Senin, 13 Maret 2017

Integrasi Ilmu Sosial dan al-Qur'an (P-IPS E Semester Genap 2016/2017)




INTEGRASI ILMU SOSIAL DAN AL-QUR’AN
(Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo)

Laili Rahmah Ramadhani dan Zumrotun Nafisah
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas E Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: Lailirahmah55@gmail.com
Abstrak
Makalah ini mendiskusikan tentang posisi ilmu sosial dan integrasinya dengan Al-Qur’an hadits.Mulai dari pengertian ilmu sosial, Al-Qur’an hadis, serta integrasi keduanya.Pembahasannya mencakup Ilmu sosial mengadopsi Al-qur’an Hadist dan ilmu sosial dipergunakan untuk memahami Al-qur’an, Serta akan membahas biografi kuntowijoyo yang mana beliau adalah pelopor ilmu sosial profetik yang mana akan membawa kehidupan manusia menjadi lebih baik dengan tiga pilar yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi yang sesuai dengan QS.Ali Imran ayat 110, dengan demikian ilmu social profetik kita juga akan melakukan orientasi terhadap epistimologi, yaitu reorientasi terhadap cara berfikir, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan empiris, tapi juga dari wahyu.

This paper discusses the position of social science and its integration with the Qur'an hadith. Starting from an understanding of the social sciences, the Qur'an traditions, as well as the integration of both. Discussion include social sciences adopt the Qur'an and Hadith social science used to understand the Qur'an, as well as to discuss the biography Kuntowijoyo which he was a pioneer of prophetic social science which will bring people's lives for the better with the three pillars, namely the humanization , liberation, and transcendence in accordance with QS.Ali Imran verse 110, thus prophetic social science we will also conduct an orientation towards epistimologi, the reorientation of the way of thinking, that the source of that knowledge not only of reason and empirical, but also of revelation.

Keywords: integration, social sciences, Qur'an, Hadith, prophetic
Pendahuluan
Allah secara tegas menggambarkan bahwa tuhan tidak menciptakan manusia dalam satu kesamaan. Dengan adanya perbedaaan antara satu dengan lainnya, justru saling melengkapi. Sekiranya manusia diciptakan sama dalam hal kecakapan, kecenderungan, kekayaan, atau lainnya, maka setiap orang akan memiliki kualitas yang sama. Akibatnya, orang tidak akan saling memerlukan sehingga kerja sama pun tidak mungkin terjadi.
            Ayat-ayat Al-Quran juga menjelaskan bahwa bangsa dan masyarakat (bukan hanya individu yang hidup dalam masyarakat) mempunyai hukum-hukum dan prinsip-prinsip bersama yang menentukan keteguhan dan kejatuhannya sesuai proses-proses sejarah tertentu pula.
            Sementara itu, perdebatan di kalangan Islam masih berkisar pada tingkat semantik (pemaknaan kata). Mereka dengan latar belakang tradisi ilmu keislaman, konvensional mengartikan teologi sebagai ilmu kalam, yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak normatif, dan skolastik. Sementara itu bagi mereka yang terlatih dalam tradisi barat, seperti cendikiawan Muslim yang tidak mempelajari Islam dari studi-studi formal, lebih melihat teologi sebagai penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan, jadi lebih merupakan refleksi-releksi empiris.Dari kalangan pertama lebih menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-ajaran normativedalam berbagai karya kalam klasik. Sedangkan kalangan yang kedua, cenderung menekankan perlunya reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris.
Pembahasan
Posisi Ilmu Sosial dan Al-Quran
            Sesuai petunjuk umat Islam meyakini bahwa Muhammad adalah nabi terakhir. Sebagai nabi terakhir, Muhammad diutus untuk seluruh ummat manusia. Muhammad adalah manusia yang berakhlaq mulia dan agung. Oleh karena itu, ia patut dijadikan panutan. Sebagai bukti kerasulan, Muhammad memperoleh wahyudari Allah SWT. Kumpulankitab wahyu ini dikenal dengan nama Al-Quran. Al-Quran ini diterima oleh Nabi Muhammad secara berangsur-angsur sejak Agustus 610 Masehi dan berakhir Maret 632 Masehi. Setidaknya ada 9 ayat yang menjelaskan secara tegas bahwa Al-Quran itu diturunkan dalam bahasa arab. Walau Nabi Muhammad di lahirkan di negeri Arab dan bahasa kitab yang dibawanya juga berbahasa arab tetapi misi kerasulannya adalah bagi ummat semesta.[1]
Al-Quran memang bukan buku sejarah yang secara sistematis membahas keadaan masyarakat masa lampau namun sebagai bukti petunjuk yang didalamnya didapati hukum-hukum perubahan masyarakat (sosial). Yang berlaku sepanjang sejarah manusia. Oleh karena itu, didalamnya didapati ayat-ayat yang berisi perintah agar manusia memperhatikan sejarah ummat terdahulu. Disamping itu, fungsi utama Al-Quran, untuk melakukan perubahan-perubahan yang bersifat positif (litukhrija alnas min al-zhulumat ila al-nur). Dari keterangan ini diperoleh pemahaman bahwa Al-quran mengajarkan kepada para pembacanya untuk bercermin dengan masyarakat masa lalu untuk dipergunakan panduan bagi hidup masa kini dan masa datang.[2]
Kedudukan As-Sunnah
Jumhur Ulama menyatakan bahwa As-Sunnah menempati urutan yang kedua setelah Al-Quran. Untuk hal ini al-Suyuti dan al-qasimi mengemukakan argumentasi rasional dan argumentasi  tekstual. Diantara argumentasi itu adalah sebagai berikut:
a.      Al-quran bersifat qath’i al-wurud, sedangkan Al-Sunnah bersifat zhanni al-wurud. Karena itu yang qath’i harus didahulukan daripada yang dzanni.
b.      As-Sunnah berfungsi sebagai penjabaran Al-quran. Ini harus diartikan bahwa yang menjelaskan bukan setingkat dibawah yang dijelaskan.
c.       Ada beberapa hadis dan atsar yang menjelaskan urutan dan kedudukan As-Sunnah setelah Al-Quran. Diantaranya dialog rasulullah dengan Muas bin Jabbal. Yang akan diutus kenegeri Yaman sebagai Qadli. Nabi bertanya : “ Dengan apa kau putuskan suatu perkara?” Muas menjawab, :” Dengan kitab Allah”. Jika tidak ada nash nya, maka dengan sunnah rasul dan jika tidak ada ketentuannya dengan sunnah maka dengan berijtihad.
d.      Al-Quran sebagai wahyu dari sang pencipta, Allah swt, sedang hadis berasal dari hamba dan utusannya, maka selayaknya bahwa yang berasal dari sang pencipta lebih tinggi kedudukannya daripda yang berasal dari hamba utusan-Nya. Selanjutnya ada beberapa ayat Al-quran dan hadis yang menyatakan bahwa kedudukan As-Sunnah sebagai sumber kedua setelah Al-quran dalam ajaran Islam.
Surat An-Nisa ayat 59 menyatakan:
يا ايها الدين امنوااطيعواالله واطعوا الرسول واولي ا لامر منكم  فان تنا زعتم في شيءفردوه
الى الله والر سول ان كنتم تؤ منون با لله واليوم ا لاخر دلك خير واحسن تئا ويلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu”.

Selanjutnya dalam hadist nabi ditegaskan:
تركت فيكم امرين ما ان تمسكتم بهما لن تضلوا ابد ا كتا ب الله وسنة رسوله (رواه ا بوداود)
“ Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara atau pusaka, selama kalian berpegang kepada keduanya, kalian tidak akan sesat, kitabullah (Qur’an) dan sunnah rasul-Nya”. (HR Abu Daud).[3]

Integrasi Al-Quran dengan Ilmu Sosial
Al-Quran memberikan gambaran bahwa manusia diciptakan tuhan tidak dalam arti sama dalam segala-galanya. Manusia diciptakan dengan jenis kelamin yang berbeda, tempat tinggal, dan etnis yang berbeda pula. Dari adanya perbedaan ini mereka diperintahkan saling mengenal. Akan tetapi, tuhan pun memberikan peringatan bahwa yang terbaik adalah mereka yang mampu memelihara diri (bertaqwa).
Allah secara tegas menggambarkan bahwa tuhan tidak menciptakan manusia dalam satu kesamaan. Dengan adanya perbedaaan antara satu dengan lainnya, justru saling melengkapi. Sekiranya manusia diciptakan sama dalam hal kecakapan, kecenderungan, kekayaan, atau lainnya, maka setiap orang akan memiliki kualitas yang sama. Akibatnya, orang tidak akan saling memerlukan sehingga kerja sama pun tidak mungkin terjadi.[4]
            Ayat-ayat Al-Quran juga menjelaskan bahwa bangsa dan masyarakat (bukan hanya individu yang hidup dalam masyarakat) mempunyai hukum-hukum dan prinsip-prinsip bersama yang menentukan keteguhan dan kejatuhannya sesuai proses-proses sejarah tertentu pula.
Al-Quran antara lain menjelaskan sebab kehancuran Bani Israel. Dalam ayat ini Tuhan menjelaskan bahwa kaum Bani Israel[5] akan berbuat kerusakan sebanyak dua kali dan akan menjadi tiran-tiran besar. Ketika hukuman dari kejahatan pertama datang, Tuhan mendatangkan musuh yang lebih kuat. Akan tetapi setelah Bani Israel menyesali dosa-dosanya, kembali menjadi orang baik, Tuhan memberi giliran kepada mereka untuk mengalahkan pihak lainnya. Pada hukuman dari kejahatan kedua, Tuhan pun mendatangkan kelompok lain yang akan menindasnya. Tuhan, dalam ayat ini mengingatkan kepada sekumpulan orang (masyarakat), bukan individu tertentu. Selain itu, ayat ini juga memberikan gambaran bahwa masyarakat dikuasai hukumnya sendiri.
Sejarah bangsa Arab kuno seperti kaum Ad, Samud, Madyan, dan Saba’ banyak disebut dalam Al-Quran. Terhadap kaum-kaum ini, agaknya Tuhan memberikan perintah khusus kepada masyarakat (terutama kaum muslimin) agar memperhatikan sebab-sebab kepunahannya. Sebelum punah, keempat kaum ini pernah mengalami kejawaan. Kaum Ad dan kaum Samud dikenal sebagai ahli dibidang arsitektur dan pertanian. Selain itu, kaum Samud juga dikenal sebagai ahli dibidang pertanian, seperti halnya dengan kaum Saba’. Adapun kaum Madyan dikenal sebagai kaum pedagang.keempat kaum yang pernah jawa tersebut akhirnya mengalami kehancuran. Secara lafzhi, kehancuran kaum Ad digambarkan sebagai ditimpa oleh sesuatu yang luar biasa, yakni berupa angin topan dan hujan terus-menerus selama tujuh malam delapan hari sehingga mereka mati bergelimpangan di rumah masing-masing. Senada dengan kaum Ad, kaum samud juga hancur ditimpa suara yang luar biasa dahsyat. Adapun kehancuran kaum saba’ ditimpa banjir bandang.
Yang menjadi tekanan Al-Quran terhadapa perubahan keempat masayarakat/kaum di atas bukan pada bentuk alat penghancuran (seperti disambar petir, gempa, banjir, atau kalah perang) melainkan[6] pada faktor penyebab masyarakat tersebut dihancurkan. Kalau diperhatikan secara seksama, ayat-ayat yang menggambarkan faktor penyebab dihancurkannya keempat kaum tersebut berada pada faktor keyakinan (aqidah) dan akhlaq.
Kaum Ad dijelaskan oleh al-Qur’an sebagai kaum yang pamer kekuatan, bengis, kejam. Mereka menuruti perintah penguasa yang zhalim, bertindak sewenang-wenang dan menentang kebenaran. Mereka juga tidak percaya kepada AllahSWT dan mendustakan Rasul.
Kaum Samud menonjol di bidang rakus harta sehingga tak mau memberi kesempatan unta Nabi Shalih untuk minum dan bahkan membunuhnya. Mereka juga beragama sebagaimana agama nenek-moyangnya, mendustakan kenbenaran yang dibawa Rasulullah dan mengikuti perintah penguasa yang zhalim.
Kaum Madyan digambarkan oleh Tuhan sebagai kaum yang suka berbuat kerusakan, mengurangi takaran dan timbangan, mengurangi hak-hak orang lain, dan mendustakan dan mengesampingkan nasehat Nabi Syu’aib. Kaum saba’, di samping melupakan Tuhan Pencipta, mereka justru mempertuhan matahari. Selain itu, akibat kemakmuran tanah airnya mereka menjadi malas dan lupa  daratan.
Atas dasar untaian di atas dapat di ambil pemahaman bahwa faktor penyebab dihancurkannya keempat kaum tersebut secara umum memilki kesamaan prinsip, yakni mereka sama-sama tidak mempertuhankan Allah Yang Maha Esa, mendustakan dan menolak dakwah Rasul, berbuat dzalim, kemalasan, menggunakan harta secara tidak tepat, dan berbagai jenis akhlaq buruk lainnya. Faktor-faktor inila agaknya yang menjadi hukum perubahan sosial yang universal seperti yang dapat ditangkap dari isyarat ayat-ayat Al-Qur’an.[7]
Integrasi Hadist dengan Ilmu Sosial
Dua ilmu yang berbeda pada dasarnya tidak untuk dipisahkan satu dengan yang lain. Sikap yang ideal terhadap keduanya adalah dengan mendialogkan, mempertemukan, dan mensintesiskan agar ditemukan pemikiran-pemikiran baru yang solutif atas beragam permasalahan. Integrasi ilmu-ilmu sosial dan hadis merupakan salah satu upaya untuk sampai pada tujuan mulia tersebut. Dalam proses integrasi ini, hadis didudukkan sebagai objek material yang didekati dengan objek formal berupa berbagai macam ilmu sosial yang ada. Melalui bantuan ilmu-ilmu sosial tersebut diharapkan mampu melahirkan makna-makna kontekstual.[8]
Sebagai contoh, toleransi antar umat beragama yang merupakan hal yang sangat penting untuk selalu yang kita bina dan kita lestarikan, karena dengan saling bertoleransi antar sesama dalam kehidupan ini kan tercipta kedamaian karena dengan saling bertoleransi antar sesama dalam kehidupan ini akan tercipta kedamaian dan keharmonisan tanpa adanya rasa permusuhan dan saling mencurigai. Bahkan Rasulullah sendiri pun telah memberi contoh kepada kita semua. Dimana pada masa hidup rasulullah toleransi antar umat beragama itu beliau gambarkan dalam hubungan jual beli dan saling memberi dengan non muslim. Sebagaimana diterangkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Al-Maghozi hadist nomor 4467:
فعن عا ئشة رضي ا لله عنها قا لت : تو في ا لنبى صلى ا لله عليه و سلم ودر عه
مر هو عند يهودي بثلا ثين يعني :صا عا من شعير (كتا ب المغا زي رقم الحديث)
Artinya:“Dari Aisyah R.A. Dia berkata: nabi telah wafat dangkan baju besinya telah diberikan kepada seorang Yahudi sebagai gadai dengan 30 sha’ gandum.(kitab Al-Maghozi, hadist nomor 4467).”[9]

Biografi kuntowijoyo
Sosok sejarawan terkemuka juga dikenal sebagai sastrawan dan budayawan yang lahir di Yogyakarta, 18 september 1943, baik sebelum atau sesudah mengalami sakit yang cukup lama, memang seperti menyimpan misteri. Doctor ilmu sejarah dari universitas Columbia ini begitu konsisten dalam melahirkan karya-karya berbobot. Juga kepiawaiannya dalam memanfaatkan dua medium ungkap sastra (puisi, cerpen, drama, novel) dan nonsastra (esai-esai dalam bidang sejarah, budaya, politik) senantiasa membuat iri cendikiawan lain.[10]Kunto membingkai pendekatannya dengan paradigm ilmu –ilmu sosial profetik, dengan sentuhan yang, seperti dikatakannya sendiri,”berpijak pada kenyataan –kenyataan sejarah, kekinian, dan kedisinian”.Sekalipun sedikit banyak analisisnya memanfaatkan postulat dan teori- teori ilmu sosial barat, keberpihakannya pada paradigma al-quran yang diyakininya sangatlah jelas.[11]
Karya-karya Kuntowijoyo
            Beberapa karya Kuntowijoyo seperti:
1.      Dinamika Sejarah Umat Islam (1985)
2.      Budaya dan Masyarakat (1987)
3.      Paradigma Islam; Intepretasi untuk Aksi (1991)
4.      Demokrasi dan Budaya Birokrasi (1994)[12]
Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo
             Perdebatan di kalangan Islam masih berkisar pada tingkat semantik (pemaknaan kata). Mereka dengan latar belakang tradisi ilmu keislaman, konvensional mengartikan teologi sebagai ilmu kalam, yaitu suatu disiplin yang mempelajari ilmu ketuhanan, bersifat abstrak normatif, dan skolastik. Sementara itu bagi mereka yang terlatih dalam tradisi barat, seperti cendikiawan Muslim yang tidak mempelajari Islam dari studi-studi formal, lebih melihat teologi sebagai penafsiran terhadap realitas dalam perspektif ketuhanan, jadi lebih merupakan refleksi-releksi empiris.Dari kalangan pertama lebih menekankan pada kajian ulang mengenai ajaran-ajaran normativedalam berbagai karya kalam klasik. Sedangkan kalangan yang kedua, cenderung menekankan perlunya reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris.[13]
            Seperti disebutkan diatas, dikalangan umat Islam konsep tentang teologi dipahami dengan persepsi yang berbeda-beda. Sebagian besarmengartikan konsep tersebut sebagai suatu cabang khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang ketuhanan, tentang tauhid. Itu sebabnya, mereka menganggap gagasan mengenai pembaharuan teologi sebagai gagasan yang membingungkan dan aneh, karena hal itu berarti mengubah doktrinsentral Islam mengenai keesaan Tuhan. Mereka menganggap masalah teologis di dalam islam sudah selesai, dan oleh karenanya tidak perlu diutik-utik apalagi dirombak.
Disinilah titik-tolak kesalahpahaman terjadi. Para pengajur pembaharuan teologi jelas tidak bermaksud seperti itu. Apa yang mereka tawarkan bukan rekomendasi untuk mengubah doktrin, tapi mengubah interpretasi terhadapnya. Jadi, tidak seperti yang dituduhkan oleh kalangan pertama, mereka hanya menginginkan agar ajaran agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realistis.[14]
Tapi agaknya orang belum cukup terjelaskan dengan keterangan ini sehigga perdebatan dan salah paham masih terus terjadi. Oleh karena itu, harus ada cara lain untuk menjembatani perdebatan tersebut. Yaitu, dengan menghindari istilah teologi, karena di samping akan membingungkan, istilah tersebut tampaknya kurang begitu cocok dengan apa yang sesungguhnya kita kehendaki. Dengan mengganti istilah “teologi” ke “ilmu sosial”, akan menegaskan sifat dan maksud dari gagasan Teologi Transformatif yang dikemukakan Moeslim Abdurrahman. Jika gagasan pembaharuan teologi adalah agar agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas, maka metode yang efektif untuk maksud tersebut adalah mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial.[15]
Itu sebabnya muncul gagasan tentang Ilmu Sosial Transformatif yang tidak seperti ilmu-ilmu sosial akademis maupun ilmu-ilmu sosial kritis, tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena sosial, namun juga berupaya untuk mentransformasikannya. Namun timbul persoalan, untuk apa, oleh siapa transformasi tersebut dilakukan. Dalam hal ini dibutuhkan ilmu-ilmu sosial profetik untuk menjelaskannya. Ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa.[16]
            Oleh karena itulah, ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi[17]mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.Dalam pengertian ini maka ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita –cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya bagi kita itu berarti perubahan yang didasarkan pada cita –cita humanisasi/emnsipasi, liberasi, dan transendensi, suatu cita –cita profetik yang diderivasikan dari misi historis islam sebagaimana terkandung dalam ayat 110, surah ali Imran :
كن تم خير امة اخر جت لنا ش تا مرون  با لمعر و ف وتنهو ن عن المنكر
و تو منو ن با الله ولو امن اهل الكتب لكان خير ا لهم منه المو منو ن واكثر
هم الفسقون [18]
Arti : Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan), dan beriman kepada allah. Tiga muatan nilai inilah yang mengkarakteristikkan ilmu social profetik.Dengan kandungan nilai- nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi, ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita – cita sosio-etiknya pada masa depan.
Asal usul dari pikiran tentang ilmu social profetik itu dapat ditemukan dalam tulisan – tulisan Muhammad iqbal dan roger garaudy. Dalam buku membangun kembali pikiran agama islam, iqbal mengungkapkan kembali kata- kata seorang sufi bahwa nabi Muhammad SAW telah sampai ketempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik, tetapi ia kembali ke dunia untuk menunaikan tugas- tugas kerasulannya. Pengamalan keagamaan yang luar biasa itu tidak mampu menggoda nabi untuk berhenti. Akan tetapi, ia menjadikannya sebagai kekuatan psikologis untuk mengubah kemanusiaan. Dengan kata lain, pengalaman religious itu justru menjadi dasar keterlibatannya dalam sejarah, sebuah aktivisme sejarah. Sunnah nabi berbeda dengan jalan seorang mistikus yang puas dengan pencapaiannya sendiri. Sunnah nabi yang demikian itulah yang kita sebut sebagai etika profetik.[19]Beliau memulai suatu transformasi social budaya berdasarkan cita-cita profetik.
Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Kita tahu bahwa kita sekarang mengalami proses dehumanisasi karena masyarakat industrial kita menjadikan sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan, kita mengalami objektivasi ketika berada di tengah- tengah mesin- mesin politik dan mesin – mesin pasar. Ilmu dan teknologi juga telah membantu[20]kecenderungan reduksionistik yang melihat manusia dengan cara parsial.
Tujuan liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan perasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang tertangkap dalam kesadaran teknokratis dan mereka yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin bersama – sama membebaskan diri dari belenggu- belenggu yang dibangun sendiri.
Tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi transcendental dalam kebudayaan kita sudah banyak menyerah kepada arus hedonism, meterialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi transcendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin merasakan kembali dunia ini sebagai rahmat tuhan. Kita ingin hidup kembali dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu, ketika kita bersentuhan dengan kebesaran tuhan.
Dengan ilmu social profetik, kita juga akan melakukan orientasi terhadap epistimologi, yaitu reorientasi terhadap mode of thought dan mode of inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan empiri, tapi juga dari wahyu.[21]

Penutup dan Kesimpulan
            Al-Quran dan as-Sunnah merupakan sumber ilmu pertama yang dapat dijadikan pedoman. Dalam Al-Quran dan as-Sunnah pun banyak diceritakan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dalam masyarakat terdahulu, terutama pada masyarakat Arab, dimana tempat diturunkannya Al-Quran dan tempat tinggal Rasulullah terdahulu.
Sedangkan ilmu sosial profetik dari Kuntowijoyo merupakan kandungan nilai dari cita –cita perubahan yang diidamkan masyarakat, yang berarti perubahan yang didasarkan pada cita –cita humanisasi/emnsipasi, liberasi, dan transendensi, suatu cita –cita profetik yang diderivasikan dari misi historis islam.
Dalam hal ini juga sama seperti cita-cita profetik Kuntowijoyo harus mempunyai pola pikir yang analitis, sehingga tercipta keharmonisan dalam hubungan lingkungan sosial. Seperti yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat [3]: ayat 110.













Daftar pustaka
Kuntowijoyo, IdentitasPolitikUmat Muslim. Bandung: MIZAN, 1997.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai ilmu:Epistemologi, Metodologi,dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.

Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid. Bandung: MIZAN, 2001.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam InterpretasiUntukAksi. Bandung: PT MIZAN PUSTAKA, 2008.  
Nata, Abuddin, Al-quran dan Hadist. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Mubarok, Zulfi, Sosiologi Agama. Malang: UIN Malang Press, 2006.
Santri Pondok Pesantren Ngalah, Ensiklopedi Fiqih Jawabul Masail. Pasuruan:Podok Pesantren Ngalah, 2003.
Afwadzi, Benny, Membangun Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Hadis Nabi, (Jurnal Living Hadist).Malang: UIN Maliki Malang, 2016.
Zulheri, Skripsi Ilmu Sosial Profetik (Tela’ah Pemikiran Kuntowijoyo). Riau: UIN Sultan Kasim, 2012.
Al-Qur’an, Mushaf Wardah. Bandung: JABAL, 2010.
Catatan:
1.      Format makalah masih belum sesuai dengan format artikel yang menjadia acuan.
2.      Tolong pendahuluan diperbaiki.
3.      Pembicaraan dalam makalah ini seharusnya hanya mendiskusikan mengenai al-Qur’an, sedang al-sunnah/hadits tidak perlu dicantumkan.
4.      Latar belakang munculnya ilmu sosial profetik perlu dicantumkan.
5.      Eksplorasi terhadap ilmu sosial profetik perlu diperbanyak.



[1] H.Zulfi Mubaraq,  Sosiologi Agama, (Malang:Uin Malang Press, 2006) hal 3
[2] H.Zulfi Mubaraq,  Sosiologi Agama, (Malang:Uin Malang Press, 2006)hal:4
[3] Nata, Abuddin. Alquran dan Hadist, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada) hal 203
[4] H.Zulfi Mubaraq,  Sosiologi Agama, (Malang:Uin Malang Press, 2006) hal 6
[5] Ibid, hal 7
[6] H.Zulfi Mubaraq,  Sosiologi Agama, (Malang:Uin Malang Press, 2006) hal 8
[7] H.Zulfi Mubaraq,  Sosiologi Agama, (Malang:Uin Malang Press, 2006) hal:9
[8] Benny Afwadzi, Membangun Integrasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Hadis Nabi, (Jurnal Living Hadist) vol:1
[9] Santri Pondok pesantren nagalah, Ensiklopedi fiqih Jawabul Masail (Pasuruan:Pondok Pesantren Ngalah,2013)hal: 13
[10] Kuntowijoyo, IdentitasPolitikUmat Muslim (Bandung: MIZAN, 1997) hal vii
[11]Ibid, hal xxi
[12] Zulheri, Skripsi Ilmu Sosial Profetik (Tela’ah Pemikiran Kuntowijoyo) hal 35
[13]Kuntowijoyo, Islam Sebagai ilmu:Epistemologi, Metodologi,dan Etika(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006) hal 83
[14]Ibid,  hal 84
[15]Kuntowijoyo, Islam Sebagai ilmu : Epistemologi, Metodologi,dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006) hal 85
[16]Ibid, hal 86-87
[17]Kuntowijoyo, Paradigma IslamInterpretasiUntukAksi(Bandung: PT MIZAN PUSTAKA, 2008) hal 482
[18] Al-Qur’an, Mushaf Wardah. (Bandung: JABAL, 2010) hal. 64

[19]Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid(Bandung: MIZAN, 2001) hal 363
[20]Kuntowijoyo, Paradigma Islam InterpretasiUntukAksi (Bandung: PT MIZAN PUSTAKA, 2008) hal 483
[21]Ibid, hal 484

Tidak ada komentar:

Posting Komentar