Senin, 11 Maret 2019

Sumber-Sumber Hukum Islam yang Tidak Disepakati I (PAI C Semester Genap 2018/2019)



Sumber Hukum Islam yang Tidak Disepakati Meliputi: Istihsan, Istishhab, Maslahah Mursalah
Oleh
Moh. Wafiq Hisyam (16110026)
Afifatur Rahma (16110181)

Abstrak
In a source of law that is not agreed upon istihsan, ihtihsab, and maslahahmursalah.dan theorem. Istihsan is to leave the will of the argument by way of exception or giving a rukhsoh because of its legal differences in several ways. Ihtihsab is to affirm a law that already exists or confirms a law that does not exist until there is a proposition that changes the situation. Maslahahmursalah is the benefit that exists for the benefit of humanity both in the maintenance of religion, soul, mind, descent and also property, without the existence of theorem and also there is no argument that rejects it.
Keywords: istihsan, ihtihsab, maslahahmursalah.

Dalam sumber hukum yang tidak disepakati istihsan, ihtihsab, dan maslahah mursalah.dan dalil. Istihsan yaitu meninggalkan  kehendak dalil dengan cara pengecualian atau memberikan suatu rukhsoh karena beda hukumnya dalam beberapa hal. Ihtihsab yaitu mengukuhkan suatu hukum yang telah ada atau menegaskan suatu hukum yang tidak ada sampai ada dalil yang mengubah keadaan itu. Maslahah mursalah yaitu kemanfaatan yang ada untuk kepentingan manusia baik dalam pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturuanandan juga harta, dengan tanpa adanya dalil dan juga tidak ada dalil yang menolaknya.
Kata kunci: istihsan, ihtihsab, maslahah mursalah.
Pendahuluan
Dalam ilmu usul fiqh mekanisme dalam ijtihad dan istinbathhukum dalam Islam merupakan salah satu dari unsur yang penting dan harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukannya. Maka dari itu pembasan kriteria seorang mujtahid penguasaan tentang ilmu ini dimasukkan ke dalam salah satu syarat mutlaqnya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada koridor yang semestinya. Ilmu usul fiqh sendri pada sebagian maslahnya terdapat perbedaan pendapat dan juga perdebatan di kalangan ulama, seperti dalam sumber-sumber hukum disan terdapat banyak sekali perbedaan, ada sumber hukum yang disepati dan ada juga yang tidak disepakti. Sumber hukum yang di sepakati seperti Al-Quran, sunnah, ijma’, qiyas. Sumber hukum yang tidak disepakti seperti istihsan, ihtihsab, dam maslahah mursalah. Disini penulis akan menjelaskan tentang hukum yang tidak di sepakati.

1.      Istihsan
Istihsan merupakan suatu metode ijtihad yang diperdebatkan para ulama’, walau pada buktinya semua ulama memakainya. istihsan menurut bahasa adalah berbuat sesuatu yang lebih baik.namun dalam pengartian istilahnya disini para ulama memiliki pendapat yang berlainan dalam hal penafsiran dan pengartian. maka ulama yang berijtihad menggunakan metode istihsan akan mengartikan istihsan yang berbeda dari orang yang membantah istihsan. Begitu juga kebalikannya orang yang menolak istihsan juga mengartikannya dengan pengartian yang berbeda dari orang yang memakainya. Seumpama ada kesepakatan dalam memaknai istihsan tersebut, tidak akan ada perbedaan pendapat dalam memakainya sebagai metode ijtihad.[1]
A.    Arti Istihsan
Istihsan merupakan perbandingan yang dilakukan mujtahid dari qiyas jalli (jelas) terhadap qiyas Khafi (yang tersembunyi), maupun dari hukum kulli terhadap hukum istisna’i. Dalam menentukan suatu hukum kepada suatu peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasar seorang mujtahid akan menghadapi dua jalan yaitu jalan yang  bersifat kepastian dan jelas, dan jalan yang bersifat samar-samar, disamping ada sesuatu di luar jalan itu atau seorang mujtahid memperoleh dalil kulli dalam penetapan suatu hukum, setelah itu memperoleh dalil lain yang mengecualikan dari dalil kulli itu , dikarenakan adanya suatu hal diluar kedua dalil itu. Setelah itu seorang mujtahid menetapkan dalil pengecualian itu karena adanya suatu hal. Jalan inilah yang dinamakan istihsan.[2] Ada beberapa rumusan definisi istihsan yang diajukan oleh Ibnu Subki diantaranya :
a.       Peralihan qiyas terhadap qiyas lain yang lebih kuat daripada qiyas sebelumnya.
b.      Peralihan penggunaan dalil terhadap adat kebiasaan sebab suatu kemaslahatan
Diantara dua definisi diatas definisi pertama aman karena qiyas yang lebih kuat didahulukan.. Sedangkan definisi yang kedua ada penolakan. Dikarenakan , apabila dapat dipastikan adat itu baik dan dilakukan sejak zaman Nabi dan tidak ada penolakan dari Nabi, pastinya ada dalil penguatnya, entah dalam bentuk nash ataupun ijma’. Maka dari itu adat haruslah diamalkan dengan jelas. Tetapi andaikata tidak benar terbukti. Pasti cara tersebut akan tertolak.[3]
B.     PEMBAGIAN ISTIHSAN DAN CONTOH-CONTOHNYA
Istihsan dapat dibagi dari dua segi yaitu :
1.      Dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dipakai :
a.       Dari qiyas  jelas menuju qiyas tak jelas ;
misalnya : dalam qiyas, tidak ikut diwakafkan hak pengairan dan lalu lintas pada tanah pertanian yang diwakafkan. Disini dalam istihsan dapat masuk andaikan tidak dijelaskan secara tegas
Berdasarkan qiyas yang jelas, wakaf disamakan dengan jual beli dikarenakan adanya persamaan tujuan. Demikian wakaf hak pengairan dan lalu lintas juga tidak termasuk jual-beli.
Sedangkan  berdasarkan qiyas yang tak jelas, dalam menyewakan tanah pertanian, hak pengairan dan lalu lintas termasuk, karena wakaf disamakan dengan sewa menyewa, dengan alasan kesamaan tujuan mengambil manfaat barang yang bukan miliknya sendiri. begitu juga wakaf
Seperti contoh diatas mengambil ketentuan yang tidak jelas dengan meninggalkan ketentuan yang jelas. Hal ini dinamakan dengan istihsan.
b.      Dari nash yang umum kepada hukum yang khusus;
misalnya : adanya pengecualian dari ketentuan ayat 38 al-Ma’idah tentang adanya hukuman potong tangan bagi pencuri tersebut apabila pencurian itu dikerjakan pada musim kelaparan.
c.       Dari hukum umum kepada hukum pengecualian
Misalnya : wakaf yang dilakukan orang dibawah perwalian karena masih belum dewasa. Menurut ketentuan kulli ia dilarang untuk berbuat kebajikan dengan hartanya. Menurut istihsan, ketentuan ini diberi pengecualian apabila wakaf ini ditujukan dirinya sendiri, walaupun tidak berwenang berkebajikan dengan hartanya, tetapi dengan wakaf ia mampu menyelamatkan hartanya.
2.      Sandaran dasar istihsan
a.       Sandaran berupa qiyas;
Seperti dalam contoh diatas.
b.      Sandaran yang berupa nas;
Misalnya :adanya hadist Nabi tentang larangan jual beli barang yang tidak ada ditempat, tetapi diperbolehkan jual beli salam. Dalam hal ini Istihsan menjadikan nash sebagai pengecualian itu.
c.       Sandaran yang berupa kebiasaan;
Seharusnya pesan pakaian itu tidak diperbolehkan karena barangnya tidak ada , namun istihsan membolehkannya karena sudah menjadi kebiasaan.
C.    KEDUDUKAN ISTIHSAN
Disini golongan Hanafiah memakai istihsan , golongan lain seperti Malikiyyah dan Hanbali juga banyak yang menggunakan istihsan. As-Syafi’i disini mengkritik Istihsan yaitu : Siapa yang berpegang terhadap Istihsan, maka ia melahirkan syariatnya sendiri, sedangkan yang berwenang mengadakannya semata-mata hanyalah Allah dan RasulNya. Mungkin karenaistihsan dipandang baik oleh para mujtahid menurut akal fikirannya sehingga seolah-olah tidak ada dalil.[4]

2.      Maslahahmursalah
A.    Pengertianmaslahah
Kata maslahahberasaldarishalaha( صلح ) denganmenambahkanalif di awalnya yang artinya “baik” adalah lawan dari kata “buruk”. Yaitumasdardenganlafadz(  صلاح ) yang artinyamanfaatdanlawankatanyaadalahkerusakan.
Maslahahartidalambahsa Arab artinya “perbuatan-perbuatan yang mendorongkepadakebaikanmanusia.” Dalampengertianumumyaitusetiapsegalasesuatu yang bermanfaatbagimanusia, baikdalamartimenarikataupunmenghasilkansepertisebuahkeuntunganataukesenanganataudalamarti lain menolakkemadorotanataukerusakan. Jadibisakitasimpulkan kata maslahahmempunyaiduaartiyaitumendatangkankemaslahatanataumenolakkemudaratan.
Pengertianmaslahahmenurutpendapatkalanganulama’
1.      Al-Ghazali mengartikan bahwa menurut beliau asalnya maslahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan maslahat (keuntunga) dan menjauhkan madharat (kerusakan), namun pada haikatnya maslahah adalah
المحافظة على مقصود الشرع
Artinya : Memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum)
Sedangkan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum itu ada lima:
a.       Memelihara agama
b.      Memlihara jiwa
c.       Mememlihara akal
d.      Memelihara keturunan
e.       Memmelihara harta
2.      Menurut Al-Khawarizmi mendefinisakan hampir sama dengan al-ghazali yaitu:
المحافظة على مقصود الشرع بدفع المفاسد عن الخلق
Artinya : memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia.
Dalam definisi ini kesamaan dalam dengan Al-ghazali dari segi arti dan tujuannya yaitu meolak kerusakan karena meolak kerusakan itu mengandung  makna menarik kemanfaatan.
3.      Al-‘Iez ibn Abdi al-Salam dalam kitab Qawaid al-Ahkam, memberikan makna maslahah dalam bentuk hakikinya dengan “kenikmatan dan kesenangan” sedangkan bentuk majazinya yaitu “sebab-sebab yang mendatangkan kenikmatan dan kesenangan” tersebut. Makna ini berdasarkan bahwa pada prinsipnya ada empat bentuk manfaat : kelezatan dan sebab-sebabnya serta kesenangan dan sebab-sebabnya.
4.      Menurut Najm al-Din al Thufi berpendapat bahwa maslahah adalah inti dari seluruh ajaran Islam yang termuat di dalam nash adalah maslahah bagi manusia. Oleh karena itu semua bentuk kemaslhatan disyariatkan dan kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik dari nash tertentu maupun dari makna makna yang dikandung dari nash. Menurutnya, maslahah merupakan dalil paling kuat yang secara mandiri bisa dijadikan alsan dalam menentukan hukum syara’.[5]
5.      Jalaluddin Abdurrahman memberikan defenisi masalahat adalah menjaga hukum syara’ terhadap berbagai kebaikan yang telah digariskan dan ditetapkan batas-batasnya, bukan berdasarkan keinginan dan hawa nafsu manusia belaka. [6]
Dari beberapa definisi yang ada tentang maslahah dengan rumusan yang berbeda-beda tersebut dapat disimpulkan bahwa maslhah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akalsehat karena mendatngkan kebaikan dan menghindarkan kurusakan bagi manusia, yang sejalan dengan tujuan syara dalam mentapkan hukum.

B.     Jenis jenis maslahah
Sebagai mana yang telah dijelskan maslahah dalam segi artian syara’ bukan hanya berdasarkan pada pertimbngan akal dalam menilai baik atau buruknya sesuatu tersebut, bukan pula untyk mendapatkan kenikmatan dan menghindarkan kerusakan tetapi lebih dari itu, bahwa yang dianggap baik oleh akal jug harus sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, yaitu dalam mmelihara lima prinsip pokok kehidupan. Misalnya dalam larangan meminum minuman khomar (minuman keras). Larangan tersebut menurut akal sehat mengandung kebaikan atau maslahah karena dapat menghindarkan dir dari kerusakan akal dan mental. Hal ini sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan haramnya minum minuman keras, yaitu untukmenjaga akal manusia sebagai dari salah satu prinsip pokok kehidupan manusia yang harus dijaga.
Kekuatan maslahah dapat dilihat dari tujuan syara’ dalam menetapkan suatu hukum, yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan lima prinsip pokok yang ada  bagi kehidupan manusia, yaitu : agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dapat juga dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal tersebut.

1.      Dari segi kekuatannya maslahah sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, ada tiga macam: maslahah dharuri, maslahah hajiyah, maslahah tahsiniyah.
a.       Maslahah dhoruriyah)(المصلحة الضرورية
Adalah keberadaan kemaslahatannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia, artinya dalam kehidupan manusia tidak mempunyai arti apa-apa apabila satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada. Oleh karena itu Allah memrintahkan manusia untuk melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut.
Misal: meninggalkan atau menjauhi larangan Allah adalah baik atau maslaha kedalam tingkat dhoruri. Dalam hal ini Allah melarang murtad untuk memelihara agama, melarang manusia saling membunuh untuk memelihara jiwa, melarang minum minuman keras untuk memelihara akal, melarang untuk berzina untuk menjaga keturunanan, dan dilaarang mencuri untuk memelihara harta.
b.      Maslahah hajiah ( المصلحة الحاجية)
Adalah kemaslahatan yang tingkat kehidupan manusianya tidak berada pada tingkat dhoruri. Bentuk kemaslahatanny tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima. Tetapi secara tidak langsung arahnya menuju kesana seperti yang dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Dalam masalah hajiyah tida sampai menyebabkan langsung rusaknya lima unsur pokok tersebut, tetapi secara tidak langsung memang dapat mengakibatkan kerusakan.
Misalnya : menunutut ilmu agama untuk menegakan agama, makan untuk kelangsungan hidup, mengasah otak untuk menyempurnakan akal, transaksi jual beli untuk mendapatkan harta. Semua itu merupaka tindakan baik atau maslahah dalam tingakatan hajiah.
Ada juga perbuatan yang secara tidak langsung akan berdampak pada perusakan lima kebutuhan pokok, seperti : menghina agama berdampak pada memelihara agama, tidak mau makan akan berdampak pada memelihara jiwa, minum dan makan yang dapat merusak akal akan berdampak pada memelihara akal,  melihat aurot akan berdampak pada memelihara keturunan, mencuri dan menipu akan berdampak pada memlihara harta. Semua hal tersebut adalah perbuatan buruk yang dilarang. Menjauhi larangan tersebut adalah hal baik atau maslhah dalam tingkatan hajiah.
c.       Maslahah tahsiniyah ( المصلحة التحسينية)
Adalah maslhah kebutuhan hidup manusia tidak sampai tingkat dhoruri maupun hajiah. Namun kebutuhan tersebutt harus perlu terpenuhi untuk memberi kesempurnaan dan keindahan bagi kehidupan manusia. Dalam tahsiniyah ini juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia.
Misalanya: Dalam memelihara agama, menutup aurot dan membersihkan badan, pakaian, dan tempat, melaksanakan ibadah sunah, tata cara menghilangkan najis. Dalam memelihara jiwa, tata cara makan dan minum, menjauhi hal-hal yang berlebihan. Dalam memelihara akal, menghindari dari mengdengar yang tidak berfaedah, menghindari menghayal. Memeliharaketurunan, walimahan dalam perkawinan atau khitbah. Dalam memelihara harta, menghindari dari penipuan dan lain-lain.

2.      Dari keserasiannya atau kesejalanan anggapan baik oleh akal itu dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum ditinjau ari maksud usaha untuk mencari dan menetapkan suatu hukum, maslaha juga disebut munasib atau keserasian dengan maslahah dengan tujuan hukum. Maslahah dalam artian munasib terbagi menjadi tiga :
a.       Maslahah mu’tabroh ( المصلحة المعتبرة)
Yaitu maslahah yang diperhitungkan oleh syari. Artinya ada petunjuk dari syar’i, baik secara langsung maupun tidak, yang memberikan petunjuk pada adanya maslahah yang menjadi alasasn dalam menetapkan hukum.
Langsung atau tidak langsung nya sebuah petunjuk atau dalil terhadap maslahah terbagi menjadi dua:
1)      Munsib mu’atsir ( المناسب المئثر) yaitu ada petunjuk langsung dari pembuat hukum yang memerhatikan maslahah tersebut. Artinya, nash dan ijma’ sebagai petunjuk syara’ dalam menetapkan bahwa maslahah itu dijadikan alasan dalam menetapkan hukum.
·         Dallil nash yang menunjuk langsung kepada maslahah.
Misalnya: seseorang tidak baik mendekati perempuan yang sedang haid dengan alasan haid itu adalah penyakit. Hal ini disebut maslahah karena menjauhkan diri dari kerusakan atau penyakit. Alasan adanya “penyakit” itu yang dikaitkan dengan adanya larangan mendekati perempuan, halsepertiitudisebutmunasib. Hal iniditegaskandalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 222:
Yang artinya : “Merekabertanyapadamutentanghaid, katakanlahbahwahaidituadalahpenyakit, olehkarenanyajauhilahperempuan yang sedanghaid.
·         Dalilijma’ yang menunjukkanlangsungkepadamaslahah
Misalnya: menetapkanadanyakewalian ayah terhadaphartaanak-anakdenganillat“belumdewasa”. Adanyahubungan“ belumdewasadengan hokum perwalianadalahmaslahahataumunasib.
2)      Munasibmulaim ( المناسب الملائم)
Yaitu tidak adnya petunjuk langsung dari syara’ baik dalam bentuk nash ataupun ijama’ tentang perhatian syara’ terhadap maslahah tersebut, namun secara tidak langsung ada. Artinya, meskipun syara’ tidak secara langsung menetapkan suatu keadaan menjadi alsan untuk menetapkan hukum yang disebutkan, namun ada petunjuk syara’ bahwa keadaan itulah yang ditetapkan syara’ sebagai alasan untuk hukum yang sejenis.
Misalanya, bolehnya menjama’ shalat bagi orang yang bermuqim karena hujan. Keadaan hujan tersebut memang tidak pernah dijadikan alasan untuk hukum jama’ shalat, namun syara’ melalui ijma’ menetapkan keadaan yang sejenis dengan hujan, yaitu “dalam perjalanan” (safar) menjadi alsan untuk bolehnya jama’ shalat.
b.      Maslahah al-Mulghoh ( المصلحة الملغاة) atau maslaha yang di tolak.
Yaitu maslahah yang dianggapa baik bagi akal, tetapi tidak diperhatikan leh syara’ yang menolaknya dalam hal ini berarti akal menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan syara’, akan tetapi ternyata syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh maslahah itu.
Misalanya pada masa kini masyarakat telah mengakui eman sipasi wanita untuk menyamakan derajatny dengan laki-laki. Maka dari itu akal menganggap baik atau maslahah untuk menyamakan haknya perempuan dengan laki-laki dalam memperoleh harta harta warisan. Dalam hal ini dianggap sejalan dengan tujuan ditetapkannya hukum waris oleh Allah untuk memberikan hak waris kepada perempuan sebagaimana ynag berlakupada laki-laki. Namun hukum Allah telah jelas dan ternyata apa yang dikira baik oleh akal itu berbeda, yaitu hak warisan anak laki-laki itu dua kali lipat dari hak anak perempuan sebagai mana yang telah ditegaskan dalam surat An-nisa’ (4): 11.

c.       Maslaha mursalah ( المصلحة المرسلة)
Yaitu apa yang dipandang baik menurut akal, sejalan dengan syara’ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk tentang syara’ yang menolaknya.[7]

C.    Pengertian maslahah mursalah
Menururt bahasa kata maslahah adalah baik, sedangkan kata murslah dari kata isim maf’ul yang artinya terlepas atau bebas. Apabila digabungkan apabila digabungkan dua kata tersebut maksudnya adalah: Terlepas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak boleh dilakukan.
Jadi maslahah mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, dan juga tidak ada pembatalnya. Apabila ada suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syariat dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, lalu ditemukan suatu yang sesuai dengan hukum syara’, yaitu suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu manfaat. Maka hal tersebut dinamakan maslahah mursalah. Tujuan uatam dari maslahah mursalah yaitu kemaslahtan, yaitu menjaga kemanfaatan atau memmelihara dari kemadaratannya.
Ada beberapa definisi tentang maslaha mursalah:
·         Menurut Al-Ghazali setiap masalah yang kembali kepada pemeliharaan maksud syara' yang diketahui dari Al-Quran, As-Sunah, dan Ijma’, tapi tidak dipandang dari ketiga dasar tersebut secara khusus dan juga tidak melalui metode qiyas, maka dipakai mashlahah mursalah. Apabilamemakai qiyas, makaharus ada dalil asal (maqis alaih).
·         Adapun menurut lmam Malik mashlahah mursalah adalah suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara', yang dapat berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyah (primer) maupun hajjiyah (sekunder).
·         Adapun Abu Nur Zuhair mashlahah mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum,tapi belum tentu diakui atau tidaknya oleh syara’.
·         Adapun Abu Zahrah mendefinisikan maslahah mursalah dengan suatu maslahah yang sesuai dengan maksud-maksud pembuat hukum (Allah) secara umum,tapi tidak ada dasar yang secara khusus sebagai bukti diakui atau tidaknya.[8]
·         Menurut Abdullah bin Abdul Husein maslaha mursalah adalah kemaslahatan yang tidak jelas diakuinya atau ditolakunya oleh syara’ dengan suatu dalil tertentu dan dan ia termasuk persoalan yang bisa diterima oleh akal tentang fungsinya.[9]

D.    Syarat-syaratmaslahahmursalah
Apabilamaslahahmursalahdijadikanhujjahharusmemenuhisyaratsebagaiberikut.
1.      Dalammaslahahmursalahharusmengadnungkemaslahahtan yang hakiki, bukanhanyasekedarberdasarkanwahamiyah( perkiraan).
2.      Dalammaslahahmursalahharusmengandungkemaslhatanumum
3.      Dalammaslhahmursalahharusmengandungkemslahatan yang tidakbertentngandengandasar yang telahditetapkan. [10]

E.     AlsaanUlamamenjadikanmaslahahmursalahsebagaihujjah
JumhurUlamaberpendapatbahwamaslahamursalahadalahhujjahsyara’ yang dipakaisebagailandasanpenetapan hukum. Berikut ini bebbrapa alasan :
1.      Dalam kemaslahahtan umat itu selalau baru dan tidak ada habisnya atau tidak ada batasnya. Maka apabila hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahtan yang baru, sesuai dengan perkembngan mereka, dan penetapan hukum hanya pada berdasarkan syara’ saja, maka akan banyak kemslahatan manusia diberbagai zaman dan tempat menjadi tidak ada.
2.      Orang yang mau meneliti penetapan hukum yang dilakukan para sahabat, tabiin dan imam-imam mujtahid akakn sangant jelas bahwa banyak sekali hukum yang telah mereka tetapkan demi kemaslahtan manusia, bukan karen ada saksi dianggap oleh sayar’.[11]
F.     Perbedaan pendapat Ulama mengenai Maslaha mursalah
Dari kalangan Zahiriyah, sebagian dari kalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah tidak mengakui adanya  maslahah mursalah dijadikan sebgai landasan pembetukan hukum, dengan alsan seperti yang dikemukakan Abdul- Karim Zaidan, antara lain:
1.      Allah dan Rasul-Nya telah merumuskan ketentuan hukum yang menjamin segala bentuk kemaslhatan umat manusia.  Seperti dalam surat al-Qiyamah ayat 36.
2.      Membenarkan maslahah mursalah dijadikan sebagai landsan hukum berarti membuka pintu untuk berbagai pihak misalnya hakim di pengadilan atau penguasa untuk menetapkan hukum menurut seleranya dengan alasan untuk meraih kemaslhatan. Praktek seperti inilah yang akaan merusak citra agama.[12]
                           
3.      IHTIHSAB
Dalam dalil hukum Islam istishab merupakan yang tidak disepakati pemakaiannya di lingkungan ulama’ ushul, metode istishab ini digunakan setelah mereka tidak mampu menyelesaikan masalah hukum dari hukum yang disepakati yang diantaranya adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Terjadinya perbedaan penggunaan istishab tidak dikarenakan oleh pengartiannya, tetapi penempatannya terhadap suatu dalil yang berdiri sendiri. [13]
A.    Arti Istishab
Yang dimaksud istishab merupakan hukum terhadap sesuatu dengan peristiwa yang telah ada sebelumnya, sampai ketemu dalil yang mampu merubah peristiwa tersebut, atau menetapkan hukum dimasa lalu itu untuk tetap digunakan hingga saat ini, sampai muncul dalil untuk menggantinya. Istishab Menurut Ibnu Qayyim yaitu penetapan terhadap hukum yang sudah ada dari suatu keadaan.[14]

B.     Macam-macam Istishab
Istishab dibagi menjadi lima hal menurut Syaikh Wahbah Zuhail yaitu :
1.      Istishabu hukmi al-ibahah al-Asliyah li al-Asya’ allati lam Yarid Dalilun bi Tahrimiha (Penetapan suatu hukum asal itu mubah apabila belum ada dalil yang menetapkan keharamannya)
2.      Istishab al-Umum ila Yarida Naskh (melanjutkan hukum umum sampai datang dalil yang mengkhususkan serta melanjutkan pemberlakuan nash sampai nasakh)
3.      Istishabu Ma Dalla al-Aqlu wa al-Syar’u ala Tsubutihi wa Dawamihi (menguatkan penetapan tentang apa yang ditentukan oleh akal dan syara’ )
4.      Istishab al-Adam al-Syar’iyyah (menguatkan ketetapan prinsip tidak ada menurut asalnya, yang diketahui akal dalam hukum syariat)
5.      Istishabu hukmin Tsabitin bi al-ijma’ fi mahalli al-Khilaf baina al-Ulama’ (menguatkan penetapan hukum dengan ijma’ pada hal yang dipertentangkan oleh ulama).[15]

C.    Kedudukan Istishab
Golongan Hanafiah menyatakan sesungguhnya Istishab tidak menjadi pegangan. Kelanjutan berlakunya hukum membutuhkan dalil begitu juga dengan penetapan hukum yang juga membutuhkan dalil. Kecuali kalau ada dalil, yang membuktikan kelangsungan hukum tersebut baru dapat di sandari. Dari kelompok lain yang memakai Istishab mengungkapkan bahwa Istishab menjadi pedoman hidup orang dalam segala tingkah lakunya. Oleh karena itu seorang hakim menetapkan adanya hak–milik atas suatu barang saat mengadili perkara yang bersumber pada bukti-bukti atau surat-surat hak milik yang sudah ada sebelumnya. Begitu juga penetapan hutang ia menetapkan hutang berdasarkan dua orang saksi yang mengetahui peristiwa tersebut sebelumnya.[16]





















Daftar Pustaka
Syarifuddin, Amir. 2008. Usul Fiqh. Jakarta: krarisma Putra Utama.
Praja, Juhaya. 2010. Ilmu usul fiqh. Bandung: CV Pustaka setia.
Khallaf, Abdull wahab. 2003. Ilmu usul fiqh. Jakarta: Darul Qalam.
Efendi, Satria. 2005. Ushul fiqh. Jakarta: Prenada Media.
Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Logos.
Hanafie, A. 1959. Usul Fiqh. Jakarta : Widjaya.
Muksana Pasaribu.2014. Maslahat dan perkembangan sebagai dasar penetapan hukum Islam. jurnal justitia. 1(4): 352.
Jalaluddin Abdurrahman, Al-Masalih Al-MursalahWaMananatuh Fi AlTasyri’, Mesir, Matbaa al-Saadah, 1983.
Haq, H. (2017). penggunaan istishab dan pengaruhnya terhadap perbedaan ulama. alhurriyah: jurnal hukum islam (alhurriyah journal of islamic law), 2(1), 17-30.
Padil, Moh., dan M. Fahim Tharaba. 2017. Ushul Fiqh: Dasar, Sejarah, dan Aplikasi Ushul Fiqh dalam Ranah Sosial. Malang: Madani.

Catatan:
1.      Similarity 24%, cukup tinggi.
2.      Pendahuluan kurang representatif, harusnya beberapa paragraf.
3.      Makalah ini kurang rapi.
4.      Mana penutup/kesimpulannya?
5.      Makalah ini sepi dari contoh-contoh.













[1]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2001, hlm.346.
[2]Moh. Padil dan M. Fahim Tharaba, Ushul Fiqh: Dasar, Sejarah, dan Aplikasi Ushul Fiqh dalam Ranah Sosial, Madani, Malang, 2017, hlm.101-102.
[3]Amir Syarifuddin, Op. Cit, hlm.347.

[4]A.Hanafie, Usul Fiqh, Widjaya, Jakarta, 1959, hlm.143-144.
[5]Nasrun haroen, ushul fiqh, (Jakarta: PT. Logos, 1996) hlm. 125
[6]Muksana Pasaribu, maslahat dan perkembangan sebagai dasar penetapan hukum Islam, jurnal justitia, Vol. 1 No. 4, 2014, hal. 352
[7]Amir Syarifuddin, Op.Cit,  hlm.367-377
[8]JuhayaPraja, Ilmu usulfiqh,(Bandung: CV Pustaka setia,2010). hlm. 117, 119
[9]Saifuddin zuhri, ushul fiqh, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) hlm. 83
[10] M Padildan, M FahimTharaba.,UsulFiqh, (Malang: Madani,2017). hlm. 106 Khallaf, Abdull wahab. 2003. Ilmu usul fiqh. Jakarta: Darul Qalam.
[11]Abdull wahab Khallaf, Ter. Ilmu usul fiqh,  (Jakarta: Darul Qalam, 2003). hlm. 112
[12]Satria Efendi, Ushul fiqh. Jakarta: Prenada Media, 2005) hlm. 150
[13]Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm.388.
[14]Moh. Padil dan M. Fahim Tharaba, Op.Cit, hlm.110.
[15]Haq, H. (2017). Penggunaan istishab dan pengaruhnya terhadap perbedaan ulama. alhurriyah: Jurnal Hukum islam (alhurriyah journal of islamic law), 2(1), hlm.21.
[16]A.Hanafie, Usul Fiqh, Widjaya, Jakarta, 1959, hlm.141-142.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar