Judul : Klasifikasi
Hadis dari Aspek Kuantitas Periwayatan.
Kelompok : 7
Nama : Arsyadilah
(15130089)
: Dea Herapuspita Sari (15130088)
Status : Mahasiswa ,
P.Ips E semester IV
Email :
Kejutamban21@gmail.com
ABSTRAK
Hadist ditinjau dari segi jumlah perawi atau sumber berita, hadist dapat
dibagi menjadi dua bagian yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.Hadist
mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik dari thabaqat
pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir (thabi’it thabi’in).
Pada hadis mutawatir periwayat dan sanat hadis lebih dari sepuluh orang
sehingga secara budaya dan akal seseorang yang banyak itu mustahil untuk
berbohong dalam meriwayatkan hadis tersebut. Sedangkan hadis ahad adalah hadis
yang diriwayatkan oleh satu orang atau lebih tetapi tidak mencapai syarat
menjadi hadis mutawatir. Dan dari dua jenis hadis ini menimbulkan perbedaan
dalam bagaimana ilmu untuk memahaminya. Hadis mutawatir bersifat Dharuriatau
ilmu yang bersifat praktis tidak membutuhkan pemikiran lagi karena diperoleh
dari pengamatan panca indra. Sedangkan hadis ahad yang bersifat Nadzari adalah
ilmu yang membutuhkan pemikiran karena dari segi periwayatannya hadis ini
dibawah dari hadis mutawatir yang secara logika banyak orang yang meriwayatkan
sehingga mustahil untuk berbohong sedangkan hadis ahad yang periwayatnya tidak
mencukupi untuk disebut sebagai mutawatir sehingga butuh pengkajian lagi atau
bisa di sebut dengan ilmu yang bersifat Nadzari.
ABSTRACT
In terms of hadith narrators or term news source, the hadith can be
divided into prayer part that hadith mutawatir and hadith ahad. The hadith
mutawatir hadith is narrated by many good narrator from thabaqat first (friend)
to the until thabaqat latter in (thabi'in thabi'it). on hadith mutawatir hadith
narrators and sanat more than ten people that operates culture and sense
Someone that much it impossible to review the narrated hearts lie. While the
hadiths ahad hadith is narrated by one people which ormore but not achieve
terms become hadith mutawatir. From prayer type traditions and singer raises differences
hearts for a review of how science to understand it. Mutawatir hadith is
dharuri or Practical science that is not because longer requires thought tin from
the observation of the senses. While hadith ahad that are Nadzari is science
needs thought because terms narrations of hadith singer under From the hadith
mutawatir operative logic many orangutans yang reported that it is impossible
to review lied while hadith ahad the narrator is not sufficient for the review
referred to as mutawaatir so it took assessment again orwith can be called
science that is Nadzari.
Keyword: Mutawatir,
Ahad, Hadis.
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Hadis adalah segala sesuatu yang berasal
dari Nabi SAW. Baik itu perkataan, perbuatan, diam, dan apapun itu yang berasal
dari nabi adalah hadists, selain itu juga segala ketetapan yang berhubungan
dengan ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Sebagai umat
islam yang meyakini keberadaan rasulullah dan Allah SWT. Selain bersandar pada hukum islam yang terdapat dalam al-quran
kita juga bersandar akan hadits-hadits Rasulullah SAW. Dan dalam ilmu hadits
itu ada yang pembagiannya dilihat dari segi kuanttasnya, yang bisa dikenali
dengan pembagian ilmu hadist mutawatir dan hadits ahad. Periwayatan adalah
orang yang mendapatkan hadis tersebut baik dari Rasululah langsung atau dari
sahabat.
Mngetahui hadits tersebut dirasa sangat
penting karena untuk mengetahui mana hadits yang dalam proses periwayatannya
diriwayatkan oleh banyak orang mana
hadits yang diriwayatkan hanya sedikit orang karena untuk mengambil refrensi
dari hadis itu harus tau mana hadis yang benar-benar shaheh dan mana yang tidak
sehingga tidak diragukan lagi untuk mengambil refrensi dari hadits tersebut.
Sehingga dlam makalah ini kami akan
mebahas tentang apa itu hadis mutawatir dan hadits ahad yang mana itu adalah
pembagian dari hadis ditinjau dari segi kuantitasnya atau dilihat dari
banyaknya yang meriwayatkan hadis tersebut.
PEMBAHASAN
A.
Hadis
Mutawatir
1.
Pengertian hadis mutawatir
Kata
mutawatir, secara bahasa merupakan isim fa’il dari kata al-tawatur
yang bermakna al-tatabu’ (berturut-turut), atau datangnya sesuatu secara
berturut-turut dan bergantian tanpa ada yang menyela. Dalam bahasa Arab
dikatakan tawatarol mathooru,
maksudnya hujan turun secra terus menerus. Dalam hal ini mutawatir mengandung
pengertian sesuatu yang bersifat kontinyu baik secara berturut-turut maupun
terus menerus tanpa ada hal yang menyela dan menghalangi kontinuitas itu.
Pengertian etimolugis ini, bila dikaitkan dengan hadis menunjukkan bahwa pada
hadis mutasatir itu antara periwayat satu dengan periwayat yang lainpada
generasi sebelum maupun dan sesudahnyaterjadi hubungan yang berturut-turut
runtun hingga tidak terputus-putus. Dikarenakan jumlah pada generasi cukup
banyak,
Secara istilah,
menurut Mahmud al-Tahhan, definisi hadis mutawatis adalah:
مارؤاة عدد كثئر تحئل العادة تؤا طوءهم علئ الكزب
“hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat
yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (tentang hadis
yang diriwayatkan)”.
Maksud definisi
tersebut, menurutnya, adalah hadis atau khabar yang diriwayatkan oleh para
periwayat yang banyak pada tiap Thabaqah (Tingkatan/generasi) sanatnya
yang menurut akal dan adat kebiasaan mustahil para periwayat itu sepakat untuk
membuat hadis yang bersangkutan. [1]
2.
Syarat-syarat
Hadis Mutawatir
Mengenai
syarat hadis mutawatir itu, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama
mutaakhirin. Ulama mutaqoddimin tidak membicarakan syarat bagi hadis mutawatir.
Menurut mereka, khabar mutawatir yang sedemikian sifatnya, tidak termasuk dalam
pembahasan ilmu isnad al-hadis, sebab ilmu itu membicarakan sahih atau tidaknya
suatu hadis, diamalkan atau tidaknya suatu hadis, dan juga membicarakan adil
atau tidaknya rawi, sedangkan hadis mutawatir tidak membicarakan masalah
tersebut. Bila suatu hadis mutawatir, maka wajib diyakini kebenarannya,
diamalkan kandungannya,dan tidak boleh ada keraguan serta bagi orang yang
mengingkarinya, dihukum kafir sekalipun diantara perawinya adalah orang kafir.
Sedangkan menurut ulama mutaakhirin dan ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan
sebagai hadis mutawatir bila memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Diriwayatkan
oleh sejumlah besar perawi
Hadis
mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak bersepakat untuk berdusta. Mengenai
masalah ini, para ulama ada beberapa pendapat, ada yang menetapkan jumlah
tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Menurut ulama yang tidak
mengisyaratkan jumlah tertentu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan
terhadap apa yang diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta,
sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih
berselisih mengenai jumlahnya.
Al-qadi
al-baqilani menetapkan bahwa sejumlah perawi hadis mutawatir sekurang-kurangnya
5 orang. Ia mengqiyaskan dengan jumlah nabi yang mendapat gelar ulul azmi. Sementara itu, astikhary
menetapkan bahwa yang paling baik, minimal 10 orang, sebab jumlah itu merupakan
awal bilangan banyak.
2. Adanya
keseimbangan antarperawi pada thabaqat (lapisan) pertama dengan thabaqat berikutnya.
Jumlah
perawi hadis mutawatir, antara thabaqat dengan thabaqat lainnya harus seimbang.
Dengan demikian, bila suatu sahabat hadis diriwayatkan oleh 20 orang
sahabat, kemudian diterima oleh 10
tabiin dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir, sebab jumlah peraeinya tidak
seimbang antara thabaqat pertama dengan thabaqat seterusnya.
3. Berdasarkan
tanggapan pancaindra
Berita
yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra.
Artinya, berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar merupakan hasil
pendengaran atau penglihatan sendiri.[2]
3.
Macam-macam
Hadis Mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam
Yakni: Mutawatirlafzhi,ma’nawi,dan
’amali. Dan adasebagianulama lain sepertiulamaushulfiqh. Membaginyamenjadi
2 jenis.Yakni :Mutawatirlafzhidanma’nawi.
1.
Hadits mutawatir lafdzi, yaitu hadits yang diriwayatkan
dengan lapaz dan makna yang sama serta kandungan hukum yang sama, contoh:
قل رسؤل الله علئة ؤ سلم من كزب علئّ فلئتبؤّأ مقعدهُ من
النار
Rasulullah bersabda , “barang siapa yang
sengaja berdusta atas namaku, meka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya
di api neraka”.
Menurur al-Bazzar, hadits ini
diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini
diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2.
Hadits mutawatir ma’nawi, yaitu hadis mutawatir yang berasal
dari berbagai hadis yang diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda, tetapi
jika disimpulkan mempunyai makna umum yang sama. Dengan kata lain hadits yang
maknanya sama tetapi lafadznya tidak.
Contoh hadits ma’nawi antara
lain hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW mengangkat tangannya ketika
berdo’a.
“Abu musa al-Asy’ari berkata
bahwa Nabi SAW tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdoa hingga
nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan doa dalam shalat istisqo’
(H.R Bukhari dan muslim)
Hadis seperti ini diriwayatkan dari
nabi sekitar seratus buah dengan redaksi yang berbeda-beda tetapi mempunyai
titik persamaan yakni keadaan Nabi saw mengangkat tangan pada saat berdo’a.
3.
Hadits mutawatir amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan
oleh Nabi saw, kemudian diikuti oleh para sahabat kemudian diikuti lagi oleh
tabiin, dan seterusnya, diikuti oleh generasi-kegenerasi sampai sekarang.
Contohnya hadits-hadits nabi tentang sholat dan jumlah rakaat, shalat Id,
shalat jenazah, dan sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di
kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir amali.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir
adalah sebagai berikut:
a)
Al-Azhar Al-Mutanatsiran fi Al-Akhbar A-Mutawatirah, karya As-Syuyuti
b)
Qathaf
Al-Azhar, karya As-Syuyuti merupakan
lanjutan karangan beliau
c)
Nazhm
Al-Mutanatsir min Al-Hadis Al-Mutawatir, karya
Muhammad bin Ja’far Al-Kattani
d)
Al-La’ali Al-Mutanatsirah fil Al-Ahaddis Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.[3]
4. Keberadaan Hadis Mutawatir
Keberadaan hadis mutawatir,
jumlahnya sangat sedikit bila dibandingkan dengan hadis ahad. Beberapa hadis
mutawatir yang populer, yaitu : hadis “al-Haudl”, hadis “al-Mashu Ala al-Khuffain”, hadis “Raf’u al-yadaini fi al-shalah”, hadis
“Nadldlara Allah Imraan” dan lain sebagainya.
5. Kitab-kitab terkenal tentang
Hadis Mutawatir
Beberapa ulama ilmu hadis berhasil
menghimpun hadis-hadis mutawatir dan menyusunnya dalam karangan tersendiri agar
menjadi referensi bagi para peneliti dan pencari ilmu. Kitab-kitab tersebut
antara lain :
a. Al-Azhaar
al-Mutanaatsirah fi al-Akhbar al-Mutaatirah, karya al – Suyuthiy. Kitab ini
disusun dengan bab-bab tertentu.
b. Qathfu
al-Azhar, juga karya al- Suyuthiy. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab di
atas.
c. Nadhmu
Mutanatsir min al- Hadis al- Mutawawaatir, karya Muhammad bin ja’far al- Khataniy.[4]
6. Kehujjahan Hadis Mutawatir
Pengetahuan
yang disampaikan pada hadis mutawatir, menurus Muhammad al-Shabbagh, harus
bersifat dharuri yang diperoleh dari pengamatan pancaindra. Hal ini
dimaksudkan agar berita yang disampaikan berdasarkan pada ilmu yang pasti bukan
berdasar prasangka dan bersifat apologis dan apriori. Dengan harapan,
bagaimana dinyatakan oleh Ibn hajar al-‘Asqalani, berita yang disampaikan oleh
para periwayat hadis itu dapat dilahirkan keyakinan pada diri orang-orang yang
mendengarnya tentang kebenaran isi berita tersebut. Menurut Ibn Taimiyah, orang
yang telah meyakini ke-mutawatir-an suatu hadis, wajib memercayai kebenaranya
dan mengamalkan sesuai dangan kandungan isinya. Sedang orang yang belum
mengetahui ke-mutawatir-annya
hendaklah kepada orang yang menyepakati hadis tersebut.
Dalam hadits mutawatir, para
ahli berbeda-beda dalam memberikan tanggapan, sesuai dengan latar belakang
disiplin ilmu yang dimiliki mereka masing-masing, diantaranya ialahAhli hadits mutaqaddimin,
tidak terlalu mendalam dalam memberikan bahasan, sebab hadits mutawatir itu
pada hakikatnya tidak dimasukkan ke dalam peembahasan masalah-masalah Ilmu
isnad yaitu ilmu mata rantai sanad, artinya sebuah disiplin ilmu yang hanya
membahas masalah shahih tidaknya, di amalkan dan tidaknya.Ilmu rijal al-hadits,
artinya semua pihak yang terkait dalam soal periwayatan hadits dan metode
penyampaian hadits. Oleh sebab itu, jika status hadits itu mutawatir, maka
kebenaran didalamnya wajib di yakini dan semua isi yang terkandung didalamnya
wajib di amalkan, sekalipun diantara perawinya orang kafir. [5]
7. Faedah Hadis Mutawatir
Hadis
mutawatir memberikan faedah ilmu dharuri,
yakni suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadis mutawatir
tersebut, hingga membawa pada keyakinan yang qathi’i ( pasti).
Ibnu
tamiyah mengatikan bahwa suatu hadis dianggap mutawati oleh sebagian golongan membawa
keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak
menganggap bahwa hadis tersebut mutawatir. Barang siapa yang telah meyakini ke-
mutawatir-an hadis yang diwajibkan untuk mengamalkan sesuai dengan tuntunannya.
Sebaliknya, bagi mereka yang belum
mengetahui dan meyakini ke-mutawatiran-nya, wajib baginya mempercayai dan
mengamalkan kewajiban mereka mengikuti ketentuan hukum yang disepakati oleh
ahli ilmu.
Para
perawi hadis mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai keadilan mapun
ke-dhabit-annya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana
telah ditetapkan di atas menjadikan mereka tidak mungkin sepakat melakukan
dusta. Para ulama darul dan juga imam nawawi dalam syarah muslim tidak
menetapkan syarat ‘’muslim’’ bagi para perawi hadis mutawatir. Ada juga
pembahasan ilmu hadis dilihat dari para perawi dan dari cara menyampaikan
periwayatannya, dijadikan dalam hadis mutawatir, kualitas para perawinya tidak
dijadikan sasaran pembahasan. Yang menjadi titik tekan dalam hadis mutawatir
ini adalah kuantitas perawi dan kemungkinan adanya kesepakatan atau tidak.[6]
8. sumber-sumber Hadis Mutawatir
Kitab
yang disusun khusus memuat hadis-hadis mutawatir lafzhi dan maknawi cukup
banyak, tetapi barangkali yang oaling komplet adalah kitab al-Suyuthi yang ia
nyatakan) “saya susun sebuah kitab yang belum ada duanya tentang hadis
mutawatir. Kitab itu kuberi judul al-azhar al-mutanatsirah fi al-akhbar
al-mutawatirah. Hadis-hadisnya aku susun berdasarkan bab-babnya, dan setiap
hadis disertai sanad-sanadnya. Kemudian kitab tersebut saya ringkas dalam satu juz
kecil dan kuberi judul Qathf al-Azhar.Teknik ringkasan yang aku gunakan
adalah dengan mengambil salah satu sanad dari salah seorang imam yang
mengeluarkannya, lalu aku datangkan sejumlah hadis yang diriwayatkan dengannya.
Di antaranya hadis tentang telaga kuringkas dari lima puluh orang sahabat
lebih, hadis tentang “Mengusap kedua sepatu”dari riwayat tujuh puluh orang
sahabat, hadis tentang “Mengangkat tangan dalam sholat” dari riwayat sekitar
lima puluh orang, dan hadis-hadis Nadhdharallahu imra’an sami’a maqalati dari
riwayat sekitar tiga piluh orang.”)
Karya
as-Suyuthi ini ditinjau kembali olah almuhaddits abu Abdillah muhammad bin
ja’far al-kattani dalam kitabnya Nazhm al-mutamatsir min alhadits al
mutawatir yang lebih di cetak dalam ukuran kecil. Kemudian setelah itu
datang al-ustadz syekh abdul aziz al-Gammari melakukan hal yang sama dalam
kitabnya Itahf Dzawil Fadha’il Al Musytamarah Fi Ma Maqa’a Min Al-Jayadah.
‘ala al-azhar al-mutanatsirah fi al hadits al mutawatir. Dalam kitab yang
disebut terakhir ini, ia menyebutkan jumlah hadis mutawatir yang benar.[7]
B.
Hadis
Ahad
1.
Pengertian
Hadis Ahad
Kata
ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka ahad atau khabar wahid berarti yang disampaikan oleh satu orang.
Adapun
yang dimaksud dengan hadis ahad menurut istilah banyak di definisikan oleh para
ulama, anatara lain sebagai berikut :
Khabar
yang numlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, bak
perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang memberikan
pengertian bahwa jumlah perawi tersebut
tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir.
Ada
juga ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara singkat yaitu :
Hadis
yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir
Sebagian
ulama mendefinisikan hadis ahad dengan hadis yang sanadnya sah dan bersambung
hingga sampai kepada sebenarnya (nabi), tetapi kandungannya memberikan
pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i dan yakin.
Dari
beberapa definisi diatas, jelaslah bahwa
disamping jumlah perawi hadis ahad
yang tidak mencapai jumlah petawi
hadis mutawatir, kandungannya pun
bersifat qath’i. Kecenderungan para
ulama mendefinisikan hadis ahad seperti itu karena mereka membagi hadis
berdasarkan njumlah rawinya, yang terbagi atas dua macam hadis yaitu : hadis mutawatir dan hadis ahad. Menurut mereka ( ulama yang disebut terakhir ini), hadis ahad
adalah :
Hadis
yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih, yang jumlahnya tidak
memenuhi persyaratan hadis masyhur dan hadis mutawatir.
Muhammad
abu zahrah mendefinisikan hadis ahad sebagai berikut
Tiap-tiap
khabar yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih yang diterima dari
rasulullah saw, dan tidak memenuhi persyaratan hadis masyhur.
Abdul
wahab khallaf menyebutkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh
satu, dua, atau sejumlah orang, tetapi jumlahnya tidak mencapai jumlah perawi
hadis mutawatir. Keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi hadis sampai
terakhir, dan sanad hadis ahad ini
tidak mendatangkan kepastian.
Jumhur ulama
sepakat bahwa hadis ahad yang tidak memenuhi ketentuan maqbul, hukumnya adalah
wajib. Abu hanifah, imam syafii, dan imam ahmad memakai hadis ahad bila
syarat-syarat periwayatannya yang sahih telah terpenuhi. Akan tetapi, abu
hanifah menetapkan syarat tsiqah dan
adil bagi perawinya, dan amaliahnya tidak menyalahi hadis yang diriwayatkan,
adapun imam malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadis ahad tidak
menyalahi amalan ahli madinah.
Golongan
qadariyah, rafidah, dan sebagian ahlu
zhahir menetapkan bahwa beramal
dengan dasar hadis ahad hukumnya tidak wajib. Sementara itu, al- jubai dari
golongan mu’tazilah menetapkan tidak
wajib beramal, kecuali berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang yang
diterima dari dua orang. Sementara ulam yang lain mengatakan tidak wajib
beramal, kecuali hadis diriwayatkan oleh empat orang dan diterima dari empat
orang pula.
Untuk
menjawab golongan yang tidak memakai hadis ahad
sebagai dasar beramal, ibnu qayyim mengatakan,’’ ada tiga segi keterkaitan
sunah dengan al-quran.
a) Kesesuaian
terhadap ketentuan yang terdapat dalam al-quran
b) Menjelaskan
maksud al-quran
c) MeZnetapkan
hukum yang tidak terdapat dalam al-quran.
Alternatif
ketiga itu merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh rasulullah saw, yang wajib
ditaati, lebih dari itu, ada yang menetapkan bahwa dasar beramal dengan hadis
ahad adalah al-quran,as-sunnah, dan ijmak.[8]
2.
Macam-macam
Hadis ahad
Ulama ahli hadis membagi hadis ahad menjadi dua, yaitu masy’hur
dan ghair masy’hur. Hadis ghaira masy’hur terbagi menjadi dua,
yaitu aziz dan gair aziz.
a.
Hadits
Masyhur
Secara bahasa, lafaz masyhur berasal
dari isimmaf ’ul,dari kata Syahara seperti:شهرتالأمر" "
(aku memasyhurkan sesuatu) yangberarti mengumumkan sesuatu atau dalam
pengertian laindiartikan Terkenal.Tenar.Familiar atau Populer. Sebuah hadis
dinamakan masyhur jika sudah tersebar luas di kalangan masyarakat. Ada ulama
yang berpendapat bahwa hadits masyhur adalah segala hadits yang sudah populer
dalam masyarakat sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali. Ulama hanafiyah
berpendapat bahwa hadis masyhur menimbulkan ketenangan hati, dekat kepada
keyakinan dan wajib diamalkan. Akan tetapi yang tidak mengamalkannya tidak
dikatakan kafir.
Hadis masyhur ada yang bersatatus
shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang
memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya.
Sedangkan hadits masyhur yang
berstatus hasan adalah hadis yang telah memenuhiketentuan-ketentuan hadis
hasan, baik mengenai sanad maupun matannya.
Adapun hadis masyhur yang dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi syarat
hadis-hadis shahih dan hasan, baik pada sanad maupun matannya.
Sebua hadis mashur yang ditetapkan
statusnya kadang-kadang bukan untuk menetapkan kriteria hadis seperti tersebut
diatas, yakni jumlah rawi yang meriwayatkannya, akan tetapi diterapkan pula
untuk memberikan sifat suatu hadits yang dianggap populer menurut ahli tertentu
atau dikalangan masyarakat tertentu, dari sisni timbul suatu asumsi bahwa
dilihat dari jumlah riwayatnya, satu hadisi tidak dapat di katakan
sebagai masyhur, tetapi bila dilihat dari kepopulerannya ia tergolong sebagai hadis
masyhur.
Dilihat dari aspek yang terakhir
ini, hadis masyhur dapat digolongkan ke dalam;
1)
Masyhur
dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah saw
membaca doa qunut sesudah ruku’ selama satu bulan penuh berdoa atas
golongan ri’il dan Zakwan. (H.R Bukhari dan Muslim dan lain-lain).
2)
Mashur
dikalangan ulama ahli hadis, ulama-ulama dalam bidang keilmuanlain, dan juga
dikalangan orang awam.
3)
Hadits
yang masyhur di kalangan ahli fiqhi (fuqahaa’), contoh:
Hadits:
«أَبْغَضُ
الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى الطَّلَاقُ»
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah
ta’aalaa adalah talak”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu
Majah dalam kitabnya As-Sunan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Abu
Hatim, Ad-Daruquthniy, dan Al-Baehaqiy menghukumi hadits ini lemah.
4) Hadits yang masyhur di kalangan ulama ushul fiqh,
contoh:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
( رُفِعَ
عَنْ أُمَّتِي الخَطأُ والنِّسْيانُ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيهِ )
“Diangkat (dosa) dari umatku jika melakukan
kesalahan, lupa, atau apa yang dipaksakan padanya”.
Hadits ini diriwayatkan dengan lafadz yang
bervariasi dari Abdullah bin Abbas, Abu Dzar, Abu Ad-Dardaa’, Ummu
Ad-Dardaa’, Tsauban, Ibnu Umar, Uqbah bin ‘Amir, dan Abu Bakrah radhiyallahu
‘anhum.Disahihkan oleh Al-‘Uqailiy, Al-Hakim, Al-Baehaqiy, Adz-Dzahabiy,
Al-Haetsamiy, An-Nawawiy, dan syekh Albaniy dalam kitabnya Al-Irwa’ no.82.
5) Hadits yang masyhur di kalangan ulama nahwu (ahli
tata bahasa arab), contoh:
Hadits:
نِعْمَ الْعَبْدُ صُهَيْبٌ، لَوْ لم يخف للَّه لَمْ
يَعْصِهِ
“Sebaik-baik hamba Allah adalah Suhaib, kalaupun ia
tidak tidak punya rasa takut kepada Allah maka ia tetap tidak akan
mendurhakainya”.
Hadits ini sangat lemah, tidak punya sanad (laa
ashla lahuu). Lihat silsilah hadits dha’if karya syekh Albaniy no.1006.
6) Hadits yang masyhur di kalangan orang banyak,
contoh:
Hadits Abu Mas’ud Al-Anshariy radhiyallahu ‘anhu;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ
مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ» [صحيح مسلم]
“Barangsiapa yang menunjuki seseorang pada suatu kebaikan
maka ia mendapatkan pahala seperti pahala yang melakukannya (atas
petunjuknya)”. [Sahih Muslim]. [9]
Dan hadisالمسلم من
سلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر من هاجر ما حرم الله
(orangislamadalah yang menyelamatkan orang lain daribahayalisandanperbuatannya,
dan orang muhajiradalah orang yang menyingkirihal yang diharamkanoleh Allah)
adalahmasyhurmenurutahlihadisdanahlifiqh.
Derajathadismasyhurtidaksetinggimutawatir.Kalauriwayatmutawatirmendatangkanilmuyaqin,
makariwayathadismasyhurtidakdemikian, tetapimembuathatituma’ninah
,karenamembuat orang cenderungyakinbahwainformasinyaberasaldariNabi.
Namundemikian, mengingkarihadismasyhurtidaktergolongkafir.[10]
Di antara kelompok Hadis masyhuradalah
hadis mutawatir yang hanya populer,
misalnya, dalam disiplin ilmu fiqih dan ushul fiqih, di mana hadis itu tidak
pernah disebutkan secara khusus oleh ahli hadis. Hadis ini seperti hadis yang
dinukil oleh sesorang yang memperoleh ilmu dengan kejujuran, sesuai kebutuhan
dari orang-orang yang selevel dengannya, mulai dari awal sanadnya sampai akhir
sanadnya.[11]
7) Hadits yang masyhur di kalangan ahli pendidikan
(adab), contoh:
Hadits:
أدَّبَنِي رَبِّي فأَحْسَنَ تَأدِيبِي
“Tuhankulah yang mendidikku, maka Ia mendidikku
dengan baik”.
Makna hadits ini sahih, tapi tidak ada diketahui
sanadnya yang sahih. Lihat silsilah hadits dha’if karya syekh Albaniy no.72.
b.
Hadits Ghair Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits
ghair masyhur menjadi dua yaitu aziz dan gharib. Aziz menurut bahasa merasal dari kata ‘aza –
ya’azzi adalah “sedikit atau jarang. Menurut istilah hadis aziz adalah hadis
yang perawinya tidak kurang dari dua orang semua tingkatan sanad.
Mahmud al-thahan menjelaskan bahwa
sekalipun dalam sebahagian thabagat terdapat perawinya tiga orang atau lebih,
tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqt terhadap satu thabaqat yang jumlah
perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa
hadis aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi”.
Dari pengertian di atas dapat
dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadis aziz bukan hanya yang
diriwayatkan dua orang pada tiap tingkatannya, tetapi selagi ada tingkatan yang
diriwayatkan oleh dua orang rawi, maka hadis tersebut tetap dapat dikategorikan
sebagai hadits aziz.[12]
3.
Kehujjahan
Hadis Ahad
Jumhur ulama baik dari
kalangan sahabat, tabi’in, serta para ulama sesudah mereka dari kalangan ahli
hadits, ahli Fiqh, dan ahli ushul, berpendapat bahwa hadits ahad yang
sahih dapat dijadikan hujjah yang wajib diamalkan. Dasar argumentasi kewajiban
beramaldengan hadis ahad itu adalah kewajiban syar’i bukan kewajiban akli.
Hadits Ahâd menurut para ahli hadits dan mayoritas ulama muslimin, wajib
diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya hadits itu. Namun,
Ada golongan atau orang yang berkeyakinan bahwa Hadits Ahâd bukan hujjah
(argumentasi) dalam hal 'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahâd itu bukan
sumber yang pasti, Dan menganggap tidak dapat memberikan khobar pasti yang
bersifat keilmuan dan yaqin. Keyakinan seperti ini merupakan pendapat yang
sangat salah dan bathil.Nah saudaraku, berikut ini penjelasan tentang
berahujjah atau ber argumentasi dengan Hadits Ahad.Dalam hal ini, terdapat 3
pendapat.
Pendapat Pertama. Hadîts Ahâd dapat memberikan informasi atau kabar yang
pasti bersifat ilmu dan yaqin secara mutlak. Pendapat tersebut jelas-jelas
tidak benar dan tidak masuk akal. Sebab bagaimana mungkin kita bisa
membayangkan ada orang berakal yang membenarkan semua berita yang didengarnya.
Padahal kita tahu, bahwa ada sekelompok manusia yang dikenal hobi berbohong,
dan suka lalai dalam meriwayatkan hadits.Pendapat Kedua, Hadîts Ahâd tidak
dapat memberikan informasi yang pasti atau tidak bersifat ilmu dan yaqin secara
total (total).
Dan Pendapat KetigaHadîts Ahâd memberikan informasi yang pasti (bersifat
ilmu dan yaqin) secara bersyarat.Inilah pendapat yang benar. Yang dimaksud di
sini adalah Khabar (berita) yang dipertegas dengan dalil-dalil penguat. Dalil
penguat itu bisa jadi terkait dengan khabar itu sendiri, bisa juga terkait
dengan pembawa berita dan bisa jadi terkait dengan kedua-duanya yakni
khabar dan pembawa khabar.
Saudaraku yang budiman, pembahasan kita selanjutnya, adalah
argumentasi-argumentasi pendapat ketiga, yakni pendapat bahwa hadits ahad
memberikan informasi yang pasti dan bersifat ilmu dan yakin.
Dalil-dalil (argumentasi-argumentasi) bagi pendapat ketiga ini banyak
sekali. Diantaranya:
Pertama. Bahwa membeda-bedakan antara Hadîts Ahâd dengan Hadits Mutawatir
di dalam menginformasikan ilmu, merupakan peristilahan (term) yang dibuat-buat,
tidak didukung oleh dalil dari Kitabullah, sunnah Rosul-Nya. Juga tidak pernah
dikenal oleh para shohabat ataupun para Tabi'in. Demikian juga, membeda-bedakan
antara masalah-masalah 'aqidah dan hukum di dalam berargumentasi dengan Hadîts
Ahâd merupakan perbuatan bid'ah yang sesat atau mengada-ada, yang tidak
pernah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu (salafush sholeh). Ahlus-sunnah,
dari golongan para shahabat rodhiyallohu anhum, tabi'in, tabi'ut tabi'in dan
ahl al-hadits senantiasa berhujjah atau berargumetasi dengan hadits-hadits ahad
di dalam menetapkan masalah asmâ` Alloh, shifat Alloh, Qodar, hukum-hukum, dan
lain sebagainya.
Rosulullah sendiri membenarkan berita, informasi yang disampaikan oleh para
shohabat beliau, walaupun hanya seorang. Para shahabat, satu sama lainnya juga
saling membenarkan. Demikian pula dengan para Tabi'in, mereka membenarkan
berita yang dibawa oleh para shohabat dan sejawat-sejawat mereka. Tidak ada
seorang pun dari mereka yang mempersoalkan hadits ahad. Oleh karena itu, kita
tegaskan, bahwa hadits Ahâd memberikan informasi pasti dan bersifat ilmu dan
yaqin secara bersyarat.
Argumen yang kedua, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah
mengirimkan para shohabatnya kepada para raja dan penguasa untuk menyampaikan
risalah Robb-nya secara orang per-orang, yang disebut Ahâd. Andaikata hadits
ahad yang mereka bawa, tidak memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan
dan yaqin), tentu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak akan pernah
mengirimkan mereka secara perorangan seperti itu.
Kemudian ketiga. Ketika ada seorang yang memberitakan kepada kaum Muslimin,
saat mereka sedang sholat shubuh (atau shalat lainnya) di Quba`. Bahwa kiblat
telah dialihkan ke arah Ka'bah, mereka serta-merta menerima khabar tersebut.
Lalu mereka menghadap ke Kiblat, sebagai pemenuhan terhadap perintah Alloh
Ta’ala dan Rosul-Nya yang disampaikan kepada mereka. Sekalipun hanya melalui
jalur satu orang. Berhujjah Dengan Hadits Ahad Di Dalam Masalah 'Aqidah kaum
Mu'tazilah tidak menerima Hadîts Ahâd di dalam masalah 'Aqidah. Kecuali jika
sejalan dengan akal atau logika, maka
Keempat, adanya hadits-hadits dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam
tentang tindakan beliau mengirimkan para utusan dan Da'i beliau ke berbagai
pelosok negeri. Demikian juga kepada para raja, kisro, kaisar dan selain mereka
dalam rangka menda’wahi mereka kepada Alloh Ta’ala. Hal pertama yang
disampaikan oleh mereka adalah masalah 'Aqidah.
Diantara indikasinya adalah sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam kepada
Mu'adz bin Jabal ketika beliau hendak mengutusnya ke negeri Yaman:
4. إنك تقدم على قوم أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه عبادة الله –عزوجل
“Sesungguhnya
engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli Kitab, maka hendaklah hal
pertama yang engkau da’wahi (ajak mereka) (adalah) agar beribadah kepada Allah
'Azza Wa Jalla."[13]
5.
Kedudukan
Hadis Ahad
Bila
hadis mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW. maka
tidak demikan halnya hadis ahad. Hadis ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah
SAW, tetapi diduga (zanni) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain bahwa
hadis ahad mungkin benar berasal dari beliau.
Karena
hadis ahad itu tidak pasti (gairuqat’i atau gairumaqtu’), tetapi
diduga (zanni) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadis ahad, sebagai
sumber atau sumber ajaran Islam, berada di bawah kedudukan hadis mutawatir. Ini
berarti bahwa bila suatu hadis, yang termasuk kelompok hadis ahad bertentangan
isinya dengan hadis mutawatir, maka hadis tersebut ditolak, dan dipandang
sebagai hadis yang tidak berasal dari Rasulallah SAW.
Bila
diperinci lebih lanjut, kedudukan hadis-hadis ahad itu berbeda-beda, sejalan
dengan perbedaan taraf dugaan atau taraf kemungkinannya berasal dari Rasulullah
SAW. Sebagian hadis-hadis tersebut lebih tinggi kedudukannya dari sebagian
hadis yang lain, kendati semuanya sama-sama termasuk hadis ahad. Hadis ahad itu
ada yang dinilai sahih, ada yang dinilai hiasan, dan ada pula yang dinilai
daif. Kedudukan hadis sahih sahih lebih tinggi daripada hasan, dan kedudukan
hadis hasan lebih tinggi daripada hadis daif.[14]
C.
Perbedaan
Hadis Mutawatir dengan Hadis Ahad
1. Dari
segi jumlah rawi, hadis mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya
sangat banyak pada setiap tingkatan
sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil mereka sepakat untuk berdusta,
sedangkan hadis ahad diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang menurut adat
kebiasaan masis memungkinkan mereka untuk sepakat berdusta.
2. Darisegi
pengetahuan yang dihasilkan, hadis mutawatir menghasilkan ilmu qat’i (pasti)
atau ilmu dariru (mendesak untuk diyakini) bahwa hadis itu sungguh-sungguh dari
Rasulallah sehingga dapat dipastikan kebenarannya, sedangkan hadis ahad
menghasilkan ilmu zanni (bersifat dugaan) bahwa hadis itu berasal dari
Rasulallah SAW. sehingga kebenarannya masih berupa dugaan pula.
3. Dari
segi kedudukan, hadis mutawatir sebagai sumber ajaran agama Islam memiliki
kedudukan yang lebih tinggi daripada hadis ahad. Sedangakan kedudukan hadis
ahad sebagai sumber ajaran Islam berada di bawah kedudukan hadis mutawatir.
4. Dari
segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadis
mutawatir mustahil bertentangan dengan keterangan ayat dalam Al-Quran, sedangkan
keterangan matan hadis ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan
keterangan ayat Al-Quran. Bila dijumpai hadis-hadis dalam kelompok hadis ahad
yang keterangan matan hadisnya bertentangan dengan keterangan ayat Al-Quran,
maka hadis-hadis tersebut tidak berasal dari Rasulallah. Mustahil Rasulallah
mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam
Al-Quran.[15]
PENUTUP
KESIMPULAN
Hadis nabi dilihat dari segi
kuantitasnya sanad dapat diklasifikasikan menjadi mutawatir dan ahad, kajian
tentang hadis mutawatir dan syarat-syaratnya, menurut Muhammad Ajjaj al-Khathib,
lebih banyak dibahas oleh ahli ushul fiqh dari pada oleh ahli hadis. Karena
bukan bagian dari ilmu sanad yang menjelaskan tentang sahih tidaknya suatu
hadis, apakah hadis itu dapat diamalkan atau harus ditinggalkan, dari segi
kualitas dan kapasitas para periwayat hadis, ataupun metode penyampaian dan
penerimaan hadis (shighah al-ada). Hal ini dikarenakan pada hadis
mutawatir tidak dilakukan pembahasan tentang keberadaan, kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat
hadis.tetapi harus diamalkan tanpa adanya penelusuran pada bidang-bidang itu.
Menurut al-iraqi, hadis mutawatir dibahas oleh ulama ushul al-fiqh dan
ulama fiqh sedangkan ulama hadis tidak banyak pembahasannya secara
khusus, dan kalaupum mengkajinya, hadis mutawatir bersamaan dengan hadis masyhur.
Sungguhpun demikian, tidak berarti
bahwa masalah hadis mutawatir ini sama sekali tidak menjadi perhatian ulama
hadis. Sebagian mereka mengakaji tentang definisi, kreteria, dan syarat-syarat,
pembagian dan klasifikasi, serta kehujjahan hadis mutawatir itu. Sementara
hadis ahad yang terdiri dari hadis mashir, aziz, dan gharib banyak dibahas oleh
ulama hadis karana melibatkan keberadaan sanad terutama dalam rangka untuk
mengetahui nilai kehujjahannya. Dengan kata lain, ketersambungan sanad, keberadaan, kualitas
pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat hadis baik itu sanad maupun matan hadis, yang
bersangkutan sehingga dapat ditentukan apakahsuatu hadis dapat diterima untuk
dijadikan hujjah ataupun tidak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sulaiman,
Noor PL. 2008. Antologi Ilmu Hadits.
Jakarta : Gaung Persada Press.
2. Thahhah,
Mahmud. 2007. Intisari ilmu Hadits.
Malang : UIN-Malang Press.
3. Ahmad,
Muhammad dan M. Mudzakir. 2004. Ulumul
Hadis .Bandung : CV pustaka Setia.
4. Zuhri,
Muhammad. 2003.Hadis Nabi .
Yogyakarta : PT Tiara Wacana.
5. Idri.
2010. Studi Hadis. Jakarta : Prenada
Media Group.
6. Sahrani,
Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor :
Ghalia Indonesia.
7.
Nuruddin.
2012.ulumul Hadis.Bandung: Remaja Rosdakarya.
Catatan:
1. Makalah
ini TIDAK sesuai dengan format acuan.
2. Penulisan
footnote banyak yang salah.
3. Banyak
pembahasan yang bertumpuk, tolong dirapikan.
4. Perujukan
masih sangat minimalis, membuat spekulasi adanya plagiasi.
5. Penulisan
makalah agak kacau, membuat pembaca tidak dapat fokus.
[1]Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010) hlm 130-131
[2]sohari
sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor :
Ghalia Indonesia, 2010) hlm.84-87
[3]M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta : Gaung Persada
Press, 2008) hlm 88-90.
[4]Mahmud
Thahhah, Intisari Ilmu hadits, (Malang
: UIN-Malang Press, 2007), hlm 35.
[5]Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010) hlm
139-140.
[6]sohari
sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor :
Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 90-91.
[8]sohari
sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor :
Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 91-93
[9]M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta : Gaung Persada
Press, 2008) hlm 90-94.
[10]Muh. Zuhri, Hadis Nabi,
(Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya, 2003) hlm : 85-86
[11] Imam Al-Nawawi, Dasar-dasar Ilmu Hadis. (Jakarta :
Penerbit Pustaka Firdaus, 2001) hlm 115.
[12]M. Noor Sulaiman PL, Antologi
Ilmu Hadits (Jakarta : Gaung Persada Press, 2008) hlm 94.
[13]Idri, Studi
Hadis, (Jakarta : Prenada Media Group, 2010). Hlm 153-155.
[14]Muhammad
ahmad dan Muhammad Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2004)
hlm : 97-98
[15]Muhammad
ahmad dan Muhammad Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2004)
hlm : 98-99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar