Rabu, 12 April 2017

Hadis dilihat dari Aspek Kualitas (P-IPS D Semester Genap 2016/2017)




HADIS DILIHAT DARI ASPEK KUALITAS

Aulia fahmi, Salma Madaeni, Farah Salma Nur Faizah
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas D Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Malang Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
This article discusses the Hadith classification of the quality aspect, meaning the hadith contains valid, the levels of the hadeeth, understanding hasanhadeeth, various hadith hasanhadeeth and understanding dha'if. Strong and weak hadith can be seen from the Matan and sanadnya. Hadith diklasifikasiakan can be hadeeth if it meets certain syarat2, as well as hasanhadeeth and dha'if. Hadith divided into two groups, namely Maqbool& Hadith HadithMardud. The meaning of the hadith HadithMaqbool is eligible for postulated in the formulation of the law or to do good with it. Maqbool hadith is composed of Hadith Sahih and Hadith Hasan. While the definition of Hadith Mardud is a Hadith that do not meet the requirements qabul and Hadith Mardud named also by Hadit s Dha'if.

Abstrak
Artikel ini membahas tentang klasifikasi Hadits dari aspek kualitasnya, berisikan pengertian hadits sahih, tingkatan-tingkatan hadits shahih, pengertian hadits hasan, macam-macam hadits hasan dan pengertian hadits dha’if.  Kuat dan lemahnya hadits bisa dilihat dari matan dan sanadnya. Hadits bisa diklasifikasiakan menjadi hadits shahih jika memenuhi syarat2 tertentu, begitu juga dengan hadits hasan dan dha’if. Hadits terbagi menjadi dua golongan, yaitu Hadits Maqbul & Hadits Mardud. Yang dimaksud dengan Hadits Maqbul adalah hadits yang memenuhi syarat untuk diterima sebagai dalil dalam perumusan hukum  atau untuk beramal dengannya. Hadits Maqbul ini terdiri dari Hadits Shahih dan Hadits Hasan. Sedangkan yang dimaksud dengan Hadits Mardud adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat qabul, dan Hadits Mardud dinamai juga dengan Hadits Dha’if.
Keyword: hadits shahih, hadits hasan, hadits dha’if
Pendahuluan
            Dalamsumberhukum Islam, haditsmenempatihukumkeduasetelah Al-Qur’an.Definisihaditsmenurutulama’ haditsadalahperkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir) dansifat-sifatnabi. Para sahabat, ketikaRasulullah saw telahwafat, maka para sahabatmerujukpadahadits. Hal itudilakukanjikasudahtidakmenemukanjawabanpada Al-Qur’an.haditsdiklasifikandariaspekkuantitasdankualitasnya. Karna status dankualitasnyaitu, makahaditstidakterjamindapatterhindardariintervensi-intervensiluar yang bersifatdestruktif, terutamadenganadanyausaha-usahauntukmemalsukannya.Untukitu, diperlukanpenguasaanilmu yang dapatmembantumemverfikasi mana hadits-hadits yang benar-benardatangdariNabi (haditsshahih), dan mana hadits yang bukanberasaldariNabi (haditsdhaif).
A.    Hadis Shahih
PengertianHadisShahih
Shahih menurut bahasa berarti sehat, lawan dari qiem dan dapat pula berarti haq lawan dari bathal.
            Sedang menurut pengertiannya ialah:
هؤ ما ا تصل سند ه بنقل العد ل الضا بط عن مثله و سلم من شذ و ذ و علة قا د حة
“yakni suatu hadits yang bersambung-sambung sanad-nya, dinukilkan oleh orang yang adil lagi dlabith dari orang yang semisal itu (yakni orang yang adil lagi dlabith) dan selamat dari syadz serta dari ‘illat qadihah (cecat yang dapat mencecat hadits itu)”.
Dan Ibnu Hajar Al-Asqalany memberikan definisi hadits shahih:
ما نقله عد ل تا م الضبط متصل مسند غير معلل ولا شاذ
“yaitu suatu hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil lagi sempurna kedlabithannya, bersambung-sambung sanadnya tidak ada cecat serta tidak syadz (menyalahi riwayat yang lebih rajih)”.
Dari kedua definisi tersebut di atas, maka untuk dapat dikatakan hadits shahih, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Ittishalus sanad (bersambung-sambung sanadnya).
Ittishalus sanad artinya bersambung-sambung sanadnya mulai dari awal sanad sampai dengan akhir sanad tidak boleh ada yang putus/gugur perawinya. Sebagaimana contoh hadits:
ا نما الا عمل با لنيا ت
Tersebut di atas, maka Imam Bukhari menerima langsung dari Al Humaidi yang Humaidi ini menerimanya dari Sufyan dan seterusnya sampai kepada Nabi saw. Jadi mulai dari Imam Bukhari (sebagai mukharrij) sampai dengan Nabi saw. Sanadnya merupakan mata rantai yang tidak terputus. [1]
Seorang perawi dengan perawi hadis di atasnya atau perawi di bawahnya terdapat pertemuan langsung (liqa) atau adanya pertautan langsung dalam bentuk relasi guru-murid, mulai dari awal hingga akhir sanad.[2]
2.      Para perawi adil
Term’ adalah (adil) secara etimologi berarti pertengahan, lurus, condong kepada kebenaran. [3]Pengertian adil, di samping orang-orang itu harus muslim, baligh, dan berakal sehat para ulama’ berbeda pendapat tentang sifat yang lain harus ada.[4]
Menurut Ar-Razi, keadilan ialah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertakwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang menodai muru’ah,  seperti makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang bukan disediakan untuknya, dan bergurau berlebih-lebihan.
Menurut Ibn As-Sam’ani, keadilan harus memenuhi syarat:
a)      Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat;
b)      Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun;
c)      Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat mengugurkan iman dan mengakibatkan penyesalan;
d)     Tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.
Menurut Muhyi Ad-Din ‘Abd Al-Hamid, syarat keadilan rawi itu adalah:
a)      Islam, maka periwayatan orang kafir tidak diterima;
b)      Mukallaf, maka periwayatan anak yang belum dewasa menurut pendapat yang lebih shahih, tidak diterima;
c)      Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seorang fasik dan memiliki cacat pribadi.
Pengertian dan ketentuan adil dalam periwayatan berbeda dengan adil dalam kesaksian. Dalam persaksian (syahadah), dikatakan adil jika terdiri atas dua orang laki-laki yang merdeka. Adapun dalam periwayatan dapat dikatakan adil cukup seorang saja, baik orang perempuan, budak, atau merdeka.[5]
3.      Para perawi dlabith
Dlabith secara etimologi memiliki arti menjaga sesuatu.[6] Dlabith artinya orang yang hafal serta teliti sehingga ia hafal apa yang ia dengar dan ia dapat mengeluarkannya dengan mudah bilamana dikehendakinya. Jadi mereka mempunyai tiga fungsi otak yang baik yakni:
a)      Dalam retention, (mengecamkan)
b)      Remembering, (mengingat)
c)      Recalling, (mereproduksikan kembali)
Pengertian dlabith sebagaimana tersebut dinamakan dlabith shadran. Selain dlabith shadran adapula dlabith kitaban maksudnya cukup bersungguh-sungguh dan berhati-hati di waktu menuliskan apa yang dengarnya, terhindar dari kekliruan atau salah, kemudian ia memeliharanya tulisan itu dengan baik-baik. Sehingga di waktu ia hendak menyampaikannya tulisan tersebut kepada orang lain, masih tetap seperti keadaan semula. Ibnu Hajar Al ‘Asqalany menjelaskan sebagai berikut:
ضبط صدروهو ان يشبت ما سمعه بحيث تتمكن من استحضا ره و ضبط كتا ب وهو صيا نة لد يه منذ سمع فيه و صححه الي ان يؤ د ى مته  [7]
Adapun unsur-unsur dlabith adalah:
a)      Tidak pelupa;
b)      Hafal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya apabila ia memberikan hadis dengan hafalan, dan terjagakitabnya dari kelemahan apabila ia meriwayatkan hadis dengan kitabnya; dan
c)      Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya, dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud apabila ia meriwayatkan hadis menurut maknanya saja. Rawi yang adil dan dhabith disebut tsiqat.[8]

4.      Terhindar dari kecacatan
Kata ‘illat secara lughawi berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukkan. Adapun dalam terminologi ilmu hadis, ‘illat  didefinisikan sebagai sebuah hadis yang di dalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak keshahihan hadis yang secara lahir tampak shahih. Di dalam konteks ini, Ibn Shalah mendefinisikan ‘illat sebagai sebab tersembunyi yang merusak kualitas hadis, karena kebradaanya menyebabkan hadis yang pada lahirnya berkualitas shahih menjadi tidak shahih lagi. Sedangkan Ibn Tamimiyah menyatakan bahwa hadis yang mengandung ‘illat adalah hadis yang sanadnya secara lahir tampak baik, namun ternyata setelah diteliti lebih lanjut, di dalamnya terdapat rawi yang ghalt (banyak melakukan kesalahan), sanadnya mawquf atau mursal, bahkan ada kemungkinan masuknya hadis lain pada hadis tersebut.[9]
5.      Terhindar dari kerancuan
Dalam terminologi ilmu hadis, terdapat tiga pendapat berkenaan dengan definisi syadz. Namun dari ketiga pendapat tersebut, yang paling populer adalah pendapat yang dimajukan al-Syafi’i, yang mengatakan bahwa hadis baru dinyatakan mengandung syadz bila hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqah bertentangan ddengan hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang juga bersifat tsiqah. Dengan demikian, hadis , hadis syadz itu tidaklah disebabkan oleh kemenyendirian individu perawi dalam sanad hadis (fard mutlaq), dan juga tidak disebabkan oleh kualitas perawi yang tidak tsiqah.[10]
Kalau hadits itu sudah memenuhi lima syarat sebagaimana tersebut di ats, Jumhur Ulama’ sudah sepakat menetapkan bahwa hadits itu merupakan hadits shahih. Hanya sebagian ulama’ masih mensyaratkan bahwa hadits shahih itu paling sedikit mempunyai dua sanad sehingga tiap thabaqat harus paling sedikit dua orang perawi, yang berpendapat demikian anatara lain : Abu ‘Ali Al Jubai dari golongan Mu’tazilah. Yang demikian itu sama dengan tindakan khalifah Umar bin Khattab terhadap orang yang meriwayatkan hadits diharuskan ada saksi orang lain yang juga menerima hadits itu dari Nabi saw. Hal ini dilakukan kalau sahabat yang meriwayatkan itu bukan sahabat yang benar-benar telah di yakini oleh beliau seperti sahabat Ali r.a., maka Umar tidak minta saksi kepada orang lain. Tetapi Jumhur Ulama’ tidak mengaharuskan/mensyaratkan minimal dua orang perawi tersebut, sehingga kalau lima syarat tersebut telah terpenuhi maka hadits itu dinyatakan sebagai hasitd shahih. Jumhur Ulama’ berbeda pendapat bagaimana kalau salah satu syarat tersebut ada yang tidak terpenuhi, apakah mutlak tidak dapat dikatakan sebagai hadits shahih ataukah masih ada kemungkinan untuk dapat dikatakan sebagai hadits shahih dan dipakai menjadi hujjah. Sebagian berpendapat mutlak tidak dapat diterima sebagai hadits shahih, dan sebagian lagi masih mungkin dapat dinyatakan sebagai hadits shahih, kalau syarat yang tidak/kurang dipenuhi itu tidak bergitu berat. Seperti hadits mursal shahaby (hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri perbuatan/perkataan Nabi saw.), secara formil hadits mursal shahaby ini tidak memnuhi syarat pertama dari syarat keshahihan suatu hadits karena tidak ittishalus sanad. Namun sebagian ulama’ masih dapat menerima hadits mursal shahaby itu sebagai hadits shahih. Asal syarat empat yang lain terpenuhi. Demikian pula dalam definisi Ibnu Hajar tersebut, bahwa semua perawi harus sempurna kedlabithannya (taamudi dlabthi), bagaimana kalau ada salah seorang perawi yang kurang sedikit kedlabithannya (qalilud dlabthi), secara formil tidak memenuhi syarat yang ke 3, maka hadits tersebut paling tidak dapat dikatakan hadits hasan, dan hadits hasan itu kalau banyak jalnnya dapat meningkat menjadi shahih yakni shhaih lighairi.[11]
Tingkatan-tingkatan hadis shahih:
Jumhur ulama’ membagi derajat/martabat hadits shahih dengan melihat kepada kitab, menjadi 7 (tujuh) tingkat/ martabat, yang di atas lebih tinggi derajatnya disbanding dengan yang ada di bawahnya. Tujuhtingkatantersebutialah:
1.      Hadits yang terkenaldengannama “mutafaqqun ‘alaih’ yaituhadits yang diriwayatkanoleh Imam Bukhari dan Muslim. Kitab yang mengumpulkanhadits-haditsmuttafaqun ‘alaihantara lain kitab: ‘Umdatulahkam yang disusunoleh Abdul Ghani.
2.      Hadits-hadits yang diriwayatkanoleh Imam Bukhari.
3.      Hadits-hadits yang diriwayatkanoleh Imam Muslim. MenurutIbnuHajar, pembagian/urutantersebut di atassebenarnyatidakberlakusecaraotomatis, tetapiberlakupadaumumnya, saja. Sebabhaditsshahih yang diriwayatkanoleh Imam Muslim denganmelalui sand yang banyakatausesuaidenganhadits-hadits yang diriwayatkanolehahli-ahlihadits yang lain yang jugamenentukansyarat-syaratkeshahihan yang sama, makatidakdapatdikatakanhadits yang diriwayatkanoleh Imam Muslim tersebutlebihrendahdaripadahadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dengancatatanbahwa Imam Bukhorihanyameriwayatkanhaditstersebutdengansatusanadsajadantidakadaahlihadits yang lain yang meriwayatkanhaditstersebut.
4.      Hadits-hadits yang diriwayatkanolehulamahadits (selain Imam Bukhoridan Imam Muslim) yang mu’tamaddenganmemakaisyarat Bukhari. [12]
Imam Al-Nawawimengatakan, bahwa yang dimaksudmengikutisyarat-syaratshahih Al-Bukhari dan Muslim ialahapabilarawi-rawisanadhadisituterdapat di dalamshahih Al-Bukhari dan Muslim, karena Al-Bukhari dan Muslim sendiritidakmenyebutkandenganjelastentangsyarat-syaratshahihnya, baikdalamkeduakitabshahihnyamaupundalamkitabnya yang lain, (makarawi-rawi yang terdapat di dalamkeduakitabshahihitumenjadistandar). [13]
5.      Hadits yang diriwayatkanolehulama’ haditslain yang mu’tamaddenganmemakaisyaratbukhari.
6.      Hadits yang diriwayatkanolehulama’ haditslain yang mu’tamaddenganmemakaisyarat Muslim. MenurutIbnuHumamdalamkitabnyaSyarhulHidayah, orang yang mengatakanbahwahadits yang paling tinggi inilainyaituadalahhadits-hadits yang diriwayatkanoleh Imam Bukhari Muslim, kemudianhadits yang diriwayatkanoleh Imam Bukhari saja, kemudian Imam Muslim sajadankemudianhadits-hadits yang memakaisyaratkeduanyadankemudian yang memakaisyaratsalahsatudarikeduabeliautersebut, adalahtahakum (membuat hokum-hukumtanpadasar). Menurutbeliau (IbnuHumam), keshahihansuatuhaditsituditentukanatautergantungkepadasyarat-syarat yang dipenuhinya, jikasyarat-syaratkeshahihansuatuhaditssudahdipenuhinyamakahaditstersebutharusdinyatakanshahih, deengandemikian pula tinggirendahnyasuatuhaditsjugatergantungkepadasyarat-syarat yang dipenuhinya. SedangmenurutJumhurulama, martabat 7 tingkattersebutdidasarkanataskepercayaanumatislamterhadaphadits-hadits yang diriwayatkanolehkedua imam tersebutsedemikiantelitinyadantingginyahadits-haditsitukepercayaanumatislamterhadappribadi-pribadibeliauitu. Tingkatan-tingkatantersebutdiperlukanuntukmemudahkandalamtarjihkaluaterjadita’arudl (pertentangan) antarahaditssatudenganhadits yang lain.
7.      Hadits-hadits yang dinyatakanshahiholehahlihadits yang mu’tamad (selain Imam Bukhari Muslim) dengantidakmemakaisyarat Bukhari atau Muslim tetapimemakaisyarathasilijtihadnyasendiri.[14]

B.     Hadisthasan
Pengertian Hadist Hasan :
Hasan secara bahasa berarti “yang baik / yang bagus” . menurut terminologis , hadis hasan adalah “Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil, yang rendah daya hafalnya tapi tidak rancu dan tidak bercacat” . Ada juga definisi lain : “tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat rawi yang tertuduh dusta, (pada matannya) tidak ada kejanggalan (syadz), dan (hadis tersebut) diriwayatkan pula melalui jalur lain” .
Menurut Subhi as-Salih, hadis hasan adalah : “hadis yang sanadnya bersambung, dinukilkan oleh penukil yang ‘adil, namun tidak terlalu kuat ingatannya meski tetap terhindar dari keganjilan dan penyakit “. Sedangkan menurut at-Tirmidzi, sebagai mana dikutip oleh Fatchur Rahman, hadis hasan adalah : “hadis yang pada sanadnya tidak terdapat rawi yang tertuduh berdusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya , dan hadis itu diriwayatkan tidak dari satu jalur periwayatan saja”. [15]
Dengan kata lain, hadishasan :
هو ما التصل سند ه بنقل العدل الدى قل ضبطه و خلا من الشذوذ والعلة
Adalahhadis yang bersambungsanadnya, diriwayatkanoleh orang adil, kurangsedikitke-dhabith-annya, tidakadakeganjilan (syadzdz) dantidakadaillat. 
Kriteria hadis hasan hampir sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabith-annya . Hadis shahih ke-dhabith-an seluruh perawinya harus tamm(sempurna), sedangkan dalam hadis hasan, kurang sedikit ke-dhabith-annya jika dibandingkan dengan hadis shahih.
Ke-dhabith-an perawi hadis hasan nilainya memang kurang jika dibandingkan dengan perawi hadis shahih, karena ke-dhabith-an para perawi hadis shahih sangat sempurna(tamm) .
Akan tetapi , jika dibandingkan dengan ke-dhabith-an perawi hadis dhaif tentu belum seimbang, ke-dhabith-an perawi hadis hasan lebih unggul . [16]
Dengan demikian , dapat diformulasikan bahwa kriteria hadis hasan adalah sebagai berikut :
1.      Sanadnya bersambung
2.      Perawinya adil
3.      Perawinya dhabith, tetapi ke-dhabith-annya di bawah ke-dhabith-an perawi hadis hasan
4.      Tidak terdapat kejanggalan (syadz)
5.      Tidak ada illat [17]

Macam-macam Hadis Hasan :
Hadis hasan terbagi menjadi dua macam, yaitu Hasan lidzatih dan hasan lighayrih.Yaitu :
1.      Hasan Lidzatih
Hadis hasan lidzatih adalah hadis yang mencapai derajat hasan dengan sendirinya, sedikitpun tidak ada dukungan dari hadis lain.
Dan kalau hanya disebutkan hadis hasan maka yang dimaksud adalah hadis hasan lidzatih .
2.      Hasan Lighayrih
Hadis hasan lighayrih adalah hadis hasan yang bukan karena dirinya sendiri, melainkan karena dibantu oleh keterangan lain, baik dari syahid atau mutabi’ . Dengan demikian hadis hasan lighairih adalah 2hadis yang kualitas hadisnya pada dasarnya dibawah derajat hadis hasan. Ia berada pada derajat hadis Dha’if . [18]
Sumber-sumber Hadis Hasan :
Diantaranya sumber-sumber hadis hasan adalah sebagai berikut :
1.      Al-Jami’ karya at-Turmudziy
Al-Jami’ adalah salah satu karya Imam Abu ‘Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah at-Turmuziy (2009-279 H). Ia salah seorang murid istimewa dari Imam al-Bukhari. Kitabnya al-Jami’ yang lebih popular dengan nama Sunan at-Tumudziy adalah sumber hadis hasan yang paling penting yang paling banyak mendapat tanggapan positif dan tersiar kebaikannya. Ibn salah mengatakan bahwa kitab Abu Isa at-Turmudziy adalah kitab rujukan pokok untuk mengetahui hadis hasan .
2.      As-Sunan karya Imam Abu Dawud (202-273 H).
Ia seorang murid dari Imam al-Bukhari yang mengikuti jejaknya dalam bidang keilmuan . banyak pujian yang dilontarkan kepadanya. Muhammad ibn Ishaq as-Saqhani berkata : “Hadis di lunakkan bagi Abu Dawud sebagaimana besi dilunakkan buat Nabi Dawud.
Al-Hakim Abu Abdillah berkata : “Abu Dawud adalah imam ahli hadis pada masanya tanpa tanding. Kitabnya as-Sunan, disusun dan disaring dari 500.000 buah hadis. Dalam menyusun kitabnya, ia memprioritaskan penghimpunan hadis-hadis hokum. Ia menjelaskan metodologi penyusunan kitabnya sebagai berikut : “Hadis yang kualitasnya sangat rendah dalam kitabku ini aku jelaskan kondisinya. Di dalamnya terdapat hadis yang tidak sahih sanadnya. Hadis yang tidak saya komentari sama sekali adalah hadis shahih’ .
3.      Al-Mujtaba karya Imam an-Nasa’i
Abu Abd ar-Rahman Ahmad ibn Syu’aib an-Nisa’I (215-303 H). dikenal sangat teliti terhadap hadis dan rawi. Kriterianya dalam men-tsiqah-kan rawi sangat tinggi. Ia menyusun kitab yang sangat besar dan lengkap yang dikenal dengan as-Sunan al-Kubra. Kitabnya , al-Mujtaba, lebih dikenal dengan Sunan an-Nasa’i.
Kitab ini disusun dengan metodologi yang sangat unik dengan memadukan antara fiqih dan kajian sanad. Hadis-hadis-nya disusun berdasarkan bab-bab fiqih .
4.      Sunan al-Mushthafa karya ibn Majah
Ibn Majah Muhammad ibn Yazid al-qazniwiy (209-273 H). oleh Abu Ya’la al-khalili dipandang sebagai seorang yang tsiqah, agung, disepakati dapat dijadikan hujjah, luas pengetahuan dan kuat hafalannya. Kitabnya diakui sebagai kitab sunan yang ke-empat dan merupakan pelengkap dari al-kutub as-sittah yang merupakan sumber pokok bagi sunnah nabawiyah. .
Selain dari empat sumber hadis hasan diatas, masih terdapat sumber lain seperti Musnad Ahmad ibn Hanbal dan Al-Musnad karya Abu Ya’la .[19]

Contoh Hadis Hasan :

Hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi Muhammad bersabda :

ا عمار امتى ما بىن الستىن الى اسبعىن وا قلهم من ىجوز ذلك

Usiaumatkusekitarantara 60 sampai 70 tahundansedikitsekali yang melebihidemikianitu.

Para perawihadis di atastsiqahsemua, kecuali Muhammad bin Amr, iaadalahshaduq = sangatbenar. Oleh para ulama’ hadis ,nilaita’dilshaduqtidakmencapaidhabithtamsekalipuntelahmencapaikeadilan, ke-dhabith-annyakurangsedikitjikadibandingkandenganke-dhabith-an shahihsepertitsiqatun (tepercaya) dansesamanya . [20]

C.    HaditsDha’if
Pengertianhaditsdha’if
Hadits dha’if termasuk hadits ahad yang mardud (ditolak), tidakbisa dipegangi dan tidak pula dijadikan hujjah.Pengertian hadits dha’if adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits sahih maupun hadits hasan. Dengan kata lain, hadits dha’if merupakan sesuatu hadits yang tidak memenuhi kriteria atau persyaratan hadits maqbul.[21]
Merujuk pada definisi di atas, jika tidak memenuhi satu syarat-syarat hadits maqbul, maka hadits tersebut sudah tergolong hadits dha’if. Oleh karena itu, jika syarat yang tidak terpenuhi lebih dari satu, maka drajatnya lebih dha’if lagi, demikian juga seterusnya.
Menurutbahasadha’ifberarti “lemah”. Haditsdha’ifberartihadits yang lemah, atauhadits yang tidakkuat. Menurutistilah, para ulamaberbedapendapattentangrumusandefinisihaditsdha’if. Tetapipadadasarnyaisidanmaksudnyatidakberbeda. Beberapa definisi antara lain dapat dilihat sebagai berikut:
Menurut al-Nawawi, hadits dha’if adalah:
ما لم تو جد فيه شروط الصحت و لا شروط الحسن
“hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits sahih dan syarat-syarat hadits hasan”

Menurut Nur al-Din “Athr, hadits dha’if adalah:
ما فقد شر طا من شروط الحد يث المقبول
“hadits yang hilang satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul” (hadits yang sahih atau hadits yang hasan)
                                                                                                                       Pada definisi ini, disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja (dari persyaratan hadits sahih atau hadits hasan) hilang, berarti hadits itu dinyatakan hadits dha’if, apabila yang hilang itu dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, tidak dhabith, dan terdapat kejanggalan dalam matan. Hadits seperti ini jelas adlah hadits dha’if yang sangat lemah.[22]
Para ulama menemukan ke hha’ifan hadits itu ada tiga, yaitu pada sand, matan dan perawinya. Dari tiga bagian ini mereka membagi ke dalam beberapa macam hadits dha’if, anatara lain:
1.      Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud gugur disini adalah nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah yang pertama menerims hadits dari Nabi saw.
Menrut al-Hakim, yang dimaksud dengan hadits mursal adalah “hadits yang disandarkan oleh tabi’in langsung kepada Rasulullah saw, baik perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Tabi’in tersebut termasuk tabi’in kecil maupun tabi’in besar.
Berdasarkan definisi di atas yang dikemukakan oleh al-hakim, dapat diketahui bahwa ada dua macam hadits mursal, yaitu mursal jali dan mursal khafi. Yang dimaksud dengan hadits mursal jali adalah tidak disebutkannya nama Sahabat oleh Tabi’in besar. Sedangkan mursal khafi yaitu penguguran nama Sahabt dilakukan oleh Tabi’in yang masih kecil.
2.      Hadits munqathi’
Para ulama berbeda tentang rumusan defini dari hadits munqathi’. Ada yang mendefinisikan hadits munqathi’ sebagai:
الحد يث الذي سقط من اسناده رجل او ذكر فيه رجل مبهم
“hadits yang gugur pada sanadnya seorang perawi, atau pada sanad tersebut seseorang yang tidak dikenal namanya”.

Ulama lain mendefinisikannya dengan:
ما سقط من رواله واحد قبل الصحابة في موضع اوسقط في موضو عين النا ن لا حال كونهما متو البين
“hadits yang gugur seorang perawinya sebelum sahabat pada satu tempat, atau gugur dua orang perawinya pada dua tempat, yang tidak berturut-turut”.[23]
Dengan tiga pengertian diatas, dapat diketahui bahwa gugurnya perawi pada hadits munqathi’, tidak terjadi pada tingkatan pertama (thabaqah al-Shahabah), tetapi pada thahabaqah berikutnya, kemungkinan pada thahabaqah kedua, ketiga atau keempat. Kemudian yang digugurkan itu erkadang seorang perawi atau dua orang dengan tidak berturut-turut.
Dilihat dari segi kesinambungan sanadnya, hadits munqathi’ jelas termasuk ke dalam kelompok hadits dha’if. Dengan demikian, hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Hal ini karena dengan gugurnya seorang perawi atau lebih, menyebabkan hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat sahih, yang berarti tidak memenuhi syarat hadits sahih.
3.      Hadits Mu’dha
                                                                                                                 Hadits mu’dhal adalah:
ما سقط من سنده راويان متتا ليان او اكثر
“hadits yang gugur sandnya atau lebih, secara berturut-turut”.

Secara lebih lengjap, hadits mu’dal didefinisikan dengan:
ما سقط من رويته النا ن او اكثر علي التوالي سواء سقط الصحا بي والتا بعي التا بعي وتا بعه او اثنان قبله
“hadits yang gugur dua orang rawinya atau lebih, secara berturut-urut, baik gugurnya itu antar sahabat dengan tabi’in atau dua orang sebelumnya”.[24]
Dua pengertian di atas menunjukkaan bahwa hdits mu’dhal berbeda dengan hadits munqathi’. Pada hadits mu’dhal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-urut. Sedangkan pada hadits munqathi’, gugurnya dua orang perawi, terjadi secara terpisah (tidak berturut-urut).
Dha’if dari Segi Sanadnya
Para ulama ahli hadits memasukkan semua hadits yang mauquf dan yang maqtu’ ke dalam hadits dhaif.
1.      Hadits Mauquf
Hadits mauquf ialah:
ما روي من الصحابي من قول له اوتقر يرا
“hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, itu berupa perktaan, perbuatan, dan takrirnya, baik periwatannya itu bersambung atau tidak”.

Pengertian lain menyebutkan:
ما ا ضف الي الصحابة رضوان لله عليهم
hadits yang disandarkan kepada sahabat”
Dengan kata lain, hadits mauquf adalah perkataan sahabt, perbuatan atau takrirnya. Dikatakan mauquf karena kesadarannya terhenti pada thabaqah sahabat. Kemudian tidak dikatakan marfu’ karena hadits ini tidak di rafalan atau disandarkan kepada Rasulullah saw.[25]
Ibnu Shalah membagi hadits mauquf kepada dua bagian, yaitu mauquf al-mausul dan mauquf ghair al-mausul. Mauquf al-mausul, berarti hadits mauquf yang sanandnya bersambung. Dilihat dari segi persambungan ini, hadits mauquf ghair al-mausul dinilai sebagai hadits dha’if yang lebih rendah dari pada hadits mauquf al-mausul.
2.      Hadits Maqtu’ ialah
ما روي عن التبعين موقو فا عليهم من اقو الهم و افعا لهم
“hadits yang diriwayatka dari tabi’in dan disandarkan kepadanya baik perkataan maupun perbuatannya”.
Dengan kata lain, bahwa hadits maqtu’ adalah perktaan atau perbuatan tabi’in, sebagaimana halnya hadits mauquf, hadits maqtu’ dilihat dari segi sandarannya adalah hadits yang lemah (dha’if), sehinggah tidak dapat dijadikan hujjah.
Di antara para ulama ada yang menyebutkan hadits mauquf dan hadits maqtu’ ini dengan al-atsar dan al-khabar.
Dha’if dari Segi-Segi Lainnya
Yang dimaksud dengan ke-dha’ifan pada bagian ini adalah ke-dha’ifan karena kecacatan yang terjadi, baik pada matan maupun pada perawinya. Kecacatan bagian ini banyak sekali macamnya sehingga mencapai pulhuan macam, sebagaiman yang diuraikan oleh para hadits. Akan tetapi disini hanya dikemukakan beberapa macam saja, sebagaimana urain dibawh ini.[26]
1.      Hadist Munkar
Hadits munkar ialah:
الحديث الذي يرويه الضعيف مخا لفا رواية الثقة
“hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah “perawi yang dha’i”. Yang bertentangan dengan perawinya orang kepercayaan.

Al-Qasimi menyebut hadits ini dengan hadits al-fard yang matannya tidak diriwayatkan, kecuali oleh orang saja, yang memiliki tingkat ke-dhabithan sangat rendah. Lebih lanjut lagi, ia mengatakan bahwa hadits ini memiliki persamaan dengn hadits syadz, disamping ada pula perbedaanya. Aapun persamaan ialah keduanya bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah atau terpercaya, sedang perbedaanya ialah bahwa hadits syadz diriwayatkan oleh perawinya yang tsiqah atau shaduq, sedangkan hadits munkar diriwayatkan oleh perawi yang lemah atau cacat.
2.      Hadits Matruk
الحديث الذي رواه راو واحد متحم بالكذب في الحديث اوضا هر الفصق بفعل او كثير العفلة او كثير الوحم حم
“hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta (terhadp hadits yang diriwayatkannya). Atau nampak kefasikannya, baik pada perkataan atau pada perbuatannya atau orang yang banyak lupa atau ragu”.

Yang dimaksud dengan hadits matruk dalam istilah ilmu hadits adalah:
هو الحديث الذي في اسناده را و متهم بالك ذب
“yaitu hadits yang terdapat pada sanadnya perawi yang tertuduh dusta”.

Pada umumnya seorang perawi yang tertuduh dusta adalah karena dia dikenal berbohong dalam pembicaraannya sehari-hari, namun bukan secara nyata kebohongan tersebut ditunjukkan terhadap hadits Nabi saw.; atau hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh dia sendirian, sementra keadaanya memenuhi kaidah-kaidah umum.
Hadits matruk adalah hadits dha’if yang paling buruk keadaanya sesudah hadits mawdu’. Ibnu Hajar menyatakn bahwa hadits dha’if yang paling buruk keadaanya adalah hadits mawdhu’ dan setelah itu hadits matruk, kemudian hadits munkar, hadits mu’allal, hadits mudraj, hadits maqlub, dan hadits mudhtharib.
3.      Hadits syadz
Hadits syadz ialah:
ما رواه المقبول محالف لرواية من اولي منه
“hadits yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatan dari orang yag kualitasnya lebih utama.

Dari pengertian di atas, periwayatan yang hanya dilakukan melalui satu jalan sanad, tidak bisa dikatakan syadz, meskipun sanad tersebut lemah, periwayatan dikatakan syadz apabila matannya terjadi pertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Jika ada hadits dengan diriwayatkannnya dengan dua tahu tiga jalan sanad, hadits yang diriwayatkan dengan jalan sanand tersebut menjadi syadz.
Pengetian ini tidak dipakai oleh para ulama ahli hadits lainnya, hal ini karena hadits yang diriwayatkan oleh orang tsiqah adalah sahih, meskipun hanya memiliki satu jalan sanad, sedangkan hadits syadz adalah bagian dari hadits dha’if. Hadits yang diriwayatkan oleh orang tsiqah baru bisa dikatakan sebagai hadits yang syadz apabila bertentangan dengan hadits yang lebih tsiqah
4.      Hadits Maqlub
Hadits maqlub ialah:
ابدال لفظ باخرفي سند الحديث اومتنه بتقديم اوتاخير
“mengganti suatu lafal dengan lafal yang lain pada sanad atau pada matannya dengan car mendahulukan atau dengan mengakhirinya.

Dalam istilah yang lain disebutkan:
الحديث النبي انقلبب فيه علي احد الرواة لفظ في متن او اسمرحل لو نسبه في الا سنا دفقد ما حقه الناخير اواخر ماحقح النفديم او وضعسي مكان سئ 
“hadits yang makbul ialah hadits yang lafalnya terukar pada salah seorang sanad tahu nama seseorang sanadnya. Kemudian menaklukkan penyebutnya yang seharusnya disebut belakangan atau membelakangkan penyebut yang seharusnya didahulukan atau dengan sesuatu pada tempat yang lain”.

Tertukarnya hadits disini, bisa jadi pada matanya hadits (maqbul fi al-matan) dan bisa terjadi pada sanad (maqbul fi as-sanad). Kedua macam hadits maqbul ini tidak dibenarkan dalam periwayatannya sebab  bisa jadi akan mengbah maksud atau makna hadits tersebut.
Nama-nama hadits lain yang juga termasuk termasuk hadits dha’if, seperti hadits mudltharib, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menyalahi hadits lain, yang tidak dapat ditarik salah satunya; atau hadits yang matan atau sanadnya diperselisihkan, serta tidak dapat dibocorkan atau diputuskan mana yang kuat.[27]
                 

Penutup
Jadi kesimpulan dari makalah ini hadis ditinjau dari segi kualitasnya dari para ulama’ hadis menentukan kualitas hadis ditinjau dari segi kualitas sanadnya dibagi menjadi 3, yaitu : hadis Shahih, hadis Hasan, hadis Dha;if. Dan hadis hasan terbagi menjadi dua yaitu lidzatihi dan lighairihi .
Hadis shahih yakni suatu hadits yang bersambung-sambung sanad-nya, dinukilkan oleh orang yang adil lagi dlabith dari orang yang semisal itu (yakni orang yang adil lagi dlabith) dan selamat dari syadz serta dari ‘illat qadihah (cecat yang dapat mencecat hadits itu) .Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan (syadzdz) dan tidak ada illat.Dan hadis dha’if adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits sahih maupun hadits hasan.
                                                         
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Moh, Ilmu Musthalah, Surabaya: Al iklas, 1981
Sumbulah dkk, Studi Al-Qur’an Hadis, Malang: UIN Maliki Press, cetakan 1, 2014
 Khaeruman, Badri, Ulum Hadis, Bandung: Pustaka Setia, cetakan 1, 2010
Alawi, Muhammad, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cetakan II, 2009
Suryadilaga, Alfatih, Ulumul Hadis, Yogyakarta: Teras, 2010
Majid, Abdul, Ulumul Hadis, Jakarta: Imprint Bumi Aksara, 2015
Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Sulaiman, Noor, Antologi Ilmu Hadis, Jakarta: Gaung persada press, 2008
Sahrani, Sohari, Ulumul Hadis, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010
Khariri, Metode Penyelesaian Hadits, purwokerto: Fajar Pustaka, 2008


Catatan:
1.      Abstrak jangan hanya copy-paste dari google translate.
2.      Penulisan footnote masih salah, tolong diperbaiki.
3.      Hadis shahih juga terbagi menjadi shahih lidzatihi dan shahih lighairihi. Berikan penjelasan mengenai itu juga.
4.      Berikan contoh masing-masing jenis hadis, agar dapat dipahami secara komprehenesif.



[1] Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits (Surabaya: Al Ikhlas) 1981. Hlm 34-35
[2] Umi sumbulah dkk, Studi Al-Qur’an Hadis (Malang: UIN Maliki Press) cetakan I, 2014. Hlm 204
[3] Ibid, hlm 205
[4] Moh. Anwar, op.cit., hlm 35
[5]Badri Khaeruman, Ulum Hadis (Bandung: Pustaka Setia) cetakan I, 2010. Hlm 120
[6] Umi Sumbulah, op.cit., hlm 205-206
[7] Moh. Anwar, op.cit., hlm 35-36
[8] Badri Khaeruman, op.cit., hlm 121
[9] Umi Sumbulah, op.cit., hlm 206-207
[10] Loc.cit
[11] Moh. Anwar, op.cit., hlm 37-38
[12]Ibid.,hlm 43-44
[13]Muhammad Alawi, IlmuUshulHadis (Yogyakarta: PustakaPelajar) cetakan II, 2009. Hlm 57

[14]Muh. Anwar. Op.cit., hlm 44-45
[15] Alfatih Suryadilaga,Ulumul Hadis, Teras, Yoogyakarta, 2010. Hal 260-261
[16] Abdul Majid, Ulumul Hadis, Imprint Bumi Aksara, Jakarta, 2015. Hal 179
[17] Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia, Bandung, 1999. Hal 154
[18] Alfatih Suryadilaga,Ulumul Hadis, Teras, Yoogyakarta, 2010. hal 262-263
[19] Alfatih Suryadilaga,Ulumul Hadis, Teras, Yoogyakarta, 2010. hal 266-268
[20] Abdul Majid, Ulumul Hadis, Imprint Bumi Aksara, Jakarta, 2015. Hal 179-180
[21]Khariri, MetodePenyelesaianHaditsKontradiktif, Purwokerto, 2008. Hlm 21-22
[22] Prof. Dr. H. M. Noor Sulaiman PL, 2008, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta, Gaung Persada Press Jakarta) Halaman 105.
[23] Ibid, 107
[24] Ibid, 108
[25] Sohari Sahrani, 2010, Ulumul Hadits, (Bogor), Ghalia Indonesia, Halaman 122.
[26]Ibid, halaman 123.
[27]Abdul majid, op.cit., hlm 122-126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar