Sumber Hukum Islam yang Tidak Disepakati Meliputi:
Istihsan, Istishhab, Maslahah Mursalah
Oleh
Moh. Wafiq Hisyam (16110026)
Afifatur Rahma (16110181)
Abstrak
In a source of law that is not agreed upon istihsan, ihtihsab, and
maslahahmursalah.dan theorem. Istihsan is to leave the will of the argument by
way of exception or giving a rukhsoh because of its legal differences in
several ways. Ihtihsab is to affirm a law that already exists or confirms a law
that does not exist until there is a proposition that changes the situation.
Maslahahmursalah is the benefit that exists for the benefit of humanity both in
the maintenance of religion, soul, mind, descent and also property, without the
existence of theorem and also there is no argument that rejects it.
Keywords:
istihsan, ihtihsab, maslahahmursalah.
Dalam sumber hukum yang tidak disepakati istihsan,
ihtihsab, dan maslahah mursalah.dan dalil. Istihsan yaitu meninggalkan kehendak dalil dengan cara pengecualian atau
memberikan suatu rukhsoh karena beda hukumnya dalam beberapa hal. Ihtihsab
yaitu mengukuhkan suatu hukum yang telah ada atau menegaskan suatu hukum yang
tidak ada sampai ada dalil yang mengubah keadaan itu. Maslahah mursalah yaitu
kemanfaatan yang ada untuk kepentingan manusia baik dalam pemeliharaan agama,
jiwa, akal, keturuanandan juga harta, dengan tanpa adanya dalil dan juga tidak
ada dalil yang menolaknya.
Kata kunci: istihsan, ihtihsab, maslahah mursalah.
Pendahuluan
Dalam ilmu usul fiqh mekanisme dalam ijtihad dan
istinbathhukum dalam Islam merupakan salah satu dari unsur yang penting dan
harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukannya. Maka dari itu pembasan
kriteria seorang mujtahid penguasaan tentang ilmu ini dimasukkan ke dalam salah
satu syarat mutlaqnya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap
berada koridor yang semestinya. Ilmu usul fiqh sendri pada sebagian maslahnya
terdapat perbedaan pendapat dan juga perdebatan di kalangan ulama, seperti
dalam sumber-sumber hukum disan terdapat banyak sekali perbedaan, ada sumber
hukum yang disepati dan ada juga yang tidak disepakti. Sumber hukum yang di
sepakati seperti Al-Quran, sunnah, ijma’, qiyas. Sumber hukum yang tidak disepakti
seperti istihsan, ihtihsab, dam maslahah mursalah. Disini penulis akan
menjelaskan tentang hukum yang tidak di sepakati.
1.
Istihsan
Istihsan merupakan suatu metode ijtihad yang diperdebatkan para ulama’,
walau pada buktinya semua ulama memakainya. istihsan menurut bahasa adalah
berbuat sesuatu yang lebih baik.namun dalam pengartian istilahnya disini para
ulama memiliki pendapat yang berlainan dalam hal penafsiran dan pengartian.
maka ulama yang berijtihad menggunakan metode istihsan akan mengartikan
istihsan yang berbeda dari orang yang membantah istihsan. Begitu juga
kebalikannya orang yang menolak istihsan juga mengartikannya dengan pengartian
yang berbeda dari orang yang memakainya. Seumpama ada kesepakatan dalam
memaknai istihsan tersebut, tidak akan ada perbedaan pendapat dalam memakainya
sebagai metode ijtihad.[1]
A.
Arti Istihsan
Istihsan merupakan perbandingan yang dilakukan
mujtahid dari qiyas jalli (jelas) terhadap qiyas Khafi (yang tersembunyi),
maupun dari hukum kulli terhadap hukum istisna’i. Dalam menentukan suatu hukum
kepada suatu peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasar seorang mujtahid akan
menghadapi dua jalan yaitu jalan yang
bersifat kepastian dan jelas, dan jalan yang bersifat samar-samar,
disamping ada sesuatu di luar jalan itu atau seorang mujtahid memperoleh dalil
kulli dalam penetapan suatu hukum, setelah itu memperoleh dalil lain yang
mengecualikan dari dalil kulli itu , dikarenakan adanya suatu hal diluar kedua
dalil itu. Setelah itu seorang mujtahid menetapkan dalil pengecualian itu
karena adanya suatu hal. Jalan inilah yang dinamakan istihsan.[2]
Ada beberapa rumusan definisi istihsan yang diajukan oleh Ibnu Subki
diantaranya :
a.
Peralihan qiyas terhadap qiyas
lain yang lebih kuat daripada qiyas sebelumnya.
b. Peralihan penggunaan dalil terhadap adat kebiasaan sebab
suatu kemaslahatan
Diantara dua definisi diatas definisi pertama aman karena
qiyas yang lebih kuat didahulukan.. Sedangkan definisi yang kedua ada
penolakan. Dikarenakan , apabila dapat dipastikan adat itu baik dan dilakukan
sejak zaman Nabi dan tidak ada penolakan dari Nabi, pastinya ada dalil
penguatnya, entah dalam bentuk nash ataupun ijma’. Maka dari itu adat haruslah
diamalkan dengan jelas. Tetapi andaikata tidak benar terbukti. Pasti cara
tersebut akan tertolak.[3]
B.
PEMBAGIAN ISTIHSAN DAN CONTOH-CONTOHNYA
Istihsan dapat dibagi dari dua segi yaitu :
1.
Dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dipakai :
a.
Dari qiyas jelas menuju qiyas tak
jelas ;
misalnya : dalam qiyas, tidak ikut diwakafkan
hak pengairan dan lalu lintas pada tanah pertanian yang diwakafkan. Disini
dalam istihsan dapat masuk andaikan tidak dijelaskan secara tegas
Berdasarkan qiyas yang jelas, wakaf disamakan dengan jual
beli dikarenakan adanya persamaan tujuan. Demikian wakaf hak pengairan dan lalu
lintas juga tidak termasuk jual-beli.
Sedangkan berdasarkan qiyas yang tak
jelas, dalam menyewakan tanah pertanian, hak pengairan dan lalu lintas
termasuk, karena wakaf disamakan dengan sewa menyewa, dengan alasan kesamaan
tujuan mengambil manfaat barang yang bukan miliknya sendiri. begitu juga wakaf
Seperti contoh diatas mengambil ketentuan yang tidak jelas dengan
meninggalkan ketentuan yang jelas. Hal ini dinamakan dengan istihsan.
b. Dari nash yang umum kepada hukum yang khusus;
misalnya : adanya pengecualian dari ketentuan ayat 38 al-Ma’idah tentang
adanya hukuman potong tangan bagi pencuri tersebut apabila pencurian itu
dikerjakan pada musim kelaparan.
c. Dari hukum umum kepada hukum pengecualian
Misalnya : wakaf yang dilakukan orang dibawah perwalian karena masih belum
dewasa. Menurut ketentuan kulli ia dilarang untuk berbuat kebajikan dengan
hartanya. Menurut istihsan, ketentuan ini diberi pengecualian apabila wakaf ini
ditujukan dirinya sendiri, walaupun tidak berwenang berkebajikan dengan
hartanya, tetapi dengan wakaf ia mampu menyelamatkan hartanya.
2. Sandaran dasar istihsan
a. Sandaran berupa qiyas;
Seperti dalam
contoh diatas.
b. Sandaran yang berupa nas;
Misalnya :adanya
hadist Nabi tentang larangan jual beli barang yang tidak ada ditempat, tetapi
diperbolehkan jual beli salam. Dalam hal ini Istihsan menjadikan nash sebagai
pengecualian itu.
c. Sandaran yang berupa kebiasaan;
Seharusnya pesan
pakaian itu tidak diperbolehkan karena barangnya tidak ada , namun istihsan
membolehkannya karena sudah menjadi kebiasaan.
C.
KEDUDUKAN ISTIHSAN
Disini golongan Hanafiah memakai istihsan ,
golongan lain seperti Malikiyyah dan Hanbali juga banyak yang menggunakan
istihsan. As-Syafi’i disini mengkritik Istihsan yaitu : Siapa yang berpegang
terhadap Istihsan, maka ia melahirkan syariatnya sendiri, sedangkan yang
berwenang mengadakannya semata-mata hanyalah Allah dan RasulNya. Mungkin karenaistihsan
dipandang baik oleh para mujtahid menurut akal fikirannya sehingga seolah-olah
tidak ada dalil.[4]
2.
Maslahahmursalah
A.
Pengertianmaslahah
Kata maslahahberasaldarishalaha( صلح ) denganmenambahkanalif di awalnya yang artinya
“baik” adalah lawan dari kata
“buruk”. Yaitumasdardenganlafadz( صلاح
) yang artinyamanfaatdanlawankatanyaadalahkerusakan.
Maslahahartidalambahsa Arab artinya
“perbuatan-perbuatan yang mendorongkepadakebaikanmanusia.”
Dalampengertianumumyaitusetiapsegalasesuatu yang bermanfaatbagimanusia,
baikdalamartimenarikataupunmenghasilkansepertisebuahkeuntunganataukesenanganataudalamarti
lain menolakkemadorotanataukerusakan. Jadibisakitasimpulkan kata
maslahahmempunyaiduaartiyaitumendatangkankemaslahatanataumenolakkemudaratan.
Pengertianmaslahahmenurutpendapatkalanganulama’
1.
Al-Ghazali mengartikan bahwa menurut beliau asalnya maslahah itu berarti
sesuatu yang mendatangkan maslahat (keuntunga) dan menjauhkan madharat
(kerusakan), namun pada haikatnya maslahah adalah
المحافظة على مقصود الشرع
Artinya : Memelihara tujuan syara’ (dalam
menetapkan hukum)
Sedangkan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum
itu ada lima:
a.
Memelihara agama
b.
Memlihara jiwa
c.
Mememlihara akal
d.
Memelihara keturunan
e.
Memmelihara harta
2.
Menurut Al-Khawarizmi mendefinisakan hampir sama dengan al-ghazali yaitu:
المحافظة على مقصود الشرع بدفع المفاسد عن الخلق
Artinya : memelihara tujuan syara’ (dalam
menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia.
Dalam definisi ini kesamaan dalam dengan Al-ghazali dari segi arti dan
tujuannya yaitu meolak kerusakan karena meolak kerusakan itu mengandung makna menarik kemanfaatan.
3.
Al-‘Iez ibn Abdi al-Salam dalam kitab Qawaid al-Ahkam, memberikan makna
maslahah dalam bentuk hakikinya dengan “kenikmatan dan kesenangan” sedangkan
bentuk majazinya yaitu “sebab-sebab yang mendatangkan kenikmatan dan
kesenangan” tersebut. Makna ini berdasarkan bahwa pada prinsipnya ada empat
bentuk manfaat : kelezatan dan sebab-sebabnya serta kesenangan dan
sebab-sebabnya.
4.
Menurut Najm al-Din al Thufi berpendapat bahwa maslahah adalah inti dari
seluruh ajaran Islam yang termuat di dalam nash adalah maslahah bagi manusia.
Oleh karena itu semua bentuk kemaslhatan disyariatkan dan kemaslahatan itu
tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik dari nash tertentu maupun dari
makna makna yang dikandung dari nash. Menurutnya, maslahah merupakan dalil
paling kuat yang secara mandiri bisa dijadikan alsan dalam menentukan hukum
syara’.[5]
5.
Jalaluddin Abdurrahman memberikan defenisi masalahat adalah menjaga hukum
syara’ terhadap berbagai kebaikan yang telah digariskan dan ditetapkan
batas-batasnya, bukan berdasarkan keinginan dan hawa nafsu manusia belaka. [6]
Dari beberapa definisi yang ada tentang maslahah dengan
rumusan yang berbeda-beda tersebut dapat disimpulkan bahwa maslhah itu adalah
sesuatu yang dipandang baik oleh akalsehat karena mendatngkan kebaikan dan
menghindarkan kurusakan bagi manusia, yang sejalan dengan tujuan syara dalam
mentapkan hukum.
B.
Jenis jenis maslahah
Sebagai mana
yang telah dijelskan maslahah dalam segi artian syara’ bukan hanya berdasarkan
pada pertimbngan akal dalam menilai baik atau buruknya sesuatu tersebut, bukan
pula untyk mendapatkan kenikmatan dan menghindarkan kerusakan tetapi lebih dari
itu, bahwa yang dianggap baik oleh akal jug harus sejalan dengan tujuan syara’
dalam menetapkan hukum, yaitu dalam mmelihara lima prinsip pokok kehidupan.
Misalnya dalam larangan meminum minuman khomar (minuman keras). Larangan
tersebut menurut akal sehat mengandung kebaikan atau maslahah karena dapat
menghindarkan dir dari kerusakan akal dan mental. Hal ini sejalan dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan haramnya minum minuman keras, yaitu untukmenjaga akal
manusia sebagai dari salah satu prinsip pokok kehidupan manusia yang harus
dijaga.
Kekuatan maslahah dapat dilihat dari tujuan
syara’ dalam menetapkan suatu hukum, yang berkaitan secara langsung atau tidak
langsung dengan lima prinsip pokok yang ada
bagi kehidupan manusia, yaitu : agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dapat juga dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia
kepada lima hal tersebut.
1.
Dari segi kekuatannya maslahah sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, ada
tiga macam: maslahah dharuri, maslahah hajiyah, maslahah tahsiniyah.
a.
Maslahah dhoruriyah)(المصلحة الضرورية
Adalah keberadaan kemaslahatannya sangat dibutuhkan oleh
kehidupan manusia, artinya dalam kehidupan manusia tidak mempunyai arti apa-apa
apabila satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada. Oleh karena itu Allah
memrintahkan manusia untuk melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokok
tersebut.
Misal: meninggalkan atau menjauhi larangan Allah adalah
baik atau maslaha kedalam tingkat dhoruri. Dalam hal ini Allah melarang murtad untuk
memelihara agama, melarang manusia saling membunuh untuk memelihara jiwa,
melarang minum minuman keras untuk memelihara akal, melarang untuk berzina
untuk menjaga keturunanan, dan dilaarang mencuri untuk memelihara harta.
b.
Maslahah hajiah ( المصلحة الحاجية)
Adalah kemaslahatan yang tingkat kehidupan manusianya
tidak berada pada tingkat dhoruri. Bentuk kemaslahatanny tidak secara langsung
bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima. Tetapi secara tidak langsung arahnya
menuju kesana seperti yang dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan
kebutuhan hidup manusia. Dalam masalah hajiyah tida sampai menyebabkan langsung
rusaknya lima unsur pokok tersebut, tetapi secara tidak langsung memang dapat
mengakibatkan kerusakan.
Misalnya : menunutut ilmu agama untuk menegakan agama,
makan untuk kelangsungan hidup, mengasah otak untuk menyempurnakan akal,
transaksi jual beli untuk mendapatkan harta. Semua itu merupaka tindakan baik
atau maslahah dalam tingakatan hajiah.
Ada juga perbuatan yang secara tidak langsung akan
berdampak pada perusakan lima kebutuhan pokok, seperti : menghina agama
berdampak pada memelihara agama, tidak mau makan akan berdampak pada memelihara
jiwa, minum dan makan yang dapat merusak akal akan berdampak pada memelihara
akal, melihat aurot akan berdampak pada
memelihara keturunan, mencuri dan menipu akan berdampak pada memlihara harta.
Semua hal tersebut adalah perbuatan buruk yang dilarang. Menjauhi larangan
tersebut adalah hal baik atau maslhah dalam tingkatan hajiah.
c.
Maslahah tahsiniyah ( المصلحة التحسينية)
Adalah maslhah kebutuhan hidup manusia tidak sampai
tingkat dhoruri maupun hajiah. Namun kebutuhan tersebutt harus perlu terpenuhi
untuk memberi kesempurnaan dan keindahan bagi kehidupan manusia. Dalam tahsiniyah
ini juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia.
Misalanya: Dalam memelihara agama, menutup aurot dan
membersihkan badan, pakaian, dan tempat, melaksanakan ibadah sunah, tata cara
menghilangkan najis. Dalam memelihara jiwa, tata cara makan dan minum, menjauhi
hal-hal yang berlebihan. Dalam memelihara akal, menghindari dari mengdengar
yang tidak berfaedah, menghindari menghayal. Memeliharaketurunan, walimahan
dalam perkawinan atau khitbah. Dalam memelihara harta, menghindari dari
penipuan dan lain-lain.
2.
Dari keserasiannya atau kesejalanan anggapan baik oleh akal itu dengan
tujuan syara’ dalam menetapkan hukum ditinjau ari maksud usaha untuk mencari
dan menetapkan suatu hukum, maslaha juga disebut munasib atau keserasian dengan
maslahah dengan tujuan hukum. Maslahah dalam artian munasib terbagi menjadi
tiga :
a.
Maslahah mu’tabroh ( المصلحة المعتبرة)
Yaitu maslahah yang diperhitungkan oleh syari. Artinya ada petunjuk dari
syar’i, baik secara langsung maupun tidak, yang memberikan petunjuk pada adanya
maslahah yang menjadi alasasn dalam menetapkan hukum.
Langsung atau tidak langsung nya sebuah petunjuk atau dalil terhadap
maslahah terbagi menjadi dua:
1)
Munsib mu’atsir ( المناسب المئثر) yaitu ada petunjuk langsung dari pembuat
hukum yang memerhatikan maslahah tersebut. Artinya, nash dan ijma’ sebagai
petunjuk syara’ dalam menetapkan bahwa maslahah itu dijadikan alasan dalam
menetapkan hukum.
·
Dallil nash yang menunjuk langsung kepada maslahah.
Misalnya: seseorang tidak baik mendekati perempuan yang
sedang haid dengan alasan haid itu adalah penyakit. Hal ini disebut maslahah
karena menjauhkan diri dari kerusakan atau penyakit. Alasan adanya “penyakit”
itu yang dikaitkan dengan adanya larangan mendekati perempuan, halsepertiitudisebutmunasib.
Hal iniditegaskandalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 222:
Yang artinya : “Merekabertanyapadamutentanghaid,
katakanlahbahwahaidituadalahpenyakit, olehkarenanyajauhilahperempuan yang
sedanghaid.
·
Dalilijma’
yang menunjukkanlangsungkepadamaslahah
Misalnya: menetapkanadanyakewalian ayah
terhadaphartaanak-anakdenganillat“belumdewasa”. Adanyahubungan“
belumdewasadengan hokum perwalianadalahmaslahahataumunasib.
2)
Munasibmulaim
( المناسب الملائم)
Yaitu tidak adnya petunjuk langsung dari syara’ baik
dalam bentuk nash ataupun ijama’ tentang perhatian syara’ terhadap maslahah
tersebut, namun secara tidak langsung ada. Artinya, meskipun syara’ tidak
secara langsung menetapkan suatu keadaan menjadi alsan untuk menetapkan hukum
yang disebutkan, namun ada petunjuk syara’ bahwa keadaan itulah yang ditetapkan
syara’ sebagai alasan untuk hukum yang sejenis.
Misalanya, bolehnya menjama’ shalat bagi orang yang
bermuqim karena hujan. Keadaan hujan tersebut memang tidak pernah dijadikan
alasan untuk hukum jama’ shalat, namun syara’ melalui ijma’ menetapkan keadaan
yang sejenis dengan hujan, yaitu “dalam perjalanan” (safar) menjadi alsan untuk
bolehnya jama’ shalat.
b.
Maslahah al-Mulghoh ( المصلحة الملغاة) atau maslaha yang di tolak.
Yaitu maslahah yang dianggapa baik bagi akal, tetapi
tidak diperhatikan leh syara’ yang menolaknya dalam hal ini berarti akal
menganggapnya baik dan telah sejalan dengan tujuan syara’, akan tetapi ternyata
syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut oleh maslahah
itu.
Misalanya pada masa kini masyarakat telah mengakui eman
sipasi wanita untuk menyamakan derajatny dengan laki-laki. Maka dari itu akal
menganggap baik atau maslahah untuk menyamakan haknya perempuan dengan
laki-laki dalam memperoleh harta harta warisan. Dalam hal ini dianggap sejalan
dengan tujuan ditetapkannya hukum waris oleh Allah untuk memberikan hak waris
kepada perempuan sebagaimana ynag berlakupada laki-laki. Namun hukum Allah
telah jelas dan ternyata apa yang dikira baik oleh akal itu berbeda, yaitu hak
warisan anak laki-laki itu dua kali lipat dari hak anak perempuan sebagai mana
yang telah ditegaskan dalam surat An-nisa’ (4): 11.
c.
Maslaha mursalah ( المصلحة المرسلة)
Yaitu apa yang dipandang baik menurut akal, sejalan dengan syara’ dalam
menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkannya dan
tidak ada pula petunjuk tentang syara’ yang menolaknya.[7]
C.
Pengertian maslahah mursalah
Menururt bahasa kata maslahah adalah baik,
sedangkan kata murslah dari kata isim maf’ul yang artinya terlepas atau bebas. Apabila
digabungkan apabila digabungkan dua kata tersebut maksudnya adalah: Terlepas
dari keterangan yang menunjukkan boleh atau tidak boleh dilakukan.
Jadi maslahah mursalah yaitu suatu
kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, dan juga tidak ada pembatalnya.
Apabila ada suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syariat dan tidak ada illat
yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, lalu
ditemukan suatu yang sesuai dengan hukum syara’, yaitu suatu ketentuan yang
berdasarkan pemeliharaan kemadaratan atau untuk menyatakan suatu manfaat. Maka
hal tersebut dinamakan maslahah mursalah. Tujuan uatam dari maslahah mursalah
yaitu kemaslahtan, yaitu menjaga kemanfaatan atau memmelihara dari
kemadaratannya.
Ada beberapa definisi tentang maslaha
mursalah:
·
Menurut Al-Ghazali setiap masalah yang kembali kepada pemeliharaan maksud syara'
yang diketahui dari Al-Quran, As-Sunah, dan Ijma’, tapi tidak dipandang dari
ketiga dasar tersebut secara khusus dan juga tidak melalui metode qiyas, maka
dipakai mashlahah mursalah. Apabilamemakai qiyas, makaharus ada dalil asal
(maqis alaih).
·
Adapun menurut lmam Malik
mashlahah mursalah adalah suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip,
dan dalil-dalil syara', yang dapat berfungsi untuk menghilangkan kesempitan,
baik yang bersifat dharuriyah (primer) maupun hajjiyah (sekunder).
·
Adapun Abu Nur Zuhair mashlahah
mursalah adalah suatu sifat yang sesuai dengan hukum,tapi belum tentu diakui
atau tidaknya oleh syara’.
·
Adapun Abu Zahrah
mendefinisikan maslahah mursalah dengan suatu maslahah yang sesuai dengan
maksud-maksud pembuat hukum (Allah) secara umum,tapi tidak ada dasar yang secara
khusus sebagai bukti diakui atau tidaknya.[8]
·
Menurut Abdullah bin Abdul
Husein maslaha mursalah adalah kemaslahatan yang tidak jelas diakuinya atau
ditolakunya oleh syara’ dengan suatu dalil tertentu dan dan ia termasuk
persoalan yang bisa diterima oleh akal tentang fungsinya.[9]
D.
Syarat-syaratmaslahahmursalah
Apabilamaslahahmursalahdijadikanhujjahharusmemenuhisyaratsebagaiberikut.
1.
Dalammaslahahmursalahharusmengadnungkemaslahahtan
yang hakiki, bukanhanyasekedarberdasarkanwahamiyah( perkiraan).
2.
Dalammaslahahmursalahharusmengandungkemaslhatanumum
3.
Dalammaslhahmursalahharusmengandungkemslahatan
yang tidakbertentngandengandasar yang telahditetapkan. [10]
E.
AlsaanUlamamenjadikanmaslahahmursalahsebagaihujjah
JumhurUlamaberpendapatbahwamaslahamursalahadalahhujjahsyara’ yang
dipakaisebagailandasanpenetapan hukum. Berikut ini bebbrapa alasan :
1.
Dalam kemaslahahtan umat itu selalau baru dan tidak ada habisnya atau tidak
ada batasnya. Maka apabila hukum tidak ditetapkan sesuai dengan kemaslahtan
yang baru, sesuai dengan perkembngan mereka, dan penetapan hukum hanya pada
berdasarkan syara’ saja, maka akan banyak kemslahatan manusia diberbagai zaman
dan tempat menjadi tidak ada.
2.
Orang yang mau meneliti penetapan hukum yang dilakukan para sahabat, tabiin
dan imam-imam mujtahid akakn sangant jelas bahwa banyak sekali hukum yang telah
mereka tetapkan demi kemaslahtan manusia, bukan karen ada saksi dianggap oleh
sayar’.[11]
F.
Perbedaan pendapat Ulama mengenai Maslaha mursalah
Dari kalangan Zahiriyah, sebagian dari
kalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah tidak mengakui adanya maslahah mursalah dijadikan sebgai landasan
pembetukan hukum, dengan alsan seperti yang dikemukakan Abdul- Karim Zaidan,
antara lain:
1.
Allah dan Rasul-Nya telah merumuskan ketentuan hukum yang menjamin segala
bentuk kemaslhatan umat manusia. Seperti
dalam surat al-Qiyamah ayat 36.
2.
Membenarkan maslahah mursalah dijadikan sebagai landsan hukum berarti
membuka pintu untuk berbagai pihak misalnya hakim di pengadilan atau penguasa
untuk menetapkan hukum menurut seleranya dengan alasan untuk meraih
kemaslhatan. Praktek seperti inilah yang akaan merusak citra agama.[12]
3.
IHTIHSAB
Dalam dalil hukum Islam istishab merupakan yang tidak
disepakati pemakaiannya di lingkungan ulama’ ushul, metode istishab ini
digunakan setelah mereka tidak mampu menyelesaikan masalah hukum dari hukum
yang disepakati yang diantaranya adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Terjadinya perbedaan penggunaan istishab tidak dikarenakan oleh pengartiannya,
tetapi penempatannya terhadap suatu dalil yang berdiri sendiri. [13]
A.
Arti Istishab
Yang dimaksud istishab merupakan hukum
terhadap sesuatu dengan peristiwa yang telah ada sebelumnya, sampai ketemu
dalil yang mampu merubah peristiwa tersebut, atau menetapkan hukum dimasa lalu
itu untuk tetap digunakan hingga saat ini, sampai muncul dalil untuk
menggantinya. Istishab Menurut Ibnu Qayyim yaitu penetapan terhadap hukum yang
sudah ada dari suatu keadaan.[14]
B.
Macam-macam Istishab
Istishab dibagi menjadi lima hal menurut Syaikh Wahbah
Zuhail yaitu :
1. Istishabu hukmi al-ibahah al-Asliyah li al-Asya’ allati
lam Yarid Dalilun bi Tahrimiha (Penetapan suatu hukum asal itu mubah apabila
belum ada dalil yang menetapkan keharamannya)
2. Istishab al-Umum ila Yarida Naskh (melanjutkan hukum umum
sampai datang dalil yang mengkhususkan serta melanjutkan pemberlakuan nash
sampai nasakh)
3. Istishabu Ma Dalla al-Aqlu wa al-Syar’u ala Tsubutihi wa
Dawamihi (menguatkan penetapan tentang apa yang ditentukan oleh akal dan syara’
)
4. Istishab al-Adam al-Syar’iyyah (menguatkan ketetapan
prinsip tidak ada menurut asalnya, yang diketahui akal dalam hukum syariat)
5. Istishabu hukmin Tsabitin bi al-ijma’ fi mahalli
al-Khilaf baina al-Ulama’ (menguatkan penetapan hukum dengan ijma’ pada hal
yang dipertentangkan oleh ulama).[15]
C.
Kedudukan Istishab
Golongan Hanafiah menyatakan sesungguhnya Istishab tidak menjadi pegangan.
Kelanjutan berlakunya hukum membutuhkan dalil begitu juga dengan penetapan
hukum yang juga membutuhkan dalil. Kecuali kalau ada dalil, yang membuktikan
kelangsungan hukum tersebut baru dapat di sandari. Dari kelompok lain yang
memakai Istishab mengungkapkan bahwa Istishab menjadi pedoman hidup orang dalam
segala tingkah lakunya. Oleh karena itu seorang hakim menetapkan adanya
hak–milik atas suatu barang saat mengadili perkara yang bersumber pada
bukti-bukti atau surat-surat hak milik yang sudah ada sebelumnya. Begitu juga
penetapan hutang ia menetapkan hutang berdasarkan dua orang saksi yang
mengetahui peristiwa tersebut sebelumnya.[16]
Daftar Pustaka
Syarifuddin, Amir. 2008. Usul Fiqh. Jakarta: krarisma Putra Utama.
Praja, Juhaya. 2010. Ilmu usul fiqh. Bandung: CV Pustaka setia.
Khallaf, Abdull wahab. 2003. Ilmu usul fiqh. Jakarta: Darul Qalam.
Efendi, Satria. 2005. Ushul fiqh. Jakarta: Prenada Media.
Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Logos.
Hanafie, A. 1959. Usul Fiqh.
Jakarta : Widjaya.
Muksana Pasaribu.2014. Maslahat dan
perkembangan sebagai dasar penetapan hukum Islam. jurnal justitia. 1(4): 352.
Jalaluddin
Abdurrahman, Al-Masalih Al-MursalahWaMananatuh Fi AlTasyri’,
Mesir, Matbaa
al-Saadah, 1983.
Haq, H. (2017). penggunaan istishab dan
pengaruhnya terhadap perbedaan ulama. alhurriyah: jurnal hukum islam (alhurriyah journal of islamic law), 2(1), 17-30.
Padil, Moh., dan M. Fahim Tharaba. 2017. Ushul Fiqh: Dasar, Sejarah, dan Aplikasi
Ushul Fiqh dalam Ranah Sosial. Malang: Madani.
Catatan:
1.
Similarity 24%, cukup tinggi.
2.
Pendahuluan kurang representatif, harusnya beberapa paragraf.
3.
Makalah ini kurang rapi.
4.
Mana penutup/kesimpulannya?
5.
Makalah ini sepi dari contoh-contoh.
[1]Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh 2, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2001, hlm.346.
[2]Moh. Padil dan M. Fahim Tharaba, Ushul Fiqh: Dasar, Sejarah, dan Aplikasi Ushul Fiqh dalam Ranah Sosial,
Madani, Malang, 2017, hlm.101-102.
[3]Amir Syarifuddin, Op. Cit, hlm.347.
[4]A.Hanafie, Usul
Fiqh, Widjaya, Jakarta, 1959, hlm.143-144.
[5]Nasrun
haroen, ushul fiqh, (Jakarta: PT. Logos, 1996) hlm. 125
[6]Muksana Pasaribu, maslahat dan perkembangan sebagai dasar penetapan hukum
Islam, jurnal justitia, Vol. 1 No. 4, 2014, hal. 352
[7]Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm.367-377
[8]JuhayaPraja, Ilmu usulfiqh,(Bandung: CV Pustaka
setia,2010). hlm. 117, 119
[9]Saifuddin zuhri, ushul fiqh, (Yokyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009) hlm. 83
[10] M Padildan, M FahimTharaba.,UsulFiqh, (Malang: Madani,2017). hlm. 106 Khallaf, Abdull wahab. 2003. Ilmu usul fiqh.
Jakarta: Darul Qalam.
[11]Abdull wahab Khallaf, Ter. Ilmu usul fiqh, (Jakarta: Darul Qalam, 2003). hlm. 112
[12]Satria Efendi, Ushul fiqh. Jakarta: Prenada Media,
2005) hlm. 150
[13]Amir Syarifuddin, Op.Cit,
hlm.388.
[14]Moh. Padil dan M. Fahim Tharaba, Op.Cit, hlm.110.
[15]Haq, H. (2017). Penggunaan istishab dan pengaruhnya
terhadap perbedaan ulama. alhurriyah: Jurnal Hukum islam (alhurriyah journal of
islamic law), 2(1), hlm.21.
[16]A.Hanafie, Usul Fiqh, Widjaya, Jakarta, 1959,
hlm.141-142.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar