NASIKH MANSUKH
(Mengetahui
Ayat yang dinasikh dan dimansukhkan)
Vinda
Nurwahyuningsih (18130058)
Ridho Andi
Pratama (18130103)
Kevin Fauzul Adhim (15320152)
UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang
Abstract
This article
is to discuss nasikh mansukh (know the scriptures about nasikh and mansukh),
which ethically defines al-nasikh as erasing the individual that changes or
changes and al mansukh the meaning of removed the replaced or altered. However,
the terminology of an-nasikh according to subhi ash salih denotes "taking
the law of shaaa" in its usage. The qur 'an was the perfecter of the
earlier books which god had handed down to muhammad through the gabriel which
was handed down gradually. The Koran contains a life code that contains not
only for muslims but for all mankind. The qur 'an itself contains many things
about which identify, aqidah, fiqih, and faraid it contains history, love and
many other things. The contents of this Koran serve as a guide to human
happiness both in this world and the afterlife.
Abstrak
Artikel ini
bertujuan untuk membahas nasikh Mansukh (mengetahui ayat-ayat yang dinasikh dan
dimansukhkan) yaitu Secara etimologi, al-nasikh berarti menghapus, yang
mengganti atau mengubah dan al-mansukh berarti yang dihapus, yang digantikan
atau diubah. Sedangkan, secara terminologi (istilah), annasikh
menurut Subhi Ash-Shalih berarti mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’. Adapun Al-Quran merupakan penyempurna
dari kitab-kitab terdahulu yang telah diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad
SAW melalui Malaikat Jibril yang diturunkan secara berangsur-angsur.
Al-Quran mengandung pedoman hidup yang berisi tidak hanya untuk umat islam
tetapi untuk semua umat manusia. Ayat-ayat Al-Quran sendiri berisi tentang
banyak hal yang mengandung ketauhitan, aqidah, fiqih, faraid, bahkan di
dalamnya terdapat pula sejarah, cinta dan banyak hal lainnya. Isi di dalam
Al-Quran ini yang bisa dijadikan pedoman umat manusia untuk mencapai
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Keywords: Nasikh,
Mansukh, Al-Qur’an
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat
Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,
melalui perantara malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, serta dapat diamalkan
sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat Islam. Al-Quran
merupakan penyempurna dari kitab-kitab terdahulu yang telah diturunkan Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril yang diturunkan secara
berangsur-angsur. Al-Quran mengandung pedoman hidup yang berisi tidak hanya
untuk umat islam tetapi untuk semua umat manusia. Ayat-ayat Al-Quran sendiri
berisi tentang banyak hal yang mengandung ketauhitan, aqidah, fiqih, faraid,
bahkan di dalamnya terdapat pula sejarah, cinta dan banyak hal lainnya. Isi di
dalam Al-Quran ini yang bisa dijadikan pedoman umat manusia untuk mencapai
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Tujuan
diturunkannya al-Qur’an adalah untuk menjadikan manusia dalam menata kehidupan
supaya memperoleh kebahagiaan didunia maupun juga diakhirat. Setiap turunnya
ayat Quran mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, dengan demikian
seseorang dapat mepelajarinya dengan bantuan ilmu asbabunnuzul. Setelah
memahami latar belakang turunnya Quran seseorang bisa memepelajari Al-Quran
degan ilmu bantu lainnya, seperti Nahwu
Sorof
dan lain sebagainya agar lebih mudah untuk memahami isi kandungan ayat-ayat
Al-Quran. Karena, bahasa yang digunakan di dalam Al-Quran adalah bahasa sastra,
serta terdapat ayat yang di Nasikh
dan Mansukh kan.
B.
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Secara
etimologi, al-nasikh berarti menghapus, yang mengganti atau mengubah dan
al-mansukh berarti yang dihapus, yang digantikan atau diubah. Sedangkan,
secara terminologi (istilah), an-nasikh
menurut Subhi Ash-Shalih berarti mengangkat hukum syara’ dengan hukum syara’[1].
Ubay
Muhammad Makki ibn Abbi Thalib Al-Qaysi menjelaskan secara etimologi kata
“naskh” diartikan dengan al-naql yang diambil dari kata naskh
al-kitab (menukil dari satu kitab ke kitab yang lain). Dengan makna
tersebut, naskh tidak mengubah apa yang di-naskh. Kedua, kata
“naskh” berarti menghapuskan sesuatu untuk menempati posisinya. Makna tersebut
diambil dari perkataan nasakhat al-syams al-zhill. Merujuk pada makna
“naskh” yang demikian Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an dan
Al-Zarqani dalam Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an mengutip ayat: fayansakh
allah ma yulqi al-syaythan. Apa yang di-naskh menjadi hilang dan
posisinya digantikan oleh yang me-naskh. Ketiga, kata “naskh” berarti
menghapuskan sesuatu tanpa pengganti yang diambil dari perkataan nasakhat
al-rih al-atsar. Dengan demikian, baik yang me-naskh maupun yang di-naskh
sama-sama hilang.[2]
Maksudnya,
suatu hukum bisa saja berubah tidak sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan
sebelumnya dan diganti dengan hukum lain. Seperti yang terdapat dalam firman
Allah:
۞ مَا
نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ
بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ
عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Ayat
mana saja Kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami
datangkan yang lebih baik daripadanyya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?” (QS. Al-Baqarah (2):
106).
Bahwasannya Al-Quran telah menyebutkan nasakh memang ada dalam hukum islam,
sesuai dengan qodaruallah atas pertimbangan situasi dan kondisi masyarakat pada
masa di turunkannya Al-Quran. An-naskh
terjadi karena pertentangan dua nash
(ta’rudh). Nasakh tidak terjadi jika nash mengandung hukum itu tidak saling
bertentangan dengan nash yang
lainnya. Kedua nash itu muncul dalam waktu yang berbeda, maka nash yang muncul lebih awal digantikan
dengan nash yang muncul setelahnya. Nash yang munculnya pertama disebut
dengan al-mansukh
dan nash yang muncul setelanya
disebut an-nasikh.
Seperti
contoh firman Allah Surah Al-Anfal (8) ayat 65-66:
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ ۚ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ
عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ
يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا ۚ فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا ۚ فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“ Hai Nabi, korbankanlah
semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di
antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika
ada seratus orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan
seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak
mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui
bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu serratus orang yang
sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika di
antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan
dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang sabar”.
Diketahui
bahwa kedua ayat ini saling bertentangan, ayat pertama mewajibkan satu muslimin
melawan sepuluh orang kafir. Sedangkan ayat kedua mewajibkan satu tentara
muslim melawa dua tentara kafir[3].
Pengertian
menurut para ulama’ secara bahasa dibagi menjadi 4:
1.
Bermakna
izalah atau menghilangkan.
2.
Bermakna
tabdil atau mengganti.
3.
Bermakna
tahwil atau memalingkan.
4.
Bermakna
menukil atau memindah dari satu tempat ketempat lain.
C.
Nasikh mansuk menurut jumhur
Salah satu di antara ulama’ yang mengakui adanya
konsep nasikh mansukh adalah Abdullah Saeed, beliau seorang penafsir
kontemporer yang menawarkan metode baru dalam menafsiri Alquran yakni metode
kontekstualis.[4] Alasan beliau sepakat dengan adanya
konsep nasikh mansukh ditengah perdebatan ulama’ baik yang mengakui atau
menolak konsep nasikh mansukh dan relavansi nasikh mansukh menurut Abdullah
Saeed dalam menafsiri dan memahami teks-teks Alquran sebagai kitab petunjuk
agar selalu relavan untuk kontek sekarang dan masa yang akan datang.
Ada beberapa penelitian yang membahas nasikh mansukh
diantaranya tulisan Hasan Asy’ari Ulama’i’ dalam tulisannya berjudul Konsep
Nasikh dan Mansukh Dalam Alquran, ditulisannya ini beliau menjelaskan
pembahasan terkait nasikh dan mansukh adalah pembahasan yang sangat penting
dalam menafsiri Alquran untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran,
menurutnya walaupun masalah nasikh dan mansukh masih terjadi pro dan kontra
namun hal tersebut bukanlah keputusan akhir yang masih memungkinkan untuk
berubah, ia juga menegaskan bahwa meskipun banyak dari kalangan intelektual tidak
sepakat adanya nasikh dan mansukh tetapi pendapat yang lebih disepakati banyak
ulama’ adalah pendapat yang mengakui adanya nasikh dan mansukh.[5]
Penelitihan yang dilakukan oleh Abdul Rahman Malik dalam
jurnal berjudul Abrogasi dalam Alquran Studi Nasikh dan Mansukh, tulisan ini
menjelaskan tema nasikh dan mansukh adalah tema pokok dalam Ulumul Qur’an,
kajian nasikh dan mansukh penting untuk mengetahui dinamika suatu hukum,
kesimpulannya kajian nasikh dan mansukh adalah kajian yang berhubungan dengan
perintah dan larangan bukan terkait dengan hal-hal akidah, akhlak dan pokok
ibadah.[6]
D.
Syarat terjadinya Naskh
Untuk
kriteria Syeh Kholil al-Qattan memberikan beberapa syarat yakni:
1.
Hukum yang dihapus harus berupa
hukum syara’, sehingga jika hukum yang dihapus bukan merupakan hukum syara’
seperti hukum yang berlaku di suatu lembaga atau komunitas tertentu maka hal
tersebut tidak bisa dikatakan sebagai nasikh mansukh.
2.
Dalil yang menghapus adalah hukum
syar’i yang datang setelahnya. Sehingga ketika terjadi kontradiksi antara ayat
tidak bisa dikatakan bahwa hukum yang datang lebih awal menghapus hukum yang
datang setelahnya.
3.
Hukum yang dihapus tidak dibatasi oleh waktu tertentu, sehingga
penghapusan hukum bukan disebabkan karena hukum yang awal telah habis waktunya
sehingga harus digantikan.[7]
Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab Ilmu Ushul Fiqh yakni
nasikh adalah pembatalan hukum syara’ yang telah berlaku dengan hukum syara’
yang datang setelahnya. Dengan
beberapa kriteria yakni :
1.
Nasikh dan mansukh harus ditempat
yang terpisah, maksudnya tidak bisa ayat nasikh dengan ayat mansukh kedua masih
ada dan berada dalam satu tempat yang sama.
2.
Nasikh harus lebih kuat dari
mansukh atau sejajar, pendapat ini tidak bisa menerima jika ayat nasikh
derajatnya dibawah hukum mansukh.
3.
Mansukh tidak dibatasi oleh waktu
tertentu.
4.
Mansukh harus berupa hukum
syara’.
Dijelaskan oleh Az-Zarqani dalam kitab Manahilil Irfan
bahwa pengertian nasikh secara istilah sangat banyak sekali dan beragam, namun
dari semua pendapat secara umum adalah sama[9] yakni pengapusan hukum syara’ dengan hukum syara’ yang
datang setelahnya.
Sementara itu, rumusan naskh yang dilahirkan ulama Islam mensyaratkan
bahwa naskh baru bisa dilakukan manakala memenuhi aturan/syarat yang telah
ditentukan. Imam Muhammad Abu Zahrah contohnya, dalam me-nasakh suatu nash
mengajukan empat syarat[10]
pertama, hukum yang di-mansûkh tidak diikuti oleh ungkapan yang
menunjukkan atas keabadian hukum yang terkadung di dalamnya. Contoh, persaksian
orang yang dikenakan sanksi karena menuduh orang lain berbuat zina, tidak akan diterima
sebelum ia bertaubat. Sebabnya, nash yang menetapkan hukum ini diikuti
oleh ungkapan yang menunjukkan atas berlakunya hukum tersebut selama-lamanya.
Kedua, hukum yang mansûkh itu tidak tergolong masalah masalah yang
telah disepakati oleh para cerdik pandai atas kebaikan atau keburukannya.
Misalnya, perkara beriman kepada Allah SWT, berbuat baik kepada kedua orang tua,
jujur, adil, bohong, dan lain sebagainya.[11] Hal
ini juga ditegaskan oleh Adbul Wahhab Khallaf, menurutnya, nash yang
mengandung masalah-masalah kewajiban beriman kepada Allah SWT, rasul,
kitab-Nya, Hari Akhir, dan dasar dasar akidah serta ibadah yang lain, tergolong
dalam nash-nash yang mencakup hukum ‘dasar’ agama Islam yang tidak dapat
berubah sebab perubahan kondisi manusia dan tidak berubah menjadi baik atau
jelek sebab perbedaan tolak ukur. Ketiga, nash yangmengganti (nâsikh)
turunnya harus lebih akhir dari nash yang diganti (mansûkh). Sebab,
naskh berfungsi menggantikan berlakunya hukum yang terkandung dalam nash
yang diganti (mansûkh). Selain itu, kedua nash tersebut harus
sama tingkat kekuatannya. Keempat, naskh dilakukan hanya apabila kedua nash
(nâsikh dan mansûkh) benar-benar sudah tidak dapat dikompromikan.
E.
Bentuk Nasikh Mansukh
Menurut at-Tabari berdasarkan buku yang ditulis oleh John Burton, ada tiga bentuk Nasikh
Maksukh. Pertama, nasakh al-tilawa duna
al-hukm (menghapus teks dan tidak pada hukumnya). Kedua, nasakh al-hukm duna
al-tilawa (menghapus hukum dan tidak teksnya). Ketiga, nasakh al-hukm wa altilawa
(menghapus hukum sekaligus teksnya).12
1. Nasakh al-tilawa duna al-hukm. Nasakh dilakukan pada bacaan atau teks
al-Qur'an saja namun tidak menasakh hukum, hukum dalam ayat tersebut masih
berlaku masih tetap berlaku. Contoh, ayat yang menjelaskan perintah untuk
merajam laki-laki atau perempuan pezina. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dari ‘Umar bin al-Khathab dan Ubay bin Ka‘ab. Keduanya menyatakan bahwa di
antara ayat al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah ayat
( الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما نكالا
من الله والله عزيزحكيم ). Teks dalam ayat ini sudah dihapus, namun hukum dalam ayat tersebut
masih berlaku. Nasakh model ini ditolak oleh sebagian besar ulama karena
bagaimana mungkin hukum masih berlaku sedangkan nas atau teks ayat sudah tidak
ada.
2. Naskh al-hukm duna al-tilawa, yaitu penghapusan suatu hukum namun tidak menghapus
bacaan. Contohnya antara lain perintah mengubah arah kiblat salat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, penghapusan puasa selama tiga hari setiap
bulan dan puasa ‘Asyura dengan puasa Ramadan.
3. Naskh al-hukm wa altilawa, Nasakh penghapusan bacaan atau teks al-Qur'an sekaligus juga penghapusan
hukum yang terkandung di dalamnya. Contoh yang umum dikemukakan ialah riwayat ‘Aisyah yang
pernah berkata bahwa pada mulanya, diturunkan ayat al-Qur'an (tentang saudara sepersusuan yang
diharamkan menikah) adalah sepuluh susuan yang diketahui, kemudian di-nasakh
dengan lima kali (susuan) yang diketahui, kemudian setelah itu Rasulullah
Saw wafat.
F.
Hikmah adanya Nasikh Mansukh
Berdasarkan
pengertian Nasakh Mansukh diatas dapat diambil manfaatnya antara lain :
1.
Memelihara kemaslahatan manusia. Syariat Allah adalah perwujudan dari
rahmatNya. Allah Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana
syariat-Nya, Allah mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai
kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan akhirat.
2.
Perkembangan hukum syara’ menuju tingkat kesempurnaan disesuaikan dengan
kondisi dan perkembangan peradaban manusia. Al-Qur’an diturunkan secara
beransur-ansur berkaitan dengan proses penetapan syariat. Allah yang Maha
Bijaksana mengetahui kondisi masyarakat Arab pada saat al-Qur'an turun. Adanya
tahapan-tahapan dalam menetapkan hukum berguna untuk memudahkan pelaksanaan
hukum tersebut.
3.
Memberikan kebaikan dan kemudahan kepada umat. Apabila hukum yang terakhir
(yang menggantikan hukum sebelumnya) lebih berat tentunya yang mengerjakan
(mukallaf) mendapat pahala yang lebih besar. Sebaliknya, apabila hukum yang
terakhir lebih ringan, pasti akan lebih mudah mengerjakannya.
G. Penutup
Kesimpulan
1.
Secara
etimologi, al-nasikh berarti menghapus, yang mengganti atau mengubah dan
al-mansukh berarti yang dihapus, yang digantikan atau diubah.
2.
Nasakh tidak terjadi
jika nash mengandung hukum itu tidak saling
bertentangan dengan nash yang
lainnya.
3.
Ada beberapa bentuk nasakh, yaitu ayat yang dinasakhkan bacaan dan hukumnya,
ayat yang dinasakhkan hukum, tetapi tidak menghilangkan bacaannya, ayat yang
telah dinasakhkan bacaannya, namun hukumnya masih diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Baidowi Ahmad, 2005. Mengenal
Thabathaba’I dan Kontroversi Nasikh-Mansukh. Bandung: Penerbit Nuansa
Dr. Kadar M. Yusuf, M. (n.d.). Studi
Al-Quran.
Burtun, John. 1990. The
Sources of Islamic Law. Edinburgh:Edinburgh University Press
Asmu’i. 2013. Studi
Kritis Atas Konsep Nasikh-Mansukh Abdullah Ahmed An-Na’im. Kalimah: Jurnal
Studi Agama dan Pemikiran Islam. 11(1):151-174
Aavi Lailaa Kholily.
2018. Pandangan Abdullah Saeed Pada Nasikh Mansukh. UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Jurnal. 4(1):159-178
Ruslan. 2019. Nasikh Dan
Mansukh Alquran Menurut dr. Hamka. Journal of Islamic and Law Studies.
3(2):1-19
Reflita. 2017. Redefinisi
Makna Nasakh Mansukh Internal Ayat Al-Qur’an. Substantia. 19(1):23-36
Zainul Mu’nim. 2014. Teori
Nasikh Mansukh Al-Qur’an Sebagai Pembaharuan Hukum Islam Dalam Pemikiran
Abdullahi Ahmed An-Na’im dan Muhammad Syahrur. Al-Mazahib. 2(1):1-22
Noor Rohman Fauzan. 2014.
Urgensi Nasikh-Mansukh Dalam Legalisasi Hukum Islam. Isti’dal;Jurnal Studi
Hukum Islam. 1(2):201-213
Catatan:
1.
Similarity 54%, sangat tinggi sekali
2.
Pembahasan pengertian nasikh mansukh loncat-loncat
3.
Dalam karya ilmiah, penulis gelar dihilangkan
4.
Nasikh-mansukh menurut jumhur? Isinya tidak jelas
5.
Lien Iffah bukan penulis buku, penulis buku adalah Abdullah Saeed. Lien
Iffah hanya menerjemahkan
6.
Anda mengutip dari bukunya John Burton? Ah, coba besok dibuktikan ketika
presentasi!!
7.
Daftar pustaka tidak nyambung dengan footnote. Coba diteliti satu persatu.
[2] Ahmad Baidowi, Mengenal Thabathaba’I dan Kontroversi
Nasikh-Mansukh, hlm 67
[4] Lien Iffah Naf’atu Fina Penafsiran Kontekstualis Atas Al-Qur’an,
Terjemahan Dari Buku Interpretasi The Qur’an: Towards A Contemprary Approach
(Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata, 2016), Hal. 2.
[5] Hasan Asyari Ulamai, “Konsep Nasikh Dan Mansukh Dalam Al-Quran” Didaktika
Islamika 7 No 1 (Februari 2016): 63-84.
[6] Abdul Rahman Malik, “Abrogasi Dalam Alquran: Studi Nasikh Dan
Mansukh,” Jurnal Studi Al-Qur’an 12, No. 1 (1 Januari 2016): 98–113,
Https://Doi.Org/10.21009/Jsq.012.1.06.
[8] Subaidi “Historisitas Nasikh Mansukh Dan Problematikanya Dala
Penafsiran Alquran” Hermeneutika 8, No 1 (Juni, 2014): 60
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008),
293-294.
oleh setiap generasi dalam setiap masa sebagai sesuatu yang baik yang harus
diterima atau
sesuatu yang buruk yang harus
dihindari, tidak dapat diganti (nasakh). Ibid, 294.
12 John Burton, The Sources of Islamic Law, hlm. 122
Tidak ada komentar:
Posting Komentar