Senin, 10 April 2017

Hadis dilihat dari Aspek Kuantitas (P-IPS E Semester genap 2016/2017)




Judul               : Klasifikasi Hadis dari Aspek Kuantitas Periwayatan.
Kelompok       : 7
Nama               : Arsyadilah (15130089)
                        :  Dea Herapuspita Sari (15130088)
Status              : Mahasiswa , P.Ips E semester IV
Email               : Kejutamban21@gmail.com
ABSTRAK
Hadist ditinjau dari segi jumlah perawi atau sumber berita, hadist dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik dari thabaqat pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir (thabi’it thabi’in). Pada hadis mutawatir periwayat dan sanat hadis lebih dari sepuluh orang sehingga secara budaya dan akal seseorang yang banyak itu mustahil untuk berbohong dalam meriwayatkan hadis tersebut. Sedangkan hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang atau lebih tetapi tidak mencapai syarat menjadi hadis mutawatir. Dan dari dua jenis hadis ini menimbulkan perbedaan dalam bagaimana ilmu untuk memahaminya. Hadis mutawatir bersifat Dharuriatau ilmu yang bersifat praktis tidak membutuhkan pemikiran lagi karena diperoleh dari pengamatan panca indra. Sedangkan hadis ahad yang bersifat Nadzari adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran karena dari segi periwayatannya hadis ini dibawah dari hadis mutawatir yang secara logika banyak orang yang meriwayatkan sehingga mustahil untuk berbohong sedangkan hadis ahad yang periwayatnya tidak mencukupi untuk disebut sebagai mutawatir sehingga butuh pengkajian lagi atau bisa di sebut dengan ilmu yang bersifat Nadzari.
ABSTRACT
In terms of hadith narrators or term news source, the hadith can be divided into prayer part that hadith mutawatir and hadith ahad. The hadith mutawatir hadith is narrated by many good narrator from thabaqat first (friend) to the until thabaqat latter in (thabi'in thabi'it). on hadith mutawatir hadith narrators and sanat more than ten people that operates culture and sense Someone that much it impossible to review the narrated hearts lie. While the hadiths ahad hadith is narrated by one people which ormore but not achieve terms become hadith mutawatir. From prayer type traditions and singer raises differences hearts for a review of how science to understand it. Mutawatir hadith is dharuri or Practical science that is not because longer requires thought tin from the observation of the senses. While hadith ahad that are Nadzari is science needs thought because terms narrations of hadith singer under From the hadith mutawatir operative logic many orangutans yang reported that it is impossible to review lied while hadith ahad the narrator is not sufficient for the review referred to as mutawaatir so it took assessment again orwith can be called science that is Nadzari.

Keyword: Mutawatir, Ahad, Hadis.









PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW. Baik itu perkataan, perbuatan, diam, dan apapun itu yang berasal dari nabi adalah hadists, selain itu juga segala ketetapan yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Sebagai umat islam yang meyakini keberadaan rasulullah dan Allah SWT. Selain bersandar  pada hukum islam yang terdapat dalam al-quran kita juga bersandar akan hadits-hadits Rasulullah SAW. Dan dalam ilmu hadits itu ada yang pembagiannya dilihat dari segi kuanttasnya, yang bisa dikenali dengan pembagian ilmu hadist mutawatir dan hadits ahad. Periwayatan adalah orang yang mendapatkan hadis tersebut baik dari Rasululah langsung atau dari sahabat.
Mngetahui hadits tersebut dirasa sangat penting karena untuk mengetahui mana hadits yang dalam proses periwayatannya diriwayatkan oleh banyak orang  mana hadits yang diriwayatkan hanya sedikit orang karena untuk mengambil refrensi dari hadis itu harus tau mana hadis yang benar-benar shaheh dan mana yang tidak sehingga tidak diragukan lagi untuk mengambil refrensi dari hadits tersebut.
Sehingga dlam makalah ini kami akan mebahas tentang apa itu hadis mutawatir dan hadits ahad yang mana itu adalah pembagian dari hadis ditinjau dari segi kuantitasnya atau dilihat dari banyaknya yang meriwayatkan hadis tersebut.
PEMBAHASAN
A.           Hadis Mutawatir
1.      Pengertian hadis mutawatir
Kata mutawatir, secara bahasa merupakan isim fa’il dari kata al-tawatur yang bermakna al-tatabu’ (berturut-turut), atau datangnya sesuatu secara berturut-turut dan bergantian tanpa ada yang menyela. Dalam bahasa Arab dikatakan tawatarol mathooru, maksudnya hujan turun secra terus menerus. Dalam hal ini mutawatir mengandung pengertian sesuatu yang bersifat kontinyu baik secara berturut-turut maupun terus menerus tanpa ada hal yang menyela dan menghalangi kontinuitas itu. Pengertian etimolugis ini, bila dikaitkan dengan hadis menunjukkan bahwa pada hadis mutasatir itu antara periwayat satu dengan periwayat yang lainpada generasi sebelum maupun dan sesudahnyaterjadi hubungan yang berturut-turut runtun hingga tidak terputus-putus. Dikarenakan jumlah pada generasi cukup banyak,
Secara istilah, menurut Mahmud al-Tahhan, definisi hadis mutawatis adalah:
مارؤاة عدد كثئر تحئل العادة تؤا طوءهم علئ الكزب
“hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (tentang hadis yang diriwayatkan)”.

Maksud definisi tersebut, menurutnya, adalah hadis atau khabar yang diriwayatkan oleh para periwayat yang banyak pada tiap Thabaqah (Tingkatan/generasi) sanatnya yang menurut akal dan adat kebiasaan mustahil para periwayat itu sepakat untuk membuat hadis yang bersangkutan. [1]

2.      Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Mengenai syarat hadis mutawatir itu, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mutaakhirin. Ulama mutaqoddimin tidak membicarakan syarat bagi hadis mutawatir. Menurut mereka, khabar mutawatir yang sedemikian sifatnya, tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadis, sebab ilmu itu membicarakan sahih atau tidaknya suatu hadis, diamalkan atau tidaknya suatu hadis, dan juga membicarakan adil atau tidaknya rawi, sedangkan hadis mutawatir tidak membicarakan masalah tersebut. Bila suatu hadis mutawatir, maka wajib diyakini kebenarannya, diamalkan kandungannya,dan tidak boleh ada keraguan serta bagi orang yang mengingkarinya, dihukum kafir sekalipun diantara perawinya adalah orang kafir. Sedangkan menurut ulama mutaakhirin dan ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan sebagai hadis mutawatir bila memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa  keyakinan bahwa mereka  itu tidak bersepakat untuk berdusta. Mengenai masalah ini, para ulama ada beberapa pendapat, ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Menurut ulama yang tidak mengisyaratkan jumlah tertentu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta, sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya.
Al-qadi al-baqilani menetapkan bahwa sejumlah perawi hadis mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang. Ia mengqiyaskan dengan jumlah nabi yang mendapat gelar ulul azmi. Sementara itu, astikhary menetapkan bahwa yang paling baik, minimal 10 orang, sebab jumlah itu merupakan awal bilangan banyak.
2.      Adanya keseimbangan antarperawi pada thabaqat (lapisan) pertama dengan thabaqat berikutnya.
Jumlah perawi hadis mutawatir, antara thabaqat dengan thabaqat lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bila suatu sahabat hadis diriwayatkan oleh 20 orang sahabat,  kemudian diterima oleh 10 tabiin dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir, sebab jumlah peraeinya tidak seimbang antara thabaqat pertama dengan thabaqat seterusnya.





3.      Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra. Artinya, berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.[2]
3.      Macam-macam Hadis Mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam
Yakni: Mutawatirlafzhi,ma’nawi,dan ’amali. Dan adasebagianulama lain sepertiulamaushulfiqh. Membaginyamenjadi 2 jenis.Yakni :Mutawatirlafzhidanma’nawi.
1.      Hadits mutawatir lafdzi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lapaz dan makna yang sama serta kandungan hukum yang sama, contoh:
قل رسؤل الله علئة ؤ سلم من كزب علئّ فلئتبؤّأ مقعدهُ من النار
Rasulullah bersabda , “barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, meka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di api neraka”.

Menurur al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2.      Hadits mutawatir ma’nawi, yaitu hadis mutawatir yang berasal dari berbagai hadis yang diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan mempunyai makna umum yang sama. Dengan kata lain hadits yang maknanya sama tetapi lafadznya tidak.
Contoh hadits ma’nawi antara lain hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.

Abu musa al-Asy’ari berkata bahwa Nabi SAW tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdoa hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan doa dalam shalat istisqo’ (H.R Bukhari dan muslim)
Hadis seperti ini diriwayatkan dari nabi sekitar seratus buah dengan redaksi yang berbeda-beda tetapi mempunyai titik persamaan yakni keadaan Nabi saw mengangkat tangan pada saat berdo’a.
3.      Hadits mutawatir amali,  yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi saw, kemudian diikuti oleh para sahabat kemudian diikuti lagi oleh tabiin, dan seterusnya, diikuti oleh generasi-kegenerasi sampai sekarang. Contohnya hadits-hadits nabi tentang sholat dan jumlah rakaat, shalat Id, shalat jenazah, dan sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir amali.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut:
a)      Al-Azhar Al-Mutanatsiran fi Al-Akhbar A-Mutawatirah, karya As-Syuyuti
b)      Qathaf Al-Azhar, karya As-Syuyuti merupakan lanjutan karangan beliau
c)      Nazhm Al-Mutanatsir min Al-Hadis Al-Mutawatir, karya Muhammad bin Ja’far Al-Kattani
d)      Al-La’ali Al-Mutanatsirah fil Al-Ahaddis Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.[3]

4. Keberadaan Hadis Mutawatir
            Keberadaan hadis mutawatir, jumlahnya sangat sedikit bila dibandingkan dengan hadis ahad. Beberapa hadis mutawatir yang populer, yaitu : hadis “al-Haudl”, hadis  “al-Mashu Ala al-Khuffain”,  hadis “Raf’u al-yadaini fi al-shalah”, hadis “Nadldlara Allah Imraan” dan lain sebagainya.

5. Kitab-kitab terkenal tentang Hadis Mutawatir
            Beberapa ulama ilmu hadis berhasil menghimpun hadis-hadis mutawatir dan menyusunnya dalam karangan tersendiri agar menjadi referensi bagi para peneliti dan pencari ilmu. Kitab-kitab tersebut antara lain :
a.       Al-Azhaar al-Mutanaatsirah fi al-Akhbar al-Mutaatirah, karya al – Suyuthiy. Kitab ini disusun dengan bab-bab tertentu.
b.      Qathfu al-Azhar, juga karya al- Suyuthiy. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab di atas.
c.       Nadhmu Mutanatsir min al- Hadis al- Mutawawaatir, karya Muhammad bin ja’far    al- Khataniy.[4]
6. Kehujjahan Hadis Mutawatir
Pengetahuan yang disampaikan pada hadis mutawatir, menurus Muhammad al-Shabbagh, harus bersifat dharuri yang diperoleh dari pengamatan pancaindra. Hal ini dimaksudkan agar berita yang disampaikan berdasarkan pada ilmu yang pasti bukan berdasar prasangka dan bersifat apologis dan apriori. Dengan harapan, bagaimana dinyatakan oleh Ibn hajar al-‘Asqalani, berita yang disampaikan oleh para periwayat hadis itu dapat dilahirkan keyakinan pada diri orang-orang yang mendengarnya tentang kebenaran isi berita tersebut. Menurut Ibn Taimiyah, orang yang telah meyakini ke-mutawatir-an suatu hadis, wajib memercayai kebenaranya dan mengamalkan sesuai dangan kandungan isinya. Sedang orang yang belum mengetahui  ke-mutawatir-annya hendaklah kepada orang yang menyepakati hadis tersebut.
            Dalam hadits mutawatir, para ahli berbeda-beda dalam memberikan tanggapan, sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki mereka masing-masing, diantaranya ialahAhli hadits mutaqaddimin, tidak terlalu mendalam dalam memberikan bahasan, sebab hadits mutawatir itu pada hakikatnya tidak dimasukkan ke dalam peembahasan masalah-masalah Ilmu isnad yaitu ilmu mata rantai sanad, artinya sebuah disiplin ilmu yang hanya membahas masalah shahih tidaknya, di amalkan dan tidaknya.Ilmu rijal al-hadits, artinya semua pihak yang terkait dalam soal periwayatan hadits dan metode penyampaian hadits. Oleh sebab itu, jika status hadits itu mutawatir, maka kebenaran didalamnya wajib di yakini dan semua isi yang terkandung didalamnya wajib di amalkan, sekalipun diantara perawinya orang kafir. [5]

7. Faedah Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir memberikan faedah ilmu dharuri, yakni suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai  dengan yang diberitakan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga membawa pada keyakinan yang qathi’i ( pasti).
Ibnu tamiyah mengatikan bahwa suatu hadis dianggap mutawati oleh sebagian golongan membawa keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak menganggap bahwa hadis tersebut mutawatir. Barang siapa yang telah meyakini ke- mutawatir-an hadis yang diwajibkan untuk mengamalkan sesuai dengan tuntunannya. Sebaliknya, bagi mereka yang  belum mengetahui dan meyakini ke-mutawatiran-nya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan kewajiban mereka mengikuti ketentuan hukum yang disepakati oleh ahli ilmu.
Para perawi hadis mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai keadilan mapun ke-dhabit-annya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana telah ditetapkan di atas menjadikan mereka tidak mungkin sepakat melakukan dusta. Para ulama darul dan juga imam nawawi dalam syarah muslim tidak menetapkan syarat ‘’muslim’’ bagi para perawi hadis mutawatir. Ada juga pembahasan ilmu hadis dilihat dari para perawi dan dari cara menyampaikan periwayatannya, dijadikan dalam hadis mutawatir, kualitas para perawinya tidak dijadikan sasaran pembahasan. Yang menjadi titik tekan dalam hadis mutawatir ini adalah kuantitas perawi dan kemungkinan adanya kesepakatan atau tidak.[6]
8. sumber-sumber Hadis Mutawatir
Kitab yang disusun khusus memuat hadis-hadis mutawatir lafzhi dan maknawi cukup banyak, tetapi barangkali yang oaling komplet adalah kitab al-Suyuthi yang ia nyatakan) “saya susun sebuah kitab yang belum ada duanya tentang hadis mutawatir. Kitab itu kuberi judul al-azhar al-mutanatsirah fi al-akhbar al-mutawatirah. Hadis-hadisnya aku susun berdasarkan bab-babnya, dan setiap hadis disertai sanad-sanadnya. Kemudian kitab tersebut saya ringkas dalam satu juz kecil dan kuberi judul Qathf al-Azhar.Teknik ringkasan yang aku gunakan adalah dengan mengambil salah satu sanad dari salah seorang imam yang mengeluarkannya, lalu aku datangkan sejumlah hadis yang diriwayatkan dengannya. Di antaranya hadis tentang telaga kuringkas dari lima puluh orang sahabat lebih, hadis tentang “Mengusap kedua sepatu”dari riwayat tujuh puluh orang sahabat, hadis tentang “Mengangkat tangan dalam sholat” dari riwayat sekitar lima puluh orang, dan hadis-hadis Nadhdharallahu imra’an sami’a maqalati dari riwayat sekitar tiga piluh orang.”)
Karya as-Suyuthi ini ditinjau kembali olah almuhaddits abu Abdillah muhammad bin ja’far al-kattani dalam kitabnya Nazhm al-mutamatsir min alhadits al mutawatir yang lebih di cetak dalam ukuran kecil. Kemudian setelah itu datang al-ustadz syekh abdul aziz al-Gammari melakukan hal yang sama dalam kitabnya Itahf Dzawil Fadha’il Al Musytamarah Fi Ma Maqa’a Min Al-Jayadah. ‘ala al-azhar al-mutanatsirah fi al hadits al mutawatir. Dalam kitab yang disebut terakhir ini, ia menyebutkan jumlah hadis mutawatir yang benar.[7]

B.          Hadis Ahad
1.      Pengertian Hadis Ahad
Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka ahad atau khabar wahid berarti yang disampaikan oleh satu orang.
Adapun yang dimaksud dengan hadis ahad menurut istilah banyak di definisikan oleh para ulama, anatara lain sebagai berikut :
Khabar yang numlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, bak perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi  tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir.
Ada juga ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara singkat yaitu :
Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir
Sebagian ulama mendefinisikan hadis ahad dengan hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sebenarnya (nabi), tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni  dan tidak sampai kepada qath’i  dan yakin.
Dari beberapa definisi diatas, jelaslah bahwa  disamping jumlah perawi hadis ahad  yang tidak mencapai jumlah petawi hadis mutawatir, kandungannya pun bersifat qath’i. Kecenderungan para ulama mendefinisikan hadis ahad seperti itu karena mereka membagi hadis berdasarkan njumlah rawinya, yang terbagi atas dua macam hadis yaitu : hadis mutawatir dan hadis ahad. Menurut mereka ( ulama yang disebut terakhir ini), hadis ahad adalah :
Hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih, yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur dan hadis mutawatir.
Muhammad abu zahrah mendefinisikan hadis ahad sebagai berikut
Tiap-tiap khabar yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih yang diterima dari rasulullah saw, dan tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur.
Abdul wahab khallaf menyebutkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau sejumlah orang, tetapi jumlahnya tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir. Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi hadis sampai terakhir, dan sanad hadis ahad ini tidak mendatangkan kepastian.
Jumhur ulama sepakat bahwa hadis ahad yang tidak memenuhi ketentuan maqbul, hukumnya adalah wajib. Abu hanifah, imam syafii, dan imam ahmad memakai hadis ahad bila syarat-syarat periwayatannya yang sahih telah terpenuhi. Akan tetapi, abu hanifah menetapkan syarat tsiqah dan adil bagi perawinya, dan amaliahnya tidak menyalahi hadis yang diriwayatkan, adapun imam malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadis ahad tidak menyalahi amalan ahli madinah.
Golongan qadariyah, rafidah, dan sebagian ahlu zhahir menetapkan  bahwa beramal dengan dasar hadis ahad hukumnya tidak wajib. Sementara itu, al- jubai dari golongan mu’tazilah  menetapkan tidak wajib beramal, kecuali berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang yang diterima dari dua orang. Sementara ulam yang lain mengatakan tidak wajib beramal, kecuali hadis diriwayatkan oleh empat orang dan diterima dari empat orang pula.
Untuk menjawab golongan yang tidak memakai hadis ahad sebagai dasar beramal, ibnu qayyim mengatakan,’’ ada tiga segi keterkaitan sunah dengan al-quran.
a)      Kesesuaian terhadap ketentuan yang terdapat dalam al-quran
b)      Menjelaskan maksud al-quran
c)      MeZnetapkan hukum yang tidak terdapat dalam al-quran.
Alternatif ketiga itu merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh rasulullah saw, yang wajib ditaati, lebih dari itu, ada yang menetapkan bahwa dasar beramal dengan hadis ahad adalah al-quran,as-sunnah, dan ijmak.[8]
2.      Macam-macam Hadis ahad
Ulama ahli hadis membagi hadis ahad menjadi dua, yaitu masy’hur dan ghair masy’hur. Hadis ghaira masy’hur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan gair aziz.

a.       Hadits Masyhur
Secara bahasa, lafaz masyhur berasal dari isimmaf ’ul,dari kata Syahara seperti:شهرتالأمر" " (aku memasyhurkan sesuatu) yangberarti mengumumkan sesuatu atau dalam pengertian laindiartikan Terkenal.Tenar.Familiar atau Populer. Sebuah hadis dinamakan masyhur jika sudah tersebar luas di kalangan masyarakat. Ada ulama yang berpendapat bahwa hadits masyhur adalah segala hadits yang sudah populer dalam masyarakat sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa hadis masyhur menimbulkan ketenangan hati, dekat kepada keyakinan dan wajib diamalkan. Akan tetapi yang tidak mengamalkannya tidak dikatakan kafir.
Hadis masyhur ada yang bersatatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya.
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadis yang telah memenuhiketentuan-ketentuan hadis hasan, baik mengenai sanad maupun matannya.
Adapun hadis masyhur yang dha’if  adalah hadis yang tidak memenuhi syarat hadis-hadis shahih dan hasan, baik pada sanad maupun matannya.
Sebua hadis mashur yang ditetapkan statusnya kadang-kadang bukan untuk menetapkan kriteria hadis seperti tersebut diatas, yakni jumlah rawi yang meriwayatkannya, akan tetapi diterapkan pula untuk memberikan sifat suatu hadits yang dianggap populer menurut ahli tertentu atau dikalangan masyarakat tertentu, dari sisni timbul suatu asumsi bahwa dilihat dari jumlah riwayatnya, satu hadisi tidak dapat di katakan sebagai masyhur, tetapi bila dilihat dari kepopulerannya ia tergolong sebagai hadis masyhur.
Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadis masyhur dapat digolongkan ke dalam;
1)      Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah saw membaca doa qunut sesudah ruku’ selama satu bulan penuh berdoa atas golongan ri’il dan Zakwan. (H.R Bukhari dan Muslim dan lain-lain).
2)      Mashur dikalangan ulama ahli hadis, ulama-ulama dalam bidang keilmuanlain, dan juga dikalangan orang awam.
3)      Hadits yang masyhur di kalangan ahli fiqhi (fuqahaa’), contoh:
Hadits:

«أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ»
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah ta’aalaa adalah talak”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dalam kitabnya As-Sunan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Abu Hatim, Ad-Daruquthniy, dan Al-Baehaqiy menghukumi hadits ini lemah.

4)      Hadits yang masyhur di kalangan ulama ushul fiqh, contoh:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الخَطأُ والنِّسْيانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيهِ )
“Diangkat (dosa) dari umatku jika melakukan kesalahan, lupa, atau apa yang dipaksakan padanya”.

Hadits ini diriwayatkan dengan lafadz yang bervariasi dari Abdullah bin Abbas,  Abu Dzar, Abu Ad-Dardaa’, Ummu Ad-Dardaa’, Tsauban, Ibnu Umar, Uqbah bin ‘Amir, dan Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhum.Disahihkan oleh Al-‘Uqailiy, Al-Hakim, Al-Baehaqiy, Adz-Dzahabiy, Al-Haetsamiy, An-Nawawiy, dan syekh Albaniy dalam kitabnya Al-Irwa’ no.82.


5)      Hadits yang masyhur di kalangan ulama nahwu (ahli tata bahasa arab), contoh:

Hadits:
نِعْمَ الْعَبْدُ صُهَيْبٌ، لَوْ لم يخف للَّه لَمْ يَعْصِهِ
“Sebaik-baik hamba Allah adalah Suhaib, kalaupun ia tidak tidak punya rasa takut kepada Allah maka ia tetap tidak akan mendurhakainya”.

Hadits ini sangat lemah, tidak punya sanad (laa ashla lahuu). Lihat silsilah hadits dha’if karya syekh Albaniy no.1006.

6)      Hadits yang masyhur di kalangan orang banyak, contoh:

Hadits Abu Mas’ud Al-Anshariy radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ» [صحيح مسلم]
“Barangsiapa yang menunjuki seseorang pada suatu kebaikan maka ia mendapatkan pahala seperti pahala yang melakukannya (atas petunjuknya)”. [Sahih Muslim]. [9]
Dan hadisالمسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر من هاجر ما حرم الله
(orangislamadalah yang menyelamatkan orang lain daribahayalisandanperbuatannya, dan orang muhajiradalah orang yang menyingkirihal yang diharamkanoleh Allah) adalahmasyhurmenurutahlihadisdanahlifiqh.
Derajathadismasyhurtidaksetinggimutawatir.Kalauriwayatmutawatirmendatangkanilmuyaqin, makariwayathadismasyhurtidakdemikian, tetapimembuathatituma’ninah ,karenamembuat orang cenderungyakinbahwainformasinyaberasaldariNabi. Namundemikian, mengingkarihadismasyhurtidaktergolongkafir.[10]
Di antara kelompok Hadis masyhuradalah hadis mutawatir yang hanya populer, misalnya, dalam disiplin ilmu fiqih dan ushul fiqih, di mana hadis itu tidak pernah disebutkan secara khusus oleh ahli hadis. Hadis ini seperti hadis yang dinukil oleh sesorang yang memperoleh ilmu dengan kejujuran, sesuai kebutuhan dari orang-orang yang selevel dengannya, mulai dari awal sanadnya sampai akhir sanadnya.[11]

7)      Hadits yang masyhur di kalangan ahli pendidikan (adab), contoh:
Hadits:
أدَّبَنِي رَبِّي فأَحْسَنَ تَأدِيبِي
“Tuhankulah yang mendidikku, maka Ia mendidikku dengan baik”.
Makna hadits ini sahih, tapi tidak ada diketahui sanadnya yang sahih. Lihat silsilah hadits dha’if karya syekh Albaniy no.72.

b.      Hadits Ghair Masyhur
            Ulama ahli hadits membagi hadits ghair masyhur menjadi dua yaitu aziz dan gharib. Aziz  menurut bahasa merasal dari kata ‘aza – ya’azzi adalah “sedikit atau jarang. Menurut istilah hadis aziz adalah hadis yang perawinya tidak kurang dari dua orang semua tingkatan sanad.
            Mahmud al-thahan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebahagian thabagat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqt terhadap satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi”.
            Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadis aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada tiap tingkatannya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, maka hadis tersebut tetap dapat dikategorikan sebagai hadits aziz.[12]

3.      Kehujjahan Hadis Ahad
Jumhur ulama baik dari kalangan sahabat, tabi’in, serta para ulama sesudah mereka dari kalangan ahli hadits, ahli Fiqh, dan ahli ushul, berpendapat bahwa hadits ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah yang wajib diamalkan. Dasar argumentasi kewajiban beramaldengan hadis ahad itu adalah kewajiban syar’i bukan kewajiban akli.
Hadits Ahâd menurut para ahli hadits dan mayoritas ulama muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya hadits itu. Namun, Ada golongan atau orang yang berkeyakinan bahwa Hadits Ahâd bukan hujjah (argumentasi) dalam hal 'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahâd itu bukan sumber yang pasti, Dan menganggap tidak dapat memberikan khobar pasti yang bersifat keilmuan dan yaqin. Keyakinan seperti ini merupakan pendapat yang sangat salah dan bathil.Nah saudaraku, berikut ini penjelasan tentang berahujjah atau ber argumentasi dengan Hadits Ahad.Dalam hal ini, terdapat 3 pendapat.
Pendapat Pertama. Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi atau kabar yang pasti bersifat ilmu dan yaqin secara mutlak. Pendapat tersebut jelas-jelas tidak benar dan tidak masuk akal. Sebab bagaimana mungkin kita bisa membayangkan ada orang berakal yang membenarkan semua berita yang didengarnya. Padahal kita tahu, bahwa ada sekelompok manusia yang dikenal hobi berbohong, dan suka lalai dalam meriwayatkan hadits.Pendapat Kedua, Hadîts Ahâd tidak dapat memberikan informasi yang pasti atau tidak bersifat ilmu dan yaqin secara total (total).
Dan Pendapat KetigaHadîts Ahâd memberikan informasi yang pasti (bersifat ilmu dan yaqin) secara bersyarat.Inilah pendapat yang benar. Yang dimaksud di sini adalah Khabar (berita) yang dipertegas dengan dalil-dalil penguat. Dalil penguat itu bisa jadi terkait dengan khabar itu sendiri, bisa juga terkait dengan pembawa berita dan bisa jadi terkait dengan kedua-duanya yakni khabar dan pembawa khabar.
Saudaraku yang budiman, pembahasan kita selanjutnya, adalah argumentasi-argumentasi pendapat ketiga, yakni pendapat bahwa hadits ahad memberikan informasi yang pasti dan bersifat ilmu dan yakin.
Dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) bagi pendapat ketiga ini banyak sekali. Diantaranya:
Pertama. Bahwa membeda-bedakan antara Hadîts Ahâd dengan Hadits Mutawatir di dalam menginformasikan ilmu, merupakan peristilahan (term) yang dibuat-buat, tidak didukung oleh dalil dari Kitabullah, sunnah Rosul-Nya. Juga tidak pernah dikenal oleh para shohabat ataupun para Tabi'in. Demikian juga, membeda-bedakan antara masalah-masalah 'aqidah dan hukum di dalam berargumentasi dengan Hadîts Ahâd merupakan perbuatan bid'ah yang sesat atau mengada-ada, yang tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu (salafush sholeh). Ahlus-sunnah, dari golongan para shahabat rodhiyallohu anhum, tabi'in, tabi'ut tabi'in dan ahl al-hadits senantiasa berhujjah atau berargumetasi dengan hadits-hadits ahad di dalam menetapkan masalah asmâ` Alloh, shifat Alloh, Qodar, hukum-hukum, dan lain sebagainya.
Rosulullah sendiri membenarkan berita, informasi yang disampaikan oleh para shohabat beliau, walaupun hanya seorang. Para shahabat, satu sama lainnya juga saling membenarkan. Demikian pula dengan para Tabi'in, mereka membenarkan berita yang dibawa oleh para shohabat dan sejawat-sejawat mereka. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mempersoalkan hadits ahad. Oleh karena itu, kita tegaskan, bahwa hadits Ahâd memberikan informasi pasti dan bersifat ilmu dan yaqin secara bersyarat.
Argumen yang kedua, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah mengirimkan para shohabatnya kepada para raja dan penguasa untuk menyampaikan risalah Robb-nya secara orang per-orang, yang disebut Ahâd. Andaikata hadits ahad yang mereka bawa, tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), tentu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak akan pernah mengirimkan mereka secara perorangan seperti itu.
Kemudian ketiga. Ketika ada seorang yang memberitakan kepada kaum Muslimin, saat mereka sedang sholat shubuh (atau shalat lainnya) di Quba`. Bahwa kiblat telah dialihkan ke arah Ka'bah, mereka serta-merta menerima khabar tersebut. Lalu mereka menghadap ke Kiblat, sebagai pemenuhan terhadap perintah Alloh Ta’ala dan Rosul-Nya yang disampaikan kepada mereka. Sekalipun hanya melalui jalur satu orang. Berhujjah Dengan Hadits Ahad Di Dalam Masalah 'Aqidah kaum Mu'tazilah tidak menerima Hadîts Ahâd di dalam masalah 'Aqidah. Kecuali jika sejalan dengan akal atau logika, maka
Keempat, adanya hadits-hadits dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam tentang tindakan beliau mengirimkan para utusan dan Da'i beliau ke berbagai pelosok negeri. Demikian juga kepada para raja, kisro, kaisar dan selain mereka dalam rangka menda’wahi mereka kepada Alloh Ta’ala. Hal pertama yang disampaikan oleh mereka adalah masalah 'Aqidah.
Diantara indikasinya adalah sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam kepada Mu'adz bin Jabal ketika beliau hendak mengutusnya ke negeri Yaman:
4.    إنك تقدم على قوم أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه عبادة الله –عزوجل
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab, maka hendaklah hal pertama yang engkau da’wahi (ajak mereka) (adalah) agar beribadah kepada Allah 'Azza Wa Jalla."[13]

5.      Kedudukan Hadis Ahad
Bila hadis mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW. maka tidak demikan halnya hadis ahad. Hadis ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga (zanni) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain bahwa hadis ahad mungkin benar berasal dari beliau.
Karena hadis ahad itu tidak pasti (gairuqat’i atau gairumaqtu’), tetapi diduga (zanni) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadis ahad, sebagai sumber atau sumber ajaran Islam, berada di bawah kedudukan hadis mutawatir. Ini berarti bahwa bila suatu hadis, yang termasuk kelompok hadis ahad bertentangan isinya dengan hadis mutawatir, maka hadis tersebut ditolak, dan dipandang sebagai hadis yang tidak berasal dari Rasulallah SAW.
Bila diperinci lebih lanjut, kedudukan hadis-hadis ahad itu berbeda-beda, sejalan dengan perbedaan taraf dugaan atau taraf kemungkinannya berasal dari Rasulullah SAW. Sebagian hadis-hadis tersebut lebih tinggi kedudukannya dari sebagian hadis yang lain, kendati semuanya sama-sama termasuk hadis ahad. Hadis ahad itu ada yang dinilai sahih, ada yang dinilai hiasan, dan ada pula yang dinilai daif. Kedudukan hadis sahih sahih lebih tinggi daripada hasan, dan kedudukan hadis hasan lebih tinggi daripada hadis daif.[14]

C.           Perbedaan Hadis Mutawatir dengan Hadis Ahad
1.      Dari segi jumlah rawi, hadis mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya sangat     banyak pada setiap tingkatan sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil mereka sepakat untuk berdusta, sedangkan hadis ahad diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan masis memungkinkan mereka untuk sepakat berdusta.
2.      Darisegi pengetahuan yang dihasilkan, hadis mutawatir menghasilkan ilmu qat’i (pasti) atau ilmu dariru (mendesak untuk diyakini) bahwa hadis itu sungguh-sungguh dari Rasulallah sehingga dapat dipastikan kebenarannya, sedangkan hadis ahad menghasilkan ilmu zanni (bersifat dugaan) bahwa hadis itu berasal dari Rasulallah SAW. sehingga kebenarannya masih berupa dugaan  pula.
3.      Dari segi kedudukan, hadis mutawatir sebagai sumber ajaran agama Islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada hadis ahad. Sedangakan kedudukan hadis ahad sebagai sumber ajaran Islam berada di bawah kedudukan hadis mutawatir.
4.      Dari segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadis mutawatir mustahil bertentangan dengan keterangan ayat dalam Al-Quran, sedangkan keterangan matan hadis ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan keterangan ayat Al-Quran. Bila dijumpai hadis-hadis dalam kelompok hadis ahad yang keterangan matan hadisnya bertentangan dengan keterangan ayat Al-Quran, maka hadis-hadis tersebut tidak berasal dari Rasulallah. Mustahil Rasulallah mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran.[15]















PENUTUP
KESIMPULAN
Hadis nabi dilihat dari segi kuantitasnya sanad dapat diklasifikasikan menjadi mutawatir dan ahad, kajian tentang hadis mutawatir dan syarat-syaratnya, menurut Muhammad Ajjaj al-Khathib, lebih banyak dibahas oleh ahli ushul fiqh dari pada oleh ahli hadis. Karena bukan bagian dari ilmu sanad yang menjelaskan tentang sahih tidaknya suatu hadis, apakah hadis itu dapat diamalkan atau harus ditinggalkan, dari segi kualitas dan kapasitas para periwayat hadis, ataupun metode penyampaian dan penerimaan hadis (shighah al-ada). Hal ini dikarenakan pada hadis mutawatir tidak dilakukan pembahasan tentang keberadaan, kualitas pribadi  dan kapasitas intelektual para periwayat hadis.tetapi harus diamalkan tanpa adanya penelusuran pada bidang-bidang itu. Menurut al-iraqi, hadis mutawatir dibahas oleh ulama ushul al-fiqh dan ulama fiqh sedangkan ulama hadis tidak banyak pembahasannya secara khusus, dan kalaupum mengkajinya, hadis mutawatir bersamaan dengan hadis masyhur.
Sungguhpun demikian, tidak berarti bahwa masalah hadis mutawatir ini sama sekali tidak menjadi perhatian ulama hadis. Sebagian mereka mengakaji tentang definisi, kreteria, dan syarat-syarat, pembagian dan klasifikasi, serta kehujjahan hadis mutawatir itu. Sementara hadis ahad yang terdiri dari hadis mashir, aziz, dan gharib banyak dibahas oleh ulama hadis karana melibatkan keberadaan sanad terutama dalam rangka untuk mengetahui nilai kehujjahannya. Dengan kata lain,  ketersambungan sanad, keberadaan, kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat hadis  baik itu sanad maupun matan hadis, yang bersangkutan sehingga dapat ditentukan apakahsuatu hadis dapat diterima untuk dijadikan hujjah ataupun tidak.








DAFTAR PUSTAKA
1.     Sulaiman, Noor PL. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta : Gaung Persada Press.
2.     Thahhah, Mahmud. 2007. Intisari ilmu Hadits. Malang : UIN-Malang Press.
3.     Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir. 2004. Ulumul Hadis .Bandung : CV pustaka Setia.
4.     Zuhri, Muhammad. 2003.Hadis Nabi . Yogyakarta : PT Tiara Wacana.
5.     Idri. 2010. Studi Hadis. Jakarta : Prenada Media Group.
6.     Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia.
7.      Nuruddin. 2012.ulumul Hadis.Bandung: Remaja Rosdakarya.
8.     Al-nawawi, Imam. 2001. Dasar-dasar Ilmu Hadis. Jakarta : Penerbit Pustaka Firdaus.

Catatan:
1.     Makalah ini TIDAK sesuai dengan format acuan.
2.     Penulisan footnote banyak yang salah.
3.     Banyak pembahasan yang bertumpuk, tolong dirapikan.
4.     Perujukan masih sangat minimalis, membuat spekulasi adanya plagiasi.
5.     Penulisan makalah agak kacau, membuat pembaca tidak dapat fokus.


[1]Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010) hlm 130-131

[2]sohari sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010) hlm.84-87

[3]M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta : Gaung Persada Press, 2008) hlm 88-90.

[4]Mahmud Thahhah, Intisari Ilmu hadits, (Malang : UIN-Malang Press, 2007), hlm 35.

[5]Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010) hlm 139-140.

[6]sohari sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 90-91.
[7]Nuruddin, ulumul Hadis,(Bandung: Remaja Rosdakarya. 2012) hlm 433-434.


[8]sohari sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 91-93

[9]M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta : Gaung Persada Press, 2008) hlm 90-94.

[10]Muh. Zuhri, Hadis Nabi, (Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya, 2003) hlm : 85-86

[11] Imam Al-Nawawi, Dasar-dasar Ilmu Hadis. (Jakarta : Penerbit Pustaka Firdaus, 2001) hlm 115.
[12]M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta : Gaung Persada Press, 2008) hlm 94.

[13]Idri, Studi Hadis, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010). Hlm 153-155.
[14]Muhammad ahmad dan Muhammad Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2004) hlm : 97-98

[15]Muhammad ahmad dan Muhammad Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2004) hlm : 98-99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar