INTEGRASI ILMU SOSIAL DAN HADIS
(Pemahaman Hadis Dengan Ilmu-Ilmu
Sosial)
Mohammad Syaifulloh, Rizky Khoirul Muna,
Adam
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Kelas D
Universitas Islam Negri Maulana Malik
Ibrahim Malang
E-mail
:
Abstract
This article discusses the positions of
social sciences and hadiths, the relation between social science and hadith and
the comprehension of hadith through the social sciences, in which case the
sciences of hadith are used as material objects whereas the social sciences are
made as formal objects, this science is separate but basically between the
science of hadith and social science has the same dimension that is about
human. The social sciences themselves have several disciplines that are grouped
into sociology, anthropology, geography, economics, history, psychology, law
and political science. With the integration between social sciences and hadith
is expected to help and add insight to the community, especially in solving
everyday problems, of course, in different times and places.
Keywords: Position,
Relation, Integration.
Abstrak
Artikel ini membahas tentang posisi
ilmu-ilmu sosial dan hadis, relasi dan integrasi antara ilmu sosial dan hadis serta
pemahaman hadis melalui perangkat ilmu sosial, dimana dalam hal ini ilmu-ilmu
hadis dijadikan sebagai objek material sedangkan ilmu-ilmu sosial dijadikan
sebagai objek formal, meskipun dua ilmu pengetahuan ini terpisah namun pada
dasarnya antara ilmu hadis dan ilmu sosial mempunyai dimensi yang sama yaitu
membahas tentang manusia. Ilmu-ilmu sosial sendiri mempunyai beberapa disiplin
ilmu yang dikelompokkan menjadi
sosiologi, antropologi, geografi, ekonomi, sejarah, psikologi, hukum dan
ilmu politik. Dengan adanya integrasi antara ilmu-ilmu sosial dan hadis ini
diharapkan dapat membantu dan menambah wawasan pada masyarakat terutama dalam
menyelesaikan masalah sehari-hari, tentunya dalam waktu dan tempat yang
berbeda.
Kata Kunci :
Posisi, Relasi, Integrasi.
A.
Pendahuluan
Istilah integrasi sendiri berasal dari bahasa inggris ”Integration” yang
mempunyai arti keseluruhan, integrasi adalah istilah yang digunakan untuk
menyatukan sesuatu yang mempunyai dimensi berbeda sehingga menjadi satu
kesatuhan yang utuh. Dalam hal ini ilmu sosial berperan sebagai ilmu yang
membahas mengenai interaksi antara manusia satu dengan manusia lainnya dalam
hidup bermasyarakat yang bersifat formal, sedangkan ilmu hadis sendiri adalah
ilmu yang bersumber dari hukum islam kedua setelah al.quran.
Dalam ajaran islam sendiri, ilmu mempunyai prioritas yang sangat
penting hal ini dapat kita ketahui dari
banyaknya ayat-ayat al.qur’an yang membahas tentang ilmu, dalam hadis juga
banyak yang memberikan dorongan kepada umat islam utuk terus menuntut ilmu. Dalam
ajaran islam juga tidak pernah membedakan antara ilmu satu dengan ilmu lainya,
baik itu ilmu agama, ilmu sosial dan yang lainnya.
Maka dari itu pada zaman modern ini diperlukan adanya integrasi antara
ilmu-ilmu sosial dengan ilmu agama, sebagai contoh integrasi antara ilmu sosial
dan ilmu hadis, dengan begitu umat islam dapat mengembangkan ilmu-ilmu baru
hasil dari integrasi tersebut dan dapat membantu mereka dalam menyelesaikan
masalah sehari-hari dalam masyarakat.
Dari pemikiran tersebut maka artikel ini akan membahas lebih dalam
mengenai integrasi antara dua ilmu yang mempunyai kajian yang berbeda yaitu
ilmu-ilmu sosial dan ilmu hadis, baik dilihat dari posisi ilmu-ilmu tersebut,
relasi antar keduanya serta pemahaman hadis dengan perangkat ilmu-ilmu sosial.
B.
Posisi
Ilmu-Ilmu Sosial dan Hadis
1. Pengertian
Ilmu Sosial, Ruang Lingkupnya, dan Posisinya
Secara umum ilmu pengetahuan sosial atau
dalam bahasa asing social studies adalah satu bidang studi yang merupakan hasil
kombinasi atau perpaduan dari sejumlah ilmu-ilmu sosial, ilmu pengetahuan
sosial ini masih bersifat elementer, dasar dan fundamental. Sementara itu dalam
perguruan tinggi ilmu pengetahuan sosial sudah berkembang, oleh karena itu ilmu
yang dipelajari pada tingkat perguruan tinggi biyasanya dikatakan dengan
istilah “Social Science”. [1]
Secara bahasa ilmu sosial berasal dari dua
kata yaitu ilmu dan sosial. Ilmu dalam istilah bahasa arab berasal dari kata
“Alima” yang mempunyai arti ‘tahu’, wissenschaft dalam bahasa jerman, dan
wetenschap dalam bahasa belanda yang semuanya berarti “tahu”.[2]
Sedangkan dalam bahasa inggris
ilmu dikatakan science, istilah ini pada mulanya berasal dari bahasa latin
scienta yang mempunyai arti pengetahuan, sedangkan kata scienta asalnya dari
kata kerja scire yang artinya mempelajari atau mengetahui. Pada
tahun 1999 The Liang Gie mengemukakan pendapatnya bahwa ilmu dipandang sebagai
kumpulan pengetahuan sistematis, metode penelitian, dan aktivitas penelitian.
Sedangkan menurut Soekanto pada tahun 1986
ilmu pengetahuan ialah pengetahuan yang disusun secara sistematis dengan
menggunakan kekuatan pikiran, pengetahuan juga dapat diperiksa dan ditelaah
secara kritis oleh orang lain yang ingin mengetahuinya. Jadi dapat disimpulkan
oleh Johnstone bahwa tidak semua pengetahuan itu adalah ilmu, karena ilmu hanya
sebatas pada pengetahuan yang didapat secara sistematis.[3]
Sedangkan istilah sosial sendiri berasal
dari bahasa inggris “Social” yang mempunyai arti sangat luas karena yang
menjadi objeknya adalah masyarakat atau manusia yang selalu berubah-ubah. Jadi
yang dimaksud dengan ilmu sosial secara lebih jauh menurut Ralf Dahrendrof
yaitu suatu konsep yang mempunyai sifat ambisius untuk menjelaskan berbagai
disiplin akademik yang mempunyai perhatian pada aspek-aspek manusia dalam
masyarakat. Bentuk tunggal dari ilmu sosial ini menunjukan sebuah komunitas dan
pendekataan yang sekarang ini hanya di akui oleh beberapa orang saja. Ilmu
sosial sendiri mencangkup banyak bidang
diantaranya sosiologi, antropologi, psikologi, ekoomi, geografi sosial,
politik, sampai dengan ilmu sejarah meskipun di lain sisi ilmu sejarah
merupakan ilmu humaniora.[4]
Terkait dengan ruang lingkup ilmu sosial
sampai saat ini sebenarnya para ahli tidak memiliki kesepakatan yang pasti
mengenai ruang lingkup ilmu sosial. Pada tahun 1997 Wallerstein mengungkapkan
dan mengelompokan yang masuk ke dalam ilmu sosial itu antara lain sosiologi,
geografi, antropologi, sejarah, ekonomi, hukum, psikologi, dan ilmu politik.
Namun pendapat yang berbeda dikatakan oleh Brown pada tahun 1972 didalam
karyanya Explanation in social science, dia berpendapat bahwa yang masuk
kedalam kelompok ilmu sosial adalah psikologi, ilmu politik, demografi,
sejarah, ekonomi, antropologi, dan sosiologi.
Dari kedua pendapat tokoh tersebut yang menjadi perbedaan mendasar ialah
terletak pada pendapat Wallerstain yang ada tambahan ilmu hukum, sedangkan
dalam pendapat Brown ditambahi dengan ilmu demografi, meskipun ada perbedaan
pendapat diantara para ahli mengenai apa yang disebut ilmu sosial namun pada
dasarnya semua menuju kepada pemahaman yang sama bahwa ilmu sosial adalah ilmu
yang mempelajari prilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan bermasyarakat.[5]
Ilmu-ilmu sosial sebenarnya mempunyai
tujuan untuk mempelajari dan membahas tentang keteraturan-keteraturan yang
terdapat pada hubungan antar manusia, namun keteraturan didalam hubungan antar
manusia ini bisa berubah dari waktu ke waktu. [6]
Sehingga dalam hal ini posisi ilmu-imu
sosial adalah sebagai objek formal kajian, selain itu ilmu sosial sekarang ini
bisa dijadikan sebagai ilmu sosial transformatif karena berbeda dengan
ilmu-ilmu sosial akademis maupun ilmu sosial kritis seperti dahulu, selain itu
posisi ilmu sosial sekarang tidak hanya sebagai pengetahuan untuk menjelaskan
fenomena sosial saja namun juga
dijadikan sebagai upaya untuk mentransformasikannya.[7]
2. Pengertian
Hadis dan Posisinya
Istilah hadis menurut bahasa arab (al-hadits)
mempunyai arti yang lumayan banyak seperti al-jadid (baru), al-khabar (berita),
pesan keagamaan serta pembicaraan.[8] Sedangkan
jika digunakan sebagai kata sifat maka hadist mempunyai arti “baru”, dalam al-
qur’an sendiri kata hadist sering sekali digunakan bahkan mencapai 23 kali.[9]
Kata hadist sendiri juga sering digunakan
oleh nabi muhammad saw dalam berbagai hal, misalnya untuk membahas komunikasi
religius, percakapan atau cerita baik dalam ranah pribadi maupun umum, dalam
menyampaikan kisah-kisah historis serta kisah rahasia,atau percakapan
kontemporer, hal ini dapat terjadi karena pada masa awal-awal islam kisah dan
komunikasi nabi menjadi yang lebih dominan (mendominasi) dalam berbagai bidang
terutama dalam hal komunikasi saat itu, bahkan kata hadist sering digunakan
hampir secara khusus untuk menjelaskan riwayat tentang nabi.[10]
Sedangkan hadist
menurut istilah mempunyai perbedaan pendapat diantara ahli ushul dan ahli
hadits. Menurut pendapat ahli hadis, hadis yaitu semua yang diriwayatkan oleh
nabi muhammad baik dalam hal himmah, sejarah kelahiran, karakteristik serta
kebiyasaan-kebiyasaannya. Namun pendapat berbeda diungkapkan oleh ahli ushul
terkait definisi hadits, menurut mereka definsi hadist yaitu segala sesuatu
yang bersumber dari nabi muhammad saw serta tidak ada kaitannya dengan hukum
maupun mengandung misi kerasulannya misalnya dalam hal tata cara berpakaian,
tidur dan makan, tidak termasuk hadist.[11]
Posisi hadits sendiri dijadikan sebagai
sumber kedua dalam islam dan sebagai sumber hukum islam. Dengan kata lain
posisi hadits sebagai sumber hukum islam ini, menjadikan kita harus meletakan
hadis dalam konteks khusus ushul fiqih. Menurut para ulama ushul fiqih hadits
merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW baik dalam
hal perbuatan, ketetapan maupun ucapannya.[12]
C. Relasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Hadis Nabi
Relasi
merupakan hubungan antara dua atau beberapa
hal yang membentuk satu kesatuan yang padu dan tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Beberapa hal ini akan saling melengkapi satu sama lain dengan konteks
masing – masing keilmuan dan memberikan berbagai manfaat di kehidupan manusia. Keterpaduan
beberapa aspek yang menjadikan beberapa disiplin ilmu sangat berkaitan dengan
beberapan hadits sosial. Ulama memadukan tiga aspek disiplin ilmu untuk upaya relasi dan integrasi keilmuan yakni aspek spiritual, aspek
intelektual, dan aspek moral. Keterpaduan ketiga aspek tersebut disamakan
kedudukannya dengan keterpaduan akidah, syari’ah dan akhlak. [13]
Kehidupan
manusia tidak lepas dari aturan dan norma yang tercantum dalam Al Qur’an dan
Hadits. Berdasarkan keterikatan kedua aspek kehidupan dan sumber kehidupan
sosial inilah relasi antara hadits dan sosial sangat penting dalam
pengkajiannya. Kesenjangan sosial dan masalah – masalah sosial yang terjadi
dimasyarakat dengan berbagai bidang keilmuan terutama dibidang sosial dengan
beberapa hadits yang dalam penerapan atau pengaplikasiannya berbeda dengan
kondisi yang seharusnya sama dengan kondisi pada zaman Rasulullah SAW.
Perpaduaan
dimensi ketuhanan dengan kemanusian yang dikhususkan pada ilmu sosial dan
hadits, pada hakikatnya merupakan sebuah pembahasan besar dalam relasi dan integrasi keilmuan dengan agama. Dengan adanya
hal ini pada hakikatnya agama dengan keilmuan atau kehidupan sosial tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Kedua aspek ini tidak boleh berdiri sendiri tetapi
saling melengkapi dalam permasalahan kehidupan sosial yang ada.[14]
Secara lebih
spesifiki konteks kajian hadits memang memiliki kesamaan tentang muatan unsur
ketuhanan tetapi bisa disadari bahwasannya berbeda dengan Alqur’an.
Bila ditinjau dari sumbernya misalnya, Al Qur’an secara konkrit merupakan
sumber yang asli dan merupakan kalam Allah SWT tanpa adanya intervensi. Berbeda
dengan hadits yang bersumber dari tuhan dan ijtihad pribadi dari sisi
kemanuasiaan Nabi. Hal ini yang menjadi landasan kuat adanya integrasi hadits
dengan sosial yang mana harus disesuaikan dengan kondisi kehidupan dan
kemanusiaan.[15]
D. Pemahaman
Hadits Dengan Perangkat Ilmu Sosial
Cara
- cara yang baik untuk memahami hadis Nabi SAW. Adalah dengan memperhatikan
beberapa sebab khusus yang menjadi latar belakang
diucapkannya hadits, atau yang berkaitan dengan ‘illah (alasan, sebab)
tertentu, yang disimpulkan darinya, ataupun bisa dipahami dari keadaan dan
kejadian yang menyertainya.
Siapapun
yang ingin meneliti dengan saksama, pasti akan terlihat hadits –hadits yabng
terucap berkaitan dengan kondisi khusus untuk memecahkan masalah demi mencapai
kemaslahatan yang diharapkan pada saat itu. Hukum yang yang dibawa oleh sebuah
hadits adakalanya akan memliki runtutan waktu yang tidak ada batasannya tetapi
ada juga hilang akibat dari suatu waktu yang berbeda atau perkembangan zaman.
Beberapa perhatian khusus bisa diketahui semuanya berkaitan dengan ‘illah
tertentu yang membuat hadits itu tetap berlaku dan tidaknya. [16]
Hadits
merupakan hal yang menangani berbagai masalah yang bersifat maudi’iy. Juz’i dan
‘ani dan juga didalalamnya memuat berbagai hal yang yang bersifat khusus dan
rinci yang tidak terdapat didalam Al Qur’an. Oleh sebab itu harus adanya proses
pemilahan hal – hal yang bersifat khusus dan umum, yang sementara dan yang
abadi, dan antara yang pertikular dan universal. Semua itu tidak lepasa dengan
kondisi lingkungan dan ‘Illah atau sebab diucapkannya, dipahaminya, dan
disimpulkannya suatu hadits.[17]
Contoh
pemahaman hadits :
Disebutkan dalam
Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Abbas, secara marfu’ :
“Tentang
keharusan wanita disertai mahramnya
ketika berpergian jauh”
لاتسفر اممرأة
إلا وممعها محرم
“Tidak diperbolehkan seorang perempuan berpergian
jauh kecuali ada seorang mahram bersamanya”
‘Illah dibalik
larangan hadits diatas adalah kekhawatiran akan keselamatan seorang perempuan
bila berpergian jauh tanpa bersama seorang pendamping suami atau mahram. Hal
ini merupakan suatu alasan seorang perempuan yang dikhawatirkan keselamatannya
pada zaman itu. Dimana dalam kondisi dipadang pasir yang luas seorang diri
menunggang seekor unta atau keledai keselamatan perempuan menjadi sebuah
pertaruhan dan dengan berbagai hal kekhawatiran yang membuat nama baiknya
tercemar.[18]
1.
Pemahaman hadits dengan perangkat ilmu – ilmu sosial.
Pemahaman yang
dilakukan untuk memahami suatu hadits dari segi perangkat ilmu sosial dengan
menelaah beberapa aspek sejarah yang terjadi pada zamna Nabi dengan begitu
studi pemhaman hadits tidak berhenti pada naqd, sanad dan matan saja. Upaya
pembongkaran isi dan makna dari suatu hadits yang terkandung didalamnya yang
dipadukan dengan pendekatan historis yang kritis, yang bersifat mikro maupun
makro. Hal ini sangat penting mengingat kondisi pada masa Rasulullah SAW dengan
masa sekarang sangat berbeda jauh. Dengan hasil dari upaya yang dilakukan dapat
diketahui latar belakang serta maksud munculnya hadits dan bisa dipahami dan
diterapkan haditsnya dengan kondisi masa sekarang.[19]
Menurut Dr.
Yusuf Qadhawi dalam bukunya yang sudah diterjemahkan oleh Muhammad Al Baqir
bahwasannya ada 8 petunjuk dan ketentuan umum untuk memahami hadits dengan
baik.
a. Memahami
hadits sesuai dengan petunjuk Al Qur’an
Dalam memahami hadits dengan pemahaman
yang benar yang jauh dari penyimpangan, palsu dan penafsiran yang buruk
haruslah memahaminya sesuai dengan petunjuk Al Qur’an. Dalam memahami sesuai
dengan bimbingan sang Ilahi akan pasti kebenarnya dan tidak ada keraguan
didalmnya. Sesuai dengan firmannya :
وَتَمَّتْ
كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan
telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan keadilannya. Tidak ada
yang dapat mengubah – ubah kalimat Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui” (QS. Al An’am : 115)
Perlunya Penelitian Saksama tentang
Keberlawana Suatu Hadits dengan Al Qur’an
Tentang hal ini mengingatkan
bahwasanya jangan sembarangan melontarkan tuduhan adanya keberlawan antara hadits
dan Al Qur’an, tanpa adanya dasar yang benar.
Pada masa yang lalu kaum Mu’tazilah sangat
jauh menyimpang dari kebenaran saat mereka menolak hadits – hadits shahih dan
dikenal secara luas mengenai akan diberinya syafa’at diakhirat kepada Rasulullah
SAW dan saudara beliau.
b. Menghuimpun
Hadits – Hadits yangTerjalin dalam Tema yang sama.
Dalam memahami hadits agar benar
harus menghimpun semua hadits yang shahih yang berkaitan dengan suatu tema
tertentu dan sama. Lalu dikembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang
muhkam, mengaitkan yang muthlaq dengan yang muqayyad, dan menafsirkan yang ‘aim
dengan yang khash. Dengan inilah dapat dimengerti maksud lebih jelas dan tidak
dipertentangkan antara beberapa hadits satu dengan hadits yang lainnya.
c. Penggabungan
atau Pentarjihan antara Hadits – Hadits yang (Tampaknya) Bertentangan
Pada dasarnya, nash syariat tidak
mungkin bertentangan. Karena kebenaran tidak akan bertentangan dengan
kebenaran. Jika berandai bahwasanya danya pertentangan maka itu hanya tampak
pada sisi luarnya saja tetapi bukan dalam kenyataan yang hakiki.
d. Memahami
Hadits dengan Mepertimbangkan Latar Belakangnya, Situasi dan Kondisinya Ketika
Diucapkan, serta Tujuannya.
Dengan memeperhatikan sebab sebab
khusus yang menjadi latar belakang hadits itu diucapkan yang dikaitkan dengan
‘Illah (alasan. Sebab). Siapapun yang
yang ingin meneliti hadits dengan saksama harus melihat bahwasannya diantara
hadits – hadits yang diucapkannya berkaitan dengan kondisi khusus yang
menjadikan dan pemecahan permasalahan untuk mendapatkan apa yang diharapkan dan
mencapai kemaslahatan.
e. Membedakan
antara Sarana yang Berubah – ubah dan Sasaran yang Tetap
Dengan membedakan tujuan dan
sasaran yang akan dicapai oleh hadits dengan prasana temporer atau lokal yang
biasanya menunjang pencapaian sasaran yang dituju agar tidak terjadi kekeliruan
dalam memahami hadits.
f. Membedakan
antar Ungkapan yang Bermakna Sebenarnya dan yang bersifat Majaz dalam Memahami
Haidts.
Banyak sekali ungkapan – ungkapan
yang berbentuk majaz dalam bahasa arab. Ungkapan dalam bentuk majaz lebih
berkesan dalam pengungkapannya dibandingkan dengan ungkapan biasanya. Hal ini
juga didasari bahwa Rasulullah SAW merupakn seorang yang berbahasa aran paling
menguasai Balaghah. Majaz disini merupkan majaz lughawi, ‘aqliy, isti’arah,
kinayah dan berbagai ungkapan yang hanya dapat dipahami dengan indikasi yang
menyertainya yang bersifat tekstual maupun kontekstual.
g. Membedakan
antara Alam Ghaib dan Alam Kasatmata
Salah satu kandungan hadits ialah
mengenai hal – hal yang berkaitan dengan alam ghaib dan sebagian menyangkut
makhluk – makhluk yang tidak dapat dilihat. Malaikat diciptakan oleh Allah SWT
untuk melakukan tugas dan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.
وَمَا
يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ... …
“…Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia
Sendiri…”
h. Memastikan
Makna dan Konotasi kata – kata dalam hadits
Susunan hadits dipastikan dengan
makna dan konotasi kata – kata yang digunakan. Karena kata – kata yang
berkonotasi akan berubah dari zaman ke zaman lainnya dan dari suatu lingkungan
dengan lingkungan yang lainnya.
Dalam buku Dr.
Yusuf Qardhawi, Imam Ghazali telah mengingatkan bahwasannya beberapa ilmu dan
makna – makna telah berubah sejak digunakan pada saat masa – masa ulama salaf.
Oleh sebabtu, Imam Ghazali memberi peringatan tentang bahaynya perubahan
tentang makna kata – kata yang berkonotasi dan dapat menyesatkan pemahaman
orang – orang dalam penelitiannya kurang teliti dalam mendefinisikan konsep –
konsep. Oleh
sebab itu Imam Ghazali menulis sebuah bab yang penting dalam kitab Ihya’ ‘Ulum
Ad- Din sebagai berikut, :
“Ketahuilah,
bahwa asal-mula terkacaunya ilmu-ilmu yang tercela dengan ilmu-ilmu syariat,
adalah penyimpangan dan penggantian nama-nama yang baik, kemudian pengalihannya
– berdasarkan tujuan-tujuan yang buruk – kepada makna-makna yang tidak
dimaksudkan oleh para salaf yang baik-baik serta para tokoh abad pertma. Semua
ada lima kata yaitu: fiqh, ‘ilm, tauhid, tadzkir (penyuluhan, dan himah.
Kelima-limanya adalah nama-nama terpuji;sedangkan para penyandangnya dalah
orang-orang yang memegang jabatan-jabatan dalam agama. Akan tetapi, kelima
kalimat itu kini telah dialihkan kepada makna-makna tercela,sehingga membuat
banyak orang menjauhkan diri dari mereka yang menyandang sifat-sifat seperti
itu atau dikenal secara luas sebagai tokoh-tokohnya”[20]
2. Penerapan Integrasi Hadits dengan Sosial.
a. Etika
Membuang hajat.
عَنْ
الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ إِذَا ذَهَبَ الْمَذْهَبَ أَبْعَد
Dari Mughirah bin Syu’bah RA, bahwa
ketika Rasulullah SAW hendak membuang hajat, maka beliau akan pergi menjauh.
Keterangan : Hadits Shahih. Diriwayatkan
oleh Abu Daud (no.1), Nasa’i (no. 17), Tirmidzi (no. 20) dan Ibnu Majah (no.
268).
Kandungan hukum hadits :
1) Menjauhkan diri ketika membuang hajat
merupakan sebuah keharusan hingga tidak terlihat oleh pandangan orang lain
disekitar. Sebab seseorang yang mau membuang hajat perlu untuk membuka sebagian
besar pakaian serta membuang hajat menyisakan bau yang tidak enak.[21]
Hal ini patut dilakukan untuk
menjaga malu serta etika ketika membuang hajat.
Nah, pembahasan hadits tentang
membuang hajat pada zaman Rasulullah berbeda dengan zaman sekarang yang semakin
maju. Pada zaman Rasulullah SAW tidak ada kamar khusu untuk memembuang hajat
sehingga harus menjauh dari keramaian, lain halnya dengan zaman modern
sekarang. Pada zaman modern saat ini kita tidak perlu untuk membuang hajat yang
jauh ditempat yang tidak dilihat oleh orang, namun sekarang sudah adanya kamar
khusus untuk membuang hajat.
Kondisi saat masa Rasulullah SAW
dengan kondisi masa sekarang sangat jauh berbeda. Dengan begitu hadits ini bisa
disesuaikan dengan kondisi masa sekarang dibandingkan dengan masa Rasulullah
SAW. Namun perlu diketahui bahwasannya kita
tidak boleh sembarangan menafsirkan hadits dan menyesuaikan hadits dengan
kondisi saat ini.
E. Kesimpulan
Ilmu sosial merupakan ilmu yang membahas hubungan interaksi antara manusia
satu dengan manusia lainnya baik dalam hubungan antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Ilmu
sosial sendiri mempunyai ruang lingkup yang sangat luas antara lain ilmu
sosiologi, ilmu geografi, ilmu sejarah, ilmu ekonomi, antropologi, dan politik.
Sedangkan relasi dan integrasi ilmu-ilmu sosial dan hadist nabi pada dasarnya
merupakan cara baru untuk menyatukan antara dua bidang ilmu yang berbeda, yaitu
ilmu agama dengan ilmu-ilmu sosial. selain itu inti dari integrasi dua cabang
ilmu ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa dalam islam tidak ada pembedaan
antara ilmu agama dengan ilmu umum. Kedua ilmu ini tidak boleh berdiri sendiri secara
terpisah tetapi harus dipadukan dan secara bersama-sama dapat digunakan untuk membantu dan memecahkan
masalah-masalah yang ada di masyarakat.
Azami, Musthafa.
1997. Memahami Ilmu Hadis. Jakarta :
Lentera
Afwadzi, Benny. 2016“Membangun Integrasi Ilmu-ilmu sosial dan
Hadits Nabi”. Jurnal Living Hadis, Volume 1, Nomor 1, Mei 2016.
Hamalik, Oemar. 1992. Studi Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung : Mandar Maju
Iskandar, Syahrullah. 2016. Studi Al.Qur’an Dan Integrasi Keilmuan:Studi Kasus.Bandung : Uin Sunan Gunung Djati
Kholis, Nur. 2008. Pengantar Studi Al.Qur’an Dan Hadis.Yogyakarta : Teras
Kuntowijoyo. 2008. Paradigma Islam
Interpretasi Untuk Aksi.Bandung : PT. Mizan Pustaka
Muhammad bin
Kamal Khalid As – Syuyuthi. 2006. Kumpulan Hadits yang disepakati Empat Imam
(Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah. Jakarta: Pustaka Azzam.
Qardhawi, Yusuf. Bagaimana
Memahami Hadis Nabi SAW. Bandung: Karisma
Supardan, Dadang. 2008. Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian
Pendekatan Struktural. Jakarta : PT.Bumi Aksara
Suhada, Idad. 2017. Ilmu Sosial Dasar. Bandung : PT.Remaja Rosdakarya
Supadie, Ahmad Didiek dkk. 2011. Pengantar Studi Islam. Jakarta : PT.
Raja Grafindo
Sumbulah, Umi dkk. 2014. Studi Al.Qur’an Dan Hadis. Malang : Uin
Maliki Press
Zuhri, Muh. 2003. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : PT. Tiara
Wacana Yogya
Catatan:
Similarity 11%, cukup baik. Hanya
saja, pembahasan mengenai Yusuf al-Qaradhawi tidak perlu dicantumkan, sebab itu
kurang relevan dengan judul makalah. Contoh pemahaman hadis dengan ilmu sosial
pun Cuma satu, harusnya mencari tiga hadis paling tidak. Lihat artikel saya
yang berjudul “Integrasi Ilmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial dengan Pemahaman
Hadis Nabi”, bisa diunduh di repository saya.
[2] Didiek Ahmad Supadie,
Pengantar Studi Islam, PT.
Rajagrafindo Persada: Jakarta, 2011, hlm., 229.
[3] Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian
Pendekatan Struktural, Bumi Aksara: Jakarta, 2013, hlm., 22-24.
[4] Ibid., hlm. 30.
[6] Idad Suhada, Ilmu Sosial Dasar, PT. Remaja
Rosdakarya: Bandung, 2016,hlm., 3.
[7] Kunto Wijoyo, Paradigma Islam, Mizan Pustaka: Bandung,
2008,hlm., 482.
[8] Muh Zuhr, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis,
PT. Tiara Wacana: Yogyakarta, 2003,hlm., 1.
[9]
M.Azami, Memahami Ilmu Hadis,
Lentera: Jakarta, 1993, hlm., 3.
[10]
Ibid., hlm. 4-5.
[11] Nur Kholis, Pengantar Studi
Al-Quran dan Al-Hadits, Teras: Yogyakarta, 2008, hlm., 162-163.
[12]
Umi Sumbulah dkk, Studi Al-Qur’an Dan
Hadis, Uin Maliki Press: Malang,2014, hlm., 35.
[13] Syahrullah
Iskandar, “Studi Al.Quran Dan Integrasi Keilmuan:Studi Kasus Uin Sunan Gunung Djati Bandung”. 2016, hlm., 87.
[14] Benny
Afwadzi, “Membangun Integrasi Ilmu-ilmu
sosial dan Hadits Nabi”. Jurnal Living Hadis, Volume 1, Nomor 1, Mei 2016,
106.
[21] Muhammad
bin Kamal Khalid As – Syuyuthi, Kumpulan
Hadits yang disepakati Empat Imam (Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah,
Buku Islam Rahmatan, 2006, hlm., 61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar