Selasa, 06 September 2016

Macam-Macam Tafsir (PAI B Semester III)




MACAM-MACAM TAFSIR

Mohammad Hasan Mustofa
Firhan Ubaidillah Al-Abrary
Kelas PAI B Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
mohammadhasanmustofa@gmail.com

Abstract : Al-Qur’anul karim is the Allah’s book thats is descended to prophet Muhammad SAW, consist of things related to faith, knowledge, stories, philosophy, rules that arrange the behavior and the way of life of human, either individually or socially, in result having happy life in the world and the hereafter. In ‘Ulum Al-Qur’an perspective, it is found several interpretation terminologies that used frequently, such as Tafsir Bi al-Ma’tsur, Tafsir Bi al-Ra’yi. Tafsir Bi al-Ma’tsur is defined as tafsir that is done by narration, based on Al-Qur’an, Hadits, Shohabah and Tabiin’s narration. Tafsir Bial-Ra’yi is defined as an effort to reveal the contents of Al-Qur’an by ijtihad that is done by appriciating the mind existence.

Keywords : ‘Ulum Al- Qur’an, Tafsir Bi al-Ma’tsur, Tafsir Bi al-Ra’yi 

Pendahuluan
            Tiadalah mustahil apabila sampai saat ini, sesudah berabad-abad yg lewat sejak Kitab Suci Al-Qur’an diturunkan sebagai tuntunan umat manusia, masih juga ada segolongan manusia yang belum mampu menyingkap Rahasia-rahasia Al-Qur’an dan oleh karena itu mereka cenderung beranggapan seolah-olah Al-Qur’an tidak sejalan dengan perkembangan zaman yg sudah modern atau teknologi ini. Padahal jelas dan nyata dapat diketahui dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Surah demi surah isi kandungan Al-Qur’an yg menegaskan, bahwa tiada satupun peristiwa di alam semesta ini, baik peristiwa-peristiwa kecil yg remeh dan sepele, maupun peristiwa-peristiwa besar yg menggegerkan dunia yang luput dari sorotan Al-Qur’an. Tidak satupun menyimpang dari garis ketentuan yg telah terpancang dalam ungkapan-ungkapan Al-Qur’an. Tidak ada istilah “kebetulan”. Karena semua yang terjadi di masalalu, kini, dan masa akan dating sudah terencana dengan sempurna.[1]
            Al-Quranul karim adalah kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafat, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai makhluk individu ataupun sebagai makhluk sosial, sehingga berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.
Al-Quranul karim dalam menerangkan hal-hal tersebut di atas, ada yang dikemukakan secara terperinci, seperti yang berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum warisan dan sebagainya, dan ada pula yang dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja. Yang diterangkan secara umum dan garis-garis besarnya ini, ada yang diperinci dan dijelaskan hadist-hadist Nabi Muhammad SAW, dan ada yang diserahkan pada kaum muslim sendiri yang disebut Ijtihad.
Kalau pada masa Rasul saw., para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada Rasul saw., maka setelah wafatnya mereka harus melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan, seperti Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya. Pada konteks seperti inilah, tafsir atas ayat-ayat Al-Quran diperlukan.
Dalam perspektif 'ulum Al-Quran, setidaknya ditemukan beberapa terminology penafsiran yang sering digunakan yaitu tafsir Bi al-Ma'tsur, tafsir Bi al-Ra'yi. Tafsir Bi al-Ma'tsur diartikan sebagai tafsir yang dilakukan dengan jalan riwayat, yakni Penafsiran bersumberkan Al-Quran, Hadits, Riwayat Shahabat Ra. dan Tabi’in Ra. Tafsir Bi al-Ra'yi didefinisikan sebagai upaya menyingkap isi kandungan Al-Quran dengan ijtihad yang dilakukan dengan mengapresiasi eksistensi akal.
Oleh karena perlu kiranya dikaji secara utuh dan mendalam tafsir tersebut sehingga pemahaman terhadap tafsir tidak dangkal, baik tafsir bi al-ma'tsur, maupun tafsir bi al-ra’yi.

Definisi Ilmu Tafsir
            Tafsir pada lughat, ialah : “menerangkan dan menyatakan”. Atau  الإيضاح والتبيين.[2]
Dan juga menurut istilah adalah :
Kata Al-Kilby dalam At Tas-hiel :
التفسير : شرح القرآن وبيان معناه والإفصاح بما يقتضيه بنصه اواشارته اونجواه
Tafsir itu, ialah : mensyarahkan Al-qur’an, menerangkan ma’nanya dan menjelaskan apa yg dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyarahnya, ataupun najuannya.[3]
Kata Az Zarkassy dalam Al-Burhan :
التفسيربيان معانى القرآن واستخراج احكامه وحكمه
“Tafsir itu, ialah : menerangkan makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hokum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”.[4]
            Kalimat tafsir, diambil dari kalimat tafsirah, yaitu : perkakas yang dipergunakan tabib untuk mengetahui penyakit orang sakit.[5] Menurut Prof. Hasby Ash-Shiddieqiy, tujuan mempelajari ilmu tafsir ialah memahamkan makna-makna Al-Qur’an, hokum-hukumnya, hikmat-hikmatnya, akhlak-akhlaknya dan petunjuk-petunjuknya yg lain untuk memperoleh kebahagiaan dunia akhirat.[6] Dan menurut istilah lain, pengertian tafsir ialah ilmu yang mempelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW.[7]
Metode tafsir Al-Quran apabila ditinjau dari segi sumber penafsirannya, ada 2 macam, yaitu : Tafsir Bi al-Ma’tsur, dan Tafsir Bi al-Ra’yi

Definisi Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bil Ra’yi beserta contohnya.
·         Tafsir Bil Ma’tsur beserta contohnya
Tafsir bil Ma’tsur (Riwayat) ialah rangkaian keterangan yang terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah, atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu penafsiran Al-Qur’an dengan As-Sunnah. Dengan demikian ,Tafsir bil Ma’tsur adalah tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, penafsiran Al-Qur’an dengan As-Sunnah, atau penafsiran Al-Qur’an menurut atsar yg timbul dari kalangan sahabat.
a.       Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Contoh            :          
Penafsiran Al-Qur’an dari firman Allah      :

أُحِلَّتۡ لَكُم بَهِيمَةُ ٱلۡأَنۡعَٰمِ إِلَّا مَا يُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ  
Artinya           :
“Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu”
(Q.S. Al-Maidah: 1)
          Dijelaskan oleh firman Allah                        :
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ
Artinya           :
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”
(Q.S. Al-Maidah: 3)

b.      Tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah
Contoh            :
Rasulullah SAW menjelaskan “zalim” dengan “syirik” dalam firman Allah :


ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَمۡ يَلۡبِسُوٓاْ إِيمَٰنَهُم بِظُلۡمٍ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلۡأَمۡنُ وَهُم مُّهۡتَدُون
Artinya           :
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”
(Q.S. Al-An’am: 82)

Rasulullah mengatakan penafsiran ini dengan firman Allah :
إِنَّ ٱلشِّرۡكَ لَظُلۡمٌ عَظِيمٞ
Artinya           :
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezaliman yang besar.”
(Q.S. Luqman: 13)

·         Tafsir Bil Ra’yi beserta contohnya
Tafsir bil Ra’yi menurut bahasa berarti al-i’tiqadu (keyakinan), al-aqlu (akal), dan al-tadbiru (perenungan). Ahli Fiqih yang sering berijtihad, biasa disebut sebagai ashab al-ra’yu. Karena itu tafsir bi al-ra’yi disebut juga sebagai tafsir bi al-aqly dan bi al-ijtihady, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.[8]
Menurut istilah, tafsir bi al-ra’yi adalah upaya untuk memahami nash Al-Qur’an atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir) yg memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafadz-lafadznya dan dalalahnya, mengerti sya’ir-sya’ir Arab sebagai dasar pemaknaan, mengettahui betul asbabunnuzul, mengerti nasikh dan mansukh di dalam Al-Qur’an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir.[9]


Dalam menerima tafsir bi al-ra’yi, para ulama terbagi ke dalam dua kelompok.
1)      Kelompok yang melarangnya
Ulama  yang menolak penggunaan “corak” tafsir ini mengemukakan argumen-argumen berikut ini:
a.              Menafsirkan Al-Quran berdasarkan ra’yi berarti membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian, hasil penafsirannya hanya bersifat perkiraan semata. Padahal, Allah berfirman:
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا
Artinya :
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”(QS. Al-Isra: 36)
b.              Yang berhak menjelaskan Al-Quran hanyalah Nabi, berdasarkan firman Allah:
 وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ 
Artinya:
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (Q.S. Al-Nahl: 44)
c.              Rasulullah bersabda:
مَنْ قَالَ فِى الْقُرْانِ بِرَأْيِهِ أَوْبِمَا لَا يَعْلَمْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ
Artinya:
Siapa saja menafsirkan Al-Quran atas dasar pikirannya semata, atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya, maka persiapkanlah mengambil tempat di neraka
d.             Sudah merupakan tradisi di kalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran Al-Quran.

2)      Kelompok yang mengizinkannya. Mereka mengemukakan argumentasi-argumentasi berikut:
a)     Di dalam Al-Quran banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan-kandungan Al-Quran.
b)     Seandainya tafsir bi Ar-ra’yi dilarang, mengapa ijtihad diperbolehkan. Nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat Al-Quran.Ini menunjukkan bahwa umatnya diizinkan berijtihad terhadap ayat-ayat yang belum dijelaskan Nabi.
c.       Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan Al-Quran dengan ra’yi-nya.Seandainya tafsir bi Ar-ra’yi dilarang, tentunya tindakan para sahabat itu keliru.
Selanjutnya, para ulama membagi “corak” tafsir bi al-ra’yi pada dua bagian: Ada tafsir bi ar-ra’yi yang dapat diterima/terpuji (maqbul/mahmudah) dan ada pula yang ditolak/tercela (mardud/madzmum). Tafsir bi ar-ra’yi dapat diterima selama menghindari hal-hal berikut:
1.      Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
2.      Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah (otoritas Allah semata)
3.      Menafsirkan Al-Quran dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya)
4.      Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham madzhab tersebut.
5.      Menafsirkan Al-Quran dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian tanpa didukung dalil. (ada indikasi copy-paste dari http://tafsirdanpembagiannya.blogspot.co.id/2015/04/makalah-tafsir-dan-pembagiannya_5.html dll)

Sejarah Kemunculan Tafsir Bil Ma’tsur dan Bil Ra’yi
            Setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, Al-Qur’an berada pada hafalan para sahabat, mereka membacanya dan mempelajarinya dan menafsirkannya sepanjang masa. Kemudian muncullah madrasah tafsir di Makkah, Madinah, dan Iraq. Hijaz menetapkan tafsir bil ma’tsur, berbeda dengan Iraq yang menetapkan tafsir bil ra’yi. Dengan demikian maka muncullah 2 sumber dan kecenderungan penafsiran Al-Qur’an, yaitu tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi.[10]
            Gabungan dari ketiga masa di atas yaitu penafsiran Rasul SAW,  penafsirtan Sahabat-Sahabat, dan penafsiran Tabi’in dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamakan Tafsir Bil Ma’tsur. Periode ini berakhir dengan berakhirnya masa Tabi’in, sekitar tahun 150 H.  Dan pada periode keddua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya dan bermuncullah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan social semakin menonjol dan timbullah beberapa persoalan pada masa Nabi Muhammad SAW., para Sahabat dan Tabi’in.[11]
            Sedangkan Tafsir Bil Ra’yu ini dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah. Al-Jahidh, An-Nadhom adalah tokoh-tokoh yang menafsirkan Al-Qur’an dengan akal dalam abad keempat. Maka lahirlah Tafsir yang disusun oleh Abu Muslim Al-Asfahany (322 H). Tafsir ini bernama Jami’ut Ta’wil yang memiliki inti tafsir yg dinukilkan oleh Ar-Razi ke dalam tafsirnya yang bernama Al-Muqtathaf. Kemudian dalam abad kelima datanglah Jaru’llah Az Zumakhsyary (467 – 528 H) menulis tafsirnya yang bernama Al-Kasysyaf. Maka ditangannya lah Tafsir bil ra’yi (ma’qul) mencapai puncaknya. Az Zumakhsyary menerangkan dengan sempurna segal rahasia balaghah Al-Qur’an. Dan terkenallah tafsir ini dalam kalangan ulama sebagai suatu pedoman di dalam menerangkan balaghoh Al-Qur’an.[12]



Contoh-Contoh Kitabnya
1.           Tafsir Bi al-Ma’tsur[13]

Contoh Kitab
Karya
-       Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran
-       Tafsir Ma’alimut Tanzil
-       Al-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bi Al
Mat’tsur
-       Tafsir Al Bustan

-       Tafsir Al-Quran Al-Adzim
-       Ibnu Jarir Ath-Thabari
-       Aal-Baghawy
-       Jalal Ad-Din As-Suyuthi

-       Abul Laits As
Samaraqandy
-       Ibnu Katsir







2.           Tafsir Bi al-Ra’yi[14]

Contoh Kitab
Karya
-       Mafatih Al-Ghaib
-       Anwar At-Tanzil wa Asrar at-Takwil
-       Madarik At-Tanzil wa Haqa’iq Al
Takwil
-       Irsyadul ‘Aqlis Salim
-       Tafsir As Sirajul Munir
-       Fakhruddin Ar-Razi
-       Al-Baidhawi
-       An-Nasafi

-       Abu Su’ud Al Im’ady
-       Al Khatib Asy Syabiny






Daftar Pustaka
Abdurrahman, Khalid, Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu, (Beirut: Dar al-Nafa’is, 1986)

Al-Dzahabi, Husein, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Al-Qahirah: Maktabah Wahbab, 2003), Jilid 1, hal 183. Baca juga Khalid Abdurrahman Al-‘Ak, ibid. Lihat juga karya Afaf Ali Najar, Al-Wafiz fi Manahij al-Mufassirin, (Al-Qahirah: Maktabah Al-Azhar)

Anshori, Tafsir Bil Ra’yi Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Ijtihad (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010)

Ash Shiddieqy, Hasby, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994)

Mahmoud, Musthafa, Rahasia Al-Qur’an (Surabaya: Media Idaman Surabaya, 1989)
Shaabuuniy, Muhammad Aly Studi Ilmu Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1998)
Sirojuddin Iqbal, Mashuri, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Angkasa, 1989)

Syahatah, Abdullah, Ulum al-Tafsir, (Cairo: Dar al-Syuruq, 2001)

Syihab, Muhammad Quraish, Membumikan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 1992)




Catatan Revisi:
1.      Makalah ini dari sisi kuantitas halaman masih belum sesuai dengan apa yang dipaparkan dalam SAP.
2.      Penulisan nama penulis dalam footnote tidak usah menggunakan gelar.
3.      Contoh tafsir dari sahabat dan tabi’in belum dijelaskan.
4.      Berikan contoh tafsir bil ra’yi yang mahmud dan madzmum.
5.      Yang dibold hanya Sub-judul saja.
6.      Pengetikan tolong lebih diteliti lagi, misalnya judul buku dalam footnote harus italic semua dan format daftar pustaka diselaraskan.
7.      Keterangan identitas kitab tafsir dan penulisnya tolong dipaparkan juga, bukan hanya dibuat tabel.

Saya mengapresiasi makalah ini karena telah berani merujuk langsung pada literatur berbahasa Asing (Arab). Supaya lebih bagus, pada pertemuan besok tolong dibawakan seluruh kitab berbahasa Arab tersebut agar menambah nilai yang Anda dapatkan.



[1] Dr.Musthafa Mahmoud, Rahasia Al-Qur’an (Surabaya: Media Idaman Surabaya, 1989), hal 5
[2] Prof. Dr. Muhammad Aly Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal 244
[3] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), hal 178
[4] Ibid., 178
[5] Ibid., 179
[6] Drs. Mashuri Sirojuddin Iqbal, Drs. A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Angkasa, 1989), hal 89
[7] Prof. Dr. Muhammad Aly Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal 245
[8] Khalid Abdurrahman Al-‘Ak, Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu, (Beirut: Dar al-Nafa’is, 1986), hal 167
[9] Husein Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Al-Qahirah: Maktabah Wahbab, 2003), Jilid 1, hal 183. Baca juga Khalid Abdurrahman Al-‘Ak, ibid. Lihat juga karya Afaf Ali Najar, Al-Wafiz fi Manahij al-Mufassirin, (Al-Qahirah: Maktabah Al-Azhar), hal 56
[10]Abdullah Syahatah, Ulum al-Tafsir, (Cairo: Dar al-Syuruq, 2001), hal. 25
[11] Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 1992), hal 71
[12] Prof. Dr. Muhammad Aly Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal 230-231
[13] Prof. Dr. Muhammad Aly Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal 238-239
[14] Ibid.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar