Senin, 05 September 2016

Sumber Fiqih yang Muttafaq: al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas (PAI E Semester III)




Sumber Hukum Fiqih yang Muttafaq.


Lovi Anita sari : 15110048
Tata Shofiatul Mashanah Al-huda :151100

Email :



Abstract
            Fiqih is knowledge in Islamic Law that specifically talk about  the issue of the law governing various aspects of human life, whether personal, societal  as well as human life with God. Some ulama’ like Imam Abu Hanifa defines knowledge of jurisprudence as a Muslim on the obligations and rights as a servant of God. All the laws contained in the Islamic jurisprudence back   to four sources. On this, the scholars agreed that ahlussunnah,
  syar'i arguments that form the basis and recognized as a proposition of  the religion of Islam is the Qur'an, hadith, ijma and qiyas.


Keywords: Al Quran, Sunnah, ijma '.




PEMBAHASAN.
1. Definisi Al-qur’an.
Al-qur’an secara etimologis adalah mashdar  dari kata  qa ra a setimbang dengan kata fu’lan , Al-qur’an secara terminologis adalah Kalam Alloh , mengandung mu’jizat dan diturunkan kepada rosululloh , Muhammad SAW dalam bahasa arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawattir , membacanya merupakan ibadah terdapat dalam mushaf dimulai dari surat al-fatihah dan ditutup dengan surat Annas.[1]
 Dari definisi ini ,para ulama’ushul fiqih menyimpulkan ciri-ciri khas al-qur’an  sebagai berikut :
Al-qur’an juga merupakan kalam alloh yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Apabila bukan kalam alloh dan tidak diturunkan kepa nabi Muhammad maka tidak di namakan Al-qur’an seperti Zabur,Taurat dan Injil.ketiga kitab yang disebut terakhir ini adalah kalam alloh tetapi bukan diturunkan kepada Muhammad SAW, karenanya tidak dinamakan al-qur’an .Bukti bahwa al-qur’an adalah kalam alloh  kemu’jizatan yang dikandung al-qur’an itu sendiri dari struktur bahasa,isyarat-isyarat ilmiah yang dikandungnya , ramalan-ramalan bahasa depan yang di ungkap al-qur’an[2]
Al-qur’an itu dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara muttawatir (dituturkan oleh orang banyak sampai sekarang.mereka itu tidak mungkin sepakat untuk berdusta) tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun.
Ciri terakhir dari al-qur’an yang dianggap sebagai suatu kehati-hatian bagi para ulama untuk membedakan al-qur’an dengan kitab-kitab lainnya adalah tata urutan surat yang terdapat dalam al-qur’an ,disusun sesuai dengan petunjuk alloh melalui malaikat jibril kepada nabi Muhammad SAW. Tidak boleh diubah dan diganti letaknya.[3]
A. Kehujjahan Al-qur’an Al-karim.
Para ulama ushul fiqh dan lainnya sepakat menyatakan bahwa al-qur’an itu merupakan sumber hukum utama hukum islam yang diturunkan alloh dan wajib di amalkan dan seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat al-qur’an . apabila hukum permasalahan yang ia cari tidak ditemukan dalam al-qur’an maka barulah mujtahid tersebut mempergunakan dalil lain.
B. Hukum,-hukum  yang dikandung al-qur’an.
·         Hukum-hukum I’tiqad yaitu hukum yang mengandung kewajiban para mukallaf untuk mempercayai Alloh,Malaikat,Rasul,Kitab, dan Hari Kiamat.
·         Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dalam mencapai keutamaan pribadi mukallaf.
·         Hukum-hukum praktis yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan penciptanya dan antara sesama manusia.[4]
C. Beberapa kaidah ushul fiqih yang terkait dengan al-qur’an.
·         Al-qur’an merupakan dasar dan sumber utama hukum islam  sehingga seluruh sumber hukum atau metode istinbat hukum harus mengacu kepada kaidah umum yang dikandung al-qur’an.
·         Untuk memahami kandungan al-qur’an mujtahid harus mengetahui secara baik sebab-sebab diturunkannya alqur’an karena ayat-ayat alqur’an itu diturunkan secara bertahap sesuai dengan situasi dan kondisi sosial masyarakat ketila itu.
·         Dalam memahami kandungan hukum dalam al-qur’an ,mujtahid juga dituntut untuk memahami secara baik adat kebiasaan orang arab baik yang berkaitan dengan perjataan maupun perbuatan , karena seandainya tidak memahami hal ini akan membawa kepada keracunan dalam memahami al-qur’an.[5]





2 .Definisi Sunnah.
Sunnah secara etimologis berarti “jalan yang bisa dilalui” atau “cara yang senantiasa dilakukan “.
Sunnah terminologi sunnah bisa dilihat dari 3 bidang ilmu , yaitu dari ilmu hadist , ilmu fiqih dan ushul fiqih. Sunnah menurut para ahli ilmu hadist “ seluruh yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw , baik perkataan,perbuatan,maupun ketetapan atau sifatnya sebagai manusia biasa , akhlaknya , apakah itu sebelum maupun setelah di angkat menjadi rasul.
Sunnah menurut ahli ushul fiqih adalah “ segala yang diriwayatkan dari nabi Muhammad saw, berupa perbuatan,perkataan dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
Sedangkan sunnah menurut para ahli fiqih, disamping pengertian yang dikemukakan para ulama ushul fiqih juga di maksudkan sebagai salah satu hukum taklifi yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa “[6]
A.     Macam-macam sunnah
·         Sunnah fi’liyyah yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi saw . yang dilihat atau diketahui dan disampaikan para sahabat kepada orang lain misalnya tata cara sholat yang ditujukan rosululloh saw. Kemudian disampaikan sahabat yang melihat atau mengetahuinya kepada orang lain.
·         Sunnah qauliyyah yaitu ucapan Nabi saw yang didengar oleh dan disampaikan seorang atau beberapa sahabat  kepada orang lain.
·         Sunnah taqririyyah yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Nabi saw , tetapi nabi hanyaa diam dan tidak mencegahnya. Sikap diam dan tidak mencegahnya Nabi saw ini menunjukkan persetujuan.[7]

Para ulama sepakat mengatakan bahwa sunnah rosululloh saw dalam tiga bentuk di atas (fi’liyyah,qauliyyah dan taqririyah) merupakan sumber asli dari hukum-hukum syara’ dan menempati posisi kedua setelah alqur’an .
3. Definisi Ijma’
            Secara etimologis , ijma’ berarti “kesepakatan”  atau keputusan berbuat sesuatu.
Secara terminologi ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid umat islam dari masa ke masa setelah wafatnya rosululloh saw, tentang hukum syara’ dalam perkara-perkara yang bersifat amaliyah.[8]
            Tokoh ushul fiqh syafi’iyyah mengikuti pandangan imam syafi’I yang menyatakan bahwa ijma’ harus dilakukan dan dihasilkan oleh seluruh umat islam karena suatu pendapat yang dapat terhindar dari suatu kesalahan hanyalah apabila disepakati oleh umat islam.selanjutnya al-amidi merumuskan ijma’ dengan kesepakatan sekelompok ahl al-hall wa al-‘aqdi dari umat nabi Muhammad Saw pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu peristiwa/kasus.Rumusan al-Amidi ini menunjukkan bahwa yang terlibat dalam ijma’ tidak semua orang melainkan orang-orang tertentu yang disebut dengan ahl al-hall wa al-‘aqdi yang bertanggung jawab langsung terhadap umat.[9]
A.     Rukun-rukun dan syarat ijma’
·   Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju sekalipun jumlahnya kecil , maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
·   Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia islam.
·   Kesepakatan itu di awali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
·   Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah al-qur’an dan hadist rosulullah saw.


B.     Kehujjahan Ijma’.

Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat apabila rukun-rukun ijma’telah terpenuhi , maka ijma’ tersebut menjadi hujjah yang qath’i(pasti) wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya bahkan orang yang mengingkarinya di anggap kafir. Disamping itu permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’ menurut para ahli ushul fiqh tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya, karena hukum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ setelah al-qur’an dan sunnah.
Adapun bagian golongan syi’ah , ijma’ tidak mereka terima sebagai hujjah karena pembuat hukum menurut keyakinan mereka adalah imam yang mereka anggap mashum ( terhindar dari dosa). Ulama khawarij dapat menerima ijma’ sahabat sebelum terjadinya perpecahan politik dikalangan sahabat.[10]

C.      Tingkatan ijma’.
Ijma’ sharih/lafzi adalah kesepakatan para mujtahid,baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu kesepakatan itu dikemukakan dalam siding ijma’ setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya terhadap masalah yang dibahas.ijma’ seperti ini sangat langka terjadi apalagi bila dilakukan kesepakatan itu didalam satu majlis atau pertemuan yang dihadiri seluruh mujtahid pada masa tertentu. Menurut jumhur ulama ushul fiqih , apabila ijma’ seperti ini berlangsung dan menghasilkan suatu kesepakatan tentang suatu hukum maka bisa dijadikan hujjah dan kekuatannya bersifat qath’i(pasti).
Ijma’ sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu masalah dan tersebar luas sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang dikemukakan di atas tanpa ada yang menolak pendapat tersebut.ijma’ sukuti ini pengaruhnya terhadap hukum tidak meyakinkan , karenanya para ulama’ ushul fiqih menepatkannya sebagai dalil zhanni.
Kemungkinan terjadinya ijma’ ketika para ulamaushul fiqh klasik dan modern telah membahas persoalan kemungkinan terjadinya ijma’. Mayoritas ulama klasik mengatakan tidaklah sulit untuk melakukan ijma’ , bahkan secara aktual ijma’ itu telah ada.
Mereka mencontohkan hukum-hukum yang telah disepakati seperti kesepakatan tentang pembagian waris bagi nenek sebesar seperenamdari harta warisan dan larangan menjual makanan yang belum ada ditangan penjual. Akan tetapi ulama klasik lainnya seperti imam ahmad ibn hanbal mengatakan bahwa siapa yang mengatakan adanya ijma’terhadap hukum suatu masalah, maka ia berdusta karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju . oleh sebab itu menurutnya sangat sulit untuk mengetahui adanya ijma’terhadap hukum suatu masalah.[11]



4. Definisi Qiyas.
            Secara etimologis kata qiyas berarti      Ù‚درyang artinya mengukur, dan membandingkan sesuatu dengan yang lain.[12]                                                                          Ulama ushul mendefinisikan qiyas , yaitu menjelaskan hukum suatu masalah yang tidak ada nash hukumnya di analogikan dengan masalah yang telah diketahui hukumnya melalui nash (alqur’an dan sunnah) mereka juga mendefinisikan qiyas dengan redaksi lain yaitu menganologikan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan masalah lain yang ada nash hukumnya, karena kesamaan illat hukumnya.
Misalnya seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan  inilah yang menyebabkan diharamkannya khamr. Hal ini sesuai dengan firman alloh dalam surat al-maidah 5:90-91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir d an wisky yaitu sama dengan hukum khamr karena illat keduanya adalah sama yakni memabukkan. Kesamaan ‘illat antara kasus yang tidak ada nashnya dengan hukum yang ada nashnya dalam al-qur’an atau hadist , menyebabkan adanya kesatuan hukum.
Dari definisi qiyas tersebut dapat diketahui hakikat qiyas , yaitu :
·         Ada dua kasus yang mempunyai ‘illat yang sama.
·         Satu di antara dua kasus yang bersamaan illatnya itu sudah ada hukumnya yang ditetapkan berdasarkan nash, sedangkan yang satu lagi belum diketahui hukumnya.
·         Berdasarkan ‘illat yang sama, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada nashnya itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang hukumnya telah ditetapkan berdasarkan nash[13].

A.      Rukun qiyas.
·         Ashl menurut para ahli ushul fiqih merupakan objek yang telah ditetapkan hukumnya oleh ayat al-qur’an hadist rosululloh saw atau ijma’
Misalnya seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan  inilah yang menyebabkan diharamkannya khamr. Hal ini sesuai dengan firman alloh dalam surat al-maidah 5:90-91.
·         Fur’u adalah objek yang akan ditentukan hukumnya yang tidak ada nash nya atau ijma’ yang tegas dalam menentukan hukummya seperti wisky dalam kasus di atas.
·         ‘illat adalah sifat yang menjadi motiv dalam menentukan hukum, dalam kasus khamr di atas ‘illatnya adalah memabukkan.
·         Hukm al-ashl  adalah hukum syara’ yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’ yang akan diberlakukan kepada far’u , seperti keharaman meminum khamr. Adapun hukum yang ditetapkan pada far’u pada dasarnya merupakan buah (hasil) dari qiyas dan karenanya tidak termasuk rukun.


B.     Kehujjahan Qiyas.

Terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’ terdapat perbedaan pendapat ushul fiqih. Jumhur ulama ushul fiqh berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana untuk mengistibatkan hukum syara’.
            Ulama zhahiriyyah termasuk imam al-syaukani (ahli ushul fiqih ) berpendapat bahwa secara logika, qiyas memang boleh tetapi tidak ada satu nash pun dalam ayat al-qur’an yang menyatakan wajib melaksanakannya, argumentasi ini mereka kemukakan dalam menolak pendapat jumhur ulama  yang mewajibkan pengalaman qiyas.
            Ulama syi’ah imamiyah dan al-nazzan dari mu’tazillah menyatakan qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib di amalkan karena kewajiban mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal.

C.      Syarat-syarat qiyas.

1)     Ashl
Patokan dalam penetapan hukum adakalanya nash da nada kalanya ijma’ . menurut jumhur ulama apabila hukum yang ditetapkan berdasarkan nash bisa diqiyaskan maka hukum yang ditetapkan melalui ijma’ boleh diqiyaskan.
Menurut Imam Al-Ghazali :
·         Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan di nash kan ( dibatalkan)
·         Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’.
D.     Hukum Ashl.

·         Tidak bersifat khusus dalam artian tidak bisa dikembangkan kepada far’u.
·         Tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas, maksudnya suatu hukum yang ditetapkan berbeda dengan kaidah qiyas, maka hukum lain tidak boleh diqiyaskan kepada hukum itu.
·         Tidak ada nash yang manjelaskan hukum far’u yang akan ditentukan hukumnya.
E.      Far’u.

·         ‘illat-nya sama dengan ‘illat yang ada pada ashl, baik pada zatnya maupun pada jenisnya. Contoh ‘illat yang sama zatnya adalah mengqiyas kan wisky pada khamr , karena keduanya sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit  atau banyak , apabila diminum hukumnya haram ( H.R. Muslim , Ahmad ibn hanbal , abu daud al-tirmidzi , ibn majah dan al-nasa’i)
·         Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas , misalnya tidak boleh meng-qiyaskan hukum men-zhihar( menyerupakan istri dengan punggung ibu), karena keharaman hubungan suami istri dalam menzhihar istri yang muslimah bersifat sementara yaitu sampai suami membayar kafarrat.
·         Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl , artinya hukum far’u itu harus datang dari hukum ashl. Contohnya adalah dalam masalah wudhu dan tayamum.
·         Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas , karena jika demikian maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma’
Qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma’ disebut para ulama sebagai qiyas fasid atau qiyas rusak. Misalnya mengqiyaskan hukum meninggalkan sholat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak berpuasa , karena qiyas seperti ini bertentangan dengan nash dan ijma’.[14]









Daftar Pustaka.

Harun, nasroen.1997 ushul fiqih 1, Jakarta:logos wacana
Shihab,m quraish.1992 membumikan al-qur’an ; fungsi  dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat , bandung : mizan
Mardani .2010 hukum islam , pengantar ilmu hukum islam diindonesia,yogyakarta:pustaka pelajar

Catatan Revisi:
1.      Makalah tidak ada indikasi copy-paste.
2.      Makalah ini belum sesuai dengan format yang dijadikan acuan, maka harus dirubah total agar sesuai.
3.      Daftar referensi hanya tiga, padahal minimal lima.
4.      Kerapian makalah belum diperhatikan, jadi tolong diedit lagi.
5.      Masalah dilalah (qot’i dan dzonni) tolong juga diulas sekalian contohnya. Baca bukunya Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih.
6.      Masalah footnote tolong dipelajari lagi, sebab masih salah.
7.      Tolong diberikan pencantuman ayat-ayat al-Qur’an ataupun sunnah.
8.      Makalah belum sesuai dengan tuntutan halaman.

Makalah tolong diperbaiki secara maksimal. Saya lihat makalah ini perlu perombakan besar-besaran agar bisa baik. Selamat merevisi!!!!!!



[1] Nasrun haroen , ushul fiqih 1, Jakarta:logos wacana ,1997, hal 20
[2] M.quraish shihab,membumikan al-qur’an ; fungsi  dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat , bandung : mizan hal. 29-32
[3] Nasrun haroen , ushul fiqih 1,Jakarta:logos wacana , 1997, hal 23
[4] Nasrun haroen , ushul fiqih 1,Jakarta:logos wacana,1997 hal 29
[5] Nasrun haroen , ushul fiqih 1 ,Jakarta:logos wacana 1997 hal 36
[6] Nasrun haroen , usshul fiqih 1,Jakarta :logos wacana,1997 hal 38
[7] Nasrun haroen , ushul fiqih 1,Jakarta:logos wacana,1997 hal :39
[8] Mardani ,hukum islam , pengantar ilmu hukum islam diindonesia,yogyakarta:pustaka pelajar,2010 hal 148
[9] Nasrun haroen , ushul fiqih 1,Jakarta:logos wacana,1997 hal 52
[10] Nasrun haroen,ushul fiqih 1,Jakarta:logos wacana,1997 hal 54
[11] Nasrun haroen ,ushul fiqih 1,Jakarta:logos wacana,1997 hal 61
[12] Mardani , hukum islam, pengantar ilmu hukum islam diindonesia ,Yogyakarta:pustaka pelajar,2010 hal 150
[13] Mardani , hukum islam, pengantar ilmu hukum diindonesia, Yogyakarta:pustaka pelajar,2010 hal 51
[14] Nasrun haroen, ushul fiqih 1,Jakarta:logos wacana,1997 hal 62-76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar