Senin, 03 Oktober 2016

Maqashid al-Syariah (PAI E Semester III)





Maqashid al-Syariah

Ahmad Adri Mubarok (15110174)
Siti Rohmah (15110187)


Abstrack

talks about maqhosid al-Sharia or Islamic law purposes is an important discussion of Islamic law that does not escape the attention of ulama and experts in Islamic law. some ulama put it in the discussion of usul fiqh, and other  ulama discussing it as a independent lesson and expanded in the philosophy of Islamiclaw. if researched all the instruction and interdiction of Allah in the Qur'an, and a instruction and interdiction by prophet Muhammad saw in the Sunnah is defined in fiqh, it would seem that all have a specific purpose and nothing is uselees. all of which have wisdom(hikmah), namely as a mercy for humans, as stated of the Qur'an, at al-Anbiya: (107), about thepurpose of the prophet Muhammad is be a messager. mercy for all of in the world at that verses, interpreted by the benefit of people. whilesimply, beneficiaries that could be interpreted as a good thing and can be accepted by common sense. It means, reason can know and understand what the motive behind the establishment of a law, namely because it contains a benefit to humans, although explainedthe reason by God or by way of rationalization.
keywords:  maqhosid al-Sharia, ta’lif and illat law.
           


Pengertian Maqashid al-Syari’ah
Terma ‘Maqasid’ berasal dari bahasa Arabمقاصد(maqasid), yang merupakan bentuk jamak kata مقصد(maqsad), yang bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat atau tujuan. Maqasid hukum Islam adalah sasaran-sasaran atau maksud-maksud dibalik hukum itu.[1]Terma ‘al- syari’ah’ berasal dari kata bahasa Arab الشريعةyang brarti jalan yang harus diikuti, yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan, atau sering juga disebut dengan hukum Islam. Dengan demikian, secara sederhana maqashid al-syari’ah berarti maksud-maksud atau tujuan-tujuan disyariatkan hukum Islam.[2]Karena itu, yang menjadi bahasan utama dalam maqashid al-syari’ah adalah masalah hikmah dan ‘illah (alasan) ditetapkanyan suatu hukum. Kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam, sehingga pada akhirnya istilah maqashid al-syari’ah identik dengan filsafat hukum Islam.
Tujuan hukum Islam harus diketahi oleh mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusunya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Qur’an dan sunah. Tujuan hukum harus diketahui dalam rangka mengetahui apakah suatu kasus masih tetap diterapkan berdsarkan satu ketentuan hukum, karena adanya perubahan struktur sosial dapat menyebabkan hukum tidak dapat ditetapkan. Disinilah pentingnya mengkaji tujuan hukum Islam (maqashid al-syari’ah) yang menjadi dasar didalam perumusan ketentuan-ketentuan pokok dalam hukum Islam.[3]
Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia didunia ini maupun di akhirat kelak[4]. Tujuan disyariatkanya hukum Islam ini bermaksud juga untuk kemaslahatan umat manusia. Dalam pandangan al-Syathibi sebagai salah satu tokoh ahli usul yang mengemukakan teori maqashid al syari’ah menyatakakan bahwa maqashid al-syari’ah dalam arti kemaslahatan terdapat dalam aspek-aspek hukum secara keseluruhan. Menurut Wael B. Hallaq (dalam Bakri, 1996: 68 ) Al-Qur’an sebagaisumber ajaran agama Islam meberikan fondasi yang sangat penting, yakni the principle goverming the interest of people (prinsip membentuk kemaslahatan manusia), terhadap syariat. Bagi al-Syathib, bahwa dalam Al-Qur’an Allah telah memberikan sesuatu secara terperinci atau tidak, bukanlah menjadi persoalan. Menurutnya, dengan pernyataan Allah dalam Al-Qur’an bahwa Islam merupakan Agama yang sempurna menunjukkan Al-Qur’an telah mencakup dasar-dasar kepercayaan dan praktik agama dengan berbagai aspeknya . Adapun sunah, menurut al-Syathibi, menjadi bayan (penjelasan) terhadap Al-Qur’an. Hukum-hukum yang tertera dalam Al-Qur’an harus terlebih dahulu dicari uraianya dalam sunah. Jika dalam Al-Qur’an dan sunah belum ditemukan penjelasan tentang tujuan ditetapkanya syariat, barulah para mujtahid dapat melakukan ijtihaduntuk menemukanya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan kembali bahwa tujuan utama disyariatkanya hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Menurut ushuliyyun (para ahli usul fikih), termasul al-Syathibi, kemaslahatan ini akan terwujud jika lima unsur pokok yang ada pada manusia dapat diwujudkan dan dapat dipelihara. Kelima unsur pokok ini disebut juga dengan kebutuhan dharuriyah atau  dharuriyah khomsah[5]
Kebutuhan Dharuriyah
      Kebutuhan Primer (al-umur al-dharuriyah/ الأمور الضرورية) adalah kebutuhan yang harus ada untuk melaksanakan kemaslahatan agama dan dunia. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi (hilang), kemaslahatan manusia akan menjadi kacau balau, kemaslahatan tidak tercapai, dan kebahagiaan ukhrawi tidak bakal dapat diraih.[6]Karena kebutuhan dharuriyah sendiri merupakan segala hal yang menjadi eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka. Hal-hal itu tersimpul kepada lima sendi, yaitu lima kebutuhan pokok manusia yang sekaligus menjadi ciri dan kesempurnaan hidup manusia.Kelima hal ini kemudian disebut al-dharuriyyah al-khamsah (lima kebutuhan pokok manusia).[7]
      Allah menyuruh melakukan segala upaya untuk memelihara dan mempertahankan kelima kebutuhan tersebut. Sebaliknya, Allah melarang melakukan usaha-usaha yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari kelima kebutuhan itu. Kelima kebutuhan pokok itu secara berurutan adalah memelihara agama (حفظ الدين), memelihara jiwa (حفظ النفس), memelihara akal (حفظ العقل), memelihara keturunan (حفظ النسل), dan memelihara harta (حفظ المال).[8]

1.     PEMELIHARAAN TERHADAP AGAMA (حفظ الدين)
Islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah kebasan berkeyakinan dan beribadah, setiap pemeluk agama berhak atas mahdzabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkanya menuju agama atau mahdzab lain, juga tidak boleh ditekan untuk  berpindah dari keyakinanya untuk masuk Islam.[9]
Agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah karena agama merupakan pedoman hidup manusia, dan didalam agama Islam selain komponen-komponen akidah yang merupakan pegangan hidup setiap Muslim, terdapat juga syariah(t) yang merupakan jalan hidup seorang Muslim baik dalam berhubungan dengan Tuhanya maupun dalam berhubungan dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.[10]
Dalam memelihara Agama, Allah menyuruh manusia beriman kepada-Nya, kepadaMalaikat, kepada Rasul-Nya, kepada Kitab Suci, dan kepada Hari Akhir. Disamping itu, Allah juga memerintahkan melakukan ibadah pokok, seperti: Sholat, Zakat, Puasa, dan Haji yang didahului dengan mengikrarkan dua kalimah syahadat. Untuk menjaga agama Allah juga memerintahkan manusia (ummat Islam) untuk berjihad dijalan Allah. Jika ketentuan-ketentuan itu tidak terpenuhi, maka terancamlah eksistensi agama manusia.
Dalam Al-Qur’an dan sunah banyak ditemukan ketentuan-ketentuan mengenai perintah untuk melakukan ibadah-ibadah pokok serta memperkuat keimanan seperti tersebut. Allah juga melarang manusia melakukan perbuatan yang dapat mengancam eksistensi agama, karena itulah Allah mengharamkan murtad (Q.S al-Baqarah [2]: 217). Allah juga memerintahkan untuk memerangi orang yang tidak beriman (Q.S at-Taubah [9]: 29).[11] Karena itulah maka hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinan (agama)-nya.

2.     PEMELIHARAAN TERHADAP JIWA (حفظ النفس)
      Pemeliharaan jiwa merupakan tujan kedua hukum Islam. Karena itu hukum Islam           wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupanya. Untuk itu hukum Islam melarang pembunuhan (Q.S 17:33) sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk mempertahankan kemaslahatan hidupnya.[12]
      Untuk memelihara eksistensi jiwa Allah juga memerintahkan kepada manusia untuk makan, minum, berpakaian, dan berlindung dari berbagai penyakit dan bahaya. Allah juga melarang perbuatan yang mengancam jiwa manusia. Disamping itu, Allah juga memberi ancaman kepada seseorang yang mlakukan perbuatan yang merusak jiwa dengan hukuman qisas.[13]
     
3.     PEMELIHARAAN TERHADAP AKAL (حفظ العقل)
            Akal merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar hidayah, cahaya mata hati,dan media kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Melalui akalnya manusia mendapatkan petunjuk menuju ma’rifat kepada Tuhan dan Penciptanya. Dengan akalmya, dia menyembah dan menaati-Nya, menetapkan kesempurnaan dan keagungan untuk-Nya, mensucikan-Nya dari segala kekurangan dan cacat, membenarkan para rasul dan para nabi, dan mempercayai bahwa mereka adalah perantara yang akan memindahkan kepada manusia apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, membawa kabar gembira untuk mereka dengan janji, dan membawa peringatan dengan ancaman. Maka manusaia mengoperasikan akal mereka, untuk mempelajari yang  halal dan yang haram, yang berbahaya dan bermanfaat, serta yang baik dan yang buruk.[14]
            Untuk memlihara akal, Allah menyuruh manusia untuk melakukan perbuatan yang menjaga dan meningkatkan eksistensi akal. Karena itu, Allah meyuruh menuntut ilmu (Q.S Thaha [20]:114). Sebaliknya manusia dilarang berbuat sesuatu yang merusak akal, seperti meminum minuman keras (Q.S al-Maidah [5]:90). Allah juga mengancam dengan memberikan sanksi pukulan empat pukuh kali bagi para peminum minuman keras melalui sunah Nabi.[15]
            Pemeliharaan akal sangat dipentingkan oleh hukum Islam, karena dengan mempergunakan akalnya, manusia dapat berpikir tentang Allah, alam semesta dan dirinya sendiri. Dengan mempergunakan akalnya manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa akal, manusia tidak mungkin pula menjadi pelaku dan pelaksana hukum islam.Oleh karena itu pemeliharaan akal menjadi salah satu tujuan hukum Islam.Penggunaan akal itu harus diarahkan pada hal-hal atau sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan hidup manusia, tidak untuk hal-hal yang merugikan kehidupan.[16]

4.     PEMELIHARAAN TERHADAP  KETURUNAN (حفظ النسل)

Untuk memelihara keturunan, Allah memerintahkan manusia untuk membina dan melangsungkan keturunan dengan cara yang sah. Untuk hal ini Allah melengkapi manusia dengan nafsu syahwat yang dapat mendorong untuk melakukan hubungan suami istri dengan sah. Karena itulah Allah mensyariatkan lembaga pernikahan (Q.S al-Nur [24]:32).[17]

Pemeliharaan keturunan sangatlah penting, agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan, merupakan tujuan keempat hukum Islam. Hal ini tercermin dalam hubungan darah yang menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi (Q.S 4:11), larangan-larangan perkawinan yang disebut secara rinci dalam Al-Qur’an (Q.S 4:23), dan larangan berzina (Q.S 17:32). Hukum kekluargaan dan kewarisan Islam adalahhukum-hukum yang secara khusus diciptakan Allah untuk memelihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam Al-Qur’an, ayat-ayat hukum mengenai kedua bagian hukum Islam ini diatur lebih rinci da pasti dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainya, agar pemeliharaan dan kelanjutan keturunan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.[18]


5.     PEMELIHARAAN TERHADAP HARTA (حفظ المال)
            Harta merupakan salah satu kebutuhan yang inti dalam kehidupan, dimana manusia tidak akan terpisah darinya. Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demii menambah kenikmatan materi dan religi. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat yaitu harta dikumpulkanya dengan cara yang halal, dipergunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta ini harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat setempatnya.[19]
            Pemeliharaan harta ini adalah tujuan kelima hukum Islam. Menurut ajaran Islam, harta adalah pemberian Tuhan kepada manusia, agar manusia dapat mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupanya. Untuk menjaga harta, Allah memberikan keleluasaan kepada manusia untuk mencari harta, tetapi harus dengan cara yang baik (Q.S al-Jumu’ah [62]:10), Allah juga melarang segala perbuatan yang merusak dan meniadakan harta seperti mencuri dan yang sejenis denganya. Pengabaian terhadap ketentuan ini akan diancam dengan sanksi yang cukup berat, yaitu hukuman potong tangan (Q.S al-Maidah [5]:38).[20]


Urgen
      Maqashid al-Syari’ah sangatlah penting bagi pemahaman seorang mujtahid dalam membangun suatu hukum-hukum syari’ah. Ibn ‘Asyur mengatakan bahwa para ulama wajib mengetahui ‘illat-‘illat tasyri’ beserta tujuanya dengan cara tersurat maupun tidak tersurat atau secara bathin. Jika mereka telah menemukan hukum-hukum tersebut maka niscaya merekak mampu memberikan fatwa-fatwa hukum.    
      Adapun pemahaman-pemahaman tersebut yang harus diketahui yaitu :
1.      Dalam menemukan hukum fikih para ulama harus mampu mengetahui terlebih dahulu perkataan-perkataan ataupun dalil-dalinya dalam bentuk lughawi dan lafziyah.

2.      Untuk menjelaskan hubungan dalil yang satu dengan yang lainaya, harus membahas dalil-dalil yang bertentangan dari tang sudah di nashakhkan terlebih dahulu.

3.      Menggunakan Qiyas jika perkataan-perkataan syara’ belum ditemukan hukumnya.

4.      Jika didalamnya tidak terdapat Nash ataupun Qiyas maka, harus memberikan suatu hukum didalamnya.

5.      Jika sekiranya tidak ada pembahasan tentang hukum ‘illat maka, harus menemukan hukum-hukum syari’ah yang bersifat ta’abbudi terlebih dahulu.

Dengan demikian Maqashid al-Syari’ah dapat membantu para mujtahid untuk membuat suatu hukum-hukum syari’ah ataupun untuk menentukan aturan-aturann hukum dan pengetahuan tentang illat-illat hukum. 












Aplikasi Maqashid al-Syari’ah dalam Formulasi hukum Islam
      Pemahaman maqashid al-syariah pada kasus-kasus maqashid ijtihad Para Sahabat sangatlah penting dalam membangun sebuah hukum-hukum syariah, seperti yang diceritakan pada kasus-kasus ijtihad para sahabat, yang menceritakan tentang Maqashid di era para sahabat, memiliki signifikansi penting. Signifikansinya adalah para sahabat tidak selalu menerapkan ‘dalalah lafal’ dalam istilah para pakar Usul Fikih. ‘Dalalah lafal’ berarti imlikasi langsung dari suatu  bunyi bahasa, dalam hal ini ‘bunyi Nas’ para sahabat menerapkan implikasi praktis yang didasarkan pada ‘dalalah maksud’.
      ‘Dalalah maksud’ berarti implikasi tujuan atau niat dibalik lafal tertentu. Dalalah Maksud ini memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dalam memahami teks (lafz). Namun mazhab fikih (Neo-) Tradisionalis tidak menilai pemahaman para sahabat sebagai ‘dalalah maksud’, yang berbeda dengan ‘dalalah lafal’ dari suatu Nas. Neo-Tradisionalis mengklaim bahwa ada ‘sebab-sebab’ dan hukum tersebut tidak lagi diterapkan ketika ilat itu sudah tidak ada atau sudah ditakhsis (dispesifikasi) oleh Nas lain.
      Misalnya, ilat yang berhubungan dengan penerapan hukuman tindak pidana pencurian adalah ‘pencurian yang dilakukan oleh orang yang tidak terdesak oleh kebutuhan’. Maka, hukuman pencurian secara kasuistik tidak diterapkan kepada pencuri yang dimaafkan oleh Khalifah ‘Umar tersebut. Jika interpretasi seperti ini terhadap beberapa ijtihad ‘Umar tidak memungkinkan, maka (Neo-) Tradisionalis menilai ijtihad ‘Umar ini ‘bertentangan denagn Nas’.
      Namun, saya menilai bahwa kriteria itu (tidak terdesak oleh kebutuhan), yang dimasukkan ke dalam ilat, tidak memiliki sifat ‘konsisten’ atau ‘mundabit’ seiring dengan perubahan orang dan kondisi. Maka, kriteria tersebut bukanlah ilat, dari sudut pandang teknis, adalah lebih ‘sesuai’ menghubungkan kebijakan ‘Umar RA dengan Maqashid bantuan sosial, ketimbang menghubungkan dengan klaim ilat diatas.
      contoh diatas mengilustrasikan konsep-konsep Mqashid awal dalam apliaksi hukum Islam dan Implikasi yang muncul akibat pemberia keudukan fundamental pada Maqashid[21].








Kesimpulan
      Secara sederhana maqashid al-syari’ah adalah maksud-maksud atau tujuan-tujuan disyariatkan hukum Islam.yang mendasar pada  lima kebutuhan pokok manusia yang sekaligus menjadi ciri dan kesempurnaan hidup manusia. Kelima kebutuhan pokok itu secara berurutan adalah memelihara agama (حفظ الدين), memelihara jiwa (حفظ النفس), memelihara akal (حفظ العقل), memelihara keturunan (حفظ النسل), dan memelihara harta (حفظ المال).
      Maqashid al-Syari’ah sangatlah penting bagi pemahaman seorang mujtahid dalam membangun suatu hukum-hukum syari’ah. Maqashid al-Syari’ah dapat membantu para mujtahid untuk membuat suatu hukum-hukum syari’ah ataupun untuk menentukan aturan-aturann hukum dan pengetahuan tentang illat-illat hukum.
      Pemahaman maqashid al-syariah pada kasus-kasus maqashid ijtihad Para Sahabat sangatlah penting dalam membangun sebuah hukum-hukum syariah, seperti yang diceritakan pada kasus-kasus ijtihad para sahabat, yang menceritakan tentang Maqashid di era para sahabat, memiliki signifikansi penting yang mengilustrasikan konsep-konsep Mqashid awal dalam apliaksi hukum Islam dan Implikasi yang muncul akibat pemberia keudukan fundamental pada Maqashid
















Daftar Pustaka

Daud Ali, Mohammad. 2005. Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Marzuki. 2013. pengantar HUKUM ISLAM. Yogyakarta: Omabak
Koto, Alaiddin. 2004. ILMU FIQIH dan USHUL FIQIH. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Al-Mursi, Ahmad. 2009. Maqashid Syariah. Jakarta: AMZAH
Auda, Jasser.2015. Membumikan HUKUM ISLAM Melalui MAQASID SYARIAH.Bandung: PT Mizan Pustaka

Revisi:
1.      Tidak ditemukan indikasi copy-paste.
2.      Makalah ini belum sesuai dengan artikel jurnal yang menjadi patokan. Tolong diperbaiki lagi dan perhatikan setiap instruksi dari saya.
3.      Penulisan gelar (Prof. , Dr, Ustadz, dll) ditiadakan dalam tulisan ilmiah, baik dalam konten tulisan, footnote, maupun daftar pustaka.
4.      Tolong format makalah dirapikan.
5.    Penulisan  footnote tolong dipelajari lagi.
6.      Tidak ada pendahuluan.
7.      Keterangan urgensitas maqasyid tolong lebih dipertegas lagi,
8.      Cari aplikasi maqasyid dalam permasalahan kontemporer.


[1]Jasser Auda.Membumikan HUKUM ISLAM melalui MAQASID SYARIAH(Bandung:,Mizan Media Utama. 2008) hlm 32
[2]Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 14
[3] Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 50-51
[4] Prof.H.Muhammad Daud Ali,S.H. Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo.2005)hlm 61
[5] Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 58-59
[6]  Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 60
[7] Prof.Dr.H.Alaiddin Koto, M.A. ILMU FIQIH dan USHUL FIQIH(Jakarta: PT Raja Grafindo.2004)hlm 122
[8] Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 61
[9] Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar. Maqashid Syariah(Jakarta: AMZAH.2009)hlm 1
[10] Prof.H.Muhammad Daud Ali,S.H. Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo.2005)hlm 63
[11] Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 62
[12] Prof.H.Muhammad Daud Ali,S.H. Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo.2005)hlm 63
[13]  Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 62
[14] Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar. Maqashid Syariah(Jakarta: AMZAH.2009)hlm 93
[15]  Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 62

[16] Prof.H.Muhammad Daud Ali,S.H. Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo.2005)hlm 63
[17]Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 63
[18] Prof.H.Muhammad Daud Ali,S.H. Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo.2005)hlm 64
[19] Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar. Maqashid Syariah(Jakarta: AMZAH.2009)hlm 167
[20] Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 63

[21] Jasser Auda.Membumikan HUKUM ISLAM melalui MAQASID SYARIAH(Bandung:,Mizan Media Utama. 2008) hlm 41-42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar