Senin, 30 Mei 2016

Perbedaan antara Dua Organisasi Moderat di Indonesia: Nahdhotul Ulama dan Muhammadiyah



Nahdhotul Ulama (NU) dan Muhammadiyah merupakan representasi dua organisasi Islam besar yang berhaluan moderat di Indonesia. Meskipun sama-sama berpaham moderat, namun keduanya acapkali mempunyai jalur pemahaman yang berbeda satu dengan lainnya. Dampak yang ditimbulkan pun terkadang hanya berskala “kecil”, seperti NU menganjurkan qunut pada saat shalat subuh, sedangkan Muhammadiyah meniadakannya. Terkadang pula dampaknya mempunyai skala yang “besar”, seperti penetapan satu ramadhan dan satu syawal yang berpotensi terjadi adanya perbedaan.
Secara umum, jika dianalisis lebih mendalam, terdapat beberapa perbedaan yang mendasar di lingkungan NU dan Muhammadiyah, yang kemudian berimplikasi pada munculnya jarak antara keduanya. Beberapa perbedaan di bawah ini merupakan telaah penulis pada fenomena dan pola pikir yang dimiliki oleh kedua organisasi Islam tersebut.
Pertama, pada dasarnya NU merupakan bentuk organisasi keagamaan, yang lahir atas pergolakan paham keagamaan di kalangan umat Islam. Telah lazim diketahui bahwa NU dibentuk karena munculnya gerakan wahabi, yakni pengikut Muhammad bin Abdul Wahab dari Nejed. Gerakan wahabi tersebut berhasil mengkudeta daerah Saudi Arabia dari tangan khilafah Turki Usmani. Gerakan ini banyak membunuh orang yang dipandang “kafir” dan melarang pemikiran madzhab empat untuk diajarkan di wilayah Hijaz (Makkah dan Madinah) padahal sebelumnya para ulama dari madzhab empat bebas memberikan pengajian di daerah Hijaz. Gerakan wahabi juga masuk ke Indonesia. Setelah melihat adanya “paham berbahaya” wahabi, akhirnya ulama-ulama tradisionalis di bumi nusantara ini menyikapinya dengan mendirikan organisasi yang bernama Nahdhotul Ulama. Sukses terbesar organisasi ini adalah batalnya penghancuran makam Nabi Muhammad saw. yang sebelumnya direncanakan hendak dihancurkan oleh orang-orang wahabi sebagaimana makam-makam lainnya.
Sementara itu, Muhammadiyah pada dasarnya merupakan organisasi sosial yang berupaya meningkatkan kemaslahatan hidup umat Islam yang pada saat itu sedang mengalami penindasan oleh para penjajah. Kelahiran Muhammadiyah pun banyak dipengaruhi oleh persentuhan dengan konteks imperialisme penjajahan Belanda. Dengan pola pemikiran sebagai organisasi sosial tersebut, tidak mengherankan jika Muhammadiyah mendirikan banyak rumah sakit, panti asuhan, sekolah, dan perguruan-perguruan tinggi yang sangat populer hingga saat ini. Jika melihat sejarah sosok KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah sendiri, ayat yang diajarkan olehnya secara berulang-ulang adalah surat al-Ma’un yang merupakan salah satu ayat yang berbicara mengenai hal-hal yang bersifat sosial.
Kedua,  Nahdhotul Ulama sangat mengedepankan sisi tasawuf. Dalam tradisi di kalangan NU, tasawuf merupakan aspek yang sangat ditonjolkan, dan dimanisfestasikan dengan adanya tarekat-tarekat yang mu’tabarah. Tarekat-tarekat tersebut merupakan sarana seseorang untuk bisa lebih mendekatkan diri pada Allah, sekaligus sebagai sarana untuk mencapai hakikat setelah seseorang telah berputar-putar di wilayah syariat. Dengan pola pikir seperti ini, Nahdhotul Ulama mempunyai pemikiran-pemikiran yang bercorak mistik, seperti konsep wali dengan berbagai tingkatannya, dari wali yang “sedikit aneh” hingga yang “paling aneh” sekalipun, ada pula hubungan langsung antara ulama yang sudah meninggal dengan ulama yang masih hidup yang dipercayai oleh kalangan NU. Dengan pola pikir yang simplisitis, epistemologi yang banyak berkembang di lingkungan Nahdhotul Ulama adalah epistemologi irfani, dengan dzauq, intuisi, rasa sebagai alatnya.
Sementara itu, di lingkungan Muhammadiyah lebih dikedepankan sisi rasionalitasnya, Hal-hal yang dianggap oleh kaum Nahdhiyyin sebagai sesuatu yang dapat diterima eksistensinya, seperti konsep wali dengan berbagai tingkatannya tidak diamini oleh kalangan Muhammadiyah. Mereka menganggap bahwa fenomena tersebut dan yang semisal kurang rasional dan cenderung mencampuradukkan ajaran Islam dengan ajaran di luar Islam. Seharusnya ajaran Islam yang dijalankan oleh seorang muslim harus murni tanpa disertai dengan hal-hal yang berbau mistik sebab bisa menyebabkan ia terjatuh pada penyakit TBC (Tahayul, Bid’ah, Churafat). Dengan demikian, secara simplisitis, epistemologi yang banyak berkembang di kalangan Muhammadiyah adalah epistemologi burhani, dengan akal sebagai alatnya.
Ketiga, Nahdhotul Ulama mengedepankan sikap taqlid pada ulama-ulama terdahulu. Mereka menilai bahwa pemahaman keagamaan yang dimiliki oleh seorang muslim pada zaman sekarang belum dapat masuk dalam kriteria sebagai seorang mujtahid, sehingga diwajibkan taqlid pada ulama-ulama pada masa lampau. Sebagaimana maklum dipahami bahwa untuk mencapai tingkatan mujtahid mutlak seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali ataupun mujtahid madzhab seperti Imam Nawawi dan Imam Rofi’i, seseorang harus menguasai berbagai perangkat keilmuan, dan hal itu terasa mustahil untuk bisa dicapai. Tidak ada cara lain untuk bisa sampai pada ajaran Islam yang benar selain membaca al-Qur’an dan Sunnah dengan kacamata ulama-ulama terdahulu. Oleh sebab itu, untuk bisa kembali pada al-Qur’an dan Sunnah (ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah), seseorang harus melalui “guide” pemahaman yang telah dikonstruksi oleh ulama-ulama yang hidup pada masa lampau yang tentunya lebih alim dan shalih. Dalam kajian Bahsul Masail dalam tradisi NU pun, dalam memecahkan masalah, kaum Nahdhiyyin merujuk pada kitab-kitab mu’tabarah yang diproduksi para ulama terdahulu demi memperoleh pemahaman yang tepat.      
Sementara di sisi lain, Muhammadiyah mengembangkan budaya ijtihad dan meninggalkan taqlid. Dengan pola seperti ini, mereka meninjau kembali produk-produk keislaman yang telah ada selama ini. Kemudian, produk yang telah ada itu disinkronkan dengan ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi dan dikomparasikan dengan pendapat ulama-ulama yang lain. Dari proses semacam ini, diharapkan muncul pendapat yang rajih (lebih kuat) dan menjadi pegangan di kalangan warga Muhammadiyah. Lewat Majelis Tarjih wa Tajdid-nya, Muhammadiyah berupaya untuk menemukan produk-produk keislaman yang tepat, seperti tidak adanya qunut pada waktu shalat subuh dan shalat tarawih dan witir yang berjumlah sebelas rakaat. Dengan demikian, bisa dikatakan Muhammadiyah langsung kembali pada al-Qur’an dan Sunnah (ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah) dan setelah itu baru menuju pada para pendapat para ulama. Yang membedakan antara Nahdhotul Ulama dan Muhammadiyah hanya pada posisi ulama. NU menempatkan ulama sebelum al-Qur’an dan Sunnah, tetapi Muhammadiyah menempatkan mereka setelah al-Qur’an dan Sunnah. Hal tersebut memang wajar mengingat bahwa sangat tidak mungkin seseorang melepaskan keberadaan ulama dalam memahami kajian-kajian keislaman.
Itulah tiga perbedaan mendasar antara kalangan Nahdhotul Ulama dan Muhammadiyah. Perbedaan-perbedaan tersebut bukan berarti antara satu dengan yang lain tidak memiliki hal yang satunya, semisal bukan berarti NU pada dasarnya merupakan organisasi keagamaan kemudian melupakan sisi sosialnya; begitu pula Muhammadiyah yang pada dasarnya adalah organisasi sosial kemudian melupakan sisi keagamaannya. Beberapa perbedaan itu dibuat berdasarkan fokus dan corak pemikiran mainstrem yang berkembang di masing-masing organisasi, sehingga perbedaan yang ada mungkin berlaku pada tataran yang general dan bukan spesifik.
Munculnya perbedaan-perbedaan antara Nahdhotul Ulama dan Muhammadiyah seperti ditulis di atas seharusnya bukan untuk dipertentangkan antara satu dengan lainnya, tetapi untuk saling melengkapi. Keberadaan keduanya penting untuk Indonesia, sebab kedua organisasi tersebut merupakan dua “benteng” utama yang mempertahankan NKRI dari serangan idiologi-idiologi transnasional yang ingin mengganti sistem pemerintahan negara. Tanpa adanya NU dan Muhammadiyah, Indonesia sepertinya akan keropos dan mudah dijatuhkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung-jawab.        

Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar