Kamis, 30 Maret 2017

Hadis dan Historisitasnya (P-IPS D Semester Genap 2016/2017)




HADITS DAN HISTORISITASNYA

Jannatul Firdausi Nuzula, Mohamad Nadlif Masykur, dan Dimas Reza Aditya
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas D Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: jnuzula1@gmail.com

Abstract
This article discusses about Hadith and Historical. Contains the understanding of language and understanding Hadeeth Hadeeth term. Understanding Hadith in language is a new meaning. Hadith also klins's language, means "something that is talked about and quoted", also "something a little and a lot." According to the experts hadith, hadith is what is leaning to the Muhammad SAW, in the form of sayings, deeds, determination, character, or sirah him, either before or afterwards prophetic. Meanwhile, according to experts fiqh, hadith are the words, deeds, and determination of resting the Muhammad SAW after prophethood. As before prophetic not regarded as intended because the hadith is working on what became consequences and it cannot be done except by what happens after prophethood.
Abstrak
Artikel ini membahas mengenai Hadits dan Historisnya. Berisi tentang pengertian hadits secara bahasa dan pengertian hadits secara istilah. Pengertian Hadits secara bahasa artinya baru. Hadits secara bahasa juga berarti “sesuatu yang dibicarakan dan dinukil”, juga “sesuatu yang sedikit dan banyak”. Menurut ahli hadits, hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya. Sedangkan menurut ahli fiqh, hadits adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhamad SAWsetelah kenabian. Adapun sebelum kenabian tidak dianggap sebagai hadits karena hadits adalah mengerjakan apa yang menjadi konsekuwensinya dan hal tersebut tidak dapat dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian.
Keywords: Hadits, Nabi Muhammad SAW, Fiqh

A.    Pendahuluan
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tak dapat diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. Hadits atau disebut juga Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dan didasarkan atas Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Hadits sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur'an. Sejarah perjalanan hadits pun tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat. Hal ini disebabkan karena Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis hadits beliau. Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadits. misalnya berupa surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah pejabat dan kepala negara yang belum memeluk Islam.
Hadits Nabi yang berkembang pada zaman Nabi (sumber aslinya) lebih banyak berlangsung secara hafalan dari pada secara tulisan. Penyebabnya adalah Nabi sendiri melarang para sahabat untuk menulis haditsnya dan karakter orang-orang Arab yang sangat kuat hafalannya serta suka menghafal itu memiliki kekhawatiran akan bercampurnya hadits Nabi Muhammad SAW dengan Al- Qur'an.
Dengan kenyataan ini sangat logis sekali bahwa tidak seluruh hadits Nabi telah terdokumentasi pada zaman Nabi secara keseluruhan. Pada realitas kehidupan masyarakat muslim, perkembangan hadits Nabi secara kuantitatif cukup banyak sekali, walaupun Fazlur Rahman mengatakan "hadits-hadits Nabi memang sedikit jumlahnya". Selain perkembangan hadits yang cukup banyak, juga banyak istilah-istilah yang digunakan. Pada masyarakat umum yang dikenal adalah Hadits dan as-Sunnah, sedangkan pada kelompok tertentu, dikenal istilah Khabar dan Atsar.[1]
Oleh karena itu, kami akan memberikan pemahaman mengenai Hadits/Sunnah menurut para ulama(ahli hadits, ahli ushul fiqh, adan ahli fiqh) beserta historisitasnya secari rinci.
B.     Pengertian Hadits atau Sunnah dan macam-macamnya
1.      Pengertian Hadits/sunnah menurut bahasa
الطريقة المسلوكة
Menurut bahasa, Sunnah berarti jalan yang ditempuh, baik terpuji maupun tidak. [2] Sebagaimana sabda Nabi SAW:
من سنّ فى الإسلام سنّة حسنة فله أجرهاوأجرمن عمل بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ,و من سنّ سنّة سيّئة كان عليه وزره من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء (رواه مسلم)
“Barangsiapa membuat inisiatif yang baik, ia akan mendapatkan pahala dan orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikit pun berkurang dan barangsiapa membuata inisiatif yang jelek, ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikit pun berkurang”. (HR. Muslim)[3]
Secara etimologis (bahasa), hadits berarti jadid (baru), juga bermakna berita. Dengan demikian hadits lebih mengacu kepada perkataan.[4]

2.      Pengertian Hadits menurut istilah
Para ulama berbeda-beda pendapat dalam memberikan pengertian terhadap Hadits dengan objek pembahasan yang berbeda-beda pula, antara lain:
a)      Menurut ulama’ hadits
Para ulama’ hadits mensinonimkan pengertian hadits dengan Sunnah. Bagi mereka, sunnah disefinisikan sebagai berikut:

السنة فى اصطلاح المحدثين: ما أثر عن النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقريرأو صفة  أو خلقية  أو سيرة سواء كان قبل البعثة كتحنثه  فى غارحراء أم بعدها
“Sunnah dalam pengertian para ahli hadits adalah segala rowayat yang berasal dari Rasullah SAW baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat fisik dan tingkah laku beliau, baik sebelum diangkat menjadi rasul (seperti kontemplasi spiritual/tahannuts beliau di gua Hira’) maupun sesudahnya”.

Ulama’ hadits berusaha meliput sebanyak mungkin riwayat yang berkenaan dengan Rasulullah, tidak hanya berkenaan dengan aspek hukum, akan tetapi juga menceritakan keadaan beliau, sifat-sifat dan kebiasaan, bahkan hingga gambaran dan performa fisik beliau sekali pun.

b)      Menurut ulama’ ushul fiqh

السنة فى اصطلاح علماء اصول الفقه: هي كل ما صدر عن النبي صلى الله عليه وسلم غير القرآن الكريم من قول أو فعل أو تقرير مما يصلح أي يكون دليلا ليحكم شرعى
“as Sunnah menurut pengertian para ulama’ Ushul Fiqh adalah segala sesuatu ynag disandarkan kepada Nabi SAW selain Al-Qur’an, berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan beliau, ynag daoat dijadukan sebagai dalil hukum syari’ah”.

Ulama’ ushul fiqh berkonsentrasi pada dalil-dalil hukum, memandang Rasulullah SAW sebagai musyarri’ (pembuat undang-undang). Oleh karena itu istilah Sunnah dibatasi pengertiannya pada perkataan, perbuatan, dan ketetapan beliau sepanjang yang dapat dijadikan dalil syara’. Namun tidak berarti menolak cakupan makna hadits atau Sunnah yang didefinisikan oelh kalangan muhadditsain.

c)      Menurut ulama’ fiqh
السنة فى اصطلاح الفقهاء: هي كل ما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم و لم يكن باب الفرض و لا الواجب
“Para fuqaha mendefinisikan Sunnah sebagai segala perbuatan yang ditetapkan oleh Rasulullah, namun pelaksanannya tidak sampai kepada tingkat wajib”.[5]
Sunnah adalah perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sama wajib atau fardhu. Maksudnya Sunnah ialah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan dan tidak dituntut dosa apabila ditinggalkan.[6]
d)     Menurut ulama’ dakwah
Definisi Sunnah ialah apa yang saja yang bukan bid’ah. Hal ini dikarenakan perhatian mereka tertuju kepada apa saja yang menjadi perintah dan larangan syara’.[7]

Definisi hadits yang paling komprehensif adalah:
ما أضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أوتقريرأو وصف خلقي أو خلقي أو اضيف الى الصحابى أو التابعى
“Segala sesuatu ynag dinisahkan kepada Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan, ketetatapn, sifat diri atau sifta pribadi atau yang dinisbahkan kepada sahabat atau tabi’in”.
3.      Macam-macam hadits
Umat islam pada saat itu secara langsung memperoleh Hadits dari Rasul SAW sebagai sumber hadits, baik itu berupa perkataan, perbuatan dan taqrir. Antara Rasul SAW dan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan mereka. Para sahabat menerima hadits dari Rasul SAW adakalanya langsung dari beliau sendiri, mereka langsung mendengar atau melihat contoh perilaku yang dilakukan Nabi SAW, baik karena ada sesuatu soal yang diajukan oleh seseorang kepada Nabi lalu Nabi menjawabnya, atau karena Nabi sendiri yang memulai pembicaraan tentang suatu persoalan.[8]
a.       Qauli
Yakni perkataan Nabi, hadits memiliki makna dari Nabi SAW sendiri yang diadapatkan dari hasil ijtihad beliau denagn piranti kecerdasan yang diberikan Allah SWT kepada Nabi.
b.      Fi’li
Fi’li di sini memilik makna yakni perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah pada masa hidupnya. Para ushul fiqh membagi perbuatan Rasulullah menjadi 3 macam:
1)      Perbuatan yang dilakukan oleh Muhammad SAW berdasarkan tabiat seperti duduk, berdiri, dan berjalan.
2)      Perbuatan yang dilakukan atas dasra adat tradisi, seperti cara keadaan makan, minum, dan tidur. Beliau sebagai manusia atau perbuatan yang dilakukannya atas dasar adat kebiasaan (tradisi), maka tidak ada keharusan bagi umat Islam untuk mengikutinya.
3)      Perbuatan yang dilakukan Muhammad SAW, namun dengan maksud yang tidak jelas, apakah perbuatan tersebut dimaksudkan untuk mendekatkan diri dan bernilai ibadah atau perbuatan itu semata-mata lahir karena faktor tradisi dan adat kebiasaan.
c.       Taqriri
Taqrir yang oleh Al-Qadir disebut dengan istilah iqrar berarti diamnya Rasulullah dari membantah sesuatu perkataan atau perbuatan yang disampaikan atau dilakukan di hadapan beliau atau perbuatan yang terjadi di hadapan atau ketika beliau mengetahuinya. Oleh karena itu hukum mengikuti diamnya Rasulullah tatkala mendapat laporan tentang suatu perbuatan tersebut, sama dengan mengikuti perbuatan Rasulullah.[9]

C.    Perbedaan Hadits, Sunnah, Atsar, dan Khabar
1.      Hadits dan Sunnah
Sunnah menurut etimologi berarti jalan, sedangkan menurut terminologi ialah apa-apa yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, atau taqrir. Sunnah dalam arti terminologi ini identik pengertian hadits. [10] Apabila hadits sifatnya umum, meliputi sabda dan perbuatan Nabi, maka Sunnah khusus berhubungan dengan perbuatan-perbuatan beliau.[11]
Dalam hal ini ada beberapa pendapat yang menyatakan perbedaan antara hadits dengan sunnah, diantaranya adalah:
a.       Menurut Dr. Yusuf Musa, seorang guru besar Cairo University
فِقْهُ الْكِتَا بِ وَالسّنَّةِ
السُّنَّةُ مَا صَدَرَ عَنِ الرَّسُوْلِ مِنْ قَوْلٍ أَوْفِعْلٍ أَوْتَقْرِيْرٍ.وَالْحَدِيْثُ مَاصَدَرَعَنِ قَوْلِ الرَّسُوْلِ فَقَطْ
"Sunnah ialah apa yang keluar dari Rasul, baik berupa perkataan, atau perbuatan maupun taqrirnya. sedangakan hadits ialah apa saja yang keluar dari Rasul, berupa perbuatan saja".
b.      Ibnul Al-Kamal berkata:
َلسُّنَّةُ مَانُقِلَ عَنِ النَّبِىِّ ص.م. فِعْلاً كَانَ أَوْ قَوْلآً, وَالْحَدِيْثُ يَخْتَصُّ بِالْقَوْلِ فَقَطْ
“Sunnah ialah yang dinukil dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perbuatan maupun sabdanya, sedangkan hadits telah khusus sabdany saja”.

c.       Menurut Dr. Taufiq dalam kitabnya:
دِيْنُ اللهِ فِى كُتُبِ أَنْبِيَائِهِ
Sunnah adalah suatu jalan yang dilakukan oleh Nabi SAW secara kontinyunya dan diikuti oleh para sahabatnya, sedangkan hadits adalah ucapan-ucapan.[12]

2.      Atsar
Atsar menurut etimologi sisa-sisa perkampungan atau yang sejenisnya. Sedangkan menurut terminologi ada dua pendapat, yaitu:
a.       Pengertian atsar identik dengan pengertian hadits, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Nawawi bahwasannya para ahli hadits menyebut hadits marfu’ dan hadits mauquf dengan atsar.
b.      Atsar ialah sesuatu yang datang dari sahabat (baik perkataan maupun perbuatan). Dalam hal ini atsar berarti hadits mauquf. Dan barangkali ditinjau dari segi bahasa yang berarti bekas atau peninggalan sesuatu, karena perkataan dan perbuatan merupakan sisa-sisa atau peninggaln-peninggalan dari Nabi SAW. Oleh karena yang berasal dari Nabi SAW disebut khabar, maka pantaslah kalau yang berasal dari sahabat disebut atsar.[13]

3.      Khabar
Khabar menurut etimologi berarti apa yang diriwayatkan atau diberitakan. Khabar mencakup semua berita atau riwayat. Dengan kata lain khabar bisa berarti informasi tentang sesuatu yang dibawa atau berasal dari semua orang. [14]Menurut terminologi, mengenai arti khabar terdapat tiga pendapat, yaitu:
a.       Pengertian khabar identik dengan hadits. Di samping ada konotasi yang sama antara kedua lafadz tersebut, bahwasannya perawi tidak cukup hanya mengutip hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW (marfu’), melainkan juga menaruh perhatian kepada apa yang bersumber dari para sahabat (mauquf), atau bahkan hanya berhenti pada tabi’in saja (maqtu’). Jadi, di samping meriwayatkan dari Nabi SAW, mereka juga meriwayatkan daris elain beliau. Riwayat adalah pemberitaan dari sana sini. Karena itu, tidak ada salahnya menamakan hadits sebagai khabar dan menyebut khabar sebagai hadits.[15]
b.      Khabar adalah apa-apa atau sesuatu yang datang selain dari Nabi, sedang hadits adalah sebaliknya. Sehingga, terkenal dengan sebutan Muhaddits bagi orang-orang ynag menggeluti bidang ilmu hadits dan disebut Ikhbari bagi orang-orang yang menggeluti bidang ilmu sejarah dan yang sejenisnya.
c.       Pengertian hadits lebih khusus daripada khabar, sehingga setiap hadits pasti khabar, nmaun tidak semua khabar pasti hadits.[16]
Dengan demikian, bahwa kata Sunnah, hadits, khabar, dan atsar adalah sinonim, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat, tabi’in, yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat-sifat.[17]
D.    Sejarah singkat hadits Nabi dari masa ke masa
1.      Hadits pada masa Nabi
Para sahabat menyakini bahwa seluruh perbuatan Nabi, demikian juga ucapan dan tutur kata Nabi menjadi tumpuan perhatian para sahabat. Segala gerak-gerik Nabi menjadi contoh dan sangat memerlukan untuk mengetahui segala apa yang disabdakan Nabi.
Ada beberapa cara teknik atau cara Nabi SAW dalam menyampaikan hadits kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi sahabatnya. Untuk itu teknik atau cara yang digunakan Nabi SAW dalam menyampaikan hadits sebagai berikut:
a.       Melalui para jamaah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al-‘ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
b.      Dalam banyak kesempatan Rasul SAW juga menyampaikan hadits melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan suatu hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti hadits-hadits yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin al’Ash. Untuk hal-hal yang sensitive seperti berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami isteri), ia sampaikan melalui isteri-isterinya. Begitu juga sifat para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal diatas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW, seringkali ditanyakan melalui isteri-isterinya.
c.       Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan fathu Makkah.
d.      Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya (jalan musya’hadah), seperti yang berkaitan dengan praktek-praktek ibadah dan muamalah.
e.       Para sahabat yang mengemukakakan masalah atau bertanya dan berdialog langsung kepada Nabi SAW.[18]
Konteks munculnya hadits Rasulullah itu dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu karena kepentingan menafsirkan ayat Al-Qur’an yang sifatnya masih umum. Memperkuat dan menetapkan hukum-hukum yang telah ada di dalam Al-Qur’an serta adanya suatu persoalan atau peristiwa ynag terjadi yang mengharuskan untuk dijawab sementara belum ditemukan jawabannya dalam nash Al-Qur’an.[19]
Di samping itu pula pembukukan terhadap hadits sangat penting. Namun, hanya Al-Qur’an yang dibukukan sementara hadits belum dibukukan sejak masa Nabi SAW sampai pertengahan abad 2 Hijriyah.[20] Sebagaimana sabda Nabi SAW yang melarang dalam penulisan hadits:
لاتكتبوا عنّى شيئا غير القرآن, فمن كتب عنّى شيئا غير القرآن فليمحه
“Janganlah menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis apa-apa dari saya selain Al-Qur’an (yakni:hadits) hendaklah menghapuskannya”. (HR. Muslim dari Abu Sais Al-Khudri)
Larangan penulisan hadits ini diperbolehkan bagi orang-orang yang lemah hafalan, sehingga hadits tetap ia peroleh dan dapat dibaca ketika diperlukan. Larangan penulisan hadits berlaku bagi mereka yang sudah masuk ke dalam kelompok penulis Al-Quran, sehingga menghasilkan keotentikan dan kevalidan yang diharapkan.[21]
Larangan penulisan ini ada hikmahnya, yakni:
1)      Pada waktu itu para sahabat masih banyak yang “ummi”, sedangkan pada waktu itu juga wahtu Ilahi (Al-Qur’an) masih turun, jadi Nabi SAW khawatir kalau mereka tidak dapat membedakan Qur’an dan Hadits, sehingga nantinya akan timbul pencampuran antara keduanya.
2)      Nabi SAW percaya kepada para sahabat dan kemampua mereka untuk memelihara semua ajarannya tanpa catatan. Secara tidak langsung Nabi SAW mendidik mereka untuk percaya diri pada kemampuan.[22]
Telah diketahui pula, bahwasanya para sahabat dan tabi’in membendaharakan hadits Rasulullah SAW didalam hafalan mereka yang kuat. Mereka tidak memerlukan tulisan-tulisan hadits. Jika ada para sahabat yang menulis hadits, maka hal tersebut mereka lakukan bukanlah karena lemahnya hafalan mereka, melainkan untuk menambah kokohnya ingatan dan hafalan mereka.[23]

2.      Hadits pada Masa Sahabat (tahun 10 – 40 H)
Sahabat adalah orang yang bertemu dan hidup bersama Rasul minimal setahun lamanya (Ahli Usul). Jumhur Muhadditsin – sahabat orang yang bertemu dengan Rasul dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasul masih hidup, dalam keadaan islam lagi iman, Al-Jahidh ulama beraliran Mu’tazilah – sahabat orang yang pernah bergaul dengan Nabi dan meriwayatkan hadits dari padanya, Ulama Ushul – sahabat orang yang berjumpa dengan Rasul, lama pula bersahabat dengan beliau, walaupun tidak meriwayatkan hadits, Loght dan ‘Uruf – sahabat mereka yang sungguh-sungguh menyertai nabi, seduduk, sejalan dengan Nabi dalam sebagian waktu.
Pada masa Abu Bakar dan Umar disebut masa pembatasan/penyederhanaan periwayatan (taqlil al-riwayah), penyampaian periwayatan dilakukan dengan lisan dan hanya benar-benar diperlukan saja yaitu jika umat Islam menghadapi suatu masalah saja yang memerlukan penjelasan hokum. Kedua Khalifah diatas menerima hadits orang perorangan jika disertai dengan saksi yang menguatkan. Bahkan Ali menerimanya jika juga disertai dengan sumpah.
Demikian juga para sahabat lain yang semula melarang menulis sunah akhirnya memperbolehkannya bahkan menganjurkannya setelah tidak ada kekhawatiran pemeliharaan Al-Quran seperti Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Muawiyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, dan lain-lain.[24]
Hukum penetapan penulisan hadits terjadi secara berangsur-angsur (Al-Tadarruj). Pada saat wahyu turun, umat Islam menghabiskan waktunya untuk menghapal dan menulis Al-Quran. Sunah hanya disimpan dalam dada mereka, disampaikan dari lisan ke lisan dan dipraktekkan dalam kehidupan mereka sesuai dengan apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar daripanutan yang mulia yaitu Nabi SAW. Kemudian setelah Al-Quran dipelihara dengan baik, mereka telah mampu membedakannya dengan catatan sunah, dan tidak ada kekhawatiran meninggalkan Al-Quran, para ulama sepakat bolehnya penulisan dan pengkodifikasian sunnah.[25]
3.      Hadits mulai berakhirnya masa Para Sahabat (tahun 41 – 100 H)
Pada masa ini timbul perpecahan di kalangan umat Islam karena soal khalifah/pemerintahan/politik, sehingga terjadi perang antar saudara Ali dan Muawiyah yang memebawa korban bnayak di kalangan umat Islam. Demi menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam, Khalifah Ali menerima permintaan damai dan musyawarah dari pihak Mu’awiyah ini. Tetapi pada waktu itu, umat Islam telah terpecah belah menjadi 3 golongan, yaitu:
1.      Khawarij, ialah golonan pemberontakan yang tidak dapat menyetujui perdamaian dan permusyawaratan dalam soal khilafah atau yang dikenal dengan tahkim.
2.      Syi’ah, ialah golongan yang sangat fanatik pada Ali.
3.      Jumhur, ialah umat Islam yang tidak termasuk satu dan dua, dan mereka ini terbagi tiga:
a.       Golongan yang mendukung pemerintahan Ali
b.      Golongan yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah
c.       Golongan netral (independen) yang tidka mau melibatkan dirinya dalam kancah pertentangan dan peperangan.
Untuk tujuan politiknya, ketiga gologan tersebut tidak segan-segan membuat hadits-hadits palsu (Hadits Maudlu’). Seperti hadits yang dibuat oleh golongan Khawarij, yaitu:
اذااتاكم الحديث عنى فأعرضوه على كتاب الله
“Jika kamu menerima hadits dari saya, cocokkanlah dengan Al-Qur’an”.
Ulama’ dari kalangan para sahabat dan tabi’in tekun berusaha menjaga kemurnian ajaran-ajaran Nabi dengan perjalan ke pelbagai daerah untuk mengecek kebenaran hadits-hadits yang telah kepadanya, baik dari sanad hadits (pribadi perawi-perawinya) maupun tentang matannya (materi haditsnya). Kemudian mereka menerangkan kepada umat Islam tentang nilai hadits dan pribadi para perawinya agar dapat membedakan mana hadits yang shahih dan tidak, perawi yang dapat dipercaya (diterima) dan tidak.[26]
Pada masa ini, khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada gubernur dari semua daerah Islam supaya menghimpun dan menulis Hadits-hadits Nabi. Menurut Dr. Ahmad Amin, orang yang menghimpun hadits pertama kali atas perintah khalifah ialah Abu Bakar bin Hazm, gubernur Madinah sekitar tahun 100 H. Tetapi menurut para ulama bahwa penghimpun hadits yang pertama kali adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri.[27]
4.      Hadits pada tahun 101 – 200 H
Sistem pembukuan hadits di masa ini dengan menghimpun hadits-hadits mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian bab ini dikumpulkan dengan bab-bab yang lain yang berisi masalah-masalah lain dengan satu karangan dan bercampur dengan fatwa sahabar dan tabi’in.[28]
Pada masa ini muncul golongan yang menolak seluruh isi hadits (Ahad/Mutawatir), ada yang hanya menerima hadits-hadits yang Mutawatir saja dan ada pula yang menolak hadits yang ketetapan hukumnya tidak terdapat di dalam Al-Qur’an.[29]
5.      Hadits pada abad III H
Pada tahap ini ditandai dengan inisiatif para ulama’ untuk membukukan hadits Rasul secara khusus. Untuk itu mereka menyusun kitab-kitab musnad untuk menghimpun hadits Rasul berdasarkan nama-nama sahabat, sehingga hadits-hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar misalnya dikumpulkan dalam satu tempat dengan judul Musnad Abu Bakar, demikian pula hadits-hadits Umar dan sebagainya.
Kemudian datanglah al Bukhari yang membukukan hadits-hadits shahih secara khusus dan disusun berdasakan bab-bab tertentu, agar mudah dicari dan dipahami. Kita ini diberi nama al-Jami’ ash-Shahih. Berikutnya imam-imam lainnya menyusun kitabnya masing-masing berdasarkan bab-bab fiqh dengan hadits-hadits yang mereka pilih secara selektif, meskipun mereka tidak mensyaratkan semua hadits harus shahih.[30]
6.      Hadits mulai permulaan abad IV H – 656 H
Para ulama’ pada masa ini menekuni dan mendalami kitab-kitab yang telah disusun oleh ulama’ sebelumnya yang notabene sebagai perintis dalam pembukuan hadits dan ilmu hadits. Kemudian mereka menghimpun keterangan-keterangan yang berserakan dan melengkapinya dengana berlandaskan keterangan-keterangan ulama’ lain yang diriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada pembicaranya, sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama’ sebelumnya.
Oleh karena itu, pada periode ini dijumpai kitab-kitab yang menjadi rujukan para ulama dalam menyusun kitab-kitab sejenis pada periode selanjutnya.[31]
7.      Hadits pada Abad VII – XII dan Sekarang
Dalam masa ini pembukuan ‘ulum al-hadits mencapai tingkat kesempurnaannya dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadist. Para penyusun kitab adalah para imam besar yang hafal semua hadits dan mampu menyamai pengetahuan dan penalaran para imam besar terdahulu terhadap cabang-cabang hadits keadaan sanad dan matannya. 
Kitab disusun dengan sistematika baru yang sangat efektif dalam menempatkan diri kebanyakan jenis hadits dan mencakup seluruh cabang ilmu hadits dengan kajian yang sangat kritis dan komperehensif untuk menyingkap seluruh rahasiannya dan menjelaskan seluruh cabang ilmu hadits.[32]
Demikian perkembangan penulisan dan pengkodifikasian Hadits sampai abad 12 H. Mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang hadits, kecuali hanya membaca, memahami, Takhrij, dan memberikan syarah Hadits-hadits yang telah terhimpun sebelumnya.[33]

E.     Penutup
Dari pembahasan di atas, kami menyimpulkan bahwa kebanyakan para ulama’ menyebutkan bahwasannya Hadits didefinisikan “Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat diri atau sifat pribadi atau yang dinisbahkan kepada sahabat atau tabi’in”. Banyak istilah lain dari hadits yakni khabar, Sunnah, dan atsar. Khabar memiliki arti segala informasi yang berasal dari mana saja, jika informasi itu berasal dari Nabi maka disebut sebagai hadits atau Sunnah. Jika informasi itu berasal dari sahabat atau tabi’in maka disebut atsar. Hadits-hadits Rasul SAW diterima para sahabat berupa  perbuatan, perkataan, ketatapan, maupun dari ihwal beliau.
Perkembangan hadits Nabi SAW dari masa ke masa melalui berbagai macam tahapan antara lain yaitu pada masa Nabi, masa para sahabat, berakhirnya masa sahabat, tahun 101 – 200 H, abad ke III H, abad ke IV – VII H, kemudian abad ke VII – XII H hingga sekarang. Pada masa Nabi penulisan terhadap hadistbitu dilarang karena dikhawatirkan adanya pencampuran anatar hadits dan Al-Qur’an. Hadits baru boleh ditulis pada masa sahabat. Kemudian pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz diadakannya penghimpunan dan penulisan hadits-hadits dari semua daerah Islam. Lambat laun hadits mulai dihimpun berdasarkan masalah yang sama dalam satu bab, kemudian bab ini dikumpulkan dengan bab-bab yang lain sehingga menjadi suatu buku hadits. Sesuai perkembangan pemikiran para ulama’, maka pembukuan hadits mencapai tingkat kesempurnaannya dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadist secara lengkap dan sistematis.




DAFTAR PUSTAKA
AH Sanaky, Hujair. 1999. Hadits pada Masa Nabi. Yogyakarta
Al-Maliki, Muhammad Alwi. 2006. Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
As-Shahih, Subhi. 2000. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus
Hadana, Erha Saufan. Pengumpulan dan Kodifikasi Hadis. Banda Aceh
ITR, Nuruddin. 1994. Ulum Al-Hadits. Bandung: Remaja Rosdakarya
Jayus, Muhammad. Membaca Sejarah Kodifikasi Hadits. Lampung: Al-Dzikra Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits

Sumbulah, Umi, dkk. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadits. Malang: UIN Maliki Press
Soebahar, Erfan. 2003. Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah. Jakarta Timur: Prenada Media
Wahid, Abd. 2015. Dinamika Penulisan Hadits dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Konsep Sunah Masa Modern. Banda Aceh
Zuhdi, Masjfuk. 1985. Pengantar Ilmu Hadits. Surabaya: PT. Bina Ilmu


Catatan:
1.       Berikan contoh hadis qouli, fi’li, dan taqririnya.
2.       Berikan penjelasan yang rigit mengenai perbedaan sunnah, hadis, atsar, dan khabar.


[1]Hujair AH Sanaky, Hadits pada Masa Nabi, Yogyakarta, 1999, hal. 1.
[2] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985), hal. 13.
[3] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 3.
[4] Umi Sumbulah dkk, Studi Al-Qur’an dan Hadits, (Malang: UIN Maliki Press, 2014), hal. 20
[5]Ibid., hal. 15-18.
[6] Masjfuk Zuhdi, op.cit., hal. 14-15.
[7] Muhammad Alawi Al-Maliki, op.cit., hal. 4.
[8]Hujair AH Sanaky, op.cit., hal. 9.
[9] Umi Sumbulah dkk, op.cit., hal. 22-27.
[10] Muhammad Alawi Al-Maliki, op.cit., hal. 45.
[11] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hal. 17.
[12] Masjfuk Zuhdi, op.cit., hal. 16.
[13] Muhammad Alawi Al-Maliki, op.cit., hal. 46-47.
[14] Umi Sumbulah, op.cit., hal. 20.
[15] Subhi As-Shalih, op.cit., hal. 21.
[16] Muhammad Alawi Al-Maliki, op.cit., hal. 46.
[17] Muhammad Alawi Al-Maliki, op.cit., hal. 47.
[18]Hujair AH Sanaky, loc.cit.
[19] Umi Sumbulah, op.cit., hal. 75.
[20] Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hal. 157 - 158.
[21]Abd. Wahid, Dinamika Penulisan Hadits dan Implikasinya Terhadap Perkembangan Konsep Sunah Masa Modern,   (Banda Aceh, 2015), hal. 174-175.
[22] Masjfuk Zuhdi, op.cit., hal. 80.
[23]Erha Saufan Hadana, Pengumpulan dan Kodifikasi Hadis, (Banda Aceh), hal. 4.
[24] Muhammad Jayus, Membaca Sejarah Kodifikasi Hadits, (Lampung: Al-Dzikra Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits), hal. 233-234.
[25] Ibid.
[26] Masjfuk Zuhdi, op.cit., hal. 84.
[27] Masjfuk Zuhdi, op.cit., hal. 85.
[28] Masjfuk Zuhdi, op.cit., hal. 86.
[29] Masjfuk Zuhdi, op.cit., hal. 87-88.
[30] Nuruddin ITR, Ulum Al-Hadits, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 48.
[31]Ibid., hal. 50.
[32]Ibid., hal. 56.
[33] Muhammad Jayus, op.cit., hal. 245.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar