HADITS
DAN HISTORISITASNYA
Jannatul
Firdausi Nuzula, Mohamad Nadlif Masykur, dan Dimas Reza Aditya
Mahasiswa
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas D Angkatan 2015
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail:
jnuzula1@gmail.com
Abstract
This article discusses about Hadith and Historical. Contains
the understanding of language and understanding Hadeeth Hadeeth term.
Understanding Hadith in language is a new meaning. Hadith also klins's
language, means "something that is talked about and quoted", also
"something a little and a lot." According to the experts hadith,
hadith is what is leaning to the Muhammad
SAW,
in the form of sayings, deeds, determination, character, or sirah him, either
before or afterwards prophetic. Meanwhile, according to experts fiqh, hadith
are the words, deeds, and determination of resting the Muhammad SAW after prophethood. As before
prophetic not regarded as intended because the hadith is working on what became
consequences and it cannot be done except by what happens after prophethood.
Abstrak
Artikel ini membahas mengenai Hadits dan Historisnya. Berisi
tentang pengertian hadits secara bahasa dan pengertian hadits secara istilah.
Pengertian Hadits secara bahasa artinya baru. Hadits secara bahasa juga berarti
“sesuatu yang dibicarakan dan dinukil”, juga “sesuatu yang sedikit dan banyak”.
Menurut ahli hadits, hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik
sebelum kenabian atau sesudahnya. Sedangkan menurut ahli fiqh, hadits adalah
perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhamad
SAWsetelah kenabian. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits
karena hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuwensinya dan hal
tersebut tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah
kenabian.
Keywords: Hadits, Nabi
Muhammad SAW, Fiqh
A.
Pendahuluan
Hadits Nabi telah ada sejak awal
perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi.
Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. Hadits atau
disebut juga Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dan didasarkan atas
Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Hadits
sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur'an. Sejarah perjalanan hadits
pun tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi,
dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik sehingga dalam
mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, hadits
diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat dan hanya sebagian hadits
yang ditulis oleh para sahabat. Hal ini disebabkan karena Nabi pernah melarang
para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah
terjadi penulisan hadits. misalnya berupa surat-surat Nabi tentang ajakan
memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum memeluk
Islam.
Hadits Nabi yang berkembang pada
zaman Nabi (sumber aslinya) lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada
secara tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk
menulis haditsnya dan karakter orang-orang Arab yang sangat kuat hafalannya
serta suka menghafal itu memiliki kekhawatiran akan bercampurnya hadits Nabi
Muhammad SAW dengan Al- Qur'an.
Dengan kenyataan ini sangat logis
sekali bahwa tidak seluruh hadits Nabi telah terdokumentasi pada zaman Nabi
secara keseluruhan. Pada realitas kehidupan masyarakat muslim, perkembangan
hadits Nabi secara kuantitatif cukup banyak sekali, walaupun Fazlur Rahman
mengatakan "hadits-hadits Nabi memang sedikit jumlahnya". Selain
perkembangan hadits yang cukup banyak, juga banyak istilah-istilah yang
digunakan. Pada masyarakat umum yang dikenal adalah Hadits dan as-Sunnah,
sedangkan pada kelompok tertentu, dikenal istilah Khabar dan Atsar.[1]
Oleh karena itu, kami akan
memberikan pemahaman mengenai Hadits/Sunnah menurut para ulama(ahli hadits,
ahli ushul fiqh, adan ahli fiqh) beserta historisitasnya secari rinci.
B.
Pengertian
Hadits atau Sunnah dan macam-macamnya
1.
Pengertian
Hadits/sunnah menurut bahasa
الطريقة المسلوكة
Menurut
bahasa, Sunnah berarti jalan yang ditempuh, baik terpuji maupun tidak. [2]
Sebagaimana sabda Nabi SAW:
من سنّ فى الإسلام سنّة حسنة فله أجرهاوأجرمن عمل بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ,و من سنّ سنّة سيّئة كان عليه وزره من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء (رواه مسلم)
“Barangsiapa
membuat inisiatif yang baik, ia akan mendapatkan pahala dan orang-orang yang
mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikit pun berkurang dan barangsiapa membuata
inisiatif yang jelek, ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang-orang yang
mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikit pun berkurang”. (HR. Muslim)[3]
Secara
etimologis (bahasa), hadits berarti jadid (baru), juga bermakna berita. Dengan
demikian hadits lebih mengacu kepada perkataan.[4]
2.
Pengertian
Hadits menurut istilah
Para
ulama berbeda-beda pendapat dalam memberikan pengertian terhadap Hadits dengan
objek pembahasan yang berbeda-beda pula, antara lain:
a)
Menurut
ulama’ hadits
Para ulama’
hadits mensinonimkan pengertian hadits dengan Sunnah. Bagi mereka, sunnah
disefinisikan sebagai berikut:
السنة فى اصطلاح المحدثين: ما أثر عن النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقريرأو صفة أو خلقية أو سيرة سواء كان قبل البعثة كتحنثه فى غارحراء أم بعدها
“Sunnah dalam
pengertian para ahli hadits adalah segala rowayat yang berasal dari Rasullah
SAW baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat fisik dan tingkah laku
beliau, baik sebelum diangkat menjadi rasul (seperti kontemplasi
spiritual/tahannuts beliau di gua Hira’) maupun sesudahnya”.
Ulama’ hadits
berusaha meliput sebanyak mungkin riwayat yang berkenaan dengan Rasulullah,
tidak hanya berkenaan dengan aspek hukum, akan tetapi juga menceritakan keadaan
beliau, sifat-sifat dan kebiasaan, bahkan hingga gambaran dan performa fisik
beliau sekali pun.
b)
Menurut
ulama’ ushul fiqh
السنة فى اصطلاح علماء اصول الفقه: هي كل ما صدر عن النبي صلى الله عليه وسلم غير القرآن الكريم من قول أو فعل أو تقرير مما يصلح أي يكون دليلا ليحكم شرعى
“as Sunnah
menurut pengertian para ulama’ Ushul Fiqh adalah segala sesuatu ynag
disandarkan kepada Nabi SAW selain Al-Qur’an, berupa perkataan, perbuatan,
maupun ketetapan beliau, ynag daoat dijadukan sebagai dalil hukum syari’ah”.
Ulama’ ushul
fiqh berkonsentrasi pada dalil-dalil hukum, memandang Rasulullah SAW sebagai musyarri’
(pembuat undang-undang). Oleh karena itu istilah Sunnah dibatasi
pengertiannya pada perkataan, perbuatan, dan ketetapan beliau sepanjang yang
dapat dijadikan dalil syara’. Namun tidak berarti menolak cakupan makna hadits
atau Sunnah yang didefinisikan oelh kalangan muhadditsain.
c)
Menurut
ulama’ fiqh
السنة فى اصطلاح الفقهاء: هي كل ما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم و لم يكن باب الفرض و لا الواجب
“Para
fuqaha mendefinisikan Sunnah sebagai segala perbuatan yang ditetapkan oleh
Rasulullah, namun pelaksanannya tidak sampai kepada tingkat wajib”.[5]
Sunnah
adalah perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sama
wajib atau fardhu. Maksudnya Sunnah ialah suatu amalan yang diberi pahala
apabila dikerjakan dan tidak dituntut dosa apabila ditinggalkan.[6]
d)
Menurut
ulama’ dakwah
Definisi Sunnah
ialah apa yang saja yang bukan bid’ah. Hal ini dikarenakan perhatian
mereka tertuju kepada apa saja yang menjadi perintah dan larangan syara’.[7]
Definisi hadits
yang paling komprehensif adalah:
ما أضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أوتقريرأو وصف خلقي أو خلقي أو اضيف الى الصحابى أو التابعى
“Segala sesuatu
ynag dinisahkan kepada Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan, ketetatapn, sifat diri
atau sifta pribadi atau yang dinisbahkan kepada sahabat atau tabi’in”.
3.
Macam-macam
hadits
Umat
islam pada saat itu secara langsung memperoleh Hadits dari Rasul SAW sebagai
sumber hadits, baik itu berupa perkataan, perbuatan dan taqrir. Antara Rasul
SAW dan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau
mempersulit pertemuan mereka. Para sahabat menerima hadits dari Rasul SAW
adakalanya langsung dari beliau sendiri, mereka langsung mendengar atau melihat
contoh perilaku yang dilakukan Nabi SAW, baik karena ada sesuatu soal yang
diajukan oleh seseorang kepada Nabi lalu Nabi menjawabnya, atau karena Nabi
sendiri yang memulai pembicaraan tentang suatu persoalan.[8]
a.
Qauli
Yakni perkataan
Nabi, hadits memiliki makna dari Nabi SAW sendiri yang diadapatkan dari hasil
ijtihad beliau denagn piranti kecerdasan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi.
b.
Fi’li
Fi’li di sini
memilik makna yakni perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah pada masa
hidupnya. Para ushul fiqh membagi perbuatan Rasulullah menjadi 3 macam:
1)
Perbuatan
yang dilakukan oleh Muhammad SAW berdasarkan tabiat seperti duduk, berdiri, dan
berjalan.
2)
Perbuatan
yang dilakukan atas dasra adat tradisi, seperti cara keadaan makan, minum, dan
tidur. Beliau sebagai manusia atau perbuatan yang dilakukannya atas dasar adat
kebiasaan (tradisi), maka tidak ada keharusan bagi umat Islam untuk
mengikutinya.
3)
Perbuatan
yang dilakukan Muhammad SAW, namun dengan maksud yang tidak jelas, apakah
perbuatan tersebut dimaksudkan untuk mendekatkan diri dan bernilai ibadah atau
perbuatan itu semata-mata lahir karena faktor tradisi dan adat kebiasaan.
c.
Taqriri
Taqrir yang
oleh Al-Qadir disebut dengan istilah iqrar berarti diamnya Rasulullah
dari membantah sesuatu perkataan atau perbuatan yang disampaikan atau dilakukan
di hadapan beliau atau perbuatan yang terjadi di hadapan atau ketika beliau
mengetahuinya. Oleh karena itu hukum mengikuti diamnya Rasulullah tatkala mendapat
laporan tentang suatu perbuatan tersebut, sama dengan mengikuti perbuatan
Rasulullah.[9]
C.
Perbedaan
Hadits, Sunnah, Atsar, dan Khabar
1.
Hadits
dan Sunnah
Sunnah
menurut etimologi berarti jalan, sedangkan menurut terminologi ialah apa-apa
yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, atau taqrir.
Sunnah dalam arti terminologi ini identik pengertian hadits. [10]
Apabila hadits sifatnya umum, meliputi sabda dan perbuatan Nabi, maka Sunnah
khusus berhubungan dengan perbuatan-perbuatan beliau.[11]
Dalam
hal ini ada beberapa pendapat yang menyatakan perbedaan antara hadits dengan
sunnah, diantaranya adalah:
a.
Menurut
Dr. Yusuf Musa, seorang guru besar Cairo University
فِقْهُ الْكِتَا بِ وَالسّنَّةِ
السُّنَّةُ مَا صَدَرَ عَنِ الرَّسُوْلِ مِنْ قَوْلٍ أَوْفِعْلٍ أَوْتَقْرِيْرٍ.وَالْحَدِيْثُ مَاصَدَرَعَنِ قَوْلِ الرَّسُوْلِ فَقَطْ
"Sunnah
ialah apa yang keluar dari Rasul, baik berupa perkataan, atau perbuatan maupun
taqrirnya. sedangakan hadits ialah apa saja yang keluar dari Rasul, berupa
perbuatan saja".
b.
Ibnul
Al-Kamal berkata:
َلسُّنَّةُ مَانُقِلَ عَنِ النَّبِىِّ ص.م. فِعْلاً كَانَ أَوْ قَوْلآً, وَالْحَدِيْثُ يَخْتَصُّ بِالْقَوْلِ فَقَطْ
“Sunnah ialah
yang dinukil dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perbuatan maupun sabdanya,
sedangkan hadits telah khusus sabdany saja”.
c.
Menurut
Dr. Taufiq dalam kitabnya:
دِيْنُ اللهِ فِى كُتُبِ أَنْبِيَائِهِ
Sunnah adalah suatu jalan yang dilakukan oleh Nabi SAW secara
kontinyunya dan diikuti oleh para sahabatnya, sedangkan hadits adalah
ucapan-ucapan.[12]
2.
Atsar
Atsar
menurut etimologi sisa-sisa perkampungan atau yang sejenisnya. Sedangkan
menurut terminologi ada dua pendapat, yaitu:
a.
Pengertian
atsar identik dengan pengertian hadits, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam
Al-Nawawi bahwasannya para ahli hadits menyebut hadits marfu’ dan hadits mauquf
dengan atsar.
b.
Atsar
ialah sesuatu yang datang dari sahabat (baik perkataan maupun perbuatan). Dalam
hal ini atsar berarti hadits mauquf. Dan barangkali ditinjau dari segi bahasa
yang berarti bekas atau peninggalan sesuatu, karena perkataan dan perbuatan
merupakan sisa-sisa atau peninggaln-peninggalan dari Nabi SAW. Oleh karena yang
berasal dari Nabi SAW disebut khabar, maka pantaslah kalau yang berasal dari
sahabat disebut atsar.[13]
3.
Khabar
Khabar
menurut etimologi berarti apa yang diriwayatkan atau diberitakan. Khabar
mencakup semua berita atau riwayat. Dengan kata lain khabar bisa berarti
informasi tentang sesuatu yang dibawa atau berasal dari semua orang. [14]Menurut
terminologi, mengenai arti khabar terdapat tiga pendapat, yaitu:
a.
Pengertian
khabar identik dengan hadits. Di samping ada konotasi yang sama antara kedua
lafadz tersebut, bahwasannya perawi tidak cukup hanya mengutip hadits yang
disandarkan kepada Nabi SAW (marfu’), melainkan juga menaruh perhatian kepada
apa yang bersumber dari para sahabat (mauquf), atau bahkan hanya berhenti pada
tabi’in saja (maqtu’). Jadi, di samping meriwayatkan dari Nabi SAW, mereka juga
meriwayatkan daris elain beliau. Riwayat adalah pemberitaan dari sana sini.
Karena itu, tidak ada salahnya menamakan hadits sebagai khabar dan menyebut
khabar sebagai hadits.[15]
b.
Khabar
adalah apa-apa atau sesuatu yang datang selain dari Nabi, sedang hadits adalah
sebaliknya. Sehingga, terkenal dengan sebutan Muhaddits bagi orang-orang ynag
menggeluti bidang ilmu hadits dan disebut Ikhbari bagi orang-orang yang
menggeluti bidang ilmu sejarah dan yang sejenisnya.
c.
Pengertian
hadits lebih khusus daripada khabar, sehingga setiap hadits pasti khabar, nmaun
tidak semua khabar pasti hadits.[16]
Dengan demikian, bahwa kata Sunnah,
hadits, khabar, dan atsar adalah sinonim, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW, sahabat, tabi’in, yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir, atau
sifat-sifat.[17]
D.
Sejarah
singkat hadits Nabi dari masa ke masa
1.
Hadits
pada masa Nabi
Para sahabat menyakini bahwa seluruh perbuatan Nabi, demikian juga
ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala
gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala
apa yang disabdakan Nabi.
Ada beberapa cara teknik atau cara
Nabi SAW dalam menyampaikan hadits kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan
kondisi sahabatnya. Untuk itu teknik atau cara yang digunakan Nabi SAW dalam
menyampaikan hadits sebagai berikut:
a.
Melalui
para jamaah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-‘ilmi. Melalui
majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits,
sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti
kegiatannya.
b.
Dalam
banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan hadits melalui para sahabat
tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang
lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu hadits, para sahabat
yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti
hadits-hadits yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin al’Ash. Untuk hal-hal yang
sensitive seperti berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis
(terutama yang menyangkut hubungan suami isteri), ia sampaikan melalui isteri-isterinya.
Begitu juga sifat para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal
diatas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW, seringkali ditanyakan melalui
isteri-isterinya.
c.
Melalui
ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathu
Makkah.
d.
Melalui
perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musya’hadah),
seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah.
e.
Para
sahabat yang mengemukakakan masalah atau bertanya dan berdialog langsung kepada
Nabi SAW.[18]
Konteks munculnya hadits Rasulullah
itu dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu karena kepentingan menafsirkan ayat
Al-Qur’an yang sifatnya masih umum. Memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang
telah ada di dalam Al-Qur’an serta adanya suatu persoalan atau peristiwa ynag
terjadi yang mengharuskan untuk dijawab sementara belum ditemukan jawabannya
dalam nash Al-Qur’an.[19]
Di samping itu pula pembukukan
terhadap hadits sangat penting. Namun, hanya Al-Qur’an yang dibukukan sementara
hadits belum dibukukan sejak masa Nabi SAW sampai pertengahan abad 2 Hijriyah.[20]
Sebagaimana sabda Nabi SAW yang melarang dalam penulisan hadits:
لاتكتبوا عنّى شيئا غير القرآن, فمن كتب عنّى شيئا غير القرآن فليمحه
“Janganlah
menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis apa-apa
dari saya selain Al-Qur’an (yakni:hadits) hendaklah menghapuskannya”. (HR. Muslim dari Abu Sais Al-Khudri)
Larangan penulisan hadits ini diperbolehkan bagi orang-orang yang
lemah hafalan, sehingga hadits tetap ia peroleh dan dapat dibaca ketika
diperlukan. Larangan penulisan hadits berlaku bagi mereka yang sudah masuk ke
dalam kelompok penulis Al-Quran, sehingga menghasilkan keotentikan dan
kevalidan yang diharapkan.[21]
Larangan penulisan ini ada hikmahnya, yakni:
1)
Pada
waktu itu para sahabat masih banyak yang “ummi”, sedangkan pada waktu itu juga
wahtu Ilahi (Al-Qur’an) masih turun, jadi Nabi SAW khawatir kalau mereka tidak
dapat membedakan Qur’an dan Hadits, sehingga nantinya akan timbul pencampuran
antara keduanya.
2)
Nabi
SAW percaya kepada para sahabat dan kemampua mereka untuk memelihara semua
ajarannya tanpa catatan. Secara tidak langsung Nabi SAW mendidik mereka untuk
percaya diri pada kemampuan.[22]
Telah diketahui pula, bahwasanya para sahabat dan tabi’in
membendaharakan hadits Rasulullah SAW didalam hafalan mereka yang kuat. Mereka
tidak memerlukan tulisan-tulisan hadits. Jika ada para sahabat yang menulis
hadits, maka hal tersebut mereka lakukan bukanlah karena lemahnya hafalan
mereka, melainkan untuk menambah kokohnya ingatan dan hafalan mereka.[23]
2.
Hadits
pada Masa Sahabat (tahun 10 – 40 H)
Sahabat adalah orang yang bertemu
dan hidup bersama Rasul minimal setahun lamanya (Ahli Usul). Jumhur Muhadditsin
– sahabat orang yang bertemu dengan Rasul dengan pertemuan yang wajar sewaktu
Rasul masih hidup, dalam keadaan islam lagi iman, Al-Jahidh ulama beraliran
Mu’tazilah – sahabat orang yang pernah bergaul dengan Nabi dan meriwayatkan
hadits dari padanya, Ulama Ushul – sahabat orang yang berjumpa dengan Rasul,
lama pula bersahabat dengan beliau, walaupun tidak meriwayatkan hadits, Loght
dan ‘Uruf – sahabat mereka yang sungguh-sungguh menyertai nabi, seduduk,
sejalan dengan Nabi dalam sebagian waktu.
Pada masa Abu Bakar dan Umar disebut
masa pembatasan/penyederhanaan periwayatan (taqlil al-riwayah), penyampaian
periwayatan dilakukan dengan lisan dan hanya benar-benar diperlukan saja yaitu
jika umat Islam menghadapi suatu masalah saja yang memerlukan penjelasan hokum.
Kedua Khalifah diatas menerima hadits orang perorangan jika disertai dengan saksi
yang menguatkan. Bahkan Ali menerimanya jika juga disertai dengan sumpah.
Demikian juga para sahabat lain yang
semula melarang menulis sunah akhirnya memperbolehkannya bahkan menganjurkannya
setelah tidak ada kekhawatiran pemeliharaan Al-Quran seperti Abdullah bin
Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Muawiyah, Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, dan lain-lain.[24]
Hukum penetapan penulisan hadits
terjadi secara berangsur-angsur (Al-Tadarruj). Pada saat wahyu turun, umat
Islam menghabiskan waktunya untuk menghapal dan menulis Al-Quran. Sunah hanya
disimpan dalam dada mereka, disampaikan dari lisan ke lisan dan dipraktekkan
dalam kehidupan mereka sesuai dengan apa yang mereka lihat dan apa yang mereka
dengar daripanutan yang mulia yaitu Nabi SAW. Kemudian setelah Al-Quran
dipelihara dengan baik, mereka telah mampu membedakannya dengan catatan sunah,
dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan Al-Quran, para ulama sepakat bolehnya
penulisan dan pengkodifikasian sunnah.[25]
3.
Hadits
mulai berakhirnya masa Para Sahabat (tahun 41 – 100 H)
Pada masa ini timbul perpecahan di
kalangan umat Islam karena soal khalifah/pemerintahan/politik, sehingga terjadi
perang antar saudara Ali dan Muawiyah yang memebawa korban bnayak di kalangan
umat Islam. Demi menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam, Khalifah Ali
menerima permintaan damai dan musyawarah dari pihak Mu’awiyah ini. Tetapi pada
waktu itu, umat Islam telah terpecah belah menjadi 3 golongan, yaitu:
1.
Khawarij,
ialah golonan pemberontakan yang tidak dapat menyetujui perdamaian dan
permusyawaratan dalam soal khilafah atau yang dikenal dengan tahkim.
2.
Syi’ah,
ialah golongan yang sangat fanatik pada Ali.
3.
Jumhur,
ialah umat Islam yang tidak termasuk satu dan dua, dan mereka ini terbagi tiga:
a.
Golongan
yang mendukung pemerintahan Ali
b.
Golongan
yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah
c.
Golongan
netral (independen) yang tidka mau melibatkan dirinya dalam kancah pertentangan
dan peperangan.
Untuk tujuan politiknya, ketiga gologan tersebut tidak segan-segan
membuat hadits-hadits palsu (Hadits Maudlu’). Seperti hadits yang dibuat oleh
golongan Khawarij, yaitu:
اذااتاكم الحديث عنى فأعرضوه على كتاب الله
“Jika kamu menerima hadits dari saya, cocokkanlah dengan
Al-Qur’an”.
Ulama’ dari kalangan para sahabat
dan tabi’in tekun berusaha menjaga kemurnian ajaran-ajaran Nabi dengan perjalan
ke pelbagai daerah untuk mengecek kebenaran hadits-hadits yang telah kepadanya,
baik dari sanad hadits (pribadi perawi-perawinya) maupun tentang matannya
(materi haditsnya). Kemudian mereka menerangkan kepada umat Islam tentang nilai
hadits dan pribadi para perawinya agar dapat membedakan mana hadits yang shahih
dan tidak, perawi yang dapat dipercaya (diterima) dan tidak.[26]
Pada masa ini, khalifah Umar bin
Abdul Aziz memerintahkan kepada gubernur dari semua daerah Islam supaya
menghimpun dan menulis Hadits-hadits Nabi. Menurut Dr. Ahmad Amin, orang yang
menghimpun hadits pertama kali atas perintah khalifah ialah Abu Bakar bin
Hazm, gubernur Madinah sekitar tahun 100 H. Tetapi menurut para ulama bahwa
penghimpun hadits yang pertama kali adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri.[27]
4.
Hadits
pada tahun 101 – 200 H
Sistem pembukuan hadits di masa ini dengan menghimpun hadits-hadits
mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian bab ini dikumpulkan dengan
bab-bab yang lain yang berisi masalah-masalah lain dengan satu karangan dan
bercampur dengan fatwa sahabar dan tabi’in.[28]
Pada masa ini muncul golongan yang
menolak seluruh isi hadits (Ahad/Mutawatir), ada yang hanya menerima
hadits-hadits yang Mutawatir saja dan ada pula yang menolak hadits yang
ketetapan hukumnya tidak terdapat di dalam Al-Qur’an.[29]
5.
Hadits
pada abad III H
Pada tahap ini ditandai dengan inisiatif para ulama’ untuk
membukukan hadits Rasul secara khusus. Untuk itu mereka menyusun kitab-kitab
musnad untuk menghimpun hadits Rasul berdasarkan nama-nama sahabat, sehingga
hadits-hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar misalnya dikumpulkan dalam satu
tempat dengan judul Musnad Abu Bakar, demikian pula hadits-hadits Umar
dan sebagainya.
Kemudian datanglah al Bukhari yang membukukan hadits-hadits shahih
secara khusus dan disusun berdasakan bab-bab tertentu, agar mudah dicari dan
dipahami. Kita ini diberi nama al-Jami’ ash-Shahih. Berikutnya imam-imam
lainnya menyusun kitabnya masing-masing berdasarkan bab-bab fiqh dengan
hadits-hadits yang mereka pilih secara selektif, meskipun mereka tidak
mensyaratkan semua hadits harus shahih.[30]
6.
Hadits
mulai permulaan abad IV H – 656 H
Para
ulama’ pada masa ini menekuni dan mendalami kitab-kitab yang telah disusun oleh
ulama’ sebelumnya yang notabene sebagai perintis dalam pembukuan hadits dan
ilmu hadits. Kemudian mereka menghimpun keterangan-keterangan yang berserakan
dan melengkapinya dengana berlandaskan keterangan-keterangan ulama’ lain yang
diriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada pembicaranya, sebagaimana yang
dilakukan oleh para ulama’ sebelumnya.
Oleh
karena itu, pada periode ini dijumpai kitab-kitab yang menjadi rujukan para
ulama dalam menyusun kitab-kitab sejenis pada periode selanjutnya.[31]
7.
Hadits
pada Abad VII – XII dan Sekarang
Dalam
masa ini pembukuan ‘ulum al-hadits mencapai tingkat kesempurnaannya dengan
ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadist. Para
penyusun kitab adalah para imam besar yang hafal semua hadits dan mampu
menyamai pengetahuan dan penalaran para imam besar terdahulu terhadap
cabang-cabang hadits keadaan sanad dan matannya.
Kitab
disusun dengan sistematika baru yang sangat efektif dalam menempatkan diri
kebanyakan jenis hadits dan mencakup seluruh cabang ilmu hadits dengan kajian
yang sangat kritis dan komperehensif untuk menyingkap seluruh rahasiannya dan
menjelaskan seluruh cabang ilmu hadits.[32]
Demikian perkembangan penulisan dan pengkodifikasian Hadits sampai
abad 12 H. Mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada
kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang hadits, kecuali hanya
membaca, memahami, Takhrij, dan memberikan syarah Hadits-hadits yang telah
terhimpun sebelumnya.[33]
E.
Penutup
Dari pembahasan di atas, kami menyimpulkan bahwa kebanyakan para
ulama’ menyebutkan bahwasannya Hadits didefinisikan “Segala sesuatu yang
dinisbahkan kepada Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat diri atau
sifat pribadi atau yang dinisbahkan kepada sahabat atau tabi’in”. Banyak
istilah lain dari hadits yakni khabar, Sunnah, dan atsar. Khabar
memiliki arti segala informasi yang berasal dari mana saja, jika informasi itu
berasal dari Nabi maka disebut sebagai hadits atau Sunnah. Jika
informasi itu berasal dari sahabat atau tabi’in maka disebut atsar.
Hadits-hadits Rasul SAW diterima para sahabat berupa perbuatan, perkataan, ketatapan, maupun dari
ihwal beliau.
Perkembangan hadits Nabi SAW dari masa ke masa melalui berbagai
macam tahapan antara lain yaitu pada masa Nabi, masa para sahabat, berakhirnya
masa sahabat, tahun 101 – 200 H, abad ke III H, abad ke IV – VII H, kemudian
abad ke VII – XII H hingga sekarang. Pada masa Nabi penulisan terhadap
hadistbitu dilarang karena dikhawatirkan adanya pencampuran anatar hadits dan
Al-Qur’an. Hadits baru boleh ditulis pada masa sahabat. Kemudian pada masa
khalifah Umar bin Abdul Aziz diadakannya penghimpunan dan penulisan
hadits-hadits dari semua daerah Islam. Lambat laun hadits mulai dihimpun
berdasarkan masalah yang sama dalam satu bab, kemudian bab ini dikumpulkan
dengan bab-bab yang lain sehingga menjadi suatu buku hadits. Sesuai
perkembangan pemikiran para ulama’, maka pembukuan hadits mencapai tingkat
kesempurnaannya dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang
ilmu hadist secara lengkap dan sistematis.
DAFTAR PUSTAKA
AH Sanaky, Hujair. 1999. Hadits pada Masa Nabi. Yogyakarta
Al-Maliki, Muhammad Alwi. 2006. Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
As-Shahih, Subhi. 2000. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta:
Pustaka Firdaus
Hadana, Erha Saufan. Pengumpulan dan Kodifikasi Hadis. Banda
Aceh
ITR, Nuruddin. 1994. Ulum
Al-Hadits. Bandung: Remaja Rosdakarya
Jayus,
Muhammad. Membaca Sejarah Kodifikasi Hadits. Lampung: Al-Dzikra Jurnal
Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits
Sumbulah, Umi, dkk. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadits. Malang:
UIN Maliki Press
Soebahar, Erfan. 2003. Menguak
Fakta Keabsahan Al-Sunnah. Jakarta Timur: Prenada Media
Wahid, Abd. 2015. Dinamika Penulisan Hadits dan Implikasinya
Terhadap Perkembangan Konsep Sunah Masa Modern. Banda Aceh
Zuhdi, Masjfuk. 1985. Pengantar Ilmu Hadits. Surabaya: PT.
Bina Ilmu
Catatan:
1.
Berikan contoh hadis qouli, fi’li, dan taqririnya.
2.
Berikan penjelasan yang rigit mengenai perbedaan sunnah, hadis, atsar, dan
khabar.
[1]Hujair
AH Sanaky, Hadits pada Masa Nabi, Yogyakarta, 1999, hal. 1.
[2] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1985), hal. 13.
[3] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), hal. 3.
[4] Umi Sumbulah dkk, Studi Al-Qur’an dan Hadits, (Malang: UIN
Maliki Press, 2014), hal. 20
[6] Masjfuk Zuhdi, op.cit., hal. 14-15.
[7] Muhammad Alawi Al-Maliki, op.cit., hal. 4.
[8]Hujair
AH Sanaky, op.cit., hal. 9.
[9] Umi Sumbulah dkk, op.cit., hal. 22-27.
[10] Muhammad Alawi Al-Maliki, op.cit., hal. 45.
[11] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), hal. 17.
[12] Masjfuk Zuhdi, op.cit., hal. 16.
[13] Muhammad Alawi Al-Maliki, op.cit., hal. 46-47.
[14] Umi Sumbulah, op.cit., hal. 20.
[15] Subhi As-Shalih, op.cit., hal. 21.
[16] Muhammad Alawi Al-Maliki, op.cit., hal. 46.
[17] Muhammad Alawi Al-Maliki, op.cit., hal. 47.
[18]Hujair
AH Sanaky, loc.cit.
[19] Umi Sumbulah, op.cit., hal. 75.
[20] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, (Jakarta
Timur: Prenada Media, 2003), hal. 157 - 158.
[21]Abd. Wahid, Dinamika Penulisan Hadits dan Implikasinya Terhadap
Perkembangan Konsep Sunah Masa Modern, (Banda
Aceh, 2015), hal. 174-175.
[22] Masjfuk Zuhdi, op.cit., hal. 80.
[23]Erha
Saufan Hadana, Pengumpulan dan Kodifikasi Hadis, (Banda Aceh), hal. 4.
[24] Muhammad Jayus, Membaca Sejarah Kodifikasi Hadits, (Lampung:
Al-Dzikra Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits), hal. 233-234.
[25] Ibid.
[26] Masjfuk Zuhdi, op.cit., hal. 84.
[27] Masjfuk Zuhdi, op.cit., hal. 85.
[28] Masjfuk Zuhdi, op.cit., hal. 86.
[29] Masjfuk Zuhdi, op.cit., hal. 87-88.
[30] Nuruddin ITR, Ulum Al-Hadits, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994), hal. 48.
[33] Muhammad Jayus, op.cit., hal. 245.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar