Rabu, 23 November 2016

Takhrij al-Hadits (PAI B Semester III)




TAKHRIJ AL-HADITS
Siti Aliyy Fatimah dan Lailatul Hamidah
PAI-B Semester III
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam

Abstrack Hadith the prophet Muhammad SAW is the source both tenets Islam after the Qur’an . Occupy the position of both central to the teachings of Islam and is a source of tashri ‘ that cannot be separated between which one with another .To know whether the acts of the hadith can become hujjah or not, ancients necessary research, namely by using the method takhrij hadith good it conventionally or by using a computer. Takhrij according to expert hadith term is to provide information about the place hadith on the original source with the explanation and sanad when necessary. Al-manawi give a definition that is almost equal to definition of above, namely: invoke hadith on the perawi that being narrated hadiths reported in the scriptures they include law and its quality. There are five method in takhrij hadith involve : the method takhrij with the word (bi al-lafzhi), with the theme takhrij (bi al-mawdhu’), takhrij with the beginning mattan (bi power al-matan), takhrij through perawi the top, and takhrij to the nature of (bi as-shifah).
Keywords : Hadits, Takhrij, Method.

A.   Pendahuluan
Hadist atau sunnah Nabi Muhammad SAW adalah sumber kedua ajaran Isam sesudah al-Quran. Keduanya menempati posisi sentral dalam ajaranislam dan merupakan sumber tashri’yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain.[1] Berhubung hadist Nabi SAW menempati posisi yang penting dalam syari’at Islam, maka tidak mengherankan jika umat Islam sangat memperhatikan otentitas kedua sumber ini sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Perhatian umat Islam semakin meningkat ketika di tengah-tengah masyarakat bermunculan hadits-haditspalsu (maudlu), baik yang dibuat untuk kepentingan politik, mencintai amalan kebaikan tetapi tidak tahu agama, menjilat penguasa, keperluan dongeng, membela madhab dan alirannya, maupun untuk mengacaukan ajaran-ajaaran Islam oleh musuh-musuh Islam sesudah mereka gagal menghacurkan Islam lewat peperangan dan adu argumentasi.
Dalam rangka untuk menjaga otentitas hadist, para sahabat sudah terbiasa meriwayatkan hadits semenjak Nabi Muhammad SAW hidup. Sejak Nabi SAW hidup, pemeliharaan terhadap hadist Nabi Muhammad SAWdalam bentuk pencatatan pada umunya bersifat pribadi. Adapun pencatatan hadits Nabi SAW secara resmi, menurut perkiraan al-Khatib dimulai pada masa Abdul Aziz ibn Marwan bin Hakam (w. 85H), atau menurut mayoritas ulama’ hadist dimulai pada akhir abad hijriah.
Dalam jarak waktu antar kewafatan Nabi Muhammad SAW dan penulisan kitab-kitab hadits tersebut, terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadits menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi SAW. Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat hadits tersebut dapat dijadikah hujjah atau tidak, terelebih dahulu diperlukan penelitian, yaitu dengan menggunakan metode takhrij hadits baik itu secara konvensional maupun dengan menggunakan komputer.
B. Pembahasan
1. Definisi Takhrij
Secara etimologi kata “Takhrij” berasal dari akar kata :   خَرَجَ-يَخْرُجُ-خُرُوْجاًmendapat tambahan tasydid/syiddah pada ra (‘ain fi’il) menjadiخَرَّجَ-يُخَرِّخُ-تَخْرِجاً yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan, dan menumbuhkan.[2] Maksudnya menampakkan sesuatu yang tidak atau sesuatu yang masih tersembunyi, tidak kelihatan dan masih samar. Penampakan dan pengeluaran di sini tidak harus berbentuk fisik ysng konkret, tetapi mencakup nonfisik yang hanya memerlukan tenaga dan pikiran seperti makna istikhraj yang diartikan istinbath yang berarti mengeluarkan hukum dari nash atau teks Al-Qur’an dan hadits.
            Takhrij menurut istilah ahli hadits adalah memberikan informasi tentang tempat hadis pada sumber aslinya dengan penjelasan sanad dan derajatnya ketika diperlukan. Al-Manawi memberikan definisi yang hampir sama dengan definisi di atas, yaitu: menisbatkan (menyandarkan) hadis pada para perawi yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut dalam kitab-kitab mereka menyantumkan hukum dan kualitasnya.[3]
Para Muhaditsin mengartikan takhrij hadis sebagai berikut :
1.      Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh.
2.      Ulama mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab lain yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri, atau para gurunya, siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3.      ‘Mengeluarkan’ yaitu mengeluarkan hadis dari dalam kitab dan meriwayatkannya. Al-Sakhawy mengatakan dalam kitab Fathul Mughits sebagai berikut, “Takhrij adalah seorang muhadits mengeluarkan hadis-hadis dari dalam ajza’, al-masikhat, atau kitab-kitab lainnya. Kemudian, hadis tersebut disusun gurunya atau teman-temannya dan sebagainya, dan dibicarakan kemudian disandarkan kepada pengarang atau penyusun kitab itu.”
4.      Dalalah , yaitu menunjukkan pada sumber hadis asli dan menyandarkan hadis tersebut pada kitab sumber asli dengan menyebutkan perawi penyusunnya.
5.      Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni kitab yang di dalamnya di kemukakan secara lengkap dengan sanadnya masing-masing , lalu untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas sanad hadis tersebut.

Dari uraian definisi di atas, takhrij dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para rawinya yang ada dalam sanad hadis itu.
2.      Mengemukakan asal-usul hadis sambil dijelaskan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis,  yang rangkaian sanadnya berdasarkan riwayat yang telah diterimanya sendiri atau berdasarkan rangkaian sanad gurunya, dan yang lainnya.
3.      Mengemukakan hadis-hadis berdasarkan sumber pengambilannya dari kitab-kitab yang di dalamnya dijelaskan metode periwayatannya dan sanad hadis-hadis tersebut, dengan metode dan kualitas para rawi sekaligus hadisnya. Dengan demikian, pen-takhrij-an hadis penelusuran atau pencarian hadis dalam berbagai kitab hadis (sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan) , baik menyangkut materi atau isi (matan), maupun jalur periwayatan (sanad) hadis yang dikemukakan.[4]

b. Tujuan Takhrij
Dalam melakukan takhrij tentunya ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pokok dari takhrij yang ingin dicapai seorang peneliti adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui eksistensi suatu hadis apakah benar sutu hadis yang ingin diteliti terdapat dalam buku-buku hadis atau tidak.
2.      Mengetahui sumber otentik suatu hadis dari buku hadis apa saja yang didapatkan.
3.      Mengetahui ada berapa tempat hadis tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam sebuah buku hadis atau dalam beberapa buku induk hadis.
4.      Mengetahui kualitas hadis (maqbul/diterima atau mardud/tertolak).

c.  Faedah dan Manfaat Takhrij
Faedah dan manfaat takhrij cukup banyak, diantaranya yang dipetik oleh yang melakukannya adalah sebagai berikut.
1.      Mengetahui referensi beberapa buku hadis. Dengan takhrij, seseorang dapat mengetahui siapa perawi suatu hadis yang diteliti dan di dalam kitab hadis apa saja hadis tersebut didapatkan.
2.      Menghimpun sejumlah sanad  hadis. Dengan takhrij, seseorang dapat menemukan sebuah hadis yang akan diteliti di sebuah atau beberapa buku induk hadis. Misalnya terkadang di beberapa tempat di dalam kitab Al-Bukhari saja, atau di dalam kitab-kitab lain. Dengan demikian, ia akan menghimpun sejumlah sanad.
3.      Mengetahui keadaan sanad yang bersambung (muttashil) dan yang terputus (munqathi’), dan mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat hadis serta kejujuran dalam periwayatan.
4.      Mengetahui status suatu hadis. Terkadang ditemukan sanad suatu hadis dha’if, tetapi melalui sanad  lain hukumnya shahih.   
5.      Meningkatkan suatu hadis yang dha’if  menjadi hasan li ghayrihi karena adanya dukungan sanad  lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya. Atau meningkatnya hadis hasan menjadi shahih li ghayrihi dengan ditemukannya sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya.
6.      Mengetahui bagaimana para imam hadis menilai suatu kualitas hadis dan bagaimana kritikan yang disampaikan.
7.      Seseorang yang melakukan takhrij dapat menghimpun beberapa sanad dan matan suatu hadis.

d. Metode Takhrij
1. Takhrij dengan Kata (Bi Al-Lafzhi)
Takhrij dengan menggunakan metode ini disyaratkan harus tahu awal kata dari hadits yang akan dicari. Jika awal katanya tidak diketahui maka proses pencarian hadits dengan metode ini tidak bisa dilakukan.
Jika awal kata sudah diketahui, maka langkah selanjutnya adalah melihat huruf pertama dari kata tersebut, demikian pula dengan huruf ke dua dan ke tiganya.[5]
Kamus yang digunakan untuk mencari hadits adalah Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfazh Al-Hadist An-Nabawi. Kamus ini terdiri dari 8 jilid, lafal-lafal hadits yang dimuat dalam kitab Al-Mu’jam ini berefrensi pada kitab induk hadist sebanyak 9 kitab sebagai berikut:
a.       Shahih Al-Bukhari dengan diberi lambang            :خ
b.      Shahih Muslim dengan lambang     ­            :م
c.       Sunan Abu Dawud dengan lambang                       :د
d.      Sunan At-Tirmidzi dengan lambang                       :ت
e.       Sunan An-Nasa’i dengan lambang              :ن
f.        Sunan Ibu Majah dengan lambang              :جه
g.       Sunan Ad-Darimi dengan lambang             :دي
h.      Muwaththa’ Malik dengan lambang                        : ط       
i.         Musnad Ahmad dengan lambang                : حم

Contoh hadist yang ingin di-takhrij adalah:
لَا تَدْخُلُوْنَالْجَنَّةَ حَتَى تُؤْمِنُوْا وَلَا تُؤْمِنُوْا حَتَى تَحَا بُّوْا
Pada penggalan teks diatas dapat ditelusuri melalui kata-kata yang digaris bawahi. Andaikata dari kata  تحا بواdapat dilihat bab  ح dalam kitab Al-Mu’jam karena kata itu  berasal dari kata حبب . Setelah ditelusuri, kata tersebut dapat ditemukan di Al-Mu’jam juz 1 hlm. 408 dengan bunyi:
م ايما ن 93, د ادب 131,ت صفة القيمة 54, استئذان 1, جه مقدمة 9, اذب 11, حم 1, 165 .
Maksud ungkapan diatas adalah:
a.       م ايما ن 93 = Shahih Muslim kitab iman nomor urut hadist 93.
b.      د ادب 131 = Sunan Abu Dawud kitab Al-Adab nomor urut bab 131.
c.       استـئذان 1, 54ت صفة القيمة = Sunan At-Tarmidzi kitab sifah al-qiyamah nomor urut bab 54 dan kitab isti’dzan nomor urut bab I.
d.      جه مقدمة 9, اذب 11 = SunanIbnuMajahkitabMukadimahnomorurutbab 9 dankitab Al-adabnomorurutbab 11.
e.       حم 1, 165 = Musnad Imam Ahmad bin Hanbal juz I hlm. 165.

Pengertian nomor-nomordalam Al-Mu’jamsecararingkasdapat di keemukakansebagaiberikut:
a.       Semuaangkasesudahnama-namakitabataubabpadashahih Al-Bukhari, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tarmidzi, Sunan An-Nasa’i, SunanIbnuMajah, danSunan Ad-Darimimenunjukkanangkabab, bukanangkahadits.
b.      Semuaangkasesudahnama-namakitabataubabpadaShahih Muslim danMuwaththa’ malikmenunjukkanangkauruthadist, bukanangkabab.
c.       DuaangkayangaadapadakitabMusnad Ahmad, angka yang lebihbesarmenunjukkanangkajuzkitabdanangkasesudahnya, atauangka yang biasameenunjukkanhalaman. HadistMusnad Ahmad yang berada di dalamkotakbukan yang dipinggirataudiluarkotak.
Kelebihandarimetodeiniadalahhadistdapatdicarimelaui kata manasaja yang diingatpeneliti, tidakharusdihafalseluruhnyadandalamwakturelatifsingkatseseorangpenelitiakanmenemukanhadis yang dicaridalambeberapakitabhadist. Sedangkankesulitannyaadalahseseorangpenilitiharusmenguasaiilmusharaftentangasal-usulsuatu kata.
2.  Takhrij dengan Tema (Bi Al-Mawdhu’)
   Arti takhrij kedua ini adalah penelusuran hadist yang didasarkan pada topik (mawdhu’), misalnya bab Al-Khadim, Al-Ghusl, Adh-Dhahiyah, dan lain-lain. Seorang peniliti hendaknya sudah mengetahui topik suatu hadist kemudian ditelusuri melalui kamus hadis tematik. Salah satu kamus hadist tematik adalah Miftah min Kunuz As-Sunnah oleh Dr. Fuad Abdul Baqi. Dalam kamus hadist ini dikemukakan berbagai topik, baik yang berkenaan dengan petunjuk-petunjuk Rasulullah maupun berkaitan dengan nama. Untuk setiap topik biasanya disertakan suptopik dan untuk setiap subtopik dikemukakan data hadits dan kitab yang menjelaskannya.
Kitab-kitab yang menjadi refrensi Kamus Miftah tersebut sebanyak 14 kitab, lebih banyak daripada Takhrij bi Al-Lafzhi di atas, yaitu 8 kitab sebagaimana di atas ditambah 6 kitab lain. Masing-masing diberi singkatanyang spesifik, yaitu sebagai berikut:
j.         Shahih Al-Bukhari dengan diberi lambang            : بخ
k.       Shahih Muslim dengan lamabang               :مس
l.         Sunan Abu Dawud dengan lambang                       :بد
m.    Sunan At-Tirmidzi dengan lambang                       :تر
n.      Sunan An-Nasa’i dengan lambang              :نس
o.      Sunan Ibu Majah dengan lambang              :مج
p.      Sunan Ad-Darimi dengan lambang             : مي
q.      Muwaththa’ Malik dengan lambang                        : ما
r.       Musnad Ahmad dengan lambang                : حم
s.       Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi             :ط
t.        Musnad Zaid bun Ali                                     :ز
u.      Sirah Ibnu Hisyam                                        :هش
v.       Maghazi al-Waqidi                                        :قد
w.     Thabaqat Ibnu Sadin                                                : عد

Kemudian arti singkatan-singkatan lain yang dipakai dalam kamus ini adalah sebagai berikut.
a.       Kitab                                 = ك
b.      Hadist                               = ح
c.       Juz                                     =ج
d.      Bandingkan (Qobil)         =قا
e.       Bab                                   =ب
f.        Shahifah                           = ص
g.       Bagian                              =ق

Misalnya ketika ingin men-takhrij hadist:
صَلاَةُ الَّيْلِ مَثْنىَ مَثْنَى
Hadits terebut temanya shalat malam , dalam kamus miftah dicari pada bab Al-Layl tentang sholat malam, yaitu di halamam 430. Disana dicantumkan sebagai berikut:
1.      بخ – ك 8 ب  48, ك 145 ب ا , ك 19 ب 10
2.      مس – ك 6 ح  145 – 148
3.      بد – ك 5 ب 24
4.      تر – ك 2 ب 206
5.      مج – ك 5 ب 172
6.      مي – ك 2 ب 155 و 21
7.      ما – ك 7 ح 7 و 13
8.      حم – ثا ن ص ه و 9 و 10


Maksudnya hadist tersebut adanya dalam:
1.      Al-Bukhari, nomor urut kitab 8 dan nomor urut bab 84, nomor urut kitab 145, nomor urut kitab 19, dan nomor urut bab 10.
2.      Muslim, nomor urut kitab 5 dan nomor urut hadist 145-148
3.      Abu Dawud, nomor urut kitab 5 dan nomor urut baba 24
4.      At- Tirmidzi, nomor urut kitab 2 dan nomor urut bab 206
5.      Ibnu Majah, nomor urut kitab 5 dan nomor urut bab 172
6.      Ad-Darimi, nommor urut kitab 2 dan nomor urut bab 155 dan 21
7.      Muwathatha’ Malik, nomor urut kitab 7 dan nomor urut hadis 7 dan 13
8.      Ahmad, Juz 2 hlm. 5,9, dan 10.
Kelebihan metode ini, peneliti hanya mengetahui makna hadits, tidak diperlukan harus mengingat permulaan matan teks hadits, tidak perlu harus menguasai asal-usul akar kata, dan tidak perlu juga mengetahui sahabat yang meriwayatkannya. Disamping itu peniiti berkemampuan berlatih menyingkap kandungan hadits. Sementara diantara kesulitannya adalah terkadang peniliti tidak memahami kandungan hadits atau kemungkinan hadits memiliki topik berganda.
3. Takhrij dengan Permulaan Matan(Bi Awwal Al-Matan)
Takhrij menggunakan permulaan matan dari segi hurufnya, misalnya awal suatu matan dimulai dengan huruf mim  maka dicari pada bab mim, jika diawali dengan huruf ba maka dicari pada bab ba dan seterusnya. Takhrij seperti ini diantaranya dengan menggunakan kitab Al-Jami’ Ash-Shaghir atau Al-Jami’ Al-Kabir karangan As-Suyuthi dan Mu’jam Jami’ Al-Ushul fi Ahaadits Ar-Rasul, karya Ibnu Al-Katsir.
Kitab  Al-Jami’ Ash-Shaghir nama lengkapnya Al-Jami’ Ash-Shaghir fi Ahaadits Al-Basyir An-Nadzir, salah satu kitab karangan As-Suyuthi (w. 911 H). Dia seorang ulama hadist yang memiliki gelar Al-Musnid (gelar keahlian meriwayatkan hadist beserta sanad-nya) dan Al-Muhaqqiq (peneliti) dan hafal 200.999 hadist. Sebuah kitab yang menghimpun ribuan hadis yang terpilih dan yang singkat-singkat dipetik dari kitabnya yang besar Jam’u Al-Jawami, terdiri dari dua juz, dan susunan hadis kitab ini sesuai dengan urutan alphabet Arab alif, ba, ta, tsa, ja, kha, dan seterusnya. Jika seorang peneliti ingin mencari hadist melalui kitab ini, harus ingat huruf apa permulaan hadistnya, kemudian membuka kitaab tersebut pada bab yang sesuai dengan huruf permulaan tersebut.
Misalnya ketika ingin mencari hadits yang populer di tengah-tengah santri dan mahasiswa :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Kita buka kitab Al-Jami’ Ash-Shaghir bab ط  kita temukan pada juz 2 hlm. 54 ada 4 tempat periwayatan disebutkan, yaitu sebagai berikut
1.      طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (عد هب) عَنْ أَنَسٍ (طص خط) عَنْ الحُسَيْنِ بن عَليِّ (طس) عَنْ ابنِ عَبَّاسِ , تمام عَنْ ابن عُمَرَ (طب) عَن ابن مَسْعُوْدٍ (خط) عَن عَلِّى (طس هب) عَن أبِي سَعِيْد (صح)
2.         طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِدِ الْخَنَازِيْرِ الْجَوْهَرَ وَالُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ (ه) عَنْ أَنَسٍ (ض)
3.      طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَإِنَّ طاَلِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ شَيْئٍ حَتَى الْحِيْتَانُ فِيْ الْبَحْرِ, ابنُ عَبْدُ الْبَرِّ فِي الْعِلْمِ عَنْ أَنَسٍ (صح)
4.                       طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَاللهُ يُحِبُّ إِغَاثَةَ اللَّهْفَانِ (هب) ابنُ عَبْدُالْبَرِّ فِي الْعِلْمِ عَنْ أَنَسٍ (صح)

Keterangan lambang-lambang di atas :
1.      a. (عد هب)  = Ibnu Adi dalam kitab Al-Kamil
b. (طص خط)= Ath-Thabrani dalam Ash-Shagir,(خط) = Al-Khathib.
c. (طس) = Ath-Thabrani dalam Al-Awsath.
d. (طب) = Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir.
e. ((صح = Hadits Shahih.
2.  a. (ه) = Ibnu Majah
     b. ( = Hadits Dha’if
3.  a. ((صح = Hadits Shahih.
4. a. (هب) = Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman.
b. ((صح = Hadits Shahih.

Dari hasil takhrij di atas ditemukan bahwa seluruh hadits hanya menyebutkan sampai مُسْلِمٌ tidak ada yang menyebutkan وَ مُسْلِمَةٍ, tetapi yang beredar selalu menyebutkan seperti itu, mungkin ada rujukannya, asal dalam kitab hadist yang dapat dipedomani. Kualitasnya shahih 3 tempat dan yang satu dha’if.
Lambang-lambang singkatan sebagaimana di atas mempunyai makna dan telah dijelaskan oleh penyusunannya, As-Suyuthi dalam mukadimahnya. Bagi yang ingin mengetahui secara menyeluruh, dapat membuka kitab Al-Jami’ Ash-Shagir bab Mukadimah. Di antara kelebihan metode ini adalah dapat menemukan hadits yang dicari dengan cepat dan mendapatkan haditsnya secara utuh dan keseluruhan, tidak penggalan saja sebagaimana metode-metode sebelumnya. Akan tetapi, kesulitannya bagi seseorang yang tidak ingat permulaan hadits. Khawatir hadits yang dingat itu sebenarnya penggalan dari pertengahan atau akhiran hadits, bukan permulaannya.
4.    Takhrij Melalui Perawi yang Paling Atas (Bi Ar-Rawi al-A’la)
Takhrij ini menelusuri hadits melalui perawi yang paling atas dalam sanad, yaitu di kalangan sahabat (muttashil isnad) atau tabi’in (dalam hadits mursal). Artinya, peneliti harus mengetahui terlebih dahulu siapa sanad-nya di kalangan sahabat atau tabi’in, kemudian dicari dalam buku hadist Musnad atau Al-Athraf. Diantara kitab yang digunakan dalam metode ini adalah kitab Musnad atau Al-Athraf. Seperti Musnad Ahmad bin Hanbal, Tuhfat Al-Asyraf bi Ma’rifat Al-Athraf karya Al-Mizzi, dan lain-lain. Kitab Musnad adalah pengodifikasian hadits yang sistematikanya didasarkan pada nama-namasahabat atau nama-nama tabi’in sesuai dengan urutan sifat tertentu. Adapun Al-Athraf adalah kitab hadits yang menghimpun beberapa haditsnya para sahabat atau tabi’in sesuai dengan urutan alphabet Arab dengan menyebutkan sebagian dari lafal hadits.
Cukup banyak kitab Musnad pada awal abad kedua Hijriyah, diantaranya yang sangat populer adalah Musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Sesuai dengan masa perkembangannya dan latar belakang penulisannya agar mudah dihafal, beberapa hadits dikelompokkan berdasarkan pada sahabat yang diriwayatkannya. Kitab ini memuat sekitar 30.000 hadits, sebagian pendapat 40.000 buah hadits secara terulang-ulang (mukarrar) sebanyak 6 jilid besar. Sistematikanya tidak disesuaikan dengan urutan alphabet Arab, tetapi didasarkan pada sifat-sifat tertentu, yaitu pertama sepuluh orang sahabat Nabi yang digembirakan surga, kemudian musnad sahabat empat, musnad sahabat ahli bait, musnad sahabat-sahabat yang populer, musnad sahabat dari Mekah (Al-Makkiyyiin), dari Syam ( Asy-Syamiyyin), dari Kufah, Bashrah, sahabat Anshar, sahabat wanita, dan dari Abu Ad-Darda.
Bagaimana men-takhrij sebuah hadits berikut dalam Musnad Ahmad :
عَن أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أُمِرَ بِلاَلٌ أَنْ يَشْفَعَ لأَذَانَ وَيُوتِرَ لإِقَامَةَ
Dalam hadits tersebut sahabat perawi sudah diketahui, yaitu Anas bin Malik, terlebih dahulu nama Anas itu dilihat pada daftar isi (mufahras) sahabat pada awal kitab Musnad Anas, dicari satu persatu hadits yang ingin dicari sampai ditemukan, maka ditemukan pada hlm 103. Dari pen-takhrij-an ini dapat dikatakan : “Hadits tersebut ditakhrij oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya juz 3 hlm. 103”
Diantara kelebihan metode takhrij ini adalah memberikan informasi kedekatan pembaca dengan pen-takhrij hadits dan kitabnya. Berbeda dengan metode-metode lain yang hanya memberikan informasi kedekatan dengan pen­-takhrij-nya saja tanpa kitabnya. Sedangkan kesulitan yang dihadapi adalah jika seorang peneliti tidak ingat atau tidak tahu nama sahabat atau tabi’in yang meriwayatkannya, disamping campurnya berbagai masalah dalam satu bab dan tidak terfokus pada satu masalah.
5. Takhrij dengan Sifat (Bi As-Shifah)
            Seseorang dapat memilihmetodemana yang tepatuntukditentukannyasesuaidengankondisi orang tersebut.  Jika suatu hadis sudah dapat dikeetahui sifatnya, misalnya Mawadhu”, shahih, Qudsu, Mursal, Masyhur, Mutawatir, dan lain lain sebaiknya di-takhrij melalui kitab-kitab yang telah menghimpun sifat-sifat tersebut. Misalnya, hadist mawdhu” akan leeeebih mudah di takhrijkan melalui buku-buku himpunan hadist mawdhu’ seperti Al-Mawdhuat karya Ibnu Al-Jauzi, mencari hadist mutawatir takhrij-lah melalui kitab AlAzhar Al-Mutanatsirah ‘an Al-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi, dan lain lain. Disana seseorang akan mendapatkan informasi tentang kedudukan suatu hadist, kualitasnya, sifat-sifatnya, dan lain-lain terutama dapat dilengkapi dengan kitab-kitab syarahnya.

Kesimpulan
Takhrijhaditsadalah memberikan informasi tentang tempat hadist pada sumber aslinya dengan penjelasan sanad dan derajatnya ketika diperlukan. Tujuan dari takhrij hadits adalah Mengetahui eksistensi suatu hadis apakah benar sutu hadis yang ingin diteliti terdapat dalam buku-buku hadis atau tidak, mengetahui sumber otentik suatu hadis dari buku hadis apa saja yang didapatkan, mengetahui ada berapa tempat hadis tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam sebuah buku hadis atau dalam beberapa buku induk hadis dan mengetahui kualitas hadis (maqbul/diterima atau mardud/tertolak).
Faedah dan manfaat takhrij cukup banyak, diantaranya yang dipetik oleh yang melakukannya adalah mengetahui referensi beberapa buku hadis, menghimpun sejumlah sanad  hadis, dan mengetahui keadaan sanad yang bersambung (muttashil) dan yang terputus (munqathi’), dan mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat hadis serta kejujuran dalam periwayatan.
Terdapat lima metode dalam men-takhrij hadis yakni: metode Takhrij dengan Kata (Bi Al-Lafzhi), Takhrij dengan Tema (Bi Al-Mawdhu’), Takhrij dengan Permulaan Matan(Bi Awwal Al-Matan), Takhrij Melalui Perawi yang Paling Atas (Bi Ar-Rawi al-A’la), dan Takhrij dengan Sifat (Bi As-Shifah).

Daftar Rujukan
Anwar, Ali. 2011. Takhrij al-Hadith dengan Komputer. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Majid Khon, Abdul. 2015. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Nuruddin. 1994. ‘Ulum Al-Hadits.  Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Smeer, Zeid B. 2008. Ulumul Hadis. Malang: UIN Malang Press.
Solahudin, Agus dan Suyadi,Agus. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.

Revisi:
1.      Tidak ditemukan indikasi adanya copy-paste.
2.      Pendahuluan kurang singkron dengan pembahasan takhrij. Takhrij tidak bertujuan utama untuk mengetahui apakah suatu hadis bisa dipakai hujag atau tidak, akan tetapi untuk mengetahui dimana saja hadis itu ada.
3.      Ada beberapa bagian yang perlu diberikan rujukan, tetapi tidak ada perujukannya.
4.      Cara melakukan takhrij hadis dengan komputer/software perlu divcantumkan.
Secara umum saya menilai makalah ini cukup baik. Selamat!!!



[1]Ali Anwar, Takhrij al-Hadith, (Kediri: PustakaPelajar, 2011) hal 115
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,. (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2015) hal 127
[3] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008) hal 171
[4] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal 190
[5] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadist,(Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 174

Tidak ada komentar:

Posting Komentar