HADITS DI TINJAU DARI KUALITAS PERAWINYA
(HADITS SHAHIH, HADITS HASAN, DAN HADITS DHAIF)
Alvin Nurma Hida, Irva Azizah dan ,Surya Martha Pratama
Mahasiswa
jurusan Pendidikan Bahasa Arab angkatan 2016 Universitas Islam Negeri
Maulana
Malik Ibrahim
Abstract
Hadith is science of moving, and narrated what is connected by Rasulullah
saw, whether the words he spoke, or acts that he did or acknowledgment that he
swore. This article talks about quality of hadith narrators consisting of
hadeeth, hasan and da'eef. Which they have a different understanding. Hadeeth
has narrator strong qualities memory (dhabith), fair,thereare no
irregularities in the contents, no defect.
Hadeeth should have continued sanad and does not conflict with other hadith are
stronger. Hasan hadeeth is not hadith memorization perfect memorize. Therefore
difference of hadeeth and hasan hadith are lies in the memory. That hasan
hadith does not meet the terms of narration of the hadeeth. Then the hadith is
weak is dhaif hadith, this hadith does not have the requirement of a hasan
hadith and both narrator and content. Sometimes said to be authentic narrator while
not content, and vice versa.
Abstrak
Hadits adalah ilmu tentang memindah dan meriwayatkan apa saja yang
dihubungkan dengan Rasulullah saw, baik mengenai perkataan yang beliau ucapkan,
atau perbuatan yang beliau lakukan atau pengakuan yang beliau ikrarkan. Artikel
ini berbicara mengenai kualitas hadits ditinjau dari perawinya yang terdiri
dari hadits shahih, hasan dan dhaif. Yang mana mereka memiliki pengertian yang
berbeda-beda. Hadits shahih memiliki kualitas rawi yang kuat ingatannya
(dhabith), adil, tidak janggal dalam matan, serta harus selamat dari illat.
Hadits shahih harus memiliki sanad bersambung dan tidak bertentangan dengan
hadits lain yang lebih kuat. Hadits hasan merupakan hadits yang hafalan
penghafalannya tidak sempurna. Oleh karena itu perbedaan dari hadits shahih dan
hadits hasan terletak pada hafalannya. Bahwasannya hadits hasan ini tidak
memenuhi syarat-syarat periwayatan dari hadits shahih. Kemudian hadits dhaif
adalah hadits yang lemah, hadits ini tidak mempunyai persyaratan dari hadits
shahih dan hasan baik secara sanad maupun matan. Adakalanya sanad dikatakan
shahih sedangkan matannya tidak, begitupun sebaliknya.
Keyword : Hadits shahih, hadits hasan, dan hadits Dhaif
A. Pendahuluan
Membicarakan
tentang pembagian hadits dari segi kualitasnya ini tidak dapat dipisahkan dari
pembagian hadits menurut kuantitasnya. Tipe hadits pertama bahwasannya Nabi
Muhammad memang benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan dihadapan para
sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama
sepakat untuk berbuat dusta. Oleh karena kebenaran sumber-sumbernya telah meyakinkan, maka ia
harus diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian dan
penyelidikan, baik terhadap sanad maupun matannya[1].
Tipe hadits
kedua, hanya memberikan faedah zanny (prasangka) dan karenanya harus
diadakan penyelidikan lebih lanjut baik yang berhubungan dengan sanadnya maupun
matannya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas”apakah diterima hujjah
atau ditolak”[2].
Atas dasar
inilah kemudian para ulama hadits membagi hadits-hadits secara kualitas menjadi
dua bagian yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Yang dimaksud dari hadits
maqbul yaitu hadits yang telah memenuhi syarat-syarat penerimaan. Sedangkan
yang di maksud hadits mardud adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syaratnya[3].
Hadits maqbul yaitu berupa hadits shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud
adalah hadits dhaif.
B. Pengertian Hadits
Shahih
Shahih menurut
lughah adalah lawan dari “saqim”, artinya sehat yang berlawan sakit, haq yang
berlawan batil. Menurut ahli hadist, hadist shahih adalah hadist yang sanadnya
bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama,
sampai berakhir pada Rasulullah SAW, atau sahabat atau tabiin, bukan hadist
yang syadz (kontroversi) dan terkena illat yang menyebabkan cacat dalam
penerimanya[4].
Dalam definisi lain hadist shahih adalah,
مَا نَقَلَهُ
عَدْ لُا تَا مُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلِ وَلَاشَاذٍ.
Artinya : “Hadist yang dinukil (diriwayatkan)
oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung-sambung,
tidak ber-illat, dan tidak janggal[5]”.
Subhi shahih mendefinisikan hadist
sebagai berikut:
الحد يث
المستند الذى يتصل اسناده ينقل العدل الضا بط حتي ينتهى الى رسولالله صلعم او الى
منتهاه من صحا بى او من دونه ولا يكون شاذاولامعللا
Artinya“Hadist shahih adalah
hadis musnad, yakni hadist yang bersambung sanadnya, yang dinukil dari perawi
yang adil dan dhabit mulai awal hingga akhir sanad sampai kepada Rasulullah
SAW, dari sahabat atau lainnya, tanpa adanya syadz dan illat[6]”.
Istilah hadist
Shahih merupakan bagian hadist ahad maqbul dilihat dari kualitasnya.Para ulama
berbeda pendapat dalam merumuskan definisinya, namun dari beberapa definisi
itu, dirumuskan bahwa hadist shahih adalah hadist yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh orang-orang adil, kuat ingatannya, serta terhindar dari
kejanggalan-kejanggalan dan illat[7].
Menurut KHZ
Abidin dalam salah satu makalahnya mengatakan bahwa matan hadits shahih tidak
boleh bertentangan dengan hal-hal berikut:
1.
Dengan kaidah bahasa arab, seperti ilmu sharaf
dan balaghah nya
2.
Isi kandungannya tidak boleh bertentangan
dengan hadts shahih yang lebih kuat
3.
Tidak boleh bertentangan dengan kenyataan dan
dasar-dasar yang memberi keterangan agama yang kuat[8]
Dalam hadist
Shahih, harus memenuhi persyaratan atau kriteria sebagai berikut:
a.
Ketersambungan sanad (ittishal al-sanad)
Sanad hadist
harus bersambung atau muttashil, artinya antara pembawa hadist dan
penerimanya terjadi pertemuan secara langsung, sehingga menjadi silsilah atau
rangkaian sanad yang sambung-menyambung, sejak awal sanad sampai pada sumber
hadist itu sendiri yakni Rasulullah Saw[9].
Atau adanya pertautan langsung dalam bentuk relasi guru-murid, mulai dari awal
hingga akhir sanad[10].
Untuk
mengetahui apakah periwayatan bersambung atau tidak, biografi setiap perawi
perlu diteliti secara mendalam. Penelitian ini terfokus pada tempat, tanggal
lahir, dan wafat perawi. Bahkan sikap dan kepercayaan keagamaannya pun harus
dievaluasi secara hati-hati. Sebab, informasi ini dipercaya dapat membantu
ulama yang kritis bukan hanya dalam upaya menetapkan ke-tsiqah-an para perawi, tetapi
juga untuk menentukan kemungkinan dan ketidakmungkinan bahwa perawi telah
menjalin hubungan intelektual dengan para informannya[11].
Dalam artian
lain dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap perawi hadist yang
bersangkut benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu
selanjutnya sampai pada pembicara yang pertama[12].
Untuk
mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad biasanya ulama hadist menempuh
tata kerja penelitian berikut:
·
Mencatat semua nama rawi dalam sanad yang
diteliti
·
Mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi.
·
Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara
para rawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.
Jadi, suatu sanad hadist dapat dinyatakan
bersambung apabila:
·
Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar
tsiqat (adil dan dhabit).
·
Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat
sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan
hadist secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadist[13].
b.
Para perawi yang adil (‘Ad alat al-ruwat)
Adil secara
etimologi berarti pertengahan, lurus, condong kepada kebenaran. Dalam
terminologi ilmu hadist terdapat beberapa definisiyang dikemukakan oleh para
ulama. Diantaranya al-Hakim dan al-Naisaburi yang menyatakan bahwa adalah
seorang muhaddits dipahami sebagai seorang muslim, tidak berbuat bid’ah dan
maksiat yang dapat meruntuhkan moralitasnya. Sebenarnya masih terdapat
formulasi lain yang jika disebutkan seluruhnya kira-kira unsur-unsur yang
dikandung oleh konsep ‘adl itu lebih
kurang 15 poin. Namun kesemuanya itu disimpulkan menjadi empat point, yakni:
muslim, mukkalaf, melaksanakan ketentuan agama dan senantiasa memelihara citra
diri (muru’ah). Muslim adalah unsur utama yang terkandung dalam cakupan makna
adil, diharuskan bagi seseorang yang menyampaikan riwayat hadits. Sedangkan
bagi kegiatan menerima hadits tidak disyaratkan. Oleh karena itu, orang kafir
pun diperbolehkan menerima suatu hadits[14]
Hadist
diriwayatkan oleh para perawi yang adil, yaitu memilki sifat-sifat yang dapat
mendorong terpeliharanya ketakwaan, baik akidah terpelihara dari dosa besar dan
kecil, maupun akhlaknya terpelihara dari hal-hal yang menodai muru’ah,
disamping itu ia juga seorang muslim baligh, berakal sehat, dan tidak fasiq[15].
Para ulama
hadits lebih jauh mengajukan syarat-syarat khusus bagi seorang perawi yang
adil. Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menyebut lima syarat, yakni takwa kepada Allah,
memiliki moralitas yang mulia (muru’ah), bebas dari dosa besar, tidak melakukan
dosa besar, tidak melakukan bid’ah, dan tidak fasiq[16].
Menurut
Ar-Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak
takwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil,
dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah dan menodai muru’ah seperti makan
sambil berdiri dijalanan, buang air (kencing) tempat yang bukan disediakan
untuknya, dan bergurau yang berlebihan[17].
Menurut syuhadi ismail,
kriteria-kriteria periwatan yang bersifat adil, adalah
·
Beragama islam
·
Berstatus mukalaf ( al-mukalaf)
·
Melaksanakan ketentuan agama
·
Memelihara muru’ah[18]
c.
Para Perawi Dhabit (dhawabith al-ruwat)
Aspek
intelektualitas (dhabit) perawi yang dikenal dalam ilmu hadits dipahami sebagai
kapasitas kecerdasan perawi hadits. Istilah dhabit secara etimologi memiliki
arti menjaga sesuatu. Aspek tersebut merupakan salah satu dari sekian
persyaratan asasi yang harus ada pada seorang perawi hadits, untuk bisa
diterima riwayat yang disampaikan[19]
Hadist
diriwayatkan oleh para perawi yang dhabith atau kuat ingatannya, yaitu
perawi yang baik hafalannya, tidak pelupa, tidak banyak ragu, tidak banyak
salah, sehingga dapat mengingat dengan sempurna hadist-hadist yang diterima dan
diriwayatkannya[20].
Dhabith adalah
bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai hadist dengan baik, baik dengan
hafalan yang kuat atau dengan kitabnya. Lalu ia mampu mengungkapkannya kembali
ketika meriwayatkannya.Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat sejak
menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup
dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki, orang itu dinamakan dhabtu
shadri. Kemudian kalau apa yang disampaikan itu berdasar pada buku catatannya
(teks book) ia disebut dhabtu kitab. Rawi yang adil dan sekaligus dhabith
disebut tsiqat[21].
d.
Terhidar dari kerancuan (‘adam syudzudz)
Dalam
terminologi ilmu hadits, terdapat tiga pendapat berkenaan dengan definisi
syadz. Namun dari ketiga pendapat tersebut, yang paling populer adalah pendapat
yang dimajukan al-syafi’i. Yang mengatakan bahwa hadits baru dinyatakan
mengandung syadz bila hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqah
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang juga
bersifat tsiqah. Dengan demikian, hadits syadz itu tidaklah disebabkan oleh
kemenyendirian individu perawi dalam sanad hadist (fard mutlaq), dan juga tidak
disebabkan oleh kualitas perawi yang tidak tsiqah[22].
Hadist tidak
janggal (Syadz), artinya tidak bertentangan dengan matan hadist yang
lebih tinggi derajatnya, seperti hadist Mutawwatir atau hadist yang
sudah diketahui tinggi kualitas keshahihannya dan tidak bertentangan pula
dengan ayat Al-Qur’an[23].
Kejanggalan
hadist terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadist yang diriwayatkan
oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadist yang
diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan
kelebihan jumlah sanad dalam ke-dhabit-an atau adanya segi-segi tarjih yang
lain[24].
Sebuah hadits dianggap
syadz apabila; pertama, semua perawinya tsiqah, kedua ia memiliki lebih dari
satu perawi, tetapi ketiga matan atau sanadnya bertentangan dengan
riwayat-riwayat lain yang dianggap lebih tsiqah[25].
e.
Terhindar dari kecacatan (‘adam ‘ilat)
Kata illat
secara llughawi berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan.
Adapun dalam terminologi ilmu hadits, illat didefinisikan sebagai sebuah hadits
yang didalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak keshahihan
hadits yang secara lahir tampak shahih[26].
Di dalam konteks ini, ibn shalah mendefinisikan ‘illat sebagai sebab
tersembunyi yang merusak kualitas hadits, karena keberadannya menyebabkan
hadits yang pada lahirnya berkualitas shahih menjadi tidak shahih lagi.
Sedangkan ibn Taimiyah menyatakan bahwa hadits yang mengandung ‘illat adalah
hadits yang sanadnya secara lahir tampak baik, namun ternyata setelah diteliti
lebih lanjut, didalamnya terdapat rawi yang ghalt (banyak melakukan kesalahan),
sanadnya mawquf atau mursal, bahkan ada kemungkinan ,asuknya hadits lain pada
hadits tersebut[27].
Hadist tidak
cacat (illat), yaitu suatu sebab yang tidak tampak atau samar-samar, yang
dapat mencacatkan keshahihan suatu hadist, seperti perawi yang tadinya disangka
kuat ingatannya ternyata sudah diteliti secara mendalam ia tidak kuat
ingatannya.[28]Atau
hadist yang bersangkutan terbebas dari cacat keshahihannya, yakni hadist-hadist
ini terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak hadist ini tidak menunjukkan adanya cacat
tersebut[29].
Jadi, hadist
shahih adalah hadist yang rawinya adil dan sempurna ke-dhabith-annya, sanad
muttashil, dan tidak cacat matanya marfu’, tidak cacat dan tidak janggal[30].
Hadist Shahih dibagi menjadi dua.
1.
hadist Shahih lidzatin, yaitu hadist shahih
dengan sendirinya. Artinya hadist tersebut dengan sendirinya telah memiliki
lima kriteria diatas[31],
yang memenuhi syarat-syarat secara maksimal[32]atau
dengan kata lain memuat semua sifat-sifat penerimaan hadits pada tingkat
tertinggi[33].
2.
hadist shahih lighairih, yaitu hadist yang
keshahihannya dibantu oleh adanya keterangan lain[34],atau
atas topangan hadist lain[35]yang
tidak memenuhi syarat-syarat secara maksimal[36].
Pada mulanya, kategori hadist ini memiliki kelemahan pada aspek ke-dhabith-an
perawinya, sehingga nilainya hanya sampai pada tingkatan hasan lidzatih. Akan
tetapi, hadist tersebut dikuatkan oleh keterangan lain, baik berupa syahid
maupun muttabi’ (matan atau sanad lain) yang menguatkan kandungan matannya,
sehingga hadist tersebut naik derajatnya setingkat lebih tinggi menjadi Shahih
Lighairih[37].
Hukum-hukum hadis shahih
Adapun mengenai hukum-hukum hadis
shahih ialah sebgai berikut.
1.
Berakibat kepastian hukum. Hal ini apabila
hadis tersebut terdapat pada shahih bukhari dan shahih muslim.
2.
Imperatif diamalkan. Meurut ibnu Hajar dalam
kitab syarah Al-Nuhbah mengamalkan setiap hadis yang shahih, meskipun hadis
dimaksud tidak termasuk yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim[38].
3.
Imperatif untuk menerimannya. Menurut Al-qasim
dalam kitab Qawa’idu Al-Tahdits, bahwa wajib menerima hadis shahih walaupun
hadis shahih itu tidak pernah diamallkan oleh seorang pun.
4.
Imperatif segera diamalkan tanpa menunggu
sampai adanya dalil yang bertentangan. Menurut syekh Al- Fallani di dalam kitab
Liqaadzu Al-Himami, bahwa mengamalkan hadis shahih tidak usah menunggu
mengetahui tidak adanya nasikh, atau tidak adannya ijma’ atau dalil-dalil lain yang bertentangan dengannya.
5.
Hadis shahih tidak membahayakan. Menurut Ibnu
Qayyim dalam kitab Ighaatsatu Al-lahfan, bahwa hadis shahih walaupun hanya
diriwayatkan oleh seorang sahabat saja tidaka membahayakan, yakni tidak
mengurangi kadar keshahihannya.
6.
Tidak harus diriwayatkan oleh orang banyak.
Hadis yang shahih tidak pasti diriwayatkan oleh orang banyak, sebagai dasarnya
ialah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Muadz yang
berbunyi sebagai berikut[39]
مَا مِنْ اَحَدٍ يَشْهَدُ اَنْ لَاِ الَهَ
اِلَّا اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُاللهِ اِلَّا حَرَّمَهُ الله عَلَى
النَّارِ فَقَالَ مُعَاذُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ اَفَلَا أُخْبِرُ بِهِ
فَيَسْتَبْشِرُوْا. قَالَ صلعم اِذًا يَتَكْلُوا. فَأَخْبَرَ هُمْ مُعَاذُ عِنْدَ
مَوْتِهِ
“tidak seorang yang mengucap dua kalimat
syahadat kecuali Allah mengharamkannya masuk neraka. Mu’adz bertanya, “wahai
rasulullah, apakah tidak sebaiknya hadis ini aku beritahukan kepada orang-orang
supaa mereka bergembira?” Nabi saw menjawab, kalau begitu, orang-orang hanya
bertawakal saja.” Hadis tersebut baru diceritakan kepada prang-orang oleh
Mu’adz menjelang wafatnya karena takut berdosa jika tidak mengamalkannya.”
Imam bukhari meriwyatkan secara
ta’liq dari sahabat Ali ra:
حَدِثَوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ
اَتُحَبُّونَ اَنْ يُكَذِّبُ الله وَرَسُولُهُ
“ceritakanlah (hadits) kepada
orang-orang sesuai dengan pengetahuannya, apakah kalian senang. Allah dan
RasulNya didustakan?”
Ibnu Mas’ud juga berkata:
مَا اَنْتَ مُحَدِّثٌ قَوْمًا حَدِيْثًا لَا
تِبْلُغُهُ عُقُولُهُم اِلَّا لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةٌ (رواه مسلم)
“engkau tidak boleh menceritakan
kepada suatu kaum ssesuatu hadis yang tidak terjangkau oleh akal mereka,
melainkan[40]
kau hanya akan menimbulkan fitnah diantara mereka.” (HR. Muslim)
Al-hafidz ibnu hajar berkata,
diantara ulama yang tidak suka menceritakan hadis secara sepotong –potong ialah
imm Ahmad, yaitu mengenai hadis-hadis yang berisi secara eksplisit keluar dari
ikatan pimpinan, dan imam Malik mengenai hadis-hadis yang berhubungan dengan
sifat-sifat Allah SWT[41].
Saya berpendapat, sebagaimnana yang
dikatakan oleh sebagian ulama, bahwa orang-orang bodoh yang meriwayatkan hadis
secara sepotong-potong dengan maksud-maksud tertentu, diantaranya untuk
menghindari kewajiban-kewajiban atau menghilangkan hukum-hukum, tindakannya itu
akan menimbulkan kerusakan dunia dan akhirat. Bagaimana mereka sampai bisa
berbuat demikian, padahal semestnya semakin bertambah pengetahuan hadisnya.
Sperti halnya akan semakin giat ula ibadahnya. Seperti halnya ketika nabi saw
ditanya, “mengapa engkau selalu qiyaamu Al-lail padahal Allah SWT telah
memaafkan engkau? Kontan nabi menjawab ,” tidak bolehkah aku menjadi seorang
hamba tang banyak bersyukur?”[42]
Martabat Hadist Shahih[43]
Hadist yang
paling tinggi derajatnya adalah hadist yang bersanad ashanul asanid, kemudian
berturut-turut sebagai berikut:
1.
Hadist yang disepakati oleh Bukhari Muslim[44]yang
lazim disebut dengan istilah “Muttafaqun ‘alaihi”[45].
2.
Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
sendiri
3.
Hadist yang diriwayatkan oleh imam Muslim
sendiri
4.
Hadist shahih yang diriwayatkan menurut
syarat-syarat bukhari dan muslim, sedangkan kedua imam itu tidak
men-takhrij-nya.
5.
Hadist shahih menurut syarat Muslim, sedangkan
Imam Bukhari sendiri tidak men-takhrij-nya
6.
Hadist shahih menurut syarat Muslim, sedangkan
Imam Muslim sendiri tidak men-takhrij-nya.
7.
Hadist shahih yang tidak menurut salah satu
syarat dari kedua Imam Bukhari dan Muslim. Ini berarti si pen-takhrij tidak
mengambil hadist dari rawi-rawi atau guru-guru Bukhari dan Muslim, yang telah
beliau sepakati bersama atau yang masih diperselisihkan. Akan tetapi, hadist
yang kenamaan. Misalnya hadist-hadist shahih yang terdapat pada shahih ibnu
muzaimah, shahih Ibnu Hibban, dan Shahih Al-Hakim[46].
Syekh Abdullah
bin Ibrahim Al-Awali emnghimpun tingkatan-tingkatan hadits shahih didalam
nadham kitabnya yang berjudul Thal’afu Al-Anwar, sebagai berikut:
اعلى الصحيح ما
عليه اتفا قا فما روى
الجعفى فردا ينتقى
فمسلم كذالك فى
الشرط عرف فما لشرط غير
ذين يكتنف
Artinya “setinggi-tinggi hadits
shahih inilah yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim, lalu yang bersih yang
diriwayatkan oleh Al ju’fi (al Bukahri) seorang diri, kemudian yang
diriwayatkan oleh Muslim dalam syarat yang diketahui adalah seperti itu,
selanjutnya yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini dengan melingkupi
syarat-syarat selain dari syarat-syarat keduanya”[47].
Maksud dari ungkapan nadhom
tersebut adalah:
·
Hadist shahih yang paling tinggi derajatnya
ialah yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim, yaitu menempati tingkatan
hadits shahih yang pertama.
·
Kemudian hadist shahih yang diriwayatkan oleh
al-ju’fi (Al Bukhari) saja menempati tingkatan hadits shahih yang kedua.
·
Dan shahih yang diriwayatkan oleh muslim saja
menempati tingkatan hadits shahih yang ketiga
·
Lalu hadits shahih yang diriwayatkan oleh
selalin dua orang lain (AL-Bukhari dan Muslim) yang mengikuti syarat-syarat Al
Bukhari dan Muslim, menempati tingkatan haidts shahih yang keempat.
·
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh selain
dua orang ini (selain Al Bukhari dan Muslim) yang mengikuti syarat-syarat Al
bukhari, menempati tingkatan hadits shahih yang kelima[48]
·
Hadits shahih yang diriwayatkan oleh selain
dua orang ini (selain Al-Bukhari dan Muslim) yang mengikuti syarat-syarat
Muslim, menempati tingkatan hadits shahih yang keenam
·
Selanjutnya hadits shahih yang diriwayatkan
oleh selain dua orang ini (selian Bukhari dan Muslim) yang melingkupi
syarat-syarat keshahihan selain dari syarat-syarat keduanya, menempati
tingkatan hadits shahih yang ketujuh.[49]
Karya-Karya yang Hanya Memuat
Hadist Shahih
Diantara karya-karya yang hanya
memuat hadist shahih adalah.
1.
Shahih Bukhari
2.
Shahih Muslim
3.
Mustadrak Al-Hakim
4.
Shahih Ibnu Hibban
5.
Shahih Ibnu Khuzaimah[50]
Contoh Hadits Shahih
حَدَّثَنَا الحُمَيْدِيُّ عَبْدُاللهِ بْنُ الزُ
بَيْرِقَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَثَّنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ لْاَ
نْصَارِي قَالَ أَخْبَرَنِى مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ
سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَبْنَ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ الله
صلى الله عليه وسلم يَقُولُ إِنَّمَا الْاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلَى دُنْيَا يَصِيبُهَا
أَوْ إِلَى اِمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
(اخرجه البخاري)
Mengabarkan pada kami al-Humaidi
yakni uhbdullah bin al-Zubai katanya, mengabarkan kepada kami sufyan katanya,
mengabarkan kepada kami Yahya bin Said al-Anshori katanya, mengabarkan kepadaku
Muhammad bin Ibrohim Al-Taimimi katanya, bahwa dia mendengar alkamah bin Wakash
al-Laids berkata, aku mendengar umar bin khatab berkata diatas mimbar dan
katanya, aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda “hanya saja amal itu karena
niat, hanya saja setiap orang itu bergantung pada apa yang di niatkannya,
barang siapa yang hidrahnya karena dunia niscaya ia akan mendapatkannya, atau
karena wanita niscaya ia akan mengawininya. Karena itu hijrahnya didasarkan
atas apa yang ia niatkan dalam hijrahnya itu[51].”
Sanad hadits di atas adalah: Al
Bukhari, Al humaidi Abdullah bin Al-zhabir, sufiyan, yahya bin sa’id
al-Anshori, Muhammad bin Ibrohim al taimi, al qamah bin waqash dan umar bin
khattab selanjutnya, semua sanad hadits itu dikatakan muttashil (bersambung),
dan seluruh rawinya, yaitu Umar bin Khattab sampai kepada mukharij (Al-Bukhari)
merupakan Rawi yang tsiqat. Kemudian hadits tadi tidak bertentangan dengan
hadits lain yang lebih kuat (syadzdz) dan tidak dijumpai pula adanya illat[52].
Dari contoh diatas, dalat
disimpulkan bahwa hadits ini shahih hukumnya, baik secara matan maupun secara
sanad[53]
C. Pengertian Hadits Hasan
Hasan, menurut
lughat adalah sifat musybhahah dari ‘Al-Husna’, artinya bagus.Menurut Ibnu
Hajar, Hadist hasan adalah[54]
خَبَرَ الْاَ حَا
دِ بِنَقْلِ عَدْلٍ تَا مِّ الضَّبْطِ مُتَّصِلْ السَّنَدِ غَيْرَ مُعَلَّلٍ وَلَا
شَا ذٍ.
Artinya: “Khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna
hafalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz[55]”.
Para ulama
juga berbeda pendapat dalam merumuskan definisi hadist hasan. Dari beberapa
sumber dapat disimpulkan, hadist hasan[56]
merupakan hadist yang dinukilkan oleh seorang yang adil tapi kurang kuat
ingatannya, bersambung-sambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak pula terdapat
kejanggalan pada matannya[57].
Perbedaan prinsip
antara hadits shahih dan hasan terletak pada keadaan perawinya. Pada hadis
shahih perawinya sempurna dhabitnya, sedangkan pada hadits hasan, kedhabitan
perawinya kurang sempurna. Oleh karena itu pulalah maka kualitas hadits hasan
diposisikan dibawah hadits shahih[58].
Dari definisi
diatas dapat dipahami, hadist Hasan pada dasarnya sama dengan hadist shahih,
perbedaanya hanya terletak pada ke dhabith-an (kuatnya hafalan) perawi. Jika
pada hadist shahih diriwayatkan oleh perawi yang dhabith (kuat hafalannya),
maka pada hadist hasan diriwayatkan oleh perawi yang kurang kuat ingatannya[59].Untuk
membedakan antara hadist shahih dan hadist hasan, kita harus mengetahui batasan
dari kedua hadist tersebut. Batasannya adalah keadilan pada hadist hasan
disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadist
shahih terdapat rawi-rawi yang benar-benar kuat ingatannya. Akan tetapi,
keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai
hujjah dan kandungannya dapat dijadikan penguat[60].
Adapun syarat-syarat lainnya, antara hadist shahih dan hadist hasan adalah sama[61]
Atas dasar pengertian hadits hasan
tersebut, maka syarat-syarat hadits hasan itu ada lima macam, yaitu:
1.
Muttasil sanadnya.
2.
Rawinya adil.
3.
Rawinya dhabith.
4.
Tidak termasuk hadits syadz.
5.
Tidak terdapat illat (cacat)[62]
Klasifikasi Hadist Hasan
1.
Hadist yang memenuhi segala syarat-syarat
hadist hasan disebut hadist hasan lidzatih. Syarat untuk hadist hasan adalah sebagaimana
syarat untuk hadist shahih, kecuali bahwa para rawinya hanya termasuk kelompok
keempat (shaduq) atau istilah lain yang setara atau sama dengan tingkatan
tersebut[63].
2.
Adapun hasan lighairih adalah hadist dhaif
yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik yang
mempunyai mutabi’ dan syahid. Hadist dhaif yang karena rawinya buruk hapalannya
(su’u al-hifdzi) tidak dikenal identitasnya (mastur) dan mudallis
(menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi karena
dibantu oleh hadist hadist lain yang semisal dan semakna atau karena banyak
rawi yang meriwayatkan[64].
Jadi Hadist
hasan dibagi menjadi dua macam: hasan lidzatihyaitu hadist hasan yang telah
memenuhi persyaratan-persyaratan diatas, dan hasan lighairih yaitu hadist yang
menduduki kualitas hasan karena dibantu oleh keterangan lain, karena adanya
syahid maupun muttabi’[65].Dengan
kata lain, hadist hasan lighairih semula adalah hadist yang kualitasnya dibawah
hasan (dhaif tidak terlalu lemah), tetapi matannya sama atau semakna dengan
matan hadist lain yang sanadnya hasan, atau karena banyak yang meriwayatkannya,
sehingga hadist pertama tadi terangkat derajatnya menjadi hadist hasan
lighairih[66].
Kedudukan Hadist Shahih dan Hasan
dalam Berhujjah
Kebanyakan
ulama ahli hadist dan fuqaha bersepakat untuk menggunakan hadist shahih dan
hadist hasan sebagai hujjah. Di samping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa
hadist hasan dapat digunakan sebagai hujjah, bila mana memenuhi sifat-sifat
yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang saksama.
Sebab, sifat-sifat yang dapat diterima itu ada yang tinggi, menengah, dan
rendah. Hadist yang sifat dapat diterimanya tinggi dan menengah adalah hadist
shahih, sedangkan hadist yang sifat dapat diterimanya rendah adalah hadist
hasan[67].
Kitab-Kitab yang mengandung Hadist
Hasan
Para ulama
belum menyusun kitab khusus tentang hadist-hadist hasan secara terpisah
sebagaimana mereka melakukannya dalam hadist shahih, tetapi hadist hasan banyak
kita dapatkan pada sebagian kitab diantaranya:
·
Jami’ At-Tarmidzi, dikenal dengan sunan
At-Tirmidzi, merupakan sumber untuk mengetahui hadist hasan
·
Sunan Abu Dawud
·
Sunan Ad-Daruquthi[68]
Contoh Hadits hasan
حَدَّثَنَا
اِبْرَاهِيْمُ بْنُ مُوْ سَى أَخْبَرَ نَا عِيْسَى بْنُ يُوْنُسَ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقْ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ التَّيْمِيِّ عَنْ
أَبِيْ سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّ حْمَنِ عَنْ زَيْدِ بْنِ حَالِدٍ الجُهَنِيٍّ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولُ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَ سَلَمَ يَقُوْلُ لَوْلاَ أَنْ
أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لَأَ مَرْتُهُمْ با لسِّوَ اكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَا ةٍ
قَالَ أَبُو سَلَمَةً فَرَأَيْتُ زَيْذًا
يَجْلِسُ فِىْ الْمَسْجِدِ وَإِنَّ السِّوَاكَ مِنْ أُذُ نِهِ مَوْضِعَ الْقَلَمِ
مِنْ أُذُنِ الْكَا تِبِ فَكُلَّمَا قَامَ إِلَى الصَّلَا ةِ اسْتَاكَ (سنن الةر مذى)
“Abu kuraib menceritakan kepada
kami katanya, abdah bin sulaiman menceritakan kepada kami, diterima dari
muhammad bin amr, dari abu salamah, dari abu hurairah, dari nabi saw. Katanya:
seumpama tidak memberatkan kepada umatku, pasti akan kuperintahkan mereka untuk
bersiwak setiap akan shalat.”
Menurut ibnu
Munir, Muhammad Amr (salah satu rawi diatas) kurang ke dhabith annya. Sehingga
kualitas hadits ini menjadi hasan.[69]
Hadits yang diriwayatkan oleh
At-Tarmidzi dan dia menilainya hasan, dari riwayat syu’bah dari ‘Asim bin
Ubaidillah, dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya, berbunyi sebagai
berikut.
اِنَّ
اِمْرَأَةً مِنْ بَنِى فُزَارَةِ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَرَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالُكِ بِنَعْلَينِ ؟
قَالَتْ نَعَمْ فَأَجَازَ
“Bahwasannya seorang perempuan dari Bani
Fuzarah menikah dengan mahar sepasang sandal. Kemudian Rasulullah bertanya
kepadanya, ‘apakah kamu merelakan dirimu di dinikahi sedang harta yang
diberikan kepadamu sebagai mahar hanya sepasang sandal?”Dia menjawab, Ya. Maka
Rasulullah saw melangsungkan penikahan itu.”
At Tirmidzi mengomentari, bahwa hadits itu
terdapat riwayat-riwayat lain, yaitu dari Umar Abu Hurairah, Aisyah, dan Abu
Hadrad. Dalam hal ini At-Tarmidzi menilai hadits tersebut hasan, karena
meskipun ‘Asim dalam sanad hadits yang diriwayatkannya itu dhaif karena jelek
hafalannya, hadits ini didukung oleh adanya riwayat-riwayat lain[70].
D.
Pengertian Hadist Dhaif
Dhaif menurut
lughat adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat). Adapun menurut Muhaditsin
هُوَ كُلُّ
حَدِ يْثٍ لَمْ تَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَا تُ الْقَبُوْلِ. وَقَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِهُوَمَالَمْ
يَجْمَعْ صِفَةَ الصَّحِيْحِ وَالْحَسَنِ.
“Hadist dhaif adalah semua hadist yang tidak
terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadist yang diterima dan menurut pendapat
kebanyakan ulama, hadist dhaif adalah yang tidak terkumpul padanya sifat hadist
shahih dan hasan[71]”.
Hadist dhaif
termasuk hadist ahad yang mardud (ditolak), tidak bisa dipegangi dan tidak pula
dijadikan hujjah.Pengertian hadist dhaif adalah hadist yang kehilangan[72]
satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadist shahih ataupun hasan. Dengan
kata lain, hadist dhaif merupakan suatu hadist yang tidak memenuhi kriteria
atau persyaratan hadist maqbul[73].
Merujuk pada
definisi diatas, jika tidak memenuhi satu syarat saja dari syarat-syarat hadist
maqbul, maka hadist tersebut sudah tergolong hadist dhaif. Oleh karena itu,
jika syarat yang tak terpenuhi lebih dari satu, maka derajatnya lebih dhaif
lagi, demikian juga seterusnya.Sebagian ulama memandang tingkatan-tingkatan
kedhaifan sebuah hadist pada dhaif, dhaif sekali, dan maudhu’. Ada pula yang
membagi lebih rinci yaitu; dhaif, dhaif sekali, wahi, munkar dan maudhu’,
sebagai tingkatan hadist dhaif yang paling lemah.Hadist dhaif terbagi menjadi
beberapa bagian yang cukup banyak, dan para ulama berbeda-beda dalam
menyebutkannya. Meski demikian pembagian hadist dhaif tersebut merujuk pada dua
sebab ke-dhaifa-an yaitu dhaif yang disebabkan sanadnya tidak bersambung, dan
dhaif yang disebabkan oleh sebab-sebab lain, selain tidak bersambungnya sanad[74].
Dalam
pembahasan ini tidak diuraikan bagian-bagian masing-masing hadist dhaif beserta
penjelasannya karena urgensi pembahasan pembagian hadist ini adalah untuk
memberikan gambaran dan menjembatani pada bagian inti, yakni menyelesaikan
hadist mukhtalif. Dengan demikian rasanya cukup untuk mengetahui hadist dhaif
secara global dari manapun aspek ke-dhaifannya dan apapun namanya[75].
Hukum-hukum hadits dhaif
1.
Tidak boleh diamalkan, baik dalam
menggunakannya sebagai landasan menetapkan suatu hukum maupun sebagai landasan
suatu akidah. Melainkan hanya dibolehkan
dalam hal keutamaan-keutamaan amal dengan memberikan iklim yang kondusif
menggairahkan atau merasa takut untuk melakukan atau tidak melakukan suatu amal
perbuatan, dan dalam hal menerangkan biografi. Menurut para ahli hadits,
pendapat ini dapat dijadikan pegangan, tetapi hal itu masih diperselisihkan
dikalangan para ulama tentang dibolehkannya mengamalkan hadits dhaif. Mereka
membolehkan mengamalkan hadits dhaif dengan syarat-syarat sebagaimana yang
disebutkan Ibnu Hajar, yaitu :
·
Hadits dhaif itu mengenai keutamaan-keutamaan
amal
·
Kualitas kedhaifannya tidak terlalu, sehingga
tidak dibolehkan mengamalkan hadits-hadits dhaif yang diriwayatkan oleh
orang-orang pendusta, yang tertuduh berbuat dusta, dan sangat jelas
kesalahannya.
·
Hadits dhaif itu harus bersumber pada dalil
yang bida diamalkan.
·
Pada waktu mengamalkan hadits dhaif tidak
boleh mempercayai kepastian hadits itu, melainkan harus dengan niat ikhtiyat
(berhati-hati dalam agama).
Ulama yang
menegaskan dibolehkan mengamalkan hadits dhaif dalam bidang keutamaan-keutamaan
amal, diantaranya ialah:
o
Imam Al-Nawai dalam kitabnya Al-Taqrib
o
Imam Al-Iraaqi dalam kitab Syarah Alfiyah
Al-Iraaqi
o
Ibn Hajar Al-Asqalaani dalam kitab syarah
Al-Nukhbah
o
Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Syarah
Alfiyah Al-Iraaqi
o
Al-Hafidz Al-Suyuti dalam kitab Al Tadrib
o
Ibnu Hajar Al-Makki dalam kitab Syarah
Al-Arba’in
o
Ibnu Hajar Al-Makki dalam kitab Syarah
Al-Arba’in
o
Al-Allaamah Al-Lukhnuwi dalam risalah yang
membahas secara lengkap tentang hadits dhaif yang berjudul Al-Ajwibah
Al-fashilah
o
Ayah saya Al-Sayyid Alawi Al Maliki dalam
kitab Risalah khusus tentang hukum hadits dhaif.
2.
Orang yang mengetahui hadits sanadnya dhaif,
maka harus mengatakannya, “hadits ini sanadnya dhaif”. Tidak dibolehkan dengan
mengatakannya, “hadits ini sanadnya dhaif” hanya disebabkan adanya kelemahan
dalam sanad. Karena, hadits itu kadang mempunyai sanad lain yang shahih.
Seseorang dibolehkan menyebutnya dengan tegas, “hadits ini dhaif” apabila telah
jelas tidak ada sanad lain yang shahih.
3.
Hadits dhaif tanpa sanad tidak boleh diucapkan
dengan kata-kata, “bahwasannya Nabi saw bersabda,.. begini dan begitu.. dst.
“akan tetapi, harus diucapkan dengan kata-kata, “diriwayatkan dari Nabi
saw... begini ... begitu.. dst,” atau dengan kata-kata, “telah sampai
kepadaku dari Nabi saw...begini..begitu..dst,” atau “datangdari nabi
saw..begini...begitu...dst”, atau “dari Nabi saw...begini..begitu..dst”,atau
“dinukil dari Nabi saw begini...begitu...dst”, atau dengan kata-kata
lain yang senada, yang terdiri dari bentuk-bentuk ungkapan yang mengandung
makna tidak adanya kepastian, yang disebut “shighat tamridh”
Adapun untuk menyebutkan hadits
shahih, sudah barang tentu harus menggunakan ungkapan yang menunjukan arti
kepastian, yang disebut dengan “shighat jazm.” Dan dipandang sangat
tidak baik meriwayatkan hadits shahih dengan menggunakan shighat tamridh[76]
4.
Apabila hadits dhaif itu mempunyai makna yang
musykil, maka tidak perlu dicari-cari interpretasinya dengan cara mena’wil atau
dengan cara lain untuk menghilangkan kemusyrikannya, sebab cara-cara yang
demikian itu hanya bisa dilakukan terhadap hadits shahih.
5.
Hadits dhaif tidak boleh mengakibatkan
turunnya kualitas validitas hadits shahih. Demikian ini pendapat Ibnu Hajar
dalam kitab Fathu Al-Bahri[77]
Para ulama
Muhaditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadist dari dua jurusan, yakni
dari jurusan sanad dan jurusan matan[78].
Sebab-sebab tertolaknya hadist dari
jurusan sanad adalah :
·
Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik
tentang keadilan maupun ke-dhabith-annya.
·
Ketidakbersambungannya sanad, dikarenakan
adalah seseorang rawi atau lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu
sama lain[79].
Adapun cacat pada keadilan dan
ke-dhabith-an rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut.
1.
Dusta
2.
Tertuduh dusta
3.
Fasik
4.
Banyak salah
5.
Lengah dalam menghafal
6.
Menyalahi riwayat orang kepercayaan
7.
Banyak waham (purbasangka)
8.
Tidak diketahui identitasnya
9.
Penganut bid’ah
10. Tidak baik
hafalannya[80]
Klasifikasi Hadist Dhaif
a.
Hadist Maudhu’
Hadist maudhu’
adalah,
هُوَ اْلمُخْتَلَعُ المَصْنُوْعُ المَنْسُوبُ إِلَى
رَسُولُ اللهُ صلى الله عليه وسلم زُوْرًاوَبُهْتَانًا سَوَاءُكَانَ ذَلِكَ عَمْدً
اأَمْ خَطَأً
Artinya : “Hadist yang
dicipta serta buat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbatkan
kepada Rasulullah SAW. Secara palsu dan dusta, baik sengaja maupun tidak[81]”.
Para ulama
menentukan bahwa ciri-ciri ke maudhu’ an suatu hadist terdapat pada sanad
hadist, yaitu adanya pengakkuan diri si pembuat sendiri, qarinah-qarinah yang
memperkuat adanya pengakuan membuat hadist maudhu’ dan qarinah-qarinah yang
berpautan dengan tingkah lakunya[82].
Adapun
ciri-ciri yang terdapat pada matan, dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi
ma’na dan segi lafadz. Dari segi ma’na yaitu bahwa hadist itu bertentangan
dengan Al-Qur’an, Hadist muttawatir, ijma’, logika yang sehat. Dari segi
lafadz, yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik dan tidak fasih[83].
Karya-karya
dalam hadist maudhu’
Para ulama
Muhaditsin, dengan menggunakan berbagai kaidah studi kritis hadist, berhasil
mengumpulkan hadist maudhu’ dalam sejumlah karya yang cukup banyak, diantaranya[84].
·
Al-Maudhu’at, karya ibn Al-Jauzi (Ulama yang
paling awal menulis dalam ilmu ini).
·
Al-La’ali Al-syaria’ah Al-Marfu’ah ‘an
Al-Ahadist Asy Syani’ah AL-Maudhu’ah, karya Ibnu ‘Iraq Al-Kittani (ringkasan
kedua kitab tersebut)
·
Silsilah Al-Ahadist Adh-Dha’ifah, karya Albani[85].
b.
Hadist Matruk
Hadist matruk
adalah
هُوَ احَدِيثُ
الَّذِي فِي إِسْنَادِهِ رَاوٍ مُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ
Rawi yang
tertuduh dusta adalah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai
pendusta, tetapi belum dapat dibutikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam
membuat hadist. Seorang rawi yang tertuduh dusta, bila ia bertobat dengan
sungguh-sungguh, dapat diterima periwayatan hadist nya[87].
c.
Hadist Munkar
Hadist Munkar
adalah hadist yang pada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahannya, banyak
kelengahannya atau tampak kefasikannya. Lawannya dinamakan ma’ruf[88]
d.
Hadist Syadzdz
Hadist syadz
adalah hadist yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, yang menyalahi
riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak
ataupun lebih tinggi daya hapalnya[89].
Macam-macam
hadits yang termasuk pada kategori dhaif itu cukup banyak. Para ahli
berbeda-beda pula dalam menyebut dan menghitung macam-macam hadits ini,
tergantung pada syarat hadits shohih da hasan yang tidak terpenuhinya. Untuk
sekedar mengenalkan macamya, berikut ini akan kemukakan 20 macam hadis yang
dikategorikan sebagai hadis dhaif[90].
1.
Hadis munkar, yaitu hadis yang matannya tidak
ditemukan lagi pada periwayata lain, matan itu hanya ditemukan dari perawi
bersangkutan satu-satunya, padahal rawi itu tidak termasuk rawi yang dlabith
(kuat hafalan)
2.
Hadis matruk, yaitu hadis yang diriwayatkan
oleh seorang yang tertuduh berdusta, berbuat maksiat, lalai dalam
periwayatannya atau pelupa.
3.
Hadis mudraj, yaitu hadis yang sanad atau
matannya bercampur dengan yang bukan hadis tapi disangka hadis[91].
4.
Hadis mu’allal, yaitu hadis yang mempunyai
cacat yang baru diketahui apabila diteliti dengan baik, yaitu rawinya sering
terjadi salah sangka.
5.
Hadis maqlub, yaitu hadis yang didalamnya
terjadi pemutarbalikan oleh rawinya sehingga terjadi kekeliruan di dalamnya,
seperti mengenai susunan kata, kalimat, atau sanadnya.
6.
Hadis nutdharib, yaitu hadis yang diriwayatkan
oleh seorang perawi melalui beberapa jalan yang berebda-beda dengan
berubah-ubah rawi atau matannya, sehingga susah ditentukan mana yang benarnya.
7.
Hadis muharraf, yaitu hadis yang berbeda
dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang lain karena adanya perbedaan atau
perubahan dalam syakal (bari/bunyi) kata atau huruf-hurufnya, tapi bentuk
tulisannya sama. Sperti kata amier dibaca umair.
8.
Hadis syad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh
rawi yang hafalannya jelek yang mengakibatkan terjadinya perubahan dan
perbedaan dibandingkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang lain yang
hafalanya lebih bagus.
9.
Hadis mushahaf, yaitu hadis yang berbeda
dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi lain karena adanya kelainan
titik-titik pada huruf atau katanya, sedangkan bentuk tulisan huruf atau
katanya sama.
10. Hadis mardudu,
yaitu hadis yang perawinya diketahui sebagai ahli bid’ah.
11. Hadis mu’dhal,
yaitu hadis yang dalam periwayatannya gugur dua orang perawi atau lebih secara
berturut-turut, seperti yang diriwayatkn oleh tabi’in generasi kaedua langsung
dari nabi saw tanpa menyebutkan dulu tabi’in generasi pertama dan sahabat.
12. Hadis mursal,
yaitu yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tabi’in (generasi pertama) langsung
dari tanpa menyebutkan siapa yang menceritakan hadis itu kepadanya.
13. Hadis mu’alay,
yaitu hadis yang tidak disebutkan awal sanadnya, sedang yang ditengah sampai
akhir baik.
14. Hadis mubham,
yaitu hadis yang didalamnya terdapat rawi yang tidak disebut namanya, atau
disebut tapi tidak dikenal identitasnya leh para hadis.
15. Hadis
mungathi, yaitu hadis yang terputus atau gugur seorang perawi sebelun sahabat,
atau gugur dua orang perawi tapi tidak berturu-turut
16. Hadis
mudallas, yaitu hadis yang didalmnya terdapat kecurangan karena ada rawi yang
enggan disebtkan namanya dan kemudian diganti dengan nama yang lain.
17. Hadis saqiem,
yaitu hadis yang arti dan tujuannya berlainan dengan firman Allah[92].
18. Hadis majhul,
yaitu hadis yang diriwaatkan oleh seorang yang tidak dikenal dikalangan para
ahli hadis.
19. Hadis muhmal,
yaitu hadis yang oleh salah satu dari dua orang perawi yang nama, gelar, dan
nama orang tuannya sama, dan sala satu dari padanya termasuk orang dhaif.
20. Hadis maudhu,
yaitu berita bohong yang dibuat atau diciptakan oleh seseorang dengan
mengatasnamakan nabi saw[93].
Contoh Hadits Dhaif
Bagian Bumi yang Mula-Mula Hancur
أَوْلُ اْلأَ
رَضِينَ خَرَابًا يُسْرَاهَا ثُمَّ يُمْنَا هَا
“Bumi yang
mula-mula hancur ialah bagian kirinya, kemudian bagian kanannya.”
Hadits dhaif ini, diriwayatkan oleh
Tamam dalam al-fawa’id (I/48), ibnu Jami’ dalam Mu’jam nya (258), Ibnu Asakir
(II/36/15 dan II/256) dari Hafsh bin Umar bin ash Shabar ar Raqi (Sinjah), dari
Abu Hudzaifah Musa bin Ma’ud dari sufyan ats Tsauri, dari Ismail bin Abi
Khalid, dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin Abdullah secara marfu’[94].
Isnad ini dhaif. Pada diri Hafsh
bin Umar ini terdapat kelemahan. Adz Dzahabi berkata dalam al-mizan, “Dia seorang syekh (guru)
yang terkenal, termasuk salah seorang guru besar ath Tharbani. Dia banyak
meriwayatkan dari Qabishah dan lainnya. Abu Ahmad al-Hakim berkata, dia suka
meriwayatkan yang bukan hadits yang tidak didukung oleh riwayat lain”[95].
Ibnu Hibban menyebutkan dalam ats Tsiqat
seraya berkata, dia sering keliru.”
Perawi-perawi lainnya dalam isnad
ini adalah perawi-perawi Bukhari, selain Abu Hudzaifah yang menjadi pembicaraan
dalam segi hafalannya. Oleh karena itu, adz dzahabi memasukkannya dalam segi
hafalannya. Oleh karena itu, adz Dzahabi memasukkannya dalam adh dhu’afa’
wal-Matrukin, seraya berkata,”Dia dilemahkan oleh Imam Ahmad. Ibnu Khuzaimah
berkata,’saya tidak meriwayatkan hadits darinya[96].”
Dikatakan dalam al-Mizan,”Dia
adalah salah seorang guru al-Bukhari. Insya Allah dia jujur, tapi sering
keliru. Dia dibicarakan oleh Imam Ahmad dan dilemahkan oleh at-Tirmidzi...”
oleh karena itu, al hafizh berkata dalam at taqrib,”dia itu jujur, tapi buruk
hafalannya dan suka melakukan tashhih (melakukan perubahan pada titik lafal)[97]
Menurut saya, dialah yang menjadi cacatnya
hadits ini jika hadits ini selamat dari kelemahan ar-Raqi[98].
Zahir Hadits ini mungkar karena
bumi itu bentuknya bulat seperti bola sebagaimana ditunjuki oleh kenyataan
ilmiah yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’. Berbeda dengan orang
yang mencela kenyataan ini. Kalau demikian, manakah yang disebut bagian bumi
sebelah kanan dan sebelah kiri? (dilihat dari mana sehingga dapat dikatakan
kanan dan kiri?). kanan dan kiri ini sesuatu yang bersifat nisbi (relatif)
sebagaimana halnya timur dan barat[99].
E. Penutup
Pembagian
hadits dari segi kualitas terbagi menjadi tiga, diantaranya hadits shahih,
hadits hasan, dan hadits dhaif. Diantara ketiga hadits tersebut memiliki makna
dan ciri-ciri yang berbeda. Hadits shahih adalah Hadist yang dinukil
(diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya
bersambung-sambung, tidak ber-illat, dan tidak janggal. Hadist Shahih dibagi
menjadi dua, yaitu hadist Shahih lidzatin dan hadist shahih lighairih. Hadits shahih
memiliki hukum-hukum. Syekh Abdullah bin Ibrahim Al-Awali menghimpun
tingkatan-tingkatan hadits shahih didalam nadham kitabnya yang berjudul
Thal’afu Al-Anwar. Diantara karya-karya yang hanya memuat hadist shahih adalah
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Mustadrak Al-Hakim, Shahih Ibnu Hibban, dan
Shahih Ibnu Khuzaimah.
Yang kedua
adalah hadits hasan merupakan hadist yang dinukilkan oleh seorang yang adil
tapi kurang kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak
pula terdapat kejanggalan pada matannya. Hadits hasan memiliki lima syarat
diantaranya, Muttasil sanadnya, rawinya adil, rawinya dhabith, tidak termasuk
hadits syadz, tidak terdapat illat (cacat). Klasifikasi Hadist Hasan dibagi
menjadi dua, hadist hasan lidzatih dan hasan lighairih. ada ulama yang
mensyaratkan bahwa hadist hasan dapat digunakan sebagai hujjah, bila mana
memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima, tetapi memiliki sifat yang rendah,
sedangkan hadits sahih memiliki sifat yang tinggi. Kitab-Kitab yang mengandung
Hadist Hasan yaitu Jami’ At-Tarmidzi, dikenal dengan sunan At-Tirmidzi,
merupakan sumber untuk mengetahui hadist hasan, Sunan Abu Dawud, dan Sunan
Ad-Daruquthi.
Ketiga hadist
dhaif termasuk hadist ahad yang mardud (ditolak), tidak bisa dipegangi dan
tidak pula dijadikan hujjah.Pengertian hadist dhaif adalah hadist yang
kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadist shahih ataupun
hasan Ulama yang menegaskan dibolehkan mengamalkan hadits dhaif dalam bidang
keutamaan-keutamaan amal, diantaranya ialah: Imam Al-Nawai dalam kitabnya
Al-Taqrib, Imam Al-Iraaqi dalam kitab Syarah Alfiyah Al-Iraaqi, Ibn Hajar
Al-Asqalaani dalam kitab syarah Al-Nukhbah, Syekh Zakariya Al-Anshari dalam
kitab Syarah Alfiyah Al-Iraaqi, Al-Hafidz Al-Suyuti dalam kitab Al Tadrib, Ibnu
Hajar Al-Makki dalam kitab Syarah Al-Arba’in, Ibnu Hajar Al-Makki dalam kitab
Syarah Al-Arba’in, Al-Allaamah Al-Lukhnuwi dalam risalah yang membahas secara
lengkap tentang hadits dhaif yang berjudul Al-Ajwibah Al-fashilah, Ayah saya
Al-Sayyid Alawi Al Maliki dalam kitab Risalah khusus tentang hukum hadits
dhaif. Para ulama Muhaditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadist dari
dua jurusan, yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan Macam-macam hadits yang
termasuk pada kategori dhaif itu cukup banyak. Para ahli berbeda-beda pula
dalam menyebut dan menghitung macam-macam hadits ini, tergantung pada syarat
hadits shohih da hasan yang tidak terpenuhinya. Untuk sekedar mengenalkan
macamnya.
Daftar Pustaka
Al-Albani, Mohammad Nashirruddin.
2001. Silsilatu-Ahaadiits adh-Dhaifah wal-Maudhu’ah wa
Atsaruhas-sayyi’fil-Ummah. Jakarta:Gema Insani Press
Abdurrahman, M. dan Elan Sumarna.
2011. Metode Kritik hadits. Bandung:PT
Remaja Rosdakarya
Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2006. Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR
Amin, Kamaruddin.2009. Menguji
Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Bandung:PT Mizan Publika
Ichwan,
Mohammad Nor. 2007. Studi Ilmu Hadits. Semarang:Rasail Media
Khariri. 2005.
Melerai Hadist-Hadist Yang Saling Berlawanan. Yogyakarta: STAIN
Purwokerto Press
Khariri.
2009. Metode Penyelesaian Hadist
Kontardiktif. Yogyakarta:Fajar Pustaka.
Nurdin, Muslim
dkk. 1993.Moral dan Kognisi Islam (Buku Teks Agama Islam untuk perguruan
Tinggi). Bandung:CV ALFABETA
Sholahudin, Agus
dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadist. Bandung: CV Pustaka Setia
Sumbulah, Umi.
Akhmad Kholil. dan Nasrullah. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadist Malang:UIN
Press
Catatan:
1.
Penulis buku berjumlah tiga atau lebih menggunakan
sistem: penulis pertama dkk., contoh: Umi Sumbulah dkk.
2.
Buku terjemahan, harus dicantumkan penterjemahnya.
[1]Mohammad
Nor Ichwan.Studi Ilmu Hadits. (Semarang:Rasail Media.2007). Hlm 121
[2]Ibid.,
Hlm 122
[3]Ibid.,
Hlm 122
[4]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadist. (Bandung: CV Pustaka
Setia. 2008). Hlm 141
[5]Ibid.,
Hlm 141
[6]
Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah. Studi Al-Qur’an dan Hadist (Malang:UIN
Press. 2014) hlm 204
[7]Khariri.
Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. (Yogtakarta:Fajar Pustaka.2009) hlm 19
[8]
M Abdurrahman dan Elan Sumarna. MetodeKritik Hadits. (Bandung:PT Remaja
Rosdakarya.2011) hlm 205
[9]Khariri.
Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit. hlm 19
[10]
Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah.Op. Cit. hlm 204
[11]
Kamaruddin Amin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis.
(Bandung:PT Mizan Publika. 2009) hlm 21
[12]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 143
[13]Ibid.,
Hlm 143
[14]
Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah. Op. Cit. hlm 205
[15]Khariri.
Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit. hlm 19
[16]
Kamaruddin Amin. Op. Cit. hlm 24
[18]Ibid.,
Hlm 142
[19]
Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah. Op. Cit. hlm 205-206
[20]Khariri.
Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit. hlm 19
[21]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 143
[22]
Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah. Op .Cit. hlm 206
[23]Khariri.
Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit. hlm 19
[24]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 144
[25]
Kamaruddin Amin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Op.
Cit. hlm 29
[26]
Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah .Op. Cit. hlm 206-207
[27]Ibid.,
hlm 206-207
[28]
Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit. hlm 20
[29]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 143
[30]Ibid.,
Hlm 144
[31]Khariri.
Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif.Op. Cit. hlm 20
[32]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 144
[33]
Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah. Op. Cit. hlm 207
[34]Khariri.
Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit. hlm 20
[35]
Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah. Op. Cit. hlm 208
[36]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 144
[37]Khariri.
Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit. hlm 20
[38]
Muhammad Alawi Al-Maliki. Ilmu Ushul Hadits. (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.2006) hlm 53
[39]Ibid.,)
hlm 54
[40]Ibid.,
hlm 55
[41]Ibid.,
hlm 55
[42]Ibid.,
hlm 56
[43]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 144
[44]Ibid.,
Hlm 144
[45]
Muhammad Alawi Al-Maliki. Ilmu Ushul Hadits. Op. Cit. hlm 57
[46]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 145
[47]
Muhammad Alawi Al-Maliki.Op. Cit. hlm 58
[48]Ibid.,
hlm 58
[49]Ibid.,
hlm 59
[50]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 145
[51]
M. Abdurrahman dan Elan Sumarna. Metode Kritik hadits. (Bandung:PT Remaja
Rosdakarya. 2011) Hlm 206-207
[52]Ibid.,
Hlm 206-207
[53]Ibid.,Hlm
206-207
[54]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi.Op. Cit. Hlm 145
[55]Ibid.,
. Hlm 146
[56]
Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif.Khariri. Op. Cit
.Hlm 20
[57]Khariri.
Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Ci.t hlm 20-21
[58]
Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah. Op. Cit. hlm 208-209
[59]Khariri.
Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit.hlm 21
[60]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 146
[61]
Khariri. Melerai Hadist-Hadist Yang Saling Berlawanan. (Yogyakarta: STAIN
Purwokerto Press. 2005). Hlm 28
[62]
Muhammad Alawi Al-Maliki. Op. Cithlm 59
[63]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 146
[64]Ibid.,.
Hlm 146-147
[65]Khariri.
Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit.hlm 21
[66]Ibid.,
hlm 21
[67]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit Hlm 147
[68]Ibid.,
Hlm 147
[69]
M. Abdurrahman dan Elan Sumarna. Op. Cit hlm 209
[70]
Muhammad Alawi Al-Maliki. Ilmu Ushul Hadits. Op. Cit. hlm 63
[71]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 148
[72]Khariri.
Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Khariri. . Op. Cit hlm
21
[73]Ibid.,
hlm 21-22
[74]Ibid.,
hlm 22
[75]
Khariri. Melerai Hadist-Hadist Yang Saling Berlawanan. . Op. Cit. Hlm 29
[76]
Muhammad Alawi Al-Maliki. Op. Cit. hlm 66
[77]Ibid.,
hlm 67
[78]
Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit.Hlm 148
[79]Ibid.,
Hlm 148
[80]Ibid.,.
Hlm 148-149
[81]Ibid.,
Hlm 149
[82]Ibid.,
Hlm 149
[83]Ibid.,
Hlm 149
[84]Ibid.,
Hlm 150
[85]Ibid.,
Hlm 150
[86]Ibid.,
Hlm 150
[87]Ibid.,
Hlm 150
[88]Ibid.,
Hlm 150
[89]Ibid.,
Hlm 151
[90]Muslim
Nurdin dkk. Moral dan Kognisi Islam (Buku Teks Agama Islam untuk perguruan
Tinggi). (Bandung:CV ALFABETA.1993) hlm 71
[91]Ibid.,
hlm 71
[92]Ibid.,
hlm 72
[93]Ibid.,
hlm 73
[94]
Mohammad Nashirruddin Al-Albani. Silsilatu-Ahaadiits adh-Dhaifah
wal-Maudhu’ah wa Atsaruhas-sayyi’fil-Ummah. (Jakarta:Gema Insani
Press.2001) hlm 144
[95]Ibid.,
hlm 144
[96]Ibid.,
hlm 144
[97]Ibid.,
hlm 145
[98]Ibid.,
hlm 145
[99]Ibid.,
hlm 145
Tidak ada komentar:
Posting Komentar