TAKLID,
ITTIBA’ TALFIQ DAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH
Mu’alifah
Yuni Rahmawati, Eva Afrivina, Riza Fahma Yofi Fadila.
Mahasiswa
PAI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
PAI
C 2018
mualifahyuni@gmail.com
Abstract
Ijtihad
is the attempt of a person of fuqaha or mujtahid to find solutions to problems
that were not previously present in the Qur'an and Hadith, but still based on
Qur'an and Hadith. Differences in the ijtihad of a jurist can give the legal
difference held. For someone who does not have ijtihad ability then it is
advisable to do taqlid, ittiba ', or talfiq. Taqlid is to follow or take a law
without knowing the truth of the law. Ittiba 'is following a law which already
knows the truth of the source of the law. And talfiq is following a law that
comes from some madhhab. Talfiq is also a term for people who in following the
law not only take from one of the mazhab, but from some mazhab.
Abstrak
Ijtihad
merupakan usaha seseorang ahli fiqih atau mujtahid untuk menemukan solusi dalam
permasalahan yang sebelumnya tidak ada di dalam Al- Qur’an dan Hadits, tetapi
tetap berlandaskan Qur’an dan Hadits. Perbedaan dalam ber ijtihad seorang
fuqaha dapat memberikan perbedaan hukum yang dianut. Bagi seseorang yang tidak
memiliki kemampuan ber ijtihad maka dianjurkan untuk melakukan taqlid, ittiba’,
atau talfiq. Taqlid adalah mengikuti atau mengambil suatu hukum tanpa
mengetahui kebenaran hukum tersebut. Ittiba’ adalah mengikuti suatu hukum yang
mana sudah mengetahui kebenaran sumber hukum tersebut. Dan talfiq adalah mengikuti
suatu hukum yang berasal dari beberapa madzhab. Talfiq juga merupakan sebutan
untuk orang yang dalam mengikuti hukum tidak hanya mengambil dari salah satu
mazhab, tetapi dari beberapa mazhab.
Keywords
:Taqlid,Ittiba’, Talfiq, Ijtihad
A.
Pendahuluan
Ijtihad merupakan bidang keilmuan yang membahas tentang
problematika zaman yang tidak ada dalam Al- Qur’an dan Hadits. Keilmuan ini
berfungsi sebagai rekomendasi solusi problem yang tengah berkembang di
masyarakat. Dan setiap ijtihad antara satu fuqaha dengan fuqaha yang lain
berbeda pendapat. Sehingga banyak lahir ilmu – ilmu fiqih dalam sejarah dari
zaman setelah Rasulullah saw wafat hingga pertengahan ke 4 H.
Setelah pertengahan ke 4 H, kegiatan ber ijtihad mengalami
perkembangan tidak hanya untuk masalah agama tetapi digunakan juga dalam hal
politik dan kekuasaan, sehingga hal tersebut menimbulkan ijtihad dilakukan
hanya semata untuk perantara menyembunyikan kedok kebebasan syari’at.
Melihat kondisi inilah maka para ulama mengumumkan untuk menutup
pintu ijtihad, untuk menghindari penyalahgunaan penggunaan ijtihad yang
seharusnya. Dari peristiwa ini timbul stratifikasi untuk para mujtahid (orang
yang boleh berijtihad), yaitu: mujtahid mutlak, mujtahid masa’il, mujtahid
madzhab, dan datang muqallid (orang yang bertaqlid).
Taklid adalah perbuatan seseorang yang mengikuti sebuah hukum tanpa
mengetahui kebenaran hukum tersebut. Karena timbul banyak kontroversi mengenai
taqlid. Maka disepakati taqlid tidak diperbolehkan oleh generasi salaf kalangan
nabi, tabi’in, para imam mujtahid, dan para tabi’it. Tetapi setelah
perkembangan adanya masa mazhab-mazhab jadi diperbolehkan untuk bertaqlid.
Lebih dari taqlid lebih dianjurkan untuk melakukan ittiba’ yaitu mengikuti
hukum atau fatwa dengan mengetahui kebenaran dari fatwa atau hukum tersebut.
B.
Taklid
1.
Pengertian
Secara etimologi,
kata "taqlid" berasal dari masdar "qallada"
yang memiliki makna kalung yang dipasangkan kepada orang lain tanpa disadari
orang yang bersangkutan itu sendiri.[1]
Sedangkan
terjemahan secara terminologi, terdapat beberapa istilah mengenai taqlid[2],
antara lain:
a)
Sebuah perilaku yang mengikuti orang lain baik dari
segi lisan maupun perbuatannya tanpa keraguan sedikitpun dengan tidak adanya
penelusuran lebih lanjut terhadap dalilnya terlebih dahulu.
b)
Membenarkan sebuah gagasan orang lain secara bulat
tanpa disaring menggunakan dalil-dalilnya dan tidak memafhumi kapasitas dari
dalil-dalil tersebut.
c)
Mengamalkan gagasan orang lain tanpa memahami dasar
dalilnya.
Serasi
dengan beberapa pengertian taqlid yang telah dijabarkan diatas, terdapat
hal-hal yang tidak dapat digolongkan ke dalam taqlid[3],
antara lain:
a)
Berbuat sesuatu yang dilandaskan pada al-Qur'an dan
al-Hadits.
b)
Berbuat sesuatu yang dilandaskan pada ijma'.
c)
Vonis seorang hakim atas suatu perkara dengan adanya
saksi yang adil.
Pendapat
para ulama Ushul mengenai taqlid[4]adalah
"menerima sebuah gagasan seseorang tanpa mengetahui darimana asal
muasalnya ataupun landasan dari gagasan seseorang tersebut". Sedangkan
para ulama lain seperti al-Ghazali, asy-Syaukani dan beberapa ulama lainnya
mengartikan taqlid sendiri juga memiliki inti dan maksud yang tidak
berbeda dengan yang disampaikan oleh para ulama Ushul tadi.
Muhammad
Rasyid Ridla berpendapat mengenai definisi taqlid yang terdapat dalam
Tafsir al-Manar[5],
berikut perkataannya yaitu: "mengamalkan gagasan seseorang yang dipandang memiliki
integritas tinggi mengenai hukum agama Islam tanpa menelusuri lebih dulu
kebenarannya, kebaikannya serta manfaat atau tidaknya dari gagasan hukum yang
disampaikan orang tersebut".
Mengenai hal ini, Allah SWT
berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون...َ
"...maka tanyakanlah
olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahuinya..."(Q.S
Al-Anbiya':7).
Dari
sekian banyaknya definisi dan penjelasan diatas maka dapat ditarik sebuah
kesimpulan mengenai pengertian taqlid yaitu adalah suatu perbuatan atau
perilaku untuk mengikuti pendapat ataupun gagasan seseorang secara
mentah-mentah tanpa keraguan sedikitpun dan tidak adanya penelusuran terlebih
dahulu akan kredibilitas maupun kualitas gagasan tersebut dari segi dalil-dalil
landasan yang mengikutinya.
2.
Hukum Bertaqlid
Sejalan
dengan pembahasan yang sebagaimana telah disinggung di awal tadi, seseorang
yang belum memiliki predikat posisi mujtahid, diharuskan untuk bermakmum
kepada salah satu ulama yang telah memiliki predikat sebagai mujtahid
muthlaq. Para ulama yang telah menyandang predikat tersebut antara lain
adalah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali.[6]
Sebagian
dari ulama ushul fiqih berpendapat bahwa sebagian besar telah bermufakat
bahwasanya tidak ada lagi seorangpun yang telah berhasil menggapai predikat
sebagai mujtahid muthlaq tersebut. "Seorang yang menyandang
predikat sebagai mujtahid muthlaq ataupun mujtahid mustaqil sudah
tidak dapat ditemukan kembali semenjak usainya periode Imam Syafi'i”, menurut
Ibnu Hajar.[7]
Terdapat
firman Allah yang mengharuskan seseorang untuk bertaqlid kepada seorang mujtahid[8],
berikut firman Allah dalam al-Qur'an:
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ
أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ...
"...dan kalaulah mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan mampu) mengetahuinya dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri)..." (Q.S An-Nisa' : 83).
Sementara itu
hanyalah seseorang yang memiliki kompetensi dalam berijtihad saja yang
diperbolehkan melakukan istinbath (menetapkan kesimpulan).
3.
Tingkatan Taqlid atau Muqallid
Taqlid maupun
Muqallid disini juga memiliki beberapa tingkatan[9],
berikut penjabarannya antara lain :
a)
Bertaqlid keseluruhan (taqlid al-mahdli)
Sebagaimana
yang mayoritas orang awam lakukan, mengenai seluruh hukum Islam, mereka
bertaqlid kepada seorang atau imam mujtahid.
b)
Bertaqlid dalam beberapa bidang hukum saja
Sebagaimana
para ulama yang memiliki kompetensi untuk berijtihad dalam bidang madzhab,
bidang fatwa dan bidang tarjih. Mereka didudukkan sebagai seorang mujtahid
hanya dalam beberapa segi bidang saja yang dikuasainya, selain beberapa bidang
tersebut para ulama tadi kembali didudukkan hanya sebagai muqallid saja.
c)
Bertaqlid dalam perkara-perkara istinbath
Sebagaimana
banyak dilakukan oleh para mujtahid muntasib.
4.
Syarat Taqlid
Seseorang yang akan
bertaqlid kepada suatu madzhab, diwajibkan untuk memenuhi beberapa ketentuan
sebagai berikut:[10]
a)
Diwajibkan memahami secara keseluruhan berbagai
ketentuan imamnya dalam perkara yang diikuti, seperti halnya syarat dan
kewajibannya.
b)
Contoh: Jika akan mengikuti madzhab Hanafi dalam
perkara saling bersentuhannya kulit dengan lawan jenis yang bukan mahramnya
tidak menghilangkan suatu wudhu', maka dia juga harus mengikuti berbagai
ketentuan yang diwajibkan oleh Imam Hanafi dalam perkara wudhu', seperti
diusapnya kepala sampai ubun-ubun dan lain sebagainya.
c)
Tidak bertaqlid seusai dilakukannya perkara yang
akan ditaqlidkan tersebut.
d)
Contoh: Umar merupakan seorang muslim yang menganut
madzhab Syafi'i. Pada suatu siang di bulan Ramadhan, Umar teringat bahwa pada
malam hari sebelumnya ia tidak mengucapkan niat puasa, padahal dalam madzhab
Syafi'i diwajibkan untuk menunaikan niat puasa pada malam harinya. Kemudian
pada siang hari tersebut, Umar memutuskan untuk berpindah haluan ke madzhab
Maliki yang notabene tidak mewajibkan berniat puasa pada malam harinya.
Bertaqlid semacam ini memiliki hukum khilaf (boleh dilakukan apabila
tidak ada suatu kesengajaan dan belum mengetahui hukum madzhab yang dianutnya).
e)
Tidak diperkenankan memilih pendapat yang
mudah-mudah saja. Maksudnya, orang yang akan bertaqlid tidak diperbolehkan
memilih pendapat yang mudah-mudah saja dari berbagai madzhab.
f)
Bertaqlid haruslah kepada seorang imam yang telah
menyandang predikat sebagai mujtahid muthlaq, seperti Imam Hanafi, Imam
Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali. Diperolehkan juga bertaqlid kepada
seorang imam yang menyandang predikat sebagai mujtahid muntasib
(mujtahid yang masih bertautan dengan sebuah madzhab tertentu), seperti Imam
Rafi'i, Nawawi, Ramli dan Ibnu Hajar, tetapi dikecualikan jika pendapat mereka
sangatlah dhaif sekali.
g)
Tidak diperkenankan menggabungkan dua pendapat imam
dalam satu persoalan hukum (qadhiyah), yang akan berujung tidak
disahkannya oleh masing-masing imam.
h)
Contoh: Dalam berwudhu, Khalid hanya mengusap
sebagian kepalanya saja layaknya hukum yang terdapat dalam Imam Syafii. Sejalan
kemudian kulit si Khalid bersentuhan dengan seseorang lawan jenis yang bukan
mahramnya tanpa syahwat, Khalid merasa wudhunya tidaklah batal karena dalam hal
ini ia mengikuti Imam Maliki. Setelah itu Khalid tetap melaksanakan ibadah
shalat. Taqlid semacam ini tidaklah dibenarkan, karena dalam satu persoalan
hukum yang sama yaitu shalat, si Khalid telah melanggar hukum persentuhan kulit
berdasarkan madzhab Imam Syafi'i, begitu juga dia juga melanggar hukum wudhu
yang ditetapkan Imam Maliki yang mengharuskan menguap seluruh bagian rambut.
Jadi, menurut pandangan kedua madzhab, shalat yang ditunaikan oleh Khalid
tidaklah sah.
C.
ITTIBA’
1.
Pengertian
Ittiba’
Dalam buku Ilmu Ushul Fiqh 1 & 2 dikatakan bahwa “Kata “Ittiba’” berasal dari bahasa
Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il ”Ittaba’”, yang artinya adalah mengikut
atau menurun.”[11]
Sedangkan Ittiba’ menurut istilah adalah :
اَلْأِ تْبَاعُ قَبُوْلُ قَوْلِ الْقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ
حُجَّتَهُ .
Yang artinya
adalah “Menerima perkataan orang lain dan (kamu) mengetahui dari mana sumber
alasan tersebut.”[12]
Jadi, Ittiba’ berdasarkan definisi bahasa dan istilah adalah
diterimanya fatwa atau perkataan oleh seseorang yang mana perkataan tersebut
dapat dipertanggung jawabkan karena sesuai dengan sumber yang jelas yakni dari
Al – Qur’an , Al Sunnah, serta hasil ijtihad ulama – ulama.[13]
Muttabi’ adalah seseorang yang menerima perkataan atau fatwa oleh seseorang Muttaba’
bersumber dari Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para ulama. Sedangkan Muttaba’ adalah orang yang memberikan fatwa atau
perkataan kepada Muttabi’. Dan seorang Muttabi’ harus mengetahui
bahasa arab atau dalilnya tetapi tidak harus tahu mengetahui sah atau tidaknya
sebuah fatwa atau hadits dikarenakan seorang Muttaba’ sudah mengatakan
sah maka sah lah fatwa tersebut dan
seorang Muttaba’ harus bertanggung
jawab atas perkataan nya tersebut dikarenakan berdosalah dia jika iya tengah
berdusta atau mengesahkan sesuatu hadits tanpa mengecek kebenaran hadits
tersebut. Tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk Muttabi’ maka jika
seorang Muttaba’ berdusta seorang
Muttabi’ tidak berdosa.[14]
Setiap muslim wajib hukumnya ber ittiba’ karena Allah SWT
sudah memerintahkan dalam firman Nya:“Ikuti apa yang dirutunkan kepadamu
dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya”(Al-A’raf:
3)
Dari ayat diatas Allah SWT telah memerintahkan bahwa seorang hamba
harus mengikuti perintahNya. Dan perintah – perintah tersebut merupakan wajib
bagi setiap muslim.
Dimulainya munculnya Ittiba’ sejak zaman nabi, dan
seterusnya hingga sekarang. Dijelaskan dalam Qs. Ali ‘Imran: 31 bahwa dalam
firman Allah tersebut telah diperintahkan untuk ber ittiba’ kepada
Rasulullah. Dikarenakan beliau (Rasulullah) mempunyai banyak kemuliaan yang
lebih utama dari Nabi sebelum – sebelumnya, maka beliau yang dapat dijadikan
suri tauladan serta diikuti dan dipegang teguh ajarannya dan mengamalkan apa
yang telah diajarkan dari Allah kepadanya.[15]
Menurut Ibn Taimiyyah pilar kebahagiaan bagi setiap Muslim bagi
kehidupan dunia dan akhirat kelak adalah ber ittiba’ kepada Rasulullah.
Ibn Taimiyyah berkata “Bahwa pilar kebahagiaan (sa’adah) dan hidayah adalah
dengan mengikuti Rasulullah. Sebaliknya, pangkal kesesatan dan kesengsaraan
dikarenakan menyelisihinya. Sesungguhnya setiap kebaikan di penjuru alam
semesta ini, baik yang sifatnya umum maupun khusus, sumbernya dari diutusnya
Rasul. Begitu pula dengan semua keburukan yang menimpa umat manusia di alam
semesta, adalah karena penyimpangan terhadap petunjuk Rasul dan tidak
mengetahui ajarannya. Maka kebahagiaan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi adalah
dikarenakan ittiba’ kepada risalahnya.”
Risalah kenabian Muhammad sangat dibutuhkan oleh seluruh makhluk
bahkan mereka sangat membutuhkan Rasulullah melebihi apapunn yang dibutuhkan
mereka untuk kebutuhan di dunia. Nabi Muhammad diutus dikarenakan untuk
kekuatan bagi alam semesta, dan menjadi nur bagi kehidupan.[16]
‘Abd al-Rahman ibn Nashir al-Sa’di mennggambarkan dalam Taisir
al – Karim fi Tafsir Kalam al-Mannan bahwa ittiba’ merupakan
sebagai:
اتباع
ما أنزل الله على رسوله – وهو للبلغ عن
الله وحيه الذي اهتدى يه الخلق, فأنه هو الهدى والرحمة – علمًا وعملا وحالا ودعوة
أليهو, بالاعتقادات والأقوال والأعمال, فأن من اتبعه اتبع ما أمر يه , واجتني ما
تهي عنه.
“Mengikuti syariat yang diwahyukan Allah SWT
kepada RasulNya[17]
– karena ia adalah penyampai (muballigh) wahyu Allah yang dengannya umat
manusia mampu menggapai jalan hidayah[18],
dan syariat aau wahyu tersebut merupakan sumber petunjuk dan rahmat[19]
– dalam seluruh aspek ilmu , perbuatan, karakter diri dan syariat atau wahyu
tersebut merupakan sumber petunjuk dan rahmat – dalam seluruh aspek ilmu,
perbuatan, karakter diri dan dalam seruan dakwahnya[20],
baik dalam akidah, ucapan maupun amal perbuatan[21],
maka mengikutinya adalah dengan mengimplementasikan perintahnya dan
meninggalkan larangannya[22].”
Jadi, menurut tafsiran dari definisi
ittiba’, ittiba’ merupakan sebuah usaha dan upaya yang optimal seklaigus
maksimal untuk menganut dan meniru Rasulullah sebagai suri tauladan dalam
agama. Dan karena pengajaran dakwah yang dilakukan Rasulullah telah turun
temurun digunakan untuk generasi berikutnya dan seterusnya, maka ittiba’ menganut apa – apa (perbuatan, ucapan, ajaran)
saja yang telah disampaikan Rasul dan berdasarkan dalil-dalil yang benar yaitu
Al – Qu’an dan Al- Hadits.[23]
Dan
adapun komponen-komponen yang menjadi makna pokok dalam al-ittiba’ di
Islam, yaitu :
1.
Usaha untuk
dapat mengikuti ataupun meneladani.
2.
Adanya pihak
yang diikuti untuk dijadikan panutan, yaitu Rasulullah.
3.
Hal yang
diikuti merupakan perbuatan, ucapan, akidah, dan perbuatan lain yang dilakukan
tetapi sudah ditinggalkan.
4.
Berdasarkan
kepada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, yaitu al –
Qur’an, Hadits Shahih.
5.
Ketika ber ittiba’
mengikuti berdasarkan niat atau kemauan sendiri bukan karena paksaan atau kebencian
dalam hati dan tetap mengamalkan apa yang telah diikuti.[24]
D.
TALFIQ
Asal
kata dari talfiq adalah لفّق yang berarti mempertemukan menjadi satu.[25]Sedangkan
makna talfiq dalam ilmu ushul fiqih yaitu:
اَلْعَمَلُ
بِحُكْمٍ مُؤَلَّفٍ بَيْنَ مَذْهَبَيْنِ اَكْثَرَ
“Mengamalkan
satu hukum yang terdiri dari dua madzhab atau lebih” [26]
Dari
penjelasan di atas, maka bisa dikatakan jika talfiq itu memiliki arti
yaitu mencampurkan pendapat dua mujahid atau lebih akan satu masalah yang sama
atapun berbeda. Misalnya, dalam masalah persyaratan sahnya nikah. Kita ambil
contoh hukum diucapkannya mahar dalam akad mengikuti madzhab tertentu dan untuk
hukum kehadiran wali nikah mengikuti madzhab yang lainnya.[27]
Masalah
talfiq hingga sekarang masih sering menjadi perbincangan terutama bagi
madzhab yang memperbolehkan seseorang untuk ber-talfiq. Meskipun
demikian adanya, para mujtahid menganjurkan agar kita bisa menghindari taqlid
tapi menjalankan ittiba’, dan ketika seseorang sudah ber-ittiba’ tidak
menutup kemungkinan dia akan ber-talfiq dan hukum yang demikian ini
boleh menurut beberapa madzhab. Adapun lebih jelasnya mengenai perbedaan hukum
dari pada talfiq adalah sebagai berikut:
1.
Hukum talfiq yang pertama
adalah tidak boleh. Artinya seseorang itu tidak boleh berpindah madzhab dalam
suatu masalah yang sama ataupun berbeda. Madzhab yang berpendapat demikian
adalah madzhab Syafi’i.
2.
Sedangkan madzhab Hanafi memiliki
pendapat yang lebih ringan dari Syafi’i, yaitu memperbolehkan ber-talfiq dalam
masalah yang berbeda. Misal, hal-hal yang membatalkan wudlu mengikuti madzhab
tertentu dan masalah tentang massa iddah wanita yang ditalak mengkuti madzhab
tertentu.[28]
3.
Ada juga yang berpendapat jika
ber-talfiq itu boleh jika dimaksudkan untuk menghindari kesulitan ajaran
agama yang dianutnya. Atau dalam hal berjuang untuk kemaslahatan umum juga
diperbolehkan untuk ber-talfiq.
4.
Dan hukum ber-talfiq juga
bisa menjadi haram apabila seseorang itu melakukannya atas dasar ingin
melecehkan agama.[29]
E.
IJTIHAD
1.
Pengertian
Ijtihad secara bahasa berasal dari kata “jahada” ada dua
bentuk yang berbeda kata masdar-nya artinya :
a.
Jahdun (جهد) yang
bermakna keseriusan dan kesunggguhan sepenuh hati.
b.
Juhdun (جهد) yang
bermakna kemampuan atau kesanggupan (yang didalamnya mengandung arti sangat
sulit, susah dan berat). [30]
Ijtihad
menurut istilah ialah proses dan usaha yang sungguh-sungguh oleh seorang faqih
atau ahli agama dalam memeriksa dan menyelidiki Al-Quran dan As-sunnah untuk
memperoleh kesangkaan yang berat atau hukum hingga mencapai tingkat maksimal. [31]
2.
Syarat-syarat
Mujtahid
Mujtahid adalah orang-orang yang melakukan ijtihad, harus memenuhi
syarat berikut ini :
a.
Mengetahui dan
memahami bahasa Arab
b.
Memahami Al-Quran
dan Nasikh Mansukh
c.
Memahami
tentang sunnah
d.
Mengetahui
hal-hal yang di-Ijma’kan
e.
Memahami
tentang qiyas
f.
Mengetahui
maksut-maksut hukum
g.
Berhati bersih
dan berniat lurus menurut sebagian ulama, hal ini untuk mempermudah pemecahan
dalam masalah. [32]
3.
Hukum Melakukan
Ijtihad
Bagi orang yang sudah memiliki kemampuan dalam berijtihad maka
berijtihad itu hukumnya wajib. [33] dikarenakan jumlahnya hukum Allah itu
terbatas. Sedangkan permasalahan dalam kehidupan ini bermacam-macam dan
berkembang, maka perlu yang namanya ijtihad.
Dalil yang mewajibkan ijtihad yaitu Q.S. An-Nisa’ ayat 59 :
فان تنا زعتم في شئ فردوه الى الله والرسول
ان كنتم تؤمنون با الله واليوم الاخر ذلك خير و احسن تأويلا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Q.S. Al-Hasyr ayat 2 :
فعتبروا ياألي الأبصار
“Maka Ambillah (kejadian itu)
untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang
yang mempunyai pandangan.”
Hukum ijtihad untuk mujtahid tergantung
keadaan tertentu, karena kedudukannya sebagai seorang faqih pendapatnya diikuti
dan di amalkan orang lain.
a. Wajib ‘Ain
Seseorang akan dihukumi wajib ain dalam melakukan ijtihad apabila ia
adalah satu-satunya seorang faqih yang mampu melakukan ijtihad pada waktu itu.
Dan apabila dia tidak mau melakukan dikhawatirkan suatu permasalahan itu lepas
dari hukum.
b. Wajib Kifayah
Seseorang akan dihukumi wajib kifayah dalam melakukan ijtihad apabila
dilingkungan tersebut dan pada waktu itu ada beberapa orang yang mampu
berijtihad.
c. Sunnah
Seseorang akan dihukumi sunnah dalam berijtihad apabila permasalahan
yang diajukan oleh masyarakat belum terjadi dan dikhawatirkan akan terjadi di
kemudian hari.
d. Haram
Seseorang akan dihukumi haram dalam berijtihad apabila hukum itu sudah
ditetapkan dengan jelas dan sudah berlaku. Dan dia tidak memiliki ilmu tentang
ijtihad.
e. Mubah
Seseorang akan dihukumi mubah apabila sudah ada hukum namun sandaran
hukumnya lemah.[34]
4.
Pembagian dan Macam-macam Ijtihad
Para ulama ushul fiqh telah membagi
macam-macam ijtihad dari berbagai segi, berikut pembagiannya :
a. Dilihat dari segi kerja mujtahid terbagi
menjadi dua macam yaitu :
1. Ijitihad istinbati, yaitu berusaha untuk
berijtihad dengan mengeluarkan hukum dari dalilnya dengan cara menetapkan
sendiri metodenya.
2. Ijtihad tathbiqi, yaitu berusaha untuk
berijtihad menggali dan menetapkan hukum dengan metode yang sudah ditetapkan
oleh generasi imam sebelumnya.[35]
b. Dilihat dari segi penerapan metode yang
telah diterapkan sebelumnya terbagi menjadi dua macam yaitu:
1. Tahkrij al-manath, yaitu menghubungkan
hukum dengan hukum yang sudah ditetapkan mujtahid sebelumnya.
2. Ijtihad Tarjih, yaitu usaha memilih yang
terkuat dengan membandingkan antara beberapa pendapat ulama terdahulu kemudian
menetapkan hukum.
5.
Kedudukan hasil Ijtihad
Hukum dari suatu permasalahan yang belum
jelas dalilnya, baik yang ada di Al-Quran dan Sunnah itulah yang akan mejadi
kajian dari ijtihad itu atau yang disebut dengan zhanny.
Selain zhanny yang menjadi bahasa dalam ijtihad adalah
sesuatu yang bersifat Qaht’i yaitu sesuatu yang telah jelas dalilnya seperti
kewajiban melaksanakan shalat,zakat, puasa dan lain sebagainya.
Secara logika hasil ijtihad itu tidak
selalu benar, dan ketika hasilnya salah maka mujtahid itu akan berdosa. Akan
tetapi hal ini dipatahkan pendapatnya Al-Anbary dan Al- Jahiz. Beliau
mengatakan bahwa semua hasil ijtihad itu benar dan tidak ada dosa baginya.[36]
Di dalam ushul fiqih kedudukan ijtihad itu
terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Golongan I
Pendapat pertama mengatakan bahwa setiap hasil ijtihad itu benar karena
itu hasil jawban dari Allah dan ketika terjadi suatu perbedaan itu dikarenakan
tingkat keilmuan dari seorang mujtahid.
b. Golongan II
Golongan II mengatakan bahwa
hasil ijtihad yang benar itu hanya ada satu yaitu yang bedekatan dengan
ketetapan Allah. dan Allah hanya menetapkan hukum tertentu terhadap satu
masalah.[37]
Para jumhur ulama termasuk Asy-Syafi’i berdalil dengan hadis :
من اجتهد قاأصاب فله أجران ومن أخطأ فله أجر
واحد (رواه البخرى و مسلم)
“Siapa yang berijtihad dan
ternyata benar, maka mendapat dua pahala, dan (orang yang berijtihad) ternyata
salah maka dapat satu pahala” (H.R. Buchari dan Muslim).
6.
Langkah-langkah dalam ijtihad
Seorang mujtahid bila menemui atau
menghadapi suatu permasalahan yang
membutuhkan jawaban hukum, maka perlu memperhatikan langkah-langkah berikut ini
:
Pertama, berpedoman pada Al-Quran terlebih dahulu, mencari jawabannya di dalam
Al-Quran, apabila tidak ditemukan maka perlu mendalami dan mengamati dari segi
umum dan khusus, mutlaq dan muqayyadnya, dari segi nasakh mansukh. Bila tidak
menemukan lagi harus mencari di balik yang tersurat.
Kedua, berpedoman pada Sunnah nabi Muhammad, setelah mencari pada Al-Quran.
Ketiga, kemudia mencarinya pada ijma’. Keempat, bila tidak ditemukan
jawabannya pada ijma’ maka perlu mencarinya pada qiyas. Kelima, apabila
sudah mencarinya dengan menghubungkannya
pada Al-Quran, sunnah dan sudah berusaha semaksimal mungkin, maka perlu
menggali dan menetapkannya dengan cara melihat keluar nash Al-Quran dan sunnah
dengan dalil-dalil yang diyakini kebenarannya.[38]
F.
PENUTUP
Dari penjelasan di
atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam mengatasi problematika kehidupan
yang semakin berkembang maka diperlukannya ijtihad untuk menemukan solusi dalam
permasalahan-permasalahan kehidupan. Dengan cara yang benar, berpedoman pada
Al-Quran, sunnah Nabi, ijma, dan juga qiyas.
Di dalam
pengambilan keputusan untuk menemukan jawaban permasalahan maka perlu
menggunakan ilmu dan landasan yang tepat, oleh sebab itu dilarang berbuat
taklid, semata-mata ingin menetapkan suatu hukum, karena taklid itu tidak
diperbolehkan. Jangan pula ikut-ikutan tanpa mengetahui hukum yang pasti dan
alasan hukum tersebut. Maka perlu hati-hati dalam berbuat apalagi persoalan
hukum agama.
Apabila dalam
menjumpai permasalahan dalam kehidupan maka bolehlah ber-ittiba’ yang kemudian
tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbuatan talfiq. Namun dalam hal ini
tidak lepas dengan yang namanya mengetahui dan memahami hukum yang pasti.
DAFTAR
PUSTAKA
Al – Harrani. Majmu’ah al- Fatwa.vol 10.
A. Hassan. Ijma’, Qiyas, Mazhab, Taqlid.
Al-Zuhaili, Wahbah. 2006. Syama’il al-Musthafa. Beirut: Dar
al – Fikr.
Djalil,Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (satu & dua). Jakarta:
Kencana.
Mudrik Al Farizi, "Ijtihad, taqlid dan talfiq".
Vol. 8 No 1, 2014, hlm 6.
Tim
Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid. "Hukum Taqlid, Doa Iftitah dan
Shalawat Khutbah Jum'at",Januari 2006.
Tim
Penulis Buku Taklimiyah Pon.Pes Sidogiri. 2008. Fikih Kita di Masyarakat.
Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pon.Pes Sidogiri.
Rifa’i,Mohammad.
1973. Ushul Fiqih. Bandung: PT Alma’arif.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih 2. Jakarta : Kencana, 2008.
Syarifuddin, Amir. 2010. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta
: Kencana.
Catatan:
1.
Similarity
bagus, Cuma 4%.
2.
Jika mengambil
referensi jurnal, harus dicantumkan lengkap termasuk nama jurnalnya.
3.
Penulisan gelar
(Prof. Dr. Ustadz, dll) dalam tulisan ilmiah harus dihilangkan, meski dalam
footnote sekalipun.
4.
Ditunggu
referensi Arabnya saat presentasi.
5.
Pendahuluan sudah
baik, akan tetapi masih belum bisa mengantarkan pada materi pembahasan.
[1] Mudrik Al
Farizi, "Ijtihad, taqlid dan talfiq". Vol. 8 No 1, 2014, hlm
6.
[2]Ibid
[3]Ibid
[4] Tim Fatwa
Majelis Tarjih dan Tajdid, "Hukum Taqlid, Doa Iftitah dan Shalawat
Khutbah Jum'at",Januari 2006, hlm 1.
[5]Tim Fatwa
Majelis Tarjih dan Tajdid, "Hukum Taqlid, Doa Iftitah dan Shalawat
Khutbah Jum'at",Januari 2006, hlm 1.
[6] Tim
Penulis Buku Taklimiyah Pon.Pes Sidogiri, Fikih Kita di Masyarakat,
Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pon.Pes Sidogiri, 2008), hlm 21-22.
[8]Ibid
[9] Mudrik Al
Farizi, "Ijtihad, taqlid dan talfiq". Vol. 8 No 1, 2014, hlm
8.
[10] Tim
Penulis Buku Taklimiyah Pon.Pes Sidogiri, Fikih Kita di Masyarakat,
Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pon.Pes Sidogiri, 2008), hlm 23-26.
[11] Basiq
Djalil, Ilmu Ushul Fiqih (satu & dua), Jakarta: Kencana, 2010, hlm.
195
[12] Moh.
Rifa’i, Ushul Fiqih, Bandung: PT Alma’arif, 1973, hlm. 152
[13]
A. Hassan, Ijma’, Qiyas, Mazhab, Taqlid, hlm. 59
[14]A. Hassan,
Ijma’, Qiyas, Mazhab, Taqlid, hlm. 59
[15] Wahbah
al-Zuhaili, Syama’il al-Musthafa, Beirut: Dar al – Fikr, 2006, hlm. 33
[16] Al –
Harrani, Majmu’ah al- Fatwa, vol 10, hlm. 52
[17]
‘Abd al-Rahmān ibn Nāshir al-Sa’dī, Taisīr al-Karīm al-Rahmān fī TafsīrKalām
al-Mannān, ed. ’Abd al-Rahmān ibn Mu’allā al-Luwaihiq, Beirut:
Mu‘assasahal-Risālah, 2000, hlm. 81.
[18] Al-Sa’di,
al-Qaul al-Sadid Syarh Kitab al-Tauhid, ed. Shabri ibn Salamah Syaihin,
Riyadh: Dar al-Tsabat, 2004, hlm. 148
[19] Al-Sa’di,
Tafsir al Karim al – Rahman fi Tafsir Kalam al – Mannan, hlm 81
[23] Rahendra
Maya, Konsep Al – Ittiba’ dalam Perspektif Al – Qu’an dan Hadits, Al –
Taddabur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, hlm. 16
[25]Prof.Dr.
H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta : Kencana, 2008), hal 482
[26]Drs. H. A.
Basiq Djahl, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 207
[27] Prof.Dr.
H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta : Kencana, 2008), hal 482
[28] Drs. H.
A. Basiq Djahl, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 208
[29] Prof.Dr.
H. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana,
2010), hal 171
[30]Prof.Dr.
H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta : Kencana, 2008), hal 257
[31]Drs. H. A.
Basiq Djahl, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 178
[32]Ibid, hal
180
[33]Prof.Dr.
H. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana,
2010), hal 145
[34]Prof.Dr.
H. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana,
2010), hal 147
[35]Ibid, 148
[36] Drs. H.
A. Basiq Djahl, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 181
[37] Drs. H.
A. Basiq Djahl, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 182
[38]Prof.Dr.
H. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana,
2010), hal 152
Makasih ya Jasa Pembuatan Website Toko Online serta layanan Jasa Pembuatan Website Penjualan Online dan
BalasHapusJasa Pembuatan Online Shop
Grosir Jilbab Murah - Jilbab Segi Empat Terbaru dan Jilbab Instan Terbaru serta Jasa Pembuatan Website Murah serta Buat Toko Online Murah
sip sangat membantu, terimahkasih
BalasHapusmakasih mas telah membantu kalo bisa di perlengkap
BalasHapus