Rabu, 12 April 2017

Hadis ditinjau dari Aspek Kualitas (P-IPS C Semester Genap 2016/2017)




HADITS DI TINJAU DARI KUALITAS PERAWINYA
(HADITS SHAHIH, HADITS HASAN, DAN HADITS DHAIF)

Alvin Nurma Hida, Irva Azizah dan ,Surya Martha Pratama
Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Arab angkatan 2016 Universitas Islam Negeri
Maulana Malik  Ibrahim
Abstract
Hadith is science of moving, and narrated what is connected by Rasulullah saw, whether the words he spoke, or acts that he did or acknowledgment that he swore. This article talks about quality of hadith narrators consisting of hadeeth, hasan and da'eef. Which they have a different understanding. Hadeeth has narrator strong qualities memory (dhabith), fair,thereare no irregularities in the contents, no defect. Hadeeth should have continued sanad and does not conflict with other hadith are stronger. Hasan hadeeth is not hadith memorization perfect memorize. Therefore difference of hadeeth and hasan hadith are lies in the memory. That hasan hadith does not meet the terms of narration of the hadeeth. Then the hadith is weak is dhaif hadith, this hadith does not have the requirement of a hasan hadith and both narrator and content. Sometimes said to be authentic narrator while not content, and vice versa.

Abstrak
Hadits adalah ilmu tentang memindah dan meriwayatkan apa saja yang dihubungkan dengan Rasulullah saw, baik mengenai perkataan yang beliau ucapkan, atau perbuatan yang beliau lakukan atau pengakuan yang beliau ikrarkan. Artikel ini berbicara mengenai kualitas hadits ditinjau dari perawinya yang terdiri dari hadits shahih, hasan dan dhaif. Yang mana mereka memiliki pengertian yang berbeda-beda. Hadits shahih memiliki kualitas rawi yang kuat ingatannya (dhabith), adil, tidak janggal dalam matan, serta harus selamat dari illat. Hadits shahih harus memiliki sanad bersambung dan tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat. Hadits hasan merupakan hadits yang hafalan penghafalannya tidak sempurna. Oleh karena itu perbedaan dari hadits shahih dan hadits hasan terletak pada hafalannya. Bahwasannya hadits hasan ini tidak memenuhi syarat-syarat periwayatan dari hadits shahih. Kemudian hadits dhaif adalah hadits yang lemah, hadits ini tidak mempunyai persyaratan dari hadits shahih dan hasan baik secara sanad maupun matan. Adakalanya sanad dikatakan shahih sedangkan matannya tidak, begitupun sebaliknya.
Keyword : Hadits shahih, hadits hasan, dan hadits Dhaif
A.    Pendahuluan
Membicarakan tentang pembagian hadits dari segi kualitasnya ini tidak dapat dipisahkan dari pembagian hadits menurut kuantitasnya. Tipe hadits pertama bahwasannya Nabi Muhammad memang benar-benar bersabda, berbuat, atau menyatakan dihadapan para sahabat, berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama sepakat untuk berbuat dusta. Oleh karena kebenaran  sumber-sumbernya telah meyakinkan, maka ia harus diterima dan diamalkan dengan tanpa mengadakan penelitian dan penyelidikan, baik terhadap sanad maupun matannya[1].
Tipe hadits kedua, hanya memberikan faedah zanny (prasangka) dan karenanya harus diadakan penyelidikan lebih lanjut baik yang berhubungan dengan sanadnya maupun matannya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas”apakah diterima hujjah atau ditolak”[2].
Atas dasar inilah kemudian para ulama hadits membagi hadits-hadits secara kualitas menjadi dua bagian yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Yang dimaksud dari hadits maqbul yaitu hadits yang telah memenuhi syarat-syarat penerimaan. Sedangkan yang di maksud hadits mardud adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syaratnya[3]. Hadits maqbul yaitu berupa hadits shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits dhaif.
B.     Pengertian Hadits Shahih
Shahih menurut lughah adalah lawan dari “saqim”, artinya sehat yang berlawan sakit, haq yang berlawan batil. Menurut ahli hadist, hadist shahih adalah hadist yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW, atau sahabat atau tabiin, bukan hadist yang syadz (kontroversi) dan terkena illat yang menyebabkan cacat dalam penerimanya[4].
Dalam definisi lain hadist shahih adalah,
مَا نَقَلَهُ عَدْ لُا تَا مُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلِ وَلَاشَاذٍ.
Artinya : Hadist yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-illat, dan tidak janggal[5].
Subhi shahih mendefinisikan hadist sebagai berikut:
الحد يث المستند الذى يتصل اسناده ينقل العدل الضا بط حتي ينتهى الى رسولالله صلعم او الى منتهاه من صحا بى او من دونه ولا يكون شاذاولامعللا           
Artinya“Hadist shahih adalah hadis musnad, yakni hadist yang bersambung sanadnya, yang dinukil dari perawi yang adil dan dhabit mulai awal hingga akhir sanad sampai kepada Rasulullah SAW, dari sahabat atau lainnya, tanpa adanya syadz dan illat[6].
Istilah hadist Shahih merupakan bagian hadist ahad maqbul dilihat dari kualitasnya.Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan definisinya, namun dari beberapa definisi itu, dirumuskan bahwa hadist shahih adalah hadist yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang adil, kuat ingatannya, serta terhindar dari kejanggalan-kejanggalan dan illat[7].
Menurut KHZ Abidin dalam salah satu makalahnya mengatakan bahwa matan hadits shahih tidak boleh bertentangan dengan hal-hal berikut:
1.      Dengan kaidah bahasa arab, seperti ilmu sharaf dan balaghah nya
2.      Isi kandungannya tidak boleh bertentangan dengan hadts shahih yang lebih kuat
3.      Tidak boleh bertentangan dengan kenyataan dan dasar-dasar yang memberi keterangan agama yang kuat[8]
Dalam hadist Shahih, harus memenuhi persyaratan atau kriteria sebagai berikut:
a.       Ketersambungan sanad (ittishal al-sanad)
Sanad hadist harus bersambung atau muttashil, artinya antara pembawa hadist dan penerimanya terjadi pertemuan secara langsung, sehingga menjadi silsilah atau rangkaian sanad yang sambung-menyambung, sejak awal sanad sampai pada sumber hadist itu sendiri yakni Rasulullah Saw[9]. Atau adanya pertautan langsung dalam bentuk relasi guru-murid, mulai dari awal hingga akhir sanad[10].
Untuk mengetahui apakah periwayatan bersambung atau tidak, biografi setiap perawi perlu diteliti secara mendalam. Penelitian ini terfokus pada tempat, tanggal lahir, dan wafat perawi. Bahkan sikap dan kepercayaan keagamaannya pun harus dievaluasi secara hati-hati. Sebab, informasi ini dipercaya dapat membantu ulama yang kritis bukan hanya dalam upaya menetapkan ke-tsiqah-an para perawi, tetapi juga untuk menentukan kemungkinan dan ketidakmungkinan bahwa perawi telah menjalin hubungan intelektual dengan para informannya[11].
Dalam artian lain dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap perawi hadist yang bersangkut benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai pada pembicara yang pertama[12].
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad biasanya ulama hadist menempuh tata kerja penelitian berikut:
·         Mencatat semua nama rawi dalam sanad yang diteliti
·         Mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi.
·         Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.
Jadi, suatu sanad hadist dapat dinyatakan bersambung apabila:
·         Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit).
·         Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadist secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadist[13].
b.      Para perawi yang adil (‘Ad alat al-ruwat)
Adil secara etimologi berarti pertengahan, lurus, condong kepada kebenaran. Dalam terminologi ilmu hadist terdapat beberapa definisiyang dikemukakan oleh para ulama. Diantaranya al-Hakim dan al-Naisaburi yang menyatakan bahwa adalah seorang muhaddits dipahami sebagai seorang muslim, tidak berbuat bid’ah dan maksiat yang dapat meruntuhkan moralitasnya. Sebenarnya masih terdapat formulasi lain yang jika disebutkan seluruhnya kira-kira unsur-unsur yang dikandung oleh konsep ‘adl  itu lebih kurang 15 poin. Namun kesemuanya itu disimpulkan menjadi empat point, yakni: muslim, mukkalaf, melaksanakan ketentuan agama dan senantiasa memelihara citra diri (muru’ah). Muslim adalah unsur utama yang terkandung dalam cakupan makna adil, diharuskan bagi seseorang yang menyampaikan riwayat hadits. Sedangkan bagi kegiatan menerima hadits tidak disyaratkan. Oleh karena itu, orang kafir pun diperbolehkan menerima suatu hadits[14]
Hadist diriwayatkan oleh para perawi yang adil, yaitu memilki sifat-sifat yang dapat mendorong terpeliharanya ketakwaan, baik akidah terpelihara dari dosa besar dan kecil, maupun akhlaknya terpelihara dari hal-hal yang menodai muru’ah, disamping itu ia juga seorang muslim baligh, berakal sehat, dan tidak fasiq[15].
Para ulama hadits lebih jauh mengajukan syarat-syarat khusus bagi seorang perawi yang adil. Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menyebut lima syarat, yakni takwa kepada Allah, memiliki moralitas yang mulia (muru’ah), bebas dari dosa besar, tidak melakukan dosa besar, tidak melakukan bid’ah, dan tidak fasiq[16].
Menurut Ar-Razi, keadilan adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah dan menodai muru’ah seperti makan sambil berdiri dijalanan, buang air (kencing) tempat yang bukan disediakan untuknya, dan bergurau yang berlebihan[17].
Menurut syuhadi ismail, kriteria-kriteria periwatan yang bersifat adil, adalah
·         Beragama islam
·         Berstatus mukalaf ( al-mukalaf)
·         Melaksanakan ketentuan agama
·         Memelihara muru’ah[18]
c.       Para Perawi Dhabit (dhawabith al-ruwat)
Aspek intelektualitas (dhabit) perawi yang dikenal dalam ilmu hadits dipahami sebagai kapasitas kecerdasan perawi hadits. Istilah dhabit secara etimologi memiliki arti menjaga sesuatu. Aspek tersebut merupakan salah satu dari sekian persyaratan asasi yang harus ada pada seorang perawi hadits, untuk bisa diterima riwayat yang disampaikan[19]
Hadist diriwayatkan oleh para perawi yang dhabith atau kuat ingatannya, yaitu perawi yang baik hafalannya, tidak pelupa, tidak banyak ragu, tidak banyak salah, sehingga dapat mengingat dengan sempurna hadist-hadist yang diterima dan diriwayatkannya[20].
Dhabith adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai hadist dengan baik, baik dengan hafalan yang kuat atau dengan kitabnya. Lalu ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya.Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki, orang itu dinamakan dhabtu shadri. Kemudian kalau apa yang disampaikan itu berdasar pada buku catatannya (teks book) ia disebut dhabtu kitab. Rawi yang adil dan sekaligus dhabith disebut tsiqat[21].
d.      Terhidar dari kerancuan (‘adam syudzudz)
Dalam terminologi ilmu hadits, terdapat tiga pendapat berkenaan dengan definisi syadz. Namun dari ketiga pendapat tersebut, yang paling populer adalah pendapat yang dimajukan al-syafi’i. Yang mengatakan bahwa hadits baru dinyatakan mengandung syadz bila hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqah bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang juga bersifat tsiqah. Dengan demikian, hadits syadz itu tidaklah disebabkan oleh kemenyendirian individu perawi dalam sanad hadist (fard mutlaq), dan juga tidak disebabkan oleh kualitas perawi yang tidak tsiqah[22].
Hadist tidak janggal (Syadz), artinya tidak bertentangan dengan matan hadist yang lebih tinggi derajatnya, seperti hadist Mutawwatir atau hadist yang sudah diketahui tinggi kualitas keshahihannya dan tidak bertentangan pula dengan ayat Al-Qur’an[23].
Kejanggalan hadist terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadist yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadist yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan kelebihan jumlah sanad dalam ke-dhabit-an atau adanya segi-segi tarjih yang lain[24].
Sebuah hadits dianggap syadz apabila; pertama, semua perawinya tsiqah, kedua ia memiliki lebih dari satu perawi, tetapi ketiga matan atau sanadnya bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang dianggap lebih tsiqah[25].
e.       Terhindar dari kecacatan (‘adam ‘ilat)
Kata illat secara llughawi berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan. Adapun dalam terminologi ilmu hadits, illat didefinisikan sebagai sebuah hadits yang didalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak keshahihan hadits yang secara lahir tampak shahih[26]. Di dalam konteks ini, ibn shalah mendefinisikan ‘illat sebagai sebab tersembunyi yang merusak kualitas hadits, karena keberadannya menyebabkan hadits yang pada lahirnya berkualitas shahih menjadi tidak shahih lagi. Sedangkan ibn Taimiyah menyatakan bahwa hadits yang mengandung ‘illat adalah hadits yang sanadnya secara lahir tampak baik, namun ternyata setelah diteliti lebih lanjut, didalamnya terdapat rawi yang ghalt (banyak melakukan kesalahan), sanadnya mawquf atau mursal, bahkan ada kemungkinan ,asuknya hadits lain pada hadits tersebut[27].
Hadist tidak cacat (illat), yaitu suatu sebab yang tidak tampak atau samar-samar, yang dapat mencacatkan keshahihan suatu hadist, seperti perawi yang tadinya disangka kuat ingatannya ternyata sudah diteliti secara mendalam ia tidak kuat ingatannya.[28]Atau hadist yang bersangkutan terbebas dari cacat keshahihannya, yakni hadist-hadist ini terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak  hadist ini tidak menunjukkan adanya cacat tersebut[29].
Jadi, hadist shahih adalah hadist yang rawinya adil dan sempurna ke-dhabith-annya, sanad muttashil, dan tidak cacat matanya marfu’, tidak cacat dan tidak janggal[30].
Hadist Shahih dibagi menjadi dua.
1.      hadist Shahih lidzatin, yaitu hadist shahih dengan sendirinya. Artinya hadist tersebut dengan sendirinya telah memiliki lima kriteria diatas[31], yang memenuhi syarat-syarat secara maksimal[32]atau dengan kata lain memuat semua sifat-sifat penerimaan hadits pada tingkat tertinggi[33].
2.      hadist shahih lighairih, yaitu hadist yang keshahihannya dibantu oleh adanya keterangan lain[34],atau atas topangan hadist lain[35]yang tidak memenuhi syarat-syarat secara maksimal[36]. Pada mulanya, kategori hadist ini memiliki kelemahan pada aspek ke-dhabith-an perawinya, sehingga nilainya hanya sampai pada tingkatan hasan lidzatih. Akan tetapi, hadist tersebut dikuatkan oleh keterangan lain, baik berupa syahid maupun muttabi’ (matan atau sanad lain) yang menguatkan kandungan matannya, sehingga hadist tersebut naik derajatnya setingkat lebih tinggi menjadi Shahih Lighairih[37].
Hukum-hukum hadis shahih
Adapun mengenai hukum-hukum hadis shahih ialah sebgai berikut.
1.      Berakibat kepastian hukum. Hal ini apabila hadis tersebut terdapat pada shahih bukhari dan shahih muslim.
2.      Imperatif diamalkan. Meurut ibnu Hajar dalam kitab syarah Al-Nuhbah mengamalkan setiap hadis yang shahih, meskipun hadis dimaksud tidak termasuk yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim[38].
3.      Imperatif untuk menerimannya. Menurut Al-qasim dalam kitab Qawa’idu Al-Tahdits, bahwa wajib menerima hadis shahih walaupun hadis shahih itu tidak pernah diamallkan oleh seorang pun.
4.      Imperatif segera diamalkan tanpa menunggu sampai adanya dalil yang bertentangan. Menurut syekh Al- Fallani di dalam kitab Liqaadzu Al-Himami, bahwa mengamalkan hadis shahih tidak usah menunggu mengetahui tidak adanya nasikh, atau tidak adannya ijma’ atau dalil-dalil  lain yang bertentangan dengannya.
5.      Hadis shahih tidak membahayakan. Menurut Ibnu Qayyim dalam kitab Ighaatsatu Al-lahfan, bahwa hadis shahih walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja tidaka membahayakan, yakni tidak mengurangi kadar keshahihannya.
6.      Tidak harus diriwayatkan oleh orang banyak. Hadis yang shahih tidak pasti diriwayatkan oleh orang banyak, sebagai dasarnya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Muadz yang berbunyi  sebagai berikut[39]
مَا مِنْ اَحَدٍ يَشْهَدُ اَنْ لَاِ الَهَ اِلَّا اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُاللهِ اِلَّا حَرَّمَهُ الله عَلَى النَّارِ فَقَالَ مُعَاذُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ اَفَلَا أُخْبِرُ بِهِ فَيَسْتَبْشِرُوْا. قَالَ صلعم اِذًا يَتَكْلُوا. فَأَخْبَرَ هُمْ مُعَاذُ عِنْدَ مَوْتِهِ
tidak seorang yang mengucap dua kalimat syahadat kecuali Allah mengharamkannya masuk neraka. Mu’adz bertanya, “wahai rasulullah, apakah tidak sebaiknya hadis ini aku beritahukan kepada orang-orang supaa mereka bergembira?” Nabi saw menjawab, kalau begitu, orang-orang hanya bertawakal saja.” Hadis tersebut baru diceritakan kepada prang-orang oleh Mu’adz menjelang wafatnya karena takut berdosa jika tidak mengamalkannya.”

Imam bukhari meriwyatkan secara ta’liq dari sahabat Ali ra: 
حَدِثَوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ اَتُحَبُّونَ اَنْ يُكَذِّبُ الله وَرَسُولُهُ

ceritakanlah (hadits) kepada orang-orang sesuai dengan pengetahuannya, apakah kalian senang. Allah dan RasulNya didustakan?”

Ibnu Mas’ud juga berkata:
مَا اَنْتَ مُحَدِّثٌ قَوْمًا حَدِيْثًا لَا تِبْلُغُهُ عُقُولُهُم اِلَّا لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةٌ (رواه مسلم)

engkau tidak boleh menceritakan kepada suatu kaum ssesuatu hadis yang tidak terjangkau oleh akal mereka, melainkan[40] kau hanya akan menimbulkan fitnah diantara mereka.” (HR. Muslim)
Al-hafidz ibnu hajar berkata, diantara ulama yang tidak suka menceritakan hadis secara sepotong –potong ialah imm Ahmad, yaitu mengenai hadis-hadis yang berisi secara eksplisit keluar dari ikatan pimpinan, dan imam Malik mengenai hadis-hadis yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah SWT[41].
Saya berpendapat, sebagaimnana yang dikatakan oleh sebagian ulama, bahwa orang-orang bodoh yang meriwayatkan hadis secara sepotong-potong dengan maksud-maksud tertentu, diantaranya untuk menghindari kewajiban-kewajiban atau menghilangkan hukum-hukum, tindakannya itu akan menimbulkan kerusakan dunia dan akhirat. Bagaimana mereka sampai bisa berbuat demikian, padahal semestnya semakin bertambah pengetahuan hadisnya. Sperti halnya akan semakin giat ula ibadahnya. Seperti halnya ketika nabi saw ditanya, “mengapa engkau selalu qiyaamu Al-lail padahal Allah SWT telah memaafkan engkau? Kontan nabi menjawab ,” tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba tang banyak bersyukur?”[42]
Martabat Hadist Shahih[43]
Hadist yang paling tinggi derajatnya adalah hadist yang bersanad ashanul asanid, kemudian berturut-turut sebagai berikut:
1.      Hadist yang disepakati oleh Bukhari Muslim[44]yang lazim disebut dengan istilah “Muttafaqun ‘alaihi”[45].
2.      Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri
3.      Hadist yang diriwayatkan oleh imam Muslim sendiri
4.      Hadist shahih yang diriwayatkan menurut syarat-syarat bukhari dan muslim, sedangkan kedua imam itu tidak men-takhrij-nya.
5.      Hadist shahih menurut syarat Muslim, sedangkan Imam Bukhari sendiri tidak men-takhrij-nya
6.      Hadist shahih menurut syarat Muslim, sedangkan Imam Muslim sendiri tidak men-takhrij-nya.
7.      Hadist shahih yang tidak menurut salah satu syarat dari kedua Imam Bukhari dan Muslim. Ini berarti si pen-takhrij tidak mengambil hadist dari rawi-rawi atau guru-guru Bukhari dan Muslim, yang telah beliau sepakati bersama atau yang masih diperselisihkan. Akan tetapi, hadist yang kenamaan. Misalnya hadist-hadist shahih yang terdapat pada shahih ibnu muzaimah, shahih Ibnu Hibban, dan Shahih Al-Hakim[46].
Syekh Abdullah bin Ibrahim Al-Awali emnghimpun tingkatan-tingkatan hadits shahih didalam nadham kitabnya yang berjudul Thal’afu Al-Anwar, sebagai berikut:
اعلى الصحيح ما عليه اتفا قا                   فما روى الجعفى فردا ينتقى
فمسلم كذالك فى الشرط عرف                  فما لشرط غير ذين يكتنف
Artinya “setinggi-tinggi hadits shahih inilah yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim, lalu yang bersih yang diriwayatkan oleh Al ju’fi (al Bukahri) seorang diri, kemudian yang diriwayatkan oleh Muslim dalam syarat yang diketahui adalah seperti itu, selanjutnya yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini dengan melingkupi syarat-syarat selain dari syarat-syarat keduanya[47].
Maksud dari ungkapan nadhom tersebut adalah:
·         Hadist shahih yang paling tinggi derajatnya ialah yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim, yaitu menempati tingkatan hadits shahih yang pertama.
·         Kemudian hadist shahih yang diriwayatkan oleh al-ju’fi (Al Bukhari) saja menempati tingkatan hadits shahih yang kedua.
·         Dan shahih yang diriwayatkan oleh muslim saja menempati tingkatan hadits shahih yang ketiga
·         Lalu hadits shahih yang diriwayatkan oleh selalin dua orang lain (AL-Bukhari dan Muslim) yang mengikuti syarat-syarat Al Bukhari dan Muslim, menempati tingkatan haidts shahih yang keempat.
·         Hadits shahih yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini (selain Al Bukhari dan Muslim) yang mengikuti syarat-syarat Al bukhari, menempati tingkatan hadits shahih yang kelima[48]
·         Hadits shahih yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini (selain Al-Bukhari dan Muslim) yang mengikuti syarat-syarat Muslim, menempati tingkatan hadits shahih yang keenam
·         Selanjutnya hadits shahih yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini (selian Bukhari dan Muslim) yang melingkupi syarat-syarat keshahihan selain dari syarat-syarat keduanya, menempati tingkatan hadits shahih yang ketujuh.[49]

Karya-Karya yang Hanya Memuat Hadist Shahih
Diantara karya-karya yang hanya memuat hadist shahih adalah.
1.      Shahih Bukhari
2.      Shahih Muslim
3.      Mustadrak Al-Hakim
4.      Shahih Ibnu Hibban
5.      Shahih Ibnu Khuzaimah[50]
Contoh Hadits Shahih
 حَدَّثَنَا الحُمَيْدِيُّ عَبْدُاللهِ بْنُ الزُ بَيْرِقَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَثَّنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ لْاَ نْصَارِي قَالَ أَخْبَرَنِى مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَبْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ إِنَّمَا الْاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ اِلَى دُنْيَا يَصِيبُهَا أَوْ إِلَى اِمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (اخرجه البخاري)
Mengabarkan pada kami al-Humaidi yakni uhbdullah bin al-Zubai katanya, mengabarkan kepada kami sufyan katanya, mengabarkan kepada kami Yahya bin Said al-Anshori katanya, mengabarkan kepadaku Muhammad bin Ibrohim Al-Taimimi katanya, bahwa dia mendengar alkamah bin Wakash al-Laids berkata, aku mendengar umar bin khatab berkata diatas mimbar dan katanya, aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda “hanya saja amal itu karena niat, hanya saja setiap orang itu bergantung pada apa yang di niatkannya, barang siapa yang hidrahnya karena dunia niscaya ia akan mendapatkannya, atau karena wanita niscaya ia akan mengawininya. Karena itu hijrahnya didasarkan atas apa yang ia niatkan dalam hijrahnya itu[51].”
Sanad hadits di atas adalah: Al Bukhari, Al humaidi Abdullah bin Al-zhabir, sufiyan, yahya bin sa’id al-Anshori, Muhammad bin Ibrohim al taimi, al qamah bin waqash dan umar bin khattab selanjutnya, semua sanad hadits itu dikatakan muttashil (bersambung), dan seluruh rawinya, yaitu Umar bin Khattab sampai kepada mukharij (Al-Bukhari) merupakan Rawi yang tsiqat. Kemudian hadits tadi tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat (syadzdz) dan tidak dijumpai pula adanya illat[52].
Dari contoh diatas, dalat disimpulkan bahwa hadits ini shahih hukumnya, baik secara matan maupun secara sanad[53]
C.    Pengertian Hadits Hasan
Hasan, menurut lughat adalah sifat musybhahah dari ‘Al-Husna’, artinya bagus.Menurut Ibnu Hajar, Hadist hasan adalah[54]
خَبَرَ الْاَ حَا دِ بِنَقْلِ عَدْلٍ تَا مِّ الضَّبْطِ مُتَّصِلْ السَّنَدِ غَيْرَ مُعَلَّلٍ وَلَا شَا ذٍ.
Artinya: Khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna hafalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz[55].
Para ulama juga berbeda pendapat dalam merumuskan definisi hadist hasan. Dari beberapa sumber dapat disimpulkan, hadist hasan[56] merupakan hadist yang dinukilkan oleh seorang yang adil tapi kurang kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak pula terdapat kejanggalan pada matannya[57].
Perbedaan prinsip antara hadits shahih dan hasan terletak pada keadaan perawinya. Pada hadis shahih perawinya sempurna dhabitnya, sedangkan pada hadits hasan, kedhabitan perawinya kurang sempurna. Oleh karena itu pulalah maka kualitas hadits hasan diposisikan dibawah hadits shahih[58].
Dari definisi diatas dapat dipahami, hadist Hasan pada dasarnya sama dengan hadist shahih, perbedaanya hanya terletak pada ke dhabith-an (kuatnya hafalan) perawi. Jika pada hadist shahih diriwayatkan oleh perawi yang dhabith (kuat hafalannya), maka pada hadist hasan diriwayatkan oleh perawi yang kurang kuat ingatannya[59].Untuk membedakan antara hadist shahih dan hadist hasan, kita harus mengetahui batasan dari kedua hadist tersebut. Batasannya adalah keadilan pada hadist hasan disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadist shahih terdapat rawi-rawi yang benar-benar kuat ingatannya. Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai hujjah dan kandungannya dapat dijadikan penguat[60]. Adapun syarat-syarat lainnya, antara hadist shahih dan hadist hasan adalah sama[61]
Atas dasar pengertian hadits hasan tersebut, maka syarat-syarat hadits hasan itu ada lima macam, yaitu:
1.      Muttasil sanadnya.
2.      Rawinya adil.
3.      Rawinya dhabith.
4.      Tidak termasuk hadits syadz.
5.      Tidak terdapat illat (cacat)[62]
Klasifikasi Hadist Hasan
1.      Hadist yang memenuhi segala syarat-syarat hadist hasan disebut hadist hasan lidzatih. Syarat untuk hadist hasan adalah sebagaimana syarat untuk hadist shahih, kecuali bahwa para rawinya hanya termasuk kelompok keempat (shaduq) atau istilah lain yang setara atau sama dengan tingkatan tersebut[63].
2.      Adapun hasan lighairih adalah hadist dhaif yang bukan dikarenakan rawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik yang mempunyai mutabi’ dan syahid. Hadist dhaif yang karena rawinya buruk hapalannya (su’u al-hifdzi) tidak dikenal identitasnya (mastur) dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya menjadi hasan li ghairihi karena dibantu oleh hadist hadist lain yang semisal dan semakna atau karena banyak rawi yang meriwayatkan[64].
Jadi Hadist hasan dibagi menjadi dua macam: hasan lidzatihyaitu hadist hasan yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan diatas, dan hasan lighairih yaitu hadist yang menduduki kualitas hasan karena dibantu oleh keterangan lain, karena adanya syahid maupun muttabi’[65].Dengan kata lain, hadist hasan lighairih semula adalah hadist yang kualitasnya dibawah hasan (dhaif tidak terlalu lemah), tetapi matannya sama atau semakna dengan matan hadist lain yang sanadnya hasan, atau karena banyak yang meriwayatkannya, sehingga hadist pertama tadi terangkat derajatnya menjadi hadist hasan lighairih[66].
Kedudukan Hadist Shahih dan Hasan dalam Berhujjah
Kebanyakan ulama ahli hadist dan fuqaha bersepakat untuk menggunakan hadist shahih dan hadist hasan sebagai hujjah. Di samping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadist hasan dapat digunakan sebagai hujjah, bila mana memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang saksama. Sebab, sifat-sifat yang dapat diterima itu ada yang tinggi, menengah, dan rendah. Hadist yang sifat dapat diterimanya tinggi dan menengah adalah hadist shahih, sedangkan hadist yang sifat dapat diterimanya rendah adalah hadist hasan[67].
Kitab-Kitab yang mengandung Hadist Hasan
Para ulama belum menyusun kitab khusus tentang hadist-hadist hasan secara terpisah sebagaimana mereka melakukannya dalam hadist shahih, tetapi hadist hasan banyak kita dapatkan pada sebagian kitab diantaranya:
·         Jami’ At-Tarmidzi, dikenal dengan sunan At-Tirmidzi, merupakan sumber untuk mengetahui hadist hasan
·         Sunan Abu Dawud
·         Sunan Ad-Daruquthi[68]
Contoh Hadits hasan
حَدَّثَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ مُوْ سَى أَخْبَرَ نَا عِيْسَى بْنُ يُوْنُسَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقْ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِيْ سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّ حْمَنِ عَنْ زَيْدِ بْنِ حَالِدٍ الجُهَنِيٍّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولُ الله صَلَى الله عَلَيْهِ وَ سَلَمَ يَقُوْلُ لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لَأَ مَرْتُهُمْ با لسِّوَ اكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَا ةٍ قَالَ أَبُو سَلَمَةً  فَرَأَيْتُ زَيْذًا يَجْلِسُ فِىْ الْمَسْجِدِ وَإِنَّ السِّوَاكَ مِنْ أُذُ نِهِ مَوْضِعَ الْقَلَمِ مِنْ أُذُنِ الْكَا تِبِ فَكُلَّمَا قَامَ إِلَى الصَّلَا ةِ اسْتَاكَ (سنن الةر مذى)
Abu kuraib menceritakan kepada kami katanya, abdah bin sulaiman menceritakan kepada kami, diterima dari muhammad bin amr, dari abu salamah, dari abu hurairah, dari nabi saw. Katanya: seumpama tidak memberatkan kepada umatku, pasti akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat.”
Menurut ibnu Munir, Muhammad Amr (salah satu rawi diatas) kurang ke dhabith annya. Sehingga kualitas hadits ini menjadi hasan.[69]
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan dia menilainya hasan, dari riwayat syu’bah dari ‘Asim bin Ubaidillah, dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya, berbunyi sebagai berikut.
اِنَّ اِمْرَأَةً مِنْ بَنِى فُزَارَةِ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَرَضِيْتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالُكِ بِنَعْلَينِ ؟ قَالَتْ نَعَمْ فَأَجَازَ
 Bahwasannya seorang perempuan dari Bani Fuzarah menikah dengan mahar sepasang sandal. Kemudian Rasulullah bertanya kepadanya, ‘apakah kamu merelakan dirimu di dinikahi sedang harta yang diberikan kepadamu sebagai mahar hanya sepasang sandal?”Dia menjawab, Ya. Maka Rasulullah saw melangsungkan penikahan itu.”
At Tirmidzi mengomentari, bahwa hadits itu terdapat riwayat-riwayat lain, yaitu dari Umar Abu Hurairah, Aisyah, dan Abu Hadrad. Dalam hal ini At-Tarmidzi menilai hadits tersebut hasan, karena meskipun ‘Asim dalam sanad hadits yang diriwayatkannya itu dhaif karena jelek hafalannya, hadits ini didukung oleh adanya riwayat-riwayat lain[70].
D.    Pengertian Hadist Dhaif
Dhaif menurut lughat adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat). Adapun menurut Muhaditsin
هُوَ كُلُّ حَدِ يْثٍ لَمْ تَجْتَمِعْ فِيْهِ صِفَا تُ الْقَبُوْلِ. وَقَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِهُوَمَالَمْ يَجْمَعْ صِفَةَ الصَّحِيْحِ وَالْحَسَنِ.
Hadist dhaif adalah semua hadist yang tidak terkumpul padanya sifat-sifat bagi hadist yang diterima dan menurut pendapat kebanyakan ulama, hadist dhaif adalah yang tidak terkumpul padanya sifat hadist shahih dan hasan[71].
Hadist dhaif termasuk hadist ahad yang mardud (ditolak), tidak bisa dipegangi dan tidak pula dijadikan hujjah.Pengertian hadist dhaif adalah hadist yang kehilangan[72] satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadist shahih ataupun hasan. Dengan kata lain, hadist dhaif merupakan suatu hadist yang tidak memenuhi kriteria atau persyaratan hadist maqbul[73].
Merujuk pada definisi diatas, jika tidak memenuhi satu syarat saja dari syarat-syarat hadist maqbul, maka hadist tersebut sudah tergolong hadist dhaif. Oleh karena itu, jika syarat yang tak terpenuhi lebih dari satu, maka derajatnya lebih dhaif lagi, demikian juga seterusnya.Sebagian ulama memandang tingkatan-tingkatan kedhaifan sebuah hadist pada dhaif, dhaif sekali, dan maudhu’. Ada pula yang membagi lebih rinci yaitu; dhaif, dhaif sekali, wahi, munkar dan maudhu’, sebagai tingkatan hadist dhaif yang paling lemah.Hadist dhaif terbagi menjadi beberapa bagian yang cukup banyak, dan para ulama berbeda-beda dalam menyebutkannya. Meski demikian pembagian hadist dhaif tersebut merujuk pada dua sebab ke-dhaifa-an yaitu dhaif yang disebabkan sanadnya tidak bersambung, dan dhaif yang disebabkan oleh sebab-sebab lain, selain tidak bersambungnya sanad[74].
Dalam pembahasan ini tidak diuraikan bagian-bagian masing-masing hadist dhaif beserta penjelasannya karena urgensi pembahasan pembagian hadist ini adalah untuk memberikan gambaran dan menjembatani pada bagian inti, yakni menyelesaikan hadist mukhtalif. Dengan demikian rasanya cukup untuk mengetahui hadist dhaif secara global dari manapun aspek ke-dhaifannya dan apapun namanya[75].
Hukum-hukum hadits dhaif
1.      Tidak boleh diamalkan, baik dalam menggunakannya sebagai landasan menetapkan suatu hukum maupun sebagai landasan suatu akidah.  Melainkan hanya dibolehkan dalam hal keutamaan-keutamaan amal dengan memberikan iklim yang kondusif menggairahkan atau merasa takut untuk melakukan atau tidak melakukan suatu amal perbuatan, dan dalam hal menerangkan biografi. Menurut para ahli hadits, pendapat ini dapat dijadikan pegangan, tetapi hal itu masih diperselisihkan dikalangan para ulama tentang dibolehkannya mengamalkan hadits dhaif. Mereka membolehkan mengamalkan hadits dhaif dengan syarat-syarat sebagaimana yang disebutkan Ibnu Hajar, yaitu :
·         Hadits dhaif itu mengenai keutamaan-keutamaan amal
·         Kualitas kedhaifannya tidak terlalu, sehingga tidak dibolehkan mengamalkan hadits-hadits dhaif yang diriwayatkan oleh orang-orang pendusta, yang tertuduh berbuat dusta, dan sangat jelas kesalahannya.
·         Hadits dhaif itu harus bersumber pada dalil yang bida diamalkan.
·         Pada waktu mengamalkan hadits dhaif tidak boleh mempercayai kepastian hadits itu, melainkan harus dengan niat ikhtiyat (berhati-hati dalam agama).
Ulama yang menegaskan dibolehkan mengamalkan hadits dhaif dalam bidang keutamaan-keutamaan amal, diantaranya ialah:
o   Imam Al-Nawai dalam kitabnya Al-Taqrib
o   Imam Al-Iraaqi dalam kitab Syarah Alfiyah Al-Iraaqi
o   Ibn Hajar Al-Asqalaani dalam kitab syarah Al-Nukhbah
o   Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Syarah Alfiyah Al-Iraaqi
o   Al-Hafidz Al-Suyuti dalam kitab Al Tadrib
o   Ibnu Hajar Al-Makki dalam kitab Syarah Al-Arba’in
o   Ibnu Hajar Al-Makki dalam kitab Syarah Al-Arba’in
o   Al-Allaamah Al-Lukhnuwi dalam risalah yang membahas secara lengkap tentang hadits dhaif yang berjudul Al-Ajwibah Al-fashilah
o   Ayah saya Al-Sayyid Alawi Al Maliki dalam kitab Risalah khusus tentang hukum hadits dhaif.
2.      Orang yang mengetahui hadits sanadnya dhaif, maka harus mengatakannya, “hadits ini sanadnya dhaif”. Tidak dibolehkan dengan mengatakannya, “hadits ini sanadnya dhaif” hanya disebabkan adanya kelemahan dalam sanad. Karena, hadits itu kadang mempunyai sanad lain yang shahih. Seseorang dibolehkan menyebutnya dengan tegas, “hadits ini dhaif” apabila telah jelas tidak ada sanad lain yang shahih.
3.      Hadits dhaif tanpa sanad tidak boleh diucapkan dengan kata-kata, “bahwasannya Nabi saw bersabda,.. begini dan begitu.. dst. “akan tetapi, harus diucapkan dengan kata-kata, “diriwayatkan dari Nabi saw... begini ... begitu.. dst,” atau dengan kata-kata, “telah sampai kepadaku dari Nabi saw...begini..begitu..dst,” atau “datangdari nabi saw..begini...begitu...dst”, atau “dari Nabi saw...begini..begitu..dst”,atau “dinukil dari Nabi saw begini...begitu...dst”, atau dengan kata-kata lain yang senada, yang terdiri dari bentuk-bentuk ungkapan yang mengandung makna tidak adanya kepastian, yang disebut “shighat tamridh
Adapun untuk menyebutkan hadits shahih, sudah barang tentu harus menggunakan ungkapan yang menunjukan arti kepastian, yang disebut dengan “shighat jazm.” Dan dipandang sangat tidak baik meriwayatkan hadits shahih dengan menggunakan shighat tamridh[76]
4.      Apabila hadits dhaif itu mempunyai makna yang musykil, maka tidak perlu dicari-cari interpretasinya dengan cara mena’wil atau dengan cara lain untuk menghilangkan kemusyrikannya, sebab cara-cara yang demikian itu hanya bisa dilakukan terhadap hadits shahih.
5.      Hadits dhaif tidak boleh mengakibatkan turunnya kualitas validitas hadits shahih. Demikian ini pendapat Ibnu Hajar dalam kitab Fathu Al-Bahri[77]
Para ulama Muhaditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadist dari dua jurusan, yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan[78].
Sebab-sebab tertolaknya hadist dari jurusan sanad adalah :
·         Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun ke-dhabith-annya.
·         Ketidakbersambungannya sanad, dikarenakan adalah seseorang rawi atau lebih yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain[79].
Adapun cacat pada keadilan dan ke-dhabith-an rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut.
1.      Dusta
2.      Tertuduh dusta
3.      Fasik
4.      Banyak salah
5.      Lengah dalam menghafal
6.      Menyalahi riwayat orang kepercayaan
7.      Banyak waham (purbasangka)
8.      Tidak diketahui identitasnya
9.      Penganut bid’ah
10.  Tidak baik hafalannya[80]
Klasifikasi Hadist Dhaif
a.       Hadist Maudhu’
Hadist maudhu’ adalah,
هُوَ اْلمُخْتَلَعُ المَصْنُوْعُ المَنْسُوبُ إِلَى رَسُولُ اللهُ صلى الله عليه وسلم زُوْرًاوَبُهْتَانًا سَوَاءُكَانَ ذَلِكَ عَمْدً اأَمْ خَطَأً
Artinya : Hadist yang dicipta serta buat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Secara palsu dan dusta, baik sengaja maupun tidak[81]”.
Para ulama menentukan bahwa ciri-ciri ke maudhu’ an suatu hadist terdapat pada sanad hadist, yaitu adanya pengakkuan diri si pembuat sendiri, qarinah-qarinah yang memperkuat adanya pengakuan membuat hadist maudhu’ dan qarinah-qarinah yang berpautan dengan tingkah lakunya[82].
Adapun ciri-ciri yang terdapat pada matan, dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi ma’na dan segi lafadz. Dari segi ma’na yaitu bahwa hadist itu bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadist muttawatir, ijma’, logika yang sehat. Dari segi lafadz, yaitu bila susunan kalimatnya tidak baik dan tidak fasih[83].
Karya-karya dalam hadist maudhu’
Para ulama Muhaditsin, dengan menggunakan berbagai kaidah studi kritis hadist, berhasil mengumpulkan hadist maudhu’ dalam sejumlah karya yang cukup banyak, diantaranya[84].
·         Al-Maudhu’at, karya ibn Al-Jauzi (Ulama yang paling awal menulis dalam ilmu ini).
·         Al-La’ali Al-syaria’ah Al-Marfu’ah ‘an Al-Ahadist Asy Syani’ah AL-Maudhu’ah, karya Ibnu ‘Iraq Al-Kittani (ringkasan kedua kitab tersebut)
·         Silsilah Al-Ahadist Adh-Dha’ifah, karya Albani[85].
b.      Hadist Matruk
Hadist matruk adalah
هُوَ احَدِيثُ الَّذِي فِي إِسْنَادِهِ رَاوٍ مُتَّهَمُ بِالْكَذِبِ
Artinya : hadist yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dosa[86].
Rawi yang tertuduh dusta adalah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tetapi belum dapat dibutikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam membuat hadist. Seorang rawi yang tertuduh dusta, bila ia bertobat dengan sungguh-sungguh, dapat diterima periwayatan hadist nya[87].
c.       Hadist Munkar
Hadist Munkar adalah hadist yang pada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahannya, banyak kelengahannya atau tampak kefasikannya. Lawannya dinamakan ma’ruf[88]
d.      Hadist Syadzdz
Hadist syadz adalah hadist yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, yang menyalahi riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun lebih tinggi daya hapalnya[89].
Macam-macam hadits yang termasuk pada kategori dhaif itu cukup banyak. Para ahli berbeda-beda pula dalam menyebut dan menghitung macam-macam hadits ini, tergantung pada syarat hadits shohih da hasan yang tidak terpenuhinya. Untuk sekedar mengenalkan macamya, berikut ini akan kemukakan 20 macam hadis yang dikategorikan sebagai hadis dhaif[90].
1.      Hadis munkar, yaitu hadis yang matannya tidak ditemukan lagi pada periwayata lain, matan itu hanya ditemukan dari perawi bersangkutan satu-satunya, padahal rawi itu tidak termasuk rawi yang dlabith (kuat hafalan)
2.      Hadis matruk, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tertuduh berdusta, berbuat maksiat, lalai dalam periwayatannya atau pelupa.
3.      Hadis mudraj, yaitu hadis yang sanad atau matannya bercampur dengan yang bukan hadis tapi disangka hadis[91].
4.      Hadis mu’allal, yaitu hadis yang mempunyai cacat yang baru diketahui apabila diteliti dengan baik, yaitu rawinya sering terjadi salah sangka.
5.      Hadis maqlub, yaitu hadis yang didalamnya terjadi pemutarbalikan oleh rawinya sehingga terjadi kekeliruan di dalamnya, seperti mengenai susunan kata, kalimat, atau sanadnya.
6.      Hadis nutdharib, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi melalui beberapa jalan yang berebda-beda dengan berubah-ubah rawi atau matannya, sehingga susah ditentukan mana yang benarnya.
7.      Hadis muharraf, yaitu hadis yang berbeda dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang lain karena adanya perbedaan atau perubahan dalam syakal (bari/bunyi) kata atau huruf-hurufnya, tapi bentuk tulisannya sama. Sperti kata amier dibaca umair.
8.      Hadis syad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang hafalannya jelek yang mengakibatkan terjadinya perubahan dan perbedaan dibandingkan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang lain yang hafalanya lebih bagus.
9.      Hadis mushahaf, yaitu hadis yang berbeda dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi lain karena adanya kelainan titik-titik pada huruf atau katanya, sedangkan bentuk tulisan huruf atau katanya sama.
10.  Hadis mardudu, yaitu hadis yang perawinya diketahui sebagai ahli bid’ah.
11.  Hadis mu’dhal, yaitu hadis yang dalam periwayatannya gugur dua orang perawi atau lebih secara berturut-turut, seperti yang diriwayatkn oleh tabi’in generasi kaedua langsung dari nabi saw tanpa menyebutkan dulu tabi’in generasi pertama dan sahabat.
12.  Hadis mursal, yaitu yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tabi’in (generasi pertama) langsung dari tanpa menyebutkan siapa yang menceritakan hadis  itu kepadanya.
13.  Hadis mu’alay, yaitu hadis yang tidak disebutkan awal sanadnya, sedang yang ditengah sampai akhir baik.
14.  Hadis mubham, yaitu hadis yang didalamnya terdapat rawi yang tidak disebut namanya, atau disebut tapi tidak dikenal identitasnya leh para hadis.
15.  Hadis mungathi, yaitu hadis yang terputus atau gugur seorang perawi sebelun sahabat, atau gugur dua orang perawi tapi tidak berturu-turut
16.  Hadis mudallas, yaitu hadis yang didalmnya terdapat kecurangan karena ada rawi yang enggan disebtkan namanya dan kemudian diganti dengan nama yang lain.
17.  Hadis saqiem, yaitu hadis yang arti dan tujuannya berlainan dengan firman Allah[92].
18.  Hadis majhul, yaitu hadis yang diriwaatkan oleh seorang yang tidak dikenal dikalangan para ahli hadis.
19.  Hadis muhmal, yaitu hadis yang oleh salah satu dari dua orang perawi yang nama, gelar, dan nama orang tuannya sama, dan sala satu dari padanya termasuk orang dhaif.
20.  Hadis maudhu, yaitu berita bohong yang dibuat atau diciptakan oleh seseorang dengan mengatasnamakan nabi saw[93].

Contoh Hadits Dhaif
Bagian Bumi yang Mula-Mula Hancur
أَوْلُ اْلأَ رَضِينَ خَرَابًا يُسْرَاهَا ثُمَّ يُمْنَا هَا
Bumi yang mula-mula hancur ialah bagian kirinya, kemudian bagian kanannya.”
Hadits dhaif ini, diriwayatkan oleh Tamam dalam al-fawa’id (I/48), ibnu Jami’ dalam Mu’jam nya (258), Ibnu Asakir (II/36/15 dan II/256) dari Hafsh bin Umar bin ash Shabar ar Raqi (Sinjah), dari Abu Hudzaifah Musa bin Ma’ud dari sufyan ats Tsauri, dari Ismail bin Abi Khalid, dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin Abdullah secara marfu’[94].
Isnad ini dhaif. Pada diri Hafsh bin Umar ini terdapat kelemahan. Adz Dzahabi berkata  dalam al-mizan, “Dia seorang syekh (guru) yang terkenal, termasuk salah seorang guru besar ath Tharbani. Dia banyak meriwayatkan dari Qabishah dan lainnya. Abu Ahmad al-Hakim berkata, dia suka meriwayatkan yang bukan hadits yang tidak didukung oleh riwayat lain”[95].
Ibnu Hibban menyebutkan dalam ats Tsiqat seraya berkata, dia sering keliru.”
Perawi-perawi lainnya dalam isnad ini adalah perawi-perawi Bukhari, selain Abu Hudzaifah yang menjadi pembicaraan dalam segi hafalannya. Oleh karena itu, adz dzahabi memasukkannya dalam segi hafalannya. Oleh karena itu, adz Dzahabi memasukkannya dalam adh dhu’afa’ wal-Matrukin, seraya berkata,”Dia dilemahkan oleh Imam Ahmad. Ibnu Khuzaimah berkata,’saya tidak meriwayatkan hadits darinya[96].”
Dikatakan dalam al-Mizan,”Dia adalah salah seorang guru al-Bukhari. Insya Allah dia jujur, tapi sering keliru. Dia dibicarakan oleh Imam Ahmad dan dilemahkan oleh at-Tirmidzi...” oleh karena itu, al hafizh berkata dalam at taqrib,”dia itu jujur, tapi buruk hafalannya dan suka melakukan tashhih (melakukan perubahan pada titik lafal)[97]
Menurut saya, dialah yang menjadi cacatnya hadits ini jika hadits ini selamat dari kelemahan ar-Raqi[98].
Zahir Hadits ini mungkar karena bumi itu bentuknya bulat seperti bola sebagaimana ditunjuki oleh kenyataan ilmiah yang tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’. Berbeda dengan orang yang mencela kenyataan ini. Kalau demikian, manakah yang disebut bagian bumi sebelah kanan dan sebelah kiri? (dilihat dari mana sehingga dapat dikatakan kanan dan kiri?). kanan dan kiri ini sesuatu yang bersifat nisbi (relatif) sebagaimana halnya timur dan barat[99].
E.     Penutup
Pembagian hadits dari segi kualitas terbagi menjadi tiga, diantaranya hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif. Diantara ketiga hadits tersebut memiliki makna dan ciri-ciri yang berbeda. Hadits shahih adalah Hadist yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-illat, dan tidak janggal. Hadist Shahih dibagi menjadi dua, yaitu hadist Shahih lidzatin dan hadist shahih lighairih. Hadits shahih memiliki hukum-hukum. Syekh Abdullah bin Ibrahim Al-Awali menghimpun tingkatan-tingkatan hadits shahih didalam nadham kitabnya yang berjudul Thal’afu Al-Anwar. Diantara karya-karya yang hanya memuat hadist shahih adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Mustadrak Al-Hakim, Shahih Ibnu Hibban, dan Shahih Ibnu Khuzaimah.
Yang kedua adalah hadits hasan merupakan hadist yang dinukilkan oleh seorang yang adil tapi kurang kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak pula terdapat kejanggalan pada matannya. Hadits hasan memiliki lima syarat diantaranya, Muttasil sanadnya, rawinya adil, rawinya dhabith, tidak termasuk hadits syadz, tidak terdapat illat (cacat). Klasifikasi Hadist Hasan dibagi menjadi dua, hadist hasan lidzatih dan hasan lighairih. ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadist hasan dapat digunakan sebagai hujjah, bila mana memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima, tetapi memiliki sifat yang rendah, sedangkan hadits sahih memiliki sifat yang tinggi. Kitab-Kitab yang mengandung Hadist Hasan yaitu Jami’ At-Tarmidzi, dikenal dengan sunan At-Tirmidzi, merupakan sumber untuk mengetahui hadist hasan, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Ad-Daruquthi.
Ketiga hadist dhaif termasuk hadist ahad yang mardud (ditolak), tidak bisa dipegangi dan tidak pula dijadikan hujjah.Pengertian hadist dhaif adalah hadist yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadist shahih ataupun hasan Ulama yang menegaskan dibolehkan mengamalkan hadits dhaif dalam bidang keutamaan-keutamaan amal, diantaranya ialah: Imam Al-Nawai dalam kitabnya Al-Taqrib, Imam Al-Iraaqi dalam kitab Syarah Alfiyah Al-Iraaqi, Ibn Hajar Al-Asqalaani dalam kitab syarah Al-Nukhbah, Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Syarah Alfiyah Al-Iraaqi, Al-Hafidz Al-Suyuti dalam kitab Al Tadrib, Ibnu Hajar Al-Makki dalam kitab Syarah Al-Arba’in, Ibnu Hajar Al-Makki dalam kitab Syarah Al-Arba’in, Al-Allaamah Al-Lukhnuwi dalam risalah yang membahas secara lengkap tentang hadits dhaif yang berjudul Al-Ajwibah Al-fashilah, Ayah saya Al-Sayyid Alawi Al Maliki dalam kitab Risalah khusus tentang hukum hadits dhaif. Para ulama Muhaditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadist dari dua jurusan, yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan Macam-macam hadits yang termasuk pada kategori dhaif itu cukup banyak. Para ahli berbeda-beda pula dalam menyebut dan menghitung macam-macam hadits ini, tergantung pada syarat hadits shohih da hasan yang tidak terpenuhinya. Untuk sekedar mengenalkan macamnya.




Daftar Pustaka
Al-Albani, Mohammad Nashirruddin. 2001. Silsilatu-Ahaadiits adh-Dhaifah wal-Maudhu’ah wa Atsaruhas-sayyi’fil-Ummah. Jakarta:Gema Insani Press
Abdurrahman, M. dan Elan Sumarna. 2011.  Metode Kritik hadits. Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2006.  Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR
Amin, Kamaruddin.2009. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Bandung:PT Mizan Publika
Ichwan, Mohammad Nor. 2007. Studi Ilmu Hadits. Semarang:Rasail Media
Khariri. 2005. Melerai Hadist-Hadist Yang Saling Berlawanan. Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press
Khariri. 2009.  Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Yogyakarta:Fajar Pustaka.
Nurdin, Muslim dkk. 1993.Moral dan Kognisi Islam (Buku Teks Agama Islam untuk perguruan Tinggi). Bandung:CV ALFABETA
Sholahudin, Agus dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadist. Bandung: CV Pustaka Setia
Sumbulah, Umi. Akhmad Kholil. dan Nasrullah. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadist Malang:UIN Press


Catatan:
1.      Penulis buku berjumlah tiga atau lebih menggunakan sistem: penulis pertama dkk., contoh: Umi Sumbulah dkk.
2.      Buku terjemahan, harus dicantumkan penterjemahnya.


[1]Mohammad Nor Ichwan.Studi Ilmu Hadits. (Semarang:Rasail Media.2007). Hlm 121
[2]Ibid., Hlm 122
[3]Ibid., Hlm 122
[4] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadist. (Bandung: CV Pustaka Setia. 2008). Hlm 141
[5]Ibid.,  Hlm 141
[6] Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah. Studi Al-Qur’an dan Hadist (Malang:UIN Press. 2014) hlm 204
[7]Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. (Yogtakarta:Fajar Pustaka.2009) hlm 19
[8] M Abdurrahman dan Elan Sumarna. MetodeKritik Hadits. (Bandung:PT Remaja Rosdakarya.2011) hlm 205
[9]Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit.  hlm 19
[10] Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah.Op. Cit. hlm 204
[11] Kamaruddin Amin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. (Bandung:PT Mizan Publika. 2009) hlm 21
[12] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 143
[13]Ibid.,  Hlm 143
[14] Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah. Op. Cit.  hlm 205
[15]Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit. hlm 19
[16] Kamaruddin Amin. Op. Cit.  hlm 24
[17] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit.  Hlm 142
[18]Ibid., Hlm 142
[19] Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah. Op. Cit.  hlm 205-206
[20]Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit.  hlm 19
[21] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 143
[22] Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah. Op .Cit. hlm 206
[23]Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit. hlm 19
[24] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit.  Hlm 144
[25] Kamaruddin Amin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Op. Cit.  hlm 29
[26] Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah .Op. Cit.  hlm 206-207
[27]Ibid.,  hlm 206-207
[28] Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit.  hlm 20
[29] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit.  Hlm 143
[30]Ibid.,  Hlm 144
[31]Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif.Op. Cit.  hlm 20
[32] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 144
[33] Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah. Op. Cit. hlm 207
[34]Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit.  hlm 20
[35] Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah. Op. Cit. hlm 208
[36] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 144
[37]Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit. hlm 20
[38] Muhammad Alawi Al-Maliki. Ilmu Ushul Hadits. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar.2006) hlm 53
[39]Ibid.,) hlm 54
[40]Ibid., hlm 55
[41]Ibid., hlm 55
[42]Ibid., hlm 56
[43] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 144
[44]Ibid., Hlm 144
[45] Muhammad Alawi Al-Maliki. Ilmu Ushul Hadits. Op. Cit. hlm 57
[46] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit.  Hlm 145
[47] Muhammad Alawi Al-Maliki.Op. Cit.  hlm 58
[48]Ibid., hlm 58
[49]Ibid., hlm 59
[50] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 145
[51] M. Abdurrahman dan Elan Sumarna.  Metode Kritik hadits. (Bandung:PT Remaja Rosdakarya. 2011) Hlm 206-207
[52]Ibid., Hlm 206-207
[53]Ibid.,Hlm 206-207
[54] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi.Op. Cit.  Hlm 145
[55]Ibid., . Hlm 146
[56] Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif.Khariri. Op. Cit .Hlm 20
[57]Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Ci.t hlm 20-21
[58] Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah. Op. Cit. hlm 208-209
[59]Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Op. Cit.hlm 21
[60] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 146
[61] Khariri. Melerai Hadist-Hadist Yang Saling Berlawanan. (Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press. 2005). Hlm 28
[62] Muhammad Alawi Al-Maliki. Op. Cithlm 59
[63] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit.  Hlm 146
[64]Ibid.,. Hlm 146-147
[65]Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif.  Op. Cit.hlm 21
[66]Ibid.,  hlm 21
[67] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit Hlm 147
[68]Ibid.,  Hlm 147
[69] M. Abdurrahman dan Elan Sumarna. Op. Cit hlm 209
[70] Muhammad Alawi Al-Maliki. Ilmu Ushul Hadits. Op. Cit. hlm 63
[71] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit. Hlm 148
[72]Khariri. Metode Penyelesaian Hadist Kontardiktif. Khariri. . Op. Cit hlm 21
[73]Ibid.,  hlm 21-22
[74]Ibid.,  hlm 22
[75] Khariri. Melerai Hadist-Hadist Yang Saling Berlawanan. . Op. Cit. Hlm 29
[76] Muhammad Alawi Al-Maliki. Op. Cit. hlm 66
[77]Ibid., hlm 67
[78] Agus Sholahudin dan Agus Suyadi. Op. Cit.Hlm 148
[79]Ibid.,  Hlm 148
[80]Ibid.,. Hlm 148-149
[81]Ibid.,  Hlm 149
[82]Ibid.,  Hlm 149
[83]Ibid.,  Hlm 149
[84]Ibid.,  Hlm 150
[85]Ibid., Hlm 150
[86]Ibid.,  Hlm 150
[87]Ibid.,  Hlm 150
[88]Ibid.,  Hlm 150
[89]Ibid.,  Hlm 151
[90]Muslim Nurdin dkk. Moral dan Kognisi Islam (Buku Teks Agama Islam untuk perguruan Tinggi). (Bandung:CV ALFABETA.1993) hlm 71
[91]Ibid.,  hlm 71
[92]Ibid.,  hlm 72
[93]Ibid.,  hlm 73
[94] Mohammad Nashirruddin Al-Albani. Silsilatu-Ahaadiits adh-Dhaifah wal-Maudhu’ah wa Atsaruhas-sayyi’fil-Ummah. (Jakarta:Gema Insani Press.2001) hlm 144
[95]Ibid.,  hlm 144
[96]Ibid.,  hlm 144
[97]Ibid.,  hlm 145
[98]Ibid.,  hlm 145
[99]Ibid., hlm 145

Tidak ada komentar:

Posting Komentar