‘AM DAN KHAS, MUTLAK DAN MUQAYYAD
M. Nurul Ardi Rosyidi, M. Nasrul Rizal, dan Ana
Aliyatul Farodisah
Mahasiswa PAI A angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
Email: ana.aliyatul@gmail.com
Abstract: This paper discusses the rules of language or in terms ushul fiqh known as Lughowiyah rule. This discussion of linguistic rules has an impact on the results of Islamic law, taken from the Alquran and Sunah texts which are all in Arabic. Understanding of an Arabic lafaz requires certain approaches, because not all lafaz can be directly understood by implication. He needs special methods in understanding the Alquran and Sunah texts. Therefore, the scholars' research on how the method of understanding lafaz or text whose content has various meanings. However, the discussion in this article is limited to lafaz in terms of its meaning content, including lafaz 'am (general) and distinctive (khas); absolute (mutlak) and muqayyad.
Keywords: Lafaz, ‘Am, Khas, Mutlak,
and Muqayyad
Abstrak: Tulisan ini membahas tentang kaidah
kebahasaan atau dalam istilah Ushul Fiqh dikenal dengan kaidah Lughowiyah. Yang mana
pembahasan kaidah kebahasaan ini memiliki dampak bagi hasil pengambilan hukum
Islam yang diambil dari nash Alquran dan sunah yang semuanya berbahasa Arab.
Pemahaman terhadap suatu lafaz bahasa Arab membutuhkan pendekatan-pendekatan
tertentu, karena tidak semua lafaz bisa langsung dipahami maksudnya secara
tersirat. Ia membutuhkan metode-metode khusus dalam memahami nash Alquran dan
sunah. Oleh sebab itu, para ulama’ melakukan penelitian bagaimana metode
memahami lafaz atau teks yang kandungannya memiliki berbagai macam makna.
Namun, pembahasan dalam artikel ini hanya terbatas pada lafaz dari segi kandungan
maknanya, meliputi lafaz ‘am dan khas; mutlak dan muqayyad.
Kata Kunci: Lafaz, ‘Am, Khas,
Mutlak, dan Muqayyad
A. Pendahuluan
Alquran
dan Sunah yang merupakan sumber pengambilan (istinbath) hukum utama dalam
Islam. Nash-nash hukum yang ada dalam Alquran dan Sunah memakai bahasa Arab.
Dalam ilmu ushul fiqh, bahasa Arab adalah ilmu penunjang atau pendukung yang
sangat penting, tanpa ilmu bahasa Arab, seorang mujtahid akan kebingungan dalam
memahami teks Alquran maupun sunah.
Penggunaan
ilmu bahasa Arab diantaranya untuk mengetahui detail-detail lafaz sehingga
dengan memahami makna yang terkandung dalam ayat ataupun sunah seorang mujtahid
bisa menetapkan hukum berdasarkan nash tertentu. Terkadang dilalah lafaz yang
tertulis secara tekstual berbeda makna dan maksudnya jika dilakukan penelitian.
Oleh karena itu, diperlukan metode khusus untuk memahami nash Alquran dan
sunah. Para ulama’ telah menetapkan beberapa kaidah yang bisa digunakan dalam
memahami dalil naqli. Kaidah lughawiyah inilah yang nantinya dijadikan patokan
dan pedoman dalam istinbath hukum Islam.
Teks
Alquran tidak hanya menggunakan satu kalimat yang mengandung satu arti, namun
bisa jadi satu kalimat memiliki beberapa cakupan makna. Lafaz Alquran bisa
ditampilkan dalam berbagai bentuk; ‘amr dan nahi, ‘am dan khas, mutlak dan
muqayyad, muhkam dan mutasyabih, dan sebagainya yang kesemuanya itu bisa
dipahami bila dilakukan pengkajian terhadap gaya bahasa Arab, makna kata dan
mufradat-mufradatnya, struktur kalimatnya, dan lain-lain
B. ‘Am dan Khas
1. ‘Am
a. Pengertian
Lafadz
‘Am (kata umum) adalah lafadz yang digunakan secara umum dalam menunjukkan
suatu makna yang layak, sesuai dengan lafadz itu sendiri dan makna yang
terkandung di dalamnya tidak dibatasi
dengan jumlah tertentu. Adapun jika dilihat dari segi bahasa, lafadz ‘am
memiliki pengertian umum atau merata.[1]
'Am secara bahasa adalahشمول (mencakup) dan dalam istilah ialah lafaz yang mencakup seluruh
anggota-anggotanya. Misal lafaz رجل (seorang laki-laki), lafaz ini menunjukkan suatu arti
yang mencakup semua satuan-satuannya.[2] Lafaz إنسان juga
termasuk lafaz 'am, karena mencakup setiap satuan manusia sekaligus.
Seperti dalam
firman Allah SWT:
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ
"Sesungguhnya
manusia itu benar-benar dalam kerugian". (QS. Al-Ashr: 2)
Dalam
ayat tersebut terdapat lafaz insan (manusia), menunjukkan arti umum karena
mencakup seluruh manusia baik yang beriman maupun tidak beriman.
Jadi,
dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan lafaz 'am adalah suatu lafaz yang menunjukkan sesuatu secara
menyeluruh dan mencakup satuan-satuan atau anggota-anggotanya, tanpa ada
batasan. Jika suatu lafaz menunjukkan batasannya maka bukan dinamakan lafaz
'am, seperti kataرجلين (dua orang laki-laki) yang dibatasi denganعدد (jumlah) "dua, tiga", begitupun
seterusnya.[3]
b. Lafadz-lafadz
‘Am
1) Kullun, jami’un, kaffatun dan ma’syara
Contoh
Kullun
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Tiap-tiap jiwa
pasti akan merasakan kematian”.(QS.
Ali Imron: 185)
Contoh
Jami’un
خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِي الْٱَرْضِ جَمِيْعًا
“Dijadikan
untuk kamu segala yang ada di bumi". (QS. Al-Baqarah: 29)
Contoh
Kaffatun
وَقَتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ
كَافَّةً
"Dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu
semuanya" (QS. At-Taubah: 36)
Contoh
Ma’syara
يَمَعْشَرَ الْجِنِّ وَ الْإِنْسِ
“Wahai golongan jin dan manusia”. (QS. Al-An’am: 130)
2)
Isim Syarat (Man, maa dan aina)
Contoh
Man (مَنْ)
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa
diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah
ia berpuasa di bulan itu”.(QS. Al-Baqarah: 185)
Contoh
Maa (مَا)
وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍيُّوَفَّ
إِلَيْكُمْ
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan,
niscaya kamu akan diberi pahala yang cukup”.(QS.
Al-Baqarah: 272)
Contoh
Aina (أيْنَ)
أَيْنَماَ تَكُوْنُوْا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ
“Dimana
saja kamu berada, kematian akan mendapat kamu”. (QS.
An-Nisa’ ayat 78).
3) Isim Istifham
(Man, maa, aina dan mata)
Contoh
Man
مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُوا الله قَرْضً حَسَنًا
“Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik”(QS. Al-Baqarah: 245)
Contoh
Maa
مَاسَلَكَكُمْ
فِيْ سَقَرَ
“Apakah
yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka) ?” (QS. Al-Mudtsir: 42)
Contoh
Aina
أَيْنَ مَأ كُنْتُمْ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ الله
“Dimana
(berhala-berhala) yang biasa kamu sembah selain Allah ?”.(QS.
Al-A’raf: 37)
Contoh
Mata
مَتَى نَصْرُ الله
“Kapan
akan datang pertolongan Allah ?”.(QS. Al-Baqarah: 214)
4) Nakirah sesudah nafi
وَاتَّقُوْا يَوْمًا لَّا تَجْزِيْ نَفْسٌ عَنْ
نَفْسٍ شَيْئًا
“Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu
seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun”.(QS. AL-Baqarah: 123)
5) Isim maushul (Kata sambung)
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ
الْمُحْصَنَاتِ
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina”.(QS.
An-Nur: 4)
6)
Jama’ yang dimu’rafkan dengan Idhafah
atau alif lam jinsiyah
Contoh jama'
yang dima'rifahkan dengan al jinsiyyah
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ
قُرُوْءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. (QS. Al-Baqarah: 228)
Contoh jama'
yang dima'rifahkan dengan idafah:
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِيْ أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu
bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua anak perempuan”. (QS. An-Nisa': 11)
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
“Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka”. (QS. At-Taubah: 103)
7) Isim mufrad yang dima’rifahkan dengan alim lam jinsiyah
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”. (QS. Al-Maidah: 38)
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا
“Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah" (QS. An-Nur: 2)
وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
c. Macam-macam
‘am
Lafadz
‘Am terbagi menjadi tiga macam :
1.
Am yang maksudnya benar-benar
'am (umum) secara qat'i karena adanya qarinah (petunjuk) yang menghilangkan
kemungkinan kekhususannya, seperti lafaz:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ
فِى الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى الله رِزْقُهَا
"Dan tidak ada satu binatang
melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya". (QS. Hud: 6)
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ
"Dan
daripada air, Kami jadikan segala sesuatu yang hidup". (QS. Al-Anbiya': 30)
Dari kedua ayat diatas, dapat diperoleh
pemahaman bahwa pada kenyataannya segala sesuatu di bumi ini, hanya Allah yang
memberikan rezeki. Menurut akal (aqli), segala yang ada di dunia ini adalah
berasal dari air. Dalil akal ini merupakan qarinah bahwa kedua ayat diatas
pasti 'am, tidak dimaksudkan makna khusus.
2.
Lafaz 'am yang dimaksudkan
untuk arti khusus karena ada qarinah atau dalil menunjukkannya.
وَلِلَّهِ عَلَى
النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ
"Mengerjakan haji ke
Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah".(QS. Ali Imran: 97)
Dapat dipahami dalam ayat diatas, bahwa
kewajiban haji adalah untuk semua orang, tetapi berdasarkan petunjuk akal,
orang yang berkewajiban haji adalah orang mukallaf yang berakal, karena tidak
mungkin anak kecil dan orang gila bisa menunaikan haji. Dalil aqli inilah yang
menjadi qarinahnya.
3.
Lafaz 'am yang memang
dimaksudkan untuk umum selama tidak ada dalil yang menunjukkan arti lain
(takhsis). Atau biasa disebut 'am makhsus, yakni lafaz 'am yang khusus
(dimaksudkan) untuk 'am ('am mutlak)
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ
قُرُوْءٍ
"Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'..." (QS. Al-Baqarah: 228)
Ayat diatas berarti semua wanita yang
ditalak, baik dalam keadaan hamil atau tidak maka masa 'iddahnya adalah tiga
kali quru' (tiga kali suci atau tiga kali haid). Hal ini disebabkan karena
tidak adanya qarinah yang menjelaskan kekhususannya ataupun menjelaskan
keumumannya.[5]
d. Dilalah Lafaz ‘Am
Pada
dasarnya semua lafaz ‘am tetap pada keumumannya sebelum ada lafaz lain yang
mentahksisnya. Akan tetapi, jumhur ulama’ berpendapat bahwa apabila ada lafaz
‘am sebisa mingkin dicari mukhasisnya, namun, jumhur ulama’ berbeda pandangan
mengenai dalalah lafaz ‘am itu dzani atau qat’i.
Pertama,
ulama’ Hanafiyah menyatakan bahwa
dalalah ‘am adalah qat’i sebagaimana lafaz khas, alasan mereka adalah karena
lafaz ‘am itu mengandung makna yang pasti dan tegas sampai ada dalil yang
mengkhususkan satuan-satuan yang ada dalam lafaz ‘am.
Kedua,
ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa lafaz ‘am itu adalah dzani. Oleh sebab
itu, setiap lafaz ‘am haruslah dicarikan mukhasisnya sebelum mengamalkan dalil
‘am. Mereka menegaskan:
مَا مِنْ عَامٍ إِلَّا
قَدْ خُصَّ مِنْهُ الْبَعْضَ
2. Khas
a. Pengertian
Khas secara bahasa adalah lawa dari 'am (ضد العام) menurut istilah ialah:
اللفظ الدال على محصور بشخص ٱو عدد
"Suatu lafaz yang menunjukkan arti sesuatu yang terbatas
dengan orang tertentu atau bilangan tertentu".
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa lafaz khas
adalah suatu lafaz yang figunakan untuk menunjukkan arti tertentu atau khusus,
baik berupa person (orang) tertentu seperti isim alam (khalid, Muhammad,dsb);
berupa jenis seperti رجل، فرس atau bisa berupa 'adad (bilangan) seperti dua, tiga,
sepuluh, tiga puluh, dll.[7]
b. Karakteristik
Lafaz Khas
1)
Diungkapkan dengan menyebut jumlah
Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ
قُرُوْءٍ
"Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'..." (QS. Al-Baqarah:
228)
Maksud ayat diatas adalah seorang wanita yang ditolak oleh
suaminya hendaknya ber-'iddah selama tiga kali haid/suci. Dalam ayat diatas terdapat lafaz 'adad
(jumlah) yaitu lafaz ثلاث(tiga). Sehingga dapat
dipahami bahwa lafaz diatas termasuk lafaz khas karena diungkapkan dengan
jumlah atau bilangan
2) Menyebut
jenis (golongan, nama sesuatu, nama orang)
Misal
yang menunjukkan golongan:
وَاقْتُلُواالْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ
“Maka bunuhlah orang-orang
musyrik itu dimana saja kamu jumpai”.(QS. At-Taubah: 5)
Yang termasuk lafaz khas pada ayat diatas
adalah lafaz musyrik, karena menunjukkan golongan tertentu saja, yaitu
orang-orang yang syirik (menduakan Allah)
Misal
yang menunjukkan nama orang:
مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللهِ
"Muhammad itu adalah seorang
Rasulullah". (QS. Al-Fath: 29)
Lafaz "Muhammad
diatas termasuk lafaz khas, karena
menunjuk kepada satu pengertian yaitu Nabi Muhammad SAW
3) Lafaz
yang ada batasnya atau lafaz idafah
Contoh:
وَمَنْ قَتَلَ
مُؤْمِنًا خَطَاً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
"Dan barangsiapa yang
membunuh seorang mukmin karena tersalah maka (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman". (QS. An-Nisa': 92)
Lafaz رقبة pada ayat diatas
termasuk lafaz khas karena telah ada sifat yang membatasinya yaitu lafaz مؤمنة. Berarti budak yang wajib dimerdekakan disini adalah budak yang
mukmin.[8]
c. Macam-macam
Mukhassis
1)
Munfashil Muttashil[9]
Yakni Mukhassis yang tidak berdiri sendiri, melainkan larasnya
disebutkan setelah atau bersamaan dengan dalil 'am. Ada beberapa macam bentuk
Mukhassis Muttashil diantaranya:
a) Istisna'
إِنَّ الإِنْسَانَ
لَفِيْ خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُواالصَّالِحَاتِ
"Sesungguhnya manusia
itu benar-benar dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal Shaleh". (QS. Al-'Ashr: 1-2)
b) Syarat
وَبُعُوْلَتُهُنَّ
ٱَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ إِنْ أَرَادُوْا إِصْلَاحًا
“Suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah”.(QS. Al-Baqarah: 228)
c) Sifat
مِنْ نِسَائِكُمُ
الَّتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
"Dari istri-istri yang telah kamu campuri". (QS. An-Nisa': 23)
d) Ghayah (batasan)
وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ
حَتَّى يَطْهُرْنَ
“Dan janganlah kamu mendekati
mereka sampai mereka suci”. (QS. AL-Baqarah: 222)
ثُمَّ أَتِمُّ
الصِّيَامَ اِلَى الَّليْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. (QS. Al-Baqarah: 187)
2)
Mukhassis Munfashil[10]
a)
Takhsis kitab dengan kitab
Seperti
dalam firman Allah berkaitan dengan masalah 'iddah perempuan yang ditolak oleh
suaminya
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ
قُرُوْءٍ
"Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'..." (QS. Al-Baqarah:
228)
Ayat
diatas bersifat umum, kemudian ditakhsis
dalam ayat yang lain:
وَأُولَاتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan wanita-wanita yang hamil,
waktu ‘iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At-Thalaq: 4)
Jadi indahnya wanita
yang ditolak suaminya jika ia tidak hamil dan masih dalam keadaan subur maka
indahnya adalah tiga quru'. Namun, jika
wanita yang ditalak suaminya itu dalam keadaan hamil maka 'iddahnya adalah
sampai ia melahirkan anaknya
b)
Takhsis kitab dengan sunnah
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةَ
Ayat
diatas ditakhsis dengan hadis Nabi SAW,
yaitu:
هُوَ الطُّهُوْرُ
مَاءُهُ الْحَلُّ مَيْتَتُهُ
"Laut itu suci airnya
dan halal bangkainya"
c)
Takhsis sunah dengan sunah
فيما سقت السماء العشر
Hadis diatas menjelaskan bahwa tanaman
yang disirami dengan air hujan, zakatnya
adalah sepersepuluh
Kemudian
ditakhsis dengan hadis Nabi:
ليس فيما دون أوسق
صدقة
Maksudnya
tanaman yang kurang dari wasaq (tidak mencapai nisab) maka tidak wajib dizakati
d)
Takhsis kitab dengan ijma'
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ
الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ
جَلْدَةً
Ayat
diatas menjelaskan bahwa orang yang melakukan qadzaf (menuduh orang berbuat
zina) maka hanya adalah delapan puluh kali dera. Namun, ayat diatas ditakhsis dengan ijma' ulama'
yang menyatakan bahwa seorang budak yang melakukan qadzaf hukumannya setengah
dari orang merdeka yaitu empat puluh kali dera.
e)
Takhsis sunah dengan kitab
لَا يَقْبَلُ الصَّلَاةَ
أَحَدُكُمْ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak akan menerima sholat salah seorang
diantara kalian yang berhadas sehingga berwudlu”
Hadis diatas memiliki
pengertian yang luas, bahwa yang wajib menjalankan sholat adalah semua orang,
baik orang yang sakit, sehat, dalam bepergian ataupun di rumah jika bernafas
maka wajib berwudu. Hadis tersebut di takhsis dengan hadis lain yang berbunyi:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَّرْضَى
أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَأَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَائِطِ أَوَ لَمَسْتُمُ النِّسَاَءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْاصَعِيْدًا
طَيِّبًا
"Jika kamu sakit atau
sedang dalam perjalanan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah
kamu dengan tanah yang baik (suci) ". (QS. An-Nisa': 43)
Dengan demikian
maksudnya adalah orang yang sakit, bepergian atau tidak mendapatkan air jika
akan melaksanakan sholat maka tidak wajib berwudu namun diwajibkan tayamum
C. Mutlak dan Muqayyad
1. Mutlak
Makna Mutlak adalah lafaz khas yang
menunjukkan cakupan atas satu atau beberapa satuan, dan tidak dibatasi dengan
sifat. Misal lafaz رجل، رجال، كتاب، كتب.
. Lafaz-lafaz tersebut mencakup satu jenis yang
tidak tertentu atau tidak dibatasi. Maksudnya adalah lafaz yang menunjukkan
arti hakikat atau makna yang sebenarnya tanpa adanya ikatan.
Contoh:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ
مِّنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسّاَ
"Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur" (QS. Al-Mujadilah:
3)
Lafaz
"raqabah" yang berarti hamba sahaya atau budak itu adalah lafaz
mutlak, tidak dibatasi budak yang bagaimana dan seperti apa, bisa meliputi
budak mukmin atau kafir. Jadi maksud ayat diatas adalah bila seseorang menzihar
istrinya maka wajib bagi suami untuk memerdekakan budak, baik budak itu mukmin
ataupun kafir.[11]
2. Muqayyad
a. Pengertian[12]
Muqayyad
merupakan kebalikan dari mutlak, yakni lafaz yang menunjukkan hakikat yang
sebenarnya dengan dibatasi oleh batasan-batasan tertentu, sehingga maknanya
lebih spesifik dan pasti.
Contoh:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ
مُّؤْمِنَةٍ وَّدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ
"Maka
hendaklah (ia) memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya".(QS. An-Nisa': 92)
Lafaz رقبة مؤمنة adalah lafaz muqayyad
karena telah dibatasi oleh suatu sifat مؤمنة sehingga maknanya lebih spesifik dan terbatas pada
budak perempuan yang beriman
b. Bentuk-bentuk Qayid
1)
Sifat
Contoh:
فَمِنْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ مِّنْ فَتَيَتِكُمُ الْمُؤْمِنَتِ
"...Maka
ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki". (QS. An-Nisa': 25)
Lafaz المؤمنات adalah qayid (batasan) berupa sifat yang membatasi
lafaz perempuan hamba sahaya. Dengan demikian, dapat dipahami dengan adanya
qayid dalam lafaz tersebut memberikan pengertian bahwa seorang laki-laki mukmin
yang merdeka bila tidak mampu menikah dengan perempuan mukmin merdeka, maka ia
boleh menikahi budak-budak (hamba sahaya) mereka yang mukmin.
2)
Syarat
Contoh:
فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ
"Barangsiapa yang tidak
mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut".(QS. Al-Mujadilah: 4)
Ayat diatas membicarakan masalah zihar,
bentuk kafarat bagi suami yang melakukan zihar kepada istrinya yaitu
memerdekakan budak (perempuan), jika tidak ditemukan (tidak sanggup) maka
diganti dengan berpuasa dua bulan berturut-turut. Dalam ayat ini kewajiban
berpuasa untuk pembayaran kafarat zihar disyaratkan dengan qayid "dua
bulan berturut-turut"
3)
Batas (ghoyah)
Contoh:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ
أّمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةٍ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
"Hai
orang-orang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku".(QS. Al-Maidah: 6)
Perintah membasuh kedua tangan ketika
berwudlu dibatasi dengan batasan 'sampai siku, sehingga sahnya seseorang
berwudlu adalah bila telah membasuh kedua tanggannya sampai siku, tidak boleh
hanya mencuci tangan saja
4) Keadaan
Contoh
yang dibatasi dengan keadaan:
ثُمَّ أَتِمُّ الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
"Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai malam...".(QS. Al-Baqarah: 187)
Perintah berpuasa pada ayat diatas dibatasi sampai keadaan
malam, sehingga tidak diperbolehkan (diharamkan) puasa berkepanjangan sepanjang
hari.[13]
3. Ketentuan Mutlak dan
Muqayyad
Prinsip yang harus
dipegang terhadap lafaz mutlak dan muqayyad adalah bahwa lafaz mutlak harus
tetap dipegang sesuai dengan kemutlakannya, selama tidak ada dalik yang
men-taqyid-nya (membatasinya). Demikian pula dengan lafaz muqayyad harus
dipegang sesuai dengan kemuqayyadannya. Jika ada lafaz mutlak kemudian ada
suatu dalil yang membatasinya maka yang dipakai (dipegang) adalah lafaz yang
muqayyad.[14]
Apabila dihubungkan
antara lafaz mutlak dan muqayyad, maka keduanya akan ada ketentuan hukumnya:
1)
Sebab dan hukumnya sama. Jika suatu lafaz
memiliki persamaan dalam hak hukum dan sifat, maka yang mutlak harus diikutkan
(disesuaikan) kepada yang muqayyad
Contoh:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ
"Diharamkan
bagimu memakan bangkai, darah, daging babi...".(QS. Al-Maidah: 3)
Lafaz
'dam' yang berarti darah yang diharamkan dalam ayat diatas adalah mutlak.
Kemudian dalam ayat lain Allah berfirman:
إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ
مَيْتَةَ أَوْ دَمًا مَّسْفُوْحاً
"Kecuali
kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir".(QS. Al-An'am: 145)
Pada ayat kedua ini lafaz 'dam' dibatasi
oleh lafaz مصفوحا (yang mengalir). Oleh karena sebab yang sama
yakni berupa darah dan hukum yang sama yaitu haram, maka sesuai ketentuan diatas,
lafaz mutlak diikutkan kepada muqayyad. Dengan demikian yang dikehendaki dengan
darah yang haram pada surat Al-Maidah ayat 3 adalah darah yang mengalir
sebagaimana tercantum dalam surat Al-An'am ayat 145.[15]
2)
Sebab beda dan hukum sama
Bila
terdapat lafaz yang seperti ini, maka ada 2 pendapat:
a. Menurut
golongan Syafi'i, mutlak diikutkan kepada muqayyad.
b.
Menurut golongan Hanafiyah dan Malikiah, mutlak tetap pada kemutlakannya dan
muqayyad tetap pada kemuqayyadannya
Contoh:
فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مِّنْ قَبْلِ أَنْ
يَتَمَاسّاَ
"
Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu
bercampur".(QS. Al-Mujadilah: 3)
Sementara
dalam ayat lainnya, Allah berfirman:
وَمَنْ قَتَلَ
مُؤْمِناً خَطَئًا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
"Dan
barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
hamba sahaya yang beriman".(QS. An-Nisa': 92)
Kedua
ayat diatas sama-sama menyebut lafaz رقبة yang satu dengan lafaz mutlak dan satu lagi dengan
lafaz muqayyad, keduanya memiliki hukum yang sama yaitu memerdekakan budak.
Sedangkan sebab hukumnya berbeda, surat Al-Mujadilah ayat 3 sebab memerdekakan
budak adalah karena orang yang zihar kepada istrinya. Dalam surat An-Nisa' ayat
92 yang menjadi sebab memerdekakan budak adalah membunuh secara tidak sengaja.
Menurut
ulama' Syafi'I, kafarat zihar hukumannya adalah memerdekakan budak yang mukmin.
Menurut ulama' Hanafiyah dan Malikiyah, kafarat zihar hukumnya memerdekakan
budak baik mukmin maupun non mukmin. Namun pendapat kedua adalah yang lebih
rajih (kuat).[16]
3)
Hukum beda dan sebabnya sama
Contoh:
فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْداً طَيِّباً
فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
"Maka bertayammumlah dengan
tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu". (QS.
Al-Maidah: 6)
Bandingkan
dengan ayat tentang wudlu berikut ini:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ
أّمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةٍ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
"Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai siku".(QS. Al-Maidah: 6)
Pada
kedua ayat diatas didapatkan sebab hukum yang sama yaitu menghilangkan hadas
untuk mengerjakan sholat. Namun hukum keduanya berbeda, yang pertama adalah
mengusap tangan karena tayammum, sedangkan yang kedua membasuh tangan sampai
siku karena berwudlu.
Menurut
Jumhur Syafi'iyah yang mutlak diikutkan kepada yang muqayyad. Sedangkan menurut
Malikiyah dan Hanabilah, yang mutlak tetap pada kemutlakannya, begitupun
sebaliknya yang muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
Jadi,
menurut ulama Maliki dan Hanbali mengusap tangan dalam bertayammum tidak sampai
siku, hanya pergelangan tangan saja. Menurut ulama' Syafi'i mengusap tangan
dalam tayammum adalah sampai siku berlandaskan pada dalil:
التيمم ضربتان ضربة
للوجه وضربة لليدين إلى المرافق
"Tayammum
itu ada dua kali sapuan, sekali sapu untuk muka dan untuk kedua tangan sampai
kedua siku". (HR. Imam Daruqutni, Hakim dan Baihaqi ).[17]
4)
Sebab dan hukum berbeda
Contoh:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءَبِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِنَ
اللَّهِ
"Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah".(QS. Al-Maidah: 38)
Dalam
ayat lain:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ
أّمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةٍ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
"Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku".(QS. Al-Maidah: 6)
Pada ayat
pertama, hukum yang didapat adalah potong tangan, sebabnya adalah mencuri. Ayat
kedua, sebab hukumnya adalah hendak mengerjakan sholat, hukumnya membasuh
tangan sampai siku (wudlu)
Dengan
demikian menurut ketentuan bila ada lafaz yang berbeda dalam hal sebab dan
hukum maka yang mutlak tetap pada kemutlakannya dan yang muqayyad tetap pada
kemuqayyadannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hukuman potong tangan bagi
pencuri adalah tidak sampai siku.
4. Hukum Mutlak dan Muqayyad
Lafaz mutlak tetap pada kemutlakannya
selama tidak ada dalil yang men-taqyidnya. Bila ada dalil yang men-taqyidnya
maka lafaz tersebut adalah lafaz muqayyad, seperti:
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوْصَى بِهَا ٱَوْدَيْنٍ
Lafaz وصية adalah lafaz mutlak, tidak dibatasi berapa harta yang disedekahkan
(setengah, sepertiga, atau semua), tetapi ada dalil lain yang men-taqyidnya
yaitu sabda Nabi SAW berikut:
إِنَّ اللهَ تَصَدَّقَ عَلَيْكُمْ بِثُلُثِ ٱَمْوَاِلِكُمْ فِيْ آخِرِ ٱَعْمَارِكُمْ
زِيَادَةً فِيْ ٱَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah mensedekahkan
sepertiga harta kalian di akhir umur kalian sebagai tambahan amal baik kalian”.
Sehingga maksud wasiat
dalam ayat diatas adalah tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalan si
mayit.[18]
D. Penutup
Dalam
kaidah lughawiyah terdapat beberapa pembahasan, salah satunya yakni lafaz
ditinjau dari cakupan maknanya yang meliputi ‘am dan khas, mutlak dan muqayyad.
Lafaz ‘am adalah lafaz yang mencakup keseluruhan satuan-satuannya, jadi jika
disebut suatu lafaz ‘am itu berarti seluruh satuan-satuan dari ‘am ikut
didalamnya. Perbedaannya dengan lafaz khas adalah, jika lafaz ‘am maksudnya
adalah seluruh satuan yang ada di dalamnya, maka kalau lafaz khas yang dimaksud
adalah terbatas pada beberapa satuan atau sebagian saja.
Termasuk
dari lafaz khas yakni lafaz mutlak dan muqayyad; lafaz mutlak ialah lafaz yang
menunjukkan makna suatu lafaz secara hakiki tanpa dibatasi oleh batasan
tertentu. Pembatas dari lafaz mutlak disebut dengan lafaz muqayyad, ia
membatasi lafaz mutlak dengan beberapa alat pembatas, seperti sifat, syarat,
ghoyah, dan seterusnya yang telah dijelaskan sebelumnya
Terdapat
banyak ikhtilaf dalam memahami hukum atau dilalah suatu lafaz, hal ini
berpengaruh terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh mujtahid. Perbedaan yang
lainnya adalah masalah pengamalan suatu lafaz, apakah boleh mengamalkan lafaz
‘am yang belum ditakhsis atau bagaimana mengamalkan lafaz mutlak jika terdapat
taqyidnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid. Kaidah-kaidah
Pemahaman dan Pengambilan Hukum. Jurnal
Pendidikan dan Pranata Islam. Edisi 10. No. 2. Maret 2015
Ahmad Saebani & Januri. 2009. Fiqh Ushul Fiqh.
Bandung : Pustaka Setia
Faisol,
Al-Hakam. 2015. Modul Ushul wa Ushuluhu Kelas XII Jurusan Keagamaan. Jombang:
MAN Denanyar
Khairul Umam
& Achyar Aminudin. 2010. Ushul Fiqh II. Bandung: Pustaka Setia
Khallaf, Abdul Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Rineka
Cipta
Muhammad Amin
Shahib.. “Lafaz Ditinjau dari Segi Cakupannya”. Jurnal Hukum Diktum.
Vol. 14. No. 2, Desember 2016
Romli. 2014. Studi
Perbandingan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Syarifuddin,
Amir. 2008. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Prenada Kencana Media Group
Tharaba, Fahim.2016.
Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’I: Filsafat Hukum Islam. Malang: CV Dream
Litera Buana
Zuhaili, Wahbah.
1986. Ushul Fiqh al-Islami. Damsyiq: Dar al-Fikr
Catatan:
Similarity
0%. Jadi saya rasa sudah tidak ada catatan, yang penting penjelasannya bagus.
[2] Wahbah Zuhaili, Ushul
Fiqh al-Islami, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1986), 238
[3] Fahim Tharaba, Hikmatut
Tasyri’ wa Hikmatus Syar’I: Filsafat Hukum Islam, (Malang: CV Dream Litera
Buana), 182-183
[7] Abdul Wahab Khallaf, op.cit,
241
[8] Romli, Studi
Perbandingan Ushul…,283-284
[9] Fahim Tharaba, Hikmatut
Tasyri’ wa Hikmatus…, 190-191
[10] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh…, 237-238
[11] Wahbah Zuhaili, Ushul
Fiqh al-Islami…, 204-205
[14] Al-Hakam Faisol, Modul
Ushul wa Ushuluhu Kelas XII Jurusan Keagamaan, (Jombang: MAN Denanyar,
2015), 42
[15] Muhammad Amin Shahib,
“Lafaz Ditinjau dari Segi Cakupannya”, Jurnal Hukum Diktum, Vol. 14. No.
2, Desember 2016, 144-145
[16] Abdul Wahid, Kaidah-kaidah
Pemahaman dan Pengambilan Hukum, Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam, Edisi
10, No. 2, Maret 2015, 77
[17] Fahim Tharaba, Hikmatut
Tasyri’ wa Hikmatus…, 203-204
[18] Al-Hakam Faisol, Modul
Ushul…, 44-45
MAKASIH BANG ATAS TULISAN ANDA JADI BISA BUAT BELAJAR UNTUK UMPTKIN 2020, DOAKAN LOLOS YA BANG
BalasHapusMalahan saya belum mengerti perbedeaan nya am"sam mutlaq
Hapusiya ii
HapusBang masih belum paham bedanya mutlak muqayyad sama 'am khosh
BalasHapus