dalam
USHUL
FIQH
Faiqoh
Hami Diyah, Shefy Badrul
Lailiyah, Bela Infita
Elmawati.
Mahasiswa
PAI-A Angkatan 2015 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail:
faiqohalqadrie26@gmail.com
Abstract
This article talks about the explanationof Taqlid,Talfiq, Ittiba`, and Ijtihad in UshulFiqh. The four of which have different meanings.
The purpose of this article is the guidance of a Muslim in choosing the law as
well as knowledge of how the legal process is established. The reality of the
surrounding environment in choosing the law is very diverse, as problematic which often happened in this
country concerning the wrong wayof taking the law or
misused because of the lack of knowledge about Ushul Fiqh. For that it is
necessary for us as Muslims to know how the process of continuity of the
existing law through the science of Ushul Fiqh. Furthermore can be used as a
guide in life so that we always be careful in choosing the law, as well as can
be used as a medium of learning. In this Ushul Fiqhlesson we are also accompanied by arguments sourced from the Al-Qur`an
andhadits.
Abstrak
Artikel
ini berbicara mengenai pengertian Taqlid, Talfiq, Ittiba`, dan
Ijtihad dalam Ushul Fiqh. Yang mana keempatnya memiliki arti dan maksud
yang berbeda. Tujuan dibuatnya artikel ini adalah sebagai pegangan seorang umat
muslim dalam memilih hukum juga sebagai pengetahuan mengenai bagaimana proses
hukum ditetapkan. Kenyataan lingkungan sekitar dalam memilih hukum sangat
beraneka ragam, sebagaimana problematika yang seringkali terjadi di negeri ini
menyangkut cara pengambilan hukum yang salah ataupun disalah gunakan karena
minimnya ilmu pengetahuan mengenai Ushul Fiqh. Untuk itu dirasa perlu bagi kita
sebagai umat Muslim untuk mengetahui bagaimana proses kelangsungan hukum yang
ada melalui ilmu Ushul Fiqh. Selanjutnya bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan
agar kita selalu berhati-hati dalam memilih hukum, pun dapat digunakan sebagai
media pembelajaran. Dalam pembelajaran Ushul Fiqh ini juga kami sertai dengan
dalil-dalil yang bersumber dari Alquran dan hadis.
Keywords: Law,
Problematic, Ushul Fiqh.
A. Pendahuluan
Ulama
sependapat bahwa di dalam syari`at Islam telah terdapat segala hukum yang
mengatur semua tindak tanduk manusia, baik perkataan maupun perbuatan.
Hukum-hukum itu adakalanya disebutkan secara jelas, dan adakalanya hanya
dikemukakan dalam bentuk dalil – dalil ataupun kaidah-kaidah secara umum. Untuk
hukum yang disebutkan secara jelas, kita sebagai umat Muslim cukup menjalankan
dan mengamalkan apa adanya, karena hukum tersebut telah secara tegas disebutkan
oleh Allah. Tetapi untuk hal yang kedua, kita tidak bisa langsung melakukan
atau mengamalkan begitu saja tanpa adanya ijtihad, maka dari itu diperlukan
upaya yang sungguh-sungguh oleh para mujtahid untuk menggali hukum melalui
pengkajian dan pemahaman yang mendalam. Untuk itu, dalam hal ini dibutuhkan
kaidah dan pembahasan – pembahasan yang bisa dijadikan sarana untuk memperoleh
hukum – hukum syara` atau disebut ilmu Ushul Fiqh.
Pada
artikel kali ini, akan kami paparkan sedikit mengenai Taqlid, Talfiq,
Ittiba` dan juga Ijtihad yang mana keempatnya termasuk dalam
komponen ilmu Ushul Fiqh. Dalam hal ini, kita dapat berpegangan pada kalam
Allah yang terdapat pada surah An-Nahl ayat 43 yang artinya: Maka bertanyalah
kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. Dari
ayat tersebut dengan jelas diterangkan bahwa kita tidak diperkenankan mengambil
hukum sesuka hati, jika kita tidak mengetahui akan suatu hukum, hendaknya kita
bertanya kepada ahli dzikir atau kepada orang yang berilmu.
Agar
kita sesama umat Muslim tidak saling bercerai berai karena adanya suatu
perbedaan pendapat, maka dirasa penting untuk memahami dan mempelajari tentang Taqlid,
Talfiq, Ittiba`, dan juga Ijtihad guna memperkokoh benteng agama
Islam. Dalam artikel yang jauh dari sempurna ini, kami akan mencoba memaparkan
mengenai Taqlid, Talfiq, Ittiba`, dan juga Ijtihad.
B. Taqlid
1. Pengertian Taqlid
Definisi taqlid
menurut para ahli adalah sebagai berikut :[1]
a.
Ibn Subki dalam
kitab Jam’ul Jawami
اَحْدُ قَوْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ مَعْرِفَةٍ دَلِيْلِهِ
“Mengambil pedapat orang
lain tanpa mengetahui dalil hukumnya”
Penjelasan definisi :[2]
· Maksud kata “mengambil” adalah menerima pendapat dengan
penuh keyakinan baik diamalkan ataupun tidak.
· “Mengambil pendapat orang lain” dikecualikan
mengambil pendapat yang sudah ada dalam agama secara dhoruri
· “Tanpa mengetahui dalilnya”, dikecualikan
mengambil pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya.
b. Al-Ghazali[3]
قَبُوْلُ قَوْلٍ بِلَا حُجَّةٍ
“Menerima Ucapan tanpa hujjah”
c.
Al-Asnawi dalam
kitab Nihayat Al-Ushul[4]
التَقْلِيْدُهُوَ الاَخْد بِقَوْلِ غَيْرٍ هِ من غَيْرِ دَلِيلٍ
“Mengambil
perkataan orang lain tanpa dalil”
Banyak
definisi taqlid yang pada prinsipnya itu sama dengan definisi yang dikemukakan
diatas. Dalam kitab Jam’u al-jawami’ dijelaskan bahwasannya menerima
atau mengambil selain ucapan baik dalam bentuk perbuatan atau pengakuan tidak
disebut dengan taqlid.[5]
Meskipun
sudah dijelaskan diatas, namun masih tersisa pertanyaan sebagai berikut : (1)
untuk apa ucapan atau pedapat orang lain itu diambil atau diterima, dan (2)
bagaimana kekuatan pendapat orang yang diambil itu
Ibn
al-Humman memberikan penjelasan tentang pertanyaan diatas yaitu :[6]
“Taqlid
ialah beramal dengan pendapat seseorang yang pendapatnya itu bukan merupakan
hujjah, tanpa mengetahui hujjahnya”.
Menerima
pendapat Nabi yang bernilai hujjah dengan sendirinya, begitu pula jika menerima
pendapat yang lahir dari kesepakatan dalam ijma’ tidak disebut dengan taqlid,
meskipun dalam penerimaannya tanpa hujjah atau tidak mengetahui dalilnya.
Sebaliknya, pendapat mujtahid perseorangan adalah bukan hujjah, maka bila
seseorang mengikuti pendapat mujtahid itu tanpa mengetahui dalilnya, bisa
disebut dengan taqlid.
Dari
penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat taqlid :[7]
a.
Taqlid itu
adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain
b.
Pendapat atau
ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujjah
c.
Orang yang
mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab-sebab atau dalil-dalil
dan hujjah dari pendapat yang diikutinya itu.
2. Hukum Taqlid
وَإِذَا قِيلَ
لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا
عَلَيْهِ آبَاءَنَا
“Dan apabila
dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". Mereka
menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati
bapak-bapak kami mengerjakannya"” (Q.S. Luqman:21)
Namun
disisi lain ada ayat Alquran yang
mengisyaratkan bahwa tidak semua harus belajar agama, maka yang lain hanya akan
mengikuti. Dalam surat At Taubah 9:122 :
فَلَوْلَا نَفَرَ
مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
“Kenapa
tidak keluar sebagian dari setiap golongan di antara mereka untuk mendalami
pengetahuan agama dan mengajari (memperingatkan) kaumnya setelah kembali” (Q.S. At-Taubah:
122)
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ
كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“ Maka
bertanyalah kepada ahli ilmu, jika kamu tidak mengetahui” (Q.S. An-Nahl:
43)
Dari
ketiga ayat diatas ada yang mengisyaratkan untuk bertaqlid dan ada yang tidak,
maka dari itu muncullah banyak spesifikasi yang meluas dikalangan ulama’
tentang hukum bertaqlid.
Bertaqlid
dalam hal ushuluddin menurut Al Ghazali berpendapat bahwa untuk mendapatkan
sebuah ilmu yang yakinkan bukan memalui bertaqlid, apalagi dalam hal
ushuluddin. Dimana seseorang itu harusmengetahui allah untuk yakin dan paham.[9]
Akan tetapi dijelaskan oleh Al anbari bahwasannya boleh boleh saja bertaqlid
dalam bidang ushuluddin dan tidak wajib ijtihad karena dalam hal ushuluddin
cukup akad atau syahadat yang kuat. Alasan dikemukakannya pendapat Al Anbari
ini adalah ia mengambil sudut pandang orang awam yang tidak memiliki kemampuan
dalam berijtihad maka dicukupkanlah dengan aqad yang kuat dan bertaqlid pada
imam yang diyakininya diperbolehkan.
Maka
dari itu disimpulkan bahwa bertaqlid dalam hal ushuluddin ia akan berdosa
menurut pandangan imam Al ghozali karena meningggalkan kewajiban berijtihad dan
tidak berdosa menurut pandangan Al Anbari.[10]
Taqlid
dalam bidang furu’ fiqhiyyah ibnu subkhi membagi menurut empat golongan :
a. Orang
yang tidak mempunyai keahlian sama sekali.
b. Orang
alim namun belum sampai ke tingkat mujtahid
c. Orang
yang mampu melakukan ijtihad namun baru smapai tingkat dugaan kuat.
d. Mujtahid
Kebolehan
bertaqlid tergantung dalam golongan tersebut. Orang yang mampu berijtihad namun
hanya pada tingkatan dugaan kuat maka kedudukannya disamakan dengna mujtahid.
Nah dua golongan ini dipisahkan lagi oleh Ar-razi pada dua keadaan yakni :
1) Ia
bertaqlid kepada mujtahid lain dalam masalah yang sama yang hasil ijtihadnya
berbeda dengan hasil ijtihadnya sendiri.
2) Dalam
masalah yang ia taqlid itu, ia belum pernah melakukan ijtihad.[11]
C. Talfiq
Talfiq
(تلفيق ) berasal dari kata لفّقyang
artinya mempertemukan menjadi satu[12].
Secara definitif, talfiq adalah mengumpulkan dua pendapat atau lebih
dalam satu rangkaian hukum (qadliyah)[13].
Adapun syarat tidak adanya talfiq dalam bertaqlid adalah qaul
mu`tamad (pendapat yang menjadi pegangan) kalangan Syafi`iyyah, Hanafiyyah,
dan Hanabilah. Sedangkan fuqoha` madzhab Malikiyyah memperbolehkan talfiq dalam
hal-hal yang bersangkutan dengan ibadah.
Seperti
contoh, seseorang bertaqlid pada madzhab Syafi`i dalam hal berwudlu dengan
hanya mengusap sebagian kepala, di sisi lain dia bertaqlid pada madzhab Hanafi
dalam hal tidak batalnya wudlu apabila bersentuhan kulit dengan lawan jenis
selain mahram, kemudian dia melaksanakan sholat. Maka, wudlu dengan
menggunakan tata cara seperti ini dianggap tidak sah oleh kedua imam madzhab
tersebut. Karena dalam madzhab Syafi`i menganggap wudlu tersebut menjadi batal
apabila bersentuhan dengan lawan jenis, sedangkan madzhab Hanafi menganggap
tidak sah apabila berwudlu hanya dengan mengusap seperempat bagian kepala.
Walaupun
ulama mutaakhiriin melarang tindakan talfiq dalam bertaqlid,
sebagian ulama menentang keras akan pendapat ini. Pada uraian terdahulu
diterangkan bahwasannya istilah talfiq dimunculkan oleh ulama mutaakhiriin,
dimana saat itu orang-orang lebih cenderung berpola pikir taqlid. Pada
masa-masa sebelumnya, pun pada masa Rasulullah sama sekali tidak ada istilah talfiq,
karena pada masa beliau adalah masa penyampaian wahyu, sehingga ijtihad hampir
tidak pernah terjadi, karena semua solusi problematika keagamaan dan kehidupan
dikembalikan kepada Rasulullah SAW. Pada masa Sahabat juga tidak pernah
mempermasalahkan tentang talfiq. Mereka bisa bertanya pada siapapun
tanpa harus membatasi pada satu orang atau lebih. Begitupun mengenai
fatwa-fatwa mereka, tidak ada yang mengharuskan untuk mengikutinya ataupun
melarang mengikuti yang lain. Begitupun pada masa imam empat tidak pernah ada
penyebutan larangan talfiq[14].
Adanya
fakta-fakta yang disebutkan di atas menjadikan lemahnya pendapat ulama mutaakhiriin
mengenai larangan talfiq. Karena pasti akan menimbulkan sebuah
pertanyaan menyangkut adanya larangan talfiq yang baru dipersoalkan pada
masa-masa akhir, yang mana pada masa terdahulu tidak dipersoalkan. Selain itu,
larangan talfiq bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW.
اختلافُ أمّتي رحمةٌ (رواه
البيهقي)
Artinya:
“Perbedaan di antara ummatku adalah
sebuah rahmat”. (HR. Baihaqi)
Adanya larangan talfiq juga akan
bertentangan dengan syari`at Islam, yaitu bahwa Islam adalah agama yang mudah
dan murah, tidak mempersempit atau mempersulit[15].
Seperti yang tertulis dalam Alquran:
وما جعل عليكم في الدّينِ من حرجٍ ( الحج 78)
Artinya:
“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan”. (Q.S. Al-Hajj: 78).
يريدُ اللهُ بكُمُ اليُسرَ ولا يريدُ بكم العُسرَ ( البقرة 185)
Artinya:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (Q.S. Al-Baqarah: 185)
Al-Kamal ibn Hamman pun mengatakan, bahwa
tidak ada nash Alquran
maupun Sunah yang mewajibkan seseorang harus terikat dengan salah satu madzhab
saja. Demikian juga tidak ada nash Alquran maupun Sunah yang secara jelas melarang seseorang untuk
berpindah madzhab. Yang ada adalah nash tentang kewajiban bagi orang yang tidak
mengerti untuk bertanya kepada ahli dzikir sebagaimana yang difirmankan Allah
SWT dalam Q.S. An-Nahl ayat 42[16].
Setelah
pemaparan di atas, tidak kemudian serta merta ulama memperbolehkan pelaksanaan talfiq,
karena pada kenyataannya, statemen para ulama yang memperbolehkan talfiq tidak
secara mutlak, akan tetapi pada batasan-batasa tertentu. Dalam hal ini terdapat
dua hal yang melarang adanya talfiq:
Pertama, talfiq
yang akan menimbulkan penghalalan atas hal-hal yang haram. Seperti
berzina, minum khamr, mencuri dll.
Kedua,
talfiq dilihat dari sisi negatif yang akan timbul kemudian. Maka dalam hal
ini diklasifikasikan menjadi tiga hal:
a.
Talfiq yang
dilakukan dengan sengaja demi hanya untuk mencari keringanan saja, dalam artian
memilih pendapat setiap ulama yang ringan-ringan tanpa ada udzur atau dlarurat.
Maka dalam hal ini, mengambil langkah talfiq adalah dilarang.
Al-Ghazali
berkata: “Seseorang tidak boleh mengadopsi pendapat-pendapat lain dengan
sesuka hati. Dan bagi orang awam tidak diperbolehkan memilih pendapat yang
ringan-ringan saja dari segala madzhab, sehingga bisa berbuat seenaknya
sendiri” [17].
Termasuk
adalah, apabila dalam memilih pendapat yang ringan-ringan hanya karena menjadi
sebuah bentuk pembelaan terhadap hawa nafsu. Sedangkan mengikuti hawa nafsu
sangat dilarang oleh syara`. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Alquran:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ (النسا ْ
59)
Artinya:
“Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Alquran)
dan Rasul-Nya (Sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. (Q.S. An-Nisa`: 59).
Dalam
ayat ini sangat jelas diterangkan bahwa tidak diperbolehkan mengembalikan suatu
persoalan kepada nafsunya, melainkan kepada syari`at (Allah dan Rasul-Nya).
b.
Talfiq yang
akan berdampak pada pembatalan keputusan hakim, karena keputusan hakim disini
berfungsi untuk meyelesaikan sebuah kontroversi pendapat ulama, agar terhindar
dari terjadinya kekacauan dan juga ketidakberaturan.
c.
Talfiq
yang berakibat pada tercabutnya sebuah perbuatan yang sudah terlaksana atau
yang sudah dikerjakan, yang mana timbul dari taqlid pada mdzhab yang lain.
Seperti contoh: seorang suami berkata kepada istrinya انت طالقٌ البتّة(kamu jelas tertalak), dan pada saat itu dia berkeyakinan
bahwa talaknya jatuh sebanyak tiga kali karena mengikuti ulama yang berpendapat
demikian. Kemudian setelah terjadi (dan pada saat itu ia beranggapan istrinya
haram atau kata lain tidak boleh diruju`), ia berubah keyakinan bahwa talaknya
hanya jatuh satu kali sehingga istrinya boleh diruju` dikarenakan mengikuti
pendapat ulama yang mengatakan bahwa talaknya jatuh satu kali. Maka, dalam
kasus semacam ini, ia wajib berpegangan pada hukum dengan pendapat pertama.
Dalam artian bahwa status istrinya tidak boleh diruju` kembali dengan
keyakinannya yang baru. Dalam contoh ini terdapat unsur pencabutan perbuatan
yang pertama, karena mengikuti pendapat madzhab kedua.
Dalam
sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
ما نهَيتُكُم عنه فاجتنبوه وما أمرتُكُم بهِ فافعلُوا منه ما
استَطعْتم (رواه البخاري و مسلم)
Artinya:
“Apa yang telah aku
larang, maka jauhilah. Dan apa yang aku peritahkan kepadamu, maka laksanakanlah
semampumu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada paparan hadits di atas, dikatakan bahwa dalam pelaksanaan
perintah adalah sebatas kemampuan, sementara dalam hal larangan tidak ada tawar
menawar atau tidak ada pembatasan (mutlak). Karena untuk mengantisipasi dampak
negatif pada hal-hal yang dilarang. Karenanya, dalam hal pelarangan juga tidak
boleh dilakukan talfiq, berdasarkan prinsip kehati-hatian. Sebagaimana
yang disebutkan dalam sebuah hadits:
دَعْ
ما يَريبُكَ الى ما لا يريبُك (رواه الترمذي و النسائي و احمد و ابن حبّان
والحاكم)
Artinya:
“Tinggalkanlah
sesuatu yang meragukanmu, menuju sesuatu yang tidak meragukanmu”. (HR.
Turmudzi, Nasa`i, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).
Pada intinya, dalam
bertalfiq yang terpenting adalah meninggalkan maksud dalam penurutan terhadap
hawa nafsu. Karena syari`at tidak terbangun atas dasar penurutan hawa nafsu,
justru bertindak sebagai pengendalinya. Maka dari itu, setelah berupaya
maksimal dengan segenap kemampuan, maka semuanya kembali pada hati nurani.
D. Ittiba`
Ittiba
ditinjau dari segi bahasa berarti “menurut” atau “mengikuti”,
sedangkan orang yang diikuti disebut muttabi. Ushuliyyin mengatakan
bahwa itiiba` adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan
atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Dalam versi lain, ittiba`
diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui alasan atau
argumentasinya mengenai pendapat yang diikuti[18].
Sedangkan ittiba` di kalangan Ahli Sunnah memiliki dua makna. Pertama,
mengikuti apa-apa yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW
melalui wahyu. Kedua, mengikuti pendapat seseorang yang disertai dengan
dalil yang cukup kuat bersumber dari ayat Alquran, sunah Nabi SAW serta atsar
Sahabat[19].
Ittiba`
bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Ittiba` kepada
Allah dan Rasul-Nya.
b.
Ittiba` kepada
selain Allah dan Rasul-Nya.
Ittiba`
terhadap Allah dan Rasul-Nya adalah wajib sesuai dengan Firman
Allah SWT dalam Alquran
surah Al-A`raf ayat 3 yang berbunyi:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا
مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Artinya:
“Ikutilah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (Q.S.
Al-A`raf: 03).
Mengenai
ittiba` kepada para ulama ataupun mujahid (selain Allah dan Rasul-Nya)
terdapat beberapa perbedaan. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, ittiba` hanya
boleh dilakukan terhadap Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa ittiba`
diperbolehkan kepada ulama yang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya`
(pewaris para Nabi)[20],
dengan alasan Firman Allah yang terdapat pada surah An-Nahl ayat 43 yang
berbunyi:
فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:
“Maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (Q.S. An-Nahl: 43).
Yang dimaksud dari kata الذكر(orang-orang
yang punya ilmu pengetahuan) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli
dalam ilmu Alquran dan Hadis, dan bukan orang-orang yang memiliki pengetahuan
hanya berdasarkan pengalaman semata, karena orang-orang yang seperti ini
dikhawatirkan akan seringkali melakukan penyimpangan-penyimpangan di dalam
menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Nabi. Maka dari itu, tidak dibenarkan
untuk berittiba` dengan orang-orang semacam ini[21].
E. Ijtihad
1. Pengertian
Ijtihad berasal dari kata (jahada) yang berarti
pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh suatu dari berbagai urusan.
Sedangkan secara istilah menurut salah satu ahli ushul fiqh adalah “pengerahan
segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh
pengetahuan tentang hukum-hukum syara”. Salah satu motivasi untuk melakukan
ijtihad yaitu saat Umar bin Khattab berkata pada Abu Musa Al-Asy`ariy:
“Keputusan
yang kamu buat hari ini, hendaknya tidak menghalangimu untuk merevisi
pendapatmu agar kamu diberi petunjuk untuk melihat kembali kebenaran.
Sesungguhnya kebenara itu bersifat qadim (abadi), tidak ada sesuatupun yang
bisa membatalkannya. Meneliti kembali kebenaran itu lebih baik dari
bersikukuh pada kebatilan”[22]
2. Dasar-dasar penetapan ijtihad sebagai dasar tasyri’. [23]
a. Alquran
Alquran
sedikitpun tidak mengalami perubahan apapun baik ditinjau dari segi isi, lafadz
pun susunan redaksinya juga hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Hal ini
sudah dijamin oleh Allah Swt dalam firman-Nya:[24]
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Artinya:
”Sesungguhnya
Kami telah menurunkan al-Dzikr (Alquran), dan
sungguh Kami selalu menjaganya”. (Q.S.
Al-Hijr: 09)
Adapun
dalam surat an-nisa’ ayat 59 telah dijelaskan:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ
Artinya:
“Hai orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasululah dan orang orang yang memegang kekuasaan di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Hadis)”.[25]
Dalam ayat diatas
dijelaskan bahwasannya diperintahkan untuk mengembalikan segala sesuatu
permasalahan kepada Allah dan Rasululah yang telah mensyariatkan dalam nash
nashnya.[26] Jadi Alquran
adalah sebaik baik rujukan dalam setiap permasalahan dengan keyakinan Alquran adalah
kitab yang diturunkan kepada Nabi penutup zaman yakni Muhammad saw sebagai
kitab penyempurna bagi kitab-kitab sebelumnya untuk menjadi pedoman bagi
penganut agama islam yang berlandaskan rahmatan lil’alamin.[27]
b. Sunah
Berikut adalah hadist yang menjadi dasar sunnah
menjadi dasar ijtihad. Hadist ini diriwayatkan oleh Al-Baghawi dari Muadz bin
Jabal yang artinya :
“Pada waktu
Rasulullah mengutusnya (Muadz bin Jabal) ke Yaman, Nabi bersabda untuknya :
Bagaimana kalua engkau diserahi urusan peradilan? Jawabnya : Saya menetapkan perkara berdasarkan
Alquran. Sabda Nabi selanjutnya : Bagaiman akalau tidak kau dapati dalam
Alquran? Jawabnya : Dengan sunnah Rasul. Sabda Nabi selanjutnya: Bila dalam
sunnah pun tak kau dapati? Jawabnya : saya akan mengarahkan kesanggupan saya
untuk menetapkan hukum dengan pikiranku. Akhirnya Nabi menepuk dada dengan
mengucap semua puji bagi Allah yang telah memberi taufik (kecocokan) pada
utusan Rasulullah (Muadz)” . [28]
c. Dalil
Aqli
Allah swt
menjadikan Nabi muhammad sebagai pembawa syariat agama terakhir sampai akhir
zaman, sedangkan ayat dan sunah terbatas, serta zaman terus berkembang dan
persoalan-persoalan semakin kompleks sesuai dengan kemajuan zaman.[29] Dengan keadaan
seperti ini harus ada jalan keluar yakni :
Dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Said bin Musayyab dari Ali bin Abi Tholib yang artinya :
“Saya berkata
pada Nabi : Masalah yang perlu
mendapatkan ketentuan yang hukumnya selalu datang. Tetapi ayat-ayat Alquran
tidak turun, dan tidak juga ada penetapan darimu. Maka Sabda Nabi : Kumpulkan
orang-orang pandai atau dalam satu riwayat orang-orang Ibadah (Abidin)
dikalangan kaum mukmin, maka adakan musyawarah dan jangan menetapkan keputusan
dengan hanya berdasarkan satu pendapat”.[30]
3.
Fungsi ijtihad
Dalam kitab
pertama ushul fiqh yakni Ar-risalah karangan Imam Syafi’I, beliau menegaskan
betapa sempurnanya Alquran : “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada
seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk
tentang hukumnya”. Menurut Imam Syafi’I Alquran
mengandung hukum-hukum yang bisa menjawab berbagai permasalahan hanya bisa
digali dengan ijtihad. Nah, dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan betapa
pentingnya kedudukan Ijtihad disamping Alquran dan Sunah. Selain itu ijtihad
juga berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang ada dalam Alquran
dan Sunah karena dengan ijtihad ayat dan sunah yang terbatas bisa menjawab
segala permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.[31]
4.
Macam-macam ijtihad
a.
Ijtihad Fardhi
Yakni
ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam memecahkan persoalan secara
individu bukan kelompok.
b.
Ijtihad Jama’i
c.
Yakni ijtihad yang dilakukan
sekelompok mujahidin untuk mengadakan analisa terhadap suatu persoalan dan
mencari jawaban melalui ijtihad keputusan bersama.
Ditinjau dari segi
lapangannya, ijtihad dibagi menjadi 3 :[33]
a. Ijtihad terhadap sesuatu yang dhanni atau belum jelas,
yakni denganmentarjihkan pemahaman yang tepat dan sesuai dengan
maksud-maksudnash.
b. Ijtihad untuk menghasilkan hukum syara’ dengan
penetapan kaidahkulliyah yang bisa diterapkan tanpa adanya nash atau ijma’
didalamnya.
c. Ijtihad birro’yi yakni berijtihad dengan berpanduan
pada tanda dan wasilah yang telah ditetapkan syara’ untuk menunjukan suatu
hukum. Hal ini bisa diterapkan pada persoalan yang tidak ada nashnya dan tidak
bisa
diterpakan dengan kaidah kulliyah.
5.
Syarat-syarat menjadi mujtahid[34]
a.
Mampu memahami Alquran secara keseluruhan, yakni baik tekstual maupun
kontekstual. Kemampuan ini harus dimiliki oleh mujtahid karena Alquran memiliki
beberapa aspek yang harus dipertimbangkan saat mefsirkan sebuah ayat. Misalnya
asbabu nuzul, dan segi bahasanya.
b.
Mampu memahami hadis-hadis hukum,
Menurut sebagian ulama’ misal Ibnu ‘arabi ahli tafsir dari kalangan malikiyah
dinukil oleh wahbah az zuhaili harus hafal sekitar 3000 hadis hukum, menurut
ahmad hambal 1200 hadis. Namun dari
kesemua itu menurut wahbah azzuhaili tidak sepakat atas pembatasan memahami
hadis tersebut. Dalam artian seorang mujtahid harus mamu lebih global dari pada
hal itu.
c.
Menguasai ilmu ‘ulumul Qur’an.
d.
Memahami asbabun nuzul setiap ayat Alquran dan Asbabul wurud sebuah
hadist.
e.
Menguasai bahsa arab secara lengkap.
f.
Menguasai ilmu ushul fiqh.
6.
Tingkatan ijtihad berdasarkan tingkatan mujtahid[35]
a.
Mujtahid Musaqil
Tingkatan ini
adalah tinggakatn paling tinggi dalam level seorang mujtahid, karena dia mampu
berijtihad secara independen dan tidak taqlid kepada mujtahid lain, baik dari
segi metode maupun hasil ijtihadnya. Mereka
punya metode sendiri dan melakukan metode itu pula dalam berijtihad. Contoh
dalam tingkatan ini adalah imam emapt madzhab. Imam Abbu Hanifah, Imam Malik,
Imam syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal.
b.
Mujtahid Muntasib
Mujtahid level
ini seorang mujtahid berpegang pada ushul fiqh seorang mujtahid mustaqil,
meskipun mereka bebad berijtihad tanpa terikat dengan seorah Mujahid Mustaqil.
Contoh mujahid tingkat ini ialahMuhammad bin Al Hasan Syaibani, Qadhi Abu
Yusuf, Al Muzanni dll.
c.
Mujtahid Fii Madzhab
Pada tingkat ini
seorang mujtahid bertaqlid pada seorang imam, dan akan berijtihad apabilan
tidak ditemukan suatu hukum dalam buku-buku imam tersebut dan tidak berijtihad
hukum-hukum yang sudah ditetapkan imam mujtahid panutannya. Contoh mujtahid level ini adalah Abu hasan al karkhi,
Abu Ja’far At thahawi dll.
F.
Penutup
Setelah melihat dan mempelajari hasil kajian diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa hakikatnya manusia dianugerahi oleh Allah berupa akal untuk
berfikir, jiwa untuk merasa, keinginan juga nafsu untuk dapat menjalankan
kewajiban yang seharusnya kita kerjakan, seperti beribadah untuk menjalankan
syari`at agama Islam sesuai dengan petunjuk Alquran dan Sunah. Disamping
berpedoman pada hukum Allah dan Rasulullah, manusia pun bisa melakukan ibadah lantaran
patuh terhadap perintah ulama. Karena asal muasalnya perintah ulama pun
bersumber dari Allah SWT. Memang dalam hukum Ushul Fiqh diperbolehkan untuk
mengikuti ulama tanpa tau dalil hukumnya (taqlid), namun alangkah
baiknya jika kita mengikuti ulama dengan mengetahui dalil – dalil hukumnya (ittiba`).
Dalam mengambil suatu hukum harus disertai
dengan kehati – hatian dalam artian mengikuti pendapat ulama yang wara` serta
bersungguh – sungguh dalam memperoleh hukum syara` (ijtihad). Kemudian,
saat telah berpedoman pada satu hukum atau satu madzhab, hendaknya tidak
mengikuti madzhab lain (talfiq) hanya demi untuk memenuhi hawa nafsunya
saja (menyepelekan hukum dengan mencari hal-hal yang ringan saja) tanpa adanya
kepentingan mendesak atau dlarurot. Sesungguhnya Islam adalah agama yang indah,
agama yang mudah dan tidak mempersulit. Tetapi meskipun begitu, kita sebagai
umat Muslim hendaknya semakin memperindah Islam itu sendiri dengan tidak
menyepelekan hal sekecil apapun juga menghargai perbedaan, layaknya Imam
Syafi`i yang tidak berqunut di rumah Imam Malik, pun Imam Malik yang berqunut
di rumah imam Syafi`i. Wallahu a`lam bisshowab.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Asjmuni.Pengantar kepada Ijtihad. Jakarta: Bulan Bintang,1978.
Effendi, Satria Zein, M. Ushul Fiqh.Jakarta:
Prenamedia Group, 2005.
Koto, Alaiddin.
Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Nor
Najwa Ghazali-Musthafa Abdullah. Tafsiran Fiqh Syekh Abu Bakar Al-Ashaari:
Satu Anjakan Paradigma. Shariah Journal. Vol. 16 No. 01, 2008.
Pokja Forum Karya Ilmiah (FKI). Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam.
Kediri: Hidayatul Mubtadi-ien Lirboyo, 2008.
Syarifudin,
Amir. Ushul Fiqh 2 edisi revisi. Jakarta: Kencana, 2008.
Suyatno. Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2011.
Yusdani, Amir Mu’allim.Ijtihad dan Legislasi Muslim
Kontemporer. Yogyakarta: UII Press, 2004.
Yasin,
Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh, (Paper presented at Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Ampel Surabaya. Surabaya, 10 Juli 2013).
Zaidan,
Abdul Karim. Pengantar Studi Syariat.Jakarta: Robbani Press, 2008.
Catatan:
1.
Similarity 7%. Lumayan
bagus...
2.
Abstrak masih belum
sesuai
3.
Referensi yang diulang
tidak perlu dicantumkan semua keterangan bukunya.
[1] Amir
Syarifudin. Ushul Fiqh 2 edisi revisi. (Jakarta: Kencana,2008). Hlm. 459
[2] Ibid
[3] Amir
Syarifudin. Ushul Fiqh 2 edisi revisi. (Jakarta: Kencana,2008). Hlm. 460
[4] Ibid
[5] Ibid.
461
[6] Ibid
[7] Ibid.
462
[8] Ibid.
464
[10] Ibid.
466
[11] Ibid.
467
[12]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2008),
hlm. 482
[13]
Pokja Forum Karya Ilmiah (FKI), Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam,
(Kediri: Hidayatul Mubtadi-ien Lirboyo, 2008), hlm. 397
[14]
Ibid
[15] Ibid
[16]
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2011), hlm. 46
[17] Pokja
Forum Karya Ilmiah (FKI), Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri:
Hidayatul Mubtadi-ien Lirboyo, 2008), hlm. 401
[18]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
hlm. 129
[19] Nor
Najwa Ghazali-Musthafa Abdullah, Tafsiran Fiqh Syekh Abu Bakar Al-Ashaari:
Satu Anjakan Paradigma, Shariah Journal, Vol. 16 No. 01, 2008, hlm. 53
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Abdul
Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, (Jakarta: Robbani Press, 2008),
hlm. 188
[23]Amir Mu’allim, Yusdani, Ijtihad
dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm.
11-12
[24] Ahmad
Yasin, Ilmu Ushul Fiqh, (Paper presented at Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Ampel Surabaya,
Surabaya, 10 Juli 2013).
[26]Ibid
[27]Amir Mu’allim, Yusdani, Ijtihad
dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm.
43
[29]Ibid. 13
[30]Ibid. 11
[32]Ibid. 17
[34]Satria Effendi, M. Zein, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Prenamedia Group, 2005), Hlm. 251-255
[35]Satria Effendi, M. Zein, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Prenamedia Group, 2005), Hlm. 256-258
Tidak ada komentar:
Posting Komentar