TAQLID,
TALFIQ,ITTIBA’, DAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQH
Siti Zulaicha
dan Arina Wahidah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam “A”
2016 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail : szulaicha10@gmail.com
Abstrak
This article explains about talqid, talfiq, ittiba 'and ijtihad
which are some of the terms that exist in ushul fiqh. Ushul fiqh itself is a
science that is used to find legal bases in performing a worship. In conducting
Muslim worship it is recommended to follow everything that comes from the
Qur'an and the Sunnah. To understand both of us as a Ummah who are far away
from the times with the Messenger of Allah, we can understand it with the help
of the vast scholars of knowledge. Then the term taqlid emerged, an act carried
out by a Muslim who followed mujtahid scholars without knowing the legal basis
taken by the mujtahid. Talfiq is someone who is a Muslim from one of the priests
then he moves another school or more. Ittiba ’is an act of a Muslim who follows
a school of thought by trying to find the legal basis taken by the madzhab is
true. Whereas ijtihad is an effort of someone who is able to understand the
Qur'an and Hadith with the breadth of their knowledge and fulfill the
requirements as a mujtahid.
Abstrak
Artikel ini menjelaskan tentang talqid, talfiq, ittiba’ dan ijtihad
yang merupakan beberapa istilah yang ada dalam ushul fiqh. Ushul fiqh sendiri
merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk mencari dasar-dasar hukum dalam
melakukan suatu peribadahan. Dalam melakukan Ibadah umat Islam dianjurkan untuk
mengikuti segala sesuatu yang bersumber dari Al Quran dan As sunnah. Untuk
memahami keduanya kita sebagai umat akhiruz zaman yang jauh masanya dengan
Rasulullah maka kita dapat memahaminya dengan bantuan para ulama-ulama yang
luas akan ilmu pengetahuannya. Maka muncullah istilah taqlid yakni suatu
perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim yang mengikuti ulama mujtahid tanpa
mengetahui dasar hukum yang diambil oleh imam mujtahid. Talfiq yakni
seseorang yang bermadzhab dari salah satu imam kemudian ia berpindah madzhab
lain atau lebih. Ittiba’ adalah suatu perbuatan seorang muslim yang
mengikuti suatu madzhab dengan berusaha mencari dasar hukum yang diambil oleh
madzhab tersebut adalah benar. Sedangkan ijtihad adalah suatu upaya
seseorang yang mampu untuk memahami Al Quran dan Hadits dengan keluasan ilmunya
dan memenuhi syarat-syarat sebagai seorang mujtahid.
Kata
Kunci :Taqlid,Talfiq , Ittiba’, dan Ijtihad
A.
Pendahuluan
Kehidupan didunia ini telah dimulai
sejak berabad-abad silam ketika Nabi Adam as. diturunkan dari surga ke muka
bumi oleh Allah swt. disitulah kehidupan awal manusia dimulai. Manusia
diciptakan oleh Allah swt. bertugas sebagai khalifah fiil ‘ard dan
sebagai hamba Allah yang telah dijelaskan secara jelas dalam firmannya surah Al
Baqarah ayat 30 dan surah adz Zariyat ayat 56. Sebagai khalifah dimuka bumi ini
manusia bertanggung jawab untuk menjaga segala hal yang ada dimuka bumi ini
dengan baik. Peraturan-peraturan ditetapkan oleh Allah swt. dalam kalamnya yang
diturunkan kepada para rasul-Nya mulai dari Nabi Adam a.s hingga Nabi akhiruz
zaman Rasulullah Muhammad saw. yang menerima wahyu dari oleh melalui malaikat
Jibril a.s yakni Al Qur’an Al Karim sebagai penyempurna kitab-kitab terdahulu.
Ketetapan yang diwahyukan oleh Allah berupa perintah-perintah dan
larangan-larangan yang ditujukan kepada umat manusia sebagai peraturan yang
wajib untuk ditaati oleh umat manusia terutama bagi orang Islam. Karena sejatinya
Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah swt sebagai rahmatan lil ‘alamin
maka segala ketetapan yang memang telah ada dalam Al Quran ataupun ketetapan
yang berasal dari segala sesuatu Nabi Muhammad saw. berhak untuk ditaati.
Rasulullah saw. memberikan pengarahan
kepada umat muslim sebagai jembatan untuk keteraturan dalam menjalankan hidup
sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan dengan maksud untuk mencari ridho
Allah swt. Rasulullah mengajarkan kepada para sahabatnya tentang Al Quran dan
Hadits untuk menjalankan syariat Islam sesuai dengan ketetapan yang ada. Jika
seandainya para sahabat tidak faham tentang suatu dalil maka para sahabat
langsung bertanya kepada Rasulullah saw. sebab pemahaman para sahabat tentang
dalil yang ada itu tiap sahabat berbeda pemikiran. Kemudian sahabat Rasulullah
meneruskan dakwah Islam dengan mengajarkan kepada generasi selanjutnya yang
kemudian terus menerus diajarkan hingga saat ini. Dalam menangkap suatu
pengajaran yang berasal dari dalil yang qath’i tiap individu (ulama) memilki pemahaman yang
berbeda dalam menangkap penjelasan dari ulama-ulama lainnya. Sehingga munculnya
madzhab yang termasyhur di dunia Islam pun memilki karakteristik yang berbeda,
sebab para mujtahid pun memilki pemehaman yang berbeda dalam memahami dalil
naqli yang sifatnya qath’i.
Penetapan hukum yang dibuat oleh
para mujtahid yang sifatnya dzhanni ini adalah sebuah usaha untuk
mencari dalil tentang persoalan-persoalan yang ada pada waktu itu dengan
berpegang pada Al Quran dan Hadits. Para mujtahid ini ada ketika zaman tabi’it
tabi’in yakni pada masa kejayaannya Bani Abbasiyah, yang pada saat itu ilmu
pengetahuan berada pada puncaknya. Ketika runtuhnya Islam di Baghdad banyak
kalangan muslim yang menyatakan bahwasannya ijtihad telah ditutup dan menetapkan
ijtihad termasyhur yakni madzhab Maliki, Hambali, Syafi’i dan Hanafi sebagai
tempat hujjah tentang berbagai persoalan yang ada.[1]
Tetapi sejatinya kehidupan didunia ini selama manusia masih ada maka kehidupan
akan terus berjalan dengan berbagai perkembangan yang ada dari teknologi,
ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Banyak sekali permasalahan yang timbul
dengan bertambahnya zaman maka penetapan hukumpun tidak bisa serta merta hanya
mengambil pada pendapat yang telah ada, akan tetapi permasalah yang timbul itu
adalah permasalahan baru yang harus diselesaikan untuk menjalani kehidupan dan
mencari kemaslahatan umat.
Dari hal tersebut dalam menetapkan
suatu hukum dengan permasalahan yang baru kita juga perlu mengikuti imam
mujtahid yang telah dulu mencari sumber penetapannya sesuai dengan Al Quran dan
Hadits, serta jarak masa mereka dengan Rasulullah lebih dekat dari pada kita
sekarang ini. Akan tetapi dengan hal ini ijtihad sebenarnya tidak tertutup
sebab kehidupan ini dinamis dan pastilah permasalahan juga akan terus ada.
Tetapi ijtihad pun tidak serta merta kita menentukan karena terdapat ulama
salaf yang lebih dulu melukan pencarian hukum dan masa mereka lebih dekat. Maka
kita sebagai manusia akhiruz zaman tetap boleh mengikuti ulama yang lain serta
tetap mencari dalil hukum mengapa hukum itu ditetapkan.
Maka dalam
penulisan ini kami akan menjelaskan tentang ijtihad, taqlid, talfiq dan
ittiba’, yakni berbagai istilah yang ada dalam ushul fiqh. Sehingga dalam
menjalankan kehidupan yang ada kita tidak asal untuk melakukan sesuatu dalam
ibadah syariah yang telah ditetapkan oleh Allah saw dan hadits Nabi Muhammad
saw. untuk mencari keridhoannya, serta hukum melakukan hal-hal tersebut bagi
umat Islam sebagai penerus risalah Rasulullah saw.
B.
Taqlid
1.
Pengertian
Menurut kamus bahasa
arab al munawwir kata taqlidyang berasal dari kata qalada diartikan
mengikuti, tradisi, pemberian kekuasaan, tiruan (imitasi), palsu.[2]Sedangkan
ada pendapat yang lain bahwasannya taqlid berasal dari kata qalaadah
yang artinya kalung. Berdasarkan asal kata qalaadah itu yang artinya
kalung, hal ini berarti sesuatu yang melilit leher seekor hewan dan hewan itu
akan terus mengikuti orang yang memegang talinya sesuai dengan kehendak orang
tersebut kemanapun orang tersebut menariknya. Searah dengan hal ini ada
beberapa ulama yang sependapat yakni Wahbah al Zuhaili yang mengartikan taqlid
menurut bahasa dengan “mengalungkan tali pada tengkuk, sebagaimana mengalungkan
tali pada hewan qurban pada saat ibadah haji”, selaras dengan pengertian taqlid
yang diberikan oleh Sayyid Mu’inuddin Qadri bahwasannya taqlid secara
bahasa berarti “rantai atau barang sejenisnya yang diikatkan pada leher”.[3]
Dari penjelasan secara etimologi diatas jika seandainya manusia itu diibaratkan
seperti hewan yang mengikuti majikannya atau orang yang memegang tali rantainya
maka hal ini dapat berkonotasi negatif untuk perbuatan taqlid. Sesuai
dengan hal tersebutpun Ibnu Hazm memandang bahwa perilaku taqlid adalah
suatu perbuatan tidak terpuji.[4]
Sedangkan dalam
pengertian secara terminologi banyak beberapa ulama yang berpendapat yakni,
Imam Ghazali mendefiniskan taqlid adalah “menerima ucapan tanpa hujjah”,
Ibnu Subki mengartikannya dengan “mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui
dalil”, dan Al Asnawi berpendapat bahwa “taqlid ialah mengambil perkataan orang
lain tanpa dalil”.[5]Sedangkan
menurut kebanyakan ushul kata taqlid didefinisikan sebagai berikut:التقليدهوقبول
القول القائل وانت لا تعلم من اين قاله“Taqlid ialah menerima (mengeikuti) pendapat orang lain,
sedangkan engkau tidak mengetahui atas dasar apa ia berpendapat demikian”.[6]
Orang yang melakukan taqlid sendiri atau orang yang mengikuti pendapat orang
lain dinamakan muqallid. Hal ini didasarkan pada asal kata taqlid sendiri
yakni berasal dari kata qallada-yuqallidu-taqlidan yang artinya
mengikut, menurut, membuntuti, di belakang, orang yang mengikuti, menurut dan
mengikuti di belakang.[7]
2.
Bentuk
Taqlid
Dalam pembagian
taqlid itu sendiri banyak ulama yang berpendapat sebagaimana yang dikemukakan
oleh :
a.
Ibnu Hazm mengartikan
bahwa taklid adalah perbuatan yang tidak baik yakni mengikuti pendapat
orang lain tanpa menganalisis pendapat tersebut.
b.
Wahbah az Zuhaili,
beliau berpendapat bahwa taqlid terbagi menjadi dua kategori besar yakni
taqlid madzmumahdan taqlid mahmudah, dalam taqlid tercela (taqlid
madzmumah) ini terbagi menjadi tiga macam, pertama, taqlid yang
dilakukan seseorang mengenai hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Kedua,
bertaqlid kepada seseorang yang belum diketahui keilmuannya dalam bidang hukum
Islam dan kedalamannya tentang syariat Islam. Ketiga, taqlid kepada
seorang muqallidlain sedangkan orang tersebut telah mengetahui hujjah
dari orang lain bahwa yang diikutinya itu bertentangan dengan syariat yang ada.
Sedangkan taqlid terpuji (taqlid mahmudah) adalah taqlid yang dilakukan
oleh seseorang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk berijtihad walaupun ia
telah berusaha untuk menggali hukum syara’ ia tetap belum mampu, hal ini
perbolehkan sebab jika ia tidak bertaqlid kepada orang lain yang lebih ahli
maka iapun tidak akan melakukan ibadah yang telah disyariatkan Allah swt.
c.
Qadri, dalam
pengkategorian bentuk-bentuk taqlid, beliau membaginya kedalam empat macam
secara praktis dan mudah untuk diterapkan oleh seseorang yang bertaqlid, yaitu
:
1)
Taqlid
Syakhshi, adalah taqlid kepada Rasulullah saw. yang mana hal ini merupakan
suatu keharusan bagi setaip umat sebab apapun yang berasal dari nabi perintah
maupun larangan harus kita ikuti sebagai suatu sumber hukum Islam yang kedua.
2)
Taqlid Muthlaq,
adalah taqlid kepada seorang mujtahid tanpa terikat kepada salah
satu madzhab. Orang yang bertaqlid ini secara tekstual memang ia tidak
mengikuti suatu madzhab namun ia berhak menerima fatwa dari seorang faqih yang
mengikuti suatu madzhab tertentu tetapi jika seandainya ia dalam kondisi
tertentu ia mengikuti madzhab lain tanpa menanggalkan madzhab yang diikuti
sebelumnya dengan alasan yang jelas dan dibenarkan sesuai dengan pemikirannya.
3)
Taqlid Mahdli, taqlidnya
seseorang kepada salah satu madzhab tertentu sepanjang hidupnya dalam segala
hal muamalahnya.
4)
Taqlid Jamid, adalah
taqlidnya seseorang kepada suatu madzhab yang dianggapnya paling benar dan
merasa bahwa dirinya sama halnya dengan bertaqlid kepada Rasulullah saw.
Seseorang yang bertaqlid ini menafikkan tentang suatu pemahaman bahwa madzhab
itu hanya sekedar pemikiran kelompok yang terkumpul melalui proses interpretasi
terhadap Al Quran dan Al Hadits yang dilakukan untuk memecahkan suatu persoalan
yang ada pada kondisi dan situasi lingkungan tempat mujtahid berada.
Beradasarkan
klasifikasi diatas taqlid pertama (1) merupakan suatu keharusan, taqlid kedua
(2) merupakan suatu kebolehan terhadap para faqih, hanya saja seorang faqih
harus memilih ketetapan/ ijtihad yang paling mendekati dengan Rasulullah saw.
Dalam hal ini talfiq ini berposisi sama dengan ijtihad tarjih atau dapat
ditempatkan seperti hal tersebut. Taqlid (3) tidak diperbolehkan bagi
orang-orang yang mengerti tentang suatu hukum Islam, karena taqlid semacam ini
tidak memilki landasan kuat. Sebab sebagai seorang yang memilki akal pikiran
kita harus berupaya untuk bisa menggali asal muasal hukum yang ada pada madzhab
yang dianutnya sebagai cara memastikan kebenaran hukum yang ada. Seharusnya ia
mengambil kerangka metodologi pengambilan hukum madzhab tersebut bukan hanya
menggunakan prodaknya. Sedangkan taqlid keempat (4) tidak dibenarkan kecuali
bagi mereka yang tidak tahu tentang hukum syariat. Dari penjabaran tersebut
maka taqlid dapat ditarik benang merah terbagi menjadi dua macam yakni taqlid
qawli yakni bertaqlid kepada ijtihad yang dikemukakan oleh seorang
mujtahid, dan taqlid manhaji yakni bertaqlid kepada suatu metode
pengambilan hukum yang digunakan oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu
hukum dari suatu persoalan yang ada.[8]
3.
Hukum
Taqlid
Sesungguhnya
manusia dalam kemampuannya dalam penetapan hukum itu terbagi menjadi dua
kelompok yakni kelompok mujtahid dan kelompok orang awam. Kelompok mujtahid
diwajibkan untuk berijtihad karena kemampuan mereka dalam menggali suatu hukum
dari suatu persoalan, sedangkan orang awam itu sebaliknya, karena
ketidakmampuannya itu maka mereka dianjurkan untuk bertanya kepada ulama yang
lebih mengerti tentang hukum syariah.[9]
Maka dari hal tersebut bertaqlid bagi orang awam itu diperbolehkan sedangkan
bagi para mujtahid diharamkan/dilarang melakukannya. Hukum bertaqlid dilarang
berdasarkan pada firman Allah swt dalam QS. Luqman (31) : 21
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ
أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۚ
أَوَلَوْ كَانَ ٱلشَّيْطَٰنُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلسَّعِيرِ
“ Bila
dikatakan kepada mereka ikutilah apa-apa yang telah diturunkan Allah, mereka
berkata : bahkan kami mengikuti apa-apa yang kami temukan bapak-bapak kami
melakukannya”. Searah dengan pendapat sebagian kaum Mu’tazillah, Ibn Hazm
dan Imam Madzhab empat, yang melarang taqlid secara mutlak. Perkataan imam
madzhab empat adalah Imam Abu Hanifah “Jika pendapatku bertentangan dengan
Kitab Allah dan Khabar Rasul, maka tinggalkanlah pendapatku”, Imam Malik
berkata “Aku hanyalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Oleh
karena itu, telitilah pendapatku! Setiap pendapatku yang sesuai dengan Al Kitab
dan Al Sunnah, maka ambillah, sebaliknya semua pendapatku yang tidak sesuai
dengan al Kitab dan al Sunnah, tinggalkanlah”. Imam Syafi’i pun berkata “Perumpamaan
orang yang mencari ilmu tanpa menggunakan hujjah bagaikan pencari kayu bakar
pada malam hari. Ia memikul seonggok kayu di dalamnya terdapat ular yang siap
menggigitnya sedang tidak mengetahuinya. Sedangkan Imam Ahmad ibn Hambal
berkata “Jangan kalian bertaqlid kepadku, kepada Malik, maupun kepada Awza’i
tetapi ambillah darimana mereka mengambilnya”.[10]
Terdapat
pendapat lain yang membolehkan perbuatan taqlid yakni menurut Khudriy Bik, akan
tetapi dengan syarat mengikuti atau memilih ulama yang tepat yakni mereka
berilmu dan adil “Janganlah orang awam meminta fatwa kecuali orang tersebut
ia ketahui berilmu dan adil”. Maka seseorang yang bertaqlid tanpa mempunyai
pengetahuan sama sekali tentang apa dan siapa yang ia ikuti termasuk dilarang
dalam agama atau biasa disebut dengan taqlid buta.[11]
Menurut ulama ushul orang itu diperbolehkan untuk bertaqlid akan tetapi
perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela menurut agama, sesuai dengan
firman Allah swt. QS Al Baqarah (2): 170:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا
أَنزلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا
أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila
dikatakan kepada mereka :ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka
menjawab : (tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapat dari
(perbuatan) nenek moyang kami, walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk”.
C.
Talfiq
1.
Pengertian
Dalam
pengertian talfiq menurut bahasa berasal dari bahasa arab yakni تلفيق yang
artinya “mereka-reka atau membuat-buat.” Menurut pendapat lain talfiq menurut
bahasa berarti melipat antara yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan talfiq
menurut istilah ulama’ ushul fiqh adalah “mengambil pendapat dari seorang
mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lainnya, baik dalam
masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda”. Sebagaimana dijelasakan
oleh ulama ushul “Talfiq adalah mengerjakan masalah (perbuatan hukum)
menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua madzhab atau lebih”.[12]
Dari pengertian tersebut dapat difahami bahwa talfiq merupakan suatu
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan mengikuti madzhab tertentu dan
mengambil satu masalah kemudian ia mengabungkannya dengan pendapat madzhab yang
lainnya satu atau lebih sehingga suatu perbuatan tersebut tidak sama dengan
kedua imam tersebut menimbulkan suatu hukum yang baru.
Konsep talfiq
itu sendiri disebabkan oleh adanya keyakinan yang kuat akan dilarangnya taqlid
oleh pengikut mujtahid tertentu untuk mengambil pendapat mujtahid yang lain
tanpa tau dasar pengambilan hukumnya. Pada hakikatnya sendiri talfiq dilakukan
oleh seseorang yang berkemungkinan melakukannya karena bertujuan untuk memilih
qaul (pendapat) yang ringan dan meninggalkan qaul (pendapat) yang berat yang
tidak sesuai dengan kemampuannya.[13]
2.
Ruang
Lingkup
Ruang lingkup
talfiq itu hanya terbatas pada persoalan ijtihad yang bersifat dzhanniyah (yang
meragukan) yang dilakukan oleh para mujtahid, sedangkan segala sesuatu yang
telah ditetapkan oleh Allah dalam firmannya di Al Kitab maka bukan termasuk
ruang lingkup dari talfiq. Permasalahan talfiq antar madzhab muncul pada abad
ke 10 oleh ulama mutaakhirin yaitu dengan dibolehkannya mengikuti madzhab lain,
dan tidak ada perbincangan tentang talfiq sebelum abad ke 17.
3.
Hukum
Talfiq
Dalam penetapan
hukum talfiq sebenarnya para ulama tidak ada yang memperbincangkan
ataupun perselisihan tentang hukum talfiq, sebab menurut para ulama talfiq
hakikatnya adalah berpindah madzhab. Bagi kalangan ulama berpindah madzhab itu
diperbolehkan dan tidak ada ulama yang melarang tentang perbuatan tersebut.
Tetapi Al Mahalli menyatakan bahwasannya perbutan talfiq itu adalah
fasiq, sedangkan Abu Hurairah menyatakannya tidak fasik. Sebab mengikuti suatu
madzhab itu tidak ada pemaksaan untuk terus mengikuti madzhab yang telah
dilakukan begitu lama, dengan alasan yang jelas.[14]
Dalam kitab al-Maushul
pandangan Al Razi dan syarahnya yang mengutip dari al Rayani yang
mengemukakan persyaratan dibolehkannya talfiq dan pendapat dari Ibn
‘Abad al Salam bahwasannya diboleh tidaknya melakukan talfiq itu
tergantung dari motivasinya yang diukur dengan kemaslahatan yang bersifat umum.
Jika motivasi melakukan talfiq itu mencari kemudahan dengan artian
negatif, seperti mempermainkan agama atau memudah-mudahkan agama, maka hukumnya
tidak dibolehkan. Sebagai contoh seorang laki-laki yang akan menikahi seorang
perempuan, ketika ia akan melakukan akad nikah ia menggunakan pendapat dari
Imam Abu Hanifah yakni tanpa menggunakan wali dan menggabungkannya dengan
pendapat Imam Malik yang mensyaratkan nikah tanpa adanya dua orang saksi. Sedangkan
jika motivasi melakukan talfiq itu dengan maksud motivasi maslahah yakni
menghindari kesulitan dalam beragama maka hal ini diperbolehkan, menghindari
kesulitan ini bukan maksud mencari-cari kemudahan (tattabi’ al rakhas)
ini yang dimaksud oleh Al Razi dalam ungkapannya “terbuka hatinya waktu
mengikuti madzhab yang lain itu”. Dalam melakukan suatu perbuatan talfiq
kita haruslah bersifat hati-hati sebagaimana yang telah disabdakan oleh
Rasulullah saw. dalam haditsnya دعمايربيك
الى مالايربيك“Tinggalkanlah
apa yang meragukan bagimu menuju apa yang tidak meragukan bagimu”yakni dengan
berpegang pada beberapa syarat, yaitu:
1)
Pendapat yang
dikemukakan oleh suatu madzhab dengan madzhab yang telah ia kerjakan selama ini
ia lebih hati-hati dalam pengambilan hukumnya
2)
Dalil atau
dasar hukum yang diambil oleh madzhab tersebut dirasa lebih kuat atau rajih
maka dari itu ia melakukan talfiq.[15]
D.
Ittiba’
a.
Definisi Ittiba’
Dalam KBBI kata Ittiba’ sudah menjadi
bahasa Indonesia serapan yaitu iti.bak diartikan sebagai kata kerja yang
bermakna mengikuti. Dalam kamus Al-Munawwir kata” Ittiba’” berasal dari kata تبع-تبعا-واتباعا-وتباعة
yang artinya: Di ikuti-tergantung
pada-dan mengikuti-dan Tbah. Sedangkan menurut istilah Ittiba’ adalah mengikuti
pendapat seseorang baaik itu ulama’ atau yang lain, dengan didasari pengetahuan
dalil yang dipakai oleh ulama’ tersebut. Definisi Lainya,ittiba’ lalah
pengambilan hukum dengan mengikuti dalil dan alasan-alasanya dan diketahui oleh
mujtahid. Ittiba’ ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba’ adalah lawan
tajhid.[16]
b.
Ayat-ayat
Al-Qur’an Yang memuat Kata Ittiba’
Berdasarkan penelusuran dalam kitab
al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al Karim, Karya Muhammad Fu’ad Abdul
Baqi ditemukan bahwa pengungkapan kata ittiba’ dalam al-Qur’an sebanyak 124
kali yang tersebar dalam 40 surah dan 111 ayat.Antara lain dalam Qs Al-Baqarah
15 kali, Diantaranya pada Ayat 38:[17]
قُلْنَا
اهْبِطُواْ مِنْهَا جَمِيعاً فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ
هُدَايَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya : “Kami berfirman:
"Turunlah kamu semuanya dari surga itu! kemudian jika datang petunjuk-Ku
kepadamu, Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada
kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".
c.
Kedudukan
Ittiba’ Dalam Islam
Ittiba’ kepada Rasulullah saw mempunyai
kedudukan yang sangat tinggi dalam islam, bahkan merupakan salah satu seseorang
dapat masuk islam.Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang
ditempati oleh ittiba’ antara lain: Pertama, Ittiba’ kepada Rasulullah
saw adalah salah satu syarat diterima amal. Kedua,Ittiba’ merupakan
bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah swt dan Rasul-Nya.Ketiga,
Ittiba’ adalah sifat yang utama wali-wali Allah swt. [18]
E.
Ijtihad
1.
Pengertian
Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata(جهد) Artinya: mencurahkan segala
kemampuan atau bisa juga diartikan “menanggung
beban kesulitan”.Bentuk kata yang mengikuti wazan; ifti’alافتعال)(menunjukkan arti
: “berlebih” (Muballaghoh) dalam perbuatan. Karena itu kata “iktasaba”(اكتسب)mempunyai arti
“lebih” dari kata “kasaba”(كسب)Kata Ijtihad
juga diambol dari kata Juhd, yang berarti bersungguh-sungguh dalam melakukan
sesuatu tindakan apa pun”[19]Arti
ijtihad menurut bahasa adalah :Mencurahkan semua kemampuan dalam segala
perbuatan .Kata-kata ijtihad tidak
dipergunakan kecuali pada hal yang mengandung kesulitan dan memperlukan banyak
tenaga.
Ijtihad menurut istilah ahli ushul Fiqh,
para ahli usul fiqh memberikan banyak definisi yang berbeda –beda.Barangkali
definisi ijtihad yang lebih dekat dengan maksud ijtihad tersebut adalah
definisi yang diberikan imam
as-Syaukani dalam bukunya “irsyad al-Fuhul”.Beliau mendenifisikan ijtihad
sebagai berikut:
بذل الوسع في
نيل الحكم شرعي عملي بطريقة الاستنباط
" Mencurahkan kemampunan guna mendapatkan
hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istimbat (mengambil
kesimpulan hukum)"
Sebagian ahli ushul tidak merasa puas
dengan menggunakan kata-kata (mencurahkan sekedar
kemampuan )tetapi mendenifisikanya dengan kata-kata (mencurahkan semua
kemampuan), Bahkan Imam al-Amidi mendenifisikan ijtihad yang memiliki arti sebagai berikut:
“Mencurahkan semua kemampuan) untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni,
sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari kemampuanya itu.”
Imam al-Amidi menjadikan “perasaan kurang
mampu untuk mencari tambahan kemampuan” sebagai bagian dalam definisi ijtihad .
sedangkan Imam al-Ghozali menjadikan batasan tersebut bagian definisi
al-ijtihad attam (ijtihad sempurna).Walau demikian definisi pertama sudah
dianggap cukup sebab seorang mukallaf tidaklah dibebani kewajiban kecuali hanya
sekedar mencurahkan kemampuanya saja. Allah berfirman pada Surah Al-Baqarah
Ayat 286, yang artinya “Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kemampuanya."
Qs. Al-Baqarah :286
Adapun maksud mereka mensyaratkan
demikian agar menutup jalan ijtihad atas orang yang tergesa-gesa mengambil
hukum dan orang-orang lalai yang membuat hukum seenaknya tanpa memeras
kemampuan terlebih dahulu untuk meneliti dalilnya, memperdalam pemahamanya dan
mengambil konklusi dari dalil-dalil tersebut serta memperbandingkan dalil yang
bertentangan dengannya.
Imam Syafi’I r.a mengatakan bahwa
seorang mujtahid tidak boleh mengatakan: “tidak tahu” dalam suatu permasalahan
sebelum ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menelitinya dan tidak memenuhi
hukumnya.Sebagaimana juga seorang mujtahid tidak boleh mengatakan “aku tahu”
seraya menyebutkan hukum yang
diketahuinya itu sebelum ia mencurahkan kemampuanya dan mendapatkan
hukum itu.
Konotasi yang demikian ini telah tersirat
hadist tentang pengiriman Muadz ke Yaman yang mana beliau menetapkan hukum
hal-hal yang tidak terdapat pada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebagaimana yang
beliau kata(Aku berijtihad dengan pendapatku tapi aku tidak bertindak lengah).[20]Ijtihad
juga mempunyai arti mencurahkan segala kemampuan dari seorang Mujtahid dalam
mendapatkan kepastian hukum bagi suatu masalah yang di maksud. Adapun Ijtihad
Sendiri terbagi menjadi dua Macam yaitu:
a
Ijtihad yang menghasilkan
kebenaran
b
Ijtihad yang tidak menghasilkan
kebenaran /salah Furu’ /cabang benar semua dan tidak ada yang salah
Ijtihad dalam masalah Aqidah tidak dapat
dikatakan semua benar, sebab kalau semua ijtihad dalam masalah akidah benar ,
berarti membenarkan IIjtihadnya orang-orang ahli bidah seperti halnya:
a
Orang-orang Nasrani yang
beranggapan bahwa tuhan ada tiga
b
Orang-orang kafir yang
beranggapan bahwa hari kebangkitan tidak ada.
c
Golongan Mu’tazilah yang
beri’tikad bahwa orang Mukmin di Syurga
tidak bisa melihat Allah
d
Orang-orang majuzi yang
beranggapan bahwa alam semesta terdiri dari dua unsur pokok yaitu terang dan
gelap.
Mujtahid yang benar dalam masalah cabang
fiqh mendapat pahala dua yaitu pahala ijtihad dan pahala kebenaranya.Sedangkan
mujtahid yang salah akan ijtihadnya mendapat pahala satu yaitu pahala ijtihad. Demikian ini berdasarkan Hadist Nabi
yaitu: "Jika sesorang hakim berjihad, jika ijtihadnya benar maka ia
mendapat dua pahala, jika ijtihadnya salah, maka ia mendapat pahala satu.”[21]
2.
Dasar-Dasar Ijtihad
Dasar-dasar Ijtihad atau dasar hukum ijtihad
ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di dalam ayat yang menjadi dasar dalam
ber-ijtihad sebagai firman Allah Swt dalam QS. An-Nisa’:105 sebagai berikut:
إِنَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ
ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُ ۚ
وَلَا تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيمًا ﴿١٠٥﴾
Artinya:
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah)
karena (membela) orang-orang yang khianat”.
Demikian
juga dijelaskan dalam QS. Al-Rum:21:
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم
مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم
مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
﴿٢١﴾
Artinya:”Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir,”Adapun Fungsi ijtihad, antara lain
a.
Fungsi al-Ruju’ (Kembali) yakni
mengembalikan ajaran-ajaran islam kepada al-Qur’an dan sunnah dari segala
interprestasi yang kurang relevan,
b.
Fungsi al-ihya (kehidupan);
menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan islam semangat agar mampu
menjawab tantangan zaman,
c.
Fungsi al-inabah (pembenahan) memenuhi ajaran-ajaran
islam yang telah di-ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya
kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi yang dihadapi.
Begitu pentingnya melakukan ijtihad
sehingga jumhur ulama menunjuk ijtihad menjadi
hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan firman Allah Swt dalam
QS.An-Nisa’ 59:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ
مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
Artinya:
Jika kamu mempersengkatan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tersebut kepada
Allah dan Rasul-Nya”
Perintah untuk mengembalikan masalah
kepada al-Qur’an dan sunnah ketika terjadi perselisihan hukum ialah dengan
penelitian seksama terhadap masalah yang nash-nya tidak tegas. Demikian juga
sabda Nabi Saw:“ Jika seorang hakim berbegas memutus perkara tentu ia melakukan
ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua pahala. Jika ia
bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya
salah, maka ia mendapat satu pahala” (HR.Asy-Syafi’I dari Amr bin Ash)[22]
3.
Macam-macam
Metode Ijtihad
a.
Istihsan
Istihsan secara sederhana dapat
diartikan sebagai berpaling dari dalil khusus ke dalil umum. Maksudnya adalah
meninggalkan satu dalil ke dalil yang lain, meninggalkan satu dalil dengan
dalil lain yang lebih kuat, membandingkan satu dalil dengan dalil yang lain
untuk menetapkan hukum .
Hal
ini dilakukan untuk memilih yang lebih baik demi memenuhi tuntutan kemaslahatan
dan tujuan syariat.Metode ini dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah,
antara lain masalah konflik kepentingan
antara 2 pihak yakni kepentingan yang jangkaunya sempit dan kepentingan yang
bersifat luas.
b.
Marsalah-Mursalah
Maslahah berarti kepentingan hidup manusia . Adapun mursalah
adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nash syariat yang membatalkanya. Metode
ini adalah salah satu salah satu cara dalam menetapkan hukum yang berkaitan
dengan masalah-masalah yang ketetapanya dalam nash yang membenarkan atau yang membatalkanya
Prinsipnya adalah menarik manfaat dan
menghindarkan kerusakan dalam upaya
memelihara tujuan hukum yang lepas dari ketetaoan dalil syara’. Maslahah
Mursalah ini dapat dijadikan dasar hukum apabila
1)
Masalah bersifat esensial atas
dasar penelitian dan melalui analisis dan pembahasan yang mendalam, sehingga
penetapan hukum terhadap masalah benar-benar member manfaat dan menghindarkan
mudharat.
2)
Masalah bersifat umum, bukan
perorangan dan bermanfaat pada orang banyak.
3)
Masalah tidak bertentangan dengan
nasah dan terpenuhinya kepentingan hidup manusia dan terhindar dari kesulitan.
c.
Istishab
Istishab Adalah menjadikan ketetapan
hukum yang ada trtap berlaku seingga ada ketentuan dalil yang mengubahnya. Yang
berarti mengembalikan segala sesuatu pada ketentuan semula selama tidak ada
ndalil nash yang mengharamkan atau melarang nya.
Seperti halnya hukum berbagai jenis
hewan,tumbuh-tumbuhan, makanan,minuman, amal perbuatan yang tidak ada dalil
syara’ yang menetapkan hukumnya, sehingga hukumnya halal atau mubah.
Seperti
dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 29:
هُو ٱلَّذِى خَلَقَ لَكُم مَّا فِى ٱلْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ ٱسْتَوَىٰٓ
إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّىٰهُنَّ سَبْعَ سَمَٰوَٰتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ
عَلِيمٌ ﴿٢٩﴾
“Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada
di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya
tujuh langit, dan Dia Maha Mengetahui segala Sesuatu.”
Istishab antara lain pertama,
memberlakukan ketetapanakal tentang bolehnya sesuatu jika tidak ditemukan dalil
yang mengubahnya.Kedua, tetap memberlakukan hukum syara’ berdasarkan
ketentuan suatu dalil.
Dengan begitu, Istishab tidak melahirkan
hukum baru dalam suatu kasus , melainkan tetap berlaku hukum akal mengenai
kebolehan suatu hal selama tidak bertentangan dengan syara’ dan memberlakukan hukum syara’ bagi suatu kasus
atas dasar terpenuhinya sebab terjadinya hukum.
d.
Urf atau Adat
Urf merupakan kebiasaan, yang mana
di dalam urf sendiri ada yang
berpendapat tidak ada kebiasaan yang menyimpang dari nash-nash Al-quran , namun
dalam urf, adapula urf yang fasid, yakni yang bertentangan dengan syariat islam
yang telah ditetapkan kedudukan hukumnya oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Menurut Rachmat Syafi’I, dalam hukum
islam Urf adalah sebuah keadaan, atau ucapan yang telah dikenal oleh manusia
dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkanya
Setaip urf atau adat mengalami perubahan
sesuai dengan perkembangan zamanya. Hingga urf tidak berlaku universal, bukan
hanya local, bahkan urf bersifat parsial, bisa berlaku di desa tertentu, akan
tetapi bisa bertentangan dengan desa lainya.Dalam hukum islam,adat terbagi
menjadi 2 Macam, yakni
1)
Adat Shahihah
Merupakan
adat yang tidak bertentangan dengan syariat,akal sehat, serta undang-undang
yang berlaku, dan apabila terlaksanakan, mendatangkan kemaslahatan bagi
Masyarakat.
2)
Adat Fasidah
Merupakan
adat yang bertentangan dengan
Syariat,akal sehat, serta undang-undang yang berlaku.Dzariah,Dzariah berarti,
jalan menuju sesuatu, Ada pembagian, sebagai berikut:
a)
Sadd dzari’ah, adalah
melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada
suatu kerusakan.
b)
Fath adz-Dzari’ah, merupakan
bagian dari Dzari’ah yang artinya membuka segala sesuatu yang dapat menimbulkan
kerusakan atau kemudzharatan.
e.
Madzhab Shahaby
Pendapat para Shahabat, mempunyai
kedudukan tertinggi setelah hukum islam tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah, karena didasarkan pada alasan bahwa para sahabat adalah orang yang
bergaul sangat dekat dengan Rasulullah SAW.
f.
Syar’u Man
Qablana
Syar’u Man Qablana artinya Syari’at
sebelum kita. Semua syariat yang telah
ada sebelum syariat islam diadopsi dan
disempurnakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. [23]
4.
Macam-macam
Mujtahid
a.
Mujtahid Mutlak
Mujtahid Mutlak adalah orang-orang Alim
yang telah cukup memiliki syarat-syarat Mufti ,seperti Imam Syafi’I, Imam Hambali,
Imam Hanafi,Imam Maliki.
b.
Mujtahid Madzhab
Mujtahid Madzhab adalah orang-orang Alim
yang belum cukup memiliki syarat-syarat Mufti,akan tetapi ia dapat mengetahui
kaidah-kaidah Imanya sehingga dia bisa mengeluarkan keputusan ber-dasarkan
kaidah-kaidah lamanya,seperti Imam Suyuthi,Imam Yusuf dll.
c.
Mujtahid Fatwa
Mujtahid Fatwa adalah orang-orang alim
yang luas ilmunya,sehingga dengan keluasan ilmunya itu dapat/bisa memiliki
kemampuan untuk menimbang antara dua qaul imanya seperti Imam Nawawi,Imam
Rofi’I dll. [24]
5.
Syarat-Syarat
Mujtahid
Adapun
syarat-syarat menjadi Ahli Hujjah atau Mujtahid antara lain seperti berikut:
a
Mengerti Ayat-Ayat yang menjadi
sumber Hukum
b
Mengerti hadits-Hadits yang
menjadi sumber hukum
c
Mengerti kaidah-kaidah Fiqh
d
Mengerti cabang-cabang Fiqh
e
Mengerti Ikhtilaf/Perbedaan para
Imhab yang imam.
f
Mengerti Madzhab yang tetap.
g
Mengerti Ilmu Nahwu
h
Mengerti Bahasa Arab
i
Mengerti Ilmu Ushul
j
Mengerti Ilmu Ma’ani/ ilmu untuk
menjaga dari kesalahan ketika berbicara
k
Mengerti Ilmu Bayan /ilmu untuk
menjaga dari pembicaraan yang tidak mengarah pada tujuanya.
l
Mengerti Tafsirnya Ayat Al-Quran
m
Mengerti kepribadian para Rowi
Hadits
n
Mengerti hal-hal yang menjadi
ijma’dan menjadi khilaf
o
Mengerti dalil Naskh dan Mansukh
p
Mengerti Asbabun Nuzul[25]
F.
Penutup
Dari hasil penjabaran diatas maka dapat disimpulkan bahwasannya
dalam ushul fiqh istilah taqlid, talfiq, ittiba’ dan ijtihad merupakan
sebuah istilah yang dibuat untuk seseorang yang melakukan upaya pemahaman
tentang dalil naqli yang bersifat qath’i. Taqlid sendiri
adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan jalan mengikuti
pendapat ulama yang sudah ada tanpa tau dasar hukum pengambilan hukum syar’i.
Orang tersebut percaya sepenuhnya kepada ulama tersebut, sebab ia merasa tidak
mampu untuk memahami hukum syariat yang telah ada dengan dihubungan kekehidupan
sehari-hari. Hukum melakukan taqlid jumhur ulama berpendapat bahwa
perbuatan ini dilarang, sebab seseorang melakukan suatu ibadah tanpa dasar
mengapa hukum itu diambil oleh ulama itu tidak dibenarkan, kecuali bagi orang
awam yang memang tidak mampu untuk memahaminya walaupun telah berusaha
semaksimal mungkin. Sedangkan Talfiq adalah suatu perbuatan yang orang tersebut
telah mengikuti suatu madzhab kemudian ia menggunakan pendapat dari madzhab
yang lain satu atau lebih dengan alasan kemaslahatan. Perbuatan ini
diperbolehkan oleh para ulama sebab para ulama tidak mengikat suatu kalangan
atau individu untuk mengikuti satu madzhab saja. Tetapi perbuatan ini tidak
diperbolehkan jika berpindahnya madzhab hanya untuk mencari keringan tanpa
memikirkan kemaslahatan umat.
Dapat ditarik Kesimpulan,
bahwasanya Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan dari seorang Mujtahid
dalam mendapatkan kepastian hukum bagi suatu masalah, yang tidak dapat Al-Qur’an
dan As-Sunnah.Adapun Ijtihad sendiri terbagi menjadi dua macam, yakni ijtihad
yang menghasilkan kebenaran dan Ijtihad yang Ijtihad yang tidak menghasilkan
kebenaran.Dasar Ijtihad atau dasar Hukum Ijtihad terdapat dalam Qs An-Nisa’
Ayat 105 dan Qs.Ar-Rum Ayat 21. Ijtihad mempunyai Fungsi sebagai Al-Ruju’
(Kembali), Al-Ihya (Kehidupan), dan Sebagi Al-Inabah (Pembenahan).Adapun
Macam-macam Metode Ijtihad, terdapat beberapa macam, yakni Istihsan atau
memilih yang lebih baik,Marsalah Mursalah,Istishab, Urf/Adat,Madzhab
Shahaby,dan Syar’u Man Qablana.
Ittiba’ berasal dari kata تبع-تبعا-واتباعا-وتباعةyang
berarti Mengikuti, adapun secara istilah adalah mengikuti pendapat seseorang
baik itu ulama’ atau yang lain, dengan didasari pengetahuan atau dalil yang dipakai
ulama’ tersebut, terdapat banyak sekali kata Ittiba’ dalam Al-Qur’an diantaranya dalam Qs.Al-Baqarah Ayat
38.Ittiba’ sendiri mendapat kedudukan tinggi dalam islam, Karena Ittiba’
merupakan bukti kebenaran cinta pada
Allah swt dan Rasulnya, Ittiba; pada Rasul merupakan salah satu syarat diterima
Amal, dan merupakan sifat Utama Wali-wali Allah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd Wafi Has,Ijtihad
Sebagai Alat Pemecahan Umat Islam,Vol.8,No.1,Juni 2013.
Ahmad.2012.Ittiba’
Dalam Prespektif Al Quran (Suatu Kajian Tafsir Maudhu’i).Skripsi : UIN
Alauddin Makassar.
Al-Qardlawy,
Yusuf. 1987. Ijtihad dalam Syariat Islam,Beberapa Pandangan Analitis tentang
Ijtihad Kontemporer. Jakarta:PT BULAN BINTANG.
Hadi, Saeful.
2011.Ushul Fiqh. Yogyakarta:Sabda Media.
Hanani, Nurul.2009.Ijtihad dan Taklid Prespektif K.H.Hasyim
Asy’ari.cet-2. Kediri:STAIN Kediri Press.
Hasbiyallah.2014. Fiqh dan Ushul Fiqh.cet-2. Bandung :Remaja
Rosdakarya.
Muniron,dkk.2010.Studi
Islam di Perguruan Tinggi. Jember : STAIN Jember Press.
Muthahhari,Murtadha.1993.Pengantar
Ushul Fiqh&Ushul FiqhPerbandingan.Jakarta : Pustaka Hidayah.
Rasyida Arsjad,Talfiq Dalam Pelaksanaan Ibadah Dalam Prespektif
Empat Madzhab,Cendekia : Jurnal Studi Keislaman Volume 1, Nomor 1, Juni
2015.
Saebani, Beni
Ahmad. 2017.Ilmu Ushul Fiqh. Bandung:Cv Pustaka Setia.
Yusuf, Nasruddin.2012.Pengantar Ilmu Ushul Fikih.
Malang:Universitas Negeri Malang.
Catatan:
1. Similarity 14%.
2. Rujukan dari jurnal, yang dimiringkan adalah nama jurnal, bukan
judul artikel.
Artikel ini sudah bagus, cuma butuh beberapa perbaikan kecil saja.
[1]
Nurul Hanani,Ijtihad dan Taklid Prespektif K.H.Hasyim Asy’ari.cet-2.
(Kediri: STAIN Kediri Press, 2009), hlm: 2
[2]Nurul Hanani,Op.Cit.,
hlm : 31
[3]Hasbiyallah,Fiqh
dan Ushul Fiqh.cet-2. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2014), hlm : 121
[4]Nurul Hanani,Op.Cit.,
hlm : 32
[5]Hasbiyallah, Op.Cit.,
hlm : 122
[6]Nasruddin
Yusuf,Pengantar Ilmu Ushul Fikih. (Malang: Universitas Negeri Malang,
2012), hlm: 162
[7] Muniron,dkk, Studi Islam di Perguruan Tinggi. (Jember :
STAIN Jember Press, 2010), hlm : 111
[8]Nurul Hanani,Op.Cit,
hlm: 34-37
[9]Nasruddin
Yusuf,Op.Cit., hlm: 162
[10]Nurul Hanani,Op.Cit,
hlm :41
[11]Nasruddin
Yusuf,Op.Cit., hlm: 162
[12]Nasruddin
Yusuf,Op.Cit., halaman, 166 dan Rasyida Arsjad,Talfiq Dalam
Pelaksanaan Ibadah Dalam Prespektif Empat Madzhab,Cendekia : Jurnal Studi
Keislaman Volume 1, Nomor 1, Juni 2015, hlm : 63
[14]Hasbiyallah, Op.Cit.,
hlm : 124
[16]Ahmad,Ittiba’
dalam Prespektif Al-Qur’an,(Suatu Kajian Tafsir Mau’dhui,September,hlm.15-16
[18]Ahmad,Op.Cit.,hlm
: 32-34
[19] Murtadha
Muthahhari,Pengantar Ushul Fiqh&Ushul Fiqh Perbandingan,(Jakarta:Pustaka
Hidayah,1993), hlm : 44.
[20]Yusuf
Al-Qardlawy,Ijtihad dalam Syariat Islam,Beberapa Pandangan Analitis tentang
Ijtihad Kontemporer,(Jakarta:PT BULAN BINTANG,1987), hlm : 1-4.
[21]Saeful Hadi,Ushul
Fiqh,(Yogyakarta:Sabda Media,2011) hlm : 127-128.
[22]Abd Wafi Has,Ijtihad
Sebagai Alat Pemecahan Umat Islam,Vol.8,No.1,Juni 2013,hlm : 93-94.
[23]Beni Ahmad
Saebani,Ilmu Ushul Fiqh,(Bandung:Cv Pustaka Setia,2017), hlm : 187-192.
[24]Saeful Hadi,Op.Cit.,
hlm : 124
[25]Saeful Hadi,Op.Cit.,hlm:
124-125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar