitan langsung dengan cara penerapan hukum taklifi.
Dalam pembahasan ini lebih cenderung pada alasan ulama kelompok pertama ‘azimah
dan rukhshah ditempatkan dalam kelompok hukum wadh’i.
Adapun yang dimaksud dengan al-‘azimah ialah:
Suatu ketentuan syara’ yang sejak semula ditetapkan sebagai
ketentuan yang berlaku secara umum.
Sebagai ulama ushul fiqh lainnya mendefinisikan al-‘azimah
dengan rumusan kalimat:
Suatu ketentuan yang sejak semula disyariatkan sebagai ketentuan
hukum yang umum.[40]
Secara lughawi ‘azimah berarti kemauan yang teguh, kekuatan,
kekuasaan, mantra, jampi-jampi, atau jimat. Menurut ahli ushul ‘azimah adalah hukum-hukum kulli yang disyariatkan
pertama kali untuk menjadi hukum-hukum umum bagi semua mukallaf dalam semua
keadaan, seperti shalat, zakat, dan seluruh ketentuan syariat yang lain.[41]
Maksudnya, hukum itu sejak semula pensyariatannya tidak berubah dan
berlaku untuk seluruh umat, tempat dan masa, tanpa terkecuali. Menurut jumhur
ulama, yang termasuk ‘azimah, adalah kelima hukum taklifi, karena
ke lima hukum ini disyariatkan bagi umat Islam sejak semula. Akan tetapi,
sebagian ulama lain berpendapat bahwa yang termasuk ‘azimah itu hanya
hukum wajib, sunah, makruh dan mubah. Ada juga ulama ushul fiqih yang
membatasinya dengan hukum wajib dan sunah saja, serta ada pula yang membatasi
dengan wajib dan haram saja.[42]
Adapun yang dimaksud dengan ar-rukhshah menurut sebagian
ulama ushul fiqh ialah:
Secara etimologi rukhshah berarti kemudahan, kelapangan, dan
kemurahan. Secara terminologis, Imam al-Baidhawi merumuskannya dengan:
Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur.
Rumusan ini menunjukkan bahwa hukum rukhshah hanya berlaku
apabila ada dalil yang menunjukkan dan ada uzur yang menyebabkannya. Dengan
demikian, hukum-hukum khusus yang sama sekali tidak berbeda dengan dalil-dalil
syara’ secara umum, tidak termasuk dalam kategori rukhshah.
Rukhshah adalah
keringanan hukum yang telah disyariatkan oleh Allah atas mukallaf dalam keadaan
tertentu yang sesuai dengan keringanan tersebut. Atau sesuatu yang disyariatkan
karena ada uzur yang memberatkan dalam keadaan tertentu. Atau diperbolehkannya
sesuatu yang dilarang dengan suatu alasan, meskipun larangan itu tetap berlaku.[43]
b.
Pembagian
ar-rukhshah
Ketentuan ar-rukhshah dapat dibagi
kepada beberapa bagian sesuai dengan segi tinjauannya, tetapi yang terpenting
tinjauan rukhshah ditinjau dari segi bentuk hukumnya yang berlaku umum, dan
dari segi bentuk rukhshah (keringanan) itu sendiri, sebagai berikut:
1)
Berdasakan
segi bentuk hukum yang berlaku umum
Ditinjau dari segi bentuk hukum yang berlaku
umum, rukhshah dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut:
§ Ar-rukhshah untuk melakukan perbuatan yang
menurut ketentuan syariat yang umum diharamkan, karena darurat atau hajah.
Contoh rukhshah
ini ialah, bolehnya mengucapkan kalimat kufur dalam keadaan terpaksa
sebagaimana ditegaskan dalam surah an-Nahl ayat 106:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ
وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah beriman (maka ia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman,
akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan
Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”.
(QS. An-Nahl: 106).
Contoh lainnya
dari rukhshah bentuk ini ialah, boleh memakan daging babi karena
darurat, dimana tidak terdapat makanan lain selain itu, yang jika tidak
dimakan, maka jiwa seseorang akan terancam. Hal ini berdasarkan firman Allah
pada surah al-Baqarah ayat 173:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ
وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Akan tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS.
Al-Baqarah: 173).
§ Ar-rukhshah untuk meninggalkan perbuatan yang
menurut aturan syariat yang umum diwajibkan, karena kesulitan melaksanakannya.
Contoh,
berdasarkan ketentuan umum, puasa ramadhan adalah wajib, berdasarkan surah
al-Baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
(QS. Al-Baqarah: 183)
Akan tetapi,
karena keadaan sakit atau bepergian, sehingga menimbulkan kesulitan jika
dikerjakan, maka boleh tidak berpuasa. Sebagaimana disebutkan pada ayat 184
berikutnya:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ
“Maka
barangsiapa di antara kamu sakit atau bepergian, maka hendaklah ia menggantinya
pada hari-hari yang lain”. (QS. Al-Baqarah: 184).
2)
Berdasarkan
segi bentuk rukhshah (keringanan)
Rukhshah ditinjau dari
segi bentuk rukhshah-nya sendiri dapat dibagi kepada lima macam sebagai
berikut:
§ Rukhshah yang berbentuk menggugurkan kewajiban. Misalnya, dalam keadaan
kesulitan (‘uzur), boleh meninggalkan kewajiban jihad, seperti: karena
buta, pincang, dan sakit. Demikian juga boleh tidak melaksanakan ibadah haji,
umrah, dan shalat jum’at karena sakit.
§ Rukhshah yang berbentuk pengurangan kewajiban. Misalnya, menurut jumhur
ulama, meng-qhasar shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at ketika
musafir, merupakan rukhshah. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, shalat
dua raka’at pada waktu musafir bukan merupakan rukhshah, melainkan ‘azimah,
karena pada mulanya shalat wajib adalah dua-dua raka’at, baik ketika mukim
maupun musafir. Belakangan ketentuan shalat dua-dua raka’at berlaku hanya pada
ketika musafir.
§ Rukhshah yang berbentuk penggantian kewajiban. Misalnya, mengganti
kewajiban wudhu’ dengan tayammum karena kesulitan menggunakan air untuk wudhu’,
baik karena ketiadaan air maupun karena sakit, baik pada waktu mukim maupun
ketika musafir. Demikian juga mengganti kewajiban berdiri dalam shalat dengan
duduk atau berbaring karena kesulitan melaksanakannya, baik karena cacat maupun
karena sakit.
§ Rukhshah yang berbentuk pengunduran waktu pelaksanaan kewajiban. Misalnya,
penangguhan pelaksanaan puasa ramadhan pada hari-hari di luar ramadhan, karena
sakit atau musafir.
§ Rukhshah yang berbentuk perubahan tatacara pelaksanaan kewajiban. Misalnya,
perubahan tatacara shalat yang biasa menjadi tatacara shalat khauf,
karena kesulitan dalam suasana perang.[44]
5.
Ash-Shihhah,
al-Buthlan, dan al-Fasad
Ditinjau dari segi terpenuhi atau tidaknya
tuntutan syara’ pada perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara’,
dapat diberi predikat shihhah (sah), danbuthlan (batal).
a.
Pengertian
ash-shihhah dan al-buthlan
Shihhah (sah) menurut syara’ adalah perbuatan mukallaf itu mempunyai pengaruh
secara syara’. Bila yang dilakukan mukallaf adalah perbuatan wajib; seperti
shalat, puasa, zakat dan haji, dan perbuatan itu dilakukan oleh mukallaf dengan
memenuhi rukun dan syaratnya, maka gugurlah kewajiban itu, ia terbebas dari
beban, tidak berhak mendapat hukuman di dunia dan bahkan berhak mendapat pahala
di akhirat.
Bila yang dilakukan oleh mukallaf adalah sebab
syara’; seperti kawin, talak, jual beli, hibah, akad-akad lain dan berbagai bentuk
pengelolaan dengan memenuhi rukun dan syaratnya secara syara’ maka dari setiap
sebab itu akan timbul pengaruh yang bersifat syara’ yang telah ditetapkan oleh
syari’; seperti menetapkan atau meniadakan kehalalan (kawin dan talak),
beralihnya kepemilikan dua barang (jual beli), tetapnya pemilikan tanpa ganti
(hibah) atau pengaruh lain serta kenyataan yang diakibatkan oleh syara’ yang
sah.
Bila yang dilakukan mukallaf adalah syarat,
seperti bersuci untuk shalat, dan telah memenuhi syarat dan rukunnya, maka yang
disyaratkan sudah mungkin dikatakan sah.[45]
Adapun yang dimaksud dengan al-buthlan
(batal) ialah, kebalikan dari pengertian sah, yaitu suatu perbuatan yang tidak
memenuhi semua kriteria yang dituntut oleh syara’. Dengan
kata lain, jika salah satu persyaratan atau rukun dari suatu perbuatan yang
disyariatkan tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut disebut batal.
Sebagai contoh, dalam bidang ibadah, shalat disebut sah, apabila
seorang mukallaf melakukan perbuatan shalat yang telah memenuhi semua rukun dan
syarat-syaratnya, dan tidak terdapat mani’-nya. Sebaliknya, jika salah
satu rukun atau syarat shalat tidak terpenuhi, atau adanya mani’ yang
menghalangi keabsahan shalat tersebut, maka perbuatan shalat tersebut disebut
batal.
Adapun contoh dalam bidang muamalah ialah, suatu akad (transaksi)
jual beli disebut sah, apabila akad tersebut telah memenuhi semua kriteria
keabsahannya, baik sabab, rukun maupun syarat-syaratnya, serta tidak
terdapat mani’ yang menghalangi keabsahan akad tersebut. Sebaliknya, jika
terdapat kekurangan pada salah satunya, baik pada sabab, rukun ataupun
syarat, atau terdapat mani’ yang menghalangi keabsahan akad/ transaksi
tersebut, maka akad itu disebut batal.[46]
D. Mahkum Fih
Mahkum fiih
didalam pembahasan ushul fiqh terkadang dinamai juga dengan mahkum bihi.
Karena itu jika disebutkan dengan mahkum fihi, maka itu juga yang
dimaksud dengan pembahassan mahkum fihi. Kedua istilah tetap menekankan
pada pembahasan terhadap hukum perbuatan seorang mukallaf.[47]
Mahkum fihi adalah Perbuatan yang merupakan objek tuntutan (perintah) atau
tuntutan pencegahan (larangan), ataupun objek ibadah. Dalam hal ini segala
amal perbuatan orang-orang mukallaf yang
berkaitan dengan hukum taklifi.[48]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fiih adalah
perbuatan mukallaf yang
berkaitan- atau dibebani dengan hukum
syar’i.[49]
atau lebih singkatnya:
الحكؤم فىه فعل المكتلف الذى تعلق به حكم الله
” perbuatan seorang mukallaf yang berhubungan dengan syara’.”[50]
Hukum syara’ adalah
khitab (firman) Allah yang bertalian dengan segala perbuatan orang-orang
mukallaf, berupa tuntutan, takhyir, Wad’i. yang dimaksudkan dari kitab / firman
Allah ialah keterangan atau keadaan yang
diberikan oleh Syara’ (Allah Swt) terhadap segala perbuatan orang mukallaf.
Misalnya haram, makruh, wajib, mubah, sahih, batil, syarat, sebab, atau mani’.
Yang dimaksud
dengan Thalab (tuntutan) ialah: tuntutan untuk melakukan sesuatu disebut dengan
wajib. Jika tuntutan itu menunjukkan larangan, disebut degan haram, dan yang
dimaksud dengan takhyir adalah : adanya mukallaf itu dibolehkan melakukan
sesuatu atau tidak, misalnya: makan pada waktu tertentu, atau tidur ppada waktu
tertentu, dan sebagainya, dari berbagai kebiasaan adat manusia. [51]
Mahkum fihi (perbuatan orang mukallaf) mempunyai hakim sebagai
pembuat hukum. Karena sangat tidak mungkin apabila hukum itu bisa ada dengan
sendirinya. Mengingat bahwa apa ada yang ada dibumi nusantara ini ada yang
menciptakan, baik alam maupun isinya. Hukum yang dibuat dijadikan sebagai cara
untuk menjunjungnya bahwa hanya Dia yang maha segalanya.
Merujuk kepada hukum syar’i ialah Kitabullah (firman Allah) yang
bertalian dengan orang-orang mukallaf, ini menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan HAKIM dalam ilmu fiqihi islam, tak lain ialah Allah SWT, karena syariat
islam ini adalah undang-undang agama
yang bersumber dari wahyu Allah. Jadi hakim adalah Allah Swt. Segala macam
bentuk pengertian hukum dalam syar’I ini, hanya merupakan cara untuk mengenal
hukum Allah. Dalam hal ini, menurut Muhammad Abu Zahrah : telah menjadi ‘ijma’
bagi kaum muslimin, bahwasanya hakim (pencipta hukum )dalam islam ialah Allah
swt. Tiada syariat selain dari Allah, sebagaimana firmannya didalam QS
Al-An-am: 57
4ÈbÎ)ãNõ3ßÛø9$#wÎ)¬!ÇÎÐÈ
Artinya
“menetapkan hukum itu hanyalah hal Allah (QS. An’am:57)
Èbr&urNä3ôm$#NæhuZ÷t/!$yJÎ/tAtRr&ª!$#…
Artinya
: “ dan hendaklah kamu memutuskan (menghukum perkara diantara mereka,
menurut apa yang telah ditentukan Allah) (QS al maidah:47
4`tBuróO©9Nà6øts!$yJÎ/tAtRr&ª!$#y7Í´¯»s9'ré'sùãNèdcqà)Å¡»xÿø9$#ÇÍÐÈ
Artinya :” barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa
yang telah diturunkan Allag, maka mereka itu, adalah orang-orang yang fasik (QS
Al-maidah;47)
Dari sini timbul masalah, apakah rasio itu mendapat suatu kedudukan
dari suatu hukum syar’I, dan apakah mukallaf itu dituntut dengan keputusan
rasio disamping keputusan hukum syar’i?
Sebagian ulama islam, terutama madzab syi’ah mengatakan, bahwa
rasio itu merupakan suatu sumber fiqih dalam masalah tidak ada nashnya dari
Al-qur’an atau sunnah.
Menurut jumhur Fuqoha, bahwa rasio tidak dapat dijadikan sebagai
hakim: tetapi mereka mengembaikan masalah yang tidak ada nashnya kepada masalah
yang telah ada nashnya dengan berbagai jalan, misalnya dengan qiyas, atau
istihsan, atau maslahatul mursalah.[52]
Mahkum fihi berkaitan langsung dengan hukum taklifi, yakni hukum
yang mengandung tuntutan untuk dipatuhi oleh seorang mukallaf. Ada dua aspek
yang perlu diperhatikan dalam hukum taklifi ini, yaitu, adanya perbuatan itu
dalam kemampuan seorang mukallaf atau tidak, dan apakah perbuatan itu merupakan
hak Allah atau hak bagi hambanya. .
Para ahli ushul sependapat semuanya, bahwa hamba itu (manusia
mukallaf) tidak dibebani kecuali yang masuk dalam kemampuannya. Ia tidak
dihukum dalam hal yang tidak mungkin ia lakukan karena diluar kemampuannya. Ia
tidak mungkin dihukumkan dengan hal yang mustahil menurut akal, misalkan
mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan.[53]
wß#Ïk=s3ãª!$#$²¡øÿtRwÎ)$ygyèóãr
Artinya :”
Allah tidak membebani seseorang sesuai dengan kemampuannya (QS Al-baqarah :286)
$tBur@yèy_ö/ä3øn=tæÎûÈûïÏd9$#ô`ÏB8ltym4
Artinya
:” Dia (Allah) sekali kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan (Al-hajj;78)
Ayat ayat tersebut menunjukkan bahwa memberikan hukuman pada
hal-hal yang diluar batas kemampuan seseorang adalah suatu keberatan dan
kesempitan. Didalam Al-qur’an ada beberapa kalimat ayat yang sepintas lalu
merupakan taklifi diluar kemampuan seseorang, antara lain misalny
wur¨ûèòqèÿsCwÎ)NçFRr&urtbqßJÎ=ó¡BÇÊÉËÈ
Artinya :’
dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam”. (QS.
Ali imron 102)
ولاتباغضو تلا
تدا بروا.)رواه مسلم(
Artinya :”
janganlah kamu saling membenci, dan janganlah kamu saling membelakangi.( HR.
Muslim)
Kalau kita memperhatikan ayat dan
hadist tersebut dan lain-lain yang senada dengan itu, maka dapatlah kita
ketahui
Kalau kita
memperhatikan ayat dan hadist tersebut dan lain-lain yang senada dengan itu,
maka dapatlah kita ketahui, bahwa ayat ataupun hadist itu termasuk kedalam
istiatah seseorang, seperti ayat 102 dalam QS ali Imron tersebut adalah
menganjurkan supaya kita semua tetap dalam ketaatan dan ketulusan pada
kebenaran agama (ajaran islam), dan mencegah dari penyimpangan-penyimpangan
dari pemikiran, atau mengikuti hawa nafsu. Sedangkang larangan benci atau
marah, sebenarnya bukan zat yang menjadii kemarahannya itu yang menjadi
tujuannya, tetapi mencegah memasuki sebab-sebab kemarahannya itu menahan diri
dan menentangkan jiwa dan sebagainya.
Hukum Taklifi yang mengandung Masyaqqah (kesulitan)
Sebagaimana yang telah di uraikan diatas, bahwa: tujuan penetapan
hukum islam itu, untuk megangkat keberatan, dan menghilangkan kesulitan, serta
tidak membebani manusia diluar kemampuannya. Akan tetapi tidak semua taklifi
(beban kewajiban) itu lepas sama sekali daeri keberata, karena semua perintah
itu pasti mengandung keberatan yang bertentangan dengan nafsu. Dalam hal ini
ada dua macam keberratan yaitu:
1.
Keberatan yang dapat dilakukan oleh mukallaf secara
terus-menerus . taklif ini mempunyai sanksi (tanggungan hukum) bila dilanggar.
Misalnya : ibadah puassa, dan ibadah haji. Ia kesulitan yang daat dilakukan dan
daatdilaksanakan secara terus-menerus, karena tiada suatu taklif (kewajiban) melainkan ada kesultannya,
minimal merupakan latihan jiwa meninggalkan hal-hal yang diilarang, dan
melaksanakan yang diperintahkannya, karena semua larangan itu selalu menarik
hawa nafsu. Ini sesuai dengan hadist Imam Bukhari dari Abi hurairah r.a bahwa
Rassulullah SAW bersabda :
حجبت النار با اشهوات وحجبت الجنة با المكار (رواه البخار)
Artinya :” neraka itu ditutupi dengan
syahwat (segala sesuatu yang menarik syahwat ) dan surga itu ditutupi dengan
hal-hal yang tidak menyenangkan (bertentangan dengan syahwat) (HR.Bukhari)
2. Keberatan yang tidak dapat dilakukan secara
terus menerus: atau tidak dapat dilakukan kecuali dengan memaksa kemampuannya,
yang dapat juga mengorbankan jiwa, atau harta, ataupun tidak dapat sama sekali
melaksanakannya. Misalnya : berangkat kemedan perang membela agama. Taklifi
ini, tidak secara terus menerus dan tidak fardu ain mutakq. Demikian juga
bersifat sabar ketika dipaksa mengucapkan kalimat kufur, ia merupakan
perjuangan yang luar biasa,tetapi sangat mulia dengan tinggi nilainya di sisi
Allah SWT.[54]
E. Mahkum alaih
Yang dimaksud
dengan mahkum alaih adalah mukallaf yyang perbuatannya berhubungan
dengan hukum syar’i. atau dengan kata lain, mahkum alaih adalah orang mukallaf
yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya kukum Allah.
Dinamakan mukallaf
sebagai mahkum Alaih adalah karena dialah yang dikenai (dibebani)
hukum syara”. Ringkasnya, yang dinakaman mahkum alaihadalah orang atau
si mukallaf itu sendiri. sedangkan perbuatannya disebut mahkum bihi.
§
Syarat syarat Mahkum alaih
Ada dua syarat yang harus dpatuhi agar seorang mukallaf sah ditaklifi:
1.
Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu
dengan sendirinya, atau dengan perantaran orang lain. Karena orang yang tidak
mampu memahami dali-dalil itu tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan
kepadanya.
Kemampuan
memahami dalilq-dalil taklif dapat terwujud dengan akal, karena akal
adalah alat untuk mengetahui apa yang ditaklifkan itu. Dan oleh karena itu akal adalah hal yang
tersembunyi dan sulit diukur, maka Allah menyangutkan taklif itu ke
hal-hal yang menjadi tempat anggapan adanya akal, yaitu baligh. Barang siapa yang
telah baligh dan tidak kelihatan cacat akalnya berarti ia cukup kemampuan untuk
ditaklifi.
Berdasarkan
hal diatas anak-anak dan orang gila tidak dikenai taklif karena tidak
mempunya alat untuk memahami taklif tersebut. Begitu jjuga dengan orang
yang luapa, tidur, dan mabuk karena dalam keadaan demikian mereka tidak dapat
memahami apa-apa yang ditaklifkan kepada mereka.
2.
Orang tersebut
“ahli” (cakap) bagi apa yang di taklifkan kepaadanya. “ahli disini
berarti layak untuk kepantasan yang terdapat pada diri seseorang. Misalnya,
seseorang dikatakan ahli untuk mengurus wakaf, berarti ia panttas untuk
diserahi tanggung jawab mengurus harta waqaf.[55]
Para ulama ushul membagi ahliah ini tas dua bagia yaitu :
ahliyah (kelayakan) memikul tanggung jawab, dann kelayakan mellaksanakan
tanggung jjawab itu :
1.
Ahliah wujub
Yang dimaksud dengan ahliiah wujub ialah
kelayakan seseorang bertanggungjawab (memiliki hak dan kewajiban). allah
menciptakan manusia dengan sifat-sifat khusus, berbeda dengan binatang, yang
dalam istilah fuqoha disebut dengan “desimmah”. Zimah menurut bahasa berarti tanggungan, atau
perjanjian. Menurut fuqoha adalah sifat fitrah manusia yang menjadikan manusia
mempunyai hak dan kewajiban terhadap lainnya.
Maka
dengan demikian setiap manusia bagaimanapun keadaannya ia tetap mempunyai
ahliah (kelayakan) bertanggung jawab..
2.
Ahliah pelaksana
Yang dimaksud dengan ahliah pelaksanaan
inii adalah kepantasan (kelayakan) seorang mukallaf itu melakukan suatu transaksi muamalah, yang perkataannya atau
perbuatannya dianggap sah menurut syara’ dann mempunyai konsekuensi huku. Misalnya: jika ia melaksanakan sholat, atau
puasa, atau haji, dan sebagainya, dianggap sah menurut syara’. Demikian pula jika
ia melanggar hak orang lain, ia menerima hukuman badaniah dan maliah. [56]
Kesimpulan
Dariapa yang sudah kita dibahas diatas dapat didimpulkan
bahwa hukum dibagi menjadi dua , yakni hukum taklifi dan hukum wadh’i. hukum taklifi
adalah hukum syariat yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan, untuk
ditinggalkan, atau untuk dijadikan pilihan antara dikerjakan atau ditinggalkan.
Hukum taklifi dibagi menjadi 5. Yang pertama yaitu wajib (harus dikerjakan,
apabila ditinggalkan mendapat dosa), kedua Sunah (apabila dikerjakan mendapat
pahala, dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa), ketiga makruh (orang
yyang meninggalkannya mendapat pahala, dan orang yang mengerjakannya tidak
mendapat dosa(, ke empat haram (apabila dikerjakan mendapat dosa, apabila ditinggalkan
mendapat pahala), ke lima Mubah (diberi pahala apabila melaksanakannya, dan tidak
mendapatt dosa apabila meninggalkannya )
Hukum taklifi dibebankan kepad semua mukallaf. Dalam ruang lingkup
fiqh perbuatan yang dilakukan orang mukallaf dalam menjalankan hukum taklifi
disebut mahkum fihi, dan orang yang melakukan hukum taklifi disebut mahkum
alaih. Jadi mahkum bihi adalah sebagai objek, dan mahkum alaih sebagai
subjeknya.
Hukum wadh’I
adalah perintah allah yang menjadikan sesuatu menjadi sebab bagi adanya sesuatu
yang lain, menjadi syarat sesuatu yang lain, dan menjadi penghalang bagi
sesuatu yang lain.
Daftar Pustaka
Abdul,Wahhab, kaida-kaidah hukum
Islam,(Jakarta: Rajawali, 1989)
Djazuli H.A dan I Nurol Aen, Ushul fiqh Metodologi Hukum Islam,
(Jakarta:raja grafindo persada, 2000)
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam. (Yogyakarta: Ombak, 2013)
Rahman , Abd. Dahlan, Ushul Fiqih. (Jakarta: Amzah, 2014)
Efend, Satriai & Zein, Ushul Fiqih (Jakarta: Prenada Media,
2005)
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqih 1. (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1996)
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih. (Jakarta: Rineka
Cipta, 2005)
Yusuf, Nasarudin, pengantar ilmu
dan ushul fiqh, Malang. UM PRESS.
2012
Djafar, Muhammadiyah, pengantar
ilmu fiqh, Malang: penerbit Kalam Mulia. 1992
Koto Alaiadin. ilmu fiqh dan
ushul fiqh, Jakarta:PT raja grafindo persada. 2006. Hal
Catatan:
1.
Abstrak jangan hanya
copy-paste dari google translate.
2.
Penulisan footnote
banyak yang salah.
3.
Penulisan gelar
(Prof. Dr., Ustadz, dll) dalam tulisan ilmiah harus dihilangkan, termasuk dalam
footnote dan daftar pustaka.
[1]Wahhab Abdul, kaida-kaidah hukum Islam,(Jakarta: Rajawali, 1989),
hlm.155-156
[3]Djazuli H.A dan I Nurol Aen, Ushul fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta:raja
grafindo persada, 2000), hlm.19-21
[4]Wahhab Abdul, kaida-kaidah hukum Islam,(Jakarta: Rajawali, 1989),
hlm.164
[5]Djazuli H.A dan I Nurol Aen, Ushul fiqh Metodologi Hukum Islam,
(Jakarta:raja grafindo persada, 2000), hlm.22
[6]Djazuli H.A dan I Nurol Aen, Ushul fiqh
Metodologi Hukum Islam, (Jakarta:raja grafindo persada, 2000), hlm.29
[7]Wahhab Abdul, kaida-kaidah hukum Islam,(Jakarta: Rajawali, 1989),
hlm.174
[8]Wahhab Abdul, kaida-kaidah hukum Islam,(Jakarta: Rajawali, 1989),
hlm.174
[9]Djazuli H.A dan I Nurol Aen, Ushul fiqh Metodologi Hukum Islam,
(Jakarta:raja grafindo persada, 2000), hlm.30
[10]Djazuli H.A dan I Nurol Aen, Ushul fiqh Metodologi Hukum Islam,
(Jakarta:raja grafindo persada, 2000), hlm.33
[11]Wahhab Abdul, kaida-kaidah hukum Islam,(Jakarta: Rajawali, 1989),
hlm.176-177
[12] Prof. Dr. H. Alaiadin Koto, M.A. ilmu fiqh dan ushul fiqh, Jakarta:PT
raja grafindo persada. 2006. Hal 47-48
[13]Djazuli H.A dan I Nurol Aen, Ushul fiqh Metodologi Hukum Islam,
(Jakarta:raja grafindo persada, 2000), hlm.19
[14] Marzuki, Pengantar Studi
Hukum Islam. (Yogyakarta: Ombak, 2013). Hal: 222.
[15] Abd. Rahman Dahlan, Ushul
Fiqih. (Jakarta: Amzah, 2014). Hal: 67.
[16] Satria Efendi & Zein, Ushul
Fiqih (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal 62
[17] Abd Rahman Dahlan, op. Cit.,
hal 68
[18] Satria Efendi & Zein, op.
Cit., hal 62
[19]Abd Rahman Dahlan, op. Cit.,
hal 69
[20]Satria Efendi & Zein, op.
Cit., hal 63
[21]Abd Rahman Dahlan, op. Cit.,
hal 69
[22]Satria Efendi & Zein, op.
Cit., hal 62
[23]Satria Efendi & Zein, op.
Cit., hal 63
[24]Abd Rahman Dahlan, op. Cit.,
hal 70
[25] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1.
(Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1996). Hal: 264
[27] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fikih. (Jakarta: Rineka Cipta, 2005). Hal: 143
[28] Nasrun Haroen, op. Cit., hal 265
[29]Abd Rahman Dahlan, op. Cit.,
hal 71
[30]Satria Efendi & Zein, op.
Cit., hal 65
[31] QS. An-Nisa’ ayat 6
[32]Satria Efendi & Zein, op.
Cit., hal 66
[33] Nasrun Haroen, op. Cit., hal 268
[34]Satria Efendi & Zein, op.
Cit., hal 66
[35] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih. Kaidah Hukum Islam. (Jakarta:
Pustaka Amani, 2003). Hal: 166
[36]Satria Efendi & Zein, op.
Cit., hal 67
[37]Marzuki, op. Cit., hal 226
[38]Nasrun Haroen, op. Cit., hal 269
[39]Abd Rahman Dahlan, op. Cit.,
hal 75
[40]Abd Rahman Dahlan, op. Cit.,
hal 76
[41]Marzuki, op. Cit., hal 229
[42]Nasrun Haroen, op. Cit., hal 276
[43] Abdul Wahhab Khallaf, op. Cit., hal 167
[44]Abd Rahman Dahlan, op. Cit.,
hal 77
[45]Abdul Wahhab Khallaf, op. Cit., hal 175
[46]Abd Rahman Dahlan, op. Cit.,
hal 83
[47] Dr. H. Nasarudin Yusuf, pengantar ilmu dan ushul fiqh, Malang. UM PRESS. 2012. Hal ; 182
[48] Drs. H. Muhammadiyah Djafar, pengantar ilmu fiqh, Malang:
penerbit Kalam Mulia. 1992. Hal 8
[49] Prof. Dr. H. Alaiadin Koto, M.A. ilmu fiqh dan ushul fiqh, Jakarta:PT
raja grafindo persada. 2006. Hal 153
[51][51] Drs. H. Muhammadiyah Djafar, pengantar ilmu fiqh, Malang:
penerbit Kalam Mulia. 1992. Hal 8
[52] Drs. H. Muhammadiyah Djafar, pengantar ilmu fiqh, Malang:
penerbit Kalam Mulia. 1992. Hal 7-8
[53][53] Drs. H. Muhammadiyah Djafar, pengantar ilmu fiqh, Malang:
penerbit Kalam Mulia. 1992. Hal 8
[54] Ibid :hal 8-11
[55] Prof. Dr. H. Alaiadin Koto, M.A. ilmu fiqh dan ushul fiqh, Jakarta:PT
raja grafindo persada. 2006. Hal 157-158
[56] Drs. H. Muhammadiyah Djafar, pengantar ilmu fiqh, Malang:
penerbit Kalam Mulia. 1992. 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar