Jumat, 29 Juli 2016

Dua Tipologi Sudut Pandang terhadap Hadis



Dalam diskursus studi hadis, muncul dua pandangan terhadap hadis yang saling berbeda satu dengan lainnya. Dua pandangan tersebut adalah pandangan ahli hadis dan ahli hukum Islam. Ahli hadis identik dengan orang yang bergelut di bidang hadis dan aspek-aspek yang terkait dengannya, baik sanad maupun matan. Sementara itu, istilah ahli hukum Islam menempel pada orang yang memahami dalil-dalil syariat – yang salah satunya adalah hadis – dengan segala macam perangkat keilmuan yang ada.
Ahli hadis dan ahli hukum Islam mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam melihat eksistensi hadis itu sendiri. Jika ahli hadis memandang bahwa hadis merupakan segala macam tindak-tanduk Rasulullah tanpa terkecuali, baik perkataan, perilaku, ketetapan, maupun sifat-sifat jasmaniyah dan ruhaniyahnya, akan tetapi bagi ahli hukum Islam, hadis hanya meliputi perkataan, perbuatan, dan ketetapannya saja. Perbedaan seperti itu dilatarbelakangi oleh adanya distingsi cara pandang dalam melihat sosok Rasulullah. Ahli hadis melihat Rasul sebagai suri tauladan (uswatun hasanah) sehingga menjadi kewajiban untuk menirunya, sedangkan ahli hukum Islam melihat sosok beliau sebagai salah satu syari – selain Allah – yang memproduksi hukum-hukum syariat bagi umat Islam.
Para ahli hadis tidak begitu mendalam dalam memahami berbagai hadis yang ada. Dengan maksud lain, (mohon maaf) pikiran yang mereka miliki kurang begitu dimaksimalkan dalam proses pemahaman hadis, sebab ia tidak bergerak bebas sebagaimana mestinya. Tenaga mereka hanya tercurahkan pada aspek otentisitas dan originalitas hadis semata, apakah hadis itu berkualitas shahih ataukah dhaif. Jika shahih wajib dipakai sebagai pedoman, dan apabila dhahif mesti ditolak (meskipun masih ada perdebatan seputar penggunaan hadis dhaif). Dalam cara berpikir ahli hadis, hadis itu harus dimaknai apa adanya sesuai dengan apa yang dikatakannya dan tidak boleh menyelisihinya. Akibatnya, mereka cenderung menjadi tekstual dan beku di kala berhadapan dengan hadis.
Di sisi lain, ahli hukum Islam sangat selektif dalam memahami dalil syariat. Kapasitas pikiran mereka benar-benar dipergunakan dalam melakukan proses interpretasi teks al-Qur’an maupun hadis. Tidak ada pikiran yang “nganggur” jika memakai pola pikir ahli hukum Islam. Ia mampu bergerak dinamis mengikuti lajur perkembangan zaman. Oleh sebab itulah, ilmu ushul fiqih sebagai perangkat metodologis penemuan hukum Islam disebut sebagai ilmu al-naqliyah al-‘aqliyah, yakni ilmu yang mengombinasikan antara media teks dan rasio. Dalam ushul fiqih, selain al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum, muncul pula ijma, qiyas, istihsan, maslahah, urf, dan lain sebagainya. Dengan cara berpikir seperti ini, ahli hukum Islam mampu menempatkan hadis secara kontekstual, bukan sebagai sesuatu yang “taken for granted.”
Perbedaan pola berpikir ini, menurut saya, berdampak pada perdebatan di era sekarang antara sebagian orang yang berpikir secara tekstual dan sebagian lagi yang lebih mengedepankan pemikiran kontekstual; antara orang yang sering memberikan dikotomi sunnah-bid’ah dengan orang yang menyodorkan macam-macam hukum dari mulai wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram; antara orang yang tidak kelihatan memakai ushul fiqih dalam fatwa-fatwanya dengan orang yang berpikir keras dengan ushul fiqih terkait dengan fatwa yang dihasilkannya; antara orang yang seringkali mengutip klaim shahih-dhaif ala Nashiruddin al-Albani dengan orang yang memilih untuk lebih mendalam untuk memahami hadis dan masih mengakomodir hadis-hadis dhaif. Mafhum kan maksud saya? Hehe..
Lantas sikap yang proporsional bagaimana? Terkait dengan hal ini, saya suka dengan pendapat Muhammad al-Ghazali dalam al-Sunnah al-Nabawiyah baina ahl al-fiqh wa ahl al-hadits yang mengilustrasikan kedua golongan tersebut dengan pembuatan sebuah bangunan. Ahli hadis diumpamakan sebagai pengumpul bahan bangunan dan ahli fiqih bertugas sebagai orang yang membangun bengunan tersebut. Dalam sejarahnya, ahli hadis memang “berpetualang”(rihlah) dalam mencari hadis dari satu regional ke regional yang lain, sedangkan ahli fiqih lebih concern untuk memahami dalil agar bisa menggali hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Nah, kira-kira seperti itu juga sikap yang harus dibangun pada masa sekarang ini. Jadi, jangan hanya tahunya cuma bid’ah-sunnah, bid’ah-sunnah saja yach... hehe
     
Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad


Tidak ada komentar:

Posting Komentar