KLASIFIKASI
HADIST DARI ASPEK KUANTITAS PERIWAYAT
PIPS A2016
Inti
Shorunnuha Az-Zahra (16130062)
Nur
Cholilah (16130064)
Abstract
Besides
the Al-Quran as the main source in Islam, the Hadist which is something that is
propped up against the prophet Muhammad in the from of words, deeds, statues,
and things that are also sources of teachings that complement the content of
Al-Quraan. Hadist also has a close connection with the Al-Quran and hadist can
not be separated or can not walk alone. Besides that in the presenting of
hadist is distinguished on the quantity of its transmission is hadist mutawatir
and hadist ahad.
Abstrak
Selain Al-quran
sebagai sumber utama dalam Islam, hadist yang merupakan sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, berupa perkataan, perbuatan,
ketetapan,dan hal ihwalnya yang juga merupakan sumber ajaran yang banyak
melengkapi kandungan Al-Quran. Hadist juga memiliki kaitan erat dengan al-Quran
dan untuk memahami Al-quran dan hadist tidak bisa dipisah-pisah atau tidak bisa
berjalan sendiri. Selain itu dalam pembagiannya hadist dibedakan atas kuantitas
periwayatannya yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.
A.
PENDAHULUAN
Menurut Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi, ilmu
hadist adalah ilmu yang berkaitan dengan hadist. Definisi ini dikemukakan
mengingat ilmu yang berhubungan dengan hadist sangat banyak macamnya.Hal ini
disebabkan karena ulama yang membahas masalah ini juga banyak, karenannya
dijumpai sejumlah istilah yang berkaitan dengan ilmu itu.Di antara ulama ada
yang menggunakan istilah ilmu hadist, ilmu ushul al-hadist, atau ilmu musthalah
al-hadist.Ada juga yang menyebutnya Ilmu musthalau ahl al-atsar, atau ilmu
musthalah ahli al-hadist.[1]
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian ilmu hadist
ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita.Di
antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadist
mutawatir, masyhur, dan ahad.Ada juga yang membaginya menjadi dua, yaitu hadist
mutawatir dan ahad. Ini disponsori oleh sebagian ulama ushul seperti
diantaranya , Abu Bakar al-Jashshash (305-370H). Sedangkan ulama golongan kedua
diikuti oleh ulama sebagian besar ulama ushul (ushulliyun) dan ulama kalam
(mutakallimun). Menurut mereka, hadist masyhur bukan merupakan hadist yang
berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian dari hadist ahad. Mereka
membagi hadist ke dalam dua bagian,yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.[2]
Ada perbedaan pendapat mengenai pembagian hadist yang
ditinjau dari segi kuantitas.Maksud pembagian hadist ditinjau dari segi
kuantitas sendiri adalah pembagian hadis ditinjau dari jumlah rawi yang menjadi
sumber berita ini. Di
antara para ulama ushul ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni
hadis Mutawatir, Masyhur dan Ahad, dan ada juga yang membaginya menjadi dua
saja yaitu hadis Mutawatir dan Ahad.[3]
Menurut
Hasbi As Shiddiqi, pembagian hadis yang menjadi pegangan oleh kebanyakan ahli
ushul yaitu : Mutawatir, masyhur dan Ahad. Banyak ahli hadis ,membagi hadis
dari segi kemutawatiran dan dibagi menjadi dua saja yakni Mutawatir dan Ahad. Hadis
Masyhur sendiri mereka golongkan ke dalam hadisAhad .[4]
Pembagian hadis menjadi tiga yakni :
Mutawatir, Masyhur dan Ahad, telah disepakati oleh kebanyakan ulama Fiqh dan
ulama Ushul. Sedangkan, menurut kebanyakan ulama Hadis, cukup dibagi menjadi
dua saja yaitu hadis Mutawatir dan Ahad.Hal itulah yang dikatakan oleh Syuhudi
Ismail.Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa pada garis
besarnya hadis dibagi menjadi 2 macam, yakni Mutawatir dan Ahad.Pembagian ini
dianggap lebih praktis karena pada dasarnya hadis Masyhur tercakup dalam hadis
Ahad.[5]
B.
HADIST MUTAWATIR
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : mutatabi’
(beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadist, ia merupakan hadist
yang diriwayatkan oleh orang banyak, dari orang banyak, dan berdasarkan logika
atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan
seperti itu terus-menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai
thabaqat yang terakhir.[6]
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama
muta’akhkhirin, tentang syarat-syarat hadist mutawatir.Ulama mutaqaddimin
berpendapat bahwa hadist mutawatir tidak termasuk ke dalam pembahasan ilmu
isnad al-hadist, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu
khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya.Sementara dalam hadist
mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan.Jika sudah jelas statusnya sebagai
hadist mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.[7]
Secara definitif,
berikut pengertian hadist mutawatir :
Suatu
hadis hasil tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi,
yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk
dusta.[8]
Secara bahasa, kata “mutawatir” berbentuk
isim fa’il musytaq dari
kata “tawatur” yang
bermakna “ berturut-turut atau berurutan”, sedangkan secara istilah, hadis
mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat
kebiasaan pada saat itu mustahil mereka sepakat melakukan kebohongan. [9]
Hasbi
Ash-Shiddieqy mendefinisikan :
Hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh segolongan besar yang tidak terhitung jumlahnya dan
tidak pula dapat difahamkan, bahwa mereka telah sepakat berdusta.Keadaan itu
terus-menerus hingga sampai kepada akhirnya.[10]
Sedangkan Shubhi Shalih
mendefinisikan :
Mutawatir
ialah hadis shahih yang sejumlah besar orang menurut akal dan adat mustahil
mereka bersepakat untuk berdusta, sejak awal sanad, tengah dan akhirnya.[11]
Manna’ al-Qaththan, mendefinisikan bahwa hadis
mutawatir adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang
menurut adat kebiasaan mustahil sepakata untuk berdusta, dari awal sanad hingga
akhir sanad (pada seluruh generasi) dan hadis yang diriwayatkan tersebut
bersifat mahshus.[12]
Suatu hadis dinamakan sebagai hadis mutawatir,
apabila jumlah para sahabat yang menjadi rawi pertama sangat banyak, lalu
munculah rawi dalam generasi tabi’in yang menerima hadis dari rawi-rawi
generasi pertama (sahabat) yang jumlahnya banyak tadi, dan tabi’it-tabi’in yang
menerimanya dari tabi’in pun seimbang jumlahnya,bahkan mungkin lebih banyak,
demikian seterusnya dalam kondisi yang sama, sampai kepada rawi-rawi yang
mendewankan hadis.[13]
Hadis
Mutawatir adalah hadis yang sumbernya benar-benar dari Nabi Muhammad SAW. Hadis
Mutawatir dapat dikatakan sama dengan Al quran dilihat dari hal keutentikannya,
karena keduanya qat’iul wurud (sesuatu
yang pastidatangnya). Para ulama telah sepakat bahwa hadis Mutawatir wajib
diamalkan dalam seluruh aspek, termasuk dalam bidang akidah.[14]
Apabila perawi
itu berjumlah banyak dan secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak
perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian hadis itu
dapat dikatakan mutawatir.[15]
Syarat-Syarat Hadis Mutawatir :
1. Hadis
itu diriwatkan oleh rawi berdasarkan perolehannya dari Nabi dan atas dasar
pancaindera yang yakin. Maksudnya, bahwa perawi dalam memperoleh hadis Nabi,
haruslah benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.[16]
Apabila periwayatan suatu hadis atau
berita itu merupakan hasil rangkuman peristiwa-peristiwa yang lain atau hasil
istimbath dari dalil-dalil yang lain, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan
mutawatir. Misalnya, periwayatan orang banyak tentang kebaruan alam semesta
yang berpijak kepada dalil logika, bahwa setiap benda yang dapat rusak adalah
benda baru (yang dicipkan oleh Sang Maha Kuasa). Oleh karena alam semesta yang
diciptakan oleh Sang Pencipta bisa rusak, sudah tentu alam semesta ini adalah benda
baru. Demikian juga periwayatan para ahli filsafat tentang ke-Esa-an Allah
menurut teori filsafatnya bukan merupakan berita yang mutawatir.[17]
2.
Bilangan perawinya, dilihat dari
segi banyaknya, telah mencapai jumlah yang menurut adat mustahil mereka bersepakat
terlebih dahulu untuk berdusta.
Adapun tentang jumlah bilangan
perawi, para ulama berbeda pendapat :
a.
Abu Thayyib menetapkan, minimal 4
orang, hal ini dengan alasan mengqiyaskan terhadap ketentuan bilangan saksi
yang diperlukan dalam suatu perkara. Misalnya dalam penuduhan zina.[18]
b.
Sebagian golongan Syafii menetapkan,
minimal 5 orang. Dengan alasan mengqiyaskan pada jumlah 5 Nabi yang bergelar
“Ulul Azmi”.[19]
c.
Sebagian ulama ada yang menetapkan
sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan Allah yang telah difirmankan
dalam surat Al-Anfal 65, tentang sugesti Allah kepada orang-orang mukmin yang
pada tahan uji, yang hanya dengan berjumlah 20 orang saja mampu mengalahkan
orang kafir yang berjumlah 200 orang.
Artinya : “Wahai Nabi (Muhammad) kobarkanlah
semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di
antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.Dan jika
ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat
mengalah-kan seribu orang kafir, karena orang-orang kafir itu adalah kaum yang
tidak mengerti”.[20]
d. Sebagian
ulama ada yang menetapkan minimal 40 orang, ada yang menetapkan minimal 10
orang, 12 orang, 70 orang dan lain-lain.[21]
3. Adanya
keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqah (lapisan) pertama
dengan jumlah rawi-rawi dalam thabaqah berikutnya. Oleh karena itu,
kalau suatu hadist diriwayatkan oleh sepuluh sahabat umpamanya, kemudian
diterima oleh lima tabi’in dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang
tabi’it-tabi’in, bukan hadist mutawattir. Sebab jumlah rawi-rawinya tidak
seimbang antara thabaqah pertama, kedua dan ketiga.[22]
Mungkinkah Terdapat Hadis Muttawatir?
Syarat-syarat hadist muttawatir
lebih ketat dibandingkan hadist-hadist lainnya.Para ulama, seperti Ibnu Hibban
dan Al-Hazimy menganggap bahwa Hadis Muttawatir itu tidak ada.Ibnu as-Shalah
memiliki pendapat bahwa hadis muttawatir itu memang ada, hanya jumlahnya sangat
sedikit.[23]
Namun, pendapat tersebut tidak
dibenarkan oleh Ibnu Hajar, hal ini disebabkan kekurangan mereka dalam menelaah
jalan-jalan hadis, kelakuan dan sifat-sifat rawi-rawinya yang dapat
memustahilkan bersepakat bohong. Menurut beliau, hadis muttawatir itu banyak kita dapati dalam
kitab-kitab yang masyhur. Bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun
hadis-hadis muttawatir, seperti :
a. Al-Azharu’l-Mutanasirah
Fi’l-Akhbari-Mutawatirah, karya As-Suyuthy (911 H). Kitab ini disusun menurut
bab demibab dan setiap hadis diterangkan sanas-sanadnya yang dipakai oleh
pentakhrijnya. Kemudian kitab tersebut diringkas dengan diberi nama.
b. Qathful-Azhar
c. Nadlmu’l-Mutanasir
mina’l-Haditsi’l-Mutawatir, karya Muhammad Abdullah bin Ja’far Al-Kattany (1345
H).[24]
Klasifikasi
Hadis Muttawatir
a. Mutawatir
Lafdzi
Hadis
mutawatir lafdzi ialah hadis mutawatir yang memiliki susunan lafadz dan makna
yang sama. Hadis model ini sedikit sekali jumlahnya karena sangat sulit
menemukan hadis dengan perawi berjumlah banyak dalam meriwayatkan sebuah hadis
dengan keseragaman redaksi.
Hadis yang sama bunyi lafazh, hukum dan maknanya.[25]
Contoh
hadis mutawatir lafdzi ,sebagaimana berikut :
Artinya:
“Barang siapa yang berbohong atas nama saya, maka bersiaplah untuk mengambil
tempat di neraka” (HR.Bukhari).[26]
Menurut
Abu Bakar Al-Bazzar,hadist tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan sebagian ulama mengatakan nahwa hadis
tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan susunan redaksi dan makna
yang sama.[27]
b. Mutawatir
Ma’nawi
Hadist Mutawatatir Ma’nawi adalah
hadis mutawatir yang maknanya samaakan tetapi redaksinya berbeda. Perbedaan
lafadz itu bisa saja terjadi karena Rasulullah sendiri menyatakan sabdanya
dengan bahasa (dialek) yang berbeda-beda, bisa ditingkat sahabat karena
kemampuan mereka di dalam menerima hadis dari Rasulullah, juga bisa pada perawi
pada tingkat dan tabaqat setelah sahabat.[28]
Berikut
ini beberapa pengertian hadis ahad:
Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat
diambil makna yang umum”[29]
Contoh hadis mutawatir ma’nawi ialah
hadis yang menyatakan tentang cara beribadah Rasulullah, terutama dalam
persoalan mengangkat tangan dalam berdo’a, mengusap khuffain,
isra’miraj dan lain lain.[30] Berikut sabda nabi
mengenai hadis ini :
Artinya :“Nabi
s.a.w. tidak mengangkatkedua tangannya ketika berdoa selain dalam doa shalat
Istisqa dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih kedua ketiaknya”.[31]
c.
Hadis
Muttawatir ‘Amali
Berikut definisi hadis muttawatir
‘amali :
Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa ia dari agama dan
telah mutawatir di kalangan umat Islam, bahwa Nabi s.a.w. menga-jarkannya atau
menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah
disepakati”.
Contoh : berita-berita yang
menerangkan waktu rakaat shalat, shalat jenazah, shalat ‘Ied, kadar zakat dan
segala rupa yang telah menjadi kese-pakatan, ijma’. [32]
Faedah
Hadis Muttawatir
Hadis
muttawatir memberi faedah ilmu-dlarury, yakni
keharusan untuk menerima penuh sesuatu yang diberitakan oleh hadis muttawatir,
hingga membawa kepada keyakinan yang qath’y (pasti).[33]
Para rawi
hadis muttawatur, sudah tidak memerlukan penyelidikan mengenai keadilan dan
kedlabithannya (kuat ingatan), karena kuantitas para rawi hadis muttawatir sudah
menjamin dari persepakatan dusta.Nabi Muhammad SAW telah menyabdakan atau
mengerjakan sesuatu, sesuai yang diberitakan dari para rawi hadis muttawatir.[34]
Mayoritas
umat islam telah bersepakat tentang hadis muttawatir yang telah disebutkan di
atas. Bahkan orang yang mengingkari hadis ilmu-dlalury yang berdasarkan khabar
muttawatir, sama dengan mengingkari hasil ilmu dlalury yang berdasarkan
musyahadat (penglihatan panca indera).[35]
C. HADIST AHAD
Secara
bahasa kata “ahad” merupakan bentuk plural dari kata “ahad” yang bermakna satu,
sedangkan khabar “ahad”adalah khabaryang diriwayatkan oleh satu orang.
Berikut
definisi hadis ahad:
Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai
jumlah pemberita hadis Mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga
orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak
mem-beri pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis Mutawatir.[36]
Hadist ahad menurut al-Thahan hadis yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadis muttawatir.[37]Hadis Ahad
merupakan hadis yang tidak mencapai derajat Mutawatir, maka keterikatan orang
Islam terhadap hadis Ahad ini tergantung pada kualitas periwayatnya dan
kualitas persambungan sanadnya.Bila sanad hadis itu tidak dapat mengikat orang
Islam untuk untuk mempergunakannya sebagai dasar beramal.Sebaliknya, bila
sanadnya bersambung dan kualitas periwayatnya bagus maka menurut Jumhur, hadis
itu harus dijadikan dasar.[38]
Pembagian Hadis Ahad
Jumlah rawi-rawi dalam thabaqat (lapisan) pertama,
kedua atau ketiga dan seterusnya pada hadis ahad itu, mungkin terdiri dari tiga
orang atau lebih, dua orang atau seorang.Para Muhadiditsin memberikan nama-nama
tertentu bagi hadis Ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada pada
tiap-tiap thabaqat. Berikut pembagiannya :
1.
Hadis Masyhur
Secara
bahasa, kata “masyhur” adalah isim maf’ul dari
kata “syahara”.muttawatir.
Secara istilah, berikut pengertian Hadis Masyhur :
Hadis yang diriwayatkan oleh tiga
orang atau lebih, serta belum mencapai derajat Mutawatir.
Menurut ulama fiqhi, hadis masyhur juga disebut hadis mustafidh.Namun, sebagian ulama lain
membedakannya, yaitu bahwa pada hadis mustafidh
jumlah rawinya tiga orang atau lebih sejak tingkatan (thabaqah) pertama
sampai terakhir. Sedangkan, hadis masyhur lebih umum dibandingkan hadis
mustafid, yaitu pada jumlah rawinya untuk tiap tingkatan tidak harus sama
banyaknya atau seimbang. Pada hadis masyhur, bisa terjadi jumlah rawi dalam
tingkatan pertama adalah sahabat, tingkatan kedua yaitu tabi’iy, tingkatan
ketiga yaitu tabi’it tabi’in, dan pada tingkatan keempat yaitu orang-orang
setelah tabi’it-tabi’in hanya terdiri dari satu orang, setelah itu pada
tingkatan kelima dan seterusnya banyak sekali.[39]
Contohnya ialah hadis masyhur yang ditakhrijkan oleh
Bukhariy Muslim dari sahabat Ibnu Umat ra:
“ Hanyasanya amal-amal
itu dengan niat dan hanya bagi tiap-tiap seseorang itu memperoleh apa yang ia
niatkan “.[40]
Hadis tersebut pada tingkatan
pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar sendiri, pada tingkatan kedua
hanya diriwayatkan oleh Alqamah sendiri, pada tingkatan ketiga hanya diriwayatkan
oleh Ibnu Ibrahim At-Taimy sendiri dan pada tingkatan keempat hanya
diriwayatkan oleh yahya bin Sa’id sendiri. Dari Yahya bin Sa’id inilah hadis
tersebut diriwayatkan oleh orang banyak. Ditinjau dari segi klasifikasi hadis ahad
yang lain, maka hadis Umar tersebut dapat juga dikatakan dengan hadis-gharib
pada awalnya, masyhur pada akhirnya.[41]
Macam-Macam Hadis Masyhur
Istilah masyhur yang diterapkan
pada suatu hadis, terkadang bukan untuk memberikan sifat-sifat hadis
berdasarkan ketetapan, yaitu banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu hadis,
tetapi juga diterapkan untuk memberikan sifat hadis yang mempunyai ketenaran di
kalangan masyarakat ramai.Sehingga, ada suatu hadis yang rawinya kurang dari
tiga orang, bahkan ada hadis yang tidak berasal (bersanad) dapat dikatakan
dengan hadis masyhur.[42]
Dari segi ini(lingkungan,
popularitas, penyebarannya, dan frekuensi) maka berikut ini pembagian hadis
masyhur :
a.
Masyhur di kalangan para Muhadditsin
dan lainnya (golongan ahli ilmu dan orang umum).
Contohnya :
Seorang Muslim itu adalah orang yang
menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya (H.R.
BukhariMuslim)[43]
Selain kedua imam hadis, yaitu
Bukhari dan Muslim, para imam hadis, seperti: Imam Abu Dawud, Imam An-Nasa’iy,
Imam At-Turmudzy dan Imam Ad-Darimy juga mentakhrijkan hadis tersebut dengan
sanad yang berbeda dalam kitab-kitab sunan mereka.[44]
Bukan saja para muhaditsin
sebagaimana dikemukakan di atas, akan tetapi para ulama ahli tasawuf, ahli
fiqih, ahli akhlaq dan bahkan orang umum sekalipun memasyhurkan hadis tersebut.[45]
b.
Masyhur di
kalangan muhadditsin
“Anas ra, berkata, Rasulullah SAW berqunut selama sebulan
berdo’a untuk kehancuran Ri’l dan Dzakwan”.[46]
Apabila
hadis di atas kita ambil menurut pentakhrijan Imam Bukhari, maka Imam Bukhari
menerima hadis tersebut melalui sanad-sanad : Ahmad bin Yunus, Zaidah, Sulaiman
At-Taimy, Abi Miljaz dan sahabat Anas bin Malik ra. Sahabat Anas bin Malik ra.
Tidak hanya meriwayatkan hadis itu kepada Abi Miljaz saja. Beliau juga
meriwayatkan kepada rawi-rawi tabi’iy yang lain,yaitu Musa bin Anas dan
Qatadah. Sulaiman At-Taimy yang menerima hadis dari Abi Miljaz, meriwayatkan
hadis itu tidak hanya kepada Zaidah sendiri, tetapijuga kepada Mu’tamir bin
Sulaiman. Selanjutnya Mu’tamir meriwayatkan kepada Abu Kuraib, ‘Ubaidilah dan
Ishak, yang ketiga orang ini adalah dijadikan sanad pertama oleh Imam Muslim,
diantara sanad-sanad pertama beliau yang lain.[47]
Musa
bin Anas dan Qatadah yang masing-masing menerima hadis dari Anas bin Malik ra.
meriwayatkan kepada Syu’bah, dan Syu’bah mengedarkan kepada Aswad bin Amir.
Selanjutnya Aswad bin Amir mengedarkan kepada Amr An Naqid untuk diteruskan
kepada Imam Muslim.[48]
Ulama-ulama selain hadis, tidak banyak yang memasyhurkan
hadis tersebut.Oleh karena hadis itu hanya masyhur di kalangan muhadditsin
saja.
c.
Masyhur di
kalangan fuqaha’
“Rasulullah SAW, bersabda sesungguhnya perkara halal yang
paling dibenci Allah adalah talak.”[49]
d.
Masyhur di
kalangan ahli ushul fiqh
“Rasulullah SAW, bersabda, jika seorang hakim berijtihad
kemudian ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua pahala namun jika ijtihadnya
keliru maka ia mendapatkan satu pahala.”[50]
e.
Masyhur di
kalangan ahli bahasa arab
“Dari Umar ra., dia berkata, sebaik-baik hamba Allah adalah
suhaib.Bila ia tidak takut kepada Allah, ia tidak berbuat dosa.”[51]
f.
Masyhur di
kalangan ahli pendidikan
“Tuhanku telah mendidikku maka ia menjadikan pendidikanmu
menjadi baik.”[52]
g.
Masyhur di
kalangan umum
“Rasulullah SAW bersabda, ketergesa-gesaan berasal dari
setan”[53]
Syarat-Syarat hadis Ahad Menurut Beberapa Ulama Fiqih:
1.
Abu
Hanifah , yaitu:
a.
Periwayatnya
tidak menyalahi riwayatnya
b.
Riwayatnya
tidak menyangkut soal yang umum
c.
Riwayatnya
tidak menyalahi qiyas.[54]
2.
Imam Malik bin Anas, ulama-ulama Malikiyah tidak
mengamalkannya bila bertentangan dengan amalan-amalan
atau ‘urf ulama-ulama Madinah,
mengingat ada pandangan yang mengatakan, amalan-amalan
ulamaMadinah sama dengan riwayatnya.[55]
3.
Imam
Syafi’i, yaitu :
a.
Periwayatnya
adalah orang yang dipercaya
b.
Periwayatnya
berakal atau memahami apa yang diriwayatkan
c.
Periwayatnya
dhabith
d.
Periwayatnya
benar-benar mendengar hadis itu dari orang yang meriwayatkannya
e.
Periwayatnya
tidak menyalahi ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis yang sama[56]
4.
Ahmad bin
Hanbal, hadis ahad
hanya dapat digunakandalam bidang ‘amali (pengamalan) dan tidak boleh digunakant dalam bidang i’tiqadi (akidah). Akan tetapi ImamAhmad
bin Hanbal menggunakan hadis ahad dalam kedua bidang tersebut, baik itu ‘amali maupun i’tiqadi.[57]
2.
Hadis
Aziz
Secara bahasa, kata ‘aziz’ merupakan sifat musyabbahah dari kata “azza ya’izzu”,
sedangkan menurut istilah hadis ‘aziz’ adalah hadis yang diriwayatkan oleh
tidak kurang dari dua perawi pada seluruh tingkatan/genenerasi. Hadis ‘aziz’ini
bisa dinilai shahih , hasan maupun dha’if, sesuai keadaan sanad dan matannya,
setelah dilakukan penelitian terhadapnya. [58]
Hadis yang diriwayatkan oleh dua
orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja,
kemudian setelah itu, orang-orang pada meriwayatkan-nya (diriwayatkan orang
banyak).[59]
Berdasar pengertian tersebut bah-wa hadis Azis bukan yang
hanya diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqah, tetapi selagi pada
salah satu thabaqah saja, didapati dua orang rawi sudah bisa dikatakan hadis
Azis.[60]
Ibnu Hibban Al-Busty berpendapat bahwa hadis Azis yang
diriwayatkan oleh dan kepada dua orang perawi, sejak dari lapisan pertama
sampai pada lapisan terakhir tidak sekali-kali terjadi.Kemungkinan terjadi
memang ada, hanya saja sulit untuk dibuktikan.Oleh karena itu bisa terjadi
suatu hadis yang pada mulanya tergolong sebagai hadis Azis, karena hanya
diriwayatkan oleh dua rawi, tapi berubah menjadi hadis Masyhur, karena perawi
pada thabaqat seterusnya berjumlah banyak.[61]
Contoh
hadis aziz yaitu :
Tidaklah
beriman seseorang di antara kamu, hingga aku lebih dicintai daripada dirinya,
orang tuanya, anaknya, dan semua manusia (Bukhari
Muslim).[62]
Sahabat
Anas bin Malik memberikan hadis tersebut kepada dua orang, yaitu Qatadah dan
Abdul Aziz bin Shuhaib. Setelah diterima oleh Qatadah, selanjutnya diterima
oleh dua orang lagi yaitu Husain Al-Mu’alim dan Syu’bah. Dari Abdul Aziz
diriwayatkan oleh dua orang, yakni Abdul Warits dan Ismail bin ‘Ulaiyah.
Seterusnya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id, dariSyu’bah diriwayatkan oleh
Adam, Muhammad bin Ja’far dan juga oleh Yahya bin Sa’id. Dari Ismail
diriwayatkan oleh Zuhair bin Harb dan dari Abdul Warits , diriwayatkan oleh
Syaiban bin Abi Syaiban. Dari Yahya diriwayatkan oleh Musaddad dan dari Ja’far
diriwayatkan oleh Ibnul-Mutsanna dan Ibnu Basysyar,sampai kepada Bukhari dan
Muslim.[63]
Kita bisa
memperhatikan jumlah rawi-rawi pada tiap-tiap thabaqah. Pada Thabaqah
pertama terdiri dari seorang rawi, pada thabaqah kedua terdiri dari dua orang, pada thabaqah
ketiga terdiri dari empat orang rawi , pada thabaqah keempat terdiri dari lima orang rawi dan
seterusnya, maka hadis tersebut dapat dikatakan ‘hadis Aziz’ pada awalnya dan
masyhur pada akhirnya.[64]
3.
Hadis
Gharib
Secara
bahasa,kata “gharib”merupakan sifat musyabbahah yang
bermakna menyendiri. Secara istilah,hadis gharib ialah hadis yang diriwayatkan
seorang perawi dimanapun hal itu terjadi. Ini berarti bahwa hadis gharib ini
tidak disyaratkan harus satu orang perawi pada setiap tingkatan atau
generasi,akan tetapi cukup pada satu tingkatan sanad dengan satu orang perawi.[65]
Hadis yang dalam sanadnya terdapat
seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, di mana saja penyendirian dalam
sanad itu terjadi.[66]
Berdasarkan
letak terjadinya keghariban, hadis ini dapat dipilah menjadi tiga kelompok
yaitu :
1.
Gharib
matnan wa isma’adan (gharib dari segi matan dan
sanadnya), ini berarti bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan melainkan
melalui satu sanad.
2.
Gharib
isnadan la matnan( gharib dari segi sanadnya dan
tidak matannya), ini berarti bahawa hadis tersebut merupakan hadis yang masyhur
kedatangannya melalui beberapa jalur dari seorang rawi atau seorang sahabat
atau dari sejumlah perawi, lalu ada seseorang rawi meriwayatkannya dari jalur
lain yang tidak masyhur. Hadis gharib dalam bentuk ini dinamakan hadis fharib
mutlak disebabkan diriwayatkan oleh seorang perawi saja, melalui jalur yang
tidak masyhur.
3.
Gharib
matnan la isnadan, yaitu hadis yang pada mula sanadnya
tunggal, akan tetapi pada tahap selanjutnya masyhur. Sebenarnya hadis gharib
dalam bentuk inijika dicermati, dapat dikelompokka pada kelompok pertama.[67]
Berdasarkan letak keghariban
sanadnya, ada sejumlah ulama yang membaginya menjadi dua kelompok yaitu :
1.
Hadis
gharib mutlak, yaitu hadis yang keghariban sanadnya terjadi pada asal sanadnya.[68]
Suatu hadis dikategorikan sebagai gharib mutlak bila penyendiriannya itu
mengenai personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya
terdapat dalam satu thabaqat. Penyendirian hadis gharib mutlak ini harus
berpangkal di tempat asli sanad, yakni Tabii, bukan sahabat, karena yang menjadi
tujuan memper-bincangkan penyendirian perawi dalam hadis ini untuk menetapkan
apakah ia dapat diterima atau tidak.[69]
Contohnya
adalah hadis tentang niat yang diriwayatkan secara menyendiri oleh Umar,
kemudia diriwayatkan oleh ‘Alaqamah, Yahya bin Sa’id dan terakhir oleh banyak
perawi.
“Rasulullah SAW bersabda
:sesungguhnya perbuatan itu tergantung (ditentuka) oleh niat, sesungguhnya
nilai setiap perbuatan itu (sesuai dengan) apa yang diniatkan. Barang siapa
yang hijrahnya karena (dimotivasi) dunia atau karena perempuan yang akan
dinikahinya maka demikianlah (nilai) hijrahnya.[70]
2.
Hadis
gharib nisbi, yaitu pada hadis yang keghariban sanadnya terjadi pada tengah
sanad, bukan pada asal sanad sebagaimana hadis gharib mutlak. Hadis yangdikategorikan
gharib nisbi adalah apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan
tertentu dari seorang rawi. Penyendirian seorang rawi seperti ini, bisa terjadi
berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan perawi atau mengenai tempat tinggal
atau kota tertentu.[71]Contohnya
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan al-Zuhri secara menyendiri.
“Anas bin Malik
berkata, Rasulullah SAW, memasuki Makkah saat penaklukan, sementara pada
kepalanya terdapat penutup sebagai pelindung. Tatkala beliau melepaskannya, ada
seorang laki-laki datang kepada beliau dan berkata, wahai Rasulullah, Ibnu Khathal
terikat di tirai ka’bah, Rasulullah SAW, bersabda bunuhlah, Malik berkata,
Rasulullah SAW waktu itu tidak dalam keadaan ihram. Wallahu A’lam.[72]
D.
KEDUDUKAN HADIST MUTAWATIR DAN HADIST AHAD
Hadist Mutawatir sudah pasti
shahih, sehingga tidak di bahas lagi dalam ilmu isnad/musthalah hadist, karena
ilmu hadist membahas siapakah perawi hadist itu, seorang muslim, adil ataukah
tidak, bersambung-sambung sanadnya atau tidak dan seterusnya. Hanya perlu
dibahas di dalam hadist mutawatir ialah apakah jumlah perawi yang meriwayatkan
itu sudah cukup banyak atau belum, mungkinkah yang sama memberitahukan itu
berdusta atau tidak, baik berdusta dengan jjalan mufakat atau karena kebetulan
saja. Demikian pula keadaan yang melatarbelakkangi berita itu, terutama kalau bilangan
perawi itu tidak begitu banyak jumlahnya.Karena hadist mutawatir sudah pasti
shahih, wajib diamalkan tanpa ragu-ragu baik dalam masalah aqidah/keimanan
maupun dalam bidang amaliyah yakni baik mengenai ubudiyah maupun mua’amalah.Dan
hadist mutawatir memberikan faedah qath’i (yakin), sehingga bagi orang yang
mengingkari hadist mutawatir dihukumi keluar dari agama Islam dan termasuk
kafir. Sedang hadist ahad, memberikan faedah dhanni (diduga keras akan
kebenarannya) wajib diamalkan kalau sudah diakui akan keshahihannya. Para
Muhaqqiqin menetapkan bahwa hadist ahad yang shahih diamalkan dalam bidang
amaliyah, baik masalah ubudiyah, mu’amalah, tetapi tidak dalam bidang aqidah,
karena aqidah harus ditegakkan atas dasar dalil-dalil yang qath’i sedangkan hadist
ahad hanya memberikan faedah dhanni.Oleh karena itu, mempercayai suatu itikad
yang hanya berdasarkan dalil dhanni tidak dapat dipersalahkan.Dan hadist ahad
tidak dapat menghapuskan hukum dari Al-Quran, karena Al-Quran adalah mutawatir,
demikian pendapat Imam Syafi’i.[73]
Bila hadist mutawatir dapat
dipastikan sepenuhnya berasal dari Nabi, maka tidak demikian dengan hadist
ahad.Hadist ahad tidak pasti berasal dari Nabi, tetapi diduga juga berasal dari
beliau.Dengan ungkapan bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari beliau.[74]
Karena hadist ahad itu tidak pasti
(ghairu qath’i dan ghairu maqtu’), tetapi diduga berasal dari Nabi, maka
kedudukan hadist ahad sebagai sumber ajaran islam, berada dibawah kedudukan
hadist mutawatir. Ini berarti bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok
hadist ahad bertentangan isinya dengan hadist mutawatir, maka hadist tersebut
ditolak, dan dipandang sebagai hadist yang tidak berasal dari Nabi.[75]
Bila diperinci lebih lanjut,
kedudukan hadist-hadist ahad itu berbeda-beda,sejalan dengan perbedaan taraf
atau taraf kemungkinannya berasal dari Rasuluallah SAW. Sebagian hadist-hadist
tersebut lebih tinggi kedudukannya dari sebagian hadist yang lain, kendati
semuanya sama-sama termasuk hadist ahad. Hadist ahad itu ada yang dinilai shahih,
ada yang dinilai hasan, ada pula yang dinilai dhaif.Kedudukan hadist shahih
lebih tinggi daripada hasan, dan kedudukan hadist hasan lebih tinggi daripada
hadist dhaif.[76]
E.
PERBEDAAN HADIST MUTAWATIR DAN HADIST AHAD
a.
Dari segi jumlah rawi, hadist mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang
jumlahnya sangat banyak pada setiap tingkatan sehingga menurut adat kebiasaan,
mustahil mereka sepakat untuk berdusta, sedangkan hadist ahad diriwayatkan oleh
para rawi dalam jumlah yang menurut adat
kebiasaan masih memungkinkan mereka sepakat untuk berdusta.[77]
b.
Dari segi pengetehuan yang dihasilkan, hadist mutawatir menghasilkan Ilmu
qat’i (pasti) atau ilmu daruri (mendesak untuk diyakini), bahwa hadist itu
sungguh-sungguh dari Rasuluallah sehingga dapat dibuktikan kebenarannya,
sedangkan hadist ahad menghasilkan ilmu zanni (bersifat dugaan) bahwa hadist
itu berasal dari Rasuluallah SAW, sehingga kebenaranya masih berupa dugaan
pula.[78]
c. Dari segi kedudukan, hadist mutawatir
sebagai sumber ajaran agama Islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada
hadist ahad. Sedangkan kedudukan hadist ahad sebagai sumber ajaran Islam
berbeda dibawah kedudukan hadist mutawatir.[79]
d. Dari segi kebenaran keterangan matan,
dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadist mutawatir mustahil bertentangan
dengan keterangan ayat dalam Al-Quran, sedangkan keterangan hadist ahad mungkin
saja (tidak mustahil) bertentangan dengan Al-Quran. Bila dijumpai hadist-hadist
dalam kelompok hadist ahad yang keterangan matan hadistnya bertentangan dengan
ayat Al-Quran, maka hadist-hadist tersebut tidak berasal dari Rasuluallah.
Mustahil Rasuluallah mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang
terkandung dalam Al-Quran.[80]
F.
PENUTUP
Ilmu hadist adalah segala
ucapan, perkataan, perbuatan yang dilakukan oleh Nabi. Pembagian hadis menjadi tiga yakni :
Mutawatir, Masyhur dan Ahad, telah disepakati oleh kebanyakan ulama Fiqh dan
ulama Ushul. Sedangkan, menurut kebanyakan ulama Hadis, cukup dibagi menjadi
dua saja yaitu hadis Mutawatir dan Ahad.Hal itulah yang dikatakan oleh Syuhudi
Ismail.Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa pada garis
besarnya hadis dibagi menjadi 2 macam, yakni Mutawatir dan Ahad.Pembagian ini
dianggap lebih praktis karena pada dasarnya hadis Masyhur tercakup dalam hadis
Ahad.
DAFTAR PUSTAKA
As-Shiddieq, Hasbi.1993.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.Jakarta:Bulan Bintang.
Mufaat
Ahmad, Hady.1994.Dirasah
Islamiyah tentang Dasar-Dasar Ilmu Hadisdan Musthalahnya.Semarang: Sarana Aspirasi.
Al-Thahhan, Mahmud.1415 H.Tafsyir Musthalah Al-Hadits. Al-Iskandariyah : Markaz Al-Huda li
al-Dirasat.
Shalih,Shubhi.1959.Ulumul
Hadis wa Musthalakhuhu. Beirut :Darul Ilmi Lilmalayin.
al-Qaththan,Manna.tt. Mabahits
Fi’Ulum al-Hadits. Kairo: Maktabah Wahbah.
Rahman,Fatchur. Ikhtisar
Mushthalahul Hadits. Bandung :PT Al Ma’arif.
Sumbulah,Umi, dkk. 2014. Studi
Al-qur’an dan Hadis.Malang : UIN Maliki Press.
Soetari,Endang.Ilmu
Hadis.1997. Bandung : Amal Bakti Press.
Khazin, Mustafa dan Sa’diyah Ahmad Fuad, Attaisiir fi Ulumil Hadis.
Zuhri, Muh..1997. Hadis
Nabi Telaah Historis dan Metodologis.Yogyakarta
: Tiara Wacana.
Hasbi Ash-Shiddieqy,T.M. 1986.Pokok-Pokok
IlmuDirayah Hadis, Jilid IV. Jakarta :Bulan
Bintang.
Hasbi
Ash-Shiddieqy,T.M.Pokok-PokokPegangan
Imam Mazhab, Jilid II,. Jakarta:Bulan Bintang.
Suparca,Munzier dan Ucang Ranuwijaya. 1993. Ilmu Hadis. Jakarta :Rajawali Press.
Zuhri, Saifuddin.2008.Predikat Hadis dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para
Ulama Terhadap Hadis Ahad". Suhuf Vol.20, No. 1.Surakarta: Fakultas
Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sulaiman,Noor M, Antologi Ilmu Hadist, Gaung Persada
Press Jakarta, Jakarta, 2008
Rachman, Fatchur, Mushthlahu’l Hadist, PT Al-Ma’arif,
Yogyakarta, 1970
Khariri, Melerai Hadist-Hadist, STAIN Purwokerto Press,
Yogyakarta, 2005
Ahmad,Muhammad, Ulumul Hadist, CV Pustka Setia, Bandung,
2000
Anwar, Ilmu Mushthalah Hadist, Al-Ikhlas, Surabaya, 1981
Catatan:
1.
Similarity 31%, lumayan besar.
2.
Abstrak perlu diperbaiki.
3.
Penulisan gelar (Prof. Dr. dll) dihilangkan dalam karya ilmiah.
4.
Penulisan yang baku: Alquran, hadis, sunah.
5.
Pendahuluan perlu dirubah. Ia berisi pengantar untuk memahami materi, bukan
materinya itu sendiri.
6.
Dijelaskan pelan-pelan, agar teman-teman Anda paham.
[1]Prof.Dr.H.M.Noor Sulaiman.PL. Antologi Ilmu Hadist. Hal 76
[2]Ibid. Hal 86
[3]Saifuddin Zuhri, "Predikat Hadis dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama
Terhadap Hadis Ahad". Suhuf Vol.20, No. 1, 2008, hal.54-55.
[4]Hasbi As-Shiddieq, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
(Jakarta :Bulan Bintang,1993), hal.200.
[5]Saifuddin
Zuhri, Op.Cit,hal.55.
[6]Ibid. Hal 86
[7]Ibid. Hal 86-87
[8]Hady Mufaat Ahmad, Dirasah Islamiyah tentang Dasar-Dasar Ilmu
Hadisdan Musthalahnya, (Semarang : Sarana Aspirasi,1994), hal.144.
[9]Mahmud Al-Thahhan, Tafsyir Musthalah Al-Hadits,
(Al-Iskandariyah : Markaz Al-Huda li al-Dirasat, 1415H), hal.19.
[10]Saifuddin
Zuhri, Op.Cit,hal.55.
[11]Shubhi Shalih, Ulumul Hadis wa Musthalakhuhu, (Beirut
:Darul Ilmi Lilmalayin, 1959), hal.146.
[12]Manna al-Qaththan, Mabahits Fi’Ulum al-Hadits, (Kairo: Maktabah Wahbah,tt), hal.95.
[13]Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, (Bandung :PT Al Ma’arif, 1974), hal.78.
[14]Saifuddin
Zuhri, Op.Cit,hal.56.
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]Fatchur Rahman,
Op.Cit,hal.79.
[18]Saifuddin
Zuhri, Op.Cit,hal.56.
[19]Ibid.
[21]Ibid.
[22]Fatchur Rahman,
Op.Cit,hal.80.
[24]Saifuddin
Zuhri, Op.Cit,hal.56.
[25]Umi Sumbulah, dkk, Studi Al-qur’an dan Hadis, (Malang : UIN Maliki Press,2014),
hal.189.
[26]Saifuddin
Zuhri, Op.Cit,hal.58.
[27]Fatchur Rahman,
Op.Cit,hal.82.
[28]Umi Sumbulah, dkk,Op.Cit, hal.190.
[29]Saifuddin
Zuhri, Loc.Cit.
[30]Umi Sumbulah, dkk,Loc.Cit.
[31]Saifuddin
Zuhri, Loc.Cit.
[32]Endang Soetari, Ilmu
Hadis, (Bandung : Amal Bakti Press, 1997), hal.122.
[34]Ibid.
[35]Ibid.
[36]Raja Mustafa Khazin dan Sa’diyah Ahmad Fuad, Attaisiir fi Ulumil Hadis, hal.74.
[37]AlThahhan, Tafsyir
Mustalah Al-Hadist, (Al-Iskandariyah:Markaz al-Huda li Al-Dirsat), hal.21.
[38]Muh.Zuhri, Hadis
Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997),
hal.86.
[39]Fatchur Rahman,
Op.Cit,hal.86.
[40]Saifuddin
Zuhri, Op.Cit, hal.60.
[41]Fatchur Rahman,
Op.Cit,hal.88.
[42]Ibid.
[43]Saifuddin
Zuhri, Loc.Cit.
[44]Fatchur Rahman,
Op.Cit,hal.90.
[45]Ibid.
[46]Umi Sumbulah, dkk,Op.Cit, hal.193.
[47]Fatchur Rahman,
Op.Cit,hal.91.
[48]Ibid.
[49]Umi Sumbulah, dkk,Op.Cit, hal.194.
[50]Ibid.
[52]Ibid.
[54]T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok IlmuDirayah Hadis, Jilid I, (Cet. VI ; Jakarta :Bulan Bintang,
1986), hal. 103.
[56]T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-PokokPegangan Imam Mazhab, Jilid II, Ibid, hal.21.
[58]Umi Sumbulah, dkk,Op.Cit, hal.196.
[59]Saifuddin
Zuhri, Op.Cit, hal.61.
[63]Fatchur Rahman,
Op.Cit,hal.96.
[65]Umi Sumbulah, dkk,Op.Cit, hal.197.
[66]Saifuddin
Zuhri, Loc.Cit.
[67]Umi Sumbulah, dkk,Op.Cit, hal.198-199.
[69]Saifuddin
Zuhri, Op.Cit, hal.61-62.
[71]Munzier Suparca dan Ucang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, ( Jakarta :Rajawali
Press,1993) hal.103.
[73]Drs. Moh
Anwar .Bc.Hk. Ilmu Mushthalah Hadist.
Hal 30-31
[74]Drs.H.Muhammad
Ahmad. Ulumul Hadist. Hal 97
[75]Ibid. Hal 98
[76]Ibid. Hal 98
[77]Ibid. Hal 98
[78]Ibid. Hal 98
[79]Ibid. Hal 98
[80]Ibid. Hal 98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar