TA’WIL DAN NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK
Arna Ulinnuha dan Mutmainnah
Mahasiswa PAI A Angkatan 2016 Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang
e-mail: Mutmainnah230@gmail.com
Abstract
This article will discuss Ta'wil and Nasakh and Muradif and
Musytarak, which are rules that must be discussed in Ushul Fiqh to discuss and
regulate Islamic laws. In the Ushul, Ta'wil Fiqh is "Transferring zhahir
lafaz from its original use to something that is needed by the argument"
in short, transferring the meaning of zahir to another meaning. Nasakh canceled
and replaced the enforcement of a sharia law 'and replaced the law with a new
syara' legal provision. Muradif "Some words are used for one meaning"
(synonym). And the last one is Musytarak, a lafadz that has two meanings or can
better distinguish different meanings.
Keywords: Ta'wil,
Nasakh, Muradif, and Musytarak.
Abstrak
Artikel ini akan membahas tentang Ta’wil dan Nasakh serta
Muradif dan Musytarakmurupakan kaidah yang harus diperhatikan
dalam Ushul Fiqh untuk menggali dan menetapkan mengenai hukum-hukum
Islam. Dalam Ushul Fiqh Ta’wil adalah “Mengalihkan zhahir lafaz dari
pemakaian asalnya kepaa sesuatuyang diperlukan oleh dalil” lebih singkatnya
mengalihkan makna zahir kepada makna yang lain. Nasakh membatalkan dan
menghapus pemberlakuan suatu hukum syara’ dan mengganti hukum tersebut dengan
suatu ketentuan hukum syara’ yang baru. Muradif “Beberapa lafad terpakai untuk satu makna”(sinonim). Dan yang terahir yaitu Musytarak suatu lafadz yang mempunyai dua makna ataupun lebih dan
dapat menunjukkan makna yang berbeda-beda.
Kata Kunci : Ta’wil, Nasakh,
Muradif, dan Musytarak.
A.
PENDAHULUAN
Ushul Fiqhi adalah mata pelajaran pokok Ilmu Pengetahuan Agama
Islam. Hal itu disebabkan karena ushul fiqh adalah baan ang tidak dapat
terpisahkan dalam ilmu pengetahuan islam sebab ushul fiqh adalah usaha atau
cara untuk menghasilkan perangkat ketentuan yang harus dilakukan oleh seseorang
dalam usahanya mencari kebahagian didunia dan diakhirat. Perangkat tersebut
dinamakan fiqh.
Al-Quran merupakan sumber hukum islam yang paling utama. Dalam
memahami Al-Qur’an secara tepat, maka seharusnya sebelum memahami kaidah,
sebaiknya memahami kebahasaan dari Al-Qur’an tersebut terlebih dahulu.
Ulama-ulama terdahulu sering merasa tidak pantas unuk memberi penafsiran pada
ayat Al-Qur’an sebelum mereka menguasai banyak ilmu-ilmu pembantu dalam
memahaminya. Seringkali hanya mengambil pendapat para ulama pendahulu mereka
yang mereka pandang jauh lebih alim dan bersih hati dan jiwanya.
Hal itu karena mereka menganggap bahwa Al-Qur’an dan hadis bukan
hanya susunan suatu kata atau kalimat melainkan memiliki riwayat, makna dan
rahasiah. Al-Qura’an merupakan kalam ilahi yang didalamnya tersusun kata-kata
yang penuh dengan nilai seni. Oleh karena itu, agar seorang tidak melakukan
kesalahan daalam penafsiran Al-Qur’an maka seseorang tersebut haruslah memahami
makna dari lafadz-lafadz dalam Al-Qur’an. Oleh sebab itu dalam artikel ini,
penulis akan menjelaskan kaidah-kaidah yang dapat digunakan dalam memahami
lafadz Al-Qur’an yaitu ta’wil, nasakh, muradif dan musytarak.
B.
Ta’wil
1.
Pengertian
Ta’wil
Secara
etimologi, Ta’wil berasal dari kata أول-يؤول-ال
yang berarti الرجوع
atau kembali, yaitu dikembalikannya makna sebenarnya dan العاقبة (akibat atau pahala). Sedangkan isim zaman dan makannya
adalah الموئل dan موئل
yang berarti المرجع (tempat
kembali).[1]
Adapun definisi ta’wil menurut para
ulama, adalah:
a.Abd. Wahab Khallaf memberikan definisi, yaitu:
صرف اللفظ عن ظاهره بدليل
“Memalingkan lafaz dari arti zhahirnya
berdasarkan adanya dalil”
a.
Menurut
Ibn Jauzi:
نقل الكلام عن موضوعه الى مايتحتاج فى إثباته الى دليل لو لاه ما ترك
ظاهر اللفظ
“Mengalihkan
ucapan dari maudhu’-nya kepada apa yang diperlukan untuk menetapkan kepada
dalil yang kalau tidak demikian, maka zhahir lafaaz tidak akan ditinggalkan”
b.
Adapun definisi yang diberikan oleh Ibnu Atsir:
نقل ظاهر اللفظ عن وضعه الأ صلى إلى ما يحتاج إلى دليل
“Mengalihkan
zhahir lafaz dari pemakaian asalnya kepaa sesuatuyang diperlukan oleh dalil”
c.
Lalu
definnis dari Abu Zahrah:
أخرج اللفظ عن ظاهر معناه إلى معنى اخر يحتمله
“Mengeluarkan
lafaz dari lahir maknanya kepada makna lain yang ada kemungkinan untuk itu.”[2]
2.
Kriteria
atau syarat-syarat ta’wil
Takwil pada dasarnya berasal dari
sebuah teks bahasa dan susunan gaya bahasa (uslub-uslubnya). Takwil
dilakukan agar mujtahid-mujtahid tidak salah dalam melakukan ijtihad bir-ra’yu
, sehingga dalam pengamalan syari’ah tetap sesuai arti lahiriyah ayat dan
dapat diamalkan. Dari faktor tersebut, syarat-syarat ta’wil dambil dari
teks-teks syariat yang telah ada dan terdapat didalamnya, sehingga hasil dari
pentakwilan dapat dianggap benar dan dapat diterima
Adapun syarat-syarat ta’wil adalah
a.
Lafal
yang akan dita’wil harus memiliki kriteria lafal yang dapat dita’wil dan masih
dalam kajiannya
b.
Ta’wil
harus didasarkan pada dalil-dalil yang shahih dimana statusnya dapat menguatkan
hasil pentakwilan.
c.
Lafadz
ta’wil harus dapat mencakup arti yang telah dihasilkan melalui takwl bahasa.
d.
Tawil
tidak dapat bertentangan dengan nash qath’iy . karena nash qath’iy termasuk
dalam tata urutan syariah yang umum.
e.
Arti
dar penta’wilan nash harus lebih kuat dari arti lahiriahnya dadn dkuatka dengan
dalil.[3]
3.
Klasifikasi
ta’wil
a.
Ta’wil
qarib
Ta’wil qarib
merupakan ta’wil yang dasar penta’wilannya adalah dall terendah, artinya berdasarkan
pada pemahaman tekstual, kontekstual, atau logis.
Contoh:
إِذَا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى
الْمَرَافِقِ
Pada ayat tersebut, jika diartikan secara lafal lahiriah, artinya
kewajiban berwudlu setelah shalat dilakukan. Arti ini bertentangan dengan salah
satu syarat sahnya shalat yang mewajibkan lebih dahulu berwudhu, sedang syarat
yang harus didahulukan, baik menurut pemahaman syara’ maupun akal.
Dengan demikian, lafal إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ harus di ta’wilkan dengan
cara mengubah arti hakikatna (yakni : اذا فعلتم ) kepada arti majaziyahnya,
yaitu اذا عزمتم atau اذا اردتم .
b.
Ta’wil ba’id
Ta’wil ba’id merupakan ta’wil yang tidak terpenuhinya persyaratan
dalam suatu pentakwilan berdasar pada dalil terendah. Oleh karena itu, jika
ternyata didalam takwil tersebut ditemukan penyimpangan dari persyaratan
tersebut, maka ta’wil itu harus di tolak.
Walaupun demikian, para ahli ushul fiqh mempunyai pendapat yang
berbeda-beda dalam menanggap persoalan penetapan ta’wil ba’id.
Contoh:
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ
عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ
“Maka kaffarat (melanggar) sumpah
itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin”
Pada ayat diatas, dzahir nash menunjukkan adanya keharusan memberi
makanan dalam jumlah khusu, yakni sepuluh orang miskin, dan ‘adad adalah
lafal khususyang secara ijma berkualitas qath’y.[4]
C.
Nasakh
1.
Pengertian
Nasakh
Menurut Syekh Muhammad Al-Khudairi Biek, Naskh adalah menyingkirkan
hukum syara; dengan adanya dalil syar’i. hal tersebut diperbolehkan secara akal
dan terjadi berdasarkan pendengaran dalam syariat Islam dengan cara membatalka
hukum yang datan terlebih dahulu dengan hukum yang datang setelahnya dalam satu
syariat. [5]
Lalu Al Jarjani sebagaimana dikutip
oleh Romli kata Nasakh ditinjau secara etimologisdalam bahasa Arab dapat
diartikan sebagai التبديل (mengganti, mengubah), الازلة (menghilangkan) الرفع (penghapusan) atau bisa
juga disebut dengan البطال (pembatalan).[6]
Selain itu Zaidan sebagaimanayang dikutip oleh Romli juga mengartikan kata
naskh dengan “النقل” yaitu mengganti atau memindahkan. [7]
Lalu, Naskh dalam istilah
syara’ atau yang didefinisikan oleh ulama ulama usul fiqh terdapat beberapa
pengertian, yaitu:
a.
al-Din
Sya’ban dikutip dikutip oleh Romli , memberi pengertian bahwa nasakh adalah:
رفع
الحكم اشرعي بدليل شرعي متأ جر عن دليل
ذلك الحكم
“Penghapusan ketentuan hukum syara’ dengan
suatu dalil syara’ yang (datamg) kemudian dari ketentuan hukum manusia”
b.
Kemudian
Zaidan dikutip oleh Romli, menjelaskan naskh seperti Zaky al-Din
Sya’ban, yaitu:
رفع
الحكم اشرعي بدليل شرعي متأ جر عنه و يسمى
هذا الدليل باالناسخ و يسمى الحكم الاول با لمنسوخ و يسمى الرفع با لنسخ
“Penghapusan ketentuan hukum syara’ dengan
suatu dalil syara’ yang (datamg) kemudian disebut dengan nasikh dengan
ketentuan hukum semula disebut dengan mansukh, sementara penghapusan hukum
tersebut disebut nasakh”
c.
Sementara
Khalat dikutip oleh Romli, memberikan definisi tentang naskh ini sebagai
berikut:
النسخ هو ابطال العمل بالحكم الشرعي يدليل مراخ عنه ، يدل على ابطاله صراحة أو ضمنا، ابطالا كليا
اوابطالا جزئيا لمصلحة اقتضته
“Nasakh ialah pebatalan pengamalan
penggunaan hukum syara’ dengan suatu ketentuan dalil yang datang kemudian.
Pembatalan tersebut baik secara jelas atau samar –samar, secara kulli atau
juziy Karena adalah kepenrtingan kemaslahatan yang menghendakinya”
d.
Lalu,
Muhamad bin Umar al- Kabbaziy mendefinisikan naskh sebagai:
هو بيان انتهاء الحكم الشرعي الذي في تقديره أوهامنا استمراره بطريق
من صاحب الوحي متأَخِر
“ Nasakh adalah penjelasan berakhirnya masa
berlaku ketentuan hukum syara’ yang didasarkan menurut perkiraan kita dengan
jalan adanya wahyu yang datang kemudian.[8]
Dari beberapa definisi yang telah
dijelaskan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertia naskh adalah
membatalkan dan menghapus pemberlakuan suatu hukum syara’ dan mengganti hukum
tersebut dengan suatu ketentuan hukum syara’ yang baru. Ketentuan hukum syara’
yang datang terakhir atau hukum syara’ yang baru disebut sebagai nasikh ( (ناسخ. Lalu ketentuan hukum syara’ yang dibatalkan
atau dhapuskan disebabkan adanya suatu hukum yang baru disebut (منسوخ) . [9]
Mengapa penghapusan suatu ketentuan
hukum syara’ atau disebut nasakh , kemudian diganti dengan sebuah
ketentuan hukum yang baru?. hakekatnya, tidak seorangpun yang tahu sebab
dihapusnya sebuah hukum syara’ dan digantikannya dengan sebuah hukum syara’
yang baru adalah sebuah ketetapan bijak
yang ditetapkan oleh Allah SWT sebab Allah mengetahui yang terbaik untuk
hamba-hamban-ya. [10]
2.
Cara
mengetahui nasakh
a.
Nash
yang secara konteksnya memperlihatkan yang satu menjadi nasikh untuk
yang lain. Contohnya terdadpat dalam surah Al-Anfal ayat 66:
الْآنَ
خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا ۚ فَإِنْ يَكُنْ
مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْ…….
“Sekarang
Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada
kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir”
Ayat di atas menjadi nasikh terhadap
ayat sebelumnya (anfal ayat 65) :
وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ
الَّذِينَ كَفَرُوا
“Dan
jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan seribu dari pada orang kafir”
Demikian pula dalam Firman Allah
dalam surat Al- Baqarah ayat 187:
الْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar”
ayat diatas men-naskh hukum terdahulu
tentang tidak boleh melakukan sengama, minum serta makan pada malam hari. [11]
b.
terdapat
penjelasan langsung dari Rasulullah, seperti dalam masalah berziarah:
كنت نهيتكم
عن زيارة القبر فزوروها (رواه مسلم)
“Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur,
tetapi sekarang berziaralah” (Hadis Riwayat Muslim)[12]
c.
Terdapat
tindakan Rasulullah sendiri, ccontohnya cambuk 100 kali bagi orang yang
melakukan zina, yaitu dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 2 yaitu seorang pezina
harus dicambuk 100 kali.
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”
Lalu adanya hadits yaitu: seorang bujang dan gadis
yang melakukan zina dicambuk 100 kali kemudian diasingkan 1 tahun. Tambahan
dari hukum tersebut adalah 1 tahun pengasingan. [13]
d.
Terdapat
keterangan dari periwayat hadits yag mengatakan bahwa suatu hadis dikeluarkan
pada tahun sekian dan hadis yang lain dikeluarkan tahun sekian. Seperti sebuah ucapan : نزلت اية كذا بعد اية كذا (ayat ini turun setelah ayat ini). contoh
terdapat dalam surah al-Muzammil: 20
..فَاقْرَءُوا مَا
تَيَسَّرَ مِنْهُ ۚ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ..
" Maka bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang"
Kemudian
adanya hadis:
لا صلاة لمن لم يقرأ بسورة الفاتحة
“Tidak sah salat orang yang tidak
membaca al-fatihah”[14]
3.
Syarat-syarat
Naskh
Keberadaan Naskh dalam Al-Qur’an telah diakui oleh jumhur ,
akan tetapi ada syarat-syarat yang harus di penuhi . syarat-syarat ada yang
disepakati namun ada juga yang tidak disepakati. Syarat-syarat yang disepakati
diantaranya:
a.
Hukum
yang dibatalkan merupakan hukum syara’
b.
Pembatalan
hukum tersebut disebabkan adanya tuntutan syara’
c.
Pembatalan
tersebut disebabkan karena waktu pemberlakuan hukum telah berakhir.
d.
Tuntutan
baru yang mengandung naskh wajib datang kemudian. [15]
4.
Hikmah
Naskh
Kemaslahatan bagi manusia adalah tujuan dari penetapan suatu hukum.
Kemaslahatan manusia tentu saja megalami perubahan karena terpengaruh situasi
dan kondisi yang berubah-ubah. Penetapan hukum untuk merealisasikan
kemaslahatan tersebut didasarkan sebab-sebab tertentu. Bila sebab sebab hukum
tersebut tidak terdapat lagi, maka hukum tersebut tidak diperlukan lagi.
Sebagai contoh pada zaman pra-Islam, masyarakat Arab adalah
penyembah berhala. Setelah masuk islam, Rasulullah merasa pengaruh tersebut
masih terdapat pada sebagian ummatnya. Oleh sebab itu, Rasulullah melarang umat
islam untuk menziarahi kuburan karena khawatir akan kembali menyembha berhala
lag dan mengganggu akidah. Setelah Rasulullah merasa akidah umat Islam telahh
kuat dan sudah tidak terpengaruh oleh kebiasaaan-kebiasaan lama , Rasulullah
memperbolehkan kemali menziarahi kubur yang masih diberlakukan hinggah
sekarang. Sebagaimana Hadis Rasulullah:
كنت نهيتكم
عن زيارة القبر فزوروها (رواه مسلم)
“Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, tetapi sekarang
berziaralah” (Hadis Riwayat Muslim). [16]
D.
Al-
Muradif ((المرادف
1.
Pengertian Muradif
Dalam bahasa Muradif memiliki arti membonceng,
ikut serta atau kata yang searti. Dan secara istilah Muradif adalah :
Artinya “Muaradif ialah lafal yang bentuk lafalnya
banyak. Tetapi artinya sama”.[17]
Serta menurut ahli ushul fiqh mengartikan Muradif adalah :
Artinya “Beberapa lafad terpakai untuk satu makna”
Beberapa contoh Murodif sebagai beriku :
a. "الليث",
"الأسد" : singa
b.
"البيت",
"المنزل", dan, "الدار": rumah
Dari keterangan tersebut, Muradif adalah
kata yang mana bentuk kata(lafal) itu banyak akan tetapi memiliki makna
yang sama atau bisa disebut dengan sinonim.
2.
Hukum Muradif
Bersangkutan dengan lafalMuradif, ada beberapa
persoalan yang muncul karena lafal Muradif, dalam persoalan ini ulama
menanyakan bagaimana hukumnya. Ada sebuah kasus beda lafal akan tetapi
memiliki makna yang sama, apakah boleh diganti ? misalnya "الليث",diganti "الأسد".
Secara umum para Ulama’ berpendapat bahwa tidak boleh
diganti lafal Muradifnya karena Al-Qur’an bersifat Ta’abudi yang mana
secara keseluruhan Al-Qur’an dan lafal-lafalnya mengandung mukjizat.
Selain mempersoalkan tentang lafal Muradif para ulama juga mempersoalkan
dalam beberapa hal, semisal dalam masalah dzikir. Dalam hal ini ada dua syarat
yang harus dipenuhi dalam permasalahan dzikir, menurut golongan yang
membenarkan Muradif, sebagai berikut :
a.
Apabila tidak ada halangan Agama baik secara jelas ataupun samar, jadi lafal
Muradifnya diperbolehkan
b.
Apabila lafal Muradifnya berasal dari bahasa yang sama, semisal
sama-sama menggunakan bahasa Arab. Jadi diperbolehkan juga menggunakan lafal
Muradifnya.[18]
Dalam hal ini Imam Abu Hanifah dan sebagian
ulama seperti Imam Malik dan Iman Syafi’i juga berpendapat tentang lafal
Muradif
a.
Imam Abu Hanifah, membolehkan menempatkan lafal Muradif di tempat
lainya, akan tetapi apabila tidak terdapat halangan secara syara’ dan masih
dalam bahasa yang sama, misal :
Allahu akbar (الله اكبر) , lafal tersebut bisa diganti dengan beberapa lafal
yang mempunyai arti sama seperti Allahu A’dham (الله
الأعظم), Allahul A’la (الله لأعلى) atau Allahu Ajal (الله الاجل).
b.
Menurut pendapat ulama’ lain seperti Imam Syafi’i dan Imam Maliki
menempatkan lafal Muradif pada
lafal lainya tidak boleh. Misal tidak diperbolehkan membaca Takbirselain menggunakan lafal (الله اكبر).[19]
E.
Al-Musytarak
(المشترك)
1.
Pengertian Musyatarak
Musytarak secara bahasa berarti berserikat, berkumpul. Dalam ushul fiqh yang dimaksud
dengan Musytarak adalah :
لَلَّفَظُ الْمَوْضُوْعُ لِحَقِيْقَتَيْنِ مُحْتَلِفَتَيْنِ اَوْاَكْثَر
“lafadz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang berbeda-beda”[20]
Jadi, yang dimaksud dengan lafal yang Musytarak adalah
suatu lafadz yang mempunyai dua makna ataupun lebih dan dapat menunjukkan makna
yang berbeda-beda. Misal, seperti lafadz al ‘ain yang artinya secara
bahasa bisa berkmakna melihat, mata air atu mata-mata, sama halnya dengan
lafadz al quru’ yang juga memiliki makna lebih dari satu ada yang
bermakna suci ataupun haid.[21]
2.
Sebab-sebab Timbulnya Lafadz Musyatarak
a.
Dimana ada satu lafal yang digunakan dalam suatu bangsa akan tetapi muncul
makna yang berbeda. Dan lafal tersebut tersebar hingga sampai kepada kita sudah
mempunyai arti yang berbeda-beda tanpa menyaksikan sebab terjadinya makna yang
berbeda tersebut.
b.
Sebab lainya yaitu lebih diketahui secara umum arti majaz daripada makna
yang sebenaryan. Seperti halnya lafal “sayyarah” makna sebenarnya adalah
suatu yang merayap sedang lafal majaz nya adalah mobil.
c.
Lafal Musytarak diciptakan bertujuan untuk satu makna kemudian
diambil dan diartikan menurut syara’ misal lafal sholat yang bermakna
do’a lalu diganti dengan pengertian syara’ menjadi perbuatan yang diawali
dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[22]
Apabila lafadz Musytarak didapati dalam
nash syara’ ada beberapa makna secara bahasa, diwajibkan untuk
berijtihad untuk memutuskan makna yang dimaksud. Disebabkan syar’i hanya
menghendakai lafal untuk satu makna. Untuk mujtahid diharuskan mendapatkan
petunjuk dan dalil untuk menentukan makna lafal dalam nash tersebut.
Lafal
al qur’u dalam Al-Qur’an :
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوْءِ (البقرة : 228)
“wanita-wanita yang ditalak hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali qurru”(QS : Al-Baqarah : 228) al qur’u
Musyartarak dalam lafal ini haid dan suci. Al Musykil dalam
pembahasanya menjelaskan bahwa alasan yang digunakan sebagai petunjuk oleh
sebagain mujtahid bahawa yang dikehendaki itu adalah suci dan sebagian lainya
bahwa yang dikehendaki adalah haid.
Lafal al Yad dalam Al-Qur’an :
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَقْطَعُوْا أَيدِيَهُمَا (الما ئدة : 31)
“laki-laki yang mencuri dan wanita yang
mencuri potonglah tangan keduanya” (QS Al-Maidah : 38)
Al Yad (tangan keduanya), Musyataraknya antara hasta (ujung jari sampai
pundak) antara telapak tangan dengan lengan bawah (ujung jari samapi siku)
antara telapak tangan (ujung jari sampai pergelangan tangan) dan antara tangan
kanan dan kiri. Ini yang terakhri dari ujung jari sampai pergelangan tangan
kanan.[23]
3.
Hukum
Lafal Musytarak
Berkaitan denga hokum lafal Musytarak disini adalah perihal
boleh atau tidaknya memakai lafal Musyatarak. Dalam hal ini masih ada
beda pendapat antar ulama’, ada yang memperbolehkan ada juga yang tidak
memperbolehkan.
Pendapat jumhur ulama’.
اِسْتِعْمَالُ
المُشْتَرَكِ فِى مَعْنَيْهِ يَجُوْزُ
“menggunakan lafadz musyatarak dalam dua makna atau
beberapa makna adalah boleh”[24]
Dalam memutuskan hukum lafadz Musytarak harus
melihat beberapa segi mulai dari segi makna musytarak, qarinah musyatarak, dan
berqorinah.
a.
Makna Musyatarak
Jika lafal Musytarak mempunyai dua makna baik secara lughawi maupun
secara syar’i, maka yang harus dipilih adalah makna syar’i, misal
lafal sholat dan talaq, lafal sholat secara bahasa adalah do’a sedangkan secara
syar’i perbuatan yang diawali takbir dan diakhiri salam, dan “talaq”
secara bahasa adalah lepas dan secara syar’i adalah perceraian (melepas
ikatan pernikahan).
b.
Qarinah Musyatarak
Jika dalam satu nash syar’i terkumpul lebih dari satu makna maka harus
memilih satu makna saja dari beberapa makna tersebut. Karena syar’i tidak
menghendakai semua makna tersebut. Guna menentukan makna tersebut harus dicari qarinah
yang menerangkan makna yang sesuai, sesuai dengan apa yang dimaksud dalam nash.
c.
Musyatarak yang tidak mempunyai qarinah
Dalam hal ini Musytarak yang tidak mempunyai qarinah banyak
dipermasalahan oleh ulama’ dan banyak terjadi perselisihan dalam menentukan
arti
1)
Madzab Hanafi berpendapat tidak memakai secara keseluruhan lafal
Musyatarak. Seumpama yang dimaksud itu arti keseluruhan yang banyak, itu
bukan lagi lafal musyatarak dan bukan juga lafal majazi akan
tetapi lebih condong ke lafadz amm.
2)
Berbeda halnya dengan madzab Syafi’i dan mu’tazilah, dalam hal lafal
Musyatarak yang tidak mempunyai qarinah yang menerangkan arti yang
dikehendaki, maka lafal musytarak dapat diambil semuanya, dengan syarat
arti-arti tersebut dapat digabungkan. Misal :
إِنَّ اللهَ وَمَلَئِكَةُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِ
“Sesungguhnya
Allah dan Malaikat-malaiktNya bershalawat untuk nabi” (QS al Ahzab : 56)
Dalam ayat ini
ada lafal “يُصَلُّوْنَ” (bersholawat) lafal ini termasuk Musyatarak
yang mana dapar diartikan sebagai memberikan rahmat dan memberikan do’a.
Dari arti lafal tersebut ditemukan qarinah maka kedua arti dari lafal
tersebut bisa digabungkan. Arti memberi rahmat paling pantas bagi Allah Swt dam
yang memberi do’a pantas bagi malaikat.[25]
F.
Kesimpulan
Dari seluruhh kaidah yang dijelaskan diatas mengenai ta’wil,
nasakh, muradif dan musytarak, keseluruhan kaidah tersebut memiliki keterkaitan
dengan kaidah-kaidah kebahasaaan yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Kaidah-kaidah tersebut diperlukan untuk penggalian dan penetapan hukum
islam.
Ta’wil adalah dikeluarkannya lafadz dari makna lahornya ke makna
yang lain dimana pada makna tersebut ada kemungkinan yang diperlukan untuk
dalil, sedangkan nasakh adalah pembatalan atau pengapusan pemberlakuan suatu
hukum syara dan hukum tersebut diganti dengan suatu ketentuan hukum syara’ yang
baru.
Muradif adalah sebuah kata dimana lafal kata tersebut banyak tetapi
memilik makna yang sama atau dapat disebut sinonim. Lalu musytarak adalah
sebuah lafadz yang mempunyai dua arti atau lebih dan dapat menunjukkan makna
yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Biek , Syaikh Muhammad Al-Khuadairi. 2007. Ushul Fikih. Jakarta:Pustaka
Amani.
Dedi, Syahrian. 2017. “Ushul-Al-Fiqh dan Kontribusinya”. AL-Istinbath
: Jurnal Hukum Islam vol. 2 (2) :103
Djalil , Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh.Jakarta : Kencana
Khallaf , Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta : Pustaka Amani
Padil , Moh. dan M. Fahim Tharaba.
2017.Ushul Fiqh. Malang : Madani
Praja, Juhaya S. Ilmu Ushul Fiqh Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung:Pustaka
Setia.
Romli. 2014. Studi Perbandingan Ushul Fiqh. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta:
KENCANA
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: KENCANA
Zein, Mahsum. 2016. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh. Yogyakarta:
PUSTAKA PESANTREN
Catatan:
Makalah sudah bagus, similarity 10%.
[1] Syahrian Dedi, “Ushul Fiqh dan Kontribusinya”. Al-Istinbath:
Jurnal Hukum Islam vol.2. no 2, 2017. Hlm. 102
[2] Amir Syarfuddin,Ushul Fiqh 2.(Jakarta:Kencana. 2014),Hlm.
45-46
[3] Mashum Zein,Menguasai Ilmu Ushul Fiqh. (Yogyakarta: PUSTAKA
PESANTREN, 2016), Hlm. 347-349
[4] Ibid., Hlm. 350-351
[5] Syaikh Muhammad Al-Khuadairi Biek,Ushul Fikih.(Jakarta:Pustaka
Amani, 2007), Hlm.550
[6]Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqh. (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2014), Hlm. 333
[7] Romli, Loc. Cit
[8] Ibid., Hlm. 334-335
[9] Ibid., hlm 335
[10] Ibid., hlm. 335-336
[11] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta:KENCANA,2014),
Hlm. 454-455
[12] Mashum Zein,Menguasai Ilmu Ushul Fiqh. (Yogyakarta: PUSTAKA
PESANTREN, 2016), Hlm. 376
[13] Ibid.,Hlm. 377
[14] ibid., Hlm. 77-388
[15] Juhaya S. Praja,Ilmu Ushul Fiqih(Bandung:PUSTAKA SETIA,1999),Hlm.
236
[16] Amir Syarifuddin,op.cit., Hlm. 457-459
[19]M.Ma’shum Zein, Op Cit., hlm, 381
[20]A. Basiq Djalil, Op Cit., hlm, 117
[23]Abdul Wahhab Khallaf, Op Cit., hlm. 260
[24]A. Basiq Djalil, Op Cit., hlm, 118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar