TA’WIL DAN NASAKH,
MURADIF DAN MUSYTARAK
Yuyun Rohmawati,
Dian Ayu Tri Lestari, dan Ainun Rizki Amalia
Mahasiswa PAI
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang PAI-C 2018
Abstract: In this article will discuss about usul fiqh rules that must be understood
by all Muslims in establishing a law. Among them are ta'wil, nasakh, muradif
and musytarak. Ta'wil is to turn lafaz from the meaning of dzahir to another
meaning in accordance with the proposition. As for the meaning of nasakh is the
abolition or cancellation of a law due to the coming of the new 'syara'
argument. While the meaning of the muradif is the meaning equation, meaning
some lafaz has one meaning the same. And musytarak is one lafaz has
some meaning.
Keywords: Ushul fiqh
Rules,
Ta’wil,
Nasakh, Muradif, Musytarak
Abstrak: Dalam artikel
ini akan membahas tentang kaidah-kaidah ushul fiqh yang harus difahami oleh
seluruh umat Islam dalam menetapkan suatu hukum. Di antaranya adalah ta’wil, nasakh,
muradif dan musytarak. Ta’wil yaitu memalingkan lafaz dari makna dzahirnya ke
makna lain yang sesuai dengan dalil. Adapun yang dimaksud dengan nasakh
adalah penghapusan atau pembatalan suatu hukum akibat datangnya dalil syara’
yang baru. Sedangkan yang dimaksud dengan muradif yaitu persamaan makna,
artinya beberapa lafaz memiliki satu makna yang sama. Dan musytarak yaitu satu
lafaz yang memiliki beberapa makna.
Kata Kunci: Kaidah Ushul
fiqh, Ta’wil, Nasakh, Muradif, Musytarak
A.
Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari pasti di
antara kita sering menjumpai lafaz-lafaz dalam alquran ataupun hadist yang
sulit untuk ditafsirkan maknanya. Ada juga beberapa lafaz yang memiliki satu
makna atau bisa jadi satu lafaz bisa memiliki banyak makna. Dan yang paling
membingungkan ketika menemukan antara ayat yang satu dengan yang lain itu
bertolak belakang maknanya. Maka untuk kita bisa memilih dan memahami makna
yang tepat dalam setiap lafaz, serta menentukan hukum yang benar. Itu
memerlukan suatu ilmu yang harus kita pelajari. Adapun ilmu yang membahas hal
yang demikian itu adalah ushul fiqh yang terangkum dalam materi kaidah-kaidah
ushul fiqh.
Kaidah-kaidah ushul fiqh yang dimaksud
di sini yaitu ta’wil, nasakh, muradif, dan musytarak. Ta’wil yaitu
memalingkan makna. Ketika suatu lafaz yang belum jelas maknanya tapi ada
keraguan di dalamnya, maka hal ini perlu untuk diperjelas melalui ta’wil.
Jadi ta’wil di sini adalah memalingkan makna kepada makna yang lain yang
lebih jelas dan berdasarkan pada dalil. [1]Seperti
lafaz يَدٌ yang
terdapat dalam surat al-Fath ayat 10 mempunyai arti tangan, namun lafaz ini
bisa diartikan sebagai kekuasaan, sehingga makna lafaz dalam ayat tersebut
menjadi lebih jelas.[2]
Kondisi pada zaman kenabian hingga saat
ini sangatlah berbeda, mulai kondisi masyarakat, keimanan mereka, hingga
perkembangan zaman. Maka Allah telah menetapkan suatu hukum baik perintah
ataupun larangan yang berbeda masa berlakunya. Artinya ada beberapa hukum yang
ada dalam alquran ataupun hadist itu telah dihapus/ berhenti masa berlakunya
akibat datangnya dalil syara’ yang baru yang membahas suatu hal yang
bersangkutan. Dari sini dalil yang dulu tidak berlaku lagi dan diganti dengan
dalil yang baru. Seperti contoh surat al-Baqarah ayat 180 yang dinasakh dengan
surat an-Nisa’ ayat 7.[3]
Hal yang demikian inilah yang dinamakan dengan nasakh.
Muradif atau yang sering
disebut dengan sinonim yaitu beberapa lafaz yang memiliki satu makna yang sama.[4]
Seperti lafaz اللَّيْثُ, الاَسَدُ yang berarti singa. Muradif ini berbalik makna dengan musytarak,
karena yang dimaksud dengan musytarak yaitu satu lafaz tapi
mempunyai banyak arti.[5]
Seperti contoh pada lafaz قُرُوْءٌ bisa mempunyai makna suci atau haid.[6]
B.
Ta’wil
a.
Pengertian
Ta’wil
Secara lughawi, ta’wil itu
berarti paling. Sedangkan secara istilah ta’wil adalah memalingkan
sebuah makna dzahir kepada makna yang lebih cocok sesuai dalil yang ada.[7]
Meski demikian, beberapa ulama’ memiliki pengertian ta’wil yang sedikit
berbeda (hampir mirip). Antara lain:
Abdul
Wahab Khalaf berpendapat:
صرف
اللفظ عن ظاهره بدليل
“Memalingkan suatu
lafadz dari makna zhahirnya sesuai dengan dalil yang ada”
Ibn
Jauzi berpendapat:
نقل ظاهر اللفظ عن وضعه الأصلي الى ما يحتاج الى دليل لولاه
ماترك ظاهراللفظ
“Memalingkan perkataan dari tema-nya ke hal yang lebih sesuai guna
menetapkan ke dalil yang kalau tidak demikian, sehingga zhahir lafadz tidak
akan ditinggalkan”
Ibn. Atsir berpendapat:
نقل ظاهر اللفظ عن وضعه الاصلي الى
مايحتاج الى دليل
“Memalingkan lafadz zhahir dari
penggunaan asal-nya kepada sesuatu yang diperlukan oleh dalil”
Abu Zahrah berpendapat:
اخراج
اللفظ عن ظاهر معناه الى معنى اخر يحتمله
“Mengeluarkan lafadz dari makna
zhahirnya kepada makna lain yang ada kemungkinan untuk hal tersebut”
Dari sekumpulan
pendapat para ahli/ ulama’ tersebut, dapat ditarik benang merahnya, bahwa ta’wil
adalah memalingkan suatu lafadz yang bermakna zhahir kepada makna
lain yang mungkin bisa dijangkau oleh dalil.
Kemudian dari
kesimpulan definisi ta’wil yang simpel tersebut dapat dirumuskan
ciri-ciri dari ta’wil yakni:
1.
Lafadz-nya tidak bisa
dimengerti menurut makna zhahir-nya.
2.
Makna yang dimengerti dari lafadz
tersebut adalah makna yang lain, tapi secara global masih menjangkau makna zhahir-nya.
3.
Memalingkan lafadz dari
makna zhahir kepada makna yang lain itu membutuhkan dalil/ alasan.[8]
b.
Syarat-syarat
Ta’wil
Berikut
ini adalah syarat-syarat ta’wil:
1.
Lafadz itu bisa
menerima ta’wil, seperi pada lafadz zhahir dan lafadz nash dan
tidak berlaku untuk muhkam serta mufassar.
2.
Lafadz itu perlu di-ta’wil
kan, karena makna-nya terlalu luas dan dapat diartikan untuk di-ta’wil. Dan
ketika makna-nya dipalingkan itu masih relevan.
3.
Terdapat sesuatu yang mendorong untuk
dilakukan ta’wil.
a.
Ketika ada suatu lafadz yang
makna zhahir-nya itu bertentangan dengan kaidah yang berlaku serta
diketahui secara dharuri. Kemudian bisa juga lafadz tersebut
bertentangan dengan dalil yang lebih kuat/ tinggi. Seperti contoh: ada sebuah
hadist yang bertentangan dengan hadist yang lain. Akan tetapi hadist tersebut
ada kemungkinan untuk di-ta’wil. Maka dalam kasus ini, hadist itu
sebaiknya di-ta’wil saja, dari pada ditolak.
b.
Nash yang
bertentangan dengan dalil yang lebih tinggi dalalah nya. Seperti, sebuah
hadist yang makna lahir-nya itu ditujukan pada suatu objek. Akan tetapi, ada
makna lain yang menyangkalnya dalam bentuk nash.
c.
Lafadz itu termasuk nash
untuk sebuah objek, akan tetapi menyalahi lafadz yang lain yang mufassar.
Dan dalam keadaan ini harus dilakukan ta’wil.
4.
Ta’wil itu harus
memiliki dalil yang dijadikan sandaran, serta tidak bertolak belakang dengan
dalil yang lain.
Jika hal tersebut membahas syarat-syarat
ta’wil, berikut ini adalah syarat-syarat dari orang yang men-ta’wil,
antara lain:
1.
Memiliki kemampuan pendidikan
yang cukup,
2.
Memiliki kekuatan untuk
memperoleh dalil serta cakap dalam mengeluarkan hukum,
3.
Memiliki sikap untuk menghimpun
sesuatu yang berbeda, dari pada tarjih salah satu-nya, dan
4.
Menguasai kaidah kebahasaan dan
syari’ah.[9]
d.
Bentuk-bentuk
Ta’wil
Bentuk-bentuk ta’wil
itu bermacam-macam jika dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain:
1.
Diterima/ tidaknya suatu ta’wil,
ada 2:
a.
Ta’wil maqbul, yaitu sebuah ta’wil
yang sudah memenuhi syarat-syarat ta’wil.
b.
Ta’wil ghairu maqbul, yaitu ta’wil yang
ditolak, karena mementingkan selera, serta tidak memenuhi syarat-syarat yang
ada.
2.
Dekat/ jauhnya pemalingan makna zhahir
ke makna yang lain, ada 2:
a.
Ta’wil qarib, yaitu hasil ta’wil
nya tidak terlalu berbeda dengan makna lahir-nya. Sehingga bisa diterima.
3.
Hasil yang dicapai, dibagi menjadi
2:
a.
Ta’wil terpuji, sebuah ta’wil
yang dalam mena’wilkan itu berpegang teguh pada alquran, hadist, para
sahabat, dan daya akal.
b.
Ta’wil tercela, yaitu ta’wil
yang tidak memperhatikan kaidah bahasa dan ta’wil. Kemudian orang
yang mena’wil juga mementingkan hawa nafsunya sendiri, tanpa memperhatikan
dasar yang dibenarkan.[11]
e.
Pendapat Ulama’
tentang Ta’wil yang Berhubungan dalam Furu’-nya
Salah satu contohnya itu terdapat dalam
masalah seorang laki-laki yang menikah dengan 10 orang perempuan saat dia
(suami) masuk Islam:
Hanafiyah berpendapat, jika seorang
laki-laki yang menikah dengan 10 perempuan secara bersama-sama, maka suami
boleh memilih 4 istri dengan akad yang baru, sedangkan yang lain harus
diceraikan. Tapi ketika 10 perempuan itu dinikahi secara satu per satu, maka
suami bisa memilih 4 istri terdahulu, dan yang lain harus diceraikan.
Kemudian menurut Syafi’i, seorang suami
yang memiliki 10 istri cukup memilih 4
di antaranya. Dan menceraikan yang lainnya.
Hal ini berlaku bagi suami yang menikahi 10 perempuan sekaligus ataupun
satu persatu.
f.
Macam-macam
Ta’wil
1.
Ta’wil alquran atau
hadist, yang mana dimungkinkan terdapat kata yang merujuk dalam menyamakan
sifat Tuhan terhadat sesuatu.[12]
Sedang, jelas kita percaya bahwa Allah itu berbeda dengan apa yang diciptakannya.
Seperti lafadz:
ßt...
«!$# s-öqsù öNÍkÉ÷r& 4 ...
...“tangan Allah
di atas tangan mereka...” (Q.S Al-Fath: 10)
Dari
ayat tersebut, kata t itu berarti
tangan. Tapi tidak mungkin kita mengartikan tangan, karena kata ini bersanding
pada Allah, sedangkan kita tidak boleh mempersamakan Allah dengan yang lain.
Maka kata ini harus di-ta’wil, sedingga menjadi kekuasaan Allah.[13]
2.
Ta’wil dalam ayat
alquran atau hadist secara lahir itu bertentangan. Seperti contoh dalam surat
al-Baqarah ayat 240 dengan al-Baqarah ayat 243.[14]
C.
Nasakh
a.
Pengertian Nasakh
Menurut bahasa, nasakh adalah
penghapusan, pembatalan.[15]
Sedangkan menurut istilah nasakh
memiliki dua makna, hal ini diungkapkan oleh ahli ushul fiqh. Makna yang
pertama yaitu:
رفع الحكم الشر عي بد ليل شرعي
متأخر
Artinya:
“Pembatalan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian”. [16]
Berdasarkan kedua pengertian tersebut,
dapat ditarik benang merahnya yaitu:
1.
Nasakh itu hannya bisa
dilakukan oleh Allah swt., karena nasakh itu sendiri harus berdasarkan
dalil syara’.
2.
Sesuatu hal yang dihapus/ dinasakh adalah tentang
perintah, larangan atapun informasi. Selain itu tidak bisa disebut dengan nasakh.
3.
Dalil yang mampu menghapus hukum
terdahulu adalah dalil yang datang setelah dalil yang akan dihapuskan.[17]
b.
Dasar Hukum Nasakh
Dalam hal ini ada dua pendapat mengenai
berlaku tidaknya nasakh. Pendapat yang pertama adalah setuju dengan
adanya nasakh. Dasar yang dimiliki golongan yang setuju dengan adanya nasakh
adalah adanya bukti dalam beberapa ayat alquran, antara lain:
Yang pertama, surat al-Baqarah:
106
* $tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% ÇÊÉÏÈ
Artinya:
” Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding
dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu?”
Berdasarkan penjelasan ayat tersebut,
dapat kita ketahui bahwa Allah itu berkuasa untuk menghilangkan suatu hukum dan
diganti dengan hukum yang lebih baik atau sebanding dengannya.
Yang kedua, surat an-Nahl: 101
#sÎ)ur !$oYø9£t/ Zpt#uä c%x6¨B 7pt#uä ª!$#ur ÞOn=ôãr& $yJÎ/ ãAÍit\ã (#þqä9$s% !$yJ¯RÎ) |MRr& ¤tIøÿãB 4 ö@t/ óOèdçsYø.r& w tbqßJn=ôèt ÇÊÉÊÈ
Artinya:
”Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai
penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka
berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja".
bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.”
Sedangkan penjelasan yang bisa kita
dapatkan dari ayat tersebut yaitu Allah swt. telah mengganti ayat dengan ayat
di tempat yang lain. Sehingga ayat yang terdahulu tidak berlaku lagi, karena
adanya ayat baru yang muncul tentang suatu hal tersebut.
Dan yang ketiga ialah surat
ar-Ra’d: 39
(#qßsôJt ª!$# $tB âä!$t±o àMÎ6÷Vãur ( ÿ¼çnyYÏãur Pé& É=»tGÅ6ø9$# ÇÌÒÈ
Artinya:
”Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).”
Dari ayat tersebut, jelas bahwa Allah
swt. berkuasa atas menghapus hukum dan menggantinya dengan hukum yang lain.
Sedangkan golongan yang kedua adalah
golongan yang tidak mengakui adanya nasakh. Mereka ini perpandangan
bahwa ketiga ayat tersebut hannya sekedar kemungkinan adanya nasakh.
Seperti contoh lafaz “Aayatan” pada surat al-Baqarah ayat 106 itu
diartikan dengan syariat. Sehingga yang dihapus menurut ayat tersebut adalah
syariat Nabi dan masa lalu dari umat terdahulu yang terdapat dalam kitab Taurat
dan Injil kemudian diganti dengan kitab Alquran. Dan golongan ini terus menerus
mengkompromikan agar ayat-ayat yang bertentangan bisa menjadi selaras, sehingga
seolah-olah nasakh itu benar-benar tidak ada. Golongan yang tidak
percaya dengan adanya nasakh ialah Yahudi dan Nasrani.[18]
c.
Rukun dan Syarat
Nasakh
Adapun
yang menjadi rukun dan syarat nasakh adalah sebagai berikut:
1.
Dalil yang dibatalkan/ dihapus (المنسوخ)
Syarat-syaratnya
yaitu:
a)
Berisikan hukum syar’i, yaitu
yang berupa masalah perintah, larangan, siksa, sejarah.
b)
Tidak termasuk dalam hukum yang kulli,
yaitu hukum yang tidak bisa berubah/ tetap.
c)
Bukan dalil yang memiliki batas
masa berlakunya. Karena jika dalil tersebut memiliki batas waktu, maka dalil
tersebut juga akan berakhir ketika waktunya berakhir. Hal yang demikian ini
tidak perlu untuk dinasakh.
d)
Hukumnya tidak berlaku secara
abadi.
e)
Dalil tersebut turun lebih dulu
dari pada dalil yang menghapus/ menasakh.
f)
Ada dalil yang menetapkan, dan
suatu hukum yang ditetapkan melalui qiyas itu tidak bisa dihapus/ dinasakh.
2.
Dalil yang digunakan untuk
menghapus (المنسوخ به)
Syaratnya
المنسوخ به
antara lain:
a)
Dalil yang menasakh itu
adalah khithab pembuat hukum (syari’).
b)
Dalil yang bisa menghapus itu
haruslah memiliki kedudukan yang sama atau lebih tinggi dari yang dihapus.
Sehingga ijma’ dan qiyas tidak bisa dijadikan sebagai المنسوخ
به.
c)
Dalil ini turun setelah dalil
yang mau dinasakh.
d)
Isi dari yang menasakh itu
haruslah bertolak belakang/ tidak sama dengan dalil yang akan dinasakh.
Sehingga hal tersebut harus dinasakh, karena tidak bisa dilakukan secara
bersamaan.
3.
Orang yang menerima nasakh
(المنسوخ عنه)
Orang yang tepat untuk menerima nasakh
ialah orang yang baik tindak-tanduknya, sehingga dia dapat memutuskan untuk
meninggalkan suatu hukum dan menjalankan hukum baru yang telah ditetapkan
kemudian.[19]
4.
Yang memiliki hak untuk menghapus
(الناسخ)
Yang
berhak melakukan nasakh itu hanyalah Allah swt.[20]
d.
Macam-macam Nasakh
Macam-macam nasakh berdasarkan
otoritas/ mana yang berhak menghapus dalil terdahulu itu dibagi menjadi empat
macam, yaitu:
1.
Alquran dinasakh oleh
alquran
yang menjadi contoh dari ayat alquran
yang dinasakh dengan ayat alquran juga, yaitu seperti dalam surat
al-Baqarah ayat 240:
tûïÏ%©!$#ur cöq©ùuqtGã öNà6YÏB tbrâxtur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uöxî 8l#t÷zÎ) 4 ...
Artinya:
”Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah
hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)...”
Ayat
tersebut di-nasakh oleh firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 234:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ( ...
Artinya:
”Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya,...”.
2.
Sunnah dinasakh oleh
sunnah
Yaitu isi dalam kandungan sunnah
dihapus/ dibatalkan oleh sunnah yang sama kuat/ lebih tinggi darinya. Seperti
sabda Nabi tentang larangan berziarah kubur lalu dinasakh dengan hadist
yang sama:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُوْرِأَلاَ فَزُوْرُهَا
Artinya:
”Dahulu aku pernah melarang kamu menziarahi kubur, sekarang berziarahlah”
(HR. Muslim)
Namun, kaum Zahirriyah berpendapat jika
sunnah mutawattir bisa dinasakh dengan sunnah ahad, hal ini pernah
terjadi pada penentuan arah kiblat yang awalnya menghadap Bait al-Maqdis kemudian
berubah menjadi ke arah Ka’bah.[21]
3.
Alquran dinasakh dengan
sunnah
Contoh dari bentuk ini adalah seperti
yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 180:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Artinya:
”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.”[22]
Kemudian
ayat tersebut dinasakh dengan hadist Nabi yaitu:
اَلاَ لاَوَصِيْةَ لِوَارِثٍ
Artinya:
”Ketahuilah tidak ada wasiat untuk ahli waris” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu
Majah).[23]
4.
Sunnah dinasakh dengan
alquran
Contoh dari bentuk nasakh ini
adalah seperti yang dilakukan oleh Nabi sendiri saat shalat itu menghadap ke
arah Bait al-Maqdis. Hal ini sesuai dengan riwayat hadist berikut ini:
اَ
نَّ الْنَّبِيَّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسلَّمّ أَقَامَ يَسْتَقْبِلُ بَيْتَ
الْمُقَدَّسِ فِى الصَّلاةِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا
Artinya:
”Sesungguhnya Nabi saw. berdiri menghadap Bait al-Maqdis dalam shalatnya
selama enam belas bulan”. (HR. Bukhori dan Muslim).
Sunnah
tersebut dihapus oleh ayat alquran surat al-Baqarah ayat 144:
ôÉeAuqsù...
y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ...
Artinya:
”Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram...”[24]
Sedangkan macam-macam nasakh jika
dilihat dari segi kejelasan dan cakupannya itu juga dibagi menjadi empat,
yaitu:
1.
Nasakh Sharih, yaitu sebuah
ayat yang sudah jelas dihapus oleh ayat yang datang kemudian (baru). Seperti
contoh pada alquran Al-Anfaal ayat 65 yang menceritakan tentang seorang muslim
dalam perang harus melawan 10 orang kafir:
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# ÇÚÌhym úüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4 bÎ) `ä3t öNä3ZÏiB tbrçô³Ïã tbrçÉ9»|¹ (#qç7Î=øót Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3t Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB (#þqç7Î=øót $Zÿø9r& z`ÏiB úïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOßg¯Rr'Î/ ×Pöqs% w cqßgs)øÿt ÇÏÎÈ
“Hai Nabi,
Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang
sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.
dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum
yang tidak mengerti”. (Q.S Al-Anfaal: 65)
Kemudian
ayat tersebut di-nasakh oleh ayat 66 surat Al-Anfaal, yang menceritakan
bahwa seorang muslim dalam perang itu harus melawan 2 orang kafir:
z`»t«ø9$# y#¤ÿyz ª!$# öNä3Ytã zNÎ=tæur cr& öNä3Ïù $Zÿ÷è|Ê 4 bÎ*sù `ä3t Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB ×otÎ/$|¹ (#qç7Î=øót Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3t öNä3ZÏiB ×#ø9r& (#þqç7Î=øót Èû÷üxÿø9r& ÈbøÎ*Î/ «!$# 3 ª!$#ur yìtB tûïÎÉ9»¢Á9$# ÇÏÏÈ
“Sekarang Allah
telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan.
Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang
sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin
Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar”.
(Q.S
Al-Anfaal: 66)
2.
Nasakh Dhimmy, dalam nasakh ini
terjadi pada 2 dalil yang bertotak belakang, akan tetapi kedua ayat ini ada
untuk membahas permasalahan yang sama, dan waktu turunnya juga diketahui.
Seperti yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 180:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Artinya:
”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.”
Kemudian
ayat tersebut dinasakh dengan hadist Nabi yaitu:
اَلاَ لاَوَصِيْةَ لِوَارِثٍ
Artinya:
”Ketahuilah tidak ada wasiat untuk ahli waris” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu
Majah).
3.
Nasakh Kully, dalam nasakh ini
terjadi ketika dalil terdahulu di-nasakh secara keseluruhan oleh dalil
kemudian (baru). Seperti contoh dalam surat al-Baqarah ayat 234 yang di-nasakh
oleh surat al-Baqarah ayat 240.
4.
Nasakh Juz’iy, yakni sebuah
dalil yang bersifat umum/ berlaku bagi semua orang itu di-nasakh oleh
sebuah dalil yang bersifat khusus/ berlaku bagi golongan tertentu. Seperti
contoh dalam surat An-Nuur ayat 4:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBöt ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù't Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ wur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ
“Dan orang-orang
yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”. (Q.S Al-Anfaal: 4)
Kemudian
ayat tersebut di-nasakh oleh surat An-Nuur ayat 6:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBöt öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3t öNçl°; âä!#ypkà HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/ ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 úüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÏÈ
“Dan orang-orang
yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang
benar”. (Q.S An-Nurr: 6)[25]
e.
Hikmah Nasakh
Pada dasarnya pensyariatan hukum kepada
umat Islam adalah untuk memberikan kemaslahatan bagi diri mereka di dunia dan
di akhirat. Dalam hal ini kita harus menjalankan semua perintah dan menjauhi
semua larangannya.
Oleh karena itu, ketika menetapkan suatu
hukum Allah swt. selalu memperhatikan kondisi masyarakat pada masa itu, agar
kemaslahatan bisa tetap terjaga. Selain itu, hukum Islam juga mengetahui
hal-hal yang akan terjadi, sehingga hukum itu datang secara berangsur-angsur.
Dan nasakh ini hannya ada pada masa sebelum Rasulullah wafat, karena
sudah tidak ada lagi wahyu yang turun.
Hal lain yang menjadi hikmah dari adanya
nasakh adalah untuk menguji keimanan dan ketaantan dari seorang hamba.
Dengan kata lain mereka dituntut untuk melakukan suatu perintah, namun kemudian
hukum tersebut dihapus dan diganti dengan hukum yang lain yang harus kita
jalankan. [26]
Kemudian, dengan adanya nasakh ini
juga untuk menguji umat muslim untuk selalu bersyukur apabila hasil nasakh menjadi
lebih ringan dan sabar ketika hasil nasakh lebih berat.
Dan hikmah yang terakhir yaitu untuk
membuktikan bahwa terdapat sebuah proses penetapan hukum hingga mencapai
kesempurnaan hukum.[27]
D.
Muradif
a.
Pengertian
Muradif
Menurut bahasa, muradif
memiliki arti ikut serta. Sedangkan ahli ilmu ushul fiqh mendefinisikan muradif
sebagai
اَللَّفْظُ
الْمُتَعَدِّدُ لِلْمَعْنَى الْوَاحِدِ
"Beberapa lafaz
yang terpakai untuk satu makna."
Dengan begitu,
lafaz muradif berarti beberapa lafaz yang memiliki makna yang sama atau
satu makna.[28] Seperti
contoh :
a.
اَلأَسَدُdan اَللَّيْثُmemiliki arti
singa.
b.
اَلدَّارُ dan اَلْمَنْزِلdan اَلْبَيْتُmemiliki arti
rumah.
c.
المُؤَدّشبُdan المُعَلِّمُdan المُدَرِّسُdan الأُسْتَاذُmemiliki arti
pendidik
M. Hasbi
Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa muradif merupakan kalimat yang mempunyai
pengertian atau arti satu (serupa) namun ditunjukkan dengan lafal yang berbeda.
Muradif dalam istilah bahasa Indonesia sering disamaartikan dengan
istilah sinonim atau persamaan kata.[29]
b.
Hukum Muradif
Kaidah ushul
fiqh yang menerangkan tentang hukum Muradif berbunyi
اِيْقَاعُ كُلٍّ مِنَ الْمُرَادِفَيْنِ
مَكَانَ الْاَخَرِ يَجُوْزُ اِذَا لَمْ يَقُمْ عَلَيْهِ طَالِعٌ شَرْعِيٌّ
“Menundukkan
dua muradif pada tempat yang lain atau menukarkannya itu diperbolehkan
jika tidak ada ketetapan syara”
Hukum muradif
yang dimaksud dalam kaidah ini adalah diperbolehkan jika tidak ada ketetapan
syara. Adapun tentang lafaz-lafaz muradif yang dapat menimbulkan
persoalan, seperti contoh penggunaan lafaz اَللَّيْثُ yang
digunakan sebagai dari lafaz اَلأَسَدُ yang tidak lain memiliki makna yang sama.[30]
Hukum muradif
dalam kaidah ushul fiqh ini tidak berlaku untuk Al-Qur’an. [31]
Dimana
Al-Qur’an dengan seluruh lafadznya merupakan mukjizat, sedangkan muradif
atau lafadz yang memiliki arti sama itu bukanlah lafadz yang asli
atau dengan sendirinya muradif dari lafadz itu tidak mengandung
mukjizat.
Terdapat
perbedaan pendapat dalam hal tertentu tentang masalah muradif di
kalangan ulama. Seperti halnya dalam masalah dzikir. Ada ulama yang tidak
memperbolehkan penggunaan muradif dalam berdzikir, namun ada juga yang
memperbolehkannya. Ulama yang memperbolehkan hal ini pun memberi dua syarat
kepada penggunaan muradif dalam dzikir, diantara adalah :
a.
Lafadz muradif
boleh digunakan jika lafadz tersebut tidak bertentangan dengan syara’
atau syariat agama.
b.
Lafadz muradif
boleh digunakan jika lafadz tersebut berasal dari bahasa yang sama,
seperti kedua lafadz tersebut berasal dari bahasa Arab.[32]
E.
Musytarak
a.
Pengertian
Musytarak
Sedangkan musytarak
menurut bahasa memiliki arti berserikat atau berkumpul. Dalam ilmu ushul fiqh, musytarak
didefinisikan sebagai
اَللَّفَظُ
الْمَوْضُوْعُ لِحَقِيْقَتَيْنِ مُحْتَلِفَتَيْنِ اَوْ اَكْثَرَ
“Lafaz
yang dibentuk untuk menunjukkan dua arti yang berbeda-beda atau lebih”
Maksud dari musytarak
adalah satu ladaz yang memiliki makna banyak dan berbeda-beda. Seperti contoh :
a.
قُرُوْءٌyang memiliki
arti haid dan suci.
Dalam
QS. Al-Baqarah : 228 yang berbunyi
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ
قُرُوءٍ ج
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'...”
Lafaz قُرُوْء (quru’)
menurut bangsa Arab mempunyai dua arti yaitu haid dan suci. Hal tersebut
membuat perbedaan pendapat pada kalangan ulama tentang lafaz quru’ pada
ayat ini. Dimana Imam Syafi’i yang berpegang pada hadits dari Aisyah
mengartikan bahwa lafaz quru’ tersebut sebagai suci. Sedangkan Abu
Hanifah yang menyatakan bahwa hadits ahad tidak dapat menentukan suatu hukum
haram atau halam mengartikannya sebagai haid.[33]
b.
يَدٌyang memiliki
arti tangan secara keseluruhan, lengan tangan, dan telapak tangan.
Beberapa kabilah Arab mengartikan
istilah يَد
(yad)
sebagai tangan yang bermaksud untuk menunjukan istilah seluruh harta. Kabilah
yang lain ada yang mengartikannya sebagai lengan tangan, dan ada juga yang
mengartikannya sebagai telapak tangan saja.[34]
Dalam
QS. Al-Maidah : 38 yang berbunyi
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا...
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya...”
Istilah يَد (yad) disini diartikan
antara zira’ atau dari ujung jari sampai ke bahu. Ada juga yang mengartikan
antara telapak tangan dan lengan yaitu dari ujung jari sampai ke siku. Namun
juga ada yang mengartikan jika hanya telapak tangan yaitu dari ujung jari
sampai pergelangan. Kemudian para mujtahid berpendapat dengan menggunakan
sunnah jika istilah (yad) tersebut berarti dari ujung jari sampai ke
pergelangan tangan.[35]
c.
عَيْنٌyang memiliki
arti mata, mata-mata, dan sumber (mata air).
b.
Hukum Musytarak
Sedangkan hukum musytarak
dalam kaidah ushul fiqh berbunyi :
اِسْتِعْمَالُ
المُشْتَرَكِ فِى مَعْنَيْهِ اَوْ مَعَانِهِ يَجُوْزُ
“Menggunakan
lafadz musytarak dalam dua makna yang dikehendaki atau untuk beberapa maknanya
itu diperbolehkan”
Jumhur ulama’
memperbolehkan lafadz musytarak karena sesuai dengan firmah Allah
dalam QS. Al-Hajj : 18 yang berbunyi :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يَسْجُدُ
لَهُۥ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَن فِى ٱلْأَرْضِ وَٱلشَّمْسُ وَٱلْقَمَرُ
وَٱلنُّجُومُ وَٱلْجِبَالُ وَٱلشَّجَرُ وَٱلدَّوَآبُّ وَكَثِيرٌ مِّنَ
ٱلنَّاسِ....
“Apakah kamu
tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa
yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan,
binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?...” (QS. Al-Hajj : 18)
Lafadz
يَسْجُدُ atau sujud
dalam ayat tersebut adalah lafadz musytarak, dimana sujud sendiri
dapat diartikan sebagai salah satu rukun shalat yaitu meletakkan dahi di tanah
dan juga dapat diartikan sebagai tunduk atau patuh. Dalam ayat ini dijelaskan
bahwa lafadz sujud dilakukan oleh manusia dan makhluk Allah yang lain,
dengan demikian lafadz sujud itu memiliki dua arti.[36]
F.
Penutup
Berdasarkan dari beberapa penjelasan
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam hidup itu harus berpedoman pada
alquran dan al-hadist, namun kita juga perlu mengetahui kaidah-kaidah fiqh
untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di lingkungan masyarakat.
Adapun kaidah tersebut ialah:
Yang pertama yaitu Ta’wil,
ta’wil merupakan suatu proses pemalingan makna dari yang zhahir kepada
makna lain yang lebih jelas dan kuat maknanya. Seperti lafadz يَدُ dalam
surat al-Fath ayat 10, itu memiliki makna tangan. Namun kata ini kemudian perlu
di-ta’wil kan agar memiliki makna yang jelas. Sehingga lafadz يَدُ
berarti kekuasaan Allah swt.
Kemudian yang kedua adalah nasakh.
Yaitu pembatalan suatu hukum syar’i kepada hukum yang lain (baru). Karena
beberapa hal. Salah satu contoh dari nasakh yaitu pada alquran surat
al-Baqarah ayat 240 yang di-nasakh dengan surat al-Baqarah ayat 234.
Dalam ayat tersebut menerangkan bahwa dulu masa iddah seorang istri yang hamil
ditinggal mati oleh suaminya adalah satu tahun. Namun hukum ini di-nasakh dengan
dalil ayat 234, bahwa masa iddah istri yang hamil yang ditinggal mati suaminya
adalah 4 bulan 10 hari.
Selanjutnya yang ketiga adalah muradif,
yaitu beberapa lafal yang memiliki makna yang sama. Seperti lafadz اللَّيْثُ, الاَسَدُ yang berarti singa.
Dan kaidah yang terakhir yaitu musytarak,
suatu lafadz yang memiliki lebih dari satu makna. Seperti lafadz
عَيْنٌ
yang berarti mata, sumber mata air, dan mata-mata.
Untuk masalah hukum diperbolehkan atau
tidaknya menggunakan ta’wil, nasakh, muradif, dan musytarak secara
garis besar/ jumhur ulama’ mengatakan boleh, namun juga ada beberapa yang
memiliki pendapat tidak boleh digunakan sebagai hukum.
G.
Daftar Pustaka
Anwar, Rosihon. 2015. Ulum Alquran. Cet.
6. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Bakry, Nazar. 2003. Fiqh & Ushul
Fiqh. Cet.4. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh
1 dan 2. Jakarta: Kencana.
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh. Cet.
1. Jakarta: Zikrul Hakim
Marzuki. 2013. Pengantar Studi Hukum
Islam. Yogyakarta: Ombak.
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-garis
Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh
2. Cet. 7. Jakarta: Kencana.
Wahab Khallaf, Abdul. 1995. Ilmu
Ushul Fikih. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Waid, Abdul. 2014. Kumpulan Kaidah
Ushul Fiqh. Cet. 1. Jogjakarta: IRCiSoD
S Marzuqi, Ahmad. 2008. Ushul Fiqih. Cet.
1. Jogjakarta: Media Hidayah.
Catatan:
1.
Similarity 8%.
2.
Pendahuluan bukan berisi materi.
[1]
Abdul Waid, Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2014),
Cet. 1, hlm. 79
[2]
Ibid., hlm. 80
[3]
Firdaus, Ushul Fiqh, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), Cet. 1, hlm. 209
[4]
Abdul Waid, Kumpulan...,Op.Cit., hlm. 73
[5]
Ibid., hlm. 74
[6]
Ibid., hlm. 75
[7]
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.
120
[8]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Cet. 7, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm.
45-46
[9]
Ibid., hlm. 48-49.
[10]
Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, Cet. 4, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm. 270.
[11]
Amir Syarifuddin, Ushul..., Op.Cit., hlm. 50
[12]
Nazar Bakry,...,Op.Cit., hlm. 271-272.
[13]
Abdul Waid,...,Op.Cit., hlm. 79-80.
[14]
Nazar Bakry,...,Op.Cit., hlm. 272.
[15]
Firdaus,...,Op.Cit., hlm. 201.
[16]
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,
2012), hlm. 84.
[17]
Firdaus,...,Op.Cit., hlm. 203
[18]
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam, (Jakarta: Ombak, 2013), hlm.
156-158
[19]
Ibid., hlm. 160-161
[20]
Firdaus,...,Op.Cit., hlm. 205.
[21]
Ibid., hlm. 210-211.
[22]
Marzuki,...,Op.Cit., hlm. 162.
[23]
Firdaus,...,Op.Cit., hlm. 214.
[24]
Basiq Djalil,...,Op.Cit., hlm. 130.
[25]
Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, Cet. 6, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2015), hlm. 173-175.
[26]
Firdaus,...,Op.Cit., hlm. 204.
[27]
Ahmad S Marzuqi, Ushul Fiqih, Cet.1, (Jogjakarta: Media Hidayah, 2008), hlm.
90.
[28]
A. Basiq Djalil,...,Op.Cit., hlm. 115
[29]
Abdul Waid,...,Op.Cit., hlm. 74.
[30]
Basiq Djalil,...,Op.Cit., hlm. 116.
[31]
Abdul Waid,...,Op.Cit., hlm. 76.
[32]
Basiq Djalil,...,Op.Cit., hlm. 116.
[33]
A. Basiq Djalil, Op. Cit., hal. 117
[34]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu ‘Usul Fikih, (Jakarta: PT Rineka Cipta,1995),
hlm. 221-222
[35]
Ibid, hal. 223
[36]
Basiq Djalil,...,Op.Cit., hlm. 117-118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar