Hukum Taklifi Dan Hukum Wadh’i, Mahkum
Fih Dan Mahkum Alaih
Oleh : Afrizal Priyo Adi, Syaifuddin, dan Moch.
Salman Al Farisi
Kelas PAI A Semester 6
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
afrizalpriyoadi@gmail.com
Abstract
:
Law is a rule or system
created by a group of people to limit the behavior of humans so that their
behavior can be controlled. The law has a universal nature such as order,
peace, peace, prosperity and prosperity in living the life of society. In Islam
there are also rules that must be known to his people. The rule is commonly
referred to as Islamic law. Muslims or mukallaf are encouraged to study and
understand the Islamic laws that have been stipulated in the Qur'an and
Al-hadith in terms of worship, social aspects, and various other life problems.
Broadly speaking Islamic law is divided into 2 terms, namely the law of taklifi
and wadh'i law. Taklifi law in the form of demands or choices. The law of
wadh'i is a legal consideration of taklifi or is the result of a legal act of
taklifi. In the proposed fiqih term mukallaf also called mahkumalaih (legal
subject). While the legal object is called mahkumfih. Etymologically,
mahkumalaih is a Muslim who is baligh and sensible. While mahkumfih deeds done
by muslims who are baligh and sensible.
Keyword
: Law, mukallaf, mahkum alaih.
Abstrak
Hukum merupakan
suatu peraturan atau sistem yamg dibuat oleh sekelompok manusia untuk membatasi
tingkah laku manusia agar tingkah lakunya dapat terkontrol. Hukum mempunyai
sifat universal seperti ketertiban, ketentraman, kedamaian, kesejahteraan dan
kemakmuran dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dalam agama Islam juga
terdapat aturan-aturan yang harus diketahui umatnya. Aturan itu biasa disebut
dengan hukum Islam. Orang Islam atau mukallaf dianjurkan untuk mempelajari dan
memahami hukum-hukum Islam yang telah ditetapkan dalam Al-qur’an dan Al-hadist
baik dalam aspek ibadah, aspek sosial, serta berbagai problematika kehidupan
yang lain. Secara garis besar hukum islam dibagi menjadi 2 hal, yakni hukum
taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi berbentuk tuntutan atau pilihan. Hukum
wadh’i bersifat sebagai pertimbangan hukum taklifi atau merupakan akibat dari
perbuatan hukum taklifi. Dalam usul fiqih istilah mukallaf disebut juga mahkum
alaih (subjek hukum). Sedangkan objek
hukumnya disebut mahkum fih. Secara etimologi, mahkum alaih adalah orang muslim
yang sudah baligh dan berakal sehat. Sedangkan mahkum fih perbuatan yang
dilakukan orang muslim yang sudah baligh dan berakal sehat.
Kata
kunci : Hukum, mukallaf, mahkum alaih.
A.
Pendahuluan
Sistem berfikir dalam bidang hukum Islam berpangkal pada petunjuk Al-qur’an
dan Al-hadist. Karena didalam keduanya terdapat hukum-hukum untuk mengatur
kehidupan kita.[1]
Al-qur’an menjadi sumber utama dan Al-hadits menjadi penjelas hukum Islam
sekaligus sebagai dalil utama ilmu fiqh dan ushul fiqh, dengan demikian bahwa Al-qur’an
menjadi pembimbing dan memberikan semua petunjuk terkait hukum Islam.
Ilmu
fiqh membahas tentang perbuatan mukallaf dari segi penetapan hukum-hukum
syari’ah terhadapnya atau dengan kata lain ilmu fiqh meninjau dari segi hasil
penggalian hukum syara’. Sedangkan ilmu ushul fiqh sendiri meninjau hukum
syara’ dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, membahas tentang metode penggalian
hukum syara’. Karena ilmu ushul fiqh merupakan metodologi terpenting yang
pernah ditemukan oleh dunia pemikiran Islam dan tidak dimiliki umat lain.[2]
Maka, ushul fiqh menjadi hal yang sangat penting dalam penerapan ilmu fiqih di
kehidupat umat Islam. Setiap pribadi umat Islam dianjurkan mempelajari metode
penggalian hukum syara’ untuk memahami penerapan hassil penggalian hukum
syara’.
Dengan
makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum-hukum islam atau syara’
yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadh’i, mahkum fih dan mahkum
alaih. Semoga makalah yang kami tulis ini bisa membantu pembaca dalam proses
memahami hukum-hukum islam demi kesejahteraan umat muslim seluruh dunia.
B. Hukum
Taklifi Dan Hukum Wadh’i
1.
Pengertian Hukum.
Hukum, Menurut
bahasa, artinya: “menetapkan sesuatu atas sesuatu”sedangkan menurut istilah, ialah Khitab (titah) Allah atau sabda Nabi
Muhammad SAWyang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf, baik itu
mengandung perintah, larangan pilihan, atau ketetapan.[3]
Mayoritas Ulama
Ushul Mendefinisikan Hukum sebagai Berikut
خِطَابُ
اللهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ أِقْتِضَاءً أَوْتَخْيِيْرًا
أَوْوَضْعًا
Artinya : “Kalam
Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan Berakal Sehat, Baik bersifat
imperatif, fakultatif, dan menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan
penghalang”.Yang dimaksud khitab Allah dalam definisi tersebut adalah semua
bentuk dalil, baik Alquran, Assunah maupun yang lainnya, seperti ijma’ dan
qiyas.
Namun,
Para ulama Ushul kontemporer, seperti Ali Hasaballah dan Abd. Wahab khalaf
berpendapat bahwa yang dimaksud degan dalil disini hanya Al-Qur’an dan
AS-Sunah. Adapun Ijma’ dan Qiyas hanya sebagai metode menyingkapkan hukum dari
Alqur’an dan Assunnah tersebut. Dengan demikian, sesuatu yang disandarkan pada
kedua dalil tersebut tidak semestinya disebut sebagai sumber hukum.[4]
2.
Pembagian Hukum.
Bertitik Tolak
pada definisi hukum diatas, maka hukum menurut ulama’ ushul terbagi dalam dua
bagian, yaitu hukum Taklifi dan hukum Wadh’i.
a.
Hukum Taklifi.
Hukum
Taklifi Adalah Firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan. jadi, hukum
Taklifi adalah segala ketentuan dari Allah yang bersifat perintah, larangan
atau pilihan antara larangan dan perintah Allah.Contoh firman Allah SWT. Yang
bersifat memilih (fakultatif) :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ
لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ
Artinya :“Dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar.” (QS. Al-Baqarah : 187).
1.
Bentuk-bentuk Hukum Taklifi
Terdapat dua
golongan ulama dalam menjelaskan bentuk-bentuk hukum taklifi :
Pertama, Hukum
Taklif menurut Jumhur Ulama Ushul Fiqh/Mutakallimin. Menurut mereka
bentuk-bentuk hukum tersebut ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahan,
dan tahrim.Kedua, bentuk-bentuk hukum taklifi, seperti iftirad, ijab, nabd,
ibahah, karahah tanzhiliyah, karahah tahrimiyah, dan tahrim.[5]
Dalam hal ini,
kami hanya menjelaskanhukum Taklifi menurut Jumhur Ulama Ushul
Fiqh/Mutakallimin.
a.
Ijab (wajib): mewajibkan atau khithab
(firman Allah) yang meminta mengerjakan dengan tuntutan yang pasti.[6]
Yaitu tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh
ditinggalkan. Orang yang meningggalkannya dikenai sanksi.[7]Contoh
: Allah SWT berfirman dalam surat Albaqoroh ayat 110.
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ
اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan bagi dirimu, kamu akan mendapat
pahala Nya. Sesungguhnya Allah maha melihat semua yang kamu kerjakan”.
b.
Nadab (sunnah) : menganjurkan
atau khithab yang mengandung perintah yang tidak wajib dituruti. Tidak bersifat
memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk
meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang
dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan
itu disebut nadb. Contoh : Allah SWT berfirman dalam surat Albaqoroh ayat 282.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
c.
Tahrim (haram) : titah/khithab
yang mengandung larangan yang harus dijauhi. Yaitu tuntutan atas sebuah dengan
meninggalkan perbuatan lainnya secara pasti.[8]
Contoh : Allah berfirman dalam surat Almaidah ayat 90:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا
الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.”
d.
Karahah (makruh) : yaitu titah/khithab
yang mengandung larangan, tetapi tidak harus dijauhi.Allah SWT berfirman dalam
surat Almaidah Ayat 101:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا
عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا ۗ
وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika
kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan
kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun”.
e.
Ibahah (mubah) : yaitu titah/khithab
yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat atau ditinggalkan. Allah SWT berfirman
dalam surat Albaqarah ayat 173 :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَاعَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
b.
Hukum Wad’i
Hukum Wadh’i adalah firman Allah SWT
yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab,syarat atau penghalang ari
sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas sesuatu dengan hukum
taklifi,baik bersifat sebagai sebab,atau syarat,atau penghalang maka ia disebut
hukum wadhi . Di dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan hukum.[9]Contoh
firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain :
أَقِمِ
ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمْسِ
Artinya
: “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergilincir”
Pada ayat
tersebut,tergelincirnya matahari ijaikan sebab wajibnya shalat. Contoh firman
Allah yang menjaikan sesuatu sebagai syarat :
وَٱبْتَلُوا۟
ٱلْيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُوا۟ ٱلنِّكَاحَ
Ayat tersebut menunjukkan kedewasaan anak yatim
menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.
Dari pengertian wadhi
tersebut ditunjukkan bahwa macam macam hukum wadh’i yaitu sebab ,syarat mani’
(penghalang).[10]
1.
Sebab
Menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat
menyampaikan pada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan
kepada sesuatu tujuan. Menurut istillah adalah suatu sifat yang dijadikan
syar’i sebagai tanda adanya hukum. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebab sama
dengan illat tersebut.
Dengan demikian,terlihat keterkaitan
hukum wadh’i (dalam hal ini adalah sebab) dengan hukum taklif,sekalipun
keberadaan hukum wadh’i itu tidak menyentuh esensi hukum taklifi. Hukum wadh’i
hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taklifi. Akan tetapi,para ulama
Ushul Fiqh menetapkan bahwa sebab itu harus munculari nash,bukan buatan
manusia.
Ulamamembagikansebabinikepadaduabagian :
1. Sebab yang diluarkemampuanmukalaf. Misalnya,
keadaanterpaksamenjadisebabbolehnyamemakanbangkaidantergelinciratautenggelamnyamataharisebagaisebabwajibnyashalat.
2. Sebab yang beradadalamkesanggupanmukalaf.
Sebabinidibagidua :
a.
Yang
termasukdalamhukumtaklifi,
sepertimenyaksikanbulanmenjadikansebabwajibmelaksanakanpuasa (QS. Al Baqarah
(2) : 185). Begitujugakeadaansedangdalamperjalananmenjadisebabbolehtidaknyaberpuasa
di bulanRamadhan (QS. Al Baqarah (2):185)
b.
Yang termasuk
dalam hukum wadh'i seperti perkawinan menjadi sebabnya hak warisan antara
suami, istri dan menjadi sebab haramnya mengawini mertua dan lain sebagainya.
2.
Syarat
Yaitu sesuatu yang berada dalam hukum
syara’,terapi keberadaan hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’
bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, tetapi,adanya syarat tidak
mengharuskan adanya hukum syara’. Oleh sebab itu,suatuhukum taklifi tidak dapat
diterapkan, kecuali bila telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan syara' . Misalnya,
wudhu' adalahsalahsatusyaratsahshalat.Shalattidakdapatdilaksanakantanpawudhu' .
Akan tetapi, apabilaseseorangberwudhu' ,iatidakharusmelaksanakanshalat. Contohlainadalahsaksidalampernikahan.
Keberadaansaksiituadalahsalahsatusyaratsahnyanikah,
sehinggapernikahantanpasaksiadalahtidaksah. Akan tetapi,
kesaksianitusendiribukanlahmerupakanunsurdarinikah,
karenaiaberadadiluaresensinikahitusendiri. Apabilasaksitidakadamakahukumnikah
pun tidakada, tetapiadanyasaksitidakmengharuskanadanyapernikahan.
3.
Mani'
(penghalang)
Yaitu sifat yang keberadaannya
menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya,
hubungansuamiistridanhubungankekerabatanmenyebabkantimbulnyahubungankewarisan
(warismewarisi).Apabila ayah wafat,
istridananakmendapatkanpembagianwarisandarihartasuamiatau ayah yang wafat,
sesuaidenganpembagianmasingmasing. Akan
tetapi,hakmewarisiinibisaterhalangapabilaanakatauistri yang membunuhsuamiatau
ayah yang wafattersebut. (H. R. Bukharidan
Muslim).Perbuatanmembunuhitumerupakanmani' (penghalang)
untukmendapatkanpembagianwarisandari orang yang dibunuh. Di sisilain,
adanyapembunuhanmenyebabkandilaksanakanhukumanqishashbagipelakupembunuhan. Akan
tetapi, dalamhubungan ayah dananakatauistridengansuamidalamkasuspembunuhan di
atas, makahubunganketurunan (perkawinan)
menjadipenghalangdilaksanakannyahukumanqishash. Keterkaitanantarasebab,
syarat, danmani' sangaterat.
Penghalangituadabersamaandengansebabdanterpenuhinyasyaratsyarat.Syari'
menetapkanbahwasuatuhukum yang akandikerjakanadalahhukum yang adasebabnya,
memenuhisyaratsyaratnyadantidakadapenghalang (mani') dalammelaksanakannya.
Sebaliknya, hukumtidakada, apabilasebabdansyaratsyaratnyatidakada,
atauadanyahalanganuntukmengerjakannya.Misalnya,
shalatduhurwajibdikerjakanapabilatelahtergelincirmatahari (sebab)
dantelahberwudhu' (syarat), tetapikarena orang yang
akanmengerjakanitusedanghaid (mani'), makashalatdhuhuritutidaksahdikerjakan.
Demikianjugahalnya, apabilasyaratterpenuhi (telahberwudhu'),
tetapipenyebabwajibnyashalatdhuhurbelummuncul (mataharibelumtergelincir),
makashalat pun belumwajib.Meskipun, telahterpenuhinyasebabdansyarat,
tetapiadamani', yaituhaid, makashalatdhuhur pun tidakbisadikerjakan.
4.
Shihhah
Adalahsuatuhukum yang sesuaidengantuntutansyara',
yaituterpenuhinyasebab, syaratdantidakadamani'. Misalnya,
mengerjakanshalatdhuhursetelahtergelincirmatahari (sebab) dantelahberwudhu'
(syarat), dantidakadahalanganbagi orang yang mengerjakannya (tidakhaid, nifas,
dansebagainya).Dalamcontohini, pekerjaan yang
dilaksanakanituhukumnyasah.Olehkarenaitu,
apabilasebabtidakadadansyaratnyatidakterpenuhi, makashalatitutidaksah,
sekalipunmani'nyatidakada.
5.
Bathil
Yaituterlepasnyahukumsyara'
dariketentuan yang ditetapkandantidakadaakibathukum yang
ditimbulkannya.Misalnya, memperjualbelikanminumankerastidakbernilaihartadalampandangansyara'.
Disampingbatal,
ulamaHanafiyyahjugamengungkapkanhukumlain yang berdekatandenganbatal,
yaitufasid. Menurutmereka, fasidadalahterjadinyasuatukerusakandalamunsurunsurakad.
JumhurulamaUshulFiqh /
mutakalliminberpendirianbahwaantarabataldanfasidadalahduaistillahdenganpengertian
yang sama, yaitusamasamatidaksah.
6.
AzimahdanRukhshah
Azimahadalahhukumhukum yang disyariatkan
Allah kepadaseluruhhambaNyasejaksemula.Artinya,
belumadahukumsebelumhukumitudisyariatkan Allah,
sehinggasejakdisyariatkannyaseluruhmukallafwajibmengikutinya.Imam Al-Baidhawi
(ahliushulfiqhsyafi'iyyah), mengatakanbahwa 'azimahituadalahhukum yang
ditetapkantidakberbedadengandalil yang ditetapkankarenaadaudzur."Misalnya,
jumlahrakaatshalatasharadalahempatrakaat.Jumlahrakaatiniditetapkan Allah
sejaksemula, sebelumnyatidakadahukum lain yang
menetapkanjumlahrakaatshalatashar.
Hukumtentangrakaatshalatasharadalahempatrakaatdisebutdengan 'azimah.Apabilaadadalillain
yang menunjukkanbahwa orang orangtertentubolehmengerjakanshalatasharduarakaat,
seperti orang musafir, makahukumitudisebutrukhsah. Dengandemikian,
paraahliUshulFiqhmenjelaskanrukhsahdenganhukum yang
ditetapkanberbedadengandalil yang adakarenaadaudzur.
c.
Perbedaan Hukum Taklifi Dan
Wadh’i
Ada
beberapa perbedaan antara hukum al-taklifi dengan hukum al-wadhi’i. Perbedaan
hukum tersebut sebagai berikut :
1.
Hukum al-takhlifi terkandung
tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak
berbuat. Dalam hukum al-wadh’i hal ini mengandung keterkaitan antara dua
persoalan, sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab,
penghalang, atau syarat.
2.
Hukum at-takhlifi merupakan
tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau
melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan, hukum al-wadh’i
tidak langsung dilakukan mukalaf, hukum al-wadh’i ditentukan syar’i agar dapat
dilaksanakan hukum al-takhlif. Misalnya, zakat itu hukumnya wajib (hukum
at-takhlif), akan tetapi kewajiban ini tidak bisa dilaksanakan apabila harta
tersebut tidak mencapai ukuran satu nishab dan belum haul. Ukuran satu nishab
merupakan penyebab (hukum al-wadh’i), wajib zakat dan haul merupakan syarat
(hukum al-wadh’i) wajib zakat.
3.
Hukum at-taklif ditunjukan kepada
para mukalaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal, sedangkan hukum
al-wadh’i ditujukan kepada manusia mana saja, baik telah mukalaf maupun belum,
seperti anak kecil dan orang gila.[11]
C. MAHKUM
FIH DAN MAHKUM ALAIH
1.
Mahkum Fih
a.
Pengertian Mahkum Fih
Mahkum Fih
berarti “perbuatan orang mukalaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara”.[12]
Alaidin Koto dalam bukunya Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar)
berpendapat secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum
fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan –atau dibebani- dengan hukum
syar’i.[13]
Dari dua
pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian Mahkum Fih adalah suatu
perbuatan yang dilakukan oleh orang mukallaf (orang yang di bebani hukum) atau
sering disebut dengan obyek hukum.
Adapun yang
menjadi obyek hukum adalah perbuatan mukallaf, yaitu gerak atau diamnya
mukallaf.[14]
Maksudnya, yang dapat dibebani hukum wajib atau sunnah, atau mubah, atau
makruh, haram adalah perbuatan seseorang, bukan obyek perbuatan seseorang.
Misalnya, hukum dalam melaksanakan sholat fardlu adalah wajib. Maka, yang
diwajibkan adalah melaksanakan tadi, bukan sholat fardlu.
b.
Contoh Mahkum Fih
1.
Perkara yang berhubungan dengan
wajib disebut Ijab
Contohnya dalam surat Al-baqoroh ayat 43
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.”
Ayat di atas
khususnya kata “wa aqimuush sholaata” menerangkan bahwa setiap mukallaf
diperintahkan untuk mendirikan (melakukan) sholat. Makna dari suatu perintah
adalah kewajiban.
2.
Perkara yang berhubungan dengan
sunnah disebut mandub
Contohnya dalam surat Al-baqoroh ayat
282
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Ayat di atas
menerangkan bahwa dalam bermuamalah secara tunai, maka hendaklah menulisnya.
Kata “hendaklah kamu menulisnya” itu menjadi contoh perbuatan mukallaf yang di
anjurkan.
3.
Perkara yang berhubungan dengan
haram disebut tahrim
Contohnya dalam surat Al-an’am ayat 151
وَلَا
تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ ذَٰلِكُمْ
وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu
supaya kamu memahami(nya).”
Ayat
di atas menerangkan bahwa membunuh jiwa itu diharamkan oleh Allah kecuali
dengan alasan yang benar. Perbuatan membunuh jiwa itu menjadi contoh perbuatan
mukallaf yang dilarang.
4.
Perkara yang berhubungan dengan
makruh disebut karohah
Contohnya dalam surat Al-baqoroh ayat
267
وَلَا
تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ
تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ
“Dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya.”
Ayat di atas
menerangkan bahwa tidak dianjurkan memilih yang buruk untuk di nafkahkan. Kata
“janganlah kalian memilih yang buruk-buruk
kemudian kalian nafkahkan” itu menjadi contoh perbuatan mukallaf yang
tidak dianjurkan.
5.
Perkara yang berhubungan dengan
mubah disebut ibahah
Contohnya dalam surat Al-baqoroh ayat
184
أَيَّامًا
مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ
“Yaitu)
dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Ayat
di atas menerangkan bahwa ketika sedang puasa kemudian sakit atau dalam
bepergian, maka boleh untuk membatalkan puasa dan menggantinya di bulan lain.
Makna dari membatalkan puasa dan menggantinya merupakan contoh perbuatan
mukallaf yang diperbolehkan.
c.
Syarat-Syarat Mahkum Fih
1.
Perbuatan tersebut diketahui oleh
mukallaf, sehingga mereka dapat melakukannya sesuai dengan tuntutan yang
dibebankan kepada mereka.[15]
Artinya, mukallaf dapat mengerti apa yang
di bebankan hukum kepadanya melalui penjelasan Alquran yang diperjelas dengan
penjelasan-penjelasan Alhadits. Misalnya dalam Alquran “wa aqiimush sholaata”
di perjelas dengan Alhadits “shollu kamaa roaitumuunii ushollii”. Maka, ketika
suatu perintah itu masih bersifat mujmal tidak bisa mukallaf di bebani hukum
untuk mematuhinya kecuali setelah ada penjelasan.
2.
Diketahui secara pasti oleh orang
mukallaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang berwenang membuat perintah
yang dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya.[16]
Artinya, mukallaf harus mengetahui suatu yang dibebankan hukum kepadanya itu
bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, dalam menerima suatu beban
hukum mukallaf harus mengetahui dasar hukumnya dari Allah yang berupa Alquran
dan Rasul-Nya yang berupa Alhadits.
3.
Perbuatan yang ditaklifkan
tersebut dimungkinkan terjadi.[17]
Artinya, mukallaf dapat melakukan apa yang dibebankan hukum kepadanya sesuai
dengan batas kemampuanya. Mukallaf dapat melakukan perbuatan yang dibebankan
tersebut atau dapat meninggalkan perbuatan tersebut.
4.
Mahkum Alaih
a.
Pengertian Mahkum Alaih
Mahkum Alaih :
yang dikenai hukum ialah orang-orang mukallaf, artinya orang-orang muslim yang
sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban
baginya.[18]
Satria Effendi dan M. Zein dalam bukunya
Ushul Fiqih mengatakan mahkum alaih berarti “orang mukallaf (orang yang layak
dibebani hukum taklifi)”.[19]
Dari dua
pengertian diatas, dapat di tarik kesimpulan bahwa mahkum alaih adalah orang
yang dibebani hukum atau lebih mudahnya dengan istilah mukallaf dan mengerti
hal yang dibebankan hukum kepadanya. Misalnya orang gila, anak kecil, dan orang
tidur maka, mereka tidak dapat dibebani hukum.
b.
Syarat-Syarat Mahkum Alaih
1.
Orang tersebut mampu memahami
dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain.[20]
Artinya, mukallaf dapat memahami sendiri dalil-dalil taklif atau dengan orang
lain yang memberitahunya tentang dalil-dalil taklif. Dalam memahami dalil-dalil
taklif diperlukan kemampuan akal. Kemampuan akal dalam diri manusia dapat di
lihat ketika ia sudah baligh. Maka, ketika sudah baligh manusia sudah dapat
dibebani hukum. Oleh karena itu, ketika seorang manusia tidak dapat memahami
dalil-dalil taklif, kemungkinan dia juga tidak akan mematuhi apa yang
dibebankan hukum kepadanya.
2.
Mampu ahliyat al-ada’, yaitu
kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul beban taklif.[21]
Artinya, segala perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf di bebani hukum Islam.
Maka, seorang mukallaf harus cakap dalam melaksanakan apa yang di bebankan
hukum kepadanya. Kecakapan tersebut dapat di temukan ketika mukallaf sudah
masuk masa baligh. Ketika baligh, ia
akan dapat mempertimbangkan segala perbuatan yang akan dilakukan apakah
perbuatan itu baik ataukah perbuatan itu buruk.
D. KESIMPULAN
Hukum Islam, menurut bahasa,
artinya: “menetapkan sesuatu atas sesuatu”sedangkan
menurut istilah, ialah Khitab (titah) Allah atau sabda nabi Muhammad SAWyang
berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf, baik itu mengandung perintah,
larangan pilihan, atau ketetapan.
Hukum Islam terbagi menjadi 2, yakni : hukum taklifi
dan hukum wadh’i. Hukum
Taklifi adalah segala ketentuan dari Allah yang bersifat perintah, larangan
atau pilihan antara larangan dan perintah Allah (ijab, naab, tahrim, karahahd,
ibahah).Hukum Wadh’i adalah firman Allah SWT yang menuntut untuk menjadikan
sesuatu sebagai sebab,syarat atau penghalang ari sesuatu yang lain. Bila firman
Allah menunjukkan atas sesuatu dengan hukum taklifi,baik bersifat sebagai
sebab,atau syarat,atau penghalang.
Mahkum Fih
berarti “perbuatan orang mukalaf sebagai tempat menghubungkan hukum
syara”.Mahkum Alaih : yang dikenai hukum ialah orang-orang mukallaf, artinya
orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa
yang dijadikan beban baginya.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syahrul. 2010. lmu
Fiqh dan Ushul Fiqh.Bogor :
Ghalia Indonesia
Bahri, Syamsul.
2008. Metodologi Hukum Islam. Yogjakarta : TERAS
Biek, Muhammad Al Khudori. 1982. Terjemah Ushul Fiqih, alih bahasa
Zaid H. Al-Hamid. Pekalongan : Raja Murah
Dahlan, Abd.
Rahman. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH
Effendi,
Satriadan Zein, M. 2005.Ushul Fiqh.Jakarta : Prenada Media
Fanani, Muhyar.
2010. Fiqih Madani : Kontruksi Hukum Islam di Dunia Modern.
Koto, Alaiddin. 2004.Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah pengantar).
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Koto, Alaiddin. 2012. Filsafat
Hukum Islam. Jakarta : Rajawali PressYogyakarta : LkiS Yogyakarta
Rifai, Moh. 1993. Ushul Fiqih. Bandung : PT. Al-Ma’arif
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul
Fiqih. Bandung : Pustaka
Setia
Catatan:
1.
Similarity sangat
tinggi, 36%.
2.
Dijelaskan pelan-pelan,
agar teman-teman Anda paham.
[1] Syamsul Bahri,
Metodologi Hukum Islam (Yogjakarta : TERAS, 2008), hal 45
[2] Muhyar Fanani,
Fiqih Madani : Kontruksi Hukum Islam di Dunia Modern (Yogyakarta : LkiS
Yogyakarta, 2010), hal 1
[3] Moh Rifai, Ushul
Fiqih (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1993), hal 11
[6] Moh Rifai, Ushul
Fiqih (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1993), hal 13
[8] Muhammad Al
Khudori Biek, Terjemah Ushul Fiqih, alih bahasa Zaid H. Al-Hamid(Ushul
Fiqih, Pekalongan : Raja Murah, 1982), hal 44
[10]Moh Rifai, Ushul
Fiqih (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1993), hal 313
[13] Alaidin Koto, Ilmu
Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah pengantar), (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2004), hal 153
[14] Abd. Rahman
Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta : AMZAH, 2010), hal 92
[15] Alaiddin Koto,
Filsafat Hukum Islam (Jakarta :
Rajawali Press, 2012), hal 130
[17] Alaidin Koto, Ilmu
Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah pengantar), (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2004), hal 156
[18] Moh Rifai, Ushul
Fiqih (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1993), hal 16
[20] Alaiddin Koto,
Filsafat Hukum Islam (Jakarta :
Rajawali Press, 2012), hal 132
Tidak ada komentar:
Posting Komentar