SEJARAH PERTUMBUHAN DAN
PERKEMBANGAN USHUL FIQIH
Rahma Rizki Larasati, Octa
Ainur Rizki, Khusnul Khotimah
Mahasiswa PAI- B Angkatan
2015 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
email :
@rahmarizki.larasati@gmail.com
Abstract : Ushul Fiqh is a science
called Fiqh become spear of fiqh law that exists now. But instead of
immediately without going through the process of historical development and
growth that is considered easy. Development history of the ushul fiqh is one of
the core of islam wich is certainly islam and muslims overall behavior needs to
be directed to Islamic law, as with other Islamic sciences, Ushul Fiqg is based
with the Qur’an and Sunnah. The science of ushul fiqh had several phases of
development, and the era of Imam Al-Shaafa’I is the most scintialling for the
science of Ushul Fiqh, the science of Ushul Fiqh is capable of equality with
another science in concrete. The science of Ushul Fiqh can be a reference to
the mujtahid in resolving the issues wich are more difficult until the
modern era.
Keyword : Ushul Fiqh, growth,
development
Abstrak : Ushul fiqih merupakan suatu
ilmu metodologi dari ilmu yang disebut dengan fiqih menjadi tombak dari hukum fiqih
yang ada hingga saat ini. Namun bukan serta merta tanpa melalui proses sejarah
perkembangan dan pertumbuhan yang dianggap mudah. Sejarah perkembangan ushul
fiqh pun merupakan salah satu tonggak sejarah islam yang tentunya dalam
kehidupan dan perilaku orang islam keseluruhan perlu diarahkan dengan hukum islam,
sama halnya dengan ilmu keislaman yang lain, ushul fiqih ini berlandaskan
dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ilmu Ushul fiqh sendiri mempunyai beberapa
fase perkembangan, dan pada zaman Imam Syafi’i adalah masa paling gemilang bagi
ilmu ushul fiqh, yang mana dengan keetosan dan kecerdasan beliau, ilmu ushul
fiqih ini mampu bersanding dengan ilmu pengetahuan yang lain secara konkrit.
Ilmu Ushul Fiqih dapat menjadi rujukan bagi para mujtahid dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang semakin banyak sampai pada zaman modern ini.
Kata kunci : Ushul Fiqih, pertumbuhan,
perkembangan
A.
Pendahuluan
Bagaimana
cara membedakan antara fiqih dan ushul fiqih? Pertanyaan yang sering menjadi
perdebatan diantara beberapa forum diskusi. Memang benar, fiqih itu berbeda
dengan ushul fiqih. Ilmu fiqih itu lahir melalui proses yang digariskan dalam
ilmu ushul fiqih. Maksudnya, fiqih adalah hasil penalaran dari seseorang yang
berkualitas mujtahid atas hukum Allah atau hukum-hukum amaliyah yang dihasilkan
dari dalil-dalilnya melalui penalaran atau ijtihad.[1]
Sedangkan Ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara
mengeluarkan hukum dari dalil-dalilNya. Namun artikel ini tidak akan membahas
tentang perbedaan antara fiqih dan ushul fiqih melainkan membahas tentang
sejarah pertumbuhan awal dari ushul fiqih.
Munculnya
ushul fiqih bersamaan dengan ilmu fiqih, akan tetapi penyusunan ilmu fiqih
lebih dahulu daripada ushul fiqih. Seharusnya keberadaan ushul fiqh lebih
dahulu daripada fiqih yang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW karena Ushul
fiqh merupakan ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid pada waktu
menghasilkan fiqihnya.[2]
Hukum
Islam dalam pertumbuhan dan perkembangannya, sama seperti makhluk hidup tidak
lahir tanpa melalui sesuatu dan tidak akan mencapai kesempurnaan tanpa melalui
proses yang sangat panjang. Namun ia lahir dari sesuatu yang telah ada
sebelumnya, tumbuh dan mencapai puncak kematangan dan kesempurnaan, kemudian
mengalami berbagai macam peristiwa sampai pada masa tuanya.
Dari
penjelasan diatas, sebelum mengkritisi hukum-hukum dan penetapan-penetapan atas
permasalahan yang berada di lingkungan sekitar, penting bagi setiap muslim
memahami terlebih dahulu sejarah atau fase-fase pertumbuhan dan perkembangan ilmu ushul fiqih.
B.
Fase
Pertumbuhan.
Masa Rasulullah SAW
Pada
saat dimana Nabi Muhammad SAW masih hidup, beliau adalah sumber utama
hukum dari semua permasalahan dan
peristiwa yang ada. Segala persoalan hukum yang timbul ditanyakan kepada
Rasulullah Muhammad SAW. Dengan demikian, beliau akan memberikan jawaban hukum
dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an dan dalam keadaan tertentu jika tidak
ditemukan jawabannya di dalam Al-Qur’an, beliau menjawab dengan ketetapan
beliau atas petunjuk dari Allah SWT. yang biasa disebut hadits atau sunnah.
Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Q.S An Nahl : 44)
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ
وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٤٤
Artinya
:
“ Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar engkau menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya.”
Bila
para sahabat Nabi menemukan kejadian atau peristiwa yang timbul dalam kehidupan
mereka dan memerlukan jawaban, mereka akan mencarinya di dalam Al-Qur’an. Bila
tidak menemukannya jawaban secara harfiah di dalam Al-Qur’an, mereka mencoba
mencarinya dalam koleksi hadits Nabi. Dan bila dalam koleksi hadits Nabi mereka
masih belum menemukannya juga, mereka menggunakan daya nalar yang dinamakan ijtihad.[3] Sebenarnya
jika membahas tentang ijtihad, Rasulullah SAW dimasanya juga berijtihad, namun
perbedaannya yaitu rujukan Rasulullah ialah wahyu Allah, karena Allah tidak
akan membiarkan RasulNya dalam kekeliruan. Ijtihad Nabi terjamin kebenarannya,
dan bila salah, seketika itu juga datang wahyu untuk membetulkannya. Demikian
demi terjaganya syari’at.[4]
Rasulullah
SAW dalam memecahkan masalah yang muncul, terkadang juga meminta pendapat para
sahabat melalui forum diskusi atau musyawarah. Sebagai contoh, beliau meminta
pertimbangan kepada Abu Bakar dan Umar dalam menangani tawanan perang Badar.[5] Menurut Abu Bakar agar mereka (para tawanan perang
Badar) dibebaskan dengan membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bin Khattab,
mereka harus dibunuh, karena mereka telah mendustakan dan mengusir Rasulullah
SAW dari Makkah. Dari dua pendapat tersebut, beliau memilih pendapat Abu Bakar.
Kemudian turun ayat Al-Qur'an yang tidak membenarkan pilihan beliau tersebut
dan menunjukkan kepada yang benar, yakni Q.S Al anfal ayat 67 :
مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ لَهُۥٓ أَسۡرَىٰ
حَتَّىٰ يُثۡخِنَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ ٱلدُّنۡيَا وَٱللَّهُ يُرِيدُ
ٱلۡأٓخِرَةَۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٦٧
Artinya
:
"Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah
sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Kuasa
lagi Maha Bijaksana."
Di masa hidup Rasulullah SAW terciptanya
dasar-dasar hukum yang bersifat menyeluruh,
di rinci mujema nya, dibatasi mutlaknya, ditakhsiskan umumnya, dan
dinasakh (dihapus) jika Allah menghendaki untuk menghapusnya. Kesemuanya itu
telah dikokohkan dasar-dasarnya dan ditetapkan asas-asasnya,[6] dan semuanya itu telah sempurna di zaman
risalah. Sebagaimana firman Allah Q.S Al-Maidah ayat 3 :
ٱلۡيَوۡمَ
أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ
دِينٗاۚ
Artinya
:
“Pada
hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu
dan telah kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu.”
Dan diriwayatkan oleh Al Hakim dari Abuhurairah
r.a bahwasanya Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Saya tinggalkan
ditengah-tengah kamu sekalian yang apabila kamu memegang teguh padanya, kamu
tidak akan tersesat sesudah aku (tinggalkan kamu), yaitu Kitabullah (Al Qur’an)
dan Sunnah Rassul-Nya”.
Dari
ayat dan hadits tersebut dapat diketahui bahwa Rasulullah SAW tidak meninggalkan
kehidupan dunia ini kecuali telah sempurna pembinaan syari’ah Islam. Ijtihad
sahabat dan tabi’in sesudah Rasulullah wafat bukanlah tasyri’ pada hakikatnya,
akan tetapi suatu pengembangan dalam dasar-dasar yang universal, dan
menerapkannya pada berbagai peristiwa yang sering terjadi, dan juga merupakan
istinbat bagi pengertian hukum, serta melakukan kias padanya dalam hal-hal yang
tiada nasnya. Oleh karena itu tiada sumber tasyri’ selain Al Qur’an dan As
Sunnah.[7]
Adapun
hadits tentang pengutusan Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi, mempunyai arti
bahwasanya pada kasus ini Rasulullah SAW menunjukkan perijinan yang luas untuk
melakukan ijtihad hukum pada masa Rasulullah, Nabi bersabda yang artinya :
“Bagaimana
engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang
diajukan kepadamu ? Jawab mu’az saya akan mengambil suatu keputusan hukum
berdasarkan kitab Allah (Al-Qur’an). Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab
Allah ? Jawab mu’az, saya akan mengambil keputusan berdasarkan sunnah
Rasulullah. Tanya Nabi, jika engkau tidak ketemukan dalam sunnah ? Jawab mu’az,
saya akan berijtihad dan saya tidak akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk
dada Mu’az seraya mengatakan segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik
utusan Rasulnya pada sesuatu yang diridhai oleh Allah dan RasulNya.”
Jelas
bahwa hadis diatas, secara tidak langsung Rasulullah memberikan legalitas
kepada para sahabat untuk mengembangkan akal dalam penetapan hukum yang belum
tersurat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam haditsnya Nabi memberikan
kebolehan bagi manusia untuk mencari solusi terhadap urusan-urusan keduniaan.
Dan dengan cara inilah bibit-bibit ushul fiqih timbul, sehingga pada masa Nabi,
seringkali sahabat dilatih untuk berijtihad dalam berbagai kasus.[8]
C.
Fase
Perkembangan
Masa Sahabat
Fikih
muncul pada masa sahabat. Menurut Muhammad Abu Zahrah, para sahabat di dalam
melakukan ijtihad menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang meskipun Ushul Fiqh
belum dirumuskan sebagai suatu disiplin ilmu. Alasan para sahabat dapat
melakukan hal tersebut karena para sahabat memiliki kemampuan di bidang ini dan
mengakar dari bimbingan Rasulullah SAW sekaligus para sahabat memiliki
kemampuan berbahasa Arab yang tinggi dan juga jernih.
Seperti
yang disimpulkan oleh Khudari Beik, seorang ahli Ushul Fiqh dari Mesir, setelah
Rasulullah wafat, para sahabat sudah sangat siap dalam menghadapi suatu
permasalahan yang membutuhkan ijtihad meskipun kaidah-kaidah Ushul Fiqh belum
dirumuskan secara tertulis dan dibukukan. Menurut Abdul al-Wahab Abu Sulaiman
(guru besar Ushul Fiqh di Universitas Ummul Qura Mekkah) menyimpulkan mula-mula
para sahabat mempelajari teks Al-Qur’an dan dilanjutkan dengan Sunnah
Rasulullah. Jika hukum belum ditemukan dalam keduanya maka para sahabat
melakukan ijtihad baik itu perorangan maupun mengumpulkan sahabat yang lain
untuk bermusyawarah. Hasilnya disebut dengan istilah ijma’ sahabat. Dalam
berijtihad, para sahabat menggunakan metode qiyas dan juga metode istislah
dimana penetapan hukum didasarkan pada maslahah mursalah. Dengan menggunakan
ijma’,qiyas, dan juga istislah pada masa itu telah mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat yang baru berkembang pada masa itu.[9]
Contoh qiyas
yang dikemukakan Ali dan Abdurrahman bin Auf mengenai hukum peminum khamr
yang berbunyi :
“Bila
seseorang meminum khamr, ia akan mengigau. Bila mengigau ia akan menuduh orang
berbuat zina, sedangkan had (hukuman) bagi orang yang menuduh itu 80 dera.”
Sebagai
contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu Umar bin Khattab r.a tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada
seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi
Thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum
dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapat mut’ah. Ali menyamakan
kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan
belum dicampuri dan belum ditentukan maharnya, yang oleh syara’ ditetapkan hak
mut’ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Q.S Al-Baqarah ayat
236
لا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِن طَلَّقۡتُمُ
ٱلنِّسَآءَ مَا لَمۡ تَمَسُّوهُنَّ أَوۡ تَفۡرِضُواْ لَهُنَّ فَرِيضَةٗۚ
وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى ٱلۡمُوسِعِ قَدَرُهُۥ وَعَلَى ٱلۡمُقۡتِرِ قَدَرُهُۥ
مَتَٰعَۢا بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٢٣٦
Artinya
:
“Tidak
ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri
kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.
Dan hendaklah kamu berikan suatu mut´ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang
mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),
yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Adapun
pemahaman tentang takhsis dapat dilihat
dalam cara Abdullah bin Mas’ud ketika penetapan iddah wanita hamil. Dia
menetapkan bahwa batas iddah-nya berakhir ketika ia melahirkan. Pendapat
tersebut didasarkan pada ayat 4 dan 6 surat At-Thalaq. Menurutnya, ayat
ini turun sesudahturunnya ayat tentang iddah yang ada pada surat
Al-Baqarah ayat 228. Dari kasus inilah
terkandung pemahaman ushul bahwa nash yang datang kemudian dapat me-nasakh atau
men-takhsis yang datang terdahulu.[10]
Dari
contoh-contoh ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat baik di kala Rasulullah
SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya cara-cara yang
digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah
(aturan-aturan)nya. Sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh, karena
pada masa Rasulullah SAW, demikian pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan
adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW
dan pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada
waktu-waktu itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu
Ushul Fiqh karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan adanya. Yang
demikian itu, karena Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan
hukum baik secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan
adanya kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab
turun (asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur'an, sebab-sebab datang (asbabul
wurud) Al- Hadits, mempunyai ketajaman dalam memahami rahasia-rahasia,
tujuan dan dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena
mereka mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka
sendiri (Arab) yang juga bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan
yang mereka miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan adanya
kaidah-kaidah.[11]
Masa Tabi’in
Pada masa tabi’in, para ulama juga mengalami masa seperti
pada masa sahabat dulu, dimana para ulama bergaul dan berinteraksi dengan para
sahabat untuk dapat mengahadapi sebuah permasalahan yang
membutuhkan ijtihad.[12]
Di
sekitar abad ke 2 dan 3 hijriyah kekuasaan islam menjadi semakin luas sampai ke
daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak
berbahasa Arab dan berbagai macam pula situasi dan kondisi serta adat
kebiasannya. Dari banyaknya ulama-ulama dan semakin tersebarnya agama islam di
kalangan penduduk dari berbagai daerah, menjadikan semakin banyaknya
persoalan-persoalan yang timbul yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al
Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena itu para ulama yang tinggal di berbagai
daerah berijtihad mencari ketetapan hukum atas berbagai persoalan tersebut.
Cara
meng-istinbath hukum di masa tabi’in ini semakin berkembang. Diantara
mereka ada yang menggunnakan metode mashlahah atau metode qiyas di samping
berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa inilah mulai tampak
perbedaan-perbedaan mengenai hukum konsekuensi logis dari perbedaan metode yang
digunakan oleh para ulama ketika itu.[13]
Banyak para tabi’in yang mengkhususkan diri untuk
berfatwa dan berijtihad, seperti Sa’id ibn al-Musayyab, Ibrahim al-Nakha’i,
dll. Rujukan mereka dalam berfatwa bersumber dari Alquran, Sunnah, Fatwa para
sahabat, ijma’, qiyas, serta maslahah mursalah. Menurut Abd al-Wahhab Abu
Sulaiman, pada masa tabi’in ini terjadi perbedaan pendapat tentang berbagai
fatwa sahabat yang akan dijadikan sebagai hujjah, serta perbedaan tentang ijma’
ahl al-Madinah yang akan dijadikan pegangan ijma’.[14]
Demikian
pula dengan semakin luasnya daerah kekuasaan Islam dan banyak penduduk yang
bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Dari pergaulan diantara keduanya
terjadilah penyusupan bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan,
kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan.
Karena keadaan inilah tidak sedikit menimbulkan keraguan dan
kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara’. Sehingga para ulama
terdorong untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa) agar dapat memahami
nash-nash syara’ seperti yang dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau
datangnya nash-nash tersebut.
Masa Imam-Imam Mujtahid Sebelum Imam Syafi’i
Periode imam mujtahid sebelum Imam Syafi’i lebih jelas
dalam metode ijtihadnya, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Abu Zahrah
tentang dasar-dasar istinbath yakni, berpegang pada Alquran, jika belum
ditemukan pada Alquran maka akan dicari pada Sunnah Rasulullah, jika hukum
belum ditemukan maka berpegang pada ijma’, jika pendapat para sahabat terdapat
perbedaan, maka imam mujtahid akan memilih salah satu pendapat untuk dijadikan
sebagai pegangan hukum. Para imam tidak berpegang pada pendapat para tabi’in, karena posisi imam juga setara dengan posisi
tabi’in.
Abu
Hanifah dalam usha merumuskan fiqihnya menggunakan metode tersendiri. Beliau
menetapkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok, kemudian hadits Nabi, berikutnya
Fatwa sahabat. Beliau mengambil hukum-hukum yang telah menjadi kesepakatan para
sahabat. Dalam hal-hal perbedaan pendapat oleh ulama sahabat beliau memilih
satu diantaranya yang dianggap lebih kuat. Abu hanifah tidak mengambil pendapat
ulama’ tabi’in sebagai dalil dengan pertimbangan bahwa ulama’ tabi’in sebagai
dalil dengan pertimbangan bahwa ulama’ tabi’in itu berada dalam satu ranking
dengannya. Metode dalam menggunakan qiyas dan istihsan terlihat
sangat nyata.
Imam
Malik menempuh metode ushuli yang lebih jelas menggunakan tradisi yang hidup
dikalangan penduduk Madinah, sebagaimana dinyatakan dalam buku risalahnya. Terlihat usahanya menolak hadits yang
dihubungkan kepada Nabi karena hadits tersebut menyalahi nash Al-Qur’an. Imam
Malik lebih banyak menggunakan hadits daripada imam Abu Hanifah, mungkin karena
begitu banyaknya hadits yang dia temukan. Dalam penggunaan qiyas, beliau
memerikan persyaratan yang begitu berat. Namun dibalik itu, Imam Malik
menggunakan maslahat mursalah yang tidak digunakan ulama jumhur sebagai imbang
dari istihsan yang digunakan Abu Hanifah. Metode yang digunakan Imam Malik dalam
merumuskan hukum syara’ merupakan pantulan dari aliran Hijaz, sebagaimana
metode yang digunakan Abu Hanifah merupakan pantulan dari aliran Irak.[15]
Pada masa Imam Hanafi sampai pada Imam Maliki, Ushul Fiqh
belum dibukukan secara lengkap dan sistematis. Oleh karena itu dalam
berijtihad, Imam Hanafi terkenal banyak menggunakan qiyas dan istihsan, yang
kemudian fatwa-fatwanya disimpulkan oleh pengikutnya. Imam Maliki menggunakan
ijma’ ahl al-Madinah (kesepakatan penduduk Madinah) yang kemudian karya-karya
fikihnya disimpulkan oleh pengikutnya.[16]
Masa Imam Syafi’i
Setelah Abu Hanifah dan Imam Malik, tampil Imam Syafi’i.
Beliau dalam masanya menemukan perbendaharaan fiqih yang sudah berkembang
semenjak periode sahabat, tabi’in dan imam-imam yang mendahuluinya. Beliau
menemukan perbincangan tentang fiqih begitu meriah yang diwarnai diskusi dan
polemikyang menarik diantara tokoh-tokoh yang berbeda pendapat. Perdebatan
terbuka berlangsung diantara kubu Madinah dan kubu Irak. Imam Syafi’i menggali
pengalaman dalam berbagai diskusi di tengah pendapat yang berbeda itu. Beliau
memiliki pengetahuan tentang fiqih Maliki yang diterima langsung dari Imam
Malik. Beliau juga sempat menimba pengetahuan dan pengalaman dari Muhammad ibn
Hasan Al- Syaibani (murid Abu Hanifah) sewaktu beliau berada di Irak. Selain
itu, beliaupun mendalami fiqih ulama Mekkah tempat beliau lahir dan berkembang.
Modal pengalaman dan pengetahuan yang luas dan mendalam itu, memberi petunjuk
kepada Imam Syafi’i untuk meletakkan pedoman dan neraca berfikir yang
menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan
hukum dari dalilnya. Metode berpikir yang dirumuskan itulah disebut Ushul Fiqih
Imam
Syafi’i pantas disebut sebagai orang pertama yang menyusun sistem metodologi
berpikir tentang hukum islam, yang kemudian populer dengan sebutan Ushul Fiqih.
Sehingga seorang orientalis Inggris bernama N.J. Coulson mengatakan bahwa Imam
Syafi’i adalah arsitek Ilmu Fiqih. Hal ini bukan berarti beliau yang merintis
dan mengembangkan ilmu tersebut. Jauh sebelumnya, mulai dari sahabat, tabi’in
bahkan dikalangan imam mujtahid belakangan seperti Abu Hanifah, Imam Malik, dan
juga dikalangan ulama’ Syi’ah seperti Muhammad Al-Baqir dan Ja’far Al-Shadiq
sudah menemukan dan menggunakan metodologi dalam perumusan fiqih. Namun mereka
belum menyusun ilmu itu secara sistematis sehingga dapat disebut sebagai ilmu
yang berdiri sendiri.
Pada
awal abad ketiga inilah, Imam Syafi’i melakukan pembukuan Ushul Fiqh. Abd
al-Wahhab Abu Sulaiman mengemukakan upaya pembukuan ilmu ushul fiqh ini sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan islam pada masa itu yakni pada masa
Khalifah Harun Ar-Rasyid dan dilanjut dengan Khalifah Al-Ma’mun dengan
perkembangan yang jauh lebih pesat lagi.
Di masa perkembangan ilmu pengetahuan islam yang pesat,
ilmu Ushul Fiqh muncul sebagai suatu disiplin ilmu. Imam Syafi’i lah yang
merumuskan Ushul Fiqh untuk dapat digunakan sebagai pedoman oleh peminat hukum
islam, Oleh karena itu Imam Syafi’i menyusun buku yang berjudul Al-Kitab yang
kemudian dikenal dengan istilah Al-Risalah. Kemunculan buku Al-Risalah adalah
fase awal perkembangan ilmu Ushul Fiqh sebagai suatu disiplin ilmu.[17]
Pasca Syafi’i
Pada pertengahan abad
keempat, Abd al-Wahhab Khallaf mengemukakan bahwa ijtihad di bidang fikih
mengalami kemunduran karena sudah tidak adanya orang yang memilih mengkhususkan
diri untuk membentuk madzhab baru, berbeda dengan Ushul Fiqh, Ilmu Ushul Fiqh
semakin mengalami kemajuan pada kegiatan ijtihadnya karena Ushul Fiqh tidak
kehilangan fungsinya. Pada masa ini Ushul Fiqh digunakan sebagai alat ukur
kebenaran tentang pendapat-pendapat sebelumnya, alat untuk debat pada
diskusi-diskusi ilmiah, dll, oleh karena itu ilmu pengetahuan tentang Ushul
Fiqh semakin mendalam.[18]
Dalam Abad
ini pula mulai tampak adanya pengaruh pemikiran yang bersift filsafat,
khususnya metode berpikir menurut Ilmu Mantiq dalam Ilmu Ushul Fiqih. Hal ini
terlihat dalam masalah mencari makna dan pengertian sesuatu, yang dalam ilmu fiqih
Al hudud merupakan suatu hal yang tidak pernah dijumpai dalam perkembangan
(kitab-kitab) sebelumya. Akibat dari pengaruh ini sekurang-kurangnya ada dua,
yakni :
1.
Ketergantungan
penulis dalam bidang ushul fiqih pada pola acuan dan kriteria manthiq dalam
menjelaskan arti-arti peristilahan ushuliyah. Hal ini membuka jalan bagi
mereka untuk melakukan kriteria dan keabsahan berpendapat, yang pada gilirannya
mendorong pertumbuhan ilmu Ushul Fiqih selanjutnya.
2.
Munculnya
berbagai karangan dalam berbagai bentuk baru yang independen dalam memberikan
definisi dan pengertian terhadap peristilahan-peristilahan yang khusus dipakai
dalam ilmu ushul fiqh.
Sebagai tanda perkembangan ilmu ushul fiqih
dalam abad 4 H ini, yaitu munculnya kitab-kitab Ushul Fiqih yang merupakan
hasil karya dari para ulama’ fiqih.
Kitab-kitab yang paling terkenal diantaranya
ialah :
1.
Kitab
Ushul Al Kharkhi, ditulis oleh Abu Hasan Ubadillah Ibnu Al Husain Ibnu Dilal
Dahalan Al Kharkhi, (w.340 H). Kitab ini bercorak Hanafiyah, memuat 39
kaidah-kaidah Ushul Fiqih.
2.
Kitab Al
Fushul fi Al Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Bakar Ar-razim yang juga
dikenal dengan Al-Jashshash (305-370 H) Kitab ini juga bercorak Hanafiyah dan
banyak mengkritik isi kitab Ar-risalah, terutama dalam masalah Al-Bayan dan
istihsan (Abd. Wahab Ibrahim Sulaiman, 1983 : 14-48)
3.
Kitab
Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh Abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad
Ad-Lamisy Al-Hanafi. Kitab ini di tahqiq oleh Dr. Muhammad Hasan
Musthafa Asy-Syalaby. Ia mengatakan bahwa kitab tersebut merupakan kamus yang
menerangkan arti lafadz dan arti definisi-definisi yang sangat dibutuhkan
oleh para Qadi dan Mufti. Kitab ini mengandung sekitar 128 lafadz/ta’rif dan
tidak tersusun berdasarkan abjad, tetapi dengan cara antara lain menurut kaitan
pengertian kata-katanya , misalnya kata Al-Kull
dan Al-Juz’u.
Berdasarkan uraian diatas, terdapat beberapa
hal yang perlu dicatat sebagai cirri khas perkembangan ilmu ushul fiqih pada
abad 4 H, yaitu munculnya kitab—kitab Ushul Fiqih yang membahas ushul fiqih
secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti kitab-kitab tertentu, hal
semacam ini adalah upaya untuk menolak dan memperkuat pandangan tertentu dalam
masalah itu.[19]
D.
Kesimpulan
Rasulullah
Muhammad SAW adalah sumber utama hukum dari semua permasalahan dan peristiwa
yang ada. Dalam haditsnya Nabi memberikan kebolehan bagi manusia untuk mencari
solusi terhadap urusan-urusan keduniaan. Dan dengan cara inilah bibit-bibit
ushul fiqih timbul, sehingga pada masa Nabi, seringkali sahabat “dilatih” untuk
berijtihad dalam berbagai kasus. Rasulullah SAW tidak meninggalkan kehidupan
dunia ini kecuali telah sempurna pembinaan syari’ah Islam. Ijtihad sahabat dan
tabi’in sesudah Rasulullah wafat bukanlah tasyri’ pada hakikatnya, akan tetapi
suatu pengembangan dalam dasar-dasar yang universal, dan menerapkannya pada
berbagai peristiwa yang sering terjadi, dan juga merupakan istinbat bagi
pengertian hukum, serta melakukan kias padanya dalam hal-hal yang tiada nasnya.
Oleh karena itu tiada sumber tasyri’ selain Al Qur’an dan As Sunnah.
Para
sahabat mula-mula mempelajari teks Al-Qur’an dan dilanjutkan dengan Sunnah
Rasulullah. Jika hukum belum ditemukan dalam keduanya maka para sahabat
melakukan ijtihad baik itu perorangan maupun mengumpulkan sahabat yang lain
untuk bermusyawarah. Hasilnya disebut dengan istilah ijma’ sahabat. Dalam
berijtihad, para sahabat menggunakan metode qiyas dan juga metode istislah
dimana penetapan hukum didasarkan pada maslahah mursalah. Dengan menggunakan
ijma’,qiyas, dan juga istislah pada masa itu telah mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat yang baru berkembang pada masa itu
Sekitar
abad ke 2 dan 3 Hijriyah kekuasaan islam menjadi semakin luas sampai ke
daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak
berbahasa Arab dan berbagai macam pula situasi dan kondisi serta adat
kebiasannya. Dari banyaknya ulama-ulama dan semakin tersebarnya agama islam di
kalangan penduduk dari berbagai daerah, menjadikan semakin banyaknya
persoalan-persoalan yang timbul yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al
Qur’an dan As Sunnah. Oleh karena itu para ulama yang tinggal di berbagai
daerah berijtihad mencari ketetapan hukum atas berbagai persoalan tersebut.
Abad ke
3 H Imam Syafi’i disebut sebagai orang pertama yang menyusun sistem metodologi
berpikir tentang hukum islam. Dengan pengalaman dan pengetahuan yang luas dan
mendalam yang dimiliki Imam Syafi’i, memberi petunjuk kepadanya untuk
meletakkan pedoman dan neraca berfikir yang menjelaskan langkah-langkah yang
harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Metode berpikir
yang dirumuskan itulah disebut Ushul Fiqih. Dan kemudian Imam Syafi’i melakukan
pembukuan Ushul Fiqih.
Pada pertengahan abad ke 4 H Ilmu Ushul Fiqih
mengalami kemajuan. Ushul Fiqh digunakan
sebagai alat ukur kebenaran tentang pendapat-pendapat sebelumnya, alat untuk
debat pada diskusi-diskusi ilmiah, dll. Oleh karena itu ilmu
pengetahuan tentang Ushul Fiqh semakin mendalam. Dapat
ditandai dengan munculnya kitab-kitab Ushul Fiqih yang membahas ushul fiqih
secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti kitab-kitab tertentu, hal
semacam ini adalah upaya untuk menolak dan memperkuat pandangan tertentu dalam
pemecahan suatu masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin Amir,1997, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet I ,Jakarta:
Logos Wacana Ilmu.
Syarifudin Amir, 2014, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet V, Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group
Effendi Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri
Syafe’i Rachmat, 2015, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka
Setia
Djalil Basiq, Ilmu Ishul Fiqih 1 dan 2, 2010, Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group
Asmawi, 2011, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah
Djafar Muhammad, Pengantar Ilmu Fiqih, Cet I, 1993, Jakarta:
Kalam Mulia
Ali Muhammad Assais, 1970, Nasyatul Fiqhi wa atwarih, Mesir:
Al Buhutsul Islamiyah
U fiqh, 1989, academia.edu (doc)
Ahmad Zaki Mubarok, Ushul Fiqh Qabla Tadwin: Genealogi Ushul Fiqh,
Al Mashlahah jurnal hukum dan pranata sosial Islam
Abu Al-Ainaini Badran, Ushul Fiqh Al Islami, (Mesir:
Muassasah Syahab al Jami’ah Al Iskandariyah, t.th
Catatan:
1.
Similarity cukup tinggi sebesar 30%.
2.
Berikan parafrase yang baik dalam tulisan.
3.
Pengulangan footnote yang telah disebutkan sebelumnya tidak dilakukan
dengan menuliskan semua keterangan bukunya.
4.
Saya tunggu referensi bahasa Arab di kelas.
5.
Berikan tambahan keterangan penggunaan qiyas pada zaman Nabi.
6.
Pereferensian masih sangat minim.
[1] Amir Syarifudin,Ushul Fiqih Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), cet I, hlm 6
[2] Amir Syarifudin,Ushul Fiqih Jilid 1, cet I hlm 36
[3] Amir Syarifudin,Ushul Fiqih Jilid , cet I, hlm 33
[4] Basiq Djalil, Ilmu Ishul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2010), hlm 19
[5] Abu Al-Ainaini Badran, Ushul Fiqh Al Islami, (Mesir:
Muassasah Syahab al Jami’ah Al Iskandariyah, t.th). hlm 5
[6] Muhammad Djafar, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), cet I, hlm 56
[7] Muhammad Ali Assais, Nasyatul Fiqhi wa atwarih, (Mesir: Al
Buhutsul Islamiyah, 1970) hlm 13
[8]Ahmad Zaki Mubarok, Ushul Fiqh Qabla Tadwin: Genealogi Ushul Fiqh,
Al Mashlahah jurnal hukum dan pranata sosial Islam, hlm 344-345
[10] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia,
2015) hlm 26-27
[11] U fiqh, 1989, academia.edu (doc)
[12]Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta:
Amzah, 2011), hlm. 7.
[13] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia,
2015) hlm 27
[14]Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta:PT Fajar Interpratama Mandiri, 2005), hlm. 17-18
[15] Amir Syarifudin,Ushul Fiqih Jilid 1, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014), cet V, hlm 6
[19] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia,
2015) hlm 34-35
Izin save ka. Salam dari Kalimantan
BalasHapus