Rabu, 07 September 2016

Macam-Macam Tafsir (PBA D Semester III)




MACAM – MACAM TAFSIR

 Nailatus Sa’adah, Uyunul Hikam
PBA – D UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail : nailitus96@gmail.com

Abstract :This article talks about Tafsir, Tafsir etymologically means to explain and express. Meanwhile, according to the interpretation of the term is the science which deals with how to pronounce lafadh - lafadh Qur'an, meaning - meaning it represents and the law - the law, either as stand-alone or composed, and meaning - meaning that possibility when it is composed. In the field of science, the interpretation has become a separate Islamic disciplines, after a while is an inherent part of study al hadith, in addition to the field - the other disciplines. Tafsir has been progressing methodically and stubtansial. Occurrences stream commentary and bi bil ma'tsur ra'yi helped give color to the Muslim thought. On the other hand, there are quite serious problems in the body tafsir bil ma'tsur, namely the emergence of variant history, from history shohih to accurate and valid up to history that can not be accounted for according to the parameters - and rijalul sanad hadith - in the discipline Ulumul hadith. That is why, at the same time tafsir bil ma'tsur is facing serious problems, because there has been a blend various history.
The scholars have done a division of the book - the book of essays concerning al - Qur'an and books - books that different methods and schools of writing - into four different kinds of methods, namely interpretation Tahlily, Ijmaly interpretation, interpretation Muqaran, Maudlu'y interpretation.

Keyword : commentary, meaning of bil Ma’tsur, meaning of bi Ra’yi

Pendahuluan
Tafsir menurut bahasa berarti keteragan atau penjelasan. Sedangkan menurut istilah menurut : 1. Al Jurjany : Tafsir ialah membuka dan menjelaskan. Pada istilah syara’, ialah: menjelaskan makna ayat, keadannya, kisahnya, dan sebab yang karenanya ayat diturunkan, dengan lafadh yang menunjukkan kepadanya dengan jelas sekali. 2. Az- zarkasyi: tafsir ialah suatu pengetahuan yang dengan pengetahuan itu dapat dipahamkan kitabulloh yang diturunkan kepada nabinya Muhammad SAW, menjelaskan maksud – maksudnya, mengeluarkan hukum – hukumnya dan hikmah – hikmahnya. 3. Asy – Syaikh Thahir Al Jazairy: tafsir pada hakikatnya ialah mensyarahkan lafadz yang sukar dipahamkan oleh pendengar dengan uraian yang menjelaskan maksud. Yang demikian itu adakalanya dengan menyebut murodifnya, atau yang mendekatinya, atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melaui suatu jalan dalalah (petunjuk). 4. Al – kilby dalam at- Tashil: Tafsir itu ialah mensyarahkan al-Qur’an, menerangkan maknanya dengan menjelaskan apaa yang dikehendakinya dengan Nashnya atau dengan isyaratnya, ataupun dengan najuanya.[1]
Tafsir secara etimologis berarti menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan menurut istilah tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafadh – lafadh Al-qur’an, makna – makna yang ditunjukkannya dan hukum – hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna – makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun. Di bidang keilmuan, tafsir telah menjadi disiplin ilmu keislaman tersendiri, setelah beberapa saat merupakan bagian inheren studi al hadits, di samping bidang – bidang keilmuan yang lain. Tafsir telah mengalami perkembangan secara metodologis dan stubtansial. Kemunculan aliran tafsir bil ma’tsur dan bi ra’yi turut memberikan warna bagi pemikiran muslim. Di sisi yang lain, ada persoalan yang cukup serius di tubuh tafsir bil Ma’tsur, yaitu dengan munculnya varian riwayat, dari riwayat yang shohih sampai akurat dan valid sampai hingga riwayat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan menurut parameter – sanad dan rijalul hadits – dalam displin ulumul hadits. Itulah sebabnya, pada waktu yang bersamaan tafsir bil Ma’tsur sedang menghadapi masalah serius, karena telah terjadi pembauran berbagai riwayat.

Para ulama telah melakukan pembagian tentang kitab – kitab karangan menyangkut al – Qur’an dan kitab – kitab yang metode dan madzhab penulisannya berbeda – beda menjadi empat macam metode, yaitu tafsir Tahlily, tafsir Ijmaly, tafsir Muqaran, tafsir Maudlu’y. 

Tafsir Tahlily merupakan suatu tafsir yang mengkaji ayat – ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya. Metode tahlily merupakan metode yang digunakan oleh para ulama terdahulu. Dalam metode ini para mufassir mengkaji ayat – ayat al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan mushaf Utsmani, yang dikaji yaitu menguraikan ayat al-Qur’an dari kosakata dan lafadh , menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur I’jaz dan balaghoh dan keindahan susunan kalimat.Metode Thalily dibagi lagi menjadi tujuh macam: yaitu tafsir bil Ma’tsur, tafsir bi al-Ra’yi, tafsir Shufy, tafsir Fiqhy, tafsir Falsafy, tafsir ‘Ilmy, tafsir Adaby.[2]

Tafsir bil Ma’tsur

Tafsir bil Ma’tsur menurut sebagian pendapat adalah corak tafsir al-Qur’an yang dalam operasional penafsirannya mengutip dari ayat – ayat al-Qur’an itu sendiri dan dari hadits – hadits Nabi Muhammad SAW, pendapat sahabat dan tabi’in. Pengertian lain tafsir bil  Ma’tsur, yaitu penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur’an terhadap ayat al-Qur’an yang lain,  ada kesinambungan antara ayat sebelum dan sesudah, juga surat sebelum dan sesudah. Namun pendapat dari tabi’in tidak dimasukkan dalam tafsir bil ma’stsur, tetapi dimasukkan dalam golongan tafsir bi al-ra’yi. Pendapat tabi’in tidak dimasukkan dalam penafsiran bil ma’tsur karena menurut para mufassir pendapat para tabi’in sudah banyak terkooptasi akal, atau karena dalam penafsiran al-Qurannya lebih mementingkan kaidah – kaidah bahasa tanpa memperlihatkan lebih jauh dari segi riwayatnya.[3]

التفسير بالمأثور هو الذي يعتمد على صحيح المنقول بالمراتب التي ذكرت سابقا في شروط المفسر : من تفسير القرأن بالقرأن أو بالسنة لأنها جاءت مبينة لكتاب الله, أو بما روي عن الصحابة لأنهم أعلم الناس بكتاب الله, أو بما قاله كبا ر التابعين لأنهم تلقوا ذلك غالبا عن الصحابة.
Menurut Manna Qathan, tafsir bil Ma’tsur ialah tafsir yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang shohihsecara tertib yang sebagaimana telah diceritakan dalam syarat – syarat mufassir, antara lain : menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau dengan as – Sunnah karena sunnah merupakan penjelas bagi kitabulloh, atau dengan riwayat – riwayat yang diterima dari para sahabat sebab mereka lebih mengetahui tentang Kitabulloh, atau dengan riwayat – riwayat dari tabi’in besar sebab mereka telah menerimanya dari para sahabat.[4]

Menafsirkan al-Qur’an dengan tafsir bil Ma’tsur adalah suatu jalan yang terbaik untuk mengetahui pengetahuan yang benar, jalan yang paling baik untuk memelihara dari penyelewengan – penyelewengan dalam Kitabulloh. Sedangkan menggunakan denga tafsir bi Ra’yi yang semata-mata menafsirkan dengan akal adalah haram.

“ Barang siapa menafsirkan al-Qur’an dengan akalnya atau dengan sesuatu yang tidak diketahuinya, maka hendaklah menyediakan tempatnya di neraka “. (HR. at - Tirmidzi, dan Nasa’I dan Abu Dawud.  At – Tarmidzi berkata: bahwa hadits shohih)

Mengikuti tafsir bil Ma’tsur tidak diperselihkan lagi, harus diikuti meskipun ada perbedaan penafsiran terhadap suatu lafadz al-Qur’an seperti ada yang menafsirkan “ ash- Shirotol Mustaqim’ dengan al-Qur’an, atau ada yang menafsirkannya dengan Islam. Kedua penafsiran tersebut, satu sama lain saling mendekati artinya sebab agama Islam ialah agama yang mengikuti al-Qur’an.

Perkembangan tafsir bil Ma’tsur melalui dua periode, yaitu periode dimasa Rasululloh Saw dan periode pembukuan. Pada periode pertama yaitu peiode pada masa Rasululloh SAW, Khulafaur Rsayidin dan para sahabat yang lain yakni pada abad pertama dan kedua tahun hijriyah. Periode ini disebut dengan periode Syafahiyah atau pengajaran secara langsung, artinya para sahabat langsung belajar dan menerima penafsiran yang diberikan oleh Rasululloh SAW. Mereka menghafalnya di luar kepala, dan menyampaikannya kepada sahabat – sahabat lain dan tabi’in meriwayatkannya dari meraka dengan periwayatan yang benar.  Semasa Rasululloh Saw hidup beliau melarang para sahabat untuk menulis hadits agar al-Qur’an dengan jelas dapat dibedakan dari hadits dengan struktur kalimatnya yang merupakan mu’jizat. Dengan begitulah, al-Qur’an tetp murni, autentik, tidak bercampur aduk dengan yang lainnya, seperti: hadits.

Periode kedua, yaitu periode pembukaan.Pada periode ini dibukukan segala yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dan para sahabat, baik itu yang terjadi pada permulaan tahun 100 atau 200 Hijriah.

Yang lebih mendekati kebenaran (rajih) adalah bahwa sekalipun pembukuan Hadits-hadits Rasulullah SAW telah dimulai pada masa sahabat, akan tetapi penyusunannya dalam bentuk yang dikenal sekarang, pemisahan tafsir dari hadits, pembagian bab-bab dan sistematikanya sehingga menjadi satu bidang ilmu tersendiri, terpisah dari bidang lainnya, barulah terjadi pada abad ketiga hijriah, seperti tafsir Imam Ibn Jarir Al-Thabary dan lain-lain.

Kemudian, pembukuan tafsir bi al-Ma`tsur mengambil bentuk dengan tanpa menyebutkan sanad-sanadnya.Ulama tafsir benyak menukil hadits-hadits yang menafsirkan. Al-Qur`an dengan tanpa membedakan antara hadits yang shahih dan yang tidak shahih, sehingga dalam kitab-kitab tafsir banyak ditemukan haits-hadits Maudlu` dan cerita-cerita Isrsiliyat yang berhasil diugkap oleh ulama lain dan mereka menjelaskan, bahwa semua itu adalah tidak benar. Sampai mereka menilai hadits-hadits yang diriwayatkan sebagai penafsir sekian banyak surat dalam Al-Qur`anitu tidak dapat dikatakan sebagai hadits shahih kecuali pada sedikit surat dalam Al-Qur`an. Mereka menyatakan, bahwa sebagian kaum muslimin telah menambahkan hadits-hadits palsu dengan tujuan agar kaum muslimin terdorong dan terangsang untuk membaca Al-Qur`an setelah dilihat kenyataan, bahwa kaum muslimin telah berpaling dari membaca Al-Qur`an, sebaliknya mereka lebih menyukai membaca wirid-wirid dan dzikir-dzikir. Akan tetapi ini adalah alasan yang sama sekali tidak dapat melepaskan diri mereka dari dosa, oleh karena tidaklah boleh mendustakan kepada Rasulullah SAW sekalipun dengan sebab dan motivasi yang baik.[5]

Contoh ayat yang ditafsirkan dengan tafsir bil Ma’tsur:
فإذا قرأت القرأن فاستعذ با الله من الشيطان الرجيم

Apabila kamu membaca al-Qur’an, maka berlindunglah kamu kepada Alloh dari setan yang terkutuk. Kapan Isti’adzah harus dibaca? Sesudah menbaca al-Qur’an, kata sebagian sahabat (seperti Abu Hurairah) dan tabi’in seperti (Malik dan dawud). Sebelum membaca al-Qur’an, kata sebagian besar sahabat, tabi’in, dan ulama’. Kita mengatakan kedua – duanya. Sebelum membaca al-Qur’an setan akan memasukkan keraguan (waswas)untuk membaca firman Alloh. Sesudah membaca al-qur’an setan akan memasukkan keraguan untuk menerima firman Alloh dan (apalagi) melaksankannya.[6]
            Salah satu ahli Tafsir yang terkenal yaitu Ibnu  Abbas. Dalam setiap problem penafsiran, Ibnu Abbas senantiasa menjadi sumber informasi hal – hal ghoib dan kadangkala dia nampak seperti Tuhan. Salah satu contoh ayat yang ditafsirkan adalah pada surat al – Baqoroh ayat 266. Ketika itu kaum mukmin telah dilanda kebbingungan menegenai makna dari ayat tersebut.

أيود أحدكم أن تكون له جنة من نخيل وأعناب تجري من تحتها الأنهار له فيها من كل الثمرات وأصابه الكبر وله ذرية ضعفاء فأصابها إعصار فيه نار فاحترقت كذلك يبين الله لكم الأيات لعلكم تتفكرون.
Umar lantas bertanya kepada seluruh orang tentang makna ayat yang membingungkan ini, tetapi dia tidak menemukan seorang pun yang dapat memberikan kepadanya jawaban yang memuaskan (dalam riwayat lain berkata “Alloh lebih mngetahui”, lalu Umar pun marah dan berkata : katakanlah, yahu atau tidak tahu). Kemudian Ibnu Abbas yang berada di belakangnya dengan sikap tawaddu’ dan berkata : “dalam diriku ada sedikit pengetahuan tentang itu, wahai Amir al-Mukminin “. Umar mendekatinya dan berkata: “katakanlah wahai putra saudaraku, jangan kau rendahkan dirimu”. Maka Ibnu abbas menjelaskan: “ ini adalah perumpamaan  yang diberikan Alloh dan dia mengatakan: apakah salah seorang diantara kamu sekalian ingin beramal sepanjang usianya dengan amalan orang- orang baiak dan bahagia, sehingga ketika dia lebih butuh untuk dapat menutup usianya dengan perbuatan baik, ketika usianya sudah mulai habis dan ajalnya sudah dekat, maka dia menutupnya dengan perbuatan orang – orang yang celaka dan merusak seluruhnya dan niscaya Dia telah membakar apa yang dibutuhkan olehnya” (Al-Thabari, jilid II, hal.46)[7]

Contoh kitab tafsir yang menggunakan tafsir bil Ma’tsur : Jami’ al bayan fi tafsir al-Qur’an karangan Imam Ibn Jarir al-Thabari, Ma’alim al-Tanzil yang dikenal dengan al- Tafsir al-Manqul karangan Imam al-Baghawy, Tafsir al-qur’an al-‘Adhim karangan Abu al-Fida’ Ismail Ibn Katsir  (Ibn Katsir).

Tafsir bi Ra’yi

Tafsir birra’yi Mulanya, para ulama enggan menafsirkan ayat-ayat alqur’an, apalagi ada atsar yang menyatakan : “Barang siapa yag menafsirkan alqur’an menurut ra’yu (pendapat/akal) , dan ia benar, maka ia telah salah. Kemudian mereka menolak segala bentuk penafsiran yang berdasarkan pada ra’yu semata, kecuali yang memiliki dasar atau memenuhi persyaratan menurut standar mereka. [8]

Setelah itu, muncul dalam islam berbagai golongan, dan setiap golongan berusah untuk memahami alqur’an  sesuai standar masing-masing. Islam mengalami perluasan dan perkembangan ke berbagai daerah, sehingga terjadi pula perkembangan pengetahuan keislaman dengan berbagai macam ragamnya. Demikian pula para ulama semakin mendalami ilmu-ilmu yang ditekuninya yang ditandai dengan munculnya berbagai hasil dari karya ilmiah mereka, termasuk tafsir alqur’an dengan berbagai macam corak dan orientasi sesuai dengan latar belakang ilmu mereka.

Berbagai  corak penafsiran alqur’an muncul disebabkan kenyataan bahwa banyak kalagan mufasir yang menguasai ilmu-ilmu lain, seperti ahli fiqih,bahasa, filsafat, falak, kedokteran,ilmu kalam, dan lain sebagainya. Selain itu alqur’an diturunkan bukan hanya untuk muhammad dan masanya tetapi untuk umat seterusnya. Pemahaman umat yang sekarang terhadap alqur’an tentu berbeda dengan penafsiran umat terdahulu.

Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika muncul para mufasir yang menafsirkan ayat-ayat alqur’an dengan menonjolkan pembahasannya berdasarkan ilmu-ilmu lain yang mereka kuasai. Misalya : Az-zamakhsyari dalam segi ilmu balaghah, Ar-qurtubi dalam perincian hukum syara’, Abi  su’ud dalam keindahan bahasa dan susunannya, An-nasafi dalam macam-macam ilmu qiraat, serta Ar-razi dalam berbagai pemahaman ilmu kalam dan filsafat. Kemudian terbitlah berbagai kitab tafsir, dimana peran ijtihad dan ra’yu para mufasirnya tampak denga jelas.[9]

التفسير بالرأي هوما يعتمد فيه المفسر في بيان المعنى على فهمه الخاص واستنباطه بالرأي المجرد و ليس منه الفهم الذي يتفق مع روح الشريعة.
Pengertian dari tafsir birra’yi sendiri  ialah suatu tafsir dimana mufassir dalam menjelaskan makna ayat bedasarkan pemahaman dan istinbatnya dengan akal semata mata yakni bukan pemahaman yang sesuai dengan ruh syari’ah, sedangan hukum mengikuti tafsir birra’yi yang semata mata akal adalah haram[10].

Menurut imam Al-Farmawi, tafsir birra’yi yang lebih terperinci dan pembagiannya ada dua, yakni :
a.       Tafsir birra’yi yang terpuji dan dapat di terima, yaitu apabila mufasirnya telah memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati bagi seorang mufasir serta meninggalkan lima hal yang dilarang baginya.
b.      Tafsir birra’yi yang tercela dan tak dapat diterima, yaitu apabila mufasirnya tidak dapa memenuhi syarat-syarat bagi seorag mufasir serta tidak telepas dari lima hal yang terlarang.[11]



Ulama salaf yang paling keras menentang tafsir birra’yi ialah ibnu taimiyah. Ia tidak mau mempergunakan ijtihad dalam soal tafsir. Menurutnya tafsir dengan semata-mata ijtihad haram hukumnya. Selanjutnya ibnu taimiyah mengtakan :“orang yang tergesa-gesa menafsikan alqur-an berdasarkan pada ilmu bahasa dengan tidak memerlukan naqal dalam hal-hal yang mengenai lafadz-lafadz yang gharib, lafadz-lafadza yang mubham dan lafadz-lafadz yang mubadal dan dalam hal ikhtisar, hadzf, idlmar, taqdim dan ta’khir, akan menghadapi kesalahan masuk ke dalam golongan orang yang menafsirkan alqur-an dengan pikiran”.

Pendirian ibnu taimiyah yang keras ini ialah karena pada masa itu timbul kaum batiniah yang mempergunakan hawa nafsunya dalam menetapkan makna-makna al-quran. Maka untuk membendung aliran-aliran tersebut, ibnu taimiyah mempertahankan pokok pemikirannya.

Diantara tafsir-tafsir palsu yang sesat yang mau dibendung oleh ibnu taimiyah ialah: haqaiqut tafsir karangan abuabdur rahman as-sulami, tafsir al ajaaib wal gharaib karangan mahmud bin hamzah al-kurmani, tafsir “isyari” karangan syaikh akbar muhyiddin ibnul araby.

Sedangkan tafir birra’yi yang cenderung mempertahankan madzab mu’tazilah ialah tafsir yang dikarang oleh az-zamakhsyari (al-kasysyaf), dan tafsir maftihul ghaibi.

Sebagai seorang penganut golongan ahlus sunnah wal jamaah, imam al-ghazali mengetengahi antara:
a.       Tafsir birra’yi ekstrim (tafsiri batini) versus tafsir bilma’tsur asli (ibnu taimiyah)
b.      Tafsir birra’yi setengah ekstrim ( mu’tazilah ) versus tfsir bima’tsur asli (ibnu taimiyah) plus tafsir ibnu jarir ath-thabari

Menurut al-ghazali, kita wajib memahamkan al-quran denga nash semata-mata jika kita memperolehnya. Adapun di tempat-tempat yang tidak diperoleh nash yang sahih, maka dipergunakanlah ijtihad. Pintu ijtihad dibuka selebar lebarnya oleh imam al-ghazali bagi mereka yang berkeahlian dalam mengistinbathkan hukum dari al-quran dengan syarat tidak menyalahi sesuatu yang tega dari nabi SAW.

Menurut al-ghazali kita dilarang mempergunakan ijtihad pada dua tempat :Pertama , mempergunakan ijtihad untuk mempertahankan makut-maksut tertentu yag sesuai dengn hawa nafsu. Kedua : menetapkan makna –makna alquran berdasarkan pada pengetahuan bahasa dengan tidak memperhatikan apa yang di maksutkan dari kalimat-kalimat itu oleh syara’ sendiri dan tidak memperhatikan perpautan ayat-ayat satu sama lainnya

Pada akhirnya al-ghazali menetapkan bahwa untuk memahami alquran kita tidak boleh berpegang pada naqal semata-mata, sebagaimana juga tidak boleh berpegang pada ijtihad semata-mata . jalan yang lurus ialah mempergunkan naql yang diterima dari nabi jika naqal itu dapat di peroleh dan mempergunakan akala dalam menggali makna-makna dalam alqur-an . tak dapat diragukan bahwa tidaklah akal mencapai sesuatu kenyataan alam, melainkan lebih dahulu telah diisyaratkan oleh al-quran.

Dengan demikian maka kita tidak boleh menafsirkan al-quran dengan mempergunakan ijtihad dalam ayat-ayatb atau lafadz-lafadz yang tidak diterangkan oleh nabi . adapun menafsirkan ayat-ayat yang atau lafadz-lafadz yang sudah diterankan oleh nash nabi, makakita tidak boleh mempergunakan ijtihad[12].

Perlu di sebutkan disini syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mufasir yaitu :
a.       Mempunyai i’tikad yang lurus dan benar serta selalu menetapin ketentan-ketentuan agama
b.      Ikhlas semata-mata bermaksut untuk ber-taqarrub kepada allahdalam setiap amalnya
c.       Selalu bersandar dan berpedoman kepada riwayat yang bersumber dari rasulullah SAW. Dan para sahabatnya serta menjauhi bid’ah
d.      Menguasai 15 ilmu yang di perlukan oleh seorang mufasir, yakni ilmu-ilmu bahasa arab, nahwu sharaf, isytiqaq, ma’ani, badi’, bayan, qiraat, usuluddin, usul al fiqh, asbab an nuzul, an nasikh wa mansukh, fiqih, hadis, dan ilmu mauhibah.


Diantara lima hal yang harus ditinggalkan atau dilarang bagi seorang mufasir ialah sebagai berikut :
a.       Memaksa untuk cepat- cepat merasa paham maksut ayat tanpa lebih dahulu memenuhi syarat-syarat seorang mufasir
b.      Terlalu jauh memasuki hal-hal yang merupakan monopoli allah untuk mengetahuinya
c.       Melakukann kegiatan berdasarkan hawa nafsu dan mencari keuntungan diri sendiri
d.      Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung pendapat madzhab yang fasid
e.       Memastikan bahwa tafsirannya itulah satu-satunya yang sesuai dengan maksut suatu ayat tanpa membedakan dalil

Syarat-syarat yang diterapkan oleh jumhur mufasirin bagi tafsir birra’yi seperti yang dikemukakan di atas, tampaknya merupakan jalan keluar dari perbedaan pendapat yang terjadi diantara para ulama’. Yakni disatu pihak yang membolehkan penafsiran birra’yi dengan dalilnya antara lain bahwa alqur’an sendiri yang mendorong untuk menggunakan ijtihad atau ra’yu dalam merenungkan arti ayat-ayat dan memahami pokok-pokok kandungannya.

 Sementara itu ulama yang menolak pemakaian tafsir birra’yi adalah untuk menghindari terjadinya penafsiran alquran oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu bahasa arab dan pokok-pokok agama. Atau penafsiran ayat-ayat alquran hanya untuk mendukung hawa nafsunya saja. Sedangkan pinsip-pinsip yang di sepakati oleh kalangan sunni dan mu’tazilah dalam penafsiran alquran adalah :
a.       Penafsiran harus sesuai degan pengertian bahasa
b.      Ayat yang mutasyabih ditafsirkan oleh ayat yang muhkam
c.       Ketika menafsirkan suatu ayat tidak mengabaikan riwayat
d.      Tidak taasub pada golongan

Ad-Dzahabi mengemukakan beberapa sumber yang harus dijadikan rujukan oleh seorang mufasir yang menggunakan atau ra’yu-nya agar tafsirnya dapat diterima. Sumber-sumber yang dimaksud ialah :

a.       Al-quran
Dalam menafsirkn suatu ayat ,mufasir yang bersangkutan harus lebih dahulu menguasai dan meneliti ayat-ayat lain yang berkaitan, terdapat ayat sebagai mubayyin atau mufasir , bagi ayat-ayat yang sedang di teliti. Inilah yang dimaksut dengan menafsirkan ayat dengan ayat
b.      Hadits rasulullah saw, yang ada kaitannya dengan ayat yang akan di tafsirkan. Ketika ditemukan hadits sahih yang menafsirkan ayat tersebut, hadit itulah yang harus di pegang, bukan ijthad mufasir
c.       Qaul-al sahabi, yakni riwayat sahih yang bersumber dari sahabat tentang penafsiran suatu ayat yang harus di pegang sebelum menggunakan ra’yu mufasir
d.      Kaiah-kaidah yang telah ditetapkan dalam bahasa arab. Tidak diperbolehkan menafsirkan dengan ijtihad yang bertentangan dengan kaidah-kaidah bahasa arab
e.       Penafsiran dengan ijtihad tidak boleh menyimpang dari makna yang dimaksut dan dikehendaki oleh susunan kata-kata  dalam ayat tersebut

Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa ciri tafsir birra’yi yang terpuji dan dapat diterima tidak pernah mengabaikan bahan-bahan yang ditetapkan secara riwayat , sebaliknya tafir birra’yi yang tercela ditolak karena mengabaikan bahan-bahan riwayat tersebut[13]

Berikut diantara kitab-kitab tafsir birra’yi yaitu :
1.      Tafsir yang disusun oleh abdurrahmn bin kaisan al-sham
2.      Tafsir yang disusun oleh abu ali al- juba’i
3.      Tafsir yang disusun oleh abdul jabbar
4.      Tafsir al-kasysyaf yang di susun oleh az-zamakhshary
5.      Tafsir mafatihul ghaibi yang di susun oleh fakhruddin ar-razi
6.      Tafsir ibnu faurak
7.      Tafsir madarikut tanzil wa haqaiqut ta’wil disusun oleh an-nasafy
8.      Tafsir l- khazin disusun oleh alauddin ali al-baghdady
9.      Tafsir al bahrul muhith, disusun oleh abu hayyan
10.  Tafsir anwarut tanzil wa asrarut taw’il disusun oleh l-baidlawi
11.  Tafsir jalalain di susun oleh jalaluddin al mahali dan jalaluddin as suyuthi
12.  Tafsir irsyadu aqlis salim disusun oleh abu su’ud al-im’ady
13.  Tafsir as-sirajul munir disusun oleh al-khatib asy-syarbini
14.  Tafsir ruhul ma’ni disusun oleh syihabuddin al-alusy
15.  Tafsir fathul bayan disusun oleh shiddiq hasn khan [14]

Kesimpulan

            Tafsir merupakan ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafadh – lafadh Al-qur’an, makna – makna yang ditunjukkannya dan hukum – hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna – makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun.
            Para ulama telah melakukan pembagian tentang kitab – kitab karangan menyangkut al – Qur’an dan kitab – kitab yang metode dan madzhab penulisannya berbeda – beda menjadi empat macam metode, yaitu tafsir Tahlily, tafsir Ijmaly, tafsir Muqaran, tafsir Maudlu’y. 
            Tafsir bil Ma’tsur dan tafsir bi Ra’yi merupakan salah satu penafsiran yang menggunakan metode Tahlily. Metode Tahlily adalah suatu tafsir yang mengkaji ayat – ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya. Metode tahlily merupakan metode yang digunakan oleh para ulama terdahulu.
            Tafsir bil Ma’tsur yaitu corak tafsir al-Qur’an yang dalam operasional penafsirannya mengutip dari ayat – ayat al-Qur’an itu sendiri dan dari hadits – hadits Nabi Muhammad SAW, pendapat sahabat dan tabi’in. Pengertian lain tafsir bil  Ma’tsur, yaitu penafsiran (penjelasan) ayat al-Qur’an terhadap ayat al-Qur’an yang lain,  ada kesinambungan antara ayat sebelum dan sesudah, juga surat sebelum dan sesudah.
Pengertian dari tafsir birra’yi  ialah suatu tafsir dimana mufassir dalam menjelaskan makna ayat bedasarkan pemahaman dan istinbatnya dengan akal semata mata yakni bukan pemahaman yang sesuai dengan ruh syari’ah, sedangan hukum mengikuti tafsir birra’yi yang semata mata akal adalah haram














Daftar Rujukan
Rakhmat,Jalaluddin.Tafsir bil Ma’tsur Pesan Moral al-Qur’an. Bandung:PT.Remaja Rosdakarya.
Syafe’I,Rachmat.2006.Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung : Pustaka
Sirojuddin Iqbal, Mansyuri.1989. Pengantar Ilmu Tafsir,Bandung : Angkasa Bandung
Ilyas, Hamim. 2004 . Studi Kitab Tafsir.  Yogyakarta : TERAS
Goldziher, Ignaz.2003. Madzhab Tafsir,   Yogyakarta: eLSAQ Press

Al-‘Aridi, Ali Hasan. 1994. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Catatan Revisi:
1.      Tidak ditemukan adanya indikasi copy-paste.
2.      Hilangkan pembahasan tentang metode tafsir (tahlili, ijmali, muqaran, maudhu’i) karena itu akan dibahas oleh kelompok yang lain.
3.      Pendahuluannya tolong dirubah, karena apa yang ditulis tidak seperti pendahuluan yang ada dalam artikel ilmiah. Diskusi mengenai makna tafsir secara etimologis dan terminologis bisa ditaruh dalam sub-judul tersendiri.
4.      Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar ditiadakan, baik dalam tulisan inti, footnote, maupun daftar pustaka.
5.      Pelajari lagi cara penulisan footnote dan disamakan, misalnya mengenai judul buku yang harus dicetak miring.
6.      Berikan contoh yang jelas dan terstruktur tafsir bil ma’tsur (al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan sunnah Nabi, dengan pendapat sahabat, dan dengan pendapat tabi’in), juga contoh tafsir bil ra’yi (mahmud dan madzmum).
7.      Identitas kitab tafsir dan pengarangnya tolong dijelaskan secara singkat.
8.      Makalah ini terlihat tidak terstruktur rapi, sehingga pembaca sulit memahaminya. Jadi tolong dirapikan agar sistematis.

Tolong makalah ini diperbaiki dari sisi sistematika penulisannya, agar menjadi makalah yang berkualitas. Semangat!!!



[1] Dr. Hamim Ilyas, M.A, Studi Kitab Tafsir, TERAS, Yogyakarta, 2004, hlm 14-15
[2] Ibid, hlm. 42
[3] Dr. Usman, M.Ag Ilmu tafsir, TERAS, Yogyakarta : 2009, hlm. 25
[4]Drs. Mansyuri Sirojuddin Iqbal dan Drs. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, Angkasa Bandung, Bandung, 1989, hlm 114
[5] Dr. Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 47
[6] Jalaluddin Rkhmat, Tafsir bil Ma’tsur Pesan Moral al-Qur’an, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm.5-6
[7] Ignaz Goldziher, Madzhab tafsir, eLSAQ Press, Yogyakarta, 2003, hlm.98-99.
[8]Prof.Dr.H.Rachmat Syafe’i MA, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka , Bandung, 2006, hlm 242.
[9]Prof.Dr.H.Rachmat Syafe’i MA, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka , Bandung, 2006, hlm 243.
[10]Drs. Mansyuri Sirojuddin Iqbal dan Drs. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, Angkasa Bandung, Bandung, 1989, hlm 115.
[11]Prof.Dr.H.Rachmat Syafe’i MA, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka , Bandung, 2006, hlm 244
[12]Drs. Mansyuri Sirojuddin Iqbal dan Drs. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, Angkasa Bandung, Bandung, 1989, hlm 117.

[13]Prof.Dr.H.Rachmat Syafe’i MA, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka , Bandung, 2006, hlm 245
[14]Drs. Mansyuri Sirojuddin Iqbal dan Drs. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, Angkasa Bandung, Bandung, 1989, hlm 119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar