Senin, 11 Maret 2019

Sumber-Sumber Hukum Islam yang Tidak Disepakati I (PAI F Semester Genap 2018/2019)



Sumber Hukum Islam yang tidak disepakati:
(Istihsan, Istishab dan Maslahah Mursalah)

I’is Lavianti Mustaani (16110075) dan Ataita Anida (16110079)
Mahasiswa PAI-F
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
            In Islam there are two sources of law namely the mutafaq and mukhtalaf legal sources to be discussed in this paper, there are three legal sources that are valid, namely Istihsan, Istishab and Maslahah Mursalah. The meaning of istihsan is a transfer of legal propositions based on the syara''s argument. Or taking a better law due to a stronger argument. In istihsan the ulama also disagreed regarding their jurisprudence, including among the ulama malikiyyah, hanabillah and hanafiyah they considered that istihsan deserved to be used as proof Meanwhile, according to the ulama, Syafi'iyah rejected the istujsan position because according to him whoever was using istihsan meant that he had made a new 'syara' law. Sedangka istishab is a source of law in which the law is still used until there is a proposition that changes it. In this istishab, some scholars agree that istishab can be used as proof because according to them it is not making a new law, but affirming the law of origin. The last one is maslahah mursalah which is the stipulation of law which is expected to bring benefit to the community.
Key Word: Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah
Abstrak
            Dalam islam terdapat dua sumber hukum yakni sumber hukum yang mutafaq dan mukhtalaf  yang akan dibahas dalam tulisan ini terdapat tiga sumber hukum yang mukhtalaf yakni Istihsan, Istishab dan Maslahah Mursalah. Adapun yang dimaksud dengan istihsan adalah suatu perpindahan dalil hukum yang didasarkan pada dalil syara’.atau mengambil suatu hukum yag lebih baik dikarenakan adanya dalil yang lebih kuat. Dalam istihsan ulama juga berbeda pendapat mengenai kehujjahannya, diantaranya kalangan ulama malikiyyah, hanabillah dan hanafiyah mereka menganggap bahwa istihsan layak dijadikan sebagai hujjah. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah menolak kehujjahan istihsan dikarenakan menurutnya siapa yang berhujjah menggunakan istihsan berarti dia telah membuat hukum syara’ baru. Sedangka istishab merupakan sumber hukum yang mana hukum tersebut tetap digunakan sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam istishab ini sebagian ulama sepakat bahwa istishab bisa dijadikan sebagai hujjah karena menurut mereka istishab itu bukan membuat hukum baru, namun menegaskan hukum asal. Yang terakhir yakni maslahah mursalah yang penetapan hukum yang diharapkan dapat mendatangkan maslahat bagi masyarakat.
Kata Kunci : Istishsan, Istishab, Maslahah Mursalah

A.    Pendahuluan
Hukum merupakan sebuah bentuk dari hasil dinamika kehidupan manusia. Sebagai seorang Muslim dalam melakukan sesuatu sudah seharusnya bersumber dari Al-Quran dan Hadis. Namun, Seiring berkembangnya zaman pasti muncul beberapa permasalahan dalam kehidupan manusia. Dimana beberapa dari permasalahan tersebut tidak disebutkan dan dijelaskan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Quran.   Sebelumnya yang kita ketahui bahwa kita dalam menetapkan sebuah hukum harus bersumber dari Al-Quran dan Hadis, tanpa kita sadari terdapat beberapa sumber lainnya yang bisa kita jadikan sebagai pedoman dalam menentukan hukum.
Dalam Islam ketentuan sumber hukum terbagi menjadi dua yaitu sumber hukum yang disepakati dan sumber hukum yang tidak disepakati. Sumber hukum Islam yang disepakati diantaranya yaitu Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan sumber hukum Islam yang tidak disepakati yaitu Istihsan, Istihsab, Maslahah mursalah dll. Dari kedua ketentuan sumber tersebut,  tulisan ini akan membahas mengenai sumber hukum Islam yang tidak disepakati.

B.     PEMBAHASAN

a.      Pengertian Istihsan
            Istihsan berasal dari kata hasan yang artinya baik. Jadi istihsan adalah sesuatu yang dianggap baik menurut akal.  Menurut para ulama fuqaha istihsan secara etimologis berarti “berbuat sesuatu yang lebih baik” atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik. Pada dasarnya  tidak terdapat perbedaan yang signifikan dikalangan para ulama yang setuju dengan istihsan maupun ulama yang menentang istihsan. Sebenarnya mereka tidak memperselisihkan lafadz dari makna istihsan sendiri yakni mengandung makna hasan (baik) dan hal tersebut terdapat dalam alqur’an dan sunnah.[1]
                        Berikut adalah makna dari berbagai sudut pandang ulama fiqh diantaranya menurut kalangan ulama Malikiyah yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi yakni:

istihsan adalah meninggalkan kehendak dalil dengan cara pengecualian atau memberikah rukhsah (keringanan) karena bertentangan dengan dalil lain pada beberapa ketentuan hukumnya.”[2]

Sedangkan menurut ulama Hanabilah salah satu yang dikemukakan oleh Ibn Quddamah dalam kitabnya Raudhatunnazhir  :
“memindahkan ketentuan hukum suatu masalah dan meninggalkan yang lainnya, karena adanya dalil syara’ yang lebuh khusus, yakni Alqur’an dan Sunnah

Dan menurut kalangan ulama Hanafiyah yang dikemukakan oleh An-nasafy:
“berpindah dari suatu qiyas ke qiyas lain yang lebih kuat, atau dalil yang bertentangan dengan qiyas Jalli.”

Dari pengertian ketiga ulama diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Secara istilah Istihsan mempunyai arti yakni suatu perpindahan ketentuan hukum yang bersandar pada suatu dalil syara’, dengan mengambil dalil yang lebih kuat darinya. Serta hal tersebut dianggap lebih baik menurut syara’ ataupun menurut adat kebiasaan dan dapat menimbulkan maslahat bagi banyak orang.[3]      
b.      Macam macam Istihsan

      Istihsan terbagi menjadi beberapa macam apabila ditinjau dari beberapa ulama yang menggunakan istihsan sebagai hujjah, yakni menurut ulama hanafiyah terdapat tiga macam yakni :

a.       Berpindah dari qiyas zhahir ke qiyas khafi, yang bertujuan untuk kemaslahatan umat.
Contoh : dalam ketentuan hukum wakaf tanah pertanian. Menurut qiyas zhahir hukum  wakaf sama dengan hukum jual beli karena sama sama melepaskan tanah dari pemiliknya. Akan tetapi para ulama haafiyah memindahkan hukum nya kepada yakni hukum sewa menyewa dalam sewa menyewa memiliki tujuan yang sama yakni sama sama mengambil manfaat dari tanah tersebut. Namun dari segi kekuatan illatnya dianggap lemah, sehingga dinamakan dengan qiyas Khafi (samar). Walaupun seperti itu mujtahid tetap menggunakan cara ini karena dianggap lebih memudahkan. [4]

b.      Beralih dari tuntutan nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Yakni beralihnya dalil yang umum kepada dalil khusus  karena lebih besar mashlahatnya bagi umat.
Contoh : dalam penerapan hukum terhadap pencuri berdasarkan ketentuan umum dalil umum yang ada yakni alqur’an surat Al maidah ayat 38 :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا

“pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya”

Dalam ayat tersebut diberlakukannya hukum potong tangan bagi pencuri, tetapi apabila mencuri pada masa paceklil atau kelaparan dari orang kaya yang tidak mau berbagi kepada orang yang tidak mampu, karena pada dasarnya mereka mengambil hak yang ada pada orang kaya tersebut. Maka dalam hal ini hukum potong tangan tidak diberlakukan. Karena dalam kasus ini diperlalukan hukum yang bersifat khusus.[5]

c.       Berpindah dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian.
Contoh :  seperti dalalam usaha laundry tidak bertanggung jawab atas kerusakan pada pakaian konsumen saat pakaianya rusak saat proses pencucian. Karena pada akad jasa laundry tersebut telah mengandung makna bahwa konsumen telah percaya kepada kemampuan dan kehati hatian pihak laundry. Para ulama hanafiyah melihat bahwa kepuasan konsumen harus diutamakan, jadi penyedia jasa laundry harus bertanggung jawab penuh atas kerusakan pakaian konsumennya, kecuali kerusakan tersebut diakibatkan hal hal yang diluar kendali manusia. Seperti terkena banjir, gunung meletus atau tsunami. [6]

Menurut ulama Malikiyah istihsan terbagi menjadi tiga macam yakni[7] :
a.       Istihsan yang sanad nya Urf. (adat kebiasaan)
Yakni menerapkan kaidah kulli berdasarkan kebiasaan yang berlaku.
Contoh : seseorang yang bersumpah tidak akan memakan daging, kemudian dia memakan ikan, maka tidak dinyatakan melanggar sumpah karena urf yang berlaku sehari hari ikan bukanlah termasuk dalam kategori yang dikatakan sebagai daging.

b.      Istihsan yang sanadnya Maslahat
Yakni  meninggalkan dalil atau kaidah umum yang berdampak tidak terapainya maslahat, dengan menggunakan hukum yang dapat menimbulkan kemaslahatan.
Contoh : seorang yang tengah menyewa motor pada sebuah rental, kemudian motor tersebut mengalami kerusakaan saat digunakan, harusnya penyewa tersebut tidak perlu mengganti kerusakan kecuali karena kelalaian dari si penyewa. Menurut qiyas si penyewa tidak perlu mengganti, tetapi hukumnya dipindahkan berdasarkan maslahat, agar terpelihara dan terjaganya harta seseorang.

c.       Istihsan yang sanadnya daf’ul haraj (menghilangkan kesulitan)
Yakni meninggalkan kaidah umum yang biasa digunakan untuk menghindarkan dari kesulitan dan memberi kemudahan untuk umat.
Contoh : sedikit dilebihkan suatu takaran dalam suatu ukuran yang banyak. Tindakan tersebut dibenarkan, meskipun berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam menakar itu harus pas dan sesuai standar yang berlaku.

c.       Kehujjahan Istihsan

Kalangan ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan istihsan, karena tidak semua menyetujui bahwa istihsan dijadikan sebagai hujjah. Seperti imam syafi’i yang menolak istihsan dijadikan sebagai hujjah, dan beliau berkata :

“ siapa saja yang menetapkan suatu hukum dengan dasar istihsan, berarti dia telah membuat hukum syariah baru.”

Imam syafi’i menggunakan alasan  dengan firman Allah dalam surat Alqiyamah ayat 36 :

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى 
Artinya : “apakah manusia mengira bahwa dia dibiarkan begitu saja (tanpa ada pertaggung jawaban”

    Imam syafi’i berpendapat bahwa dalam ayat itu Allah tidak membiarkan manusia hidup begitu saja tanpa adanya suatu pertanggung jawaban. Allah telah memerintahkan dan melarang sesuatu dan telah menunjukkan kedudukan perintah dan larangan dalam qur’an surat An Nisa ayat 59 :

فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ

Artinya: ” Jika kamu berlainan  pendapat tentang sesuatu, maka kemalikanlah kepada Allah (alquran) dan Rasul-Nya (hadis).”

    Dalam ayat tersebut imam syafi’i berpendapat bahwa anjuran untuk selalu mengembalikan segala penyelesaian dengan Alqur’an dan hadist. Dan tidak adanya anjuran untuk menyelesaikan persoalan dengan istihsan, sehingga istihsan tidak dianggap sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syara’.[8] Selain itu menurut Imam Syafi’i berhujjah dengan istihsan bukanlah termasuk dalam dalil syara’ melainkan hukum buatan (wadh’iy) yakni atas dasar mencari yang enak saja serta lebih cenderung menurui hawa nafsu dan akal si mujtahid saja.[9]

    Berbeda dengan kalangan ulama syafi’iyah, ulama kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan sebagai salah satu dalil syara’. Meskipun mereka berbeda dalam menjelaskan macam dan pengertiannya, namun dari ketiga kalangan tersebut yang paling banyak menggunakan istihsan adalah kalangan ulama hanafiyah, mereka menganggap bahwa menggunakan istihsan lebih baik daripada menggunakan qiyas.[10] Bukan berdasarkan hawa nafsu semata, mereka tetap menggunakan dalil yang kuat. Menurut mereka dalam melakukan istihsan leih utama dari pada menggunakan qiyas, karena pengambilan dalil yang kuat lebih diutamakan daripada menggunakan dalil yang lemah. Pada dasarnya tidak selalu ada dalil yang bertentangan dalam praktek istihsan, tetapi istihsan dilakukan pada saat ada dalil yang lebih kuat atau dilakukan dengan meninggalkan qiyas yang lemah untuk merujuk pada dalil yang kuat yang diambil dari alqur’an, sunnah, adanya darurat, atau dari qiyas khafi.[11]

Selain itu para ulama dari kalangan yang menggunakan istihsan menguatkan pendapatnya dengan menggunakan dalil dalam alqu’an surat aZ zumar ayat 18:

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ 

Artinya : “orang orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang paling baik diantaranya..”

Dan dalam Alqur’an surat az zumar ayat 55 :

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
            Artinya: “ Dan ikutilah sebaik baik apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”
                        Maksud dari ayat ini adalah kita dianjurkan untuk mengikuti yang terbaik dari apa yang diturunkan Allah. Dalam hal ini istihsan merupakan upaya untuk berbuat yang terbaik dalam rangka mewujudkan maslahah dan mengindarkan dari segala kesukaran.Pada hakikatnya istihsan bukanlah dalil atau sumber hukum yang berdiri sendiri karena hukum istihsan adalah qiyas yang nyata yang disebabkan hal hal tertentu yang oleh mujtahid dianggap lebih unggul.[12]
d.      Pengertian Istishab
Istishab secara etimologi berarti “pengakuan kebersamaan” atau “selalu menyertai”. Secara terminologi istishab mempunyai arti yang berbeda dari kalangan ulama, namun perbedaan tersebut tidaklah terlalu signifikan, hingga terdapat dua definisi secara komperehensif yang pertama istishab menurut Imam Syaukani  dalam kitabnya Irsyad Al-fulul , beliau mengatakan bahwa istishab adalah:
“ Apa yang pernah berlaku secara tetap dimasa lalu, pada prinsipnya akan tetap berlaku pada masa yang akan datang.”
Yang kedua yakni  Ibnu Al Qayyim mendefinisikan Istishab adalah:
“Mengukuhkan atau menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tidak ada.”[13]
                        Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa secara istilah istishab adalah suatu pemberlakuan hukum yang sudah ada dimasa lalu dan tidak ada yang merubahnya yang akan tetap berlaku dimasa mendatang sampai ada dalil yang merubahnya, atau menghukumi sesuatu berdasarkan hukum akal.[14]
e.       Macam-Macam Istishab
dari berbagai referensi para ulama ushul fiqih mengklasifikasikan istishab dalam empat macam yakni :
1.      Istishab Albaraa’atul ashliyyah (kebebasan asli)
      Secara etimologis al-bara’ah mempunyai arti “bersih” maksudnya yakni bersi atau bebas dari bebas dari tanggung jawab syara’, sebelum ada hal yang menunjukkan adanya beban syara’ tersebut. Yakni pada dasarnya seseorang terbebas dari beban hkum kecuali ada dalil atau petunjuk yang menetapkan berlakunya huku tersebut kepadanya. Contoh : tidak adanya hak antara laki-laki dan perempuan, sehingga adanya pernikahan. Atau seorang muslim terbebas dari kewajiban puasa dibulan syawal, karena tidak adanya dalil yang menegaskan kewajiban tersebut.[15]
2.      Istishab yangkeberadaanya diakui oleh syara’ dan akal
Adalah suatu  hukum yang ketentuan hukumnya telah ditetapkan oleh syara’ dan secara akal hukum tersebut tetap berlaku sampai adanya dalil yang mengubahnya. Contoh : adanya tanggung jawab dalam membayar hutang, sebelum ada bukti yang menyatakan bahwa hutang tersebut telah dilunasi atau dibebaskan oleh si pemberi hutang. [16]
3.      Istishabul Hukmi (istishab hukum)
Adalah tetap berlakunya suatu hukum baik mubah ataupun haram, sebelum adanya dalil yang mengubahnya. Contoh : memakan kuda tidak dijelaskan hukumnya didalam nash jadi memakan kuda adalah mubah, karena kuda tidak memiliki sifat sebagai hewan yag diharamkan oleh syara’.[17]
4.      Istishab Al-wasfy
Adalah istishab yang didasarkan pada anggapan terhadap suatu sifat yang diketahui pada sesuatu sampai ada bukti yang merubahnya. Contoh: air sifatnya adalah suci. sifat tersebut tetap melekat sampai ada bukti yang menampakkan ke najisannya baik dari segi warna ataupu baunya. [18]
f.       Kehujjahan Istishab
      Para ulama ushul fiqh berbeda dalam memberikan tanggapan terkait bolehnya istishab dijadikan sebagai hujjah.Dalam ketiga macam istishab diatas ulama sepakat menerimanya akan tetapi dalam istishab al wasf masih menjadi perdebatan dikalangan ulama. Namun ulama Malikiyyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa istishab al wasf dapat dijadikan dalil secara mutlak selama belum ada dasar lain yang merubahnya. Seperti dalam contoh kasus orang yang hilang, orang tersebut tetap dihukumi hidup karena belum ada bukti konkrit yang menyatakan bahwa dia telah meninggal, maka hak warisnya masih dianggap ada.
      Ulama malikiyah dan Hanafiyah hanya menerima istishab al wasf yang sifatnya mempertahankan hukum yangmada bukan istishab al wasf yang sifatnya menetapkan hukum. Selain kelompok tersebut terdapat pula kelompok yang menolak kehujjahan istishab seperti kelompok  mutaakhirin dari kalangan ulama Hanafiyah mereka berpendapat bahwa halal haram suatu hukum syara’ harus dibuktikan pada suatu dalil yang nyata dan tertuang pada qur’an dan hadist. Bagi mereka mengamalkan istishab ini sama saja mengamalkan hukum tanpa dalil sehingga penggunaannya tertolak. Selain itu menurut Abdul Wahab al Khallaf , para ulama yang menolak penggunaan istishab  al wasf dikarenakan istishab tersebut hanya didasakan pada asumsi secara spekulatif bukan berdarkan fakta.[19]Istishab bukan bertujuan untuk membuat hukum syara’ baru, melainkann untuk menegaskan dan menetapkan hukum asal.
      Dalam syarat sah istishab, sebagian ulama menegaskan kebolehannya dalam hukum asal secara yakin. Karena hukum asal sesuatu adalah tidak ada, sampai ada nya hal yang membuktikan keberadaannya. Hukum asal dari lafadz yang mempunyai makna hakiki adalah perintah, perintah adalah  menunjukkan kewajiban dan larangan menunjukkan keharaman. Hukum asal adalah tetapnya hukum nash sampai ada yang menasakhnya. Karena kaidah tersebut istishab dijadikan sebagai hujjah.[20]
g.      Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah. Kata Maslahah  berasal dari bahasa Arab, Maslahah merupakan bentuk masdar dari kata sholah  )( صلاح yang berarti “manfaat”.  Secara umum maslahah memiliki arti segala sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi manusia dan menjauhkannya dari segala kemudlaratan. Sedangkan Mursalah secara bahasa berarti “terlepas” atau “bebas”.  Secara istilah maslahah mursalah  merupakan bentuk penetapan hukum mengenai suatu masalah tertentu agar tercapainya suatu kemaslahatan umat dimana permasalahan tersebut tidak diatur atau disebutkan secara jelas dalam Al-Quran dan hadis diharapkan penetapan hukum ini bisa mendatangkan kebaikan dan menolak kerusakan bagi manusia sesuai dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Maksud dari pengertian diatas adalah dalam menetapkan hukum diharapkan dapat menarik kemaslahatan umat manusia dan menolak suatu bahaya atau kesulitan. Suatu kemaslahatan yang dituntut oleh lingkungan dan permasalalahan baru yang datang seiring berkembangnya zaman yang dinamis setelah tidak adanya wahyu, sedangkan syara’ tidak menetapkan dalam suatu hukum, hal itulah yang disebut maslahah mursalah[21]

h.      Macam-macam Maslahah Mursalah
Dalam ushul fiqh maslahat dibagi menjadi tiga macam yaitu:
a.       Maslahah Dhoruriyah
Yaitu kemaslahatan yang sangat dibutuhkan oleh setiap manusia, maksudnya adalah jika kemaslahatan tersebut ditinggalkan maka akan menimbulkan kerusakan. Segala tindakan untuk menjaga lima prinsip menjaga Agama, badan, akal, nasab, harta adalah suatu keharusan dan Allah memerintahkan manusia untuk berusaha memenuhi kebutuhan pokok tersebut, dan menjauhi larangannya. Dalam hal ini Allah melarang untuk membunuh sesama manusia dan berupaya untuk menjaga diri dari segala bahaya dan kerusakan, Allah melarang kita untuk meminum-minuman keras hal ini untuk menjaga akal, dan melarang berzina untuk menjaga keturunan.
b.      Maslahah Hajiyah
Semua bentuk kemaslahatan perbuatan yang tidak berada pada tingkat dhoruri. Secara tidak langsung tindakan ini memang untuk memenuhi kebutuhan pokok 5 prinsip tersebut tetapi sifatnya tidak dhoruri, namun jika maslahah ini tidak terpenuhi bisa mengakibatkan kerusakan. Contoh maslahah hajiyah : makan untuk bertahan hidup sama dengan memelihara jiwa, mengasah otak untuk menjaga akal, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta. Namun jika hal tersebut tidak terpenuhi maka akan berdampak pada perusakan 5 prinsip (kebutuhan pokok) seperti halnya mogok makan pada menjaga jiwa, berzina berdampak pada memelihara keturunan dll.
c.       Maslahah Tahsiniyah
Maslahah untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia namun tidak sampai pada tingkat dhoruri maupun tingkat haji, akan tetapi kebutuhan ini harus terpenuhi dalam memberi keindahan dan kesempurnaan bagi kehidupan manusia. Contoh maslahah tahsiniyah adalah dalam hal ibadah menutupi aurat, menjaga najis, tata cara makan dan minum.[22]

i.        Kehujjahan Maslahah Mursalah
Para ulama sangat berhati-hati dalam menjadikan Maslahah Mursalah sebagai sumber hukum, agar tidak memungkinkan menentukan hukum berdasarkan keinginan dan hawa nafsunya sendiri. Oleh sebab itulah mereka menetapkan tiga syarat maslahah mursalah dalam menjadikannya sebagai hujjah:
      Pertama, kemaslahatan yang paling utama atau penting bukan kemaslahatan yang semu. Artinya dalam kehidupan sehari-hari kemaslahatan tersebut memang benar-benar memberikan manfaat dan menolak kemudlorotan. Jika penetapan suatu hukum tersebut mungkin menarik manfaat namun tanpa difikirkan apakah hal tersebut menarik suatu bahaya berarti hal tersebut didasarkan atas kemaslahatan yang semu.
      Kedua, kemasalahatan ini bersifat umum bukan untuk kehidupan pribadi seseorang. Artinya, penetapan hukum syara’ ini dalam dunia nyatanya dapat memberikan manfaat kepada umat manusia bukan hanya untuk kemaslahatan perorangan.  Hukum tidak hanya untuk kemaslahatan pimpinan saja, dengan tidak melihat masyarakat sekitarnya.
      Ketiga: dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan umat tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan Hadis.
j.        Beberapa pendapat ulama mengenai maslahah mursalah sebagai hujjah
Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan suatu hukum. Suatu permasalahan atau kejadian yang tidak disebutkan hukumnya dalam Al-Quran, hadis, ijma’ dan qiyas, maka hukumnya ditetapkan oleh kemaslahatan umat dan kemaslahatan tersebut tidak tergantung dengan adanya saksi syara’ dan anggapannya.
Alasan mereka dalam menjadikan maslahah sebagai hujjah  (1) kemaslahatan umat selalu berubah-ubah atau dinamis sesuai berkembangnya zaman. jika hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan umat , maka manusia tidak akan mendapatkan kemaslahatan. Jadi apabila pembentukan hukum tidak memperhatikan perkembangan dan kemaslahatan umat, maka hal itu akan bertolak belakang dengan tujuan awal penetapan hukum yaitu untuk memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. (2) jika diteliti lebih lanjut, sahabat Nabi, tabiin dan iman-imam mujtahid terdahulu dalam menetapkan suatu hukum untuk kemaslahatan umat manusia bukan karena adanya saksi dianggap oleh syari’. Contohnya, Abu bakar mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Quran dari kayu, batu, daun dll yang tercecer dan menjadikannya menjadi satu tulisan Al-Quran agar tidak hilang ditelan masa, dan bisa sampai ke umat Nabi hingga saat ini. Umar bin Khattab yang membuat penjara untuk siapapun yang berbuat kejahatan dll. (3) menerapkan kemaslahatan sama halnya dengan merealisasikan tujuan syariat begitupun sebaliknya, mengesampingkannya berarti mengesampingkan tujuan syariat.
Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa kemaslahatan umat tidak dapat dijadikan landasan dalam menetapkan suatu hukum, meskipun tidak ada saksi syara’ yang menyatakan dianggap atau tidaknya kemaslahatan itu. Alasan mereka adalah (1)  jika maslahah mursalah dijadikan sebagai sumber hukum maka, akan membuka kesempatan untuk melampiaskan hawa nafsu manusia dan akan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi mereka sebagai pemimpin, penguasa, dan raja. (2) menerapkan kemaslahatan namun tidak berpegang teguh terhadap nash Al-Quran terkadang akan menjadikannya sebagai bentuk penyimpangan dari hukum syariat. (3) jika maslahat mursalah dijadikan sebagai landasan dalam menetapkan hukum, maka akan menimbulkan perbedaan hukum terkait akibat perbedaan negara, masyarakat dll.[23]

C.    PENUTUP

            Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa sumber hukum islam yang belum disepakati memang masih banyak terdapat ikhtilaf dikalangan para ulama. Diantaranya dalam kehujjahan dari istihsan yang mana bahwa pendapat ulama yang tidak setuju dan dianggap barangsiapa yang menggunakannya sebagai hujjah yakni dia tekah membuat hukum syara’ yang baru menurut kalangan ulama syafi’i. Berbeda dengan istishab yang sebagian besar kalangan ulama sepakat akan kehujjahannya, karena istishab dianggap tidak membuat hukum syara’ yang baru namun mempertahankan hukum asal sampai ada dalil yang merubahnya. Begitupula dalam maslahah mursalah yakni suatu hukum yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan atau mendatangkan manfaat dan menghilangkan kesukaran.Pada dasarya tujuan dari adanya penetapan hukum tersebut yakni untuk memudahkan manusia dalam melakukan sesuatu namun hal tersebut tetap didasarkan pada syara’ dan tidak menyalahi hukum syara’.




DAFTAR PUSTAKA

 Abdul Hayy Abdul ‘Al,2014,  Pengantar Ushul Fiqih, Terj. Muhammad Misbah, Jakarta:    Pustaka Kautsar

Abdul Wahhab Khallaf, 2003,  Ilmu Ushul Fikih terj. Faiz el Muttaqin Jakarta: Pustaka Amani

Amir Syarifuddin, 2008, Ushul Fiqh Jilid 2 Jakarta: prenadamedia group

Amiruddin dan Fathurrahman, 2016, pengantar ilmu fiqih Bandung: PT Refika Aditama

M.Mas’um Zein, 2016, menguasai ilmu ushul fiqih, Yoygakarta: Pustaka Pesantren

Maskur Rosyid, Syariah: Jurnal hukum dan Pemikiran , Vol. 16  nomor 1 , juni 2018  diakses pada 9 maret 2019, pukul 19.00 WIB

Sulaiman Abdullah,1995, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika

Saeed Ismail Sieny, 2017, Ushul Fiqh Aplikatif, terj.Kaserun AS. Rahman dan Bobi Setiawan, Malang: Darul Ukhuwah Publisher

Noorwahidah, Esensi Al-mashlahah Al-Mursalah dalam Teori Istinbat Hukum Imam Syafi'i, Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin

Darmawati H, Alfikr: Istihsan dan pembaharuan hukum islam, Vol 15 nomor 2 tahun 2011, diakses pada tanggal 9 maret 2019, pukul 20.00 WIB


Catatan:
1.      Similarity 6%, bagus...
2.      Pelajari lagi cara pengutipan dari jurnal.
3.      Pelajari cara penulisan footnote, maka yang harus ditulis miring dan yang tidak; mana yang menggunakan huruf kapital dan yang tidak.
4.      Makalah ini kurang rapi.
5.      Dalam daftar pustaka, nama penulis dibalik.






               






















[1] Darmawati H, Alfikr: Istihsan dan pembaharuan hukum islam, Vol 15 nomor 2 tahun 2011, diakses pada tanggal 9 maret 2019, pukul 20.00 WIB
[2]Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fiqih, Terj. Muhammad Misbah (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2014)  hlm 323
[3] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hlm 130
[4] Amiruddin dan Fathurrihman, pengantar ilmu fiqih (Bandung: PT Refika Aditama, 2016) hlm 59
[5] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 , ( Jakarta: Kharisma Putra Utama , 2011) hlm 330
[6]Amiruddin dan Fathurrahman,  Op;cit , hlm59- 60
[7] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hlm 133
[8] M.Mas’um Zein, menguasai ilmu ushul fiqih, (Yoygakarta: Pustaka Pesantren, 2016), hlm 149
[9] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam  ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hlm 138
[10] Amir syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 , ( Jakarta: Kharisma Putra Utama , 2011) hlm 336
[11] Amiruddin dan Fathurrihman, pengantar ilmu fiqih (Bandung: PT Refika Aditama, 2016) hlm 60
[12]Ibid, hlm 60
[13]Amir syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 , ( Jakarta: Kharisma Putra Utama , 2011) hlm 365
[14] Syekh Adul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, ( Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2005) hlm 107
[15] Amir syarifuddin,Op;cit , hlm 371
[16] Amiruddin dan Fathurrihman, pengantar ilmu fiqih (Bandung: PT Refika Aditama, 2016) hlm 71
[17] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam  ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hlm 161
[18] Amiruddin dan Fathurrihman, Op;cit , hlm 71
[19] Maskur Rosyid, Syariah: Jurnal hukum dan Pemikiran, Vol. 16  nomor 1 , juni 2018 , hlm 13, diakses pada 9 maret 2019, pukul 19.00 WIB
[20]Saeed Ismail Sieny, Ushul Fiqh Aplikatif, terj.Kaserun AS. Rahman dan Bobi Setiawan,( Malang: Darul Ukhuwah Publisher, 2017), hlm 100
[21]Abdul Wahhab Khallaf,  Ilmu Ushul Fikih terj. Faiz el Muttaqin (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm.110
[22]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: prenadamedia group, 2008), hlm 371
[23]Noorwahidah, Esensi Al-mashlahah Al-Mursalah dalam Teori Istinbat Hukum Imam Syafi'i, Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin, hlm. 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar