Senin, 05 September 2016

Macam-Macam Tafsir (PAI D Semester III)


MACAM-MACAM TAFSIR

Lina Alfiatur Rochmania dan Burhana Alfikri
PAI D Semester III
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang

Abstract: Al-Qur’an is the guidance that given by Allah to human. Therefore, we must study and understand contents inside al-Qur’an. Interpretation starting from the time of the prophet, friends, tabi'in, and until the current generation. This article attempt to explain the various interpretations that become a reference, namely the interpretation bil ma’tsur and bir ra’yi. The tafsir bil ma’tsur an interpretation based on the interpretation of the prophet, friends and tabi'in while tafsir bir ra'yi interpretation based on the ratio of interpreter.

Keywords: Based on, Interpretation, Ratio

Pendahuluan
Memahami Kitabullah dengan pemahaman yang benar adalah tujuan setiap insan muslim. Yang membantu untuk memahami al-Qur’an dengan benar adalah menafsirkannya dengan baik, yang dapat menjelaskan tujuan-tujuan dan makna, menyingkap tirai-tirai yang menutupi rahasianya serta membuka pintu-pintu akal dan hati.
Dalam rangka bagaimana pemahaman terhadap al-Qur’an menjadi mudah ulama-ulama tafsir kemudian mencoba menafsirkan ayat demi ayat dalam al-Qur’an dengan metode yang berbeda-beda. Perbedaan latar belakang mufassir terutama di bidang pendidikan memiliki peran yang sangat dominan terhadap hasil penafsiran seorang ahli tafsir. Sehingga tafsir al-Qur’an memiliki corak yang khas sesuai dengan spesifikasi keilmuan mufassir. Dengan demikian sangat perlu dilakukan pengkajian macam-macam tafsir yang telah dilakukan sejak jaman Rasulullah SAW sehingga kita dapat selangkah lebih dekat dengan kebenaran dan tidak jatuh dalam kesesatan.

Mengenal  Tafsir
1.      Makna tafsir
Secara harfiah (etimologis), tafsir berarti menerangkan (al-tibyan), menampakkan (al-izhhar), menyibak (al-kasyf), dan merinci (at-tafshil). Kata tafsir sendiri diambil dari kata al-fasr yang berarti al-ibanah dan al-kasyf  yang keduanya berarti membuka (sesuatu) yang tertutup.[1] Ada juga yang mengatakan bahwa kata tafsir diambil dari kata tafsirah, yaitu : perkakas yang dipergunakan tabib untuk mengetahui penyakit orang sakit. Sedangkan secara istilah disebutkan oleh Az Zarkasyy dalam Al Burhan adalah menerangkan makna-makna al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya. Sebagian ulama juga memberikan definisi yang hampir sama, “Ia adalah ilmu yang membahas tentang redaksi-redaksi al-Qur’an dengan memperhatikan pengertian-pengertiannya untuk mencapai pengetahuan tentang apa yang dikehendaki oleh Allah SWT, sesuai dengan kadar kemampuan manusia.”[2]
Tentunya dalam definisi ini ada batasan ‘sesuai kadar kemampuan manusia’ yang harus diperhatikan meskipun tidak diucapkan terutama yang berkaitan dengan kalam Allah SWT.
2.      Sejarah singkat perkembangan tafsir
Sebagian ahli tafsir, secara global membagi periodesasi penafsiran al-Qur’an ke dalam tiga fase yaitu: periode mutaqaddimin (abad 1-4 Hijriyah), periode mutaakhhirin (abad ke-4-12 Hijriyah), dan periode baru  (abad ke-12-sekarang).[3]
Penafsiran al-Qur’an yang dilakukan sejak Nabi Muhammad SAW (571-632 M) dan masih tetap berlangsung hingga sekarang bahkan di masa-masa mendatang, sungguh telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan melahirkan sejarah tersendiri bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu al-Qur’an khususnya tafsir.
            Pada periode mutaqaddimin mereka belum menaruh perhatian kepada segi nahwu dan dan i’rab, dan mereka pun belum mengadakan kajian terhadap suatu lafadz al-Qur’an, susunan-susunan kalimat majaz, ithnab, I’jaz, taqdim dan ta’khir, washal dan qatha’, serta nida’ dan istisna.
            Syekh Hasan Husein dalam suatu pendapatnya tentang sejarah ilmu tafsir berkata: “Para sahabat dan tabi’in tidak menaruh perhatian kepada ilmu tafsir, majaz dan I’rab, pada masa pembukuan tafsir, bahkan metode para ahli hadits dalam meriwayatkan makna-makna al-Qur’an. Kondisi demikian berubah pada masa berikutnya (mutaakhirin) disebabkan semakin bertambah meluasnya dzauq (rasa kebahasaan)”.

Tafsir bil Ma’tsur
            Kata al-ma’tsur adalah isim maf’ul (obyek) dari kata atsara - yatsiru/yasturu - astran yang secara etimologis berarti menyebutkan atau mengutip (naqala) dan memuliakan atau menghormati (akrama). Al-atsar juga berarti sunnah, hadits, jejak, bekas, pengaruh dan kesan. Jadi, kata-kata al-ma’tsur, al-naql/al-manqul dan al-riwayah pada hakikatnya mengacu pada makna yang sama yaitu mengikuti sesuatu yang sudah ada dari orang lain atau masa lalu.[4]
Sejalan dengan pengertian harfiah tafsir bil ma’tsur atau juga sering disebut tafsir riwayah merupakan penafsirkan Rasulullah dan para sahabat, karena para sahabatlah yang lebih faham maksud kandungan al-Qur’an.[5] Selain itu, mereka pula yang mendengar langsung penjelasan dari Rasulullah SAW dan merupakan saksi atas turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Sahabat yang paling ahli dalam bidang ini adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan  Abdullah bin Masud. Ada pula yang mengatakan bahwa tafsir bil ma’tsur adalah gabungan dari tiga sumber, yakni: penafsiran Nabi Muhammad SAW, penafsiran para sahabat, dan para tabi’in. Ada perselisihan pendapat diantara para mufassir: apakah riwayat dari tabi’in mendekati tafsir bil ma’tsur atau tafsir penalaran.[6] Dari berbagai pendapat, mayoritas mengatakan: bahwa tafsir yang diriwayatkan oleh Tabi’in termasuk ke dalam tafsir bil ma’tsur, karena mereka hidup dan bergaul dengan Sahabat Nabi. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa tafsir bil ma’tsur sangat pantas dijadikan rujukan dan pedoman dalam memahami al-Qur’an karena merupakan jalan pengetahuan yang benar, serta merupakan cara paling aman untuk menjaga diri dari kesesatan dalam memahami Kitabullah.
Kronologi tafsir bil ma’tsur ada dua periode, riwayat dan pembukuan. Dalam periode riwayat dimulai dari masa Rasulullah SAW yang menerangkan ayat-ayat yang sulit dipahami kepada para sahabat. Kemudian para sahabat  menafsirkan al-Qur’an dari ketetapan yang telah diberikan Rasulullah SAW atau dari pendapat dan ijtihadnya sendiri. [7]Selanjutnya para tabi’in yang mencurahkan perhatiannya kepada tafsir, mengumpulkan tafsiran-tafsiran dari Rasulullah SAW, sahabat-sahabat Rasul, kemudian mereka menambahkan penafsirannya dengan kemampuan nalar dan ijtihadnya. Akhirnya datang kemudian generasi setelah tabi’in yang melakukan penafsiran sebagaimana pendahulunya sampai berkelanjutan kepada generasi yang lain.
Periode kedua adalah periode pembukuan, dimana ketika itu kitab tafsir bil ma’tsur masih bercampur dengan hadits-hadits Rasulullah SAW, hal ini dilakukan oleh Imam Malik bin Anas al Asbahi. Kemudian setelah itu tafsir telah terpisah dengan hadits.
1.      Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an ada yang dalam bentuk menafsirkan bagian atau tepatnya kosa kata tertentu ayat al-Qur’an dengan bagian ayat al-Qur’an yang lain dalam ayat dan surat yang sama; ada yang dalam bentuk menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang lain dalam surat yang sama, dan ada pula dalam surat yang berbeda. Ungkapan yang paling bagus tentang tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah apa yang diungkapkan oleh Imam Muhammad bin Ibrahim al Yamani yang terkenal dengan Ibnul Wazir-dalam karyanya: Liitsar al-Haq ‘ala al-Khalq. [8]Ia berkata,
“Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah diulangnya penyebutan suatu hal, dan dalam satu ayat diungkapkan dengan lebih jelas dan terperinci dari ayat yang lain. Penafsiran semacam ini telah dikumpulkan dalam satu kitab tafsir tersendiri, seperti dikatakan oleh Syekh Taqiyuddin atau Ibnu Daqiqul Aid dalam Syarh al-Umdah
Diantara contoh tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an seperti firman Allah SWT, QS Al Hajj ayat 30 yang berbunyi:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الأنْعَامُ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ. 
 Artinya:
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu kaharamannya, maka jauhilah olehmu barhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan yang dusta.”  (Al Hajj:30)[9]
            Kata:  إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ ditafsirkan dengan ayat lain, yakni QS Al Maidah ayat 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالأزْلامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Maidah:3)[10]
2.      Penafsiran al-Qur’an dengan sunnah yang sahih
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Muqaddimah fi Ushulut Tafsir, “Cara penafsiran yang paling sahih adalah al-Qur’an menafsirkan al-Qur’an. Apa yang disebut secara ijmal (global) pada suatu tempat diperinci pada tempat lain, dan apa yang disebut secara simpel pada suatu tempat dijelaskan pada tempat lain. Jika engkau tidak menemukan tempat itu, maka engkau mengambil sunnah, karena ia adalah penjelas al-Qur’an. Bahkan, Imam Syafi’I berkata bahwa seluruh apa yang dihukumkan oleh Rasulullah SAW adalah dari apa yang beliau dapatkan dari al-Qur’an.”
Imam az-Zarkasyi berkata dalam karyanya al-Burhan, “Namun harus hati-hati dalam melakukan itu, dari hadits yang dhaif dan maudhu’, karena yang seperti itu banyak.” [11]
Contoh tafsir al-Qur’an dengan sunnah yang sahih diantaranya:
Allah SWT berfirman:
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟
Artinya:
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (Al-Hasyr:7)[12]
Yakni apa pun yang dilarang olehnya, maka tinggalkanlah. Karena sesungguhnya yang diperintahkan oleh Rasul itu hanyalah kebaikan belaka, dan sesungguhnya yang dilarang olehnya hanyalah keburukan belaka.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadits ini melalui Sufyan As-Sauri, di dalam kitab Sahihain telah disebutkan pula melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
اِذَاأَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَائْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَ مَا نَهَيْتُكُم عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهْ.
Apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu, maka kerjakanlah ia menurut kemampuan kalian; dan apa yang aku larang kalian mengerjakannya, makatinggalkanlah ia
Imam Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad Ibnu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Mansur Ibnu Hayyan, dari Sa’id Ibnu Jubair, dari Umar Ibnu Abbas, bahwa keduanya menyaksikan Rasulullah SAW melarang minuman perasan yang dibuat dari duba, hantam, naqir dan muzaffat. Kemudian Rasulullah SAW membaca firman-Nya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (Al-Hasyr:7)[13]
3.      Tafsir Sahabat dan Tabi’in
Imam Ibnu Taimiyah berkata bahwa jika engkau tidak menemukan tafsir suatu ayat dalam al-Qur’an dan tidak juga di dalam sunnah, maka engkau harus mencarinya dalam perkataan para sahabat. Karena mereka adalah orang yang paling mengetahui hal itu, disebabkan mereka melihat qarain (indikator) dan situasi yang terjadi saat al-Qur’an itu turun yang hanya mereka mengetahuinya, juga karena mereka mempunyai pemahaman yang sempurna dan ilmu yang benar, terutama para ulama dan tokoh mereka, seperti imam yang empat: al-Khulafa ar-Rasyidin, imam yang mendapatkan hidayah, dan Abdullah bin Mas’ud, yang berkata, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya; tidak ada suatu ayat al-Qur’an yang turun, kecuali aku mengetahui di mana diturunkan, dan tentang apa ia diturunkan.”
Ibnu Mas’ud berkata bahwa penafsir al-Qur’an yang paling ulung adalah Ibnu Abbas. Menurut riwayat yang sahih, Ibnu Mas’ud wafat pada tahun 33 H, dan Ibnu Abbas masih hidup selama 36 tahun lagi setelahnya, maka betapa banyak ilmu yang ia dapatkan lagi setelah Ibnu Mas’ud itu?[14]
Kemudian Ibnu Taimiyah menambahkan, “ Jika engkau tidak menemukan tafsir suatu ayat al-Qur’an di dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan tidak engkau dapat juga dari sahabat, maka banyak imam yang kembali kepada pendapat tabi’in. seperti Mujahid bin Jabar, Qartadah, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Ibnu Abbas, Atha, Hasan al-Bashri, Masruq, Ibnu Musayab, Abi al-Aliah, Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya.”
Penting untuk diperhatikan, banyak pendapat sahabat dan tabi’in dalam tafsir al-Qur’an bukan suatu penentuan yang pasti tentang makna yang dimaksud dari suatu lafal, bahkan sekadar perumpamaan, seperti diingatkan tentang hal itu oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama lainnya.[15]
Hal itu sebagaimana pendapat mereka bahwa, “jalan yang lurus” (al-Fatihah:6) adalah Islam, al-Qur’an, atau Sunnah, atau sunnah Khulafa ar-Rasyidin atau sunnah Abu Bakar dan Umar atau jalan ubudiyah, atau ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Semua pendapat itu tidak bertentangan, dan seluruhnya menggambarkan tentang sirathal mustaqim dari satu segi.[16]
4.      Macam-macam kitab tafsir bil ma’tsur
Diantara kitab-kitab tafsir bil ma’tsur adalah sebagai berikut:
a.       Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, karangan Ibnu Jarir al-Thobari. Tafsir ini adalah rujukan utama para ilmuwan yang pembahasannya didasarkan atas riwayat-riwayat dari Rasulullah SAW, para sahabat, dan tabi’in.
b.      Ma’alimut tanzil, karya Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad al Farra’ Al-Baghawi.
c.       Bahru al-Ulum, karangan Abi Laits as-Samarqandi.
Al muharrir al-Wajiz fi Tafsir Al Kitab Al ‘Aziz, karya Abdul Haqq bin Ghalib bin Abdi Rahman bin Ghalib bin Abdi Rauf bin Tamam bin Abdillah bin Tamam bin Athiyyah al-Andalusi al-Gharnathi. Kitab tafsir ini lebih dikenal dengan sebutan Tafsir Ibnu ‘Athiyyah dan memiliki posisi tinggi diantara  kitab-kitab tafsir, menurut jumhur ulama. [17]
d.      Tafsirul Qur’anil Adzim, karangan Al Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr bin Katsir al-Quraisyi ad-Dimasyqi. Kitab ini merupakan tafsir paling terkenal diantara sekian banyak kitab tafsir bil ma’tsur yang pernah ditulis, dan menduduki peringkat kedua setelah tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari.
e.       Ad-Dur al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, karangan Jalaluddin al-Suyuthi.

Tafsir Bir Ra’yi
            Maksud dari Ra’yi  adalah rasio serta antonim dari nash dan riwayat. Oleh karena itu, Tafsir Bir Ra’yi dinamakan dengan tafsir bid dirayah (dengan rasio). Makna Ar Ra’yi adalah ijtihad dan olah pikir serta penelitian dalam memahami al-Qur’an dalam bataspengetahuan tentang bahasa arab, serta dalam kerangka kewajiban yang memang harus dipenuhi oleh penafsir al-Qur’an mulai dari perangkat keilmuan dan akhlak.
            Al Baihaqi meriwayatkan dalam as sya’ah dari Imam Malik, beliau berkata bahwa jika ada orang yang tidak mengetahui ilmu bahasa Arab, kemudian ia menafsirkan kitab Allah maka datanglah ia kepadaku, niscaya akan aku hajar dia.
Beberapa ulama’ menyaratkan bagi penafsir untuk memiliki sejumlah ilmu yang harus dikuasai, diantaranya adalah bahasa arab yang meliputi nahwu, sharaf, isytuiqaq, lughah, balaghah, qira’at, ushuluddin, ushul fiqih, asbabun nuzul, nasikh, mansukh. Kemudian juga harus menguasai hadits hadits penjelas ayat al-Qur’an, fikih, serta ilmu pemberian dari Allah.
Selain syarat tersebut, para ulama’ juga menyaratkan adanya kebersihan hati dari penyakit kibr, hawa nafsu, bid’ah, cinta dunia, dan senang melakukan dosa. Para penafsir al-Qur’an berbeda beda tingkatan mereka satu sama lain, dalam hal sejauh mana mereka diberikan pemahaman.
Tafsir Al-Qur’an dengan Ra’yu bisa berupa seseorang menafsirkan suatu ayat sesuai dengan madzhab yang ia yakini. Seperti yang dilakukan ahlul ahwa (pengikut hawa nafsu). Ia mengatakan, maksud ayat ini adalah begini dan ayat itu adalah begitu, sesuai dengan madzhabnya. Pemikiran, keyakinan, dan madzhab-madzhab itulah  yang membuat orang yang menafsirkan al-Qur’an atau berdalil dengannya, mencekik ayat itu dan menyeretnya untuk mendukung pemikiran dan keyakinannya.
Dengan demikian al-Qur’an menjadi pengikut bukan yang diikuti, dihukumi bukan menjadi hakim, serta menjadi cabang bukan menjadi pokok. Ra’yu seperti itu tidak diperkenankan dalam menafsirkan al-Quran.
Bisa pula seseorang tak memiliki pengetahuan tentang bahasa, tidak pula secara syar’i lalu menafsirkan ayat al-Quran, maka ia sungguh telah memberikan penafsiran tanpa landasan ilmu yang menjadikan ia bedosa. Penafsiran seperti itu termasuk perbuatan haram, karena orang yang menafsirkan al-Quran berarti menyatakan bahwa Allah bermaksud demikian dan demikian. Ini perkara berat, karena Allah mengharamkan atas kita untuk berkata atas nama Allah dengan sesuatu yang tidak kita ketahui.
Allah berfirnan di dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 33 yang artinya; “Katakanlah, Rabbku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang nampak, maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang tidak menurnkan hujah untuk itu, serta mengucapkan atas nama Allah apa yang tidak kamu ketahui.”
Maka siapapun yang menyatakan sesuatu atas nama Allah tanpa didasari pengetahuan tentang makna firman-Nya atas nama sebagian hukum-hukum-Nya, maka ia telah bersalah dengan kesalahan yang besar.
Orang yang berpendapat tentang al-Qur’an sekadar dengan rasio, maka ia adalah orang yang salah, meskipun ia benar. Karena ia melakukan sesuatu yang tidak diketahui sama sekalii, dan mejalankan sesuatu yang tidak diperintahkan kepadanya. Maka jika pun ia tepat dalam memahami makna pada saat itu, namun pada saat itu ia tetap salah, karena ia melakukan sesuatu tidak sebagaimana seharusnya. Hal ini seperti orang yang memutuskan perkara diantara manusia dengan tidak dibekali ilmu pengetahan, maka ia akan masuk neraka.
Dalil yang mencegah dan melarang tafsir bir ra’yi adalah hadits Ibnu Abbas secara marfu’ yang artinya ;”....dan barang siapa yang mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, maka bersiaplah untuk menempati tempat di neraka.”
Hadits Jundud secara marfu’, yang artinya: “Barang siapa mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, kemudian ia tepat, ia tetap telah membuat kesalahan.”
Diriwayatkan dari Abu Bakar, Beliau berkata, “Bagian bumi mana yang akan menahanku, dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku mengatakan tentang kitab Allah apa yang aku tidak ketahui ?”
Diantara contoh tafsir bir ra’yi yakni:
وَفَا كِهَةً وَ اَبٌاً
Artinya : “Dan buah-buahan serta ruput-rumputan (Abasa[80] : 31)[18]
Kalau ada orang ditanya apa makna firman-Nya : wa fakihatan wa abban, maka ia memahami secara rancu dengan menyangka kata abban sama dengan abbun yang berarti ayah. Dalam hal ini telah menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yunya ditambahkan dengan kebodohannyta, karena ia mendengar orang-orang menyebut abbun dengan nmemberi tekanan pada huruf ba’, maka ia menganggap firmanNya: wa fakihatan wa abban, maksudnya “buah-buahan dan ayah.” Berarti di sini ia menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yunya semata[19].

Macam Macam Tafsir Bir Ra’yi
Tafsir Bir Ra’yi dibagi menjadi 2, yaitu :
1.      Tafsir Bir Ra’yi al Mahmud
 Tafsir Bir Ra’yi merupakan metode penafsiran dari al-Qur’an dengan cara ijtihad yang disandarkan kepada ilmuilmu ushul, baik dari ilmu lughoh atau ilmu syar’i dan juga ulumul Qur’an.
Diantara kitab kitab bir  ra’yi al mahmud adalah :
a. Mafatihul Ghaib, karya Muhammad Bin Umar Bin Husain ibnu Al Hasan bin Ali At Tamimi Al Tabaristani Ar Razi (Fakhruddin Ar Razi), masyhur dengan sebutan ibnu Khatib Asy syafi’i.
b. Al Jami’ Liahkami Qur’an karya Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh  Al Anshari Al Khazrani Al Andulisy.
c. Madarikut Tanzil wa Haqa’iqut  Ta’wil, karya syeikh Al Alim Az Zahid Abdullah bin Ahmad An Nasafi. Tafsir ini biasa dikenal dengan tafsir An Nasafi (dinisbahkan pada penulisnya).
d. Tafsir al-Jalalain, karya  dua ulama besar, yaitu Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Asy-Syafi’I  Al Mahalli.[20]
2.      Tafsir bir ra’yi mazhmum
Tafsir bir ra’yi mazhmum adalah penafsiran al-Qur’an tanpa berdasarkan ilmu atau mengikuti hawa nafsu dan kehendak pribadi tanpa didasarkan dengan kaidah kaidah kaidah bahasa atau ulumul Qur’an, atau menafsirkan ayat berdasarkan madzhab yang rusak ataupun bid’ah yang tersesat seperti syi’ah, mu’tazilah, khawarij, dan lain lain.
Hukum tafsir ini adalah haram sesuai dengan firman Allah Swt, “ dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui, tidak mempunyai pengetahuan tentangnya (Qs Al Isra’ [17];36)
Diantara kitab kitab Bir Ra’yii Mazhmumah:
a. Tanjihul Qur’an ‘Ani Matha’in, karya Abu Hasan Abdul Jabar bin Ahmad bin Khalil Al Hamdani Asy syafi’i. Beliau adalah kalangan terkenal dari ulama’ mu’tazilah
b. Mir’atul Anwar wa Misykatul Ashrar, karya Maula Abdul Latif Al Kazarani
c. Tafsir Gharibul Qur’an, karya Imam Zayid Bin Ali.
d. Himyanul Zad Ila Daril Ma’ad karya Muhammad bin Yusuf bin Isa bin shalah Iyhfisy Al Wahabi.

Kesimpulan
Dari pemaparan mengenai macam-macam tafsir, kita mengetahui bahwa penafsiran terhadap al-Qur’an ada dua macam, yakni tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi. Tafsir bil ma’tsur yang tidak lain adalah tafsir yang berdasarkan riwayat Rasul, sahabat, dan tabi’in terdiri dari: tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, tafsir al-Qur’an dengan Sunnah yang sahih, dan tafsir sahabat dan tabi’in. sedangkan tafsir bir ra’yi yang berlandaskan pada rasio terdiri dari Tafsir bir ra’yi al-mahmud dan Tafsir bir ra’yi mazhmum. Tafsir bir ra’yi al-mahmud diperbolehkan karena penafsirannya berasal dari Al-Qur’an dengan cara ijtihad, sedangkan tafsir bir ra’yi mazhmum tidak diperbolehkan karena berdasarkan pada kehendak pribadi dan tanpa kaidah.



Daftar Rujukan
Al Munawar, Said Agil.. 2003. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta: Ciputat Press.
Nizhan, Abu. 2008. Buku Pintar Al-Qur’an. Jakarta: Qultum Media.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1999. Berinteraksi dengan Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani.
As-Shiddieqy, Hasbi. 1974. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Suma, Muhammad Amin. 2001. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Taimiyah, Ibnu. 2002. Pengantar Memahami Tafsir Al-Qur’an.  Solo: Al Qowam.

Catatan Revisi:
1.      Tidak ditemukan indikasi adanya copy-paste.
2.      Perbaiki keywords dalam makalah Anda.
3.      Penulisan footnote perlu disertai keterangan buku (kota terbit: penerbit, tahun terbit).
4.      Pelajari cara penulisan footnote.
5.      Berikan contoh tafsir dari sahabat dan tabi’in secara jelas.
6.      Sejarah kemunculan tafsir bil ra’yi belum dipaparkan.
7.      Pengutipan dari internet adalah hal yang dilarang.
8.      Berikan contoh tafsir bil ra’yi yang mahmudah.

Selamat mengerjakan revisi!!!!!




[1] Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, hlm. 15.
[2] Yusuf Al-Qaradhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’ani, hlm. 284.
[3] Departemen Agama RI, Al-Qr’an dan Terjemahnya, bagian Muqaddimah, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an, 1984/1085, hlm. 28.
[4] Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, hlm. 47-48.
[5] Abu Nizhan, Buku Pintar Al-Qur’an, hlm. 44.
[6] Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, hlm. 77.
[7] Agil Husin Al Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, hlm. 78.
[8] Yusuf al-Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an, hlm. 319.
[9] Al-Qur’an (22:30)
[10] Al-Qur’an (5:3)
[11] Yusuf al-Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an, hlm. 324.
[12] Al-Qur’an (59:7)
[13] Tafsir Ibnu Katsir jilid 8, hlm. 108.
[14] Ushul Tafsir, Ibnu Taimiyah, hlm. 95-97.
[15] Yusuf al-Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an, hlm. 332.
[16] Yusuf al-Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Qur’an, hlm. 333.
[17] Abu Nizhan, Buku Pintar al-Qur’an, hlm. 45.
[18] Al-Qur’an (80:31)
[19] Syaikhl Islam Ibn Taimiyah, Pengantar Memahami Tafsir Al-Qir’an, hlm 273
[20] Abu Nizhan, Buku Pintar Al-Qur’an, hlm. 47.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar