QAWAID FIQHIYYAH
Fuadiyatul Luthfiyah, Moch. Alliff
Bin Sarbaini
Mahasiswa PAI B angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang
Abstract:
This article describes the science of ushul fiqh which discusses the
material qawaid fiqhiyyah. Qawaid Fiqhiyyah are the laws of kulliyah
that are plucked from the arguments kulli or universal. Because qawaid
fiqhiyyah is related to human attitudes and behavior, it is often used
widely, is necessary in life and to solve personal problems, problems in the
family, or also problems that occur in society in general. In detail the fiqh
material goes back to hundreds of fiqh rules, but it is important to
know there are five rules of fiqh considered by some scholars to be the
basic and general principles of all fiqh material.
Keywords:
Qawaid Fiqhiyyah
Abstrak:
Artikel ini menjelaskan tentang ilmu ushul fiqh yang membahas mengenai
materi qawaid fiqhiyyah. Qawaid Fiqhiyyah adalah kaidah-kaidah
hukum yang bersifat kulliyah yang dipetik dari dalil-dalil kulli atau
universal. Oleh karena qawaid fiqhiyyah ini berkaitan dengan sikap dan
tingkah laku manusia, maka sering digunakan secara luas, diperlukan dalam
kehidupan dan untuk memecahkan masalah-masalah yang bersifat pribadi,
masalah-masalah dalam keluarga, atau juga masalah-masalah yang terjadi dalam
masyarakat pada umumnya. Secara rinci materi fiqh itu kembali kepada
ratusan kaidah fiqh, namun yang penting diketahui ada lima kaidah fiqh
yang dianggap oleh sebagian ulama menjadi dasar dan prinsip umum dari seluruh
materi fiqh.
Kata
Kunci: Qawaid Fiqhiyyah
A.
PENDAHULUAN
Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah dan sunnah Rasulullah merupakan
sumber Hukum Islam yang paling utama. Bila dibandingkan dengan jumlah
keseluruhan ayat dalam Al-Qur’an, ayat yang membahas tentang hukum tidaklah
banyak. Jadi, tidak semua masalah hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia
itu bisa dipecahkan secara rinci dan tegas
didalam Al-Qur’an dan sunnah.
Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan yang tidak bisa
dipecahkan secara rinci dan tegas di dalam Al-Qur’an dan sunnah itu bisa
dipecahkan melalui Ijtihad para Ulama’. Jadi, para ulama’ mencoba untuk
mengkaji gagasan pikiran mereka melalui Istinbath yang mengacu pada
kaidah-kaidah dasar.
Melalui kaidah-kaidah dasar inilah dapat ditemukan titik temu
antara ijtihad yang satu dengan ijtihad yang lain. Aturan-aturan pokok inilah
yang disebut dengan al-qawaid al-fiqhiyyah. Dimana qawaid fiqhiyyah ini
bertujuan untuk menjaga ruh Islam dalam merealisasikan hukum-hukum Islam, yang
berupa pemeliharaan maslahat dan penolakan mafsadat.
B.
PENGERTIAN
QAWAID FIQHIYYAH
Secara etimologi, kaidah adalah asas (dasar), yaitu yang menjadi
dasar berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan
pondasinya (pokoknya). Sedangkan definisi kaidah secara istilah adalah
ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai
hukum dan bagian-bagiannya.[1]
Secara bahasa qawaid juga bisa diartikan sebagai pondasi
atau dasar yang berkaitan dengan hukum Islam. Maksudnya yaitu pedoman dasar
untuk beberapa ulama’ yang berijtihad dalam menetapkan hukum Islam melalui
metode Istinbath.
Menurut Imam As-Syatibi, “qawaid harus bersifat qath’i dan
bukan diambil hanya dari satu dalil, tetapi harus diambil dari pemeriksaan
sejumlah dalil yang menunjukkan pada satu pengartian yang sejalan dengan
al-Qur’an dan sunnah.”[2]
Perkembangan Hukum Islam disesuaikan terhadap keadaan waktu dan
tempat, oleh karena itu terdapat beberapa perubahan pada hukum yang bersifat tafsili
(perincian). Selain itu, terdapat hukum mengenai permasalahan Fiqh Muamalah
yang walaupun berbeda waktu dan tempat tidak mengalami perubahan. Beberapa
contoh ketetapan yang tidak akan berubah hukumnya, yaitu: pelarangan berzina,
memakan harta orang lain yang bukan haknya, dilarangnya membunuh, dan lain
sebagainya.
Fiqhiyyah berasal dari bahasa Arab فقه
yaitu suatu ilmu yang membahas tentang Hukum atau Syariat Islam dimana
pembahasannya dikhususkan pada masalah hukum tentang kehidupan manusia
(Hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia yang
lain, dan hubungan manusia dengan Sang Pencipta yaitu Allah SWT. Adapun ruang
lingkup Fiqh menurut para Fuqaha meliputi hukum amali tentang tata cara
beribadah, dan lain lain.
Dari keterangan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian Qawaid
Fiqhiyyah secara bahasa adalah dasar-dasar yang bertalian dengan
masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fiqh), sedangkan menurut istilah adalah
kaidah-kaidah hukum yang bersifat kulliyah yang dipetik dari dalil-dalil kulli
atau universal (yaitu ayat dan hadis yang menjadi pokok kaidah-kaidah kulliyah
yang dapat disesuaikan dengan berbagai juziyyah).[3]
Sebagian besar para Ulama’ Fiqh berpendapat mengenai Qawaid
Fiqhiyyah, dimana Qawaid Fiqhiyyah yaitu berbagai aturan yang
membahas tentang beberapa perbuatan para mukallaf (orang beragama Islam yang
telah diberikan kewajiban untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya). Dan perbuatan para mukallaf tersebut menjadi ruang lingkup Qawaid
Fiqhiyyah.
Ilmu Syariah memilki beberapa cabang pembahasan, salah satunya
adalah Qawaid Fiqhiyyah. Oleh sebab itu penting bagi kita untuk
mempelajari Qawaid Fiqhiyyah, tetapi kebanyakan para mukallaf sering
meremehkan atau sama sekali tidak menganggap penting Qawaid Fiqhiyyah
itu sendiri. Sehingga banyak dari para mukallaf tidak memahami betapa
pentingnya dan betapa besar manfaatnya jika para mukallaf mempelajarai Qawaid
Fiqhiyyah.
C.
SEJARAH
PERKEMBANGAN QAWAID FIQHIYYAH
Materi Qawaid fiqhiyyah di dalam pembahasan tarikh
al-tasyri’ al-islamiy (sejarah perkembangan hukum Islam) tidak diterangkan
secara menyeluruh. Begitupun juga di dalam buku-buku mengenai tarikh al-tasyri’
al-islamiy tidak ada kajian pebahasan tentang pengertian qawaid
fiqhiyyah, urgensi qawaid fiqhiyyah di dalam kehidupan, dan
kedudukan qawaid fiqhiyyah dalam hukum Islam. Oleh karena itu, melakukan
pengkajian mengenai sejarah pembentukan, pengkodifikasikan, dan pemantapan qawaid fiqhiyyah itu
sangatlah penting. Pengkajian tersebut, kurang lebih akan memberikan kemudahan
untuk mengetahui urgensi dan derajat qawaid fiqhiyyah dalam Syariat
Islam.
Menurut Ali Ahmad Al-Nadawi, perkembangan qawaid fiqhiyyah dapat
dibagi ke dalam tiga fase berikut:[4]
1.
Fase
pertumbuhan dan pembentukan (Abad 1-3 H)
Masa kerasulan
dan masa Tasyri’ (pembentukan hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawaid
fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadis-hadis yang jawami’ ammah
(singkat dan padat). Hadis-hadis tersebut dapat menampung masalah-masalah fiqh
yang sangat banyak jumlahnya.[5]
Kaidah-kaidah
yang terkumpul di dalam qawaid fiqhiyyah berbeda dengan kitab
Undang-Undang Hukum Positif yang pembentukannya dilakukan secara langsung oleh
beberapa orang yang mampu di bidang hukum, tetapi qawaid fiqhiyyah disini
pembentukan dan pengumpulannya tidak terjadi secara langsung yaitu dengan
memformulasikan perlahan-lahan secara terus menerus sampai banyak yang
terkumpul.
Formulasi-formulasi
kaidah tersebut merupakan perolehan dari dilakukannya pengkajian melalui metode
istinbath yang diambil dari ayat-ayat Syari’ah yang memilki sifat universal
atau menyeluruh, asas-asas ushul fiqh, letak persamaan hukum, serta hasil
pemikiran para ahli fiqh dan ahli sejarah.
Imam Mazhab
mempunyai konsep pemikiran tertentu dalam melakukan istinbath terhadap suatu
hukum, oleh karena itu perolehan dari istinbath nya dapat dinilai dengan
faktual oleh seluruh manusia yang mengikutinya. Meskipun demikian keahlian
setiap Imam Mazhab berbeda-beda, penyebabnya adalah latar belakang perbedaan
situasi dan kondisi tempat tinggal para Imam Mazhab.
Dari hal tersebut,
para Imam Mazhab menciptakan abstraksi gagasan utama pemikirannya melalui dasar
dari beberapa kaidah, sebagai patokan dalam melakukan metode istinbath.
Pada umumnya
sulit untuk diketahui siapa penulis pertama dari tiap-tiap kaidah. Yang dapat
diketahui dengan mudah penulis pertamanya ialah kaidah yang berbunyi:[6]
لاَ
ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ
“Perumusan
kaidah ini berasal dari Hadis”
Kebanyakan
qaidah fiqhiyyah adalah buah pemikiran para ahli fiqh yang berbeda-beda mazhab,
dimana untuk mengetahui penulis pertamanya itu sangat sulit.
2.
Fase
perkembangan dan pengkodifikasian
Dalam sejarah
hukum Islam, abad ke-4 H dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini,
sebagian besar ulama melakukan tarjib pendapat Imam Mazhabnya masing-masing. Yang dilakukan ulama pengikut
mazhab adalah ilbaq (melakukan analogi atau qiyas).[7]
Ekspedisi
tarikh Islamiyah memperlihatkan bahwa orang yang pertama kali membahas qawaid
fiqhiyyah adalah para ahli fiqh dari kalangan mazhab Hanafi. Selain itu,
dalam pembentukan ushul mazhab, para ahli fiqh Hanafiah memiliki dasar
pemikiran yang berpedoman pada para imam mazhab mengenai hukum furu’.
Contohnya, Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani mengutarakan suatu persoalan,
kemudian dari persoalan itu beliau menciptakan berbagai hukum furu’ yang sukar
untuk diingat dan dimengerti. Keadaan tersebut menyebabkan para ahli fiqh hanafiah
memiliki keinginan kuat untuk menciptakan beberapa qawaid.
Usaha
kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyyah bertujuan agar, kaidah-kaidah itu dapat
berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa berikutnya, serta untuk
mempertahankan loyalitas hasil ijtihad para mazhab, sehingga bagi pengikutnya
tidak bermazhab bi al-qaul (hasil
ijtihad), tetapi mereka dapat mermazhab bi al-manhaj (metodologi).[8]
Perkembangan
kodifikasi qawaid fiqh tampak lebih maju, dibandingkan pada zaman sebelumnya,
pada abad VII H. Pada abad ini ulama menyusun kitab-kitab kaidah fiqh sebagai
berikut:[9]
a.
Al-Qawa’id fi
al-Furu’ al-Syafi’iyyat karya Muhammad Ibn Ibrahim al-
Jajarmi al-Sahlaki
b.
Qaawa’id al-Ahkam
fi Mashalih al-Anam karya Izz al-Din Ibn ‘Abd al-salam
c.
Al-Mudzhab fi
zdhabth Qawa’id al-Madzhab karya Muhammad Ibn ‘Abd Allah Ibn
Rasyid al-Bakri al-Qafsi
Ulama yang mengikuti golongan mazhab Syafi’i merupakan orang yang
menyusun kitab pertama dan kedua, sedangkan ulama yang mengikuti golongan
mazhab Maliki adalah penyusun kitab yag ketiga. Dengan demikian, terjadilah pergeseran
pendominasian madzab dalam mengkodifikasi dan mengembangkan Qawaid Fiqhiyyah,
pada tahun IV dan V Hijriah pengkodifikasian dan pengembangan didominasi oleh
aliran mazhab Hanafi dan pada tahun ke VII pengkodifikasian dan pengembangan
didominasi oleh aliran mazhab Syafi’i.
3.
Fase pemantapan
dan pensistematisan
Pengkodifikasian Qawaid Fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika
disusun Majallat al-Ahkam al-Adliyyah oleh komite (lajnah) fuqaha
pada masa sultan al-Ghazi Abdul Aziz Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada akhir
abad XIII H (1292 H). Majallat al-Ahkam al-Adliyyah ini menjadi rujukan
(referensi) lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.[10]
Qawaid Fiqhiyyah telah
dimasukkan oleh Beberapa ahli Fiqh ke dalam majalah Majallat al-Ahkam
al-Adliyyah, tetapi sebelumnya para ahli fiqih telah melakukan pengkajian
mengenai sumber-sumber fiqh dan juga mengkaji banyak karya tulis tentang qawaid
fiqhiyyah seperti Majami al-Haqaiq karya al-Khadimi (w. 1176 H) dan al-Asybah
wa al-Nadhair karya Ibnu Nujaim (w. 970 H).
Dalam memasukkan qawaid fiqhiyyah ke dalam majalah Majallat
al-Ahkam al-Adliyyah, para ahli fiqh melakukan pemilihan dan pemilahan yang
sangat ketat. Penyusunan majalah tersebut dilakukan oleh para ahli fiqh dengan
menggunakan redaksi seperti pada undang-undang yaitu secara singkat dan padat.
Abad X H,
dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fikih. Meskipun demikian tidak
berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fikih pada zaman sesudahnya.[11]
Program
Pasca-sarjana IAIN Jakarta mempelopori untuk menjadikan Qawaid fiqhiyyah
sebagai disiplin ilmu mandiri di Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah sehingga qawaid
fiqhiyyah menjadi semakin dikenal di kalangan masyarakat Indonesia.
Implikasi dari
diajarkannya kaidah fikih sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri adalah
disusunnya buku-buku kaidah fikih dalam bahasa Indonesia. Buku-buku tersebut
antara lain adalah:[12]
a.
Qaidah-qaidah
Fiqhiyyah karya Asmuni A. Rahman (1976)
b.
Ilmu Fiqh
(al-Qawa’idul Fiqhiyyah) karya Abdul Mujib (1994)
c.
Kaidah-kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah karya Muhlish Usman (1996)
Dapat
disimpulkan dari penjelasan di atas, bahwa qawaid fiqhiyyah yang tercantum
dalam beberapa kitab kaidah dan karya tulis lainnya, tidak semuanya bersifat kaidah
‘ammah yaitu kaidah umum atau universal. Maksudnya adalah ada beberapa
kaidah yang tidak disetujui oleh semua mazhab, akan tetapi banyak juga dari
beberapa kaidah yang termasuk dalam qawaid mazhabiyyah. Yaitu kaidah
yang disetujui hanya oleh beberapa mazhab tertentu saja, tetapi tidak disetujui
oleh mazhab yang lain.
Pada mulanya,
qawaid hanya merupakan pemikiran tentang suatu persoalan, dan setelah adanya
pemantapan dalam pemikiran tersebut, barulah para ahli fiqh membentuknya
menjadi sebuah kaidah. Dengan begitu, secara berangsur-angsur terbentuklah Qawaid
Fiqhiyyah menjadi sebuah disiplin ilmu mandiri.
D.
MACAM-MACAM
QAWAID FIQHIYYAH
Sesungguhnya secara rinci materi fiqh itu kembali kepada
ratusan kaidah fiqh, namun yang penting diketahui ada lima kaidah fiqh
yang dianggap oleh sebagian ulama menjadi dasar dan prinsip umum dari seluruh
materi fiqh.
1.
Kaidah Pertama
اْلاُمُوْرُ
بِمَقَاصِدِهَا
“Segala sesuatu
digantungkan kepada tujuannya”[13]
Maksud dari
kaidah yang pertama ini adalah setiap perbuatan manusia baik dalam perkataan
maupun perbuatan itu semua tergantung kepada niat dari orang yang melakukan
perbuatan tersebut.
Niat sangat
penting dalam menentukan kualitas maupun makna perbuatan seseorang, apakah
seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan
melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang disunnahkan atau yang
dibolehkan oleh agama ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan
niat ibadah kepada Allah tetapi semata-mata karena kebiasaan saja.[14]
Misalnya jika
ada orang yang singgah di salah satu masjid terdekat, lalu orang tersebut
bersantai dengan duduk-duduk atau tiduran di masjid tersebut. Dengan begitu
apakah seseorang tersebut hanya sekedar bersantai atau berniat untuk I’tikaf,
jika orang tersebut berniat untuk I’tikaf maka orang tersebut akan mendapat
pahala karena melakukan ibadah I’tikaf di masjid.
Dan jika
terjadi lafadz perkataan dan maksud perkataan yang bertolak belakang, maka yang
dilihat adalah arti dari perkataan tersebut bukan pada lafadz perkataannya. Hal
itu jika tidak berkaitan dengan hak orang lain, tetapi apabila berkaitan dengan
hak orang lain, maka yang dijadikan pegangan adalah lafadz perkataannya bukan
makna dari ucapnnya.
Dasar dari
kaidah tersebut adalah sabda Nabi Muhammad SAW:[15]
اِنَّمَا
اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Sesungguhnya
sahnya amal adalah digantungkan kepada niat”
Para ahli fiqih
menjelaskan secara menyeluruh mengenai permasalahan yang terletak pada niat ini,
baik dalam bidang ibadah Mahdlah diantaranya thaharoh (bersuci), mandi besar,
tayamum, wudhu, shalat wajib dan sunnah, qasar, jamak, puasa, zakat, haji dan
beberapa ibadah Ghairu Mahdlah yakni dalam hal muamalah seperti jual beli,
pinjam-meminjam, utang piutang, sewa-menyewa, perwakilan, hibah, wasiat, wakaf,
pernikahan, talah, dan akad-akad lainnya. Maka dari itu, hampir terdapat kurang
lebih sekitar sepertiga atau seperempat dari permasalahan fikih yang
berhubungan dengan niat.
Kaidah-kaidah
yang dapat diambil dari kaidah pokok di atas adalah:[16]
ما
يشترط فيه التعيين فالخطا فيه مبطل
“Dalam amal
yang disyaratkan menyatakan ta’yin, maka kekeliruan pernyataan ta’yin
membatalkan amalnya”
Kaidah ini
memiliki arti, bahwasannya jika ada orang yang keliru dalam penyebutan beberapa
rincian spesifikasi ibadah yang didalamnya membutuhkan ta’yin
(menyebutkan waktunya), maka hukum dari ibadah itu menjadi batal. Contohnya,
seorang muslim menunaikan ibadah salat maghrib tetapi seorang tersebut salah
dalam pengucapan niat nya yakni niat salat isya, maka ibadah salat seorang
muslim tersebut menjadi tidak sah.
مَقَاصِدُ
اللَّفْظِ عَلىَ نِيَّةِ اللاَّفِظِ
“Tujuan sebuah ucapan itu dikembalikan kepada niatnya orang yang
mengucapkan”[17]
Contoh dari
kaidah diatas adalah, jika ada seorang yang sedang berjunub, kemudian dia
memulainya dengan membaca basmalah, apabila membaca basmalah itu diniatkan
untuk berdzikir, maka perbuatan tersebut dihukumi tidak haram atau boleh, akan
tetapi jika membaca basmalah diniatkan untuk membaca quran maka perbuatan
tersebut menjadi haram hukumnya.
مَالاَ
يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَتَفْصِيْلاً إِذَا عَيَّنَهُ وَاَخْطَأَ
لَمْ يَضُرَّ
“Sesuatu yang
tidak disyaratkan menjelaskan secara global maupun terperinci, apabila
ditentukan dan keliru maka tidak membatalkan”[18]
Misalkan, jika
ada salat berjamaah yang diimami oleh fauzan, kemudian yang menjadi makmum
adalah abdul. Fauzan sebagai imam berniat bahwa yang menjadi makmum adalah
abduh padahal yang menjadi makmum adalah abdul. Maka jamaahnya tidak batal
karena seorang imam tidak harus menyebutkan nama dari sang makmum.
مَا
يَجِبُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً وَلاَ يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُهُ تَفْصِيْلاً
إِذَا عَيَّنَهُ وَأَخْطَأَ ضَرَّ
“Sesuatu yang wajib dijelaskan secara global dan tidak diharuskan
menentukannya secara terperinci, maka apabila seseorang menentukannya dan keliru
maka membatalkan”[19]
Contoh dari
kaidah diatas adalah jika ada salat berjamaah, kemudian seorang makmum
menyatakan bahwa dia bermakmum kepada Nasrullah, padahal yang menjadi imam saat
itu adalah Nasruddin, maka salat si makmum tersebut dihukumi batal. Sebagaimana
jika ada orang yang berniat mensalati jenazah perempuan, padahal jenazah yang
sedang disalati merupakan jenazah laki-laki, maka hukum salat tersebut menjadi
batal.
2.
Kaidah Kedua
اَلْيَقِيْنُ
لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ
“Keyakinan itu
tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”[20]
Dalam kaidah
kedua ini, yang akan dibahas adalah kaidah mengenai keyakinan dan keraguan.
Dimana keyakinan dan keraguan ini adalah dua sisi yang berbeda. Hanya saja,
lemah kuatnya tarikan yang satu dengan yang lain akan mempengaruhi variasi
seberapa besar keyakinan dan keraguan tersebut.
Yang dimaksud
dengan yakin adalah sesuatu yang mengarah kepada kepastian dan pemantapan hati
tentang hakikat dari sesuatu tersebut atau dengan kata lain sudah tidak ada
keraguan (Syak) lagi yang terkandung didalamnya.
Qaidah ini
bersumber dari firman Allah SWT:[21]
وَمَا
يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إَلاَّ ظَنَّا إِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنَ الحَقِّ
شَيْءًا
“Dan kebanyakan
mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya pesangkaan itu
tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus: 36)
Sangat penting
jika hukum Islam memilki kaidah diatas, karena itu bisa meyakinkan bahwa hukum
Islam tidak sesulit yang kita kira yakni hukum Islam adalah tidak memberatkan
dan mudah. Perasaan was-was seringkali timbul jika kita ingin melakukan bersuci
dan salat, maka dari itu kaidah ini memilki peran yang sangat penting yaitu
mengakui keyakinan dan meniadakan keraguan. Perasaan was-was merupakan penyakit
yang sangat parah, jika sudah akut maka perasaan tersebut akan sangat susah
untuk dihilangkan.
Beberapa kitab
Fiqh yang di dalamnya banyak membahas tentang hal-hal yang ada hubungannya
dengan keyakinan dan keraguan. Terdapat persamaan antara kaidah ini dengan
beberapa hukum barat yaitu asas praduga tak bersalah. Maka dari itu seharusnya
memang diharapkan bagi seorang muslim untuk memilki sifat husnudzan
(berprasangka baik) sebelum ada sebuah bukti yang mendukung bahwa sesuatu atau
seseorang itu tidak baik.
Dari qaidah
tersebut ada qaidah yang tercakup olehnya:[22]
اْلأَصْلُ
بَقَاءُ مَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ
“Asal itu
tetapnya sesuatu pada keadaan semula”
Misalnya:
fatimah mempunyai keyakinan bahwa dia sudah berwudhu dan yakin dia telah suci
dari hadas, kemudian fatimah ragu apakah wudlu nya sudah batal atau belum? Maka
hukum aslinya fatimah masih dalam keadaan suci dari hadas. Hanya saja dalam hal
Ihtiyath (kehati-hatian), maka yang lebih diprioritaskan adalah Tajdid
al-wudlu (memperbarui wudlunya).
اْلاَصْلُ
فِيْ كلّ حديث تقدّره بأقرب الزمان
“Asal dalam
setiap kejadian, dilihat dari waktunya yang terdekat”[23]
Maksudnya
kaidah di atas adalah sama halnya dengan apabila ada keraguan terhadap bilangan
rakaat shalat yang sudah kita lakukan, maka yang dijadikan patokan adalah yang
paling sedikit. Contohnya adalah apabila seorang muslim sedang melaksanakan
salat fardhu yaitu salat ashar, tetapi dia lupa atau ragu apakah dia sudah
sampai pada rakaat ketiga atau rakaat keempat, maka yang diambil adalah dia
masih pada rakaat ketiga, kemudian dia bisa melakukan sujud sahwi sebelum
salam.
اْلأَصْلُ
اْلعَدَمُ
“Hukum asal
adalah ketiadaan”[24]
Contoh dari
kaidah di atas adalah jika terjadi perselisihan antara si penjual dan si
pembeli mengenai aib atau kecacatan barang yang diperjual belikan, maka
yang dianggap benar adalah perkataan si penjual karena pada dasarnya cacat itu
tidak ada. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa karena hukum asalnya
adalah akad jual beli sudah terjadi, tentunya ada pengecualian jika si pembeli
memiliki bukti bahwa adanya kecacatan pada barang itu sudah ada ketika masih di
tangan si penjual.
3.
Kaidah Ketiga
اَلْمَشَقَّة
تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Kesulitan itu
menarik pada kemudahan”[25]
Tujuan dari
pembuatan Syari’at adalah agar manusia memilki kehidupan yang teratur dan juga
manusia bisa merealisasikan kemaslahatan dalam kehidupannya, oleh karena itu
syari’at menyesuaikan kemampuan yang dimilki manusia. Karena memang pada
dasarnya syari’ah dibuat bukan untuk kepentingan Allah, tetapi syari’at dibuat
untuk keperluan dan kepentingan manusia itu sendiri.
Allah SWT telah
memberikan kepada manusia sebanyak 5 pilihan untuk mengaplikasikan Syari’at
tersebut di dalam kehidupan manusia yang terkait dengan perbuatan-perbuatan
mereka, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Dan untuk
mengaplikasikan 5 pilihan tersebut, dan juga Allah SWT mengharuskan manusia
untuk melaksanakan perbuatan yang wajib dan meninggalkan perbuatan yang haram.
Tetapi, tidak
semua manusia mampu untuk melaksanakan perbuatan yang diperintahkan karena
antara manusia yang satu dengan manusia yang lain memilki kemampuan yang
berbeda beda. Oleh karena itu Allah juga memberikan rukhshah atau
keringanan-keringanan tertentu yang digunakan dalam beberapa kondisi tertentu
juga. Dengan begitu suatu perbuatan yang diwajibkan oleh Allah dengan
diberikannya hukum rukhshah itu menjadi seimbang.
Sandaran dari
kaidah tersebut adalah antara lain:[26]
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al-Hajj: 78)
Oleh karena
itu, ada 6 bentuk-bentuk keringanan dalam menjalankan syari’at Islam,
diantaranya adalah: Keringanan pengguguran, Keringanan pengurangan, Keringanan
penggantian, Keringanan mendahulukan, Keringanan mengakhirkan, dan keringanan
kemurahan.
Kaidah diatas
memilki beberapa cabang, diantaranya adalah:[27]
اْلأَمْرُ
إِذَا ضَاقَ إِتَّسَعَ
“Suatu perkara itu
apabila sempit maka akan menjadi luas”
Kaidah ini
adalah turunan dari kaidah al-masyaqqah tajlib al-taisir dan al-masyaqqah
itu berarti kesulitan atau kesempitan. Misalnya, jika ada orang yang sedang
bepergian jauh dan merasa tidak kuat untuk melaksanakan puasa di bulan
Ramadhan, maka musafir tersebut diperbolekan untuk membatalkan puasanya. Karena
bepergian jauh dan sakit merupakan suatu kesempitan maka hukumnya menjadi luas
yakni diperbolehkannya membatalkan puasa atau berbuka puasa sebelum waktu
berbuka puasa tiba.
إِذَا
إِتَّسَعَ ضَاقَ
“Apabila suatu
perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit”[28]
Misalnya,
ibadah haji merupakan perbuatan yang masuk dalam kategori meluas karena
bisa dilakukan pada tahun-tahun yang
diinginkan oleh orang yang ingin menunaikan haji, tetapi perkara haji ini
dipersempit dan terbatas untuk orang-orang yang mampu untuk melaksanakan ibadah
haji baik dalam segi jasmani, rohani maupun materi.
Dua kaidah
diatas oleh Imam al-Ghazali digabungkan menjadi satu, yaitu:[29]
كُلُّ
مَا تَجَاوَزَحَدِّهِ انْعَكَسَ اِلَى ضِدِّهِ
“Semua yang melampaui batas, maka (hukumnya) berbalik kepada
kebalikannya”
Contoh
penerapan dari kaidah ini adalah, misalkan ada seorang wanita yang sedang mengalami
menstruasi, maka otomatis wanita tersebut dilarang untuk melaksanakan salat dan
puasa, tetapi jika wanita itu selesai menstruasi, maka larangan untuk melaksanakan
salat dan puasa otomatis akan hilang.
Contoh lain
yaitu, pada awalnya makan itu memang diperbolehkan, tetapi apabila ada
seseorang yang makan secara berlebihan maka hukumnya adalah kebalikan dari
hukum awal yaitu tidak diperbolehkan.
4.
Kaidah Keempat
الضَّرَرُ
يُزَالُ
“Kemudharatan
harus dihilangkan”[30]
Kaidah di atas
adalah kaidah yang sangat relevan dan sangat besar pengaruhnya dalam fiqh
Islam. Dalam fiqh islam, kaidah ini memilki ruang lingkup yang sangat luas
bahkan tidak terhingga, bisa saja sampai mencakup setengahnya. Terkadang
penetapan suatu hukum memang alasannya karena ada yang mendatangkan manfaat dan
ada yang untuk menolak madlarat. Maka dari itu ada lima perkara yang tercakup
dalam pemeliharaan, yaitu: pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
atau kehormatan.
Dasar kaidah ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW:[31]
لاَضَرَرَوَلاَ
ضِرَارِ
“Tidak boleh
membahayakan diri sendiri dan orang lain”
Kata ضرر dan ضرار memang memilki makna yang sama, tetapi obyek
keduanya memilki perbedaan. Kata ضرر memliki maksud
perbuatan yang dilakukan oleh diri sendiri dan itu bisa berbahaya bagi dirinya
sendiri, sedangkan ضرار memilki maksud perbuatan yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih dan juga bisa berbahaya bagi dirinya sendiri serta orang
lain.
Syarat-syarat penting yang harus diperhatikan agar tidak melampaui
batas dalam menerapkan kaidah ini adalah:[32]
a.
Kemudharatan
itu benar-benar terjadi bukan diperkirakan akan terjadi
b.
Dalam keadaan
darurat yang dibolehkan itu hanya sekadarnya saja
c.
Kemudharatan
tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lain yang sama tingkatannya
Cabang-cabang dari kaidah keempat ini adalah:
تبيح المحظوراتالضرورات
“Kemadharatan itu membolehkan
hal-hal yang dilarang”[33]
Maksudnya keterpaksaan itu tidak seluruhnya membolehkan segala
sesuatu yang haram, tetapi harus dibatasi jika memang benar-benar tidak ada
jalan keluar lain selain melakukan hal tersebut, dan juga apabila hal tersebut
tidak dilakukan maka akan membahayakan jiwanya.
Misalnya, jika ada seseorang yang sedang kelaparan dan dia tidak
menemukan apa-apa selain makanan yang haram untuk dikonsumsi, maka dalam
kondisi tersebut segala sesuatu yang hukumnya haram maka akan menjadi halal
karena jika dia tetap kelaparan maka itu akan berbahaya terhadap jiwanya.
الضَرَرُ
لاَيُزَالُ بِالضَرَرِ
“Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan
kemudharatan lagi”[34]
Menurut kaidah diatas, seseorang tidak diperbolehkan untuk
menghilangkan kemadharatan dengan menghadirkan kemadharatan lain yang sama atau
bahkan lebih besar.
Contohnya, ada dua anak kecil yang terbawa arus di sungai karena
perahu yang dinaikinya rusak terhantam oleh batu yang besar. Kemudian salah
satu dari kedua anak tersebut menemukan papan yang bisa dinaikinya sampai ada
kapal penyelamat datang, teapi papan tersebut hanya bisa dinaiki oleh satu anak
saja. Kemudian anak lain yang tidak mendapatkan papan itu mengambil papan yang
dinaiki oleh temannya dan mengorbankan nyawa temannya demi menyelamatkan
hidupnya sendiri. Maka perbuatan merebut karena dharurat terhadap sesuatu yang
juga dianggap dharurat oleh temannya
tidak diperbolehkan di dalam syari’at Islam.
دَرْءُ
المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ
“Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik
kemaslahatan”[35]
Misalnya, berkumur jika dilakukan secara berlebih-lebihan atau mubalaghoh
itu hukumnya sunnah tetapi jika orang yang sedang berpuasa melakukan
berkumur maka hukumnya menjadi makruh. Contoh lain, dalam bersuci jika kita
menyela-nyelai rambut itu dihukumi sunnah, tetapi jika orang itu dalam keadaan
sedang berihram maka hukumnya makruh karena demi menjaga kerontokan rambut.
Serta jika ada percampuran antara uang halal dan uang hara, maka harus
menjauhkan keduanya untuk menolak keharaman.
5.
Kaidah Kelima
اَلْعَادَةُ
مُحَكَّمَة
“Adat itu bisa
ditetapkan sebagai hukum”[36]
Kaidah fikih
yang kelima ini membahas tentang suatu adat atau kebiasaan. Dalam bahasa Arab,
ada 2 istilah yang berkaitan dengan kebiasaan. Yakni al-‘adat dan al-‘urf.
Adat merupakan
suatu kecenderungan, yakni segala sesuatu baik berupa ungkapan atau pekerjaan
pada suatu sasaran tertentu yang dilakukan oleh pribadi atau kelompok secara
berulang-ulang. Maka dari itu suatu adat juga bisa diartikan sebagai kultur,
tradisi, dan kebudayaan.
Sedangkan ‘Urf merupakan segala sesuatu yang sudah melekat
di dalam jiwa-jiwa manusia yang juga bisa diterima melalui akal. Jadi, perbedaan
antara adat dan urf adalah, jika adat merupakan suatu pekerjaan yang mempunyai
sifat dilakukan secara berulang-ulang, maka urf adalah segala sesuatu yang
sudah melekat didalam jiwa-jiwa manusia dan sudah bersifat kebiasaan.
Kaidah tersebut
berdasarkan kepada Hadits dari Ibn Mas’ud diriwiyatkan oleh Ahmad:[37]
مَارَاَهُ
المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ الّلهِ حَسَنً
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula pada
sisi Allah”
Menurut
Muhammad al-Zarqa (w.1357 H), adat dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu
‘ammah dan khassah. ‘Adat ‘ammah (adat umum) maksudnya adalah suatu perbuatan
atau perilaku yang berlaku umum di seluruh negara, sedangkan ‘adat khassah
(adat khusus) maksudnya adalah suatu perbuatan atau perilaku yang berlaku umum
di sebuah negara.[38]
Ada beberapa kaidah lanjutan dari kaidah tentang kebiasaan,
diantaranya adalah:
المَعْرُوفُ
عُرْفًا كَالْمَشْرُوطِ شَرْطاً
“Yang baik itu menjadi ‘Urf, sebagaimana yang disyaratkan
itu menjadi syarat”[39]
Maksudnya
adalah suatu adat kebiasaan yang dilakukan dalam bermuamalah itu memiliki daya
ikat seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak dinyatakan secara tegas.
Misalnya, apabila ada pembangunan rumah yatim piatu dan itu dibangun dengan
gotong royong, maka orang yang bergotong royong dalam pembangunan itu tidak dituntut
untuk dibayar, karena berdasarkan kebiasaan orang-orang yang bergotong royong
itu tidak dibayar.
التَّعْيِينِ
بِالعُرْفِ كَالتَّعْيِينِ بِالنَّصِّ
“Sesuatu yang diputuskan (ditetapkan) berdasarkan adat seperti
(sesuatu yang) ditetapkan berdasarkan nash”[40]
Maksud dari
kaidah diatas adalah segala ketentuan berdasarkan ‘Urf yang sudah memenuhi syarat itu sama
kedudukannya dengan sebuah penetapan hukum berdasarkan nash. Contohnya
adalah apabila ada seseorang yang ingin menyewa sebuah toko atau rumah tanpa
dijelaskan siapa yang menempati toko atau rumah tersebut, maka orang yang
menyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah tatanan rumah kecuali
atas izin dari orang yang menyewakan.
إِسْتِعْمَالُ
النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
“Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah
(alasan/argumen/dalil) yang wajib diamalkan”[41]
Misalnya adalah
ketika kita mau mencucikan pakaian kepada tukang loundry, maka sudah menjadi
adat kebiasaan bahwa yang menyediakan deterjen, pewangi, air, dan yang
mencucikan adalah tukang laundry.
E.
KESIMPULAN
1.
Pengertian Qawaid
Fiqhiyyah secara bahasa adalah dasar-dasar yang bertalian dengan
masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fiqh), sedangkan menurut istilah adalah
kaidah-kaidah hukum yang bersifat kulliyah yang dipetik dari dalil-dalil kulli
atau universal (yaitu ayat dan hadis yang menjadi pokok kaidah-kaidah kulliyah
yang dapat disesuaikan dengan berbagai juziyyah).
2.
Perkembangan
qawaid fiqhiyyah dapat dibagi ke dalam tiga fase berikut:
a.
Fase pertumbuhan
dan pembentukan (Abad 1-3 H)
b.
Fase
perkembangan dan pengkodifikasian
c.
Fase pemantapan
dan pensistematisan
3.
Ada lima kaidah
fiqh yang dianggap oleh sebagian ulama menjadi dasar dan prinsip umum
dari seluruh materi fiqh. Kelima kaidah itu adalah:
اْلاُمُوْرُ
بِمَقَاصِدِهَا
“Segala sesuatu
digantungkan kepada tujuannya”
اَلْيَقِيْنُ
لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ
“Keyakinan itu
tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”
اَلْمَشَقَّة
تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Kesulitan itu
menarik pada kemudahan”
الضَّرَرُ
يُزَالُ
“Kemudharatan
harus dihilangkan”
اَلْعَادَةُ
مُحَكَّمَة
“Adat itu bisa
ditetapkan sebagai hukum”
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syahrul. 2010. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Bogor:
Ghalia Indonesia
Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Djazuli, A. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
Djazuli, A. 2011. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Hasbiyallah. 2017. Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Manshur, Yahya Khusnan. 2017. Qowaid Fiqhiyyah Al-Faroid
Al-Bahiyyah. Jombang: Pustaka Al-Muhibbin
Mubarok, Jaih. 2002. Kaidah Fiqh. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Rohayana, Ade Dedi. 2008. Ilmu Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta:
Gaya Media Pratama
Rokamah, Ridho. 2007. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press
Tharaba, Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ A Hikamtus Syar’i.
Malang: Dream Litera Buana
Catatan:
1.
Similarity 13%.
[1] Hasbiyallah, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2017), hlm. 129
[2] Syahrul Anwar, Ilmu
Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 121
[3] Nazar Bakry, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 113 - 114
[4] Ade Dedi
Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008),
hlm. 47
[6] Nazar Bakry, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 117
[7] Jaih Mubarok, Kaidah
Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 63
[8] Syahrul Anwar, Ilmu
Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 123
[9] Jaih Mubarok, Opcit,
hlm. 66
[10] Ade Dedi
Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008),
hlm. 64
[11] Jaih Mubarok, Kaidah
Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 99
[12] Ibid,
hlm. 99-100
[13] A. Djazuli, Ilmu
Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 106
[14] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 34-35
[15] Yahya Khusnan
Manshur, Qawaid Fiqhiyyah Al-Faraid Al-Bahiyyah, (Jombang: Pustaka
Al-Muhibbin, 2017), hlm. 23
[16] Ridho Rokamah, Al-Qawa’id
Al-Fiqhiyah, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007), hlm. 34
[17] Yahya Khusnan
Manshur, Qawaid Fiqhiyyah Al-Faraid Al-Bahiyyah, (Jombang: Pustaka Al-Muhibbin,
2017), hlm. 44
[20] Fahim Tharaba, Hikmatut
Tasyri’ A Hikmatus Syar’i, (Malang: CV. Dream Litera Buana, 2016), hlm. 287
[21] Hasbiyallah, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2017), hlm. 133
[22] Yahya Khusnan
Manshur, Qawaid Fiqhiyyah Al-Faraid Al-Bahiyyah, (Jombang: Pustaka
Al-Muhibbin, 2017), hlm. 48
[23] Hasbiyallah, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2017), hlm. 134
[24] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 49
[25] Fahim Tharaba, Hikmatut
Tasyri’ A Hikmatus Syar’i, (Malang: CV. Dream Litera Buana, 2016), hlm. 287
[26] A. Djazuli, Ilmu
Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 109
[27] Yahya Khusnan
Manshur, Qawaid Fiqhiyyah Al-Faraid Al-Bahiyyah, (Jombang: Pustaka
Al-Muhibbin, 2017), hlm. 78
[28] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 61
[29] Ridho Rokamah, Al-Qawa’id
Al-Fiqhiyah, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007), hlm. 52
[30] Syahrul Anwar, Ilmu
Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 124
[31] Yahya Khusnan
Manshur, Qawaid Fiqhiyyah Al-Faraid Al-Bahiyyah, (Jombang: Pustaka
Al-Muhibbin, 2017), hlm. 81
[32] A. Djazuli, Ilmu
Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 110
[33] Ridho Rokamah, Al-Qawa’id
Al-Fiqhiyah, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007), hlm. 54
[34] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 73
[35] Ridho Rokamah, Al-Qawa’id
Al-Fiqhiyah, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007), hlm. 57
[36] Nazar Bakry, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 118
[37] A. Djazuli, Ilmu
Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 111
[38] Ade Dedi
Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008),
hlm. 218-219
[39] Hasbiyallah, Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2017), hlm. 138
[40] Jaih Mubarok, Kaidah
Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 157
[41] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 84-85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar