Sumber
Hukum Islam yang tidak disepakati:
(Istihsan,
Istishab dan Maslahah Mursalah)
I’is
Lavianti Mustaani (16110075) dan Ataita Anida (16110079)
Mahasiswa
PAI-F
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email:
islavyaofficial@gmail.com
Abstract
In
Islam there are two sources of law namely the mutafaq and mukhtalaf legal
sources to be discussed in this paper, there are three legal sources that are
valid, namely Istihsan, Istishab and Maslahah Mursalah. The meaning of istihsan
is a transfer of legal propositions based on the syara''s argument. Or taking a
better law due to a stronger argument. In istihsan the ulama also disagreed
regarding their jurisprudence, including among the ulama malikiyyah, hanabillah
and hanafiyah they considered that istihsan deserved to be used as proof
Meanwhile, according to the ulama, Syafi'iyah rejected the istujsan position
because according to him whoever was using istihsan meant that he had made a
new 'syara' law. Sedangka istishab is a source of law in which the law is still
used until there is a proposition that changes it. In this istishab, some
scholars agree that istishab can be used as proof because according to them it
is not making a new law, but affirming the law of origin. The last one is
maslahah mursalah which is the stipulation of law which is expected to bring
benefit to the community.
Key Word: Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah
Abstrak
Dalam
islam terdapat dua sumber hukum yakni sumber hukum yang mutafaq dan
mukhtalaf yang akan dibahas dalam
tulisan ini terdapat tiga sumber hukum yang mukhtalaf yakni Istihsan, Istishab
dan Maslahah Mursalah. Adapun yang dimaksud dengan istihsan adalah suatu
perpindahan dalil hukum yang didasarkan pada dalil syara’.atau mengambil suatu
hukum yag lebih baik dikarenakan adanya dalil yang lebih kuat. Dalam istihsan
ulama juga berbeda pendapat mengenai kehujjahannya, diantaranya kalangan ulama
malikiyyah, hanabillah dan hanafiyah mereka menganggap bahwa istihsan layak dijadikan
sebagai hujjah. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah menolak kehujjahan istihsan
dikarenakan menurutnya siapa yang berhujjah menggunakan istihsan berarti dia
telah membuat hukum syara’ baru. Sedangka istishab merupakan sumber hukum yang
mana hukum tersebut tetap digunakan sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam
istishab ini sebagian ulama sepakat bahwa istishab bisa dijadikan sebagai
hujjah karena menurut mereka istishab itu bukan membuat hukum baru, namun
menegaskan hukum asal. Yang terakhir yakni maslahah mursalah yang penetapan
hukum yang diharapkan dapat mendatangkan maslahat bagi masyarakat.
Kata Kunci : Istishsan, Istishab, Maslahah Mursalah
A.
Pendahuluan
Hukum merupakan sebuah bentuk dari
hasil dinamika kehidupan manusia. Sebagai seorang Muslim dalam melakukan
sesuatu sudah seharusnya bersumber dari Al-Quran dan Hadis. Namun, Seiring
berkembangnya zaman pasti muncul beberapa permasalahan dalam kehidupan manusia.
Dimana beberapa dari permasalahan tersebut tidak disebutkan dan dijelaskan
hukumnya secara eksplisit dalam Al-Quran.
Sebelumnya yang kita ketahui bahwa kita dalam menetapkan sebuah hukum
harus bersumber dari Al-Quran dan Hadis, tanpa kita sadari terdapat beberapa
sumber lainnya yang bisa kita jadikan sebagai pedoman dalam menentukan hukum.
Dalam Islam ketentuan sumber hukum
terbagi menjadi dua yaitu sumber hukum yang disepakati dan sumber hukum yang
tidak disepakati. Sumber hukum Islam yang disepakati diantaranya yaitu
Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Sedangkan sumber hukum Islam yang tidak
disepakati yaitu Istihsan, Istihsab, Maslahah mursalah dll. Dari kedua
ketentuan sumber tersebut, tulisan ini
akan membahas mengenai sumber hukum Islam yang tidak disepakati.
B.
PEMBAHASAN
a. Pengertian Istihsan
Istihsan berasal dari kata hasan
yang artinya baik. Jadi istihsan adalah sesuatu yang dianggap baik menurut
akal. Menurut para ulama fuqaha istihsan
secara etimologis berarti “berbuat sesuatu yang lebih baik” atau “mengikuti
sesuatu yang lebih baik. Pada dasarnya tidak terdapat
perbedaan yang signifikan dikalangan para ulama yang setuju dengan istihsan
maupun ulama yang menentang istihsan. Sebenarnya mereka tidak memperselisihkan
lafadz dari makna istihsan sendiri yakni mengandung makna hasan (baik)
dan hal tersebut terdapat dalam alqur’an dan sunnah.[1]
Berikut adalah makna
dari berbagai sudut pandang ulama fiqh diantaranya menurut kalangan ulama
Malikiyah yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi yakni:
“istihsan adalah meninggalkan
kehendak dalil dengan cara pengecualian atau memberikah rukhsah (keringanan)
karena bertentangan dengan dalil lain pada beberapa ketentuan hukumnya.”[2]
Sedangkan menurut ulama Hanabilah
salah satu yang dikemukakan oleh Ibn Quddamah dalam kitabnya
Raudhatunnazhir :
“memindahkan ketentuan hukum suatu
masalah dan meninggalkan yang lainnya, karena adanya dalil syara’ yang lebuh
khusus, yakni Alqur’an dan Sunnah”
Dan menurut kalangan ulama
Hanafiyah yang dikemukakan oleh An-nasafy:
“berpindah dari suatu qiyas ke
qiyas lain yang lebih kuat, atau dalil yang bertentangan dengan qiyas Jalli.”
Dari pengertian ketiga ulama
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Secara istilah Istihsan mempunyai arti
yakni suatu perpindahan ketentuan hukum yang bersandar pada suatu dalil syara’,
dengan mengambil dalil yang lebih kuat darinya. Serta hal tersebut dianggap lebih
baik menurut syara’ ataupun menurut adat kebiasaan dan
dapat menimbulkan maslahat bagi banyak orang.[3]
b. Macam macam Istihsan
Istihsan
terbagi menjadi beberapa macam apabila ditinjau dari beberapa ulama yang
menggunakan istihsan sebagai hujjah, yakni menurut ulama hanafiyah terdapat
tiga macam yakni :
a. Berpindah dari qiyas zhahir ke
qiyas khafi, yang bertujuan untuk kemaslahatan umat.
Contoh : dalam ketentuan hukum
wakaf tanah pertanian. Menurut qiyas zhahir hukum wakaf sama dengan hukum jual beli karena sama
sama melepaskan tanah dari pemiliknya. Akan tetapi para ulama haafiyah
memindahkan hukum nya kepada yakni hukum sewa menyewa dalam sewa menyewa
memiliki tujuan yang sama yakni sama sama mengambil manfaat dari tanah
tersebut. Namun dari segi kekuatan illatnya dianggap lemah, sehingga dinamakan
dengan qiyas Khafi (samar). Walaupun seperti itu mujtahid tetap menggunakan
cara ini karena dianggap lebih memudahkan. [4]
b. Beralih dari tuntutan nash yang umum
kepada hukum yang bersifat khusus. Yakni beralihnya dalil yang umum kepada
dalil khusus karena lebih besar
mashlahatnya bagi umat.
Contoh : dalam penerapan hukum
terhadap pencuri berdasarkan ketentuan umum dalil umum yang ada yakni alqur’an
surat Al maidah ayat 38 :
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“pencuri laki-laki dan pencuri
perempuan, potonglah tangan keduanya”
Dalam ayat tersebut
diberlakukannya hukum potong tangan bagi pencuri, tetapi apabila mencuri pada
masa paceklil atau kelaparan dari orang kaya yang tidak mau berbagi kepada
orang yang tidak mampu, karena pada dasarnya mereka mengambil hak yang ada pada
orang kaya tersebut. Maka dalam hal ini hukum potong tangan tidak diberlakukan.
Karena dalam kasus ini diperlalukan hukum yang bersifat khusus.[5]
c. Berpindah dari hukum kulli (umum)
kepada hukum pengecualian.
Contoh : seperti dalalam usaha laundry tidak
bertanggung jawab atas kerusakan pada pakaian konsumen saat pakaianya rusak
saat proses pencucian. Karena pada akad jasa laundry tersebut telah mengandung
makna bahwa konsumen telah percaya kepada kemampuan dan kehati hatian pihak
laundry. Para ulama hanafiyah melihat bahwa kepuasan konsumen harus diutamakan,
jadi penyedia jasa laundry harus bertanggung jawab penuh atas kerusakan pakaian
konsumennya, kecuali kerusakan tersebut diakibatkan hal hal yang diluar kendali
manusia. Seperti terkena banjir, gunung meletus atau tsunami. [6]
Menurut ulama Malikiyah istihsan
terbagi menjadi tiga macam yakni[7]
:
a. Istihsan yang sanad nya Urf. (adat
kebiasaan)
Yakni menerapkan kaidah kulli
berdasarkan kebiasaan yang berlaku.
Contoh : seseorang yang bersumpah
tidak akan memakan daging, kemudian dia memakan ikan, maka tidak dinyatakan
melanggar sumpah karena urf yang berlaku sehari hari ikan bukanlah termasuk
dalam kategori yang dikatakan sebagai daging.
b. Istihsan yang sanadnya Maslahat
Yakni meninggalkan dalil atau kaidah umum yang
berdampak tidak terapainya maslahat, dengan menggunakan hukum yang dapat
menimbulkan kemaslahatan.
Contoh : seorang yang tengah
menyewa motor pada sebuah rental, kemudian motor tersebut mengalami kerusakaan
saat digunakan, harusnya penyewa tersebut tidak perlu mengganti kerusakan
kecuali karena kelalaian dari si penyewa. Menurut qiyas si penyewa tidak perlu
mengganti, tetapi hukumnya dipindahkan berdasarkan maslahat, agar terpelihara
dan terjaganya harta seseorang.
c. Istihsan yang sanadnya daf’ul
haraj (menghilangkan kesulitan)
Yakni meninggalkan kaidah umum
yang biasa digunakan untuk menghindarkan dari kesulitan dan memberi kemudahan
untuk umat.
Contoh : sedikit dilebihkan suatu
takaran dalam suatu ukuran yang banyak. Tindakan tersebut dibenarkan, meskipun
berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam menakar itu harus pas dan sesuai
standar yang berlaku.
c. Kehujjahan Istihsan
Kalangan ulama berbeda pendapat
mengenai kehujjahan istihsan, karena tidak semua menyetujui bahwa istihsan
dijadikan sebagai hujjah. Seperti imam syafi’i yang menolak istihsan dijadikan
sebagai hujjah, dan beliau berkata :
“ siapa saja yang menetapkan suatu
hukum dengan dasar istihsan, berarti dia telah membuat hukum syariah baru.”
Imam syafi’i menggunakan
alasan dengan firman Allah dalam surat
Alqiyamah ayat 36 :
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
Artinya : “apakah manusia mengira
bahwa dia dibiarkan begitu saja (tanpa ada pertaggung jawaban”
Imam
syafi’i berpendapat bahwa dalam ayat itu Allah tidak membiarkan manusia hidup
begitu saja tanpa adanya suatu pertanggung jawaban. Allah telah memerintahkan
dan melarang sesuatu dan telah menunjukkan kedudukan perintah dan larangan
dalam qur’an surat An Nisa ayat 59 :
فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ
Artinya: ” Jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kemalikanlah kepada Allah (alquran) dan Rasul-Nya (hadis).”
Dalam
ayat tersebut imam syafi’i berpendapat bahwa anjuran untuk selalu mengembalikan
segala penyelesaian dengan Alqur’an dan hadist. Dan tidak adanya anjuran untuk
menyelesaikan persoalan dengan istihsan, sehingga istihsan tidak dianggap
sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syara’.[8]
Selain itu menurut Imam Syafi’i berhujjah dengan istihsan bukanlah termasuk
dalam dalil syara’ melainkan hukum buatan (wadh’iy) yakni atas dasar mencari
yang enak saja serta lebih cenderung menurui hawa nafsu dan akal si mujtahid
saja.[9]
Berbeda
dengan kalangan ulama syafi’iyah, ulama kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan sebagai salah satu dalil
syara’. Meskipun mereka berbeda dalam menjelaskan macam dan pengertiannya,
namun dari ketiga kalangan tersebut yang paling banyak menggunakan istihsan
adalah kalangan ulama hanafiyah, mereka menganggap bahwa menggunakan istihsan
lebih baik daripada menggunakan qiyas.[10]
Bukan berdasarkan hawa nafsu semata, mereka tetap menggunakan dalil yang kuat.
Menurut mereka dalam melakukan istihsan leih utama dari pada menggunakan qiyas,
karena pengambilan dalil yang kuat lebih diutamakan daripada menggunakan dalil
yang lemah. Pada dasarnya tidak selalu ada dalil yang bertentangan dalam
praktek istihsan, tetapi istihsan dilakukan pada saat ada dalil yang lebih kuat
atau dilakukan dengan meninggalkan qiyas yang lemah untuk merujuk pada dalil
yang kuat yang diambil dari alqur’an, sunnah, adanya darurat, atau dari qiyas khafi.[11]
Selain itu para ulama dari
kalangan yang menggunakan istihsan menguatkan pendapatnya dengan menggunakan
dalil dalam alqu’an surat aZ zumar ayat 18:
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ
الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ
Artinya : “orang orang yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti yang paling baik diantaranya..”
Dan dalam Alqur’an surat az zumar ayat 55 :
وَاتَّبِعُوا
أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
Artinya: “ Dan ikutilah
sebaik baik apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”
Maksud
dari ayat ini adalah kita dianjurkan untuk mengikuti yang terbaik dari apa yang
diturunkan Allah. Dalam hal ini istihsan merupakan upaya untuk berbuat yang
terbaik dalam rangka mewujudkan maslahah dan mengindarkan dari segala kesukaran.Pada
hakikatnya istihsan bukanlah dalil atau sumber hukum yang berdiri sendiri
karena hukum istihsan adalah qiyas yang nyata yang disebabkan hal hal tertentu
yang oleh mujtahid dianggap lebih unggul.[12]
d. Pengertian
Istishab
Istishab
secara etimologi berarti “pengakuan kebersamaan” atau “selalu menyertai”.
Secara terminologi istishab mempunyai arti yang berbeda dari kalangan ulama,
namun perbedaan tersebut tidaklah terlalu signifikan, hingga terdapat dua
definisi secara komperehensif yang pertama istishab menurut Imam Syaukani dalam kitabnya Irsyad Al-fulul , beliau
mengatakan bahwa istishab adalah:
“ Apa yang
pernah berlaku secara tetap dimasa lalu, pada prinsipnya akan tetap berlaku
pada masa yang akan datang.”
Yang kedua
yakni Ibnu Al Qayyim mendefinisikan
Istishab adalah:
“Mengukuhkan
atau menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya
tidak ada.”[13]
Dari definisi diatas
dapat disimpulkan bahwa secara istilah istishab adalah suatu pemberlakuan hukum
yang sudah ada dimasa lalu dan tidak ada yang merubahnya yang akan tetap
berlaku dimasa mendatang sampai ada dalil yang merubahnya, atau menghukumi
sesuatu berdasarkan hukum akal.[14]
e. Macam-Macam
Istishab
dari berbagai
referensi para ulama ushul fiqih mengklasifikasikan istishab dalam empat macam yakni
:
1. Istishab Albaraa’atul ashliyyah (kebebasan
asli)
Secara etimologis al-bara’ah
mempunyai arti “bersih” maksudnya yakni bersi atau bebas dari bebas dari
tanggung jawab syara’, sebelum ada hal yang menunjukkan adanya beban syara’
tersebut. Yakni pada dasarnya seseorang terbebas dari beban hkum kecuali ada
dalil atau petunjuk yang menetapkan berlakunya huku tersebut kepadanya. Contoh
: tidak adanya hak antara laki-laki dan perempuan, sehingga adanya pernikahan.
Atau seorang muslim terbebas dari kewajiban puasa dibulan syawal, karena tidak
adanya dalil yang menegaskan kewajiban tersebut.[15]
2. Istishab yangkeberadaanya diakui oleh syara’
dan akal
Adalah
suatu hukum yang ketentuan hukumnya
telah ditetapkan oleh syara’ dan secara akal hukum tersebut tetap berlaku
sampai adanya dalil yang mengubahnya. Contoh : adanya tanggung jawab dalam
membayar hutang, sebelum ada bukti yang menyatakan bahwa hutang tersebut telah
dilunasi atau dibebaskan oleh si pemberi hutang. [16]
3. Istishabul Hukmi (istishab hukum)
Adalah tetap berlakunya
suatu hukum baik mubah ataupun haram, sebelum adanya dalil yang mengubahnya.
Contoh : memakan kuda tidak dijelaskan hukumnya didalam nash jadi memakan kuda
adalah mubah, karena kuda tidak memiliki sifat sebagai hewan yag diharamkan
oleh syara’.[17]
4. Istishab Al-wasfy
Adalah
istishab yang didasarkan pada anggapan terhadap suatu sifat yang diketahui pada
sesuatu sampai ada bukti yang merubahnya. Contoh: air sifatnya adalah suci.
sifat tersebut tetap melekat sampai ada bukti yang menampakkan ke najisannya
baik dari segi warna ataupu baunya. [18]
f. Kehujjahan
Istishab
Para ulama ushul fiqh berbeda dalam
memberikan tanggapan terkait bolehnya istishab dijadikan sebagai hujjah.Dalam
ketiga macam istishab diatas ulama sepakat menerimanya akan tetapi dalam
istishab al wasf masih menjadi perdebatan dikalangan ulama. Namun ulama
Malikiyyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa istishab al wasf
dapat dijadikan dalil secara mutlak selama belum ada dasar lain yang merubahnya.
Seperti dalam contoh kasus orang yang hilang, orang tersebut tetap dihukumi
hidup karena belum ada bukti konkrit yang menyatakan bahwa dia telah meninggal,
maka hak warisnya masih dianggap ada.
Ulama malikiyah dan Hanafiyah hanya
menerima istishab al wasf yang sifatnya mempertahankan hukum yangmada
bukan istishab al wasf yang sifatnya menetapkan hukum. Selain kelompok
tersebut terdapat pula kelompok yang menolak kehujjahan istishab seperti kelompok
mutaakhirin dari kalangan ulama
Hanafiyah mereka berpendapat bahwa halal haram suatu hukum syara’ harus
dibuktikan pada suatu dalil yang nyata dan tertuang pada qur’an dan hadist.
Bagi mereka mengamalkan istishab ini sama saja mengamalkan hukum tanpa dalil
sehingga penggunaannya tertolak. Selain itu menurut Abdul Wahab al Khallaf ,
para ulama yang menolak penggunaan istishab
al wasf dikarenakan istishab tersebut hanya didasakan pada asumsi secara
spekulatif bukan berdarkan fakta.[19]Istishab
bukan bertujuan untuk membuat hukum syara’ baru, melainkann untuk menegaskan
dan menetapkan hukum asal.
Dalam syarat sah istishab, sebagian ulama
menegaskan kebolehannya dalam hukum asal secara yakin. Karena hukum asal
sesuatu adalah tidak ada, sampai ada nya hal yang membuktikan keberadaannya. Hukum
asal dari lafadz yang mempunyai makna hakiki adalah perintah, perintah
adalah menunjukkan kewajiban dan
larangan menunjukkan keharaman. Hukum asal adalah tetapnya hukum nash sampai
ada yang menasakhnya. Karena kaidah tersebut istishab dijadikan sebagai hujjah.[20]
g. Pengertian Maslahah
Mursalah
Maslahah Mursalah terdiri dari dua kata yaitu
maslahah dan mursalah. Kata Maslahah
berasal dari bahasa Arab, Maslahah merupakan bentuk masdar dari kata
sholah )( صلاح yang berarti “manfaat”.
Secara umum maslahah memiliki arti segala sesuatu yang mendatangkan
manfaat bagi manusia dan menjauhkannya dari segala kemudlaratan. Sedangkan
Mursalah secara bahasa berarti “terlepas” atau “bebas”. Secara istilah maslahah mursalah merupakan bentuk penetapan hukum mengenai
suatu masalah tertentu agar tercapainya suatu kemaslahatan umat dimana
permasalahan tersebut tidak diatur atau disebutkan secara jelas dalam Al-Quran
dan hadis diharapkan penetapan hukum ini bisa mendatangkan kebaikan dan menolak
kerusakan bagi manusia sesuai dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Maksud dari pengertian diatas adalah dalam
menetapkan hukum diharapkan dapat menarik kemaslahatan umat manusia dan menolak
suatu bahaya atau kesulitan. Suatu kemaslahatan yang dituntut oleh lingkungan
dan permasalalahan baru yang datang seiring berkembangnya zaman yang dinamis
setelah tidak adanya wahyu, sedangkan syara’ tidak menetapkan dalam suatu
hukum, hal itulah yang disebut maslahah mursalah[21]
h. Macam-macam
Maslahah Mursalah
Dalam ushul fiqh maslahat dibagi menjadi tiga macam
yaitu:
a. Maslahah Dhoruriyah
Yaitu kemaslahatan yang sangat dibutuhkan
oleh setiap manusia, maksudnya adalah jika kemaslahatan tersebut ditinggalkan
maka akan menimbulkan kerusakan. Segala tindakan untuk menjaga lima prinsip
menjaga Agama, badan, akal, nasab, harta adalah suatu keharusan dan Allah
memerintahkan manusia untuk berusaha memenuhi kebutuhan pokok tersebut, dan
menjauhi larangannya. Dalam hal ini Allah melarang untuk membunuh sesama
manusia dan berupaya untuk menjaga diri dari segala bahaya dan kerusakan, Allah
melarang kita untuk meminum-minuman keras hal ini untuk menjaga akal, dan
melarang berzina untuk menjaga keturunan.
b. Maslahah Hajiyah
Semua bentuk kemaslahatan perbuatan yang
tidak berada pada tingkat dhoruri. Secara tidak langsung tindakan ini memang
untuk memenuhi kebutuhan pokok 5 prinsip tersebut tetapi sifatnya tidak
dhoruri, namun jika maslahah ini tidak terpenuhi bisa mengakibatkan kerusakan.
Contoh maslahah hajiyah : makan untuk bertahan hidup sama dengan memelihara
jiwa, mengasah otak untuk menjaga akal, melakukan jual beli untuk mendapatkan
harta. Namun jika hal tersebut tidak terpenuhi maka akan berdampak pada
perusakan 5 prinsip (kebutuhan pokok) seperti halnya mogok makan pada menjaga
jiwa, berzina berdampak pada memelihara keturunan dll.
c. Maslahah Tahsiniyah
Maslahah untuk memenuhi kebutuhan pokok
manusia namun tidak sampai pada tingkat dhoruri maupun tingkat haji, akan
tetapi kebutuhan ini harus terpenuhi dalam memberi keindahan dan kesempurnaan
bagi kehidupan manusia. Contoh maslahah tahsiniyah adalah dalam hal ibadah
menutupi aurat, menjaga najis, tata cara makan dan minum.[22]
i.
Kehujjahan Maslahah Mursalah
Para ulama sangat berhati-hati dalam
menjadikan Maslahah Mursalah sebagai sumber hukum, agar tidak memungkinkan
menentukan hukum berdasarkan keinginan dan hawa nafsunya sendiri. Oleh sebab
itulah mereka menetapkan tiga syarat maslahah mursalah dalam menjadikannya
sebagai hujjah:
Pertama,
kemaslahatan yang paling utama atau penting bukan kemaslahatan yang semu.
Artinya dalam kehidupan sehari-hari kemaslahatan tersebut memang benar-benar
memberikan manfaat dan menolak kemudlorotan. Jika penetapan suatu hukum
tersebut mungkin menarik manfaat namun tanpa difikirkan apakah hal tersebut
menarik suatu bahaya berarti hal tersebut didasarkan atas kemaslahatan yang
semu.
Kedua,
kemasalahatan ini bersifat umum bukan untuk kehidupan pribadi seseorang.
Artinya, penetapan hukum syara’ ini dalam dunia nyatanya dapat memberikan
manfaat kepada umat manusia bukan hanya untuk kemaslahatan perorangan. Hukum tidak hanya untuk kemaslahatan pimpinan
saja, dengan tidak melihat masyarakat sekitarnya.
Ketiga: dalam
menetapkan hukum untuk kemaslahatan umat tidak boleh bertentangan dengan
Al-Quran dan Hadis.
j.
Beberapa pendapat ulama mengenai maslahah
mursalah sebagai hujjah
Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah
mursalah bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan suatu hukum. Suatu
permasalahan atau kejadian yang tidak disebutkan hukumnya dalam Al-Quran,
hadis, ijma’ dan qiyas, maka hukumnya ditetapkan oleh kemaslahatan umat dan
kemaslahatan tersebut tidak tergantung dengan adanya saksi syara’ dan
anggapannya.
Alasan mereka dalam menjadikan maslahah
sebagai hujjah (1) kemaslahatan umat
selalu berubah-ubah atau dinamis sesuai berkembangnya zaman. jika hukum tidak
ditetapkan sesuai dengan kemaslahatan umat , maka manusia tidak akan
mendapatkan kemaslahatan. Jadi apabila pembentukan hukum tidak memperhatikan
perkembangan dan kemaslahatan umat, maka hal itu akan bertolak belakang dengan
tujuan awal penetapan hukum yaitu untuk memberikan kemaslahatan bagi umat
manusia. (2) jika diteliti lebih lanjut, sahabat Nabi, tabiin dan iman-imam
mujtahid terdahulu dalam menetapkan suatu hukum untuk kemaslahatan umat manusia
bukan karena adanya saksi dianggap oleh syari’. Contohnya, Abu bakar
mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Quran dari kayu, batu, daun dll yang tercecer
dan menjadikannya menjadi satu tulisan Al-Quran agar tidak hilang ditelan masa,
dan bisa sampai ke umat Nabi hingga saat ini. Umar bin Khattab yang membuat
penjara untuk siapapun yang berbuat kejahatan dll. (3) menerapkan kemaslahatan
sama halnya dengan merealisasikan tujuan syariat begitupun sebaliknya,
mengesampingkannya berarti mengesampingkan tujuan syariat.
Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa
kemaslahatan umat tidak dapat dijadikan landasan dalam menetapkan suatu hukum,
meskipun tidak ada saksi syara’ yang menyatakan dianggap atau tidaknya
kemaslahatan itu. Alasan mereka adalah (1)
jika maslahah mursalah dijadikan sebagai sumber hukum maka, akan membuka
kesempatan untuk melampiaskan hawa nafsu manusia dan akan disalahgunakan untuk
kepentingan pribadi mereka sebagai pemimpin, penguasa, dan raja. (2) menerapkan
kemaslahatan namun tidak berpegang teguh terhadap nash Al-Quran terkadang akan
menjadikannya sebagai bentuk penyimpangan dari hukum syariat. (3) jika maslahat
mursalah dijadikan sebagai landasan dalam menetapkan hukum, maka akan
menimbulkan perbedaan hukum terkait akibat perbedaan negara, masyarakat dll.[23]
C.
PENUTUP
Berdasarkan
keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa sumber hukum islam yang belum
disepakati memang masih banyak terdapat ikhtilaf dikalangan para ulama. Diantaranya
dalam kehujjahan dari istihsan yang mana bahwa pendapat ulama yang tidak setuju
dan dianggap barangsiapa yang menggunakannya sebagai hujjah yakni dia tekah
membuat hukum syara’ yang baru menurut kalangan ulama syafi’i. Berbeda dengan
istishab yang sebagian besar kalangan ulama sepakat akan kehujjahannya, karena
istishab dianggap tidak membuat hukum syara’ yang baru namun mempertahankan
hukum asal sampai ada dalil yang merubahnya. Begitupula dalam maslahah mursalah
yakni suatu hukum yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan atau
mendatangkan manfaat dan menghilangkan kesukaran.Pada dasarya tujuan dari
adanya penetapan hukum tersebut yakni untuk memudahkan manusia dalam melakukan
sesuatu namun hal tersebut tetap didasarkan pada syara’ dan tidak menyalahi
hukum syara’.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Hayy Abdul ‘Al,2014, Pengantar Ushul
Fiqih, Terj. Muhammad Misbah, Jakarta:
Pustaka Kautsar
Abdul Wahhab Khallaf, 2003, Ilmu Ushul Fikih terj. Faiz el Muttaqin
Jakarta: Pustaka Amani
Amir Syarifuddin, 2008, Ushul Fiqh Jilid 2
Jakarta: prenadamedia group
Amiruddin dan Fathurrahman, 2016, pengantar
ilmu fiqih Bandung: PT Refika Aditama
M.Mas’um Zein, 2016, menguasai ilmu ushul
fiqih, Yoygakarta: Pustaka Pesantren
Maskur Rosyid, Syariah: Jurnal hukum dan
Pemikiran , Vol. 16 nomor 1 , juni
2018 diakses pada 9 maret 2019, pukul
19.00 WIB
Sulaiman Abdullah,1995, Sumber Hukum Islam,
Jakarta: Sinar Grafika
Saeed Ismail Sieny, 2017, Ushul Fiqh
Aplikatif, terj.Kaserun AS. Rahman dan Bobi Setiawan, Malang: Darul Ukhuwah
Publisher
Noorwahidah, Esensi Al-mashlahah
Al-Mursalah dalam Teori Istinbat Hukum Imam Syafi'i, Fakultas Syariah IAIN
Antasari Banjarmasin
Darmawati H, Alfikr: Istihsan dan
pembaharuan hukum islam, Vol 15 nomor 2 tahun 2011, diakses pada tanggal 9
maret 2019, pukul 20.00 WIB
Catatan:
1. Similarity 6%, bagus...
2. Pelajari lagi cara pengutipan dari jurnal.
3. Pelajari cara penulisan footnote, maka yang
harus ditulis miring dan yang tidak; mana yang menggunakan huruf kapital dan
yang tidak.
4. Makalah ini kurang rapi.
5. Dalam daftar pustaka, nama penulis dibalik.
[1]
Darmawati H, Alfikr: Istihsan dan pembaharuan hukum islam, Vol 15 nomor
2 tahun 2011, diakses pada tanggal 9 maret 2019, pukul 20.00 WIB
[2]Abdul
Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fiqih, Terj. Muhammad Misbah (Jakarta:
Pustaka Kautsar, 2014) hlm 323
[3] Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hlm 130
[4]
Amiruddin dan Fathurrihman, pengantar ilmu fiqih (Bandung: PT Refika Aditama,
2016) hlm 59
[5] Amir
syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 , ( Jakarta: Kharisma Putra Utama , 2011) hlm
330
[6]Amiruddin
dan Fathurrahman, Op;cit , hlm59-
60
[7] Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hlm 133
[8] M.Mas’um
Zein, menguasai ilmu ushul fiqih, (Yoygakarta: Pustaka Pesantren, 2016),
hlm 149
[9] Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam (
Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hlm 138
[10] Amir
syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 , ( Jakarta: Kharisma Putra Utama ,
2011) hlm 336
[11]
Amiruddin dan Fathurrihman, pengantar ilmu fiqih (Bandung: PT Refika
Aditama, 2016) hlm 60
[12]Ibid,
hlm 60
[13]Amir
syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 , ( Jakarta: Kharisma Putra Utama , 2011) hlm 365
[14] Syekh
Adul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, ( Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2005) hlm
107
[15] Amir
syarifuddin,Op;cit , hlm 371
[16]
Amiruddin dan Fathurrihman, pengantar ilmu fiqih (Bandung: PT Refika
Aditama, 2016) hlm 71
[17]
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam
( Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hlm 161
[18]
Amiruddin dan Fathurrihman, Op;cit , hlm 71
[19] Maskur
Rosyid, Syariah: Jurnal hukum dan Pemikiran, Vol. 16 nomor 1 , juni 2018 , hlm 13, diakses pada 9
maret 2019, pukul 19.00 WIB
[20]Saeed Ismail Sieny, Ushul Fiqh Aplikatif, terj.Kaserun AS.
Rahman dan Bobi Setiawan,( Malang: Darul Ukhuwah Publisher, 2017), hlm 100
[21]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih terj. Faiz el Muttaqin
(Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm.110
[22]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2
(Jakarta: prenadamedia group, 2008), hlm 371
[23]Noorwahidah,
Esensi Al-mashlahah Al-Mursalah dalam Teori Istinbat Hukum Imam Syafi'i,
Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin, hlm. 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar