HADIS DILIHAT
DARI ASPEK KUALITAS
Aulia fahmi,
Salma Madaeni, Farah Salma Nur Faizah
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas D Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Malang Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: farahfaizah1@gmail.com
Abstract
This article discusses the Hadith classification of the
quality aspect, meaning the hadith contains valid, the levels of the hadeeth,
understanding hasanhadeeth, various hadith hasanhadeeth and understanding
dha'if. Strong and weak hadith can be seen from the Matan and sanadnya. Hadith
diklasifikasiakan can be hadeeth if it meets certain syarat2, as well as
hasanhadeeth and dha'if. Hadith divided into two groups, namely Maqbool&
Hadith HadithMardud. The meaning of the hadith HadithMaqbool is eligible for
postulated in the formulation of the law or to do good with it. Maqbool hadith
is composed of Hadith Sahih and Hadith Hasan. While the definition of Hadith
Mardud is a Hadith that do not meet the requirements qabul and Hadith Mardud
named also by Hadit s Dha'if.
Abstrak
Artikel ini membahas
tentang klasifikasi Hadits dari aspek kualitasnya, berisikan pengertian hadits
sahih, tingkatan-tingkatan hadits shahih, pengertian hadits hasan, macam-macam
hadits hasan dan pengertian hadits dha’if.
Kuat dan lemahnya hadits bisa dilihat dari matan dan sanadnya. Hadits
bisa diklasifikasiakan menjadi hadits shahih jika memenuhi syarat2 tertentu,
begitu juga dengan hadits hasan dan dha’if. Hadits
terbagi menjadi dua golongan, yaitu Hadits Maqbul & Hadits Mardud. Yang
dimaksud dengan Hadits Maqbul adalah hadits yang memenuhi
syarat untuk diterima sebagai dalil dalam perumusan hukum atau untuk
beramal dengannya. Hadits Maqbul ini terdiri dari Hadits Shahih dan
Hadits Hasan. Sedangkan yang dimaksud dengan Hadits Mardud adalah
Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat qabul, dan Hadits Mardud dinamai juga
dengan Hadits Dha’if.
Keyword: hadits
shahih, hadits hasan, hadits dha’if
Pendahuluan
Dalamsumberhukum
Islam, haditsmenempatihukumkeduasetelah Al-Qur’an.Definisihaditsmenurutulama’
haditsadalahperkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir) dansifat-sifatnabi. Para
sahabat, ketikaRasulullah saw telahwafat, maka para sahabatmerujukpadahadits.
Hal itudilakukanjikasudahtidakmenemukanjawabanpada
Al-Qur’an.haditsdiklasifikandariaspekkuantitasdankualitasnya. Karna status
dankualitasnyaitu,
makahaditstidakterjamindapatterhindardariintervensi-intervensiluar yang
bersifatdestruktif, terutamadenganadanyausaha-usahauntukmemalsukannya.Untukitu,
diperlukanpenguasaanilmu yang dapatmembantumemverfikasi mana hadits-hadits yang
benar-benardatangdariNabi (haditsshahih), dan mana hadits yang
bukanberasaldariNabi (haditsdhaif).
A.
Hadis Shahih
PengertianHadisShahih
Shahih
menurut bahasa berarti sehat, lawan dari qiem dan dapat pula berarti haq lawan
dari bathal.
Sedang menurut pengertiannya ialah:
هؤ ما ا تصل سند
ه بنقل العد ل الضا بط عن مثله و سلم من شذ و ذ و علة قا د حة
“yakni suatu hadits yang bersambung-sambung sanad-nya,
dinukilkan oleh orang yang adil lagi dlabith dari orang yang semisal itu (yakni
orang yang adil lagi dlabith) dan selamat dari syadz serta dari ‘illat qadihah
(cecat yang dapat mencecat hadits itu)”.
Dan Ibnu Hajar Al-Asqalany memberikan definisi hadits
shahih:
ما نقله عد ل تا
م الضبط متصل مسند غير معلل ولا شاذ
“yaitu suatu hadits yang dinukilkan oleh orang yang
adil lagi sempurna kedlabithannya, bersambung-sambung sanadnya tidak ada cecat
serta tidak syadz (menyalahi riwayat yang lebih rajih)”.
Dari kedua definisi tersebut di atas, maka untuk dapat
dikatakan hadits shahih, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Ittishalus sanad (bersambung-sambung sanadnya).
Ittishalus sanad artinya bersambung-sambung sanadnya
mulai dari awal sanad sampai dengan akhir sanad tidak boleh ada yang
putus/gugur perawinya. Sebagaimana contoh hadits:
ا نما الا عمل با
لنيا ت
Tersebut di atas, maka Imam Bukhari menerima langsung
dari Al Humaidi yang Humaidi ini menerimanya dari Sufyan dan seterusnya sampai
kepada Nabi saw. Jadi mulai dari Imam Bukhari (sebagai mukharrij) sampai dengan
Nabi saw. Sanadnya merupakan mata rantai yang tidak terputus. [1]
Seorang perawi dengan perawi hadis di atasnya atau
perawi di bawahnya terdapat pertemuan langsung (liqa) atau adanya
pertautan langsung dalam bentuk relasi guru-murid, mulai dari awal hingga akhir
sanad.[2]
2. Para perawi adil
Term’ adalah (adil) secara etimologi berarti
pertengahan, lurus, condong kepada kebenaran. [3]Pengertian
adil, di samping orang-orang itu harus muslim, baligh, dan berakal sehat para
ulama’ berbeda pendapat tentang sifat yang lain harus ada.[4]
Menurut Ar-Razi, keadilan ialah tenaga jiwa yang
mendorong untuk selalu bertakwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan
melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah
yang menodai muru’ah, seperti
makan sambil berdiri di jalanan, buang air (kencing) di tempat yang bukan
disediakan untuknya, dan bergurau berlebih-lebihan.
Menurut Ibn As-Sam’ani, keadilan harus memenuhi
syarat:
a) Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi
perbuatan maksiat;
b) Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan
sopan santun;
c) Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang
dapat mengugurkan iman dan mengakibatkan penyesalan;
d) Tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang
bertentangan dengan dasar syara’.
Menurut Muhyi Ad-Din ‘Abd Al-Hamid, syarat keadilan
rawi itu adalah:
a) Islam, maka periwayatan orang kafir tidak diterima;
b) Mukallaf, maka periwayatan
anak yang belum dewasa menurut pendapat yang lebih shahih, tidak diterima;
c) Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seorang fasik
dan memiliki cacat pribadi.
Pengertian dan ketentuan adil dalam periwayatan
berbeda dengan adil dalam kesaksian. Dalam persaksian (syahadah),
dikatakan adil jika terdiri atas dua orang laki-laki yang merdeka. Adapun dalam
periwayatan dapat dikatakan adil cukup seorang saja, baik orang perempuan,
budak, atau merdeka.[5]
3. Para perawi dlabith
Dlabith secara etimologi memiliki arti menjaga
sesuatu.[6]
Dlabith artinya orang yang hafal serta teliti sehingga ia hafal apa yang ia
dengar dan ia dapat mengeluarkannya dengan mudah bilamana dikehendakinya. Jadi
mereka mempunyai tiga fungsi otak yang baik yakni:
a) Dalam retention, (mengecamkan)
b) Remembering, (mengingat)
c) Recalling, (mereproduksikan kembali)
Pengertian dlabith sebagaimana tersebut dinamakan dlabith
shadran. Selain dlabith shadran adapula dlabith kitaban maksudnya
cukup bersungguh-sungguh dan berhati-hati di waktu menuliskan apa yang
dengarnya, terhindar dari kekliruan atau salah, kemudian ia memeliharanya
tulisan itu dengan baik-baik. Sehingga di waktu ia hendak menyampaikannya
tulisan tersebut kepada orang lain, masih tetap seperti keadaan semula. Ibnu
Hajar Al ‘Asqalany menjelaskan sebagai berikut:
ضبط صدروهو ان
يشبت ما سمعه بحيث تتمكن من استحضا ره و ضبط كتا ب وهو صيا نة لد يه منذ سمع فيه و
صححه الي ان يؤ د ى مته [7]
Adapun unsur-unsur dlabith adalah:
a) Tidak pelupa;
b) Hafal terhadap apa yang didiktekan kepada muridnya
apabila ia memberikan hadis dengan hafalan, dan terjagakitabnya dari kelemahan
apabila ia meriwayatkan hadis dengan kitabnya; dan
c) Menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya,
dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud apabila ia meriwayatkan
hadis menurut maknanya saja. Rawi yang adil dan dhabith disebut tsiqat.[8]
4. Terhindar dari kecacatan
Kata ‘illat secara lughawi berarti
sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukkan. Adapun dalam terminologi
ilmu hadis, ‘illat didefinisikan
sebagai sebuah hadis yang di dalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang
dapat merusak keshahihan hadis yang secara lahir tampak shahih. Di dalam
konteks ini, Ibn Shalah mendefinisikan ‘illat sebagai sebab tersembunyi
yang merusak kualitas hadis, karena kebradaanya menyebabkan hadis yang pada
lahirnya berkualitas shahih menjadi tidak shahih lagi. Sedangkan Ibn Tamimiyah
menyatakan bahwa hadis yang mengandung ‘illat adalah hadis yang sanadnya
secara lahir tampak baik, namun ternyata setelah diteliti lebih lanjut, di
dalamnya terdapat rawi yang ghalt (banyak melakukan kesalahan), sanadnya
mawquf atau mursal, bahkan ada kemungkinan masuknya hadis lain
pada hadis tersebut.[9]
5. Terhindar dari kerancuan
Dalam terminologi ilmu hadis, terdapat tiga pendapat
berkenaan dengan definisi syadz. Namun dari ketiga pendapat tersebut,
yang paling populer adalah pendapat yang dimajukan al-Syafi’i, yang mengatakan
bahwa hadis baru dinyatakan mengandung syadz bila hadis yang
diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqah bertentangan ddengan hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang juga bersifat tsiqah. Dengan
demikian, hadis , hadis syadz itu tidaklah disebabkan oleh
kemenyendirian individu perawi dalam sanad hadis (fard mutlaq), dan juga
tidak disebabkan oleh kualitas perawi yang tidak tsiqah.[10]
Kalau hadits itu sudah memenuhi lima syarat
sebagaimana tersebut di ats, Jumhur Ulama’ sudah sepakat menetapkan bahwa
hadits itu merupakan hadits shahih. Hanya sebagian ulama’ masih mensyaratkan
bahwa hadits shahih itu paling sedikit mempunyai dua sanad sehingga tiap
thabaqat harus paling sedikit dua orang perawi, yang berpendapat demikian
anatara lain : Abu ‘Ali Al Jubai dari golongan Mu’tazilah. Yang demikian itu
sama dengan tindakan khalifah Umar bin Khattab terhadap orang yang meriwayatkan
hadits diharuskan ada saksi orang lain yang juga menerima hadits itu dari Nabi
saw. Hal ini dilakukan kalau sahabat yang meriwayatkan itu bukan sahabat yang
benar-benar telah di yakini oleh beliau seperti sahabat Ali r.a., maka Umar
tidak minta saksi kepada orang lain. Tetapi Jumhur Ulama’ tidak
mengaharuskan/mensyaratkan minimal dua orang perawi tersebut, sehingga kalau
lima syarat tersebut telah terpenuhi maka hadits itu dinyatakan sebagai hasitd
shahih. Jumhur Ulama’ berbeda pendapat bagaimana kalau salah satu syarat
tersebut ada yang tidak terpenuhi, apakah mutlak tidak dapat dikatakan sebagai
hadits shahih ataukah masih ada kemungkinan untuk dapat dikatakan sebagai
hadits shahih dan dipakai menjadi hujjah. Sebagian berpendapat mutlak tidak
dapat diterima sebagai hadits shahih, dan sebagian lagi masih mungkin dapat
dinyatakan sebagai hadits shahih, kalau syarat yang tidak/kurang dipenuhi itu
tidak bergitu berat. Seperti hadits mursal shahaby (hadits yang diriwayatkan
oleh seorang sahabat tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri
perbuatan/perkataan Nabi saw.), secara formil hadits mursal shahaby ini tidak
memnuhi syarat pertama dari syarat keshahihan suatu hadits karena tidak
ittishalus sanad. Namun sebagian ulama’ masih dapat menerima hadits mursal
shahaby itu sebagai hadits shahih. Asal syarat empat yang lain terpenuhi.
Demikian pula dalam definisi Ibnu Hajar tersebut, bahwa semua perawi harus
sempurna kedlabithannya (taamudi dlabthi), bagaimana kalau ada salah seorang
perawi yang kurang sedikit kedlabithannya (qalilud dlabthi), secara formil
tidak memenuhi syarat yang ke 3, maka hadits tersebut paling tidak dapat
dikatakan hadits hasan, dan hadits hasan itu kalau banyak jalnnya dapat
meningkat menjadi shahih yakni shhaih lighairi.[11]
Tingkatan-tingkatan hadis shahih:
Jumhur
ulama’ membagi derajat/martabat hadits shahih dengan melihat kepada kitab,
menjadi 7 (tujuh) tingkat/ martabat, yang di atas lebih tinggi derajatnya
disbanding dengan yang ada di bawahnya. Tujuhtingkatantersebutialah:
1.
Hadits yang terkenaldengannama “mutafaqqun ‘alaih’ yaituhadits yang
diriwayatkanoleh Imam Bukhari dan Muslim. Kitab yang
mengumpulkanhadits-haditsmuttafaqun ‘alaihantara lain kitab: ‘Umdatulahkam yang
disusunoleh Abdul Ghani.
2.
Hadits-hadits yang diriwayatkanoleh Imam Bukhari.
3.
Hadits-hadits
yang diriwayatkanoleh Imam Muslim. MenurutIbnuHajar,
pembagian/urutantersebut di atassebenarnyatidakberlakusecaraotomatis,
tetapiberlakupadaumumnya, saja. Sebabhaditsshahih yang diriwayatkanoleh Imam
Muslim denganmelalui sand yang banyakatausesuaidenganhadits-hadits yang
diriwayatkanolehahli-ahlihadits yang lain yang jugamenentukansyarat-syaratkeshahihan
yang sama, makatidakdapatdikatakanhadits yang diriwayatkanoleh Imam Muslim
tersebutlebihrendahdaripadahadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dengancatatanbahwa Imam
Bukhorihanyameriwayatkanhaditstersebutdengansatusanadsajadantidakadaahlihadits
yang lain yang meriwayatkanhaditstersebut.
4.
Hadits-hadits yang diriwayatkanolehulamahadits (selain Imam Bukhoridan
Imam Muslim) yang mu’tamaddenganmemakaisyarat Bukhari. [12]
Imam Al-Nawawimengatakan, bahwa yang
dimaksudmengikutisyarat-syaratshahih Al-Bukhari dan Muslim
ialahapabilarawi-rawisanadhadisituterdapat di dalamshahih Al-Bukhari dan
Muslim, karena Al-Bukhari dan Muslim
sendiritidakmenyebutkandenganjelastentangsyarat-syaratshahihnya,
baikdalamkeduakitabshahihnyamaupundalamkitabnya
yang lain, (makarawi-rawi yang terdapat di
dalamkeduakitabshahihitumenjadistandar). [13]
5.
Hadits yang diriwayatkanolehulama’ haditslain yang
mu’tamaddenganmemakaisyaratbukhari.
6.
Hadits yang diriwayatkanolehulama’ haditslain yang mu’tamaddenganmemakaisyarat Muslim.
MenurutIbnuHumamdalamkitabnyaSyarhulHidayah, orang yang mengatakanbahwahadits
yang paling tinggi
inilainyaituadalahhadits-hadits yang diriwayatkanoleh
Imam Bukhari Muslim, kemudianhadits yang diriwayatkanoleh Imam Bukhari saja,
kemudian Imam Muslim sajadankemudianhadits-hadits yang
memakaisyaratkeduanyadankemudian yang
memakaisyaratsalahsatudarikeduabeliautersebut, adalahtahakum (membuat
hokum-hukumtanpadasar). Menurutbeliau (IbnuHumam),
keshahihansuatuhaditsituditentukanatautergantungkepadasyarat-syarat yang
dipenuhinya, jikasyarat-syaratkeshahihansuatuhaditssudahdipenuhinyamakahaditstersebutharusdinyatakanshahih, deengandemikian pula
tinggirendahnyasuatuhaditsjugatergantungkepadasyarat-syarat yang dipenuhinya.
SedangmenurutJumhurulama, martabat 7
tingkattersebutdidasarkanataskepercayaanumatislamterhadaphadits-hadits yang
diriwayatkanolehkedua imam tersebutsedemikiantelitinyadantingginyahadits-haditsitukepercayaanumatislamterhadappribadi-pribadibeliauitu.
Tingkatan-tingkatantersebutdiperlukanuntukmemudahkandalamtarjihkaluaterjadita’arudl
(pertentangan) antarahaditssatudenganhadits yang lain.
7.
Hadits-hadits yang dinyatakanshahiholehahlihadits yang mu’tamad (selain
Imam Bukhari Muslim) dengantidakmemakaisyarat Bukhari atau Muslim
tetapimemakaisyarathasilijtihadnyasendiri.[14]
B. Hadisthasan
Pengertian Hadist Hasan :
Hasan secara bahasa
berarti “yang baik / yang bagus” . menurut terminologis , hadis hasan adalah
“Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang ‘adil, yang rendah
daya hafalnya tapi tidak rancu dan tidak bercacat” . Ada juga definisi lain :
“tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat rawi yang tertuduh dusta,
(pada matannya) tidak ada kejanggalan (syadz), dan (hadis tersebut)
diriwayatkan pula melalui jalur lain” .
Menurut
Subhi as-Salih, hadis hasan adalah : “hadis yang sanadnya bersambung,
dinukilkan oleh penukil yang ‘adil, namun tidak terlalu kuat ingatannya meski
tetap terhindar dari keganjilan dan penyakit “. Sedangkan menurut at-Tirmidzi,
sebagai mana dikutip oleh Fatchur Rahman, hadis hasan adalah : “hadis yang pada
sanadnya tidak terdapat rawi yang tertuduh berdusta, tidak terdapat kejanggalan
pada matannya , dan hadis itu diriwayatkan tidak dari satu jalur periwayatan
saja”. [15]
Dengan kata lain, hadishasan :
هو ما التصل سند
ه بنقل العدل الدى قل ضبطه و خلا من الشذوذ والعلة
Adalahhadis yang bersambungsanadnya, diriwayatkanoleh
orang adil, kurangsedikitke-dhabith-annya, tidakadakeganjilan (syadzdz)
dantidakadaillat.
Kriteria
hadis hasan hampir sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya
terletak pada sisi ke-dhabith-annya .
Hadis shahih ke-dhabith-an seluruh
perawinya harus tamm(sempurna), sedangkan dalam hadis hasan, kurang sedikit ke-dhabith-annya jika dibandingkan dengan
hadis shahih.
Ke-dhabith-an perawi hadis hasan nilainya
memang kurang jika dibandingkan dengan perawi hadis shahih, karena ke-dhabith-an para perawi hadis shahih
sangat sempurna(tamm) .
Akan
tetapi , jika dibandingkan dengan ke-dhabith-an
perawi hadis dhaif tentu belum seimbang, ke-dhabith-an
perawi hadis hasan lebih unggul . [16]
Dengan
demikian , dapat diformulasikan bahwa kriteria hadis hasan adalah sebagai
berikut :
1.
Sanadnya bersambung
2.
Perawinya adil
3.
Perawinya dhabith, tetapi ke-dhabith-annya
di bawah ke-dhabith-an perawi hadis hasan
4.
Tidak terdapat kejanggalan
(syadz)
5.
Tidak ada illat [17]
Macam-macam
Hadis Hasan :
Hadis
hasan terbagi menjadi dua macam, yaitu Hasan lidzatih dan hasan lighayrih.Yaitu :
1.
Hasan Lidzatih
Hadis hasan lidzatih adalah hadis yang
mencapai derajat hasan dengan sendirinya, sedikitpun tidak ada dukungan dari
hadis lain.
Dan
kalau hanya disebutkan hadis hasan maka yang dimaksud adalah hadis hasan lidzatih .
2.
Hasan Lighayrih
Hadis hasan lighayrih adalah hadis hasan
yang bukan karena dirinya sendiri, melainkan karena dibantu oleh keterangan
lain, baik dari syahid atau mutabi’ .
Dengan demikian hadis hasan lighairih
adalah 2hadis yang kualitas hadisnya pada dasarnya dibawah derajat hadis hasan.
Ia berada pada derajat hadis Dha’if . [18]
Sumber-sumber
Hadis Hasan :
Diantaranya
sumber-sumber hadis hasan adalah sebagai berikut :
1.
Al-Jami’ karya
at-Turmudziy
Al-Jami’ adalah salah satu karya Imam Abu ‘Isa
Muhammad ibn Isa ibn Saurah at-Turmuziy (2009-279 H). Ia salah seorang murid
istimewa dari Imam al-Bukhari. Kitabnya al-Jami’
yang lebih popular dengan nama Sunan at-Tumudziy adalah sumber hadis hasan yang
paling penting yang paling banyak mendapat tanggapan positif dan tersiar
kebaikannya. Ibn salah mengatakan bahwa kitab Abu Isa at-Turmudziy adalah kitab
rujukan pokok untuk mengetahui hadis hasan .
2.
As-Sunan karya Imam Abu Dawud (202-273
H).
Ia seorang murid
dari Imam al-Bukhari yang mengikuti jejaknya dalam bidang keilmuan . banyak
pujian yang dilontarkan kepadanya. Muhammad ibn Ishaq as-Saqhani berkata :
“Hadis di lunakkan bagi Abu Dawud sebagaimana besi dilunakkan buat Nabi Dawud.
Al-Hakim Abu Abdillah berkata : “Abu
Dawud adalah imam ahli hadis pada masanya tanpa tanding. Kitabnya as-Sunan,
disusun dan disaring dari 500.000 buah hadis. Dalam menyusun kitabnya, ia
memprioritaskan penghimpunan hadis-hadis hokum. Ia menjelaskan metodologi
penyusunan kitabnya sebagai berikut : “Hadis yang kualitasnya sangat rendah
dalam kitabku ini aku jelaskan kondisinya. Di dalamnya terdapat hadis yang
tidak sahih sanadnya. Hadis yang tidak saya komentari sama sekali adalah hadis
shahih’ .
3.
Al-Mujtaba karya Imam
an-Nasa’i
Abu Abd
ar-Rahman Ahmad ibn Syu’aib an-Nisa’I (215-303 H). dikenal sangat teliti
terhadap hadis dan rawi. Kriterianya dalam men-tsiqah-kan rawi sangat tinggi.
Ia menyusun kitab yang sangat besar dan lengkap yang dikenal dengan as-Sunan al-Kubra. Kitabnya , al-Mujtaba, lebih dikenal dengan Sunan an-Nasa’i.
Kitab ini
disusun dengan metodologi yang sangat unik dengan memadukan antara fiqih dan
kajian sanad. Hadis-hadis-nya disusun berdasarkan bab-bab fiqih .
4.
Sunan al-Mushthafa karya ibn
Majah
Ibn Majah
Muhammad ibn Yazid al-qazniwiy (209-273 H). oleh Abu Ya’la al-khalili dipandang
sebagai seorang yang tsiqah, agung, disepakati dapat dijadikan hujjah, luas
pengetahuan dan kuat hafalannya. Kitabnya diakui sebagai kitab sunan yang
ke-empat dan merupakan pelengkap dari al-kutub
as-sittah yang merupakan sumber pokok bagi sunnah nabawiyah. .
Selain dari empat sumber hadis hasan
diatas, masih terdapat sumber lain seperti Musnad
Ahmad ibn Hanbal dan Al-Musnad karya Abu Ya’la .[19]
Contoh Hadis Hasan
:
Hadis
yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan
bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abi Hurairah,
bahwa Nabi Muhammad bersabda :
ا عمار امتى ما بىن الستىن الى اسبعىن وا قلهم من ىجوز
ذلك
Usiaumatkusekitarantara 60 sampai 70
tahundansedikitsekali yang melebihidemikianitu.
Para perawihadis di atastsiqahsemua, kecuali Muhammad
bin Amr, iaadalahshaduq = sangatbenar. Oleh para ulama’ hadis
,nilaita’dilshaduqtidakmencapaidhabithtamsekalipuntelahmencapaikeadilan,
ke-dhabith-annyakurangsedikitjikadibandingkandenganke-dhabith-an
shahihsepertitsiqatun (tepercaya) dansesamanya . [20]
C. HaditsDha’if
Pengertianhaditsdha’if
Hadits
dha’if termasuk hadits ahad yang mardud (ditolak), tidakbisa dipegangi dan
tidak pula dijadikan hujjah.Pengertian hadits dha’if adalah hadits yang
kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits sahih maupun hadits
hasan. Dengan kata lain, hadits dha’if merupakan sesuatu hadits yang tidak
memenuhi kriteria atau persyaratan hadits maqbul.[21]
Merujuk
pada definisi di atas, jika tidak memenuhi satu syarat-syarat hadits maqbul,
maka hadits tersebut sudah tergolong hadits dha’if. Oleh karena itu, jika
syarat yang tidak terpenuhi lebih dari satu, maka drajatnya lebih dha’if lagi,
demikian juga seterusnya.
Menurutbahasadha’ifberarti
“lemah”. Haditsdha’ifberartihadits yang lemah, atauhadits yang tidakkuat.
Menurutistilah, para ulamaberbedapendapattentangrumusandefinisihaditsdha’if.
Tetapipadadasarnyaisidanmaksudnyatidakberbeda. Beberapa definisi antara lain
dapat dilihat sebagai berikut:
Menurut
al-Nawawi, hadits dha’if adalah:
ما
لم تو جد فيه شروط الصحت و لا شروط الحسن
“hadits yang
didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits sahih dan syarat-syarat hadits
hasan”
Menurut Nur
al-Din “Athr, hadits dha’if adalah:
ما
فقد شر طا من شروط الحد يث المقبول
“hadits yang hilang satu syaratnya
dari syarat-syarat hadits maqbul” (hadits yang sahih atau hadits yang hasan)
Pada
definisi ini, disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja (dari
persyaratan hadits sahih atau hadits hasan) hilang, berarti hadits itu
dinyatakan hadits dha’if, apabila yang hilang itu dua atau tiga syarat, seperti
perawinya tidak adil, tidak dhabith, dan terdapat kejanggalan dalam matan.
Hadits seperti ini jelas adlah hadits dha’if yang sangat lemah.[22]
Para
ulama menemukan ke hha’ifan hadits itu ada tiga, yaitu pada sand, matan dan
perawinya. Dari tiga bagian ini mereka membagi ke dalam beberapa macam hadits
dha’if, anatara lain:
1.
Hadits Mursal
Hadits mursal
adalah hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud gugur disini
adalah nama sanad terakhir tidak disebutkan. Padahal sahabat adalah yang pertama
menerims hadits dari Nabi saw.
Menrut
al-Hakim, yang dimaksud dengan hadits mursal adalah “hadits yang disandarkan
oleh tabi’in langsung kepada Rasulullah saw, baik perkataan, perbuatan, maupun
taqrirnya. Tabi’in tersebut termasuk tabi’in kecil maupun tabi’in besar.
Berdasarkan
definisi di atas yang dikemukakan oleh al-hakim, dapat diketahui bahwa ada dua
macam hadits mursal, yaitu mursal jali dan mursal khafi. Yang dimaksud dengan
hadits mursal jali adalah tidak disebutkannya nama Sahabat oleh Tabi’in besar.
Sedangkan mursal khafi yaitu penguguran nama Sahabt dilakukan oleh Tabi’in yang
masih kecil.
2.
Hadits
munqathi’
Para ulama
berbeda tentang rumusan defini dari hadits munqathi’. Ada yang mendefinisikan
hadits munqathi’ sebagai:
الحد
يث الذي سقط من اسناده رجل او ذكر فيه رجل مبهم
“hadits
yang gugur pada sanadnya seorang perawi, atau pada sanad tersebut seseorang
yang tidak dikenal namanya”.
Ulama lain mendefinisikannya dengan:
ما سقط من رواله واحد قبل
الصحابة في موضع اوسقط في موضو عين النا ن لا حال كونهما متو البين
“hadits
yang gugur seorang perawinya sebelum sahabat pada satu tempat, atau gugur dua
orang perawinya pada dua tempat, yang tidak berturut-turut”.[23]
Dengan tiga
pengertian diatas, dapat diketahui bahwa gugurnya perawi pada hadits munqathi’,
tidak terjadi pada tingkatan pertama (thabaqah al-Shahabah), tetapi pada
thahabaqah berikutnya, kemungkinan pada thahabaqah kedua, ketiga atau keempat.
Kemudian yang digugurkan itu erkadang seorang perawi atau dua orang dengan
tidak berturut-turut.
Dilihat dari
segi kesinambungan sanadnya, hadits munqathi’ jelas termasuk ke dalam kelompok
hadits dha’if. Dengan demikian, hadits ini tidak dapat dijadikan sebagai
hujjah. Hal ini karena dengan gugurnya seorang perawi atau lebih, menyebabkan
hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat sahih, yang berarti tidak
memenuhi syarat hadits sahih.
3.
Hadits Mu’dha
Hadits
mu’dhal adalah:
ما سقط من سنده راويان متتا
ليان او اكثر
“hadits
yang gugur sandnya atau lebih, secara berturut-turut”.
Secara lebih lengjap, hadits mu’dal didefinisikan dengan:
ما سقط من رويته النا ن او
اكثر علي التوالي سواء سقط الصحا بي والتا بعي التا بعي وتا بعه او اثنان قبله
“hadits yang gugur dua orang rawinya atau
lebih, secara berturut-urut, baik gugurnya itu antar sahabat dengan tabi’in
atau dua orang sebelumnya”.[24]
Dua pengertian
di atas menunjukkaan bahwa hdits mu’dhal berbeda dengan hadits munqathi’. Pada
hadits mu’dhal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-urut.
Sedangkan pada hadits munqathi’, gugurnya dua orang perawi, terjadi secara
terpisah (tidak berturut-urut).
Dha’if
dari Segi Sanadnya
Para
ulama ahli hadits memasukkan semua hadits yang mauquf dan yang maqtu’ ke dalam
hadits dhaif.
1.
Hadits Mauquf
Hadits mauquf ialah:
ما
روي من الصحابي من قول له اوتقر يرا
“hadits
yang diriwayatkan dari para sahabat, itu berupa perktaan, perbuatan, dan
takrirnya, baik periwatannya itu bersambung atau tidak”.
Pengertian lain menyebutkan:
ما ا
ضف الي الصحابة رضوان لله عليهم
“hadits yang disandarkan
kepada sahabat”
Dengan kata
lain, hadits mauquf adalah perkataan sahabt, perbuatan atau takrirnya.
Dikatakan mauquf karena kesadarannya terhenti pada thabaqah sahabat. Kemudian
tidak dikatakan marfu’ karena hadits ini tidak di rafalan atau disandarkan
kepada Rasulullah saw.[25]
Ibnu Shalah membagi hadits mauquf kepada dua bagian, yaitu mauquf
al-mausul dan mauquf ghair al-mausul. Mauquf al-mausul, berarti hadits mauquf
yang sanandnya bersambung. Dilihat dari segi persambungan ini, hadits mauquf
ghair al-mausul dinilai sebagai hadits dha’if yang lebih rendah dari pada
hadits mauquf al-mausul.
2.
Hadits Maqtu’
ialah
ما
روي عن التبعين موقو فا عليهم من اقو الهم و افعا لهم
“hadits
yang diriwayatka dari tabi’in dan disandarkan kepadanya baik perkataan maupun
perbuatannya”.
Dengan kata
lain, bahwa hadits maqtu’ adalah perktaan atau perbuatan tabi’in, sebagaimana
halnya hadits mauquf, hadits maqtu’ dilihat dari segi sandarannya adalah hadits
yang lemah (dha’if), sehinggah tidak dapat dijadikan hujjah.
Di antara para ulama ada yang menyebutkan hadits mauquf dan hadits
maqtu’ ini dengan al-atsar dan al-khabar.
Dha’if dari Segi-Segi Lainnya
Yang dimaksud dengan ke-dha’ifan pada bagian ini adalah ke-dha’ifan
karena kecacatan yang terjadi, baik pada matan maupun pada perawinya. Kecacatan
bagian ini banyak sekali macamnya sehingga mencapai pulhuan macam, sebagaiman
yang diuraikan oleh para hadits. Akan tetapi disini hanya dikemukakan beberapa
macam saja, sebagaimana urain dibawh ini.[26]
1.
Hadist Munkar
Hadits munkar ialah:
الحديث
الذي يرويه الضعيف مخا لفا رواية الثقة
“hadits
yang diriwayatkan oleh orang yang lemah “perawi yang dha’i”. Yang bertentangan
dengan perawinya orang kepercayaan.
Al-Qasimi
menyebut hadits ini dengan hadits al-fard yang matannya tidak diriwayatkan,
kecuali oleh orang saja, yang memiliki tingkat ke-dhabithan sangat rendah.
Lebih lanjut lagi, ia mengatakan bahwa hadits ini memiliki persamaan dengn
hadits syadz, disamping ada pula perbedaanya. Aapun persamaan ialah keduanya
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah atau terpercaya,
sedang perbedaanya ialah bahwa hadits syadz diriwayatkan oleh perawinya yang
tsiqah atau shaduq, sedangkan hadits munkar diriwayatkan oleh perawi yang lemah
atau cacat.
2.
Hadits Matruk
الحديث
الذي رواه راو واحد متحم بالكذب في الحديث اوضا هر الفصق بفعل او كثير العفلة او
كثير الوحم حم
“hadits
matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta
(terhadp hadits yang diriwayatkannya). Atau nampak kefasikannya, baik pada
perkataan atau pada perbuatannya atau orang yang banyak lupa atau ragu”.
Yang dimaksud
dengan hadits matruk dalam istilah ilmu hadits adalah:
هو
الحديث الذي في اسناده را و متهم بالك ذب
“yaitu
hadits yang terdapat pada sanadnya perawi yang tertuduh dusta”.
Pada umumnya
seorang perawi yang tertuduh dusta adalah karena dia dikenal berbohong dalam
pembicaraannya sehari-hari, namun bukan secara nyata kebohongan tersebut
ditunjukkan terhadap hadits Nabi saw.; atau hadits tersebut hanya diriwayatkan
oleh dia sendirian, sementra keadaanya memenuhi kaidah-kaidah umum.
Hadits matruk
adalah hadits dha’if yang paling buruk keadaanya sesudah hadits mawdu’. Ibnu
Hajar menyatakn bahwa hadits dha’if yang paling buruk keadaanya adalah hadits
mawdhu’ dan setelah itu hadits matruk, kemudian hadits munkar, hadits mu’allal,
hadits mudraj, hadits maqlub, dan hadits mudhtharib.
3.
Hadits syadz
Hadits syadz ialah:
ما
رواه المقبول محالف لرواية من اولي منه
“hadits
yang diriwayatkan oleh orang yang maqbul, tetapi bertentangan (matannya) dengan
periwayatan dari orang yag kualitasnya lebih utama.
Dari pengertian
di atas, periwayatan yang hanya dilakukan melalui satu jalan sanad, tidak bisa
dikatakan syadz, meskipun sanad tersebut lemah, periwayatan dikatakan syadz
apabila matannya terjadi pertentangan dengan dalil yang lebih kuat. Jika ada hadits
dengan diriwayatkannnya dengan dua tahu tiga jalan sanad, hadits yang
diriwayatkan dengan jalan sanand tersebut menjadi syadz.
Pengetian ini
tidak dipakai oleh para ulama ahli hadits lainnya, hal ini karena hadits yang
diriwayatkan oleh orang tsiqah adalah sahih, meskipun hanya memiliki satu jalan
sanad, sedangkan hadits syadz adalah bagian dari hadits dha’if. Hadits yang
diriwayatkan oleh orang tsiqah baru bisa dikatakan sebagai hadits yang syadz
apabila bertentangan dengan hadits yang lebih tsiqah
4.
Hadits Maqlub
Hadits maqlub ialah:
ابدال
لفظ باخرفي سند الحديث اومتنه بتقديم اوتاخير
“mengganti
suatu lafal dengan lafal yang lain pada sanad atau pada matannya dengan car
mendahulukan atau dengan mengakhirinya.
Dalam istilah yang lain disebutkan:
الحديث
النبي انقلبب فيه علي احد الرواة لفظ في متن او اسمرحل لو نسبه في الا سنا دفقد ما
حقه الناخير اواخر ماحقح النفديم او وضعسي مكان سئ
“hadits
yang makbul ialah hadits yang lafalnya terukar pada salah seorang sanad tahu nama seseorang sanadnya. Kemudian
menaklukkan penyebutnya yang seharusnya disebut belakangan atau membelakangkan
penyebut yang seharusnya didahulukan atau dengan sesuatu pada tempat yang
lain”.
Tertukarnya
hadits disini, bisa jadi pada matanya hadits (maqbul fi al-matan) dan bisa
terjadi pada sanad (maqbul fi as-sanad). Kedua macam hadits maqbul ini tidak
dibenarkan dalam periwayatannya sebab
bisa jadi akan mengbah maksud atau makna hadits tersebut.
Nama-nama
hadits lain yang juga termasuk termasuk hadits dha’if, seperti hadits
mudltharib, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menyalahi hadits lain, yang
tidak dapat ditarik salah satunya; atau hadits yang matan atau sanadnya
diperselisihkan, serta tidak dapat dibocorkan atau diputuskan mana yang kuat.[27]
Penutup
Jadi kesimpulan dari makalah ini hadis ditinjau dari
segi kualitasnya dari para ulama’ hadis menentukan kualitas hadis ditinjau dari
segi kualitas sanadnya dibagi menjadi 3, yaitu : hadis Shahih, hadis Hasan,
hadis Dha;if. Dan hadis hasan terbagi menjadi dua yaitu lidzatihi dan
lighairihi .
Hadis shahih yakni suatu hadits yang
bersambung-sambung sanad-nya, dinukilkan oleh orang yang adil lagi dlabith dari
orang yang semisal itu (yakni orang yang adil lagi dlabith) dan selamat dari
syadz serta dari ‘illat qadihah (cecat yang dapat mencecat hadits itu) .Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan
oleh orang adil, kurang sedikit ke-dhabith-annya, tidak ada keganjilan
(syadzdz) dan tidak ada illat.Dan hadis dha’if adalah hadits yang kehilangan
satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits sahih maupun hadits hasan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Moh, Ilmu Musthalah,
Surabaya: Al iklas, 1981
Sumbulah
dkk, Studi Al-Qur’an Hadis, Malang: UIN Maliki Press, cetakan 1, 2014
Khaeruman, Badri, Ulum Hadis, Bandung: Pustaka
Setia, cetakan 1, 2010
Alawi,
Muhammad, Ilmu Ushul Hadis, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cetakan II,
2009
Suryadilaga, Alfatih, Ulumul Hadis,
Yogyakarta: Teras, 2010
Majid, Abdul, Ulumul Hadis,
Jakarta: Imprint Bumi Aksara, 2015
Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung:
Pustaka Setia, 1999
Sulaiman, Noor, Antologi Ilmu Hadis,
Jakarta: Gaung persada press, 2008
Sahrani, Sohari, Ulumul Hadis,
Bogor: Ghalia Indonesia, 2010
Khariri, Metode Penyelesaian Hadits,
purwokerto: Fajar Pustaka, 2008
Catatan:
1.
Abstrak
jangan hanya copy-paste dari google translate.
2.
Penulisan
footnote masih salah, tolong diperbaiki.
3.
Hadis
shahih juga terbagi menjadi shahih lidzatihi dan shahih lighairihi. Berikan
penjelasan mengenai itu juga.
4.
Berikan
contoh masing-masing jenis hadis, agar dapat dipahami secara komprehenesif.
[1] Moh.
Anwar, Ilmu Musthalah Hadits (Surabaya: Al Ikhlas) 1981. Hlm 34-35
[2] Umi
sumbulah dkk, Studi Al-Qur’an Hadis (Malang: UIN Maliki Press) cetakan I, 2014.
Hlm 204
[3] Ibid,
hlm 205
[4] Moh.
Anwar, op.cit., hlm 35
[5]Badri
Khaeruman, Ulum Hadis (Bandung: Pustaka Setia) cetakan I, 2010. Hlm 120
[6] Umi
Sumbulah, op.cit., hlm 205-206
[7] Moh.
Anwar, op.cit., hlm 35-36
[8] Badri
Khaeruman, op.cit., hlm 121
[9] Umi
Sumbulah, op.cit., hlm 206-207
[10] Loc.cit
[11] Moh.
Anwar, op.cit., hlm 37-38
[12]Ibid.,hlm 43-44
[13]Muhammad Alawi, IlmuUshulHadis
(Yogyakarta: PustakaPelajar) cetakan II, 2009. Hlm 57
[14]Muh. Anwar. Op.cit., hlm 44-45
[15] Alfatih
Suryadilaga,Ulumul Hadis, Teras,
Yoogyakarta, 2010. Hal 260-261
[16] Abdul
Majid, Ulumul Hadis, Imprint Bumi
Aksara, Jakarta, 2015. Hal 179
[17]
Mudasir, Ilmu Hadis, Pustaka Setia,
Bandung, 1999. Hal 154
[19] Alfatih
Suryadilaga,Ulumul Hadis, Teras,
Yoogyakarta, 2010. hal 266-268
[20] Abdul
Majid, Ulumul Hadis, Imprint Bumi
Aksara, Jakarta, 2015. Hal
179-180
[21]Khariri,
MetodePenyelesaianHaditsKontradiktif, Purwokerto, 2008. Hlm 21-22
[22] Prof.
Dr. H. M. Noor Sulaiman PL, 2008, Antologi
Ilmu Hadits, (Jakarta, Gaung Persada Press Jakarta) Halaman 105.
[23] Ibid,
107
[24] Ibid,
108
[25] Sohari
Sahrani, 2010, Ulumul Hadits, (Bogor),
Ghalia Indonesia, Halaman 122.
[26]Ibid, halaman 123.
[27]Abdul majid, op.cit., hlm 122-126
Tidak ada komentar:
Posting Komentar