‘Urf, Saddudzara’i,
Madzhab Shahabat dan Syar’u Man Qablana
Muhammad Rizky,
Ade Sukma Fachrurodzi & Siti Ulfa Nur Afifah
Mahasiswa PAI-C
Angkatan 2015
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail : rizky.alghamdi24.@gmail.com
Abstract
This paper to see how customs become one of the
sources of Fiqh. The customs law is described in some opinions of fiqh
scholars. And also about Sadd al-Dzari'ah where there are differences of
opinion on the determination of the law between whether or not this law is
set. As for the mazhab shahabi and also
about the syar'u Man Qablana discussed in this paper. Of these there sources to
establish an Islamic law remains on the basis of the Qur’an and Hadith as the
core of all Islamic law.
Abstrak
Tulisan ini
untuk melihat bagaimana adat istiadat menjadi salah satu sumber hukum fiqih.
Adapun hukum adat istiadat yang dijelaskan dalam beberapa pendapat ulama
fiqih. Dan juga tentang Saddu
al-Dzari’ah dimana terdapat perbedaan pendapat penentuan hukum antara harus
atau tidaknya ditetapakan hukum ini. Adapun tentang Mazhab Shahabi dan juga
tentang Syar’u Man Qablana yang dibahas dalam tulisan ini. Dari ketiga sumber
ini untuk menetapkan sebuah hukum Islam tetap pada berpijak pada Al-Qur’an dan
Hadits sebagai inti dari semua hukum Islam.
Keywords : ‘Urf, Law,
Fiqih, Saddu al-Dzari’ah, Mazhab Shahabi, Syar’u Man Qablana
A.
Pendahuluan
Syari’at Islam
adalah sebuah penutup semua risalah dari
langit yang membawa petunjuk dan
tuntunan dari Allah SWT. Kepada umat manusia dan dalam wujudnya yang lengkap.
Oleh karena itu Allah mewujudkan syari’at Islam sebagai pegangan hidup manusia.
Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya kaidah-kaidah
hukum fiqih yang ada dalam agama Islam yang dapat memberikan jawaban terhadap
kebutuhan permasalahan maupun hajat yang berubah dari masa ke masa seiring
dengan perkembangan zaman. Hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting
dalam hukum Islam, yaitu yang pertama, nash-nash yang menetapkan hukum-hukum
yang tidak akan berubah sepanjang zaman. Dan yang kedua, adalah pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk
melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara detail yang
terdapat di dalam nash-nash tersebut. Dan jika kita berbicara tentang ijtihad,
maka sisi ra’yu adalah hal yang tidak bisa lepas darinya. Karena itu dalam hal
ushul fiqih sebuah ilmu ynag mengatur proses ijtihad, maka dengan itu
dikenallah beberapa landasan penetapan
hukum yang berlandaskan pada penggunaan ra’yu para fuqaha. Diantaranya adalah
Urf, Saddu al-Dzari’ah, Mazhab Shahabi, Saddur Dzari’ah dan juga Syar’u Man
Qablana yang akan di bahas dalam makalah ini.
B.
‘Urf
1.
Pengertian ‘Urf
Urf berasal dari
kata (عرف يعرف) juga biasanya diartikan dengan (المعروف) yang berarti : “sesuatu yang dikenal”.
Pengertian “dikenal” ini sendiri biasanya lebih dekat pengertiannya sebgai
“diakui oleh orang lain”. Di dalam Al-Qur’an juga terdapat kata ‘urf yang lebih dikenal dengan (معرف) yang berarti Kebajikan,
seperti yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an surah Al-A’araf (7):
خذالاعفووامربالاعرف
“Maafkanlah
dia dan suruhlah berbuat ma’ruf”.[1]
Definisi
dari Urf menurut Mukhtar Yahya adalah sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan oleh masyarakat baik itu berupa perbuatan ataupun perkataan yang
telah imisalnya pada saat transaksi jual beli untuk kebutuhan ringan
sehari-hari misalnya seperti garam, tomat, dan sayur-sayuran, dengan hanya
menerima barang dan menyerahkan uang tanpa mengucapkan ijab dan qabul.[2]
Sedangkan untuk contoh urf yang berupa perbuatan perkataan sendiri misalnya
seperti kebiasaan di suatu masyarakat untuk tidak menggunakan kata al-lahm
(daging) kepada jenis ikan. Kebiasaan-kebiasaan seperti itu, menjadi bahan
pertimbangan waktu akan menetapkan hukum dalam masalah-masalah yang tidak ada
ketegasan hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah.[3]
Urf
ialah hal-hal yang dibiasakan oleh manusia dalam perkara kehidupan muammalah,
baik berupa ucapan maupun perbuatan. Menurut banyak ulama urf juga bisa disebut
sebagai adat dan beberapa ulama fiqih memberikan definisi adat sebagai perkara
yang diulang-ulang, lebih umum dari urf yang dimana setiap urf disebut adat,
tetapi tidak setiap adat disebut dengan urf. Maka pengertian secara umum,
antara urf dan adat adalah sama. Keduanya adalah sebuah nama yang telah menjadi
kebiasaan manusia yang dilakukan berulang-ulang dan menjadi acuan dalam
menjalani kehidupan.[4]
2.
Macam-macam ‘Urf
Jika ditinjau dari beberapa segi ada
penggolongan macam-macam ‘urf yaitu:
1.
Dari segi materi urf ada
dua macam yaitu :
a.
Urf qauli (عرف قو لاي), yaitu
kebiasaan yang dilakukan dalam bentuk ucapan atau kata-kata. Contohnya yang
terdapat pada kata waladun(ولد) secara bahasa artinya adalah “anak”
yang digunakan untuk anak laki-laki dan perempuan. Berlakunya kata waladun
kepada perempuan karena tidak adanya kata ini khusus untuk perempuan
(mu’annats). Didalam Al-Qur’an juga disebutkan kata walad berulang ulang
untuk laki-laki dan perempuan seperti yang terdapat pada Q.S. an-Nisa’ ayat
11-12. Dalam kebiasaan sehari-hari (urf) orang Arab, kata walad hanya
digunakan untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan, sehingga sering
digunakan urf qauli untuk memahami kata walad itu. Seperti yang
terdapat pada Q.S. An-Nisa’ ayat 176 :
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي
الْكَلَالَةِ ۚ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا
نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ ۚ فَإِنْ
كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ............
Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan yang perempuan
itu seperdua dari harta yang ditingalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta perempuan), jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal....
b. Urf fi’li (عرف فعلي) yaitu kebiasaan yang berlaku dalam bentuk
perbuatan. Misalnya, kebiasaan untuk jual beli barang yang ringan (murah dan
kurang begitu bernilai) dalam transaksi ini penjual dan pembli hanya saing
menunjukan barang dan memberikan uang tanpa adanya ucapan akad.
2. Dari segi ruang lingkup pengunaannya urf terbagi
kepada :
a. Adat atau urf umum (عرف عام), yaitu suatu kebiasaan umum yang hampir telah berlaku
di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa
dan Agama. Misalnya, menganggukan kepala sebagai tanda setuju dan menggelengkan
kepala sebagai tanda penolakan atau ketidak setujuan
b. Adat atau urf khusus (عرف خاص) yaitu, kebiasaan yang dilakukan
suatu kelompok pada waktu terntentu dan tempat tertentu dan tidak dilakukan
pada setiap waktu atau sembarang waktu. Misalnya, orang sunda menggunakan kata
“paman” hanya untuk adik dari ayah, dan tidak digunakan untuk kakak dari ayah,
sedangkan, orang jawa menggunakan kata “paman” untuk adik dari ayah dan kakak
dari ayah”.[5]
3. Ditinjau dari segi bak atau tidaknya urf dibagi
menjadi dua yaitu:
a. Urf shahih, yaitu kebiasaan
yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat yang sudah dianggap umum karena tidak
bertentangan dengan syara’, sopan santun, dan budaya yang luhur. Misalnya
seperti mengadakan lamaran sebelum dilangsungkan akad nikah.
b. Urf fasid, yaitu
kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang bertentangan dengan syara’.
Kebiasaan ini lebih mengarah kepada mengharamkan yang halal dan membatalkan
wajib. Misalnya, seperti memberikan sesajen kepada patung, atau memberi sesajen
pada tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat.[6]
3.
Kedudukan Urf Dalam Menetapkan Hukum
Dalam literatur yang membahas kehujjahan urf atau adat dalam istinbath
hukum, hampir yang selalu dibicarakan adalah tentang ‘urf atau adat secara umum. Namun urf yang
dijelaskan yaitu adat yang sudah diterima oleh dan diambil oleh syara’ ataupun yang sudah secara tegas ditolak oleh
syara’ sudah tidak perlu diperbincangkan lagi tentang kehujjahannya.
Secara umum urf itu diamalkan
oleh semua ulama fiqh terutama di kalangan ulama mazhab Hanafiyah dan
Malikiyah.
Ulama Hanafiyah menggunakan istishan dalam berijtihad dan salah satu
bentuk istishann itu adalah istishan al urf (istishan yang
menyandar pada urf). Oleh ulama hanfiyah, urf lebih didahulukan atas qiyas
khafi dan juga didahulukan atas nash umum.
Ulama Malikiyah menjadikan urf atau adat yang dikalangan yang
hidup ahli madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya
dari hadis ahad.
Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan urf dalam hal-hal tidak
menemukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam pengunaan bahasa.
Mereka menegemukakan kaidah sebagai
berikut :
كل ما ورد به اشرع مطلقا ولا ضا بط له فيه ولا في اللغة
ير جع فيه الي العرف
“Setiap yang datang dengannya
syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara’ maupun dalam bahasa,
maka dikembalikan kepada urf”
Para ulama dalam mengamalkan urf itu dalam memahami dan meng-istinbath-kan
hukum, menetapkan beberapa persayaratan untuk menerima urf tersebut
yaitu:
1. Adat atau urf tersebut bernilai maslahat dan
dapat diterma oleh akal sehat.
2. Adat atau urf itu berlaku secara umum dan
merata dikalangan orang-orang yang berada dalam limgkungan adat itu, atau
dikalangan sebagian besar masyaraktnya.
3. Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum
itu telah ada atau telah berlaku pada waktu itu juga, bukan urf yang
muncul kemudian. Hal ini menjelaskan bahwa urf tersebut sudah ada sebelum penetapan hukum,
jikakalau urf baru ada atau ditetapkan kemudian, maka urf itu
tidak diperhitungkan.
4. Adat tidak
bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan
prinsip yang pasti.[7]
Dari
uraian diatas bisa dipahami bahwa urf
atau adat itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Namun
adat atau urf itu sendiri
bukanlah dalil yang beridir sendiri. Adat dan urf dapat dijadikan dalil karena ada yang
mendukung atau ada tempat sandarannya, baik dala bentuk ijma’ atau maslahat.
4.
Hikmah ‘Urf
Yang dimaksud
dengan ‘urf yang shahih ialah ‘urf yang wajib dipelihara pada tasyri’ juga pada
hukum. Karena apa yang telah diketahui orang itu dan yang telah dijalani orang
itu dapat dijadikan hujjah kemaslahatan dan kesepakatan mereka selama itu semua
tidak bertentangan dengan syariat dan tidak menyalahi nash maka wajib untuk
memeliharanya.
Kemudian
berkenaan dengan Urf fasid adalah tidak wajib untuk memeliharanya karena dalam
pelaksanaan dan pemeliharaannya bertentangan dengan syariat juga bertentangan
dengan nash.[8]
C.
Saddudzara’i
1.
Pengertian
Dzari'ah
Dari
segi bahasa kata Dzari'ah memiliki arti yaitu jalan untuk menuju sesuatu.
Banyak ulama yang mengatakan bahwa Dzari'ah adalah segala sesuatu yang akan
menuntun kepada perbuatan yang tidak diperbolehkan dan mengandung kemudaratan.
Sebagai salah satu ulama ushul Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah berkata bahwa tidak
semua hal yang dilarang itu adalah dzari'ah, akan tetapi ada juga yang malah
dianjurkan. Maka dari itu Dzari'ah dibagi menjadi dua, yaitu : Sadd
Adz-Dzari'ah (sesuatu yang dilarang) dan Fath Adz-Dzari'ah (sesuatu yang
dianjurkan). [9]
2.
Pengertian Sadd
Adz-Dzari'ah
Secara
umum Sadd Adz-Dzari'ah dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang mana
sebelumnya perbuatan itu mengandung sebuah kemaslahatan, akan tetapi malah
berakhir menjadi sebuah kemafsadatan. Pada dasarnya maksud dari Dzari'ah adalah
ada suatu pekerjaan yang dimana apabila dilakukan akan mendapatkan sebuah
kemaslahatan tetapi pada akhirnya malah menjadi sebuah kemafsadatan/kerusakan.
Contohnya
adalah "seseorang diwajibkan untuk berzakat apabila sudah sampai pada satu
nisab dan haulnya, lalu untuk menghindari membayar zakat tersebut maka dihibahkanlah
sebagian hartanya kepada anaknya sehingga kewajiban untuk berzakat itu
gugur". yang menjadi masalah disini adalah tujuan orang itu menghibahkan
hartanya yang mana hanya untuk menghindari kewajiban berzakat yang ada pada
dirinya.[10]
Ada
beberapa kriteria yang membuat suatu perbuatan itu dilarang menurut Imam
Asy-Syatibi, yaitu :
a.
Perbuatan yang pada mulanya
diperbolehkan itu mengandung kemafsadatan
b.
kemaslahatannya tidak lebih kuat
daripada kemafsadatan
c.
perbuatan yang dibolehkan syara'
mengandung lebih banyak kemafsadatan[11]
Yang dimaksud
dengan saad Adz-dzara’i yaitu pengharaman wasilah/ sarana yang mubah menurut
hukum asal. Karena sarana atau wasilah ini biasanya mengakitbatkan atau
menuntun pada perbuatan haram. Saad adz-dzara’i ini merujuk pada sabda
Rasulullah SAW yang berbunyi: “Hindarilah
yang syubhat...”. Di lain sisi saad adz-dzara’i juga menjadi bagian dari
menarik manfaat yaitu kaidah jalbul mashalih (menarik manfaat). Perintah saad
adz-dzara’i ada kalanya untuk mendatangkan kemaslahatan pribadi dan
kemaslahatan umum, namun juga bisa untuk menolok mafsadah (dar’u al- mafasid)
baik pribadi maupun umum, akan tetapi saad adz-dzara’i biasanya lebih masuk
kepada prinsip penolakan mafsadah.[12]
3.
Pengertian Fath
Adz-Dzari'ah
Memiliki
arti yaitu suatu perbuatan yang bisa membawa kepada sesuatu yang diperbolehkan,
bahkan diwajibkan syara'. Seperti halnya sholat jum'at, yang mana pada saat
waktu sholat jum'at kita sebagai umat muslim disuruh untuk meninggalkan segala
aktivitas kita dan bersegera menuju ke masjid.[13]
4.
Macam-macam
Dzari'ah
Dilihat dari
segi kualitas kemafsadatan :
a.
Sudah pasti perbuatan yang
dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan
b.
Ada perbuatan yang boleh
dilakukan karena perbuatan itu tidak terlalu mengandung kemafsadatan
c.
Sebagian besar kegiatan/perbuatan
yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan. Seperti halnya, ada sesorang
yang menjual senjatanya kepada musuhnya. Hal seperti ini tentu saja dilarang.
d.
Ada juga perbuatan yang pada
awalnya diperbolehkan karena mengandung kemaslahatan, akan tetapi perbuatan
tersebut juga bisa membawa kepada kemafsadatan.
Hasil
yang disebabkan dari segi kemafsadatan :
a.
Perbuatan yang sudah sangat jelas
menyebabkan kemafsatan. Seperti meminum minuman keras yang dapat menyebabkan
mabuk dan jelas sekali dijelaskan bahwa mabuk itu diharamkan.
b.
Pada dasarnya perbuatan itu
diperbolehkan bahkan dianjurkan, akan tetapi malah dijadikan sebagai tujuan
yang haram baik itu disengaja ataupun tidak.
Ibnu
Qayim membagi lagi dua hal diatas menjadi dua macam, yaitu :
a.
Kemaslahatan suatu perbuatan itu
masih lebih besar dibandingkan dengan kemafsadatan.
b.
Sebaliknya, kemafsadatan kadang
bisa juga lebih besar daripada kemaslahatan.[14]
Dua
hal tersebut masih dibagi menjadi empat oleh Ibnu Qayim, yaitu :
a.
Sengaja melakukan suatu perbuatan
yang memang mafsadat. Seperti meminum alkohol/arak.
b.
Suatu perbuatan yang pada
dasarnya tidak dilarang akan tetapi malah dengan sengaja digunakan untuk
melakukan suatu perbuatan yang haram.
c.
Perbuatan itu pada dasarnya boleh
dan yang melakukannya pun tidak bertujuan untuk melakukan suatu kemafsadatan,
akan tetapi malah berakibat menimbulkan sesuatu yang mafsadat, misalnya
mencaci-maki sesembahan orang musyrik yang diduga akan berakibat munculnya
cacian yang sama terhadap Allah swt. sehingga perbuatan seperti ini dilarang
syara’.
d.
Perbuatan yang diperbolehkan
untuk dilakukan tetapi bisa juga menimbulkan sebuah kemafsadatan, misalnya
melihat wanita yang dipinang. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, dalam kasus ini
kemaslahatannya lebih besar dari kemafsadatannya sehingga hal tersebut
diperbolehkan sesuai dengan kebutuhan.[15]
5.
Kedudukan Saddu
Al-dzara’i
Meskipun
hampir semua ulama dan penulis ushu fiqih menyinggung tentang saddu’ al
dzarai’ah, namun amat sedikit dalam pembahasannya khusus secara tersendiri. Ada
yang yang menempatkan bahasannya dalam deretan dalil-dalil yang tidak
disepakati ulama.
Masalah
ini menjadi banyak perhatian ulama karena banyak di dalam ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan ke arah tersebut.
Misalnya ;
a.
Surat Al-An’am (6): 108 :
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ
عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Janganlah kamu caci orang yang
menyembah selain Allah, karena nanti ia akan mencaci Allah secara memusuhi
tanpa pengetahuan.”
Sebenarnya mencaci dan menghina dalam
hal ini boleh-boleh saja, bahkan jika perlu memeranginya. Namun karena perbutan
mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan
mencaci Allah kembali, maka perbuatan mencaci itu dilarang.
b.
Surat An-Nuur (24): (31) :
وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
”Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Sebenarnya
dalam hal ini mengentakan kaki boleh-boleh saja bagi wanita, namun karena
menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan
menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka mengentakan kaki itu tidak
diperbolehkan.
Dalam Hal
ini dasar pemikiran hukumnya bagi para ulama adalah bahwa setiap perbuatan
mengandung dua sisi, dari sisi yang pertama, yaitu sisi yang mendorong
kepadanya untuk berbuat, dan yang kedua, yaitu sasaran atau tujuan yang menjadi
natijah (kesimpulan/akibat) dari perbuatan itu.
- Pandangan Ulama Tentang Saddi al Dzari’ah
Dalam pembahasan ini tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk
nash maupun ijma’ ulaa tentang boleh atau tidaknya menggunakan saddu al-dzari’ah.
Oleh karena itu dasar pengambilannya hanya semata mata dengan ijtihad,
dengan berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai
melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Hal ini kemudian sebagai
pedoman dalam tindakan hati-hati itu merupakan faktor manfaat manfaat dan mudarat atau baik dan
buruk.
Mustafa Syalabi mengelompokan beberapa pendapat ulama tentang saddu
al-dzari’ah ke dalam tiga kelompok,
yaitu :
1. Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti,
atau bisa memang dapat menimbulkan kerusakan, seperti pada bentuk-bentuk
pembagian dzari’ah menurut syatibi.
2. Dzari’ah yang kemungkinan mendatangkan kemudharatan
atau larangan. Dalam hal ini para ulama sepakat untuk tidak melarangnya, dalam
artian pintu dzari’ah tidak perlu ditutup (dilarang).
3. Dzari’ah yang terletak ditengah-tengah antara
kemungkinan membawa kerusakan dan tidak membawa kerusakan, dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat ulama. Syalabi mengemukakan bahwa Imam Malik dan
Ahmad bin Hambal mengahruskan untuk melarang dzari’ah, sedang Imam Syafi’i dan
Abu Hanifah menyatakan tidak perlu melarangnya.
Dasar pegan ulama dalam menggunakan saddu al-dzari’ah adalah kehati-hatian
dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat dan mafsadat. Jika
maslahat yang lebih dominan maka boleh dilakukan dzari’ah dan sebaliknya jika
mafsadat yang lebih dominan maka tidak boleh dilakukan.[16]
Namun apabila sama kuat diantaranya, maka untuk menjaga kehati-hatian
tersebut harus diambil prinsip yang berlaku seperti ang dirumuskan dalam kaidah
:
در االمفا سد مقدم علي جلب المصا لح
“Menolak
kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemashlahatan”.
Sebagai pegangan ulama yang mengambil
tindakan kehati-hatian dalam beramal, adalah dengan sabda Nabi :
د ع ما
ير يبك الي ما لا ير يبك
“Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu
untuk mengambil apa-apa yang tidak meragukanmu”
D.
Madzhab Shahabat
1.
Pengertian
Madzhab Shahabat
Secara
terminologi Madzhab shahabat (shahabi) adalah pendapat dari para sahabat Nabi
Muhammad SAW. Pendapat dari para sahabat disini maksudnya yaitu pendapat dari
para sahabat yang ditegaskan oleh para ulama mengenai suatu kasus atau masalah
baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, namun di dalam Al-Qur’an maupun
hadits tidak dijelaskan mengenai hukum terhadap kasus atau masalah yang sedang
dihadapi oleh para sahabat tersebut.
Menurut
para ulama ushul fiqh yang dimaksud dengan sahabat yaitu orang yang pernah
bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, yang mempunyai hubungan khusus dengan Nabi
dan beriman kepadanya serta mengikuti apa yang dikerjakan oleh Nabi dan hidup bersama
Nabi selama waktu yang panjang.[17]
2.
Keadaan Para
Sahabat Setelah Rasulullah Wafat
Setelah wafatnya
Rasulullah, muncul lah para sahabat yang telah mengenal dan memiliki ilmu fiqih
yang sangat mendalam dan kemudian para sahabat memberikan pendapat mereka
terhadap suatu masalah untuk membentuk suatu hukum tertentu yang ditujukan
untuk umat islam. Itu semua dikarenakan mereka telah bersama dengan Rasulullah
dalam jangka waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu mereka telah memahami isi
Al-Qur'an dan juga hukum-hukumnya. Dari para sahabat pulalah keluar fatwa dari
berbagai macam peristiwa-peristiwa yang ada.
Para Ulama dari
kalangan tabi'in dan tabi'it tabi'in telah memperhatikan periwayatan dan
penakwilan dari fatwa-fatwa mereka. Ada beberapa diantara mereka yang
menyusunnya bersama dengan sunnah-sunnah Rasul, sehingga pendapat/fatwa para
sahabat dianggap sebagai sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash.
Seorang mujtahid
pun diharuskan untuk mengembalikkan suatu permasalahan kepada fatwa yang mereka buat sebelum kembali
kepada qiyas. Kecuali itu adalah pendapat pribadi yang bersifat ijtihadi dan
tidak mengatas namakan umat islam. [18]
3.
Kehujjahan
Mazhab Shahabi dan pandangan para ulama
Hujjah
orang islam berasal dari pendapat sahabat-sahabat, terlebih dalam suatu masalah
yang tidak dapat diselesaikan oleh akal pikiran manusia. Karena,
pendapat-pendapat yang disampaikan para sahabat berasal dari Rasulullah SAW, seperti contoh hujjah dari
Aisyah, “Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua
tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.
Keterangan
pengertian hujjah tidaklah sah jika dijadikan sebagai pendapat dan ijtihad,
tetapi karena sumber hujjah memang benar berasal langsung dari Rasulullah
SAW. maka hujjah tersebut dianggap meliputi sebagian sunnah meskipun pada
sebenrnya merupakan hanya ucapan yang dilakukan oleh sahabat.
Jika pendapat
antara satu sahabat dan sahabat yang lain tidak bertentangan maka pendapat
tersebut bisa dijadikan hujjah oleh umat muslim. Karena telah terjadi
kesepakatan hukum di zaman Rasulullah SAW. Rahasia-rahasia kejadian dan syariat
diketahui oleh mereka yang bersumber dari dalil yang qath’i. Seperti contoh
hukum kesepakatan pembagian waris seorang nenek yang mendapatkan hak waris
seperenam. Dan kesepakatan hujjah tersebut wajib dilaksanakan karena tidak
adanya perselisihan antara umat muslim.
Perselisihan
atau ketidak cocokan yang terjadi diantara para sahabat biasanya dikarenakan
ada seorang sahabat yang berpendapat sendiri sebelum ada kesepakatan antara
sahabat yang lain. Abu Hanifah setuju dengan pernyataan tersebut lalu berkata :
"Apabila di dalam Al-qur'an dan sunnah tidak ada penjelasan tentang hukum
yang saya cari, maka saya akan menggunakan pendapat dari para sahabat dan
meninggalkan pendapat para sahabat yang tidak saya kehendaki, tidak menutup
kemungkinan saya menggunakan pendapat yang masih sesuai dengan yang
lainnya".[19]
Banyak dari
ulama ushul yang mengatakan bahwa mereka sepakat bahwa baik itu fatwa maupun
ketetapan hukum yang dikemukakan oleh para sahabat berdasarkan hasil dari
ijtihad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menentukan suatu hukum
syara'.
Beberapa
ulama seperti Imam Hanafi, Qaul Qadim Syafi'i, Ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad
bin Hanbal berpendapat bahwa fatwa dari hasil ijtihad para sahabat dapat
dijadikan sebagai hujjah, pendapat para sahabat juga akan lebih di dahulukan
apabila terjadi sebuah perbedaan dengan qiyas. Terdapat alasan dalam surat Ali
Imron ayat 110 :
كنتم خير
أمة اخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر.....
"Kamu adalah umat terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
mungkar...."
Jumhur Ulama dan Qaul Jadid dari Imam
Syafi'i juga berpendapat, yaitu :
مذهب
الصحابي ليس بحخة مطلق
"Pendapat
sahabat secara mutlak tidak bisa dijadikan sebagai hujjah"
Sebagian besar Uama hanafiyah, Imam
Hanafi, dan Qaul Qadim Imam Syafi'i berpendapat :
مذهب
الصحبي حجة سرعية مقدمة علي القياس
"pendapat sahabat menjadi hujjah
syar'iyah didahulukan daripada qiyas"
Sebagian besar ulama lain juga
berpendapat bahwa :
مذهب
الصحابي حخة اِذا انضم اِليه القياس
"Pendapat sahabat menjadi hujjah,
apabila didudkung oleh qiyas"[20]
E.
Syar’u Man
Qablana
1.
Pengertian
Syar’u Man Qablana
Secara etimologi
syar’u man qablana memiliki arti syariat orang-orang terdahulu. Sedangkan
secara terminologi (istilah) yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah
ajaran-ajaran dan syariat hukum yang berlaku bagi para nabi sebelum Nabi
Muhammad saw. diutus menjadi seorang rasul.[21]
Syar’u man
qablana dapat juga diartikan sebagai ajaran-ajaran atau ketetapan dari
nabi-nabi terdahulu sebelum adanya Islam yang berhubungan dengan hukum.[22]
Contohnya : Syariat Nabi Musa as. yang diperuntukkan bagi kaum Israil, syariat
Nabi Ibrahim yang diperuntukkan bagi kaumnya sendiri, syariat Nabi Isa yang
diperuntukkan bagi kaumnya yaitu kaum Hawariyyin. Syariat yang diperuntukkan
Allah swt. kepada para nabi yang terdahulu pada dasarnya sama dengan syariat
yang diturunkan kepada Rasulullah saw. hal ini sesuai dengan firmanya yang
berbunyi :
شَرَعَ
لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَاوَصَّى بِهِ نُوْحَا وَالّذِي أوْحَيْنَا أِلَيْكَ
وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ أِبْرَا هِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ اَقِيْمُوْا
الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرُّقُوْا فِيْهِ
Artinya :
“Dia telah mensyariatkan bagi kaum
tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepada-mu dan apa yang telah Kami wahyukan Ibrahim, Musa dan Isa yaitu
tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya .... “(QS. Asy-Syura’
: 13) [23]
2.
Pendapat Para Ulama
tentang Syar’u Man Qablana
Para
ulama berpendapat mengenai syar’u man qablana ( شرع من
قبلنا ) atau syari’at yang sudah
ada sebelum kita merupakan hukum-hukum yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul
terdahulu yang telah disyariatkan untuk umat sebelum Islam dan menjadi dasar
hukum yang harus diikuti oleh umat sebelum adanya syari’at dari Rasulullah saw.[24]
Pendapat
mengenai syar’u man qablana dari kebanyakan ulama seperti ulama Malikiyyah,
ulama Hanafiyyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan sebagian ulama Hanabilah salah
satunya yaitu at-Tamimi bahwasanya syar’u man qablana berlaku bagi umat Islam
apabila syariat tersebut diinformasikan melalui Nabi Muhammad saw. bukan karena
terdapat dalam kitab-kitab suci para nabi terdahulu yang telah mengalami
perubahan dan juga tidak terdapat nash syara’ (ketetapan Al-Qur’an dan Hadits)
yang membatahnya. Dasar dari pendapat para ulama tersebut adalah :
a.
Firman Allah QS. Al-An’am (6) :
90
أُوْلَئِكَ
الَّذِيْنَ هَدَى اللَّهُ ۖ فَبِهُدَهُمُ
اقْتَدِهْ
Artinya : “Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk
mereka.” (QS. Al-An’am (6) : 90)
Ayat yang
terdapat diatas ditunjukkan kepada Nabi Muhammad saw. yang bertujuan agar
beliau mengikuti para nabi dari Bani Israil. Oleh sebab itu, syariat dari para
nabi terdahulu harus diikuti, selama tidak ada nash yang me-nasakh-kannya.
b.
Firman Allah yang terdapat dalam
QS. An-Nahl (16) : 123
ثُمَّ
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إبْرَهِيْمَ حَنِيْفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
Artinya : “Kemudian,
Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif”
dan ia tidak termasuk orang-orang yang mempersekutan Tuhan”
Ayat diatas
ditunjukkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim
seperti mengikuti syariatnya.
Kebanyakan dari
ulama Hanabilah, ulama Asya’irah, Mu’tazilah, Syi’ah dan sebagian ulama
Syafi’iyyah berpendapat mengenai syar’u man qablana bahwa apabila tidak ada
ketegasan pemberlakuannya dan tidak ada nash yang me-nasakh-kannya, maka ia
tidak berlaku bagi Rasulullah saw. dan umatnya. Terdapat dalil yang dikemukakan
oleh mereka, yaitu :
Ø Firman
Allah yang terdapat dalam dalam QS. Al-Ma’idah (5) : 48 :
لِكُلٍّ
جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَا جًا
Artinya : “Untuk
tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”
Ayat diatas
menegaskan bahwa syar’u man qablana tidak berlaku bagi kita karena setiap umat
sudah ada syariatnya masing-masing sehingga tidak diperintahkan untuk mengikuti
syariat umat lainnya.
Dari dalil-dalil
yang telah dikemukakan oleh masing-masing kelompok untuk mendukung pendapatnya,
sebenarnya memiliki kelemahan tersendiri sehingga dapat dikritik. Seperti dalil
yang dikemukakan oleh kelompok pertama yang berkaitan dengan perintah mengikuti
para nabi yang terdahulu, yang mana perintah tersebut berkaitan dengan akidah
tauhid dan prinsip-prinsip umum syariat, yang sering diistilahkan dengan kulliyyat
al-khams (memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta), bukan yang
berkaitan dengan syariat hukum secara keseluruhan.
Sebagian dari
ulama kontemporer, seperti Abdul Wahhab, Khudhari Baik, Khallaf dan Zakiuddin
Sya’ban) lebih cenderung kepada pendapat dari kelompok yang pertama. Artinya,
syar’u man qablana berlaku bagi umat Islam namun dengan syarat, yang mana
syariat tersebut terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.[25]
3.
Pengelompokkan
Syar’u Man Qablana
Syariat
yang sudah ada sebelum kita dalam pengertian yang terdapat di atas dibagi
menjadi 3 bagian yaitu :
1)
Syariat yang terdapat dalam
Al-Qur’an yang sudah ada sejak dulu atau penjelasan dari nabi yang disyariatkan
bagi umat sebelum Rasulullah saw. dan telah dijelaskan pula dalam nash bahwa
yang demikian telah diganti (dinasakh) dan tidak diberlakukan lagi bagi umat
Nabi Muhammad saw.[26]
Contoh dari syariat ini yaitu syariat yang berlaku bagi umat Nabi Musa as. Yang
mana pada zaman Nabi Musa seseorang yang telah melakukan perbuatan maksiat maka
ia tidak akan diampuni dosanya kecuali membunuh dirinya sendiri. Kemudian
syariat tersebut di nasakh dengan ayat dibawah ini :
وَأَنِ
اسْتَغْفِرُوْارَبَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْا أِلَيْهِ
Artinya : “Dan kehendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan
bertaubatlah kepadanya ...” (Q.S Huud : 3)[27]
2)
Di dalam Al-Qur’an maupun Hadits
Nabi telah dijelaskan mengenai hukum-hukum yang disyariatkan bagi umat
terdahulu (sebelumnya) dan dinyatakan pula bahwa berlaku juga untuk umat Nabi
Muhammad saw. dan dinyatakan berlaku untuk umat selanjutnya. Sesuai dengan
firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat
183 :
يَأَيُّهَا
الَّذِيْنَ ءَامَنُوْاكُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَاكُتِبَ عَلَى
الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa
sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi
orang-orang yang bertaqwa.”
Di dalam ayat
tersebut dijelaskan bahwa puasa disyariatkan bagi umat nabi yang terdahulu dan
diwajibkan atas umat Nabi Muhammad saw.
Contoh yang terdapat di dalam hadits
Nabi yaitu tentang berkurban, yang mana dijelaskan bahwa berkurban disyariatkan
untuk Nabi Ibrahim as. namun juga disyariatkan untuk umat Nabi Muhammad saw.
Yang ditegaskan dalam sabda Nabi :
ضَحُّوْا
فَاِنَّهَا سُنَّةُ أَبِيْكُمْ إِبْرَاهِيْمَ (الحديث)
Artinya : “Berkurbanlah
karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu, Ibrahim.”
3)
Di dalam Al-Qur’an maupun hadits Nabi telah
dijelaskan bahwa hukum berlaku bagi umat terdahulu atau umat sebelum Nabi
Muhammad saw. namun tidak dinyatakan secara jelas bahwa hukum tersebut berlaku
untuk kita dan juga tidak terdapat penjelasan bahwa hukum tersebut telah
dinasakh (diganti).
Sehingga dapat
disimpulkan dari ketiga kelompok syariat sebelum kita (penjelasan diatas) bahwa
dari bentuk yang pertama sudah jelas kedudukannya yaitu sudah tidak berlaku
lagi untuk kita (umat Nabi Muhammad saw.) Dari bentuk yang kedua yang
disepakati telah menjadi hukum Islam. Bentuk yang ketiga inilah sebenarnya yang
disebut dengan “syari’at sebelum kita” yang dijadikan bahan kajian oleh ulama
Ushul ketika membicarakan dalil-dalil syara’ atau metode ijtihad.
4.
Kehujjahan
Syar’u Man Qablana
Terdapat
perbedaan pendapat dari kalangan ulama mengenai syar’u man qablana apakah
dijadikan dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad saw. Pendapat
yang mereka kemukakan yaitu:
1.
Pendapat
mengenai syar’u manqablana dari Ulama’ Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian
ulama’ Syafi’iyah, ulama’ Malikiyah serta ulama’ Asy’ariyah dan Mu’tazilah
bahwasannya selama hukum tidak dijelaskan pemberlakuannya maka hukum tersebut
tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan syari’at
terdahulu itu khusus berlaku bagi umat ketika itu. Sedangkan syari’at yang
dibawa Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir berlaku secara umum dan menasakh
syari’at sebelumnya.
2.
Sebagian
ulama Malikiyah, sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian sahabat Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad yang terdapat didalam salah satu riwayat mengatakan hukum-hukum
yang telah dijelaskan didalam Al-Qur’an atau sunnah Nabi meskipun tidak
ditunjukkan untuk umat Rasulullah saw., tetapi selama tidak ada penjelasan
mengenai nasakhnya, maka berlaku hukum tersebut berlaku pula untuk umat
Rasulullah saw. Alasan dari pendapat mereka merupakan beberapa petunjuk dari
ayat Al-Qur’an yaitu:
شَرَعَ
لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَاوَصَّى بِهِ نُوْحَا وَالّذِي أوْحَيْنَا أِلَيْكَ
وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ أِبْرَا هِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ اَقِيْمُوْا
الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرُّقُوْا فِيْهِ
Artinya : “Dia
telah mensyariatkan bagi kaum tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepada-mu dan apa yang telah Kami
wahyukan Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya .... “(QS. Asy-Syura’ : 13) [28]
F.
Kesimpulan
Definisi dari Urf
menurut Mukhtar Yahya adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan oleh
masyarakat baik itu berupa perbuatan ataupun perkataan yang telah imisalnya
pada saat transaksi jual beli untuk kebutuhan ringan sehari-hari misalnya
seperti garam, tomat, dan sayur-sayuran, dengan hanya menerima barang dan
menyerahkan uang tanpa mengucapkan ijab dan qabul.
Secara umum Sadd
Adz-Dzari'ah dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang mana sebelumnya
perbuatan itu mengandung sebuah kemaslahatan, akan tetapi malah berakhir
menjadi sebuah kemafsadatan. Pada dasarnya maksud dari Dzari'ah adalah ada
suatu pekerjaan yang dimana apabila dilakukan akan mendapatkan sebuah
kemaslahatan tetapi pada akhirnya malah menjadi sebuah kemafsadatan/kerusakan.
Secara
terminologi Madzhab shahabat (shahabi) adalah pendapat dari para sahabat Nabi
Muhammad SAW. Pendapat dari para sahabat disini maksudnya yaitu pendapat dari
para sahabat yang ditegaskan oleh para ulama mengenai suatu kasus atau masalah
baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, namun di dalam Al-Qur’an maupun
hadits tidak dijelaskan mengenai hukum terhadap kasus atau masalah yang sedang
dihadapi oleh para sahabat tersebut. Dilihat dari segi kualitas kemafsadatan
Dzari’ah dibagi menjadi 4 macam yaitu :
a.
Sudah pasti perbuatan yang
dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan
b.
Ada perbuatan yang boleh
dilakukan karena perbuatan itu tidak terlalu mengandung kemafsadatan
c.
Sebagian besar kegiatan/perbuatan
yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan. Seperti halnya, ada sesorang
yang menjual senjatanya kepada musuhnya. Hal seperti ini tentu saja dilarang.
d.
Ada juga perbuatan yang pada
awalnya diperbolehkan karena mengandung kemaslahatan, akan tetapi perbuatan
tersebut juga bisa membawa kepada kemafsadatan.
Yang dimaksud
dengan syar’u man qablana adalah ajaran-ajaran dan syariat hukum yang berlaku
bagi para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. diutus menjadi seorang rasul. Syar’u
man qablana dapat juga diartikan sebagai ajaran-ajaran atau ketetapan dari
nabi-nabi terdahulu sebelum adanya Islam yang berhubungan dengan hukum. Para
ulama berpendapat mengenai syar’u man qablana ( شرع من
قبلنا ) atau syari’at yang
sudah ada sebelum kita merupakan hukum-hukum yang dibawa oleh para Nabi dan
Rasul terdahulu yang telah disyariatkan untuk umat sebelum Islam dan menjadi
dasar hukum yang harus diikuti oleh umat sebelum adanya syari’at dari
Rasulullah saw.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abd.
Rahman Dahlan. 2016. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah
Effendi, Satria
Effendi. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media
Tharaba , M.
Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’i (Filsafat Hukum Islam).
Malang: Dream Litera Buana
Syarifuddin,
Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
Praja , Juhaya S. 1999. Ilmu Ushul
Fiqih. Bandung : CV Pustaka Setia
Bakry, Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul
Fiqh. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Zaidan , Abdul Karim. 2008. Pengantar
Studi Syariah. Jakarta: Rabbani Press
Khallaf, Abdul Wahab. 2005. Ilmu
Ushul Fikih. Jakarta: PT Asdi
Mahasatya
Sieny, Saeed Ismaeel. 2017. Ushul
Fiqih Aplikatif. Malang: Darul Ukhuwah Publisher
Catatan:
1.
Similarity lumayan tinggi, 20%.
2.
Kesimpulan perlu lebih diringkas
lagi
3.
Penulisan seharusnya mengikuti
kaidah KBBI, seperti Alquran, hadis, sunah.
[1] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh,
(Jakarta : Kencana, 2008), hal. 410
[2] M. Fahim Tharaba, Hikmatut
Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’i, (Malang : CV. Dream Litera Buana, 2016), hal.
160
[3] Satria Efendi, Ushul Fiqih,
(Jakarta : Prenada Media, 2005), hal 153
[4]Abdul Karim Zaidan, Pengantar
Studi Syariah, (Jakarta: Rabbani Press, 2008) hal. 258
[5] Amir Syarifuddin, op. Cit, hal.
416
[6] M. Fahim Tharaba, op. Cit, hal
161
[7] Amir Syarifuddin, op. Cit. hal
426
[8] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fikih, (Jakarta: PT Asdi
Mahasatya, 2005) hal. 105
[9] Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul
Fiqih, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hal. 132
[10] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul
Fiqh, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 244
[11] Juhaya S. Praja, op. Cit. hal.
132
[12]Saeed Ismaeel Sieny, Ushul
Fiqih Aplikatif, (Malang: Darul Ukhuwah Publisher, 2017) hal. 101
[13] Nazar Bakry, op. Cit. hal. 244
[14] Juhaya S. Praja, op. Cit. hal.
134-135
[15] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 166
[16] Amir Syarifuddin, op. Cit. hal.
456
[17] Nazar Bakry, op. Cit. hal. 242
[18] Juhaya S. Praja, op. Cit. hal.
141
[19] Juhaya S. Praja, op. Cit. hal.
141-142
[20] Nazar Bakry, op. Cit. hal.
242-243
[21] Abd. Rahman Dahlan, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2016), hal. 230
[22] Satria Effendi, op. Cit. hal.
163
[23] M. Fahim Tharaba, op. Cit. hal.
156
[24] Amir Syarifuddin, op. Cit. hal.
391
[25]
Abd. Rahman Dahlan, op.
Cit. hal. 231-235
[26] Amir Syarifuddin, op. Cit. hal.
392
[27] M. Fahim Tharaba, op. Cit. hal.159
[28]
Amir Syarifuddin, op. Cit.
hal. 393-395
Tidak ada komentar:
Posting Komentar