Minggu, 09 April 2017

Hukum Taklifi, Wadh'i, Mahkum Fih dan Mahkum Alaihi (PAI C Semester genap 2016/2017)





HUKUM TAKLIFI, HUKUM WAD’I, MAHKUM FIHI, DAN MAHKUM ALAIH

Yuni Wijayanti. Musribah, Muhammad Albar
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam kelas C Angkatan 2014
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: yuniwijayanti2014@gmail.com
Abastrack
               Islamic law is derived from the provisions of Allah, which is useful as an approach to the relationship, either vertically, or horizontally. Secaara vertical relationships that directly connects us as Muslims to know God, for God who created Nature. While horizontally is a relationship with fellow beings created by God. This means that as Muslims do not necessarily our individual lives, but also a social need. To be able to establish a relationship vertically and horizontally, we need to know the laws relating to the Personality '. Because by knowing the law we will know that we as a mukallaf (those who weighed) has an obligation to implement it, leave it, or select it. Therefore, this time it will peel pembehasan yyang taklifi relating to the law, the law wadh'I, mahkum fihi and mahkum alaih
Abstrack
            Hukum islam  merupakan ketentuan ketentuan yang berasal dari Allah Swt yang berguna sebagai pendekatan hubungan, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Hubungan secaara vertikal yang secara langsung menghubungkan kita sebagai umat islam untuk mengenal Allah, sebagai Tuhan yang menciptakan Alam. Sedangkan secara horizontal adalah hubungan dengan sesama makhluk yang diciptakan Allah. Artinya sebagai umat muslim tidak serta merta kita hidup individual, namun juga perlu sosial. Untuk dapat menjalin hubungan secara vertikal dan horizontal, kita perlu mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan syara’. Karena dengan mengetahui hukum tersebut kita akan tau bahwa kita sebagai seorang mukallaf(orang yang terbebani) mempunyai kewajiban untuk melaksanakannya, meninggalkannya, atau memilihnya. Maka dari itu, pembehasan kali ini akan mengupas yyang berkaitan dengan hukum taklifi, hukum wadh’I, mahkum fihi dan mahkum alaihi
Keywoard: hukum taklifi, hukum wadh’I, mahkum bihi, mahkum alaihi
A.    Pendahuluan
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna. Karena manusia dikaruniai akal. Akal yang diberikan Allah adalah sebagai fasilitas manusia dalam menjalani kehidupan, terutama dalam menjalankan syariat islam. Syariat adalah hukum Allah yang dibebankan kepada umat muslim, baik untuk dilaksanakan, ditinggalkan, maupun dijadikan pilhan untuk memilihnya, baik yang tertera dalam Al qur’an maupun As-sunah. .
Dalam memahami hukum islam yang dibebankan kepada umat muslim, perlu kiranya kita memahami bagaimana proses dari terjadinya hukum. Pemahaman iini yang kemudian akan menghantarkan kita menjadi orang yang tidak hanya tekstualis, namum juga kontekstualis. Agar dalam realita tidak mudah mengkafirkan orang
Pembagian hukum ada 2, yaitu hukum taklifi, dan hukum wadh’i. hukum taklifi yang nantinya akan dibagi ke dalam hukum seperti wajib, haram, makruh, mubah, dan sunnah. Begitu juga denga hukum wadh’I, kita akan mengetahui apa yang menyebab kan adanya “ sebab, syarat, dan mani”. Tidak hanya sekedar itu, kita juga harus mengetahui apa itu mahkuum bihi, dan mahkum alaih, karena mahkum bihi dan mahkum alaih memiliki keterkaitan dengan hukum taklifi.
B. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi yaitu apa yang berkehendak minta perbuatan mukallaf atau memberhentikan dari membuat atau memilih antara memperbuat dan memperhentikan.Misalnya apa yang diperlukan tuntutan terhadap perbuatan mukalaf Firman Tuhan yang berbunyi “Ambillah sedekah dari harta benda mereka. Lagi kata Tuhan “Allah swt yang mewajibkan kepada manusia itu haji di baitullah. Lagi firman Tuhan “hai orang-orang beriman tepatilah janji.
Hukum taklifi Ialah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu pekerjaan oleh mukallaf atau melarang mengerjakannya atau melakukan pilihan antara melakukan dan meninggalkannya.
Contoh hukum yang menghendaki dilakukannya perbuatan oleh mukallaf ialah firman Allah swt:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
Artinya: Ambillah zakat dari sebagaian harta mereka (Qs. 9, Al taubah 103).
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ
Artinya: “Mengerjakan haji ke baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah swt” (Qs Ali Imran 97).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya: “Hai orang-orang beriman. Penuhilah akad-akad itu (Qs Al Maidah 1).
Dan nash-nash lain yang menuntut mukallaf mengerjakannya. Sedangkan contoh lain yang menuntut meninggalkannya ialah firman Allah swt:
لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ
Artinya: “janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (Qs Al hujarat 11)                  
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina (Qs Al isra’ 32).
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِي
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi” (Qs Al Maidah 3).
Dan nash-nash lainnya yang menuntut mukallaf tidak mengerjakannya.
Sedangkan hukum yang menghendaki pemilihan oleh si mukallaf antara mengerjan dan meninggalkan ilah firman Allah swt :
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُو
Artinya :”Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka boleh berburu (Qs Al maidah 2).
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ
Artinya: “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebalah kamu di muka bumi” (Qs Al jumuah 10).
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
Artinya: “Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat” (Qs An nisa 101).        
Dan nash-nash lain yang menuntut kepada mukallaf untuk melakukan pilihan antara mengerjakan sesuatu dan meninggalkannya. Macam ini disebut Hukum Taklifi, karena mengandung tuntutan (taklif) kepada mukallaf untuk mengerjakan (sesuatu) atau melarangnya atau melakukan pilihan antara mengerjakan dan meningglakan.  Penamaan ini jelas mengenai suatu yang di perintah kepada mukallaf  untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkan.[1]
·         Pembagian Hukum Taklifi
Hukum Taklifi itu terbagi kepada lima bagian, yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Yang demikian karena hukum taklifi itu menghendaki permintaan suatu perkerjaan. Jika tuntutannya itu tidak atas tujuan mewajibkan atau menetapkan,  maka hukumnya wajib, pengaruhnya adalah kewajiban yang di tuntut pelaksanaannya adalah wajib. Dan jika tuntutannya itu tidak atas tujuan mewajibkan atau menetapkan maka hukum itu adalah sunnat, pengaruhnya adalah kesunnatan. Dan apabila pengehendaki larangan suatu pekerjaan maka jika tuntutan itu atas segi keajiban dan menetapkan maka hukum itu adalah haram, pengaruhnya adalah keharaman. Dan jika tuntutan itu tidak atas segi mewajibkan dan menetapkan maka hukum itu adalah makruh, pengaruhnya adalah kemakruhan. Dan apabila menghendaki memerintah memilih kepada mukallaf di antara mengerjakan atau meninggalkan, maka itu adalah mubah. Pengaruhnya adalah kebolehan dan pekerjaan di suruh memilih melaksanakan atau meninggalkan.[2] Macam-macam hukum taklifi:
A.    Wajib
Definisi wajib yang paling terkenal ialah setiap perbuatan diberi pahala apabila dikerjakan dan diberi siksa apabila ditinggalkan.Wajib menurut ulama sama artinya dengan fardlu, mahtum, lazim.Imam Abu Hanifah membedakan antara fardlu dan wajib. Meskipun perbedaan ini juga bersifat teoritis, sedangkan secara praktis tidak banyak berarti.
Menurut Abu Hanifah, fardlu adalah perbuatan yang di tetapkan kemestiaannya dilaksanakan dengan dalil yang qath’iy tanpa subhat, sedangkan wajib adalah perbuatan yang ditetapkan kemestiannya dilakukan dengan dalil dhanniy (subhat). Oleh karena itu, apabila meninggalkan yang fardlu di dalam sesuatu perbuatan, maka perbuatan itu menjadi batal, seperti wukuf di padang arafah adalah fardlu haji. Barang siapa yang meninggalkan, batal hajinys. Sedangkan meninggalkan Sa’I antara Safa dan Marwa’ tidak membatalkan haji. Sa’I di tetapkan dengan dalil yang qath’iy tanpa subhat menurut mereka. Orang yang maninggalkan fardlu dianggapkufur oleh merka seperti orang yang mengingkari shalat, zakat, sedang yang mengingkari wajib tidak kufur.[3]
Wajib dibagi menjadi empat bagian:
1)      Pembagian pertama: wajib dari segi waktu menunaikannya diikat dengan waktu dan adakalanya terlepas dari ikatan waktu. Maka wajib yang diikat dengan waktu yaitu wajib yang diperintah oleh syar’I mengerjakannya secara pasi dan pada waktu tertentu, seperti: shalat fardhu, syari’ telah membatasi untuk menunaikan tiap-tiap sholat diantara shalat fardhu dengan waktu tertentu, sekira shlat itu tidak wajib sebelum waktu tertentu itu dan seorang mukallaf berdosa jika mengakhirkan shalat itu dari waktu tertentu tanpa alasan syara’ (uzur). Dan seperti puasa Ramadhan dan tidak pula di kerjakan sesudah bulan itu. Demikian setiap wajib yang oleh syari’ telah ditentukan waktu mengerjakannya.

Sedangkan wajib yang telepas dari ikatan waktu, ialah wajib yang diperintah oleh syari’ mengerjakannya secara pasti dan syari’ tidak menentukan waktu menunaikannya, seperti kafarah (denda tebussan) yang wajib ats orang yang sumppah dan melanggar, maka tidaklah untuk mengerjakan ini ada waktu tertentu. Maka jika pelanggar hendak kufur dia bisa kufur setelah melanggar secara langsung. [4] kewajiban yang tidak dibatasi waktunya boleh dilakukan kapan saja: qodlo’ puasa menurut Abu Hanifah ibadah haji  dari segi kewajibannya membayar kafarah sumpah.[5]
2)      Pembagian kedua: wajib dari segi perintah melaksanakan, kepada Wajib ‘Aini (wajib ain) dan Wajib Kifa’I (wajib kifayah). Wajib ‘aini adalah kewajiban yang diperintah syara’ untuk dikerjakan oleh masing-masing orang mukallaf:shalat, zakat, haji, menghindari khomar serta judi.  Sedangkan wajib kifa’I ialah kewajiban yang diperintahkan syar’i untuk dikerjakan oleh sekumpulan mukallaf, bukan dari masing-masing perorangan di antara mereka, sekira apabila sebagaian mukallaf melaksanakan hal itu berarti telah dilaksanakan keajiban tersebut dan gugurlah dosa serta beban orang-orang lainnya. Dan apabila tiap-tiap perorangan di antara perorangan-perorangan mukallaf tidak mengerjakan hal itu, maka ssemua berdosa, sebab mengabaikan kewajian ini, seperti perintah-perintah kebaikan dan melarang perbuatan munkar dan mensholati mayit.
3)      Pembagian ketiga: wajib dari segi ukuran yang diperintahkan kepada Muhaddad (ukuran yang dibatasi) dan kepada Ghairu Muhaddad (ukuran yang tidak dibatasi).
Wajib muhaddad ialah wajib yang oleh syari’ telah ditentukan kepadanya, ukuran yang sudah diketahui, sekira tidak menjadi beban tanggungan mukalaf dari kewajiban ini kecuali yang telah ditentukan oleh syari’, seperti shalat lima waktu, zakat dan utang piutang harta kekayaan. Maka setiap shalat fardhu dari lima shalat fardhu itu membebani tanggungan kepada mukallaf sampai shalat fardhu tersebut dilaksanakan menurut bilangan rakaatnya, tukun dan syaratnya.
Sedangkan wajib yang tidak dibatasi ialah wajib yang syari’ tidak menentuka ukurannya, tetapi menuntut wajib itu dari mukallaf tanpa batas, seperti: bersedah di jalan Allah swt, tolong-menolong atas kebaikan, bersedekah kepada orang lain, memberi makan orang yang lapar serta menolong orang yang kesulitan dan wajib –wajiblain syari’ tidak membatasinya. Karena yang dimaksud wajib-wajib tersebut adalah memenuhi kebutuhan dan perbedaan orang-orang yang membutuhkan serta menurut perbedaan kondisi.
4)      Pembagian keempat: wajib itu menjadi wajib Mu’ayyan (tertentu) dan wajib Mukhayyar (diperintah memilih).
Wajib mua’ayyan ialah kewajiban yang diperintahkan oleh syari’ dengan sedirinya, seperti: shalat, puasa, harga sesuatu yang dibeli, ongkos sesuatu yang disewa dan mengembalikan sesuatu yang di ghosob atau dipakai tanpa seizin yang punya. Tanggungan mukallaf tidak akan bebas kecuali dengan melaksanakan kewajiban itu dengan sendirinya.
Wajib mukhayar (memilih) ialah kewajiban yang diperintahkan oleh syari’ kepada salah satu di antara beberapa khafarat (denda tebusan), maka sesungguhnya Allah swt telah mengharuskan kepada orang yang melanggar sumpahnya agar memberi makan kepada sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepadanya atau memerdekakan budak, maka yang wajib adalah satu di antara tiga hal tersebut. Sedangkan perintah memilih bagi mukallaf adalah dalam menentukan salah satu dalam pelaksanaanya dan tanggungan wajibnya jadi bebas dengan melaksanakan salah satu di antaranya.
B.      Mandub (sunnat)
Mandub adalah permintaan syari’ untuk melakukan sesuatu perbuatan dengan permintaan yang tidak tegas atau sesuatu perbuatan di mana pelakunya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak di siksa atau perbuatan di mana pelakunya terpuji sedang yang meninggalkannya tidak tercela menurut syara’, atau yang lebih baik/rojih melakukannya boleh meninggalkannya”.
Sunnah ini apabila di hubungkan dengan perbuatan Rasulullah ada tiga macam:
1.      Sunnah mu’akkad ialah sunnah-sunnahyang selalu di lakukan Rasulullah tetapi bukan wajib, seperti shalat sunnah dua rakaat sebelum fajar, ba’da magrib dan ba’da isya’, membaca suart atau ayat-ayat Al-Qur’an sesudah fatihah.
2.      Sunnah yang bukan mu’akkad yang itu sunnah-sunnah yang tidak selalu dilaksanakan oleh Rasulallah saw, seperti shalat sunnah empat rakkat sebelum Ashar dan sebelum Isya’.[6] Sunnah ini disebut sunnah Zaidah (tambahan).[7]
3.      Sunnah tambahan, artinya dianggap pelengkap bagi mukallaf. Di antara mandub ini ialah mengikuti Rasul dalam segala perbuatan yang bersifat kebiasaan dan yang di lakukan oleh beliau dengan sifatnya sebagai manusia, seperti: makan, minum, berjalan, tidur dan berpakaian dengan sebgaimana yang di lakukan oleh Rasulullah.[8]
Sedangkan apabila ditinjau dari segi subyek hukum sunnah ada dua macam:
a.       Sunnah ‘ayniyah, yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap individu, seperti shalat-shalat sunnah.
b.      Sunnah kifayah, yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan oleh setiap orang, akan tetapi apabila telah dilakukan oleh salah seorang, yang lainnya dianggap telah melaksanakan anjuran tadi, seperti memberi salam dan adzan.[9]
C.    Haram
Haram ialah firman Allah swt yang menunut ditinggalkannnya pekerjaan, dengan tuntutan yang jelas dan pasti, sama saja, baik yang mewajibkan kepastian tadi qath’iy atau dhanniy atau pekerjaan yang diancam hukuman”.
Dalil dhanniy bisa menentukan wajib karena menurut jumhur dalil dhanniy seperti Hadits Ahad adalah hujjah untuk perbuatan/amal dan tidak bisa dijadikan hujjah di dalam I’tikad.
Menurut Imam Abu Hanifah apabila larangan itu diterapkan dengan dalil yang qath’iy disebut haram. Pembagian haram dari segi kualitasnya;
1.      Haram karena dzatnya.
Haram karena dzatnya adalah sesuatu yang diharamkan karena adanya madharat pada dzatnya, seperti makan bangkai, minum kahmr, zina, pencurian dan sebagainya.[10]
2.      Haram karena yang lainnya.
Artinya bahwa hukum syara telah membuat hukumnya sejak permulaan berupa wajib atau sunnah atau mubah. Tetapi  hukum itu dibarengi dengan sesuatu yang baru yang menjadikan hal itu diharamkan, seperti shalat dengan pakaian hasil ghasab, jual beli yang terkandung di dalamnya terdapat tipuan.[11]
D.    Makruh
Yang dimaksud dengan makruh adalah perbuatan yang hbila ditinggalkan, orang yang meningglkannya mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak dapat dosa (iqab) misalnya, merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, dan lain sebagainay. Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian
1.      Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik darpada mengerjakan, pereti contoh-contoh tersebut diatas.
2.       Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang tetapi dalil yang elarangnya itu zhanny, bukan Qat’i. misalnya bermain catur, memakan kala, dan memakan daging ular (menurut madzab Hanafiayh dan Malikiyah).
E.     MUBAH
Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang diberi pahala karena perbuatannya, dan tidak karena meninggalkannya. Secara umum ini dinakaman juga halal atau jaiz.
Mubah dibagi kedalam tiga bagian:
1.      Perbuatan yang ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara’, dan manusia diberi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya. Misalnya, meminang wanita dengan sindiran sindiran yang baik (QS Al baqarah :225)
2.      Perbuatan yang tidak ada dalil syara’ menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada perintah untuk melakukannya. Hanya saja, perintah itu hanya dimaksudkan berdaarkan qarinah  menunjukkan mubah atau kebolehannya saja, bukan uuntuk wajib. Misalnya. Perintah berburu ketika telah selesai melaksanakan ibadah haji. (QS Al-maidah :52)
3.      Perbuatan yang tidak ada keteranygannya sama sekali dan syar’I tentang kebolehan atau tidak kebolehannya. Hal ini di kembalikan pada hukum baraat al-ashliyah  (bebas menurut asalnya). Oleh sebab itu segala perbuatan dalam segala bidang muamalat menurut asalnya adalah diperbolehkan  selama tidak ada dalil yang melarangnya. Untuk itu, ulama uhul fiqih membuat aidah “menurut asalnya segaa sesuatu itu adalah mubah”. [12]
Perbedaan antara hukum taklifi dan wadliy
1.      Hukum Taklifi di maksudkan untuk menuntut atau melarang atau membolehkan pemilihan sesuatu perbuatan sedang kan hukum wadl’iy hanya menjelaskan sesuatu itu adalah sabab, syarat atau mani’.
2.      Hukum taklifi selalu dalam batas-batas kemampuan mukallaf sesuai dengan keadilan tuntunan/taklif, sedangkan hukum wadl’iy tidak selamnya ada dalam kemampuan mukallaf.[13]
Contoh

Yang ada dalam kemampuan mukallaf.
Yang di luar kemampuan mukallaf.

Sebab



Berpergian menjadi sebab kebolehan berbuka puasa.

Hubungan kekerabatan menjadi sebab adanya saling mewaris.
Mani’

Mebunuh pewaris menjadi penghalang untuk mendapatkan hak terhadap harta warisan.

Kekerabatan yang dekat menjadi penghalang pernikahan.


C.Hukum Wadh’i
Yang dimaksud hukum wadh’i adalah titah Allah yang terjadi dengan menjadikan sesuatu sebagai sabab, syarath, mani’,shahih, fasid, ‘azimah, atau rukhsah.Inilah definisi yang menyeluruh yang dikemukakan oleh beberapa ulama ushul seperti al-Amidi, al-Ghazali, dan al-Syathibi. Para ulama ini memasukkan ‘azimah dan rukhsah ke dalam hukum wadh’i.  Pendapat ini juga diikuti oleh al-Khudlari.
Hukum wadh’i bukanlah dalam bentuk tuntunan, tetapi dalam bentuk ketentuan yang ditetapkan pembuat hukum sebagai suatu yang berkaitan dengan hukum taklifi atau merupakan akibat dari pelaksanaan hukum taklifi itu. Hukum wadh’i tidak tidak harus berhubungan dengan perbuatan manusia, tetapi bisa berbentuk ketentuan-ketentuan yang ada kaitannya dengan perbuatan manusia (mukallaf) yang dinamakan hukum taklifi.[14]
Oleh karena itu, pada hakikatnya, hukum wadh’i sangat erat kaitannya dengan hukum taklifi, baik dalam bentuk sebab (sabab), sehingga melahirkan akibat (musabbab) suatu hukum taklifi, atau dalam bentuk syarat (syarth), sehingga dimungkinkan berlakunya (masyruth) suatu hukum taklifi, ataupun dalam bentuk halangan (mani’), sehingga suatu hukum taklifi menjadi tidak terlaksana (mamnu’). Di samping itu, termasuk pula dalam pembahasan hukum wadh’i pembahasan yang berkaitan dengan ‘azimah (hukum yang berlaku umum dan keadaan normal) dan rukhshah (keringanan), as-shihhah (sah) dan al-buthlan (batal). Dengan demikian, pembahasan tentang hukum wadh’i berkaitan dengan tujuh hal utama yaitu, sabab, syarth, dan mani’, ‘azimah, rukhshah, ash-shihhah, dan al-buthlan.[15] Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan diuraikan secara terperinci tentang hukum wadh’i.
1.      Sabab
a.      Pengertian sabab
Sabab menurut bahasa berarti “sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, sebab berarti: Yaitu sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda tidak adanya hukum.[16]
Dalam ungkapan yang agak berbeda, sebagian ulama lainnya menyebutkan: Sesuatu yang nyata dan terukur yang dijadikan oleh asy-syari’ sebagai tanda adanya hukum, ditinjau dari segi adanya sebab memastikan adanya akibat atau hukum, dan tidak ada memastikan tidak adanya akibat atau hukum.[17]
Misalnya, tindakan perzinaan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan) bagi keharusan ada pembimbingnya, dan tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajiban mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya.[18]
b.      Pembagian sabab
Para ulama membagi sabab kepada dua bagian yaitu, sabab hukum yang merupakan perbuatan mukallaf, dan sabab hukum yang bukan perbuatan mukallaf.
§  Sabab hukum yang merupakan perbuatan mukallaf.
Sabab yang merupakan perbuatan mukallaf ialah, perbuatan mukallaf yang ditetapkan asy-syari’ sebagai pengenal/ penanda adanya musabbab/ akibat dalam bentuk hukum syara’.[19] Contohnya, perjalanan menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa di siang hari Ramadhan, pembunuhan disengaja menjadi sebab bagi dikenakan hukuman qisas atas pelakunya, dan akad transaksi jual beli menjadi sebab bagi perpindahan milik dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf ini berlaku padanya ketentuan-ketentuan hukum taklifi. Oleh sebab itu, diantaranya ada yang diperintahkan untuk dilakukan, seperti perintah untuk melakukan akad nikah ketika khawatir akan terjadi perzinaan, diantaranya ada yang dilarang seperti larangan berzina yang merupakan sebab bagi ancaman hukuman, dan adapula yang mubah, seperti boleh melakukan akad jual beli sebagai sebab bagi perpindahan milik dari pihak penjual kepada pihak pembeli.[20]
§  Sabab hukum yang bukan perbuatan mukallaf.
Sabab hukum yang bukan merupakan perbuatan mukallaf ialah, sesuatu yang asy-syari’ menjadikannya sebagai penanda/pengenal adanya hukum syara’, dalam bentuk sabab, sedangkan ia bukan merupakan perbuatan mukallaf. Pada umumnya, sabab yang kedua ini merupakan fenomena alam yang dijadikan sebagai sabab bagi waktu-waktu pelaksanaan ibadah. Misalnya, melihat hilal Ramadhan dan hilal Syawal, sebagai tanda/ pengenal wajibnya melaksanakan puasa Ramadhan dan berakhirnya bulan Ramadhan;[21] tergelincirnya matahari menjadi sebab (alasan) bagi datangnya waktu shalat zuhur, dan keadaan terdesak menjadi sebab bagi bolehnya seseorang memakan sesuatu yang diharamkan.[22]Karena sabab ini merupakan fenomena alam, maka manusia tidak dapat merekayasa terjadinya sabab tersebut karena ia berada di luar kemampuan manusia.
c.       Perbedaan antara sabab dan ‘illat.
Abdul Karim Zaidan menjelaskan perbedaan dan persamaan antara sabab dan ‘illat. Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum terdiri dari dua bentuk. Bertuk pertama, antara tanda (sebab) dengan sesuatu yang ditandai (musabbab) mempunyai hubungan logis, dalam pengertian bisa ditelusuri oleh akal pikiran hubungan antara keduanya, dan bentuk kedua, hubungan diantara keduanya tidak bisa ditelusuri dengan akal pikiran.
Bentuk pertama diatas, disamping disebut sebagai sebab, juga disebut sebagai ‘illat, sedangkan bentuk yang kedua hanya disebut sebab. Contoh bentuk pertama, perjalanan adalah sabab dan juga ‘illat bagi bolehnya berbuka puasa di siang hari bulan Ramadhan, dan keadaan memabukkan menjadi sabab atau ‘illat bagi haramnya meminum khamr. Sedangkan contoh bentuk kedua, yaitu sebab yang bukan ‘illat seperti terbenamnya matahari menjadi sabab bagi wajib melaksanakan shalat magrib dan terbit fajar menjadi sabab bagi masuk waktu shalat subuh.
Pada sebab semacam ini, Allah menjadikan terbenam matahari sebagai tanda bagi masuknya waktu shalat magrib dan terbit fajar menjadi tanda bagi masuknya waktu shalat subuh, tanpa ada hubungan logis antara peristiwa terbenam matahari dan terbit fajar itu dengan kewajiban melaksanakan shalat.[23]
2.      Asy-syarth
a.      Pengertian asy-syarth
Dari segi etimologi, syarth (syarat) berarti, sesuatu yang diperlukan untuk adanya sesuatu yang lain. Sedangkan dari segi terminologi, ialah:
Sesuatu yang kepadanya bergantung keberadaan sesuatu yang kedua, sedangkan sesuatu yang pertama itu bukanlah merupakan sesuatu yang kedua itu, sementara ketiadaan sesuatu yang kedua tidak mesti menyebabkan ketiadaan sesuatu yang pertama.
Sebagian ulama seperti Abu Zahrah, menyebutkan:
Sesuatu yang kepadanya bergantung adanya hukum, dimana jika ia tidak ada, maka hukum pun tidak ada, tetapi tidak berarti jika hukum tidak ada, sesuatu itu pun menjadi tidak ada juga.[24]
Dalam bahasa lain, syarth adalah suatu sifat yang keberadaannya sangat menentukan keberadaan hukum syar’i dan ketiadaan sifat itu membawa kepada ketiadaan hukum, tetapi ia berada diluar hukum syar’i itu sendiri dan keberadaannya itu tidak senantiasa menyebabkan adanya hukum. Tidak eksisnya suatu hukum syar’i tanpa keberadaan syarat dan syarat itu sendiri ditentukan oleh syara’. Misalnya, wudhu’ sebagai syarat sah shalat. Eksistensi shalat secara syar’i tidak ada kecuali dengan berwudhu’, tetapi wudhu’ itu sendiri bukanlah bagian dari shalat dan ada wudhu’ tidak mesti ada shalat.
Dalam contoh lain, haul adalah syarat wajib zakat. Kalau belum (ketiadaan) haul, maka kewajiban zakat tidak ada. Adanya haul tidak mesti adanya zakat. Contoh lain, saksi adalah syarat dalam perkawinan. Pernikahan tanpa saksi tidak sah. Tetapi saksi bukanlah bagian dari pernikahan, karena saksi bisa tetap ada tanpa adanya pernikahan.[25]
b.      Perbedaan syarth dan rukn
Rukun adalah sifat yang tergantung keberadaan hukum padanya dan sifat yang termasuk ke dalam hukum itu sendiri. Misalnya, takbiratul ihram adalah salah satu rukun shalat, dan ia berada dalam shalat itu sendiri. Tidak ada rukun, hukum menjadi tidak sah. Adapun syart adalah sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di luar hukum tersebut. Misalnya, wudhu’ merupakan syarat sah shalat, tetapi wudhu’ itu berada di luar shalat dan ada wudhu’ tidak mesti ada shalat.[26]
Disamping tiap-tiap keduanya ini terhenti karena adanya hukum atas adanya itu. Pada hakikatnya rukun adalah sebagian dari sesuatu. Adapun syarat ialah urusan luar dari hakikat, bukan termasuk bagian-bagiannya. Rukuk itu adalah rukun shalat, karena merupakan bagian hakikatnya. Bersuci itu syarat shalat, karena dia urusan luar dari hakikatnya.[27]
c.       Hubungan antara sabab dengan syarth
Syarat merupakan penyempurna bagi sebab, apabila ada sebab dan syarat tidak terpenuhi, maka hukum tidak ada. Oleh sebab itu, sebab mesti ada pada hukum, syarat-syarat terpenuhi, dan tidak halangan yang menghambat pemberlakuan hukum tersebut. Misalnya, pembunuhan sebagai sebab dikenakan hukuman qishash, jika syaratnya terpenuhi, yaitu disengaja dan dilakukan dengan rasa permusuhan. Akad perkawinan menjadi penyebab dibolehkannya hubungan suami istri jika syaratnya terpenuhi, yaitu dihadiri dua orang saksi.[28]
d.      Pembagian syarth
Para ulama memberi uraian tentang pembagian syarth dengan berbagai tinjauan, tetapi yang terpenting ialah, bahwa ditinjau dari segi penetapannya sebagai syara’, syarth dibagi kepada dua bagian yaitu, syarth asy-syar’iyyah dan syarth al-ja’liyyah.[29]
§  Syarth asy-syar’iyyah yaitu syarat yang datang langsung dari syariat sendiri. Misalnya, keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubazir) bagi seorang anak yatim dijadikan oleh syariat sebagai syarat wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya sebagaimana firman Allah:[30]
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا ۚ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا
“ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (diantara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas”. (QS. An-Nisa’: 6)[31]
§  Syarth al-ja’liyyah yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri. Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya: “Jika engkau memasuki rumah si fulan, maka jatullah talakmu satu”, dan seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk membayarkan utang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu membayar utangnya itu.[32]
3.      Mani’
a.      Pengertian mani’
Kata mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”. Secara terminologi, para ulama ushul fiqh merumuskannya dengan:
Sifat zhahir yang dapat diukur yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau ketiadaan sebab.[33]
Dalam pengertian lain seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, kata mani’ berarti:
Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.[34]
Mani’ adalah sesuatu yang adanya meniadakan hukum atau membatalkan sebab. Dalam suatu masalah, kadang sebab syara’ sudah jelas dan telah memenuhi syarat-syaratnya, tetapi ditemukan adanya mani’ (penghalang) yang menghalangi konsekuensi hukum atas masalah tersebut. Seperti ditemukan adanya perkawinan yang sah atau adanya hubungan kekerabatan, tetapi salah satunya terhalang dalam mendapat hak waris; misalnya perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris, atau ahli waris membunuh pewaris. Juga seperti adanya pembunuhan yang disengaja dan aniaya, tetapi terhalang untuk dilakukan qishah, karena si pembunuh adalah ayah korban itu sendiri.
Mani’ menurut istilah ulama ushul fiqh adalah sesuatu yang ditemukan setelah terbukti sebabnya dan memenuhi syaratnya tetapi dapat menghalangi hubungan sebab dan akibat. Tidak adanya satu syarat, menurut istilah mereka tidak disebut mani’, meskipun dapat menghalangi hubungan sebab akibat.[35]Mani’ itu sendiri mestilah berdasarkan ketentuan syara’.
b.      Pembagian mani’
Sebagaimana halnya syarth, ulama ushul fiqh juga membagi mani’ dengan meninjaunya dari beberapa segi, tetapi tinjauan yang terpenting ialah pembagian mani’ ditinjau dari segi objeknya. Dalam hal ini mani’ dibagi menjadi dua, yaitu:
§  Mani’ al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum. Misalnya, keadaan haid bagi wanita ditetapkan Allah sebagai mani’ (penghalang) bagi kecakapan wanita itu untuk melakukan shalat, dan oleh karena itu shalat tidak wajib dilakukannya waktu haid.
§  Mani’ al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum.[36] Misalnya, orang yang memiliki harta senisab yang harusnya wajib zakat, karena ia sedang berhutang, maka ia tidak dikenai kewajiban zakat. Dengan demikian, maka berhutang menjadi mani’ bagi wajibnya zakat bagi orang yang memiliki harta yang cukup senisab.[37]
c.       Kaitan antara sabab, syarth dan mani’.
Dari rumusan definisi dan penjelasan terlihat antara sebab,syarat, dan halangan terdapat hubungan yang saling terkait. Mani’ ada bersamaan dengan sebab dan syarat, dan berakibat tidak adanya hukum disebabkan keberadaan mani’. Misalnya, matahari telah tergelincir sebagai penyebab diwajibkannya shalat dhuhur dan seorang wanita mukallaf wajib berwudhu’ sebagai syarat sah shalat. Tetapi, jika wanita yang akan shalat itu sedang haid yang akan menjadi penghalang (mani’), maka hukumnya menjadi tidak ada, karena wanita dalam keadaan haid tidak boleh melaksanakan shalat.[38]
Ketiga unsur tersebut menjadi mutlak, mengingat bahwa suatu hukum syara’ tidak mungkin ada dan berlaku jika tidak ada sabab yang melahirkan musabbab (akibat) hukum. Demikian juga, suatu hukum terkadang memiliki beberapa syarth. Jika salah satu syarth tersebut tidak terpenuhi, maka hukum juga menjadi tidak ada. Tidak kalah pentingnya ialah, tidak terdapatnya mani’ yang ditetapkan untuk berlakunya hukum tersebut.[39]
4.      Al-‘Azimah dan ar-Rukhshah
a.      Pengertian al-‘azimah dan ar-rukhshah
Bentuk lain dari hukum wadh’i adalah ‘azimah dan rukhshah. Dalam hal ini para ulama ushul fiqh berbeda pendapat dalam menempatkannya sebagai hukum wadh’i. Alasan mereka pada hakikatnya ketentuan ‘azimah berkaitan erat dengan keadaan yang normal yang menjadi sebab diberlakukannya hukum-hukum syara’ yang umum bagi mukallaf, sementara kriteria rukhshah pada umumnya berkaitan erat dengan keadaan tertentu yang menjadi sebab berlakunya keringanan bagi mukallaf dalam melaksanakan hukum.
Dalam pada itu, sebagian ulama membicarakan ‘azimah dan rukhshah dalam kelompok hukum taklifi. Alasan mereka, pembicaraan ‘azimah dan rukhshah berkaitan langsung dengan cara penerapan hukum taklifi. Dalam pembahasan ini lebih cenderung pada alasan ulama kelompok pertama ‘azimah dan rukhshah ditempatkan dalam kelompok hukum wadh’i.
Adapun yang dimaksud dengan al-‘azimah ialah:
Suatu ketentuan syara’ yang sejak semula ditetapkan sebagai ketentuan yang berlaku secara umum.
Sebagai ulama ushul fiqh lainnya mendefinisikan al-‘azimah dengan rumusan kalimat:
Suatu ketentuan yang sejak semula disyariatkan sebagai ketentuan hukum yang umum.[40]
Secara lughawi ‘azimah berarti kemauan yang teguh, kekuatan, kekuasaan, mantra, jampi-jampi, atau jimat. Menurut ahli ushul ‘azimah  adalah hukum-hukum kulli yang disyariatkan pertama kali untuk menjadi hukum-hukum umum bagi semua mukallaf dalam semua keadaan, seperti shalat, zakat, dan seluruh ketentuan syariat yang lain.[41]
Maksudnya, hukum itu sejak semula pensyariatannya tidak berubah dan berlaku untuk seluruh umat, tempat dan masa, tanpa terkecuali. Menurut jumhur ulama, yang termasuk ‘azimah, adalah kelima hukum taklifi, karena ke lima hukum ini disyariatkan bagi umat Islam sejak semula. Akan tetapi, sebagian ulama lain berpendapat bahwa yang termasuk ‘azimah itu hanya hukum wajib, sunah, makruh dan mubah. Ada juga ulama ushul fiqih yang membatasinya dengan hukum wajib dan sunah saja, serta ada pula yang membatasi dengan wajib dan haram saja.[42]
Adapun yang dimaksud dengan ar-rukhshah menurut sebagian ulama ushul fiqh ialah:
Secara etimologi rukhshah berarti kemudahan, kelapangan, dan kemurahan. Secara terminologis, Imam al-Baidhawi merumuskannya dengan:
Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur.
Rumusan ini menunjukkan bahwa hukum rukhshah hanya berlaku apabila ada dalil yang menunjukkan dan ada uzur yang menyebabkannya. Dengan demikian, hukum-hukum khusus yang sama sekali tidak berbeda dengan dalil-dalil syara’ secara umum, tidak termasuk dalam kategori rukhshah.
Rukhshah adalah keringanan hukum yang telah disyariatkan oleh Allah atas mukallaf dalam keadaan tertentu yang sesuai dengan keringanan tersebut. Atau sesuatu yang disyariatkan karena ada uzur yang memberatkan dalam keadaan tertentu. Atau diperbolehkannya sesuatu yang dilarang dengan suatu alasan, meskipun larangan itu tetap berlaku.[43]
b.      Pembagian ar-rukhshah
Ketentuan ar-rukhshah dapat dibagi kepada beberapa bagian sesuai dengan segi tinjauannya, tetapi yang terpenting tinjauan rukhshah ditinjau dari segi bentuk hukumnya yang berlaku umum, dan dari segi bentuk rukhshah (keringanan) itu sendiri, sebagai berikut:
1)      Berdasakan segi bentuk hukum yang berlaku umum
Ditinjau dari segi bentuk hukum yang berlaku umum, rukhshah dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut:
§  Ar-rukhshah untuk melakukan perbuatan yang menurut ketentuan syariat yang umum diharamkan, karena darurat atau hajah.
Contoh rukhshah ini ialah, bolehnya mengucapkan kalimat kufur dalam keadaan terpaksa sebagaimana ditegaskan dalam surah an-Nahl ayat 106:
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah beriman (maka ia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. (QS. An-Nahl: 106).
Contoh lainnya dari rukhshah bentuk ini ialah, boleh memakan daging babi karena darurat, dimana tidak terdapat makanan lain selain itu, yang jika tidak dimakan, maka jiwa seseorang akan terancam. Hal ini berdasarkan firman Allah pada surah al-Baqarah ayat 173:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS. Al-Baqarah: 173).
§  Ar-rukhshah untuk meninggalkan perbuatan yang menurut aturan syariat yang umum diwajibkan, karena kesulitan melaksanakannya.
Contoh, berdasarkan ketentuan umum, puasa ramadhan adalah wajib, berdasarkan surah al-Baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 183)
Akan tetapi, karena keadaan sakit atau bepergian, sehingga menimbulkan kesulitan jika dikerjakan, maka boleh tidak berpuasa. Sebagaimana disebutkan pada ayat 184 berikutnya:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ
“Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau bepergian, maka hendaklah ia menggantinya pada hari-hari yang lain”. (QS. Al-Baqarah: 184).
2)      Berdasarkan segi bentuk rukhshah (keringanan)
Rukhshah ditinjau dari segi bentuk rukhshah-nya sendiri dapat dibagi kepada lima macam sebagai berikut:
§  Rukhshah yang berbentuk menggugurkan kewajiban. Misalnya, dalam keadaan kesulitan (‘uzur), boleh meninggalkan kewajiban jihad, seperti: karena buta, pincang, dan sakit. Demikian juga boleh tidak melaksanakan ibadah haji, umrah, dan shalat jum’at karena sakit.
§  Rukhshah yang berbentuk pengurangan kewajiban. Misalnya, menurut jumhur ulama, meng-qhasar shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at ketika musafir, merupakan rukhshah. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, shalat dua raka’at pada waktu musafir bukan merupakan rukhshah, melainkan ‘azimah, karena pada mulanya shalat wajib adalah dua-dua raka’at, baik ketika mukim maupun musafir. Belakangan ketentuan shalat dua-dua raka’at berlaku hanya pada ketika musafir.
§  Rukhshah yang berbentuk penggantian kewajiban. Misalnya, mengganti kewajiban wudhu’ dengan tayammum karena kesulitan menggunakan air untuk wudhu’, baik karena ketiadaan air maupun karena sakit, baik pada waktu mukim maupun ketika musafir. Demikian juga mengganti kewajiban berdiri dalam shalat dengan duduk atau berbaring karena kesulitan melaksanakannya, baik karena cacat maupun karena sakit.
§  Rukhshah yang berbentuk pengunduran waktu pelaksanaan kewajiban. Misalnya, penangguhan pelaksanaan puasa ramadhan pada hari-hari di luar ramadhan, karena sakit atau musafir.
§  Rukhshah yang berbentuk perubahan tatacara pelaksanaan kewajiban. Misalnya, perubahan tatacara shalat yang biasa menjadi tatacara shalat khauf, karena kesulitan dalam suasana perang.[44]
5.      Ash-Shihhah, al-Buthlan, dan al-Fasad
Ditinjau dari segi terpenuhi atau tidaknya tuntutan syara’ pada perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara’, dapat diberi predikat shihhah (sah), danbuthlan (batal).
a.      Pengertian ash-shihhah dan al-buthlan
Shihhah (sah) menurut syara’ adalah perbuatan mukallaf itu mempunyai pengaruh secara syara’. Bila yang dilakukan mukallaf adalah perbuatan wajib; seperti shalat, puasa, zakat dan haji, dan perbuatan itu dilakukan oleh mukallaf dengan memenuhi rukun dan syaratnya, maka gugurlah kewajiban itu, ia terbebas dari beban, tidak berhak mendapat hukuman di dunia dan bahkan berhak mendapat pahala di akhirat.
Bila yang dilakukan oleh mukallaf adalah sebab syara’; seperti kawin, talak, jual beli, hibah, akad-akad lain dan berbagai bentuk pengelolaan dengan memenuhi rukun dan syaratnya secara syara’ maka dari setiap sebab itu akan timbul pengaruh yang bersifat syara’ yang telah ditetapkan oleh syari’; seperti menetapkan atau meniadakan kehalalan (kawin dan talak), beralihnya kepemilikan dua barang (jual beli), tetapnya pemilikan tanpa ganti (hibah) atau pengaruh lain serta kenyataan yang diakibatkan oleh syara’ yang sah.
Bila yang dilakukan mukallaf adalah syarat, seperti bersuci untuk shalat, dan telah memenuhi syarat dan rukunnya, maka yang disyaratkan sudah mungkin dikatakan sah.[45]
Adapun yang dimaksud dengan al-buthlan (batal) ialah, kebalikan dari pengertian sah, yaitu suatu perbuatan yang tidak memenuhi semua kriteria yang dituntut oleh syara’. Dengan kata lain, jika salah satu persyaratan atau rukun dari suatu perbuatan yang disyariatkan tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut disebut batal.
Sebagai contoh, dalam bidang ibadah, shalat disebut sah, apabila seorang mukallaf melakukan perbuatan shalat yang telah memenuhi semua rukun dan syarat-syaratnya, dan tidak terdapat mani’-nya. Sebaliknya, jika salah satu rukun atau syarat shalat tidak terpenuhi, atau adanya mani’ yang menghalangi keabsahan shalat tersebut, maka perbuatan shalat tersebut disebut batal.
Adapun contoh dalam bidang muamalah ialah, suatu akad (transaksi) jual beli disebut sah, apabila akad tersebut telah memenuhi semua kriteria keabsahannya, baik sabab, rukun maupun syarat-syaratnya, serta tidak terdapat mani’ yang menghalangi keabsahan akad tersebut. Sebaliknya, jika terdapat kekurangan pada salah satunya, baik pada sabab, rukun ataupun syarat, atau terdapat mani’ yang menghalangi keabsahan akad/ transaksi tersebut, maka akad itu disebut batal.[46]
D. Mahkum Fih
            Mahkum fiih didalam pembahasan ushul fiqh terkadang dinamai juga dengan mahkum bihi. Karena itu jika disebutkan dengan mahkum fihi, maka itu juga yang dimaksud dengan pembahassan mahkum fihi. Kedua istilah tetap menekankan pada pembahasan terhadap hukum perbuatan seorang mukallaf.[47] Mahkum fihi adalah Perbuatan yang merupakan objek tuntutan (perintah) atau tuntutan pencegahan (larangan), ataupun objek ibadah. Dalam hal ini segala amal  perbuatan orang-orang mukallaf yang berkaitan dengan hukum taklifi.[48] Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fiih adalah perbuatan mukallaf  yang berkaitan- atau dibebani  dengan hukum syar’i.[49] atau lebih singkatnya:
الحكؤم فىه فعل المكتلف الذى تعلق به حكم الله
perbuatan seorang mukallaf yang berhubungan dengan syara’.”[50]
            Hukum syara’ adalah khitab (firman) Allah yang bertalian dengan segala perbuatan orang-orang mukallaf, berupa tuntutan, takhyir, Wad’i. yang dimaksudkan dari kitab / firman Allah  ialah keterangan atau keadaan yang diberikan oleh Syara’ (Allah Swt) terhadap segala perbuatan orang mukallaf. Misalnya haram, makruh, wajib, mubah, sahih, batil, syarat, sebab, atau mani’.
            Yang dimaksud dengan Thalab (tuntutan) ialah: tuntutan untuk melakukan sesuatu disebut dengan wajib. Jika tuntutan itu menunjukkan larangan, disebut degan haram, dan yang dimaksud dengan takhyir adalah : adanya mukallaf itu dibolehkan melakukan sesuatu atau tidak, misalnya: makan pada waktu tertentu, atau tidur ppada waktu tertentu, dan sebagainya, dari berbagai kebiasaan adat manusia. [51]
Mahkum fihi (perbuatan orang mukallaf) mempunyai hakim sebagai pembuat hukum. Karena sangat tidak mungkin apabila hukum itu bisa ada dengan sendirinya. Mengingat bahwa apa ada yang ada dibumi nusantara ini ada yang menciptakan, baik alam maupun isinya. Hukum yang dibuat dijadikan sebagai cara untuk menjunjungnya bahwa hanya Dia yang maha segalanya.
Merujuk kepada hukum syar’i ialah Kitabullah (firman Allah) yang bertalian dengan orang-orang mukallaf, ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan HAKIM dalam ilmu fiqihi islam, tak lain ialah Allah SWT, karena syariat islam ini  adalah undang-undang agama yang bersumber dari wahyu Allah. Jadi hakim adalah Allah Swt. Segala macam bentuk pengertian hukum dalam syar’I ini, hanya merupakan cara untuk mengenal hukum Allah. Dalam hal ini, menurut Muhammad Abu Zahrah : telah menjadi ‘ijma’ bagi kaum muslimin, bahwasanya hakim (pencipta hukum )dalam islam ialah Allah swt. Tiada syariat selain dari Allah, sebagaimana firmannya didalam QS Al-An-am: 57
4ÈbÎ)ãNõ3ßÛø9$#žwÎ)¬!ÇÎÐÈ
Artinya “menetapkan hukum itu hanyalah hal Allah (QS. An’am:57)
Èbr&urNä3ôm$#NæhuZ÷t/!$yJÎ/tAtRr&ª!$#
Artinya : “ dan hendaklah kamu memutuskan (menghukum perkara diantara mereka, menurut apa yang telah ditentukan Allah) (QS al maidah:47
4`tBuróO©9Nà6øts!$yJÎ/tAtRr&ª!$#y7Í´¯»s9'ré'sùãNèdšcqà)Å¡»xÿø9$#ÇÍÐÈ
Artinya :” barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang telah diturunkan Allag, maka mereka itu, adalah orang-orang yang fasik (QS Al-maidah;47)
Dari sini timbul masalah, apakah rasio itu mendapat suatu kedudukan dari suatu hukum syar’I, dan apakah mukallaf itu dituntut dengan keputusan rasio disamping keputusan hukum syar’i?
Sebagian ulama islam, terutama madzab syi’ah mengatakan, bahwa rasio itu merupakan suatu sumber fiqih dalam masalah tidak ada nashnya dari Al-qur’an atau sunnah.
Menurut jumhur Fuqoha, bahwa rasio tidak dapat dijadikan sebagai hakim: tetapi mereka mengembaikan masalah yang tidak ada nashnya kepada masalah yang telah ada nashnya dengan berbagai jalan, misalnya dengan qiyas, atau istihsan, atau maslahatul mursalah.[52]
Mahkum fihi berkaitan langsung dengan hukum taklifi, yakni hukum yang mengandung tuntutan untuk dipatuhi oleh seorang mukallaf. Ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam hukum taklifi ini, yaitu, adanya perbuatan itu dalam kemampuan seorang mukallaf atau tidak, dan apakah perbuatan itu merupakan hak Allah atau hak bagi hambanya. .
Para ahli ushul sependapat semuanya, bahwa hamba itu (manusia mukallaf) tidak dibebani kecuali yang masuk dalam kemampuannya. Ia tidak dihukum dalam hal yang tidak mungkin ia lakukan karena diluar kemampuannya. Ia tidak mungkin dihukumkan dengan hal yang mustahil menurut akal, misalkan mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan.[53]


Ÿwß#Ïk=s3リ!$#$²¡øÿtRžwÎ)$ygyèóãr
Artinya :” Allah tidak membebani seseorang sesuai dengan kemampuannya (QS Al-baqarah :286)
$tBurŸ@yèy_ö/ä3øn=tæÎûÈûïÏd9$#ô`ÏB8ltym4
Artinya :” Dia (Allah) sekali kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (Al-hajj;78)
Ayat ayat tersebut menunjukkan bahwa memberikan hukuman pada hal-hal yang diluar batas kemampuan seseorang adalah suatu keberatan dan kesempitan. Didalam Al-qur’an ada beberapa kalimat ayat yang sepintas lalu merupakan taklifi diluar kemampuan seseorang, antara lain misalny
Ÿwur¨ûèòqèÿsCžwÎ)NçFRr&urtbqßJÎ=ó¡BÇÊÉËÈ
Artinya :’ dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam”. (QS. Ali imron 102)         
ولاتباغضو تلا تدا بروا.)رواه مسلم(
Artinya :” janganlah kamu saling membenci, dan janganlah kamu saling membelakangi.( HR. Muslim)
            Kalau kita memperhatikan ayat dan hadist tersebut dan lain-lain yang senada dengan itu, maka dapatlah kita ketahui
            Kalau kita memperhatikan ayat dan hadist tersebut dan lain-lain yang senada dengan itu, maka dapatlah kita ketahui, bahwa ayat ataupun hadist itu termasuk kedalam istiatah seseorang, seperti ayat 102 dalam QS ali Imron tersebut adalah menganjurkan supaya kita semua tetap dalam ketaatan dan ketulusan pada kebenaran agama (ajaran islam), dan mencegah dari penyimpangan-penyimpangan dari pemikiran, atau mengikuti hawa nafsu. Sedangkang larangan benci atau marah, sebenarnya bukan zat yang menjadii kemarahannya itu yang menjadi tujuannya, tetapi mencegah memasuki sebab-sebab kemarahannya itu menahan diri dan menentangkan jiwa dan sebagainya.
Hukum Taklifi yang mengandung Masyaqqah (kesulitan)
            Sebagaimana yang telah di uraikan diatas, bahwa: tujuan penetapan hukum islam itu, untuk megangkat keberatan, dan menghilangkan kesulitan, serta tidak membebani manusia diluar kemampuannya. Akan tetapi tidak semua taklifi (beban kewajiban) itu lepas sama sekali daeri keberata, karena semua perintah itu pasti mengandung keberatan yang bertentangan dengan nafsu. Dalam hal ini ada dua macam keberratan yaitu:
1.      Keberatan yang dapat dilakukan oleh mukallaf secara terus-menerus . taklif ini mempunyai sanksi (tanggungan hukum) bila dilanggar. Misalnya : ibadah puassa, dan ibadah haji. Ia kesulitan yang daat dilakukan dan daatdilaksanakan secara terus-menerus, karena tiada suatu taklif  (kewajiban) melainkan ada kesultannya, minimal merupakan latihan jiwa meninggalkan hal-hal yang diilarang, dan melaksanakan yang diperintahkannya, karena semua larangan itu selalu menarik hawa nafsu. Ini sesuai dengan hadist Imam Bukhari dari Abi hurairah r.a bahwa Rassulullah SAW bersabda :
                                                                                                                                               
حجبت النار با اشهوات وحجبت الجنة با المكار  (رواه البخار)                              
 Artinya :” neraka itu ditutupi dengan syahwat (segala sesuatu yang menarik syahwat ) dan surga itu ditutupi dengan hal-hal yang tidak menyenangkan (bertentangan dengan syahwat) (HR.Bukhari)
2.      Keberatan yang tidak dapat dilakukan secara terus menerus: atau tidak dapat dilakukan kecuali dengan memaksa kemampuannya, yang dapat juga mengorbankan jiwa, atau harta, ataupun tidak dapat sama sekali melaksanakannya. Misalnya : berangkat kemedan perang membela agama. Taklifi ini, tidak secara terus menerus dan tidak fardu ain mutakq. Demikian juga bersifat sabar ketika dipaksa mengucapkan kalimat kufur, ia merupakan perjuangan yang luar biasa,tetapi sangat mulia dengan tinggi nilainya di sisi Allah SWT.[54]
E. Mahkum alaih
            Yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah mukallaf yyang perbuatannya berhubungan dengan hukum syar’i. atau dengan kata lain, mahkum alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadi tempat berlakunya kukum Allah.
            Dinamakan mukallaf sebagai mahkum Alaih adalah karena dialah yang dikenai (dibebani) hukum syara”. Ringkasnya, yang dinakaman mahkum alaihadalah orang atau si mukallaf itu sendiri. sedangkan perbuatannya disebut mahkum bihi.
§  Syarat syarat  Mahkum alaih
Ada dua syarat yang harus dpatuhi agar seorang mukallaf  sah ditaklifi:
1.      Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantaran orang lain. Karena orang yang tidak mampu memahami dali-dalil itu tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan kepadanya.
      Kemampuan memahami dalilq-dalil taklif dapat terwujud dengan akal, karena akal adalah alat untuk mengetahui apa yang ditaklifkan itu. Dan oleh karena itu akal adalah hal yang tersembunyi dan sulit diukur, maka Allah menyangutkan taklif itu ke hal-hal yang menjadi tempat anggapan  adanya akal, yaitu baligh. Barang siapa yang telah baligh dan tidak kelihatan cacat akalnya berarti ia cukup kemampuan untuk ditaklifi.
      Berdasarkan hal diatas anak-anak dan orang gila tidak dikenai taklif karena tidak mempunya alat untuk memahami taklif tersebut. Begitu jjuga dengan orang yang luapa, tidur, dan mabuk karena dalam keadaan demikian mereka tidak dapat memahami apa-apa yang ditaklifkan  kepada mereka.
2.      Orang tersebut “ahli” (cakap) bagi apa yang di taklifkan kepaadanya. “ahli disini berarti layak untuk kepantasan yang terdapat pada diri seseorang. Misalnya, seseorang dikatakan ahli untuk mengurus wakaf, berarti ia panttas untuk diserahi tanggung jawab mengurus harta waqaf.[55]
Para ulama ushul membagi ahliah ini tas dua bagia yaitu : ahliyah (kelayakan) memikul tanggung jawab, dann kelayakan mellaksanakan tanggung jjawab itu :
1.      Ahliah wujub
      Yang dimaksud dengan ahliiah wujub ialah kelayakan seseorang bertanggungjawab (memiliki hak dan kewajiban). allah menciptakan manusia dengan sifat-sifat khusus, berbeda dengan binatang, yang dalam istilah fuqoha disebut dengan “desimmah”. Zimah menurut bahasa berarti tanggungan, atau perjanjian. Menurut fuqoha adalah sifat fitrah manusia yang menjadikan manusia mempunyai hak dan kewajiban terhadap lainnya.
      Maka dengan demikian setiap manusia bagaimanapun keadaannya ia tetap mempunyai ahliah (kelayakan) bertanggung jawab..
2.      Ahliah pelaksana
      Yang dimaksud dengan ahliah pelaksanaan inii adalah kepantasan (kelayakan) seorang mukallaf itu melakukan suatu  transaksi muamalah, yang perkataannya atau perbuatannya dianggap sah menurut syara’ dann mempunyai konsekuensi huku. Misalnya: jika ia melaksanakan sholat, atau puasa, atau haji, dan sebagainya, dianggap sah menurut syara’. Demikian pula jika ia melanggar hak orang lain, ia menerima hukuman badaniah dan maliah. [56]
Kesimpulan
            Dariapa yang sudah kita dibahas diatas dapat didimpulkan bahwa hukum dibagi menjadi dua , yakni hukum taklifi dan hukum wadh’i. hukum taklifi adalah hukum syariat yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan, untuk ditinggalkan, atau untuk dijadikan pilihan antara dikerjakan atau ditinggalkan. Hukum taklifi dibagi menjadi 5. Yang pertama yaitu wajib (harus dikerjakan, apabila ditinggalkan mendapat dosa), kedua Sunah (apabila dikerjakan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa), ketiga makruh (orang yyang meninggalkannya mendapat pahala, dan orang yang mengerjakannya tidak mendapat dosa(, ke empat haram (apabila dikerjakan mendapat dosa, apabila ditinggalkan mendapat pahala), ke lima Mubah (diberi pahala apabila melaksanakannya, dan tidak mendapatt dosa apabila meninggalkannya )
            Hukum taklifi dibebankan kepad semua mukallaf. Dalam ruang lingkup fiqh perbuatan yang dilakukan orang mukallaf dalam menjalankan hukum taklifi disebut mahkum fihi, dan orang yang melakukan hukum taklifi disebut mahkum alaih. Jadi mahkum bihi adalah sebagai objek, dan mahkum alaih sebagai subjeknya.
            Hukum wadh’I adalah perintah allah yang menjadikan sesuatu menjadi sebab bagi adanya sesuatu yang lain, menjadi syarat sesuatu yang lain, dan menjadi penghalang bagi sesuatu yang lain.
Daftar Pustaka
Abdul,Wahhab, kaida-kaidah hukum Islam,(Jakarta: Rajawali, 1989)
Djazuli H.A dan I Nurol Aen, Ushul fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta:raja grafindo persada, 2000)
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam. (Yogyakarta: Ombak, 2013)
Rahman , Abd. Dahlan, Ushul Fiqih. (Jakarta: Amzah, 2014)
Efend, Satriai & Zein, Ushul Fiqih (Jakarta: Prenada Media, 2005)
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqih 1. (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1996)
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih. (Jakarta: Rineka Cipta, 2005)
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fikih. Kaidah Hukum Islam. (Jakarta: Pustaka Amani, 2003)
Yusuf, Nasarudin, pengantar ilmu dan ushul fiqh,  Malang. UM PRESS. 2012
Djafar, Muhammadiyah, pengantar ilmu fiqh, Malang: penerbit Kalam Mulia. 1992
Koto Alaiadin. ilmu fiqh dan ushul fiqh, Jakarta:PT raja grafindo persada. 2006. Hal
                                                                                                                                                                                                               

Catatan:
1.      Abstrak jangan hanya copy-paste dari google translate.
2.      Penulisan footnote banyak yang salah.
3.      Penulisan gelar (Prof. Dr., Ustadz, dll) dalam tulisan ilmiah harus dihilangkan, termasuk dalam footnote dan daftar pustaka.


[1]Wahhab Abdul, kaida-kaidah hukum Islam,(Jakarta: Rajawali, 1989), hlm.155-156
[2]Wahhab Abdul, kaida-kaidah hukum Islam,(Jakarta: Rajawali, 1989), hlm.162
[3]Djazuli H.A dan I Nurol Aen, Ushul fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta:raja grafindo persada, 2000), hlm.19-21
[4]Wahhab Abdul, kaida-kaidah hukum Islam,(Jakarta: Rajawali, 1989), hlm.164
[5]Djazuli H.A dan I Nurol Aen, Ushul fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta:raja grafindo persada, 2000), hlm.22
[6]Djazuli H.A dan I Nurol Aen, Ushul fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta:raja grafindo persada, 2000), hlm.29
[7]Wahhab Abdul, kaida-kaidah hukum Islam,(Jakarta: Rajawali, 1989), hlm.174
[8]Wahhab Abdul, kaida-kaidah hukum Islam,(Jakarta: Rajawali, 1989), hlm.174
[9]Djazuli H.A dan I Nurol Aen, Ushul fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta:raja grafindo persada, 2000), hlm.30
[10]Djazuli H.A dan I Nurol Aen, Ushul fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta:raja grafindo persada, 2000), hlm.33
[11]Wahhab Abdul, kaida-kaidah hukum Islam,(Jakarta: Rajawali, 1989), hlm.176-177
[12] Prof. Dr. H. Alaiadin Koto, M.A. ilmu fiqh dan ushul fiqh, Jakarta:PT raja grafindo persada. 2006. Hal 47-48
[13]Djazuli H.A dan I Nurol Aen, Ushul fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta:raja grafindo persada, 2000), hlm.19
[14] Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam. (Yogyakarta: Ombak, 2013). Hal: 222.
[15] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. (Jakarta: Amzah, 2014). Hal: 67.
[16] Satria Efendi & Zein, Ushul Fiqih (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal 62
[17] Abd Rahman Dahlan, op. Cit., hal 68
[18] Satria Efendi & Zein, op. Cit., hal 62
[19]Abd Rahman Dahlan, op. Cit., hal 69
[20]Satria Efendi & Zein, op. Cit., hal 63
[21]Abd Rahman Dahlan, op. Cit., hal 69
[22]Satria Efendi & Zein, op. Cit., hal 62
[23]Satria Efendi & Zein, op. Cit., hal 63
[24]Abd Rahman Dahlan, op. Cit., hal 70
[25] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1. (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1996). Hal: 264
[26]Ibid., halaman 264
[27] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih. (Jakarta: Rineka Cipta, 2005). Hal: 143
[28] Nasrun Haroen, op. Cit., hal 265
[29]Abd Rahman Dahlan, op. Cit., hal 71
[30]Satria Efendi & Zein, op. Cit., hal 65
[31] QS. An-Nisa’  ayat 6
[32]Satria Efendi & Zein, op. Cit., hal 66
[33] Nasrun Haroen, op. Cit., hal 268
[34]Satria Efendi & Zein, op. Cit., hal 66
[35] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih. Kaidah Hukum Islam. (Jakarta: Pustaka Amani, 2003). Hal: 166
[36]Satria Efendi & Zein, op. Cit., hal 67
[37]Marzuki, op. Cit., hal 226
[38]Nasrun Haroen, op. Cit., hal 269
[39]Abd Rahman Dahlan, op. Cit., hal 75
[40]Abd Rahman Dahlan, op. Cit., hal 76
[41]Marzuki, op. Cit., hal 229
[42]Nasrun Haroen, op. Cit., hal 276
[43] Abdul Wahhab Khallaf, op. Cit., hal 167
[44]Abd Rahman Dahlan, op. Cit., hal 77
[45]Abdul Wahhab Khallaf, op. Cit., hal 175
[46]Abd Rahman Dahlan, op. Cit., hal 83

[47] Dr. H. Nasarudin Yusuf, pengantar ilmu dan ushul fiqh,  Malang. UM PRESS. 2012. Hal ; 182
[48] Drs. H. Muhammadiyah Djafar, pengantar ilmu fiqh, Malang: penerbit Kalam Mulia. 1992. Hal 8
[49] Prof. Dr. H. Alaiadin Koto, M.A. ilmu fiqh dan ushul fiqh, Jakarta:PT raja grafindo persada. 2006. Hal 153
[50][50] Dr. H. Nasarudin Yusuf, pengantar ilmu dan ushul fiqh,  Malang. UM PRESS. 2012. Hal ; 182
[51][51] Drs. H. Muhammadiyah Djafar, pengantar ilmu fiqh, Malang: penerbit Kalam Mulia. 1992. Hal 8
[52] Drs. H. Muhammadiyah Djafar, pengantar ilmu fiqh, Malang: penerbit Kalam Mulia. 1992. Hal 7-8
[53][53] Drs. H. Muhammadiyah Djafar, pengantar ilmu fiqh, Malang: penerbit Kalam Mulia. 1992. Hal 8
[54] Ibid :hal 8-11
[55] Prof. Dr. H. Alaiadin Koto, M.A. ilmu fiqh dan ushul fiqh, Jakarta:PT raja grafindo persada. 2006. Hal 157-158
[56] Drs. H. Muhammadiyah Djafar, pengantar ilmu fiqh, Malang: penerbit Kalam Mulia. 1992. 14                                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar