Rabu, 23 November 2016

Ilmu Jarh wa Ta'dil (PBA D Semester III)




ILMU JARH WA TA’DIL

Elsha Anggy Anggraeni dan Mufidatul Ilma
Pendidikan Bahasa Arab Kelas D, Uin Maulana Malik Ibrahim, Malang

Abstract: The scholars have agreed that Ulumul Hadith or science who addressed the subject both in terms of hadith narrations or in material or former hadith history is a science that is very important. Therefore is a must for stakeholders hadith. This chapter will discuss one of the science is very important in the study of the science of hadith is the science Jarh wa ta'dil. Science Jarh wa ta'dil is the science that stands alone, which is where the science Jarh ta'dil wa explains about the notes that faced with the transmitters and on fair (fair view of the transmitters). Science Jarh wa al-ta'dil used to establish whether the narration a narrator can be accepted or rejected.With this knowledge can be seen later on who among the perowi acceptable history, and who should be rejected. In fact, this science is a science that is not owned by the followers of the other.
Keywords : hadith, stakeholders, science, fair, knowledge
 
Pendahuluan
Ilmujarhwata’dilpadahakekatnyamerupakansuatubagiandariilmuRijalilHadits. Akan tetapi, karenabagianinidipandangsebagai yang terpentingmakailmuinidijadikansebagaiilmu yang berdirisendiri. Yang dimaksuddenganilmujarhwata’dil adalahilmu yang menerangkantentangcatatan-catatan yang dihadapkanpadaperawidantentengpenakdilannya (memandangadilparaperawi) denganmemakai kata-kata yang khususdantentangmartabat-martabat kata-kata itu.
Ilmu ini membahas tentang hal-hal yang berhubungan dengan para perowi hadits dari segi diterimanya atau ditolaknya riwayat mereka. Dimaksudkan dengan hal-hal ikhwal yang berhubungan dengan perowi hadits dari segi diterimanya riwayat adalah sifat-sifat yang dipunyai sebagai syarat dapat diterimanya suatu yang diriwayatkannya. Ada sikap pokok yang harus dimiliki oleh para perowi hadits yaitu adil dan dhobith.[1]
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah “timbangan” bagi para perowi hadits. Rawi yang berat timbangannya diterima riwayatnya, dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayatan yang dapat diterima haditsnya dan kita dapat membedakannya dengan periwayatan yang tidak dapat diterma haditsnya.
Oleh karena itu para ulama hadits memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatian dan mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya. Merekapun ber-ijma’ akan validitasnya, bahkan kewajibannya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu ini.[2]
Seandainya para tokoh kritikus rawi itu tidak mencurahkan segala perhatiannya dalam masalah ini dengan meneliti keadilan para rawi, menguji hapalan dan kakuatan ingatannya, hingga untuk itu mereka tempuh rihlah yang panjang, mananggung kesulitan yang besar, mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati tehadap para rawi yang pendusta, yang lemah, dan kacau hapalannya, seandainya bukan usaha mereka, niscaya akan menjadi kacau balaulah urusan islam, orang-orang zindiq akan berkuasa, dan para dajjal akan bermunculan.[3]
Pengertian ilmu jarh wa ta’dil
            Ilmu al-Jarh, yang secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat. Ilmu al-Jarh adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya.[4] Para ahli hadits mendefinisikan al-jarh dengan :
الطّعن فىى راوى الحديث بما يسلب أو يخلّ بعدالته أو ضبطه [5]
“Kecacatan pada perawi Hadis disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedabitan perawi” [6]
Lafadh “Jarh” menurut muhaddistin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadailan dan kehafalannya. Menjarh seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.[7]
Sedangkan at-Ta’dil, yang secara bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan). Menurut istilah berarti :
عكسه هو تزكية الرّاوي والحكم عليه بأنّه عدل أو ضابط [8]
“Lawan dari al-Jarh, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa adil atau dabit”.[9]
Rawi yang dikatakan adil ialah orang yang dapat mengendalikan siafat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya, memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawi hingga apa yang diriwayatkan dapat diterima disebut menta’dilkannya.
هو العلم الذي يبحث في أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها
“Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.”[10]
Ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan at-ta’dil dalam satu definisi, yaitu :
علم يبحث عن الرّواة من حيث ما ورد فى شأنهم ممّا يشنيهم أو يزكّيهم بألفاظ مخصوصةٍ [11]
“Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu”.[12]
a.       Manfaat Ilmu Jarh wat-Ta’dil
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang rawi dipuji sebagai orang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadist dipenuhi.
Kalaulah ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal, perjalanan hadis semenjak Nabi Muhammad SAW. Sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian sebuah hadis perlu mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian di bidang politik, masalah ekonomi dan masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan dengan hadis. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadis yang disandarkan kepada Rasulullah, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat untuk kepentingan golongannya.
Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadis yang benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’)
Dengan mengatahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil kita juga akan bisa menyeleksi mana hadis sahih, hasan, ataupun hadis dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.[13]
b.      Macam-macam Keaiban Rawi
Keaiban seorang rawi itu banyak. Akan tetapi umumnya hanya berkisar kepada 5 macam saja. Yakni:
1.    Bid’ah (melakukan tindakan tercela, diluar ketentuan syaria’t).
2.    Mukhlafah (melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqoh).
3.    Ghalat (banyak kekeliruan dalam periwayatan).
4.    Jahalatul-hal (tidak dikenal identitasnya).
5.    Da’wal’l-inqitha’ (diduga keras sanadnya tidak bersambung).
Orang yang disifati dengan bid’ah adakalannya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya tergolong orang yang difasikkan. Sedangkan orang-orang yang dianggap fasik ialah golongan yang mempunyai itikad berlawanan dengan dasar syari’at. Mukhalafah yakni yang dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu hadist, ialah apabila seorang rawi yang setia ingatannya lagi jujur meriwayatkan sesuatu hadist berlawanan dengan riwayat orang yang lebih setia ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang, jika rawinya sangat lemah hafalannya periwayaan hadistnya disebut mungkar. Ghalath yakni seorang rawi yang disifati banyak kesalahannya. Sedangkan Jahalatul-hal atau tidak diketahui identitasnya merupakan pantangan untuk diterima hadistnya, selama belum jelas identitasnya. Da’wal-inqitha’ atau pendakwaan terputus dalam sanad, misalnya mendakwa rawi mentadlikan atau penipuan suatu hadist.[14]
Adapun informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu:
1.      Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib. Bagi yang sudah terkenal di kalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikannya atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
2.      Berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta’dilkan seorang rawi yang lain yan belum dikenal keadilannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa diterima. Begitu juga dengan rawi yang di-tajrih. Bila seorang rawi yang adil telah mentajrihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.[15]
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh :
1.      Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadis.
2.      Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak, selama ini mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu:
1.      Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
2.      Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhaditsin.[16]

c.       Syarat Ulama al-jarh wa at-ta’dil

Seorang ulama al-jarh wa at-ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya objektif dalam upaya menguak karakteristik para periwayat, syarat-syaratnya adalah :
1.      Berilmu, bertaqwa, wara’, dan jujur. Karena bila mereka tidak memiliki sifat-sifat ini, maka bagaimana ia dapat menghukumi orang lain dengan al-jarh wa at-ta’dil yang senantiasa membutuhkan keadilannya.
Al-Hafizh berkata, “Seyogyanya al-jarh wa at-ta’dil tidak diterima kecuali dari orang yang adil dan kuat ingatannya, yakni orang yang mampu mengungkapkan hadits dan kuat ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati dan ingat dengan tepat terhadap  hadits yang ia ucapkan.
2.      Ia mengetahui sebab-sebab al-jarh wa at-ta’dil.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dalam Syarh al-Nukhbah, “Tazkiya (pembersihan terhadap diri orang lain) dapat diterima bila dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan dari orang yang tidak mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.”
3.      Ia mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab, sehingga suatu lafazh yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya, atau men-jarh dengan lafazh yang tidak sesuai untuk men-jarh.[17]
Masalah berikutnya adalah perselisihan dalam menentukannya mengenai jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan rawi. Sebagaimana berikut :
1.      Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. Demikian pendapat kebanyakan fuqaha Madinah.
2.      Cukup seorang saja, dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab, bilangan tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadis, maka tidak pula disyaratkan dalam men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan rawi. Berlainan dengan soal syahadah.
3.      Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah.[18]

d.      Pertentangan antara al-jarh wa at-ta’dil
Terkadang, pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian men-tajrih-kannya, sebagian lain men-ta’dil-kan. Bila keadaan seperti itu, diperlikan penelitian lebih lanjut tentang keadaan sebenarnya.
Dalam masalah ini, para ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut :
1.      Al-Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’adil-nya lebih banyak daripada jarh-nya. Sebab, jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’adil dan kalau jarih membenarkan mu’adil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarih memberitahukan urusan batiniah yang tidak diketahui oleh si mu’adil. Inilah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama.
2.      Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena banyaknya yang men-ta’dil bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj Al-Khathib, pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang men-ta’dil, meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang men-tajrih.
3.      Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan, kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya.[19]
4.      Tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang men-tajrih-kan.[20]Pengarang at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini, ialah jika jumlah mu’addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antara mu’addil dan jarih-nya, maka mendahulukan jarah itu sudah merupakan putusan ijma’.[21]
Faktor-Faktor Yang MelatarbelakangiMunculnyaIlmuJarhWaTa’dil
a.       Faktorlahirnyaal-Jarhwa al-Ta’dil
Ada beberapafaktorpenting, yang menjadipenyebablahirnyakonsepal-Jarhwa al-Ta’dildalamtradisiulamahadits. Sebagaisatudisiplinilmu yang memilikipirantidankaidah-kaidahkhusus.Tujuan paling agungadalahuntukmemliharaduasumberIslam : Al-Qur’an dansunnahNabi Muhammad saw. Yang paling prinsipiladalahmunculnyagerakan “pemalsuhadits” (al-wadh’u).Gerakaninilah yang menjadipemicuutamalahirnyailmutersebut.
Olehkarenaitu, paraulamabergerakuntukmembendungaruspemalsuanhaditstersebut, yang melahirkanbeberapadisiplinilmuhadits, yakni : (1) yang berkenaandenganisnadhadits; (2) melakukanchekatasvalidasihadits. Hal inidilakukandenganmerujukkepadaparasahabat, tabi’indanparaulama yang pakardalamilmuini; (3) kritikparaperawidanmenjelaskankepribadianmereka, darisisikejujurandankedustaannya; (4) membuatkaidah-kaidahumumdalammengklasifikasikanhadits.Merekamembagijenishaditskedalamtiga: shahih, hasan, dandha’if.
Usaha yang dilakukanparaulamatersebutakhirnyamembuahkanbeberapahal yang sangaturgen: (1) kodifikasisunnah; (2) ilmuMushthalahhadits; (3) ilmual-Jarhwa al-Ta’dil; (4) ilmu-ilmuhadits (Ulum al-Hadits); (5) penulisantentangbuku-bukuhaditspalsu (al-maudu’at) danparapemalsunya (al-wadhadha’un); dan (6) penulisbuku-bukutentanghadits-hadits yang masyhur di tengah-tengahmasyarakat.[22]
b.      Perkembanganal-Jarhwa al-Ta’dil
Al-jarhwa al-ta’dilberkembangbersamaandenganperkembanganriwayat. Karenauntukmengetahuishohihdantidaknyasuatuhaditsharusdiketahuikeadaanperowinya.Denganituakandiketahuijujuratautidaknyariwayatitu. Selanjutnyadapatdibedakanantara yang diterimadan yang ditolak.Pengetahuantentangrowimeliputiseluruhaspekkehidupannyasehinggadapatdiketahuikekuatanhafalannya, dayatangkapdaningatannya, panjangdanpendeknyamasapergaulandenganNabidansebagainya.
Para sahabat, tabi’indanahliilmumenjelaskankeadaanpararowisemata-matakarena Allah, bukankarenatakutpadaseseorang.MerekatidakmemandangdarimanamerekamenerimahaditsNabi.Dan halinimerekalakukankarenakekhidmatanmerekapadasyari’at Islam, untukmenjagasumbersyariatitudan arena niat yang ikhlas.
Syu’bah bin Al Hajjaj yang hidupantaratahun 80-160 H pernahditanyatentanghadits yang didapatidariHukai bin Zubairyaitu orang yang sangatsenangberdusta, makajawabSyu’bah “sayatakutneraka”. Karenaitulahmaka Imam Syafi’iberkata “seandinyatidakadaSyu’bahmakatidakakankitadapatihadits di Irak”.
Kata AsySya’bi “demi Allah, seandainyaakubenartujuhpuluh kali dankelirusekalisaja, sungguhmengalahkankepadakukesalahan yang hanyasekaliitu”.
Para ulamamemberipengertianpenuhdalammencarihalIkhwalpararowi, danmenanyakankeadaanmereka.AbdurRohman bin Al mahdipernahbertanyakepadaSyu’bah, IbnulMubarok, Atstsauridan Malik bin Anashtentangseorang yang disangkaberdusta, makaparaulamatersebutmenjawab “jelaskankepadanya, sebabhalituadalahtermasukurusan agama”.
Dalamhaliniulamamenetapkansebagaisuatukeharusan,dantidaktermasukmengumpat, justumenjelaskantentangshohihdandhoif, maqbuldanmarduddaninisemuapenjagaanterhadaphaditsNabi.
Abdullah bin Ahmad bin Hambalberkata “Abu Turab An Nakhsyabidatangkepadaayahku, daripercakapanmereka :
Ayah berkata “fulanituseorang yang dho’ifdanfulan yang lain adalah orang yang dapatdipercaya”. Mendengarhalitu
Abu Turabberkata “wahai guru, janganmengumpatparaulama.
Ayah berkata “wahbagaimanakamuini, iniadalahNasikhatsamasekalibukanmengumpat”
PernahditanyakankepadaYahya bin Said Al Qotthoh “tidaklah orang itu (yang dinyatakancacatnya) nantiakanmenuntutnya di hadapan Allah?”
Yahya bin Sa’idmenjawab “akulebihsukadituntutolehmerekadaripadasayadituntutolehRasulullah”.[23]
Para sahabatsebagaimanaparatabi’inmemandanghalinissebagaisuatuhal yang wajib, merekaberdasarkanfirman Allah.[24]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًاسَدِيدًا (.٧) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَنْيُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا (٧١)
33:70. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,
33:71. niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.
Tingkatan-tingkatan jarh wa ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadis tidak semuanya berada dalam satu derajat. Bila dipandang dari segi keadilannya , kedlabitan, dan hafalan mereka kondisinya sangat beragam. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil amanah, serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap kualitas meraka ini melalui tangan para ulama’.
Oleh karena itu, para ulama’ telah menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafad-lafad yang menunjukkan pada setiap tingkatan tersebut. Tingkat Ta’dil ada enam, begitu pula dengan Jarh.
Karena kualitas hafalan dan tingkat keterpercayaan tiap perowi berbeda, maka para ulama, memberikan batasan-batasan rinci yang terkait dengan pengklasifikasian kualitas perowi. Batasan-batasan tersebut kemudian dikenal dengan istilah maratib al-jarh wa ta’dil (tingkat jarh dan ta’dil)[25] yang tergambar sebagai berikut :
1.      Tingkatan Ta’dil
a.    Tingkat pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan, dengan menggunakan lafazh-lafazh yang af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenis :
أوثق النّاس                       = orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hafalannya.
أثبت النّاس حفظا وعدالة      = orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya.
إليه المنتهى فى الثّبت           = orang yang paling menonjol keteguhan hatinya dan akhlaknya.
ثقّة فوق ثقة                      = orang yang tsiqat yang melebihi orang tsiqat.
b.   Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafazh (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya :
ثبت ثبت      = orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendiriannya.
ثقّة ثقّة         = orang yang tsiqah (lagi) tsiqah, yaitu orang yang sangat dipercaya.
حجّة حجّة    = orang yang ahli (lagi) petah lidahnya.
ثبت ثقة       = orang yang teguh (lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendiriannya dan kuat hapalannya.
حافظ حجّة   = orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya.
ضابط متقن  = orang yang kuat ingatan (lagi) meyakinkan ilmunya.
c.    Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafazh yang mengandung arti ‘kuat ingatan’, misalnya :
ثبت            = orang yang teguh (hati-hati lidahnya).
متقن           = orang yang meyakinkan ilmunya.
ثقّة             = orang yang tsiqah.
حافظ          = orang yang hafizh (kuat hapalannya).
حجّة           = orang yang petah lidahnya.
d.   Tingkatan keempat, menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafazh yang tidak mengandung arti ‘kuat ingatan dan adil (tsiqah), misalnya :
صدوق        = orang yang sangat jujur.
مأمون         = orang yang dapat memegang amanat.
لابأس به      = orang yang tidak cacat.
e.    Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dhabit-an, misalnya :
محلة الصدق         = orang yang berstatus jujur.
جيّد الحديث          = orang yang baik hadisnya.
حسن الحديث                    = orang yang bagus hadisnya.
مقارب الحديث      = orang yang hadisnya berdekatan dengan hadis lain yang tsiqah.
f.     Tingkatan keenam, menunjukkan arti ‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafazh “Insya Allah”, atau lafazh tersebut di-tasghir-kan (pengecilan arti), atau lafazh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya :
صدق إن شاءالله                = orang yang jujur, Insya Allah.
فلان أرجو بأن لّابأس به      = orang yang diharapkan tsiqah.
فلان صويلح                     = orang yang sedikit kesalehannya.
فلان مقبول حديثه              = orang yang diterima hadis-hadisnya.[26]
 
Tingkatan
Bentuk (صيغة)
Lafazh-lafazh
Pertama
Kelebihan rawi dalam keadilan
أوثق النّاس- أثبت النّاس حفظا وعدالة- إليه المنتهى فى الثّبت- ثقّة فوق ثقة      
Kedua
Memperkuat ketsiqahan rawi
ثبت ثبت- ثقّة ثقّة- حجّة حجّة- ثبت ثقة- حافظ حجّة- ضابط متقن
Ketiga
Menunjukkan keadilan
ثبت- متقن- ثقّة- حافظ- حجّة
Keempat
Menunjukkan keadilan dan kedhabitan
صدوق- مأمون- لابأس به
Kelima
Menunjukkan kejujuran rawi
محلة الصدق- جيّد الحديث- حسن الحديث- مقارب الحديث
Keenam
Arti ‘mendekati cacat’
صدق إن شاءالله- فلان أرجو بأن لّابأس به- فلان صويلح- فلان مقبول حديثه
                
                 Hukum-hukum tingkatan-tingkatan Ta’dil
                 Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
                 Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.[27]
2.      Tingkatan al-Jarh
a.    Tingkatan pertama, menunjukkan pada keterlaluan si rawi tentang kecacatan dengan menggunakan lafazh-lafazh yang berbentuk af’alu al-tafdil atau ungkapan lain yang mengandung penegrtian sejenisnya, misalnya :
أوضع النّاس                     = orang yang paling dusta.
أكذب النّاس                      = orang yang paling bohong.
إليه المنتهى فى الوضع         = orang yang paling menonjol kebohongannya.
b.   Tingkatan kedua, menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafazh-lafazh berbentuk shigat muballagah, misalnya :
كذّاب          = orang yang pembohong.
وضّاع        = orang yang pendusta.
دجّال          = orang yanng penipu.
c.    Tingkatan ketiga, menunjuk pada tuduhan dusta, bohong atau sebagainya, misalnya:
فلان متّهم بالكذب               = orang yang dituduh bohong.
أومتّهم بالوضع                  = orang yang dituduh dusta.
فلان فيه النّظر                  = orang yang perlu diteliti.
فلان ساقط                       = orang yang gugur.
فلان ذاهب الحديث             = orang yang haditsnya telah hilang.
فلان متروك الحديث           = orang yang ditinggalkan haditsnya.
d.   Tingkatann keempat, menunjukkan sangat lemahnya, misalnya :
مطروح الحديث                 = orang yang dilempar haditsnya.
فلان ضعيف                    = orang yang lemah.
فلان مردود الحديث            = orang yang ditolak haditsnya.
e.    Tingkatan kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hapalannya, misalnya :
فلان لا يحتج به                 = orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya.
فلان مجهول                     = orang yang tidak dikenal identitasnya.
فلان منكر الحدييث             = orang yang munkar hadisnya.
فلان مضطرب الحديث        = orang yang kacau hadisnya.
فلان واه                          = orang yang banyak duga-duga.
f.     Tingkatan keenam, menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat-sifat itu berdekatan dengan adil, misalnya :
صعف حديث                    = orang yang di-dha’if-kan hadisnya.
فلان مقال فيه        = orang yang diperbincangkan.
فلان فيه خلف       = orang yang disingkiri.
فلان ليّن              = orang yang lunak.
فلان ليس بالحجة   = orang yang tidak dapat digunakan hujjah hadisnya.
فلان ليس بالقوي    = orang yang tidak kuat.[28]
Tingkatan
Bentuk (صيغة)
Lafazh-lafazh
Pertama
Keterlaluan rawi dalam kecacatan
أوضع النّاس-  أكذب النّاس- إليه المنتهى فى الوضع
Kedua
Menunjukkan sangat cacat ‘shigat muballagah’
كذّاب- وضّاع- دجّال

Ketiga
Tuduhan dusta dan bohong
فلان متّهم بالكذب- أومتّهم بالوضع- فلان فيه النّظر- فلان ساقط- فلان ذاهب الحديث- فلان متروك الحديث
Keempat
Menunjukkan sangat lemahnya
مطروح الحديث- فلان ضعيف- فلان مردود الحديث
Kelima
Menunjukkan kelemahan dan kekacauan hafalan
فلان لا يحتج به- فلان مجهول- فلان منكر الحدييث- فلان مضطرب الحديث- فلان واه 
Keenam
Sifat mendekati adil
صعف حديث- فلان مقال فيه- فلان فيه خلف- فلان ليّن- فلان ليس بالحجة
 
                 Hukum tingkatan-tingkatan al-jarh
                 Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadis riwayat mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya perowi yang berada pada tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.[29]
 
Kesimpulan
Al-Jarh dan at-ta’dil adalah Ilmu yang membahas tentang para perawi Hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu. Al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Dengan mengatahui ilmu al-jarh wa at-ta’dil kita juga akan bisa menyeleksi mana hadis sahih, hasan, ataupun hadis dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.
Keaiban seorang rawi ada 5 yaitu : Bid’ah, Mukhlafah, Ghalat, Jahalatul-hal, dan Da’wal’l-inqitha’. Syarat Ulama al-jarh wa at-ta’dil antara lain adalah berilmu, bertaqwa, wara’,  jujur, mengetahui sebab-sebab al-jarh wa at-ta’dil, dan mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab.
Tingkatan-tingkatan jarh wa ta’dil adalah pada saat paraperawi yang meriwayatkan hadis tidak semuanya berada dalam satu derajat. Bila dipandang dari segi keadilannya , kedlabitan, dan hafalan mereka kondisinya sangat beragam. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil amanah, serta ada juga yang berdusta dalam hadits.Maka Allah menyingkap kualitas meraka ini melalui tangan para ulama’.
Oleh karena itu, para ulama’ telah menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafad-lafad yang menunjukkan pada setiap tingkatan tersebut. Tingkat Ta’dil ada enam, begitu pula dengan Jarh. Karena kualitas hafalan dan tingkat keterpercayaan tiap perowi berbeda, maka para ulama, memberikan batasan-batasan rinci yang terkait dengan pengklasifikasian kualitas perowi.
 
Daftar Rujukan
Suparta, Munzeir. 2006. Ilmu Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Smeer, Zeid B. 2008. Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis. Malang: UIN-Malang Press
Hadi, Saeful. 2008. Ulumul Hadits Panduan Ilmu Memahami Hadits Secara Konprehensif. Yogyakarta: Sabda Media
‘ITR, Nuruddin. 1995. ‘Ulum Al-Hadits 1. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits. Bandung : PT Alma’arif
Solahudin, M. Agus, dan Suyadi Agus. 2008. Ulumul Hadis Disusun Berdasarkan Kurikulum Terbaru Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam. Bandung : Pustaka Setia

Revisi:
1.      Tidak ditemukan indikasi copy-paste.
2.      Penulisan footnote masih salah.
Secara umum, makalah ini baik. Selamat!!!!
 


 
 
 
 
 
 
 
 






[1]SaefulHadi, UlumulHaditsPanduanIlmuMemahamiHaditsSecaraKonprehensif, Yogyakarta :Sabda Media, 2008, hlm. 16.
[2]Nuruddin ‘ITR, ‘Ulum Al-Hadits 1, Bandung : Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 1995, hlm. 78.
[3]Ibid, hlm. 79.
[4]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 31.
[5]Nur Al-Din ‘itr, Manhaj Al-Naqd fi Ulum Al-Hadits, Damaskus: Dar Al-Fikr,1979, hlm. 92.
[6]Munzier Suparta, op,cit., hlm.31.
[7]Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits, Bandung : PT Alma’arif, 1974, hlm. 307.
[8]Nur Al-Din ‘itr, op.cit., hlm. 92.
[9]Munzier Suparta, op,cit., hlm.31.
[10]Fatchur Rahman, op,cit., hlm.307.
[11]Subhi Al-Shalih, ‘Ulum Al-Hadits wa Musthalahuhu, Beirut: Dar Al-Ulum Al-Malayin, 1977,hlm.109.
[12]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm.31-32.
[13]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis Disusun Berdasarkan Kurikulum Terbaru Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2008, hlm. 159.
[14]Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits, Bandung : PT Alma’arif, 1974, hlm. 308-309.
[15]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 33.
[16]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis Disusun Berdasarkan Kurikulum Terbaru Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2008, hlm. 160.

[17]Nuruddin ‘ITR, ‘Ulum Al-Hadits 1, Bandung : Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 1995, hlm. 79-80.
[18]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis Disusun Berdasarkan Kurikulum Terbaru Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2008, hlm. 162.
[19]Ibid, hlm. 163.
[20]Endang Soetari, Ilmu Hadis: Kajian Diriwayah dan Dirayah, Bandung: Mimbar Pustaka, 2005, hlm. 208.
[21]Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits, Bandung : PT Alma’arif, 1974, hlm. 313.
[22]Zeid B. Smeer, UlumulHadisPengantarStudiHadisPraktis, Malang: UIN-Malang Press, 2008, hlm. 135-136
[23]SaefulHadi, UlumulHaditsPanduanIlmuMemahamiHaditsSecaraKonprehensif, Yogyakarta :Sabda Media, 2008, hlm. 114-116
[24] QS.al-Ahzab;ayat-70-71.
[25]Zeid B. Smeer, UlumulHadisPengantarStudiHadisPraktis, Malang: UIN-Malang Press, 2008, hlm.138.
[26]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis Disusun Berdasarkan Kurikulum Terbaru Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2008, hlm. 164-166.
[27]Zeid B. Smeer, UlumulHadisPengantarStudiHadisPraktis, Malang: UIN-Malang Press, 2008, hlm.140.
[28]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis Disusun Berdasarkan Kurikulum Terbaru Nasional Perguruan Tinggi Agama Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2008, hlm. 166-167.
[29]Zeid B. Smeer, UlumulHadisPengantarStudiHadisPraktis, Malang: UIN-Malang Press, 2008, hlm.142.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar