SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM YANG
TIDAKDISEPAKATI (URF, SADD AD-DZARIAH, MAZHAB SHAHABI, SYAR’U MAN QOBLANA)
Anang
Ismail
Mahasiswa
Pendidikan Agama Islam Angkatan 2016 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstrack
The source of Islamic Law is a benchmark and reference for general
Muslims to live. In its stipulation the scholars divided the source of Islamic
Law into two parts, first; The Agreed Sources of Islamic Law and second; The
Disagreed Sources of Islamic Law. The agreed sources of Islamic Law include the
Al-Quran , Sunnah, Qiyas and Ijma '. Whereas, The disagreed Sources of Islamic
law include the urf, sadd al-Dzariah, the mazhab shahabi and syar'u man
qoblana. Regarding to the disagreed sources of Islamic Law, including urf is
everything in a society that has become a habit and unites with their lives,
both in the actions and words. The types of urf are Urf al-am, urf al-khash,
urf al-lqfhzi, urf al-amali, Dan lain lain (tulis sndiri). But the urf that can
be used as a legal basis in establishing problems in a society is the urf
shahih.The sadd ad-dzariat is everything that carries out a work that
originally contained benefit towards a damage. According to Imam Syatibi and Ibn
Qoyyim al-Jauziyyah, the types divided into two; based on the quality of their
interpretation and the type of their adherence. The Mazhab Shahabi is the
opinion of the Prophet Muhammad's friends about a case which its laws are
didn't explained in the Qur'an and sunnah of the Prophet Muhammad. Meanwhile,
syar'u man qoblana is the Shari'a or the teachings of the prophets before Islam
that related to a law, such as the Shari'a of the prophets Abraham, the prophet
Musa, the prophet Isa, etc.The four sources of Islamic Law above are still be a
debate among scholars. There are some scholars who agree that the sources of
Islamic Law can be used as evidence and there are also some scholars who
disagree that the sources of Islamic Law to be used as proof.
Keywords: Urf,
saad ad-dzariah, mazhab shahabi, syar'u man qoblana
Abstak
Sumber hukum islam pada dasarnya merupakan patokan dan rujukan bagi
umat islam dalam menjalani kehidupannya. Dalam penetapannya para ulama membagi
sumber hukum islam menjadi dua bagian besar, yaitu sumber hukum islam yang
disepakati dan sumber hukum islam yang tidak disepakati. Sumber hukum islam
yang disepakati antara lain mencakup Al-Qur’an, Sunnah, Qiyas dan ijma’.
Sedangkan yang tidak disepakati diantaranya adalah urf, sadd al-Dzariah, mazhab
shahabi dan syar’u man qoblana. Mengenai hukum yang tidak disepakati, diantaranya urf yaitu Segala sesuatu yang ada di dalam sebuah masyarakat dan telah menjadi suatu kebiasaan dan menyatu
dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan. macam-macam urf antara lain seperti urf al-am,
urf al-khash, urf al-lafzhi, urf
al-amali, urf al-fasid dan urf shahih. Namun urf yang
dapat dijadikan sandaran hukum dalam menetapkan permasalahan hukum yang terjadi
di dalam suatu masyarakat adalah ‘urf shahih. Adapun sadd ad-dzariat merupakan
segala sesuatu yang melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung
kemashlahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan). Mengenai jenisnya
Imam Syatibi dan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah membaginya dalam dua cakupan yaitu
berdasarkan kualitas kemafsadatannya dan jenis kemafsadatannya. Mazhab shahabi
didefinisikan sebagai pendapat para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasalam tentang suatu kasus yang mana hukum-hukumnya tidak dijelaskan
secara tegas dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasalam. Sementara itu
syar’u man qoblana merupakan syariat atau ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan suatu
hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan lain-lain. Adapun dari keempat sumber hukun diatas masih menjadi perdebatan
dikalangan ulama ada sebagian yang menyepakati bahwa sumber hukum tersebut
dapat dijadikan hujjah dan ada juga sebagian ulama yang tidak setuju untuk
dijadikan hujjah.
Kata kunci :Urf,
saad ad-dzariah, mazhab shahabi, syar’u man qoblana
Pendahuluan
Banyaknya
fenomena-fenomena yang terjadi sekarang ini yang berkaitan dengan hukum yang
mana memerlukan rujukan sehingga apa yang dilakukan tidak bertentangan dengan
syariat islam.Didalam syariat islam terdapat sumber-sumber hukum yang menjadi
landasan dan rujukan seorang muslim dalam menjalani kehidupannya. Sumber-sumber
hukum ini yang mengatur segala permasalahan hukum yang terjadi didalam
kehidupan. Diantara sumber hukum seperti Al-Qur’an Sunnah, Ijma, dan qiyas.
Sumber hukum ini merupakan sumber hukum yang disepakati oleh para ulama.
Urf disini berkaitan dengan hal-hal yang dibiasakan manusia dan
berlaku secara kontinu dari perbuatan yang lazim diantara mereka. Sementara itu
sadd al-Dzar’I adalah kaitannya dengan sebuah larangan, yang awalnya mengandung
kemafsadatan namun karena aspek-aspek lain sehingga menyebabkan hal tersebut
terlarangan. Adapun Mazhab Shahabi
berkaitan dengan hukum-hukum yang dilontarkan oleh para sahabat yang apakah
hukum tersebut dapat dijadikan dadlil atau tidak dan Syar’u Man Qoblana yaitu
berkaitan hukum atau syariat-syariat sebelum Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasalam. Adapun lebih rincinya mengenai perselisihan tentang apakah
hukum-hukum ini dapat dijadikan dalil akan dipaparkan didalam jurnal ini.
1.
Urf
A. Definisi Urf
Secara bahasa kata ‘urf ( العرف ) berarti sesuatu yang dianggap
baik.[1]
Adapun secara istilah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan,
dalam Ushul Fiqh Nasrun Haroen istilah ‘urf yaitu :[2]
ما ألفه المجتمع واعتاده وسار عليه فى حياته من
قول أو فعل
Segala sesuatu yang tidak asing lagi di dalam
sebuah masyarakat karena telah menjadi suatu kebiasaan dan menyatu dengan
kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan.
Istilah ‘urf sering juga dinamakan dengan al-‘adah
(adat kebiasaan), namun dalam hal ini para ulama ushul fiqh membedakan antara
urf dan adat dalam membicarakan kedudukannya sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum syara’. Adat di definisikan sebagai :[3]
الأمر المتكرر من غير علاقة عقلية
Sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang
tanpa ada keterkaitannya dengan hubungan rasional
Definisi ini menunjukkan bahwa jika suatu perbuatan yang ada keterkaitannya
dengan hukum akal dan dilakukan secara berulang-ulang , maka tidak dinamakan
adat. Definisi ini juga menunjukkan bahwa adat mencakup jangkaauan yang sangat
luas, yang diantaranya mencakup permasalahan pribadi seperti kebiaasaan
seseorang dalam hal tidur, makan dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu
ataupun juga menyangkut permasalahan sekelompok orang seperti sesuatu yang
berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. Adat juga bisa
timbul dari sebab alami, seperti seperti cepatnya perkembangan seorang anak di
daerah tropis atau cepatnya tanaman berbuah didaerah tropis sementara itu untuk
daerah dingin terjadi keterlambatan pertumbuhan seseorang dan keterlambatan
berbuahnya tanaman. Sementara itu adat juga bisa timbul
disebabkan oleh kasus-kasus tertentu seperti perubahan budaya di suatu daerah
dikarenakan masuknya pengaruh budaya asing. [4]
Adapun urf menurut para ulama ushul fiqih :
عادة جمهور قوم في قول أو فعل
Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam hal perkataan maupun
perbuatan
Berdasarkan definisi ini guru besar fiqh Islam di Universitas ‘Amman,
Jordania , Musthofa Ahmad al-Zarqa’ mengemukakan bahwa ‘urf merupakan bagian
dari adat sebab adat jangakauannya lebih umum daripada urf. Menurutnya suatu
urf harus berlaku kepada banyak orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi
atau kelompok tertentu dan urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang
berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan
pengalaman, seperti kebiasaan masyarakat di suatu daerah tertentu dalam hal
menetapkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga pada suatu perkawinan
bisa diambil dari mas kawin yang diberikan suami.[5]
Urf terbentuk apabila semua orang atau
sebagian besarnya membiasakan sesuatu. Namun jika seseorang berulang-ulang
melakukan sesuatu maka kebiasaan ini tidak bisa disebut dengan ‘urf.[6]
Urf adalah salah satu bentuk dari adat bukan persamaan darinya dan yang dibahas
oleh para ulama ushul fiqh berkaitan dengan sumber dan dalil dalam menetapkan
hukum syara’ adalah ‘urf bukan adat. [7]
B. Macam-macam Urf
Menurut para ulama ushul fiqh mereka membagi urf kedalam tiga macam
diantaranya:[8]
a)
Ditinjau dari segi objeknya, urf dibagi menjadi dua macam
yaitu al-urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al
urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan)
1.
Al-urf al lafzhi
Al-urf allafzhi merupakan kebiasaan suatu
masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu untuk mengungkap
sesuatu, sehingga ketika ungkapan tersebut dilontarkan maka makna ungkapan
itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan
“daging” yaitu mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seorang mendatangi
penjual daging, sedangkan penjual daging memiliki bermacam-macam daging. Lalu
pembeli mengatakan “saya membeli daging satu kilogram” pedagang itu langsung
mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat yang di pahami dan
terlintas dalam pikiran dan telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada
daging sapi.
2.
Al-urf al-‘amali
Al-urf al-amali adalah setiap perbuatan yang
dilakukan oleh suatu masyarakat yang mana perbuatan tersebut menjadi kebiasaan
dan telah lazim dikenal diantara masyarakat dalam melakukan aktivitas
sehari-hari. Seperti kebiasaan masyarakat tertentu dalam memakan makanan khusus
atau meminum minuman tertentu atau contoh lain seperti kebiasaan suatu
masyarakat dalam melakukam transaksi jual beli secara mut’ah (serah terima
barang dan alat tukar tanpa mengucapkan transaksi).
b)
Ditinjau dari segi cakupannya, urf dibagi menjadi dua
macam yaitu al-urf al-am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-urf al-khash(kebiasaan
yang bersifat khusus)
1.
Al-urf al-am
Al-urf al-am adalah kebiasaan tertentu yang
bersifat umum di masyarakat yang mencakup wilayah yang luas. misalnya dalam
jual beli beli mobil maka seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil
seperti kunci, tang, dongkrak dan bang serep termasuk dalam harga jual, tanpa
akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain yaitu kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan harga sewa
tertentu tanpa menentukan secara pasti berapa lamanya mandi dan kadar air yang
digunakan.
2.
Al-urf al-Khas
Al-urf al-khas adalah kebiasaan yang berlaku secara khusus di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya dikalangan para pedagang
apabila terjadi cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan
untuk cacat lainnya dalam barang itu, maka konsumen tidak dapat mengembalikan
barang tersebut. Atau juga kebiasaan masyarakat Jambi dalam penyebutan kalimat
“satu tumbuk tanah” yaitu untuk menunjukkan luas tanah 10 x 10 meter.[9]
c)
Ditinjau dari segi keabsahannya maka urf terbagi menjadi
dua yaitu al-urf al-shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan al-urf
al fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).
1.
Al-urf al-Shahih
Al urf Al-Shahih adalah kebiasaan yang berlaku
di tengah tengah masyarakat yang tidak bertentang dengan nash (ayat atau hadis)
dan aturan-aturan hukum islam, dengan tidak menghilangkan kemaslahatan dan
tidak pula membawa mudharat. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki
memberikan hadiah kepada pihak wanita dan ini tidak dianggap sebagai mas kawin. Contoh lainnya kebiasaan memberikan hadiah kepada khatib karena
telah melakukan khutbah dan ini tidak bertentangan dengan apa-apa yang telah
ditetapkan syara.[10]
2.
Al-urf al fasid
Al-urf al fasid adalah kebiasaan yang yang bertentangan dengan
dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada didalam syara’.
Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba,
seperti dalam hal pinjam
meminjam. Contoh lainnya yaitu dalam hal penyuapan, untuk memenangkan
perkaranya, dimana seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada hakim untuk
memenangkan perkaranya atau untuk kelancaran urusannya seseorang memberikan
uang kepada orang lain untuk menangani urusannya.[11]
hal ini merupakan bertentangan dengan syara’ dan termasuk dalam Al-urf al
fasid.
C. Syarat-syarat
urf
Adapun syarat-syarat urf yang telah dinyatkan oleh para ulama ushul fiqh
untuk dijadikan landasan hukum adalah sebgai berikut:[12]
a. Urf itu berlaku umum artinya dapat diberlakukan
untuk mayoritas persoalan yang terjadi ditengah-tengah
masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat.
b. Urf telah memasyarakat ketika persoalan yang
akan ditetapkan hukumnya. Artinya ‘urf itu lebih dulu ada sebelum kasus yang
akan ditetapkan hukumnya.
c. Urf itu tidak bertentangan dengan yang
diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi
d. Urf tidak bertentangan dengan nash, sehingga
hukum yang dikandung nash bisa diterapkan
D. Kehujjahan Urf
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa urf yang dapat dijadikan sandaran hukum
dalam menetapkan permasalahan hukum yang terjadi di dalam suatu masyarakat
adalah ‘urf shahih. Namun urf-urf yang lain seperti urf al-am, urf al-khash,
maupun yang berkaitan dengan urf al-lafzhi dan urf al-amali, ini juga dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan hukum selama tidak bertentangan dengan hukum syara’.[13] Namun Oleh karena itu dianjurkan bagi seorang
mujtahid memperhatikan kebiasaan dalam masyarakat sebelum menentukan hukum,
sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan
kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut.. Ketentuan ini berlaku dengan catatan
bahwa kebiasaan yang dimaksud itu tidak bertentangan dan tidak menyalahi
garis-garis yang telah ditetapkan oleh syara’.[14]
Para ulama juga menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-qur’an
diturunkan banyak sekali ayat-ayat mengukuhkan kebiasaan yang terdapat
ditengah-tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual beli yang sudah ada
sebelum islam, dari berbagai macam kasus urf yang dijumpai ditengah-tengah
masyarakat, para ulama ushul fiqh juga merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang
berkaitan dengan ‘urf diantara
yang paling mendasar adalah العدة
محكمة "adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum". Para ulama ushul fiqh juga sepakat hukum-hukum yang didasarkan
pada urf dapat berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi didalam masyarakat
pada zaman dan tempat tertentu.[15]
2.
Saad al dzari’ah
A.
Pengertian Sadd al Dzari’ah
Kata sadd menurut bahasa artinya menutupdan kata dzari’ah artinya wasilah
atau “jalan kesuatu tujuan” jadi secara bahasa berarti “menutup jalan kepada
suatu tujuan”.[16] Sedangkan
menurut istilah seperti yang dikemukan Imam As-Syatibi Sadd al-Dzari’ah adalah
melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan menuju pada
suatu kerusakan (kemafsadatan).
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd al-dzari’ah adalah
perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan,
tetapi berakhir dengan suatu kerusakan .[17]
sebagai contoh, pertemanan atau sahabat yaitu hukum asalnya adalah mubah. Namun
jika berteman atau sahabat dengan orang-orang jahat ada dua kemungkinan yang
bisa terjadi.pertama orang-orang jahat tersebut akan menjadi baik karena
berteman dengan kita. Tetapi yang kedua kita akan menjadi orang jahat karena
pertemanan itu dan ini hanya akan membawa kemafsadatan.
Contoh lain Hibbah yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa ikatan
apa-apa dalam syariat islam perupak perbuatan yang baik yang mengandung
kemashlahatan. Akan tetapi, bila tujuannya tidak baik misalnya untuk
menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan
pada pertimbangan, bahkan hukum zakat itu wajib sedangkan hibbah adalah sunnah.[18]
Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menyebabkan
suatu perbuatan itu dilarang yaitu :
a. Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu
mengandung kerusakan
b. Kemafsadatan lebih kuat daripada kemashlahatan
c. Perbuatan yang diperbolehkan syara’ mengandung
lebih banyak kemafsadatannya.
B. Macam-macam Sadd
al- Dzari’at
Ada dua teori dalam pembagian dzaria yaitu
yang dikemukakan oleh ibn Qoyyim yang
dzariat dilihat dari segi kualitas kemafsadatanya dan Imam al-syatibi yang
dilihat segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkannya.[19]
1.
Sadd al-Dzari’at dilihat dari segi kualitas
kemafsadatannya
Menurut Imam al-Syathibi ia mengemukakan bahwa dilihat
dari segi kualitas kemafsadatannya, dibagi kedalam empat macam yaitu:[20]
a.
Perbuatan yang dilakukan tersebut sudah dipastikan akan
menyebabkan mafsadah. Seperti seseorang yang menggali sumur didepan pintu rumah
orang lain di malam hari tanpa diketahui pemiliknya. Hal ini akan menyebabkan
pemilik rumah akan terjatuh kedalam sumur tersebut. Perbuatan semacam ini
merupakan suatu bentuk kemafsadatan dan orang yang melakukannya akan dikenakan
hukuman karena mencelakakan orang lain.
b.
Perbuatan yang boleh dilakukan sebab jarang mengandung
kemafsadatan. contohnya menggali sumur disebuah tempat yang umumnya orang tidak
akan terperosok kedalamnya dan ini tidak membawa kepada kemafsadatan. Contoh
lainnya yaitu menjual makanan yang umumnya tidak membahayakan bagi orang yang
mengkonsumsinya. Perbuatan seperti ini hukum asalnya adalah mubah dan
diperbolehkan oleh syara’ karena tidak membawa kepada kemafsadatan.
c.
Perbuatan yang dilakukan besar kemungkinan akan
menyebabkan kemafsadatan. Contohnya menjual senjata kepada musuh yang
kemumgkian besar di gunakan untuk membunuh. Hal ini merupakan perbuatan yang
membawa kepada kemafsadatan. Contoh lainnya yaitu menjual anggur kepada pabrik
pembuat pembuat minuman keras yang sangat mungkin anggur diproses menjadi
minuman keras sehingga perbuatan seperti ini dilarang karena sangat mungkin
membawa kepada kemafsadatan .
d.
Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena
mengandung kemashlahatan, namun memungkinkan juga perbuatan tersebut membawa
kepada kemafsadatan. seperti pada kasus jual beli yang disebut dengan baiy
al-ajal yaitu jual beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal
karena tidak kontan atau penjualan secara berkala. Contohnya A membeli motor dari B secara kredit seharga 20 juta. Kemudian A
menjual kembali motor tersebut kepada si B seharga 10 juta secara tunai.
Sehingga seakan-akan A menjual barang fiktif. Sementara B tinggal menunggu saja
pembayaran dari kredit motor tersebut, walaupun motornya telah menjadi miliknya
kembali. Jual beli seperti ini cenderung membawa kepada riba. Dalam hal ini
terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang baiy al-ajal
apakah diperbolehkan atau dilarang. Menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah jual
beli seperti ini diperbolehkan sebab syarat dan rukun jual beli sudah
terpenuhi. Sementara itu dugaan (Zhann al-mujjarad) tidak bisa dijadikan
patokan keharaman jual beli tersebut. Jadi bentuk dzar’ah seperti ini
diperbolehkan. Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Ahmad lebih memperhatikan
akibat dan kemafsadatan yang ditimbulkan dari praktek jual beli tersebut yaitu
dapat menimbulkan riba. Sehingga dari sisi inilah Imam Malik dan Imam Ahmad
melarang bentuk dzariah seperti ini.[21]
Adapun alasan yang dikemukan oleh Imam Malik
dan Imam
Ahmad untuk mendukung pendapatnya adalahsebagai berikut:
a)
Dalam praktek baiy al-ajal perlu perlu dilihat tujuan dan
akibatnya yang dapat membawa kepada riba walaupun sitanya ghilbah al-zhann
(praduga yang berat) karena dalam banyak kasus, syara’ sendiri banyak sekali
pengisyaratkan penentuan hukum berdasarkan praduga yang berat. Disamping itu
juga diperlukan sikap kehati-hatian (ihtiyat). Oleh karena itu, perbuatan yang
diduga akan membawa pada suatu kemafsadatan bisa dijadikam dasar untuk melarang
suatu perbuatan sperti paraktek baiy al-ajal. Hal ini berdasarkan kaidah:
دفع
المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak segala bentuk
kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil kemashlahatan”
b)
Dalam kasus praktek baiy al-ajal terdapat dua dasar yang
menjadi pertentangan yaitu sahnya jual beri karena terpenuhi syarat dan
rukunnya dan seseorang harus menjaga diri dari kemudharatan, dalam hal ini imam
Malik dan Imam Ahmad lebih menguatkan bahwa seseorang harus menjaga diri dari
kemudharatan karena praktek baiy al-ajal jelas-jelas membawa kepada
kemafsadatan.
c)
dalam banyak nash terdapat banyak sekali larangan
terhadap perbuatanyang pada dasarnya diperbolehkan, tetapi karena dalam menjaga
diri dari kemafsadatan sehingga perbuatan tersebut dilarang. Seperti dalam
sebuah hadis yang diriwiyatkan Imam Bukhari dan Muslim bahwa seorang laki-laki
dilarang berkhalwat dengan seorang wanita yang buakn mahramnya dan wanita
dilarang berpergian jauh tanpa mahramnya. Dalam kasus seperti ini larangan
berkhalawat dialrang karena takut terjadimya fitnah , namum terjadinya fitnah masih
dalam status dugaan, tetapi Rasulullah melarangnya.
2.
Sadd Dzariah dilihat dari segi jenis kemafsadatan yang
ditimbulkannya
Pembagian dari segi ini yaitu
dikemukakan oleh Imam ibnu Qoyyim al-Jauziyah, ia membagi dzariah dalam dua
macam
a.
Perbuatan tersebut membawa kepada suatu kemafsadatan, contohnya
mabuk meminum minuman keras, perbuatan zina yang dapat menyebabkan rusaknya
benih keturunan
b.
Perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan, akan
tetapi dijadikan sebagai perantara untuk melakukan perbuatan yang diharamkan
baik dengan sengaja maupun tidak. Contohnya seseorang yang menikahi wanita yang
ditalak tiga suaminya dengan tujuan suami peertama wanita tersebut dapat
minikahinya kembali atau yang biasa disebut dengan nikah al-tahlil.
C.
Kehujahaan Sadd al-dzariah
Terjadi perbedaan dikalangan ulama ushul fiqih
dalam menetapkan kehujjahan sadd ad-dzariah sebagai salah satu dalil syara.[22]
Pendapat pertama yang menyatakan bahwa sadd ad-dzari’ah dapat diterima
kehujahannya sebagai dalil syara’ hal ini datang dari ulama Malikiyyah dan
Hanabillah mereka beralasan dengan firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 108
Allah Subhanahu Wata’alla berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟
ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan.
Dalam ayat ini Allah melarang untuk mencaci maki sembahan kaum
musyrikin, karena bisa jadi kaum musyrikin itu pun akan memaki Allah dengan
makian yang sama bahkan lebih. Nah balasan cacian yang dilontarkan kaum
musyrikin ini masih bersifat praduga yang sangat besar terjadinya kemafsadatan,
sehingga perbuatan tersebut dilarang. Alasan lain yang dilontarkan oleh ulama
Malikiyyah dan Hanabillah adalah berdasarkan hadis Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasalam yaitu :
مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ.
قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَهَلْ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ:
نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ،
فَيَسُبُّ أُمَّهُ
Di antaradosa-dosabesaradalahcacianseseorangterhadapkedua orang tuanya.”
Para Shahabatbertanya, “WahaiRasûlullâh, Apakahada orang mencacikedua orang
tuanya?” Beliaumenjawab, “Ya, iamencaci ayah orang lain, maka orang
ituakanmencaciayahnya. Jikaiamencaciibu orang lain, maka orang
ituakanmencaciibunya.”
MenurutIbnuTaimiyyahhadisinimenunjukkanbahwasadd
ad-dzari’ahdapatditerimasebagaipenetapanhukumsyara’ karenasabdaRasulullahShallallahuAlaihiWasalamtersebutmasihbersifatdugaanatasdasardugaanitulahRasullullahmelarangmelakukanperbuatantersebut
agar tidakmebawakepadakemafsadatan.[23]
Adapunpendapat yang kedua yang datangdari ulamaHanafiyyah
dan Syafi’iyahmerekaberpendapatbahwasadd
ad-dzariahdapatdijadikandalildalammasalah-masalahtertentu dan
menolaknyadalamkasus-kasuslain. AdapunsadddzariahdapatdijadikandalilSepertiImam
Syafi’imembolehkanseseorangkarenaudzursepertisakitataumusafirdapatmeninggalkansholatjumat
dan mengantinyadengansholatdhuhur. Tetapisholatdhuzurtersebutdilakukandiam-diam
agar tidakdituduhsengajameninggalkansholatjumat.[24]
Selainitu Ulama Hanafiyyah juga menggunakanSadd ad-Dzari’ahdalambeberapakasushukum,
diantaranya orang yang melaksanakanpuasayaum al-syakkyaitupuasaakhirbulansya’ban
yang diragukanapakahtelahmasukbulan Ramadhan
ataubelumpuasasepertiinisebaiknyadilakuakansecaradiam-diam. Apalagikalauiaseorang
mufti, sehinggaiatidakditudauhmelakukanpuasayaum al syakktersebut.[25]
Selanjutnya, saad
ad-dzariatdapatditolakdalambeberapakasussepertitidakditerimanyapengakuan
(iqrar) orang dalamkeadaanmardh al-maut ( sakitataukeadaan yang
membawaseseorangkepadakematian) karenadidugapengakuaniniakanberakibatpembatalanterhadaphak
orang lain dalammenerimawarisan. Contohnya orang yang Mardh
al-mautmengakuberutangkpeda orang lain yang
meliputisebagianatauseluruhhartanya.
Dalamkasussepertiinididugabahwapengakuaninihanyaakanmembatalkanhakahliwaristerhadaphartatersebut.
Oleh sebabitu, pengakuansepertiinidianggaptidaksah.[26]
PerbedaanPendapat
yang terjadidilakalangan ulama Malikiyyah dan HanabilahsertaHanafiyyah dan
Syafi’iahdalamberhujjahdenganSaddad-Dzar’iahyaitudisebabkanadanyaperbedaanpandangantentangniat
dan lafaldalammasalahtransaksi (akad). Ulama Hanafiyyah dan
Syafi’iyyahmengatakanbahwa yang dilihat dan diukurdalamtransaksiadalahakadnya.
Bukanniat orang yang melakukanakad. Apabiladua orang yang melakukantransaksi
dan menyepakatiakadnyamakaakaditusah. Adapunmasalahniat yang tersembunyidalamsebuahakad,
makahalinideserahkansepenuhnyaurusannyadengan Allah.
Selamtidakadaindikasi-indikasi yang
menunjukkanniatdarisipelakumakaberlakulahkaidah:
المعتبر في أوامر الله المعنى
والمعتبر في أمور العباد الإسم واللفط
Landasan dasar yang berkaitan
dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba
adalah lafalnya
Namun apabila, tujuan orang yang
melakukan akad dapat ditangkap dengan jelas dari beberapa indikator yang ada,
maka akan berlaku kaidah:
العبرة بالمعاني لا بالألفاظ
والمباني
Yang menjadi landasan dasar adalah niat dan
makna bukan lafal dan bentuk
Sedangkan Ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah mengatakan bahwa yang menjadi
tolak ukur sah atau tidaknya suatu pekerjaan adalah niat dan tujuanya. Ibnu
Qoyyim al-Jauziyyah mengemukakan bahwa
akad itu dinyatakan sah apabila niat sejalan dengan perilaku, tetapi
apabila tidak sesuai dengan tujuan yang semestinya dan tidak adanya indikasi
yang mrnunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut maka akadnya tetap
dianggap sah, tetapi konsekuensinya antara pelaku dan Allah karena Allah lah
yang maha mengatuhi niat para hamba-hambanya. Apabila ada indikator yang
menunjukkan niatnya dan niatnya itu tidak bertentangan dengan syara’ maka
akadnya dianggap sah namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’ maka
perbuatannya dianggap fasid atau rusak tetapi tidak ada efek hukuman baginya.
Berkenaan dengan sadd ad-dzariah ada dua hal yang perlu diperhatikan,
pertama sadd ad dzariah digunakan apabila menjadi cara untuk
menghindarkan dari mafsadat dan sudah tentu. Kedua, Tentang
masalah-masalah yang berkaitan dengan amanah (kewajiban-kewajiban dalam
syariat) telah jelas bahwa kemudharatan meninggalkan amanah lebih besar
daripada pelaksanan perbuatan atas dasar sadd ad-dazariah.[27]
3.
Mazhab Shahabi
A. Pengertian
Mazhab Shahabi
Mazhab Shahabi ialah pendapat para sahabat
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam tentang suatu kasus yang mana
hukum-hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-qur’an dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam. [28]Adapun sebagian ulama ushul fiqh menyebutkan istilah Mazhab Shahabi
dengan istilah Qaul ash-Shahabi. Namun sebenarnya kedua istilah ini mempunyai
makna yang berbeda. Qaul ash-Shahabi adalah pendapat hukum yang dikemukakan
oleh seorang atau beberapa orang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasalam secara individu tentang suatu hukum syara’ yang tidak dijelaskan
ketentuannya baik didalam Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasalam. Sedangkan Mazhab Shahabi merupakan pendapat hukum para sahabat
secara keseluruhan, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat di al-Qur’an
maupun sunnah, dimana pendapat para sahabat ini merupakan hasil kesepakatan
diantara mereka. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perbedaan keduanya
terletak pada segi kuantitasnya. Qaul as-Shahabi merupakan pendapat individu
para sahabat yang antara pendapat para sahabat dengan sahabat yang lain dapat
berbeda sedangkan mazhab shahabi adalah pendapat bersama, atau lebih tepat
mazhab shahabi disebut dengan istilah ijma’ as-shahabi. [29]
B.
Pengertian Sahabat
Terdapat dua perbedaan pengertian sahabat yang di kemukakan oleh
para ulama ushul fiqih dan ulama hadis tentang yang dimaksudkan dengan sahabat
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam. Menurut ulama ushul fiqih sahabat
adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam,
beriman kepadanya, wafat dalam keadaan beriman, mengikuti dan hidup bersamanya
dalam waktu yang panjang. Adapun menurut ulama hadis sahabat ialah setiap orang
yang bertemu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam beriman kepadanya dan
wafat dalam keadaan beriman serta hidup bersamanaya dalam waktu yang lama
maupun sebentar.[30]
C.
Kehujahaan Mazhab Shahabi
Para
ulama ushul Fiqih sepakat bahwa pendapat para sahabat yang merupakan hasil
ijtihad perorangan tidak dapat dijadikan hujjah dalam penetapan hukum syara’.
Sebab fakta menunjukkan terjadinya perbedaan para sahabat dalam beberapa
masalah hukum syara’ tertentu. Namun sebaliknya para Ulama ushul fiqih juga
sepakat bahwa pendapat yang disepakati oleh para sahabat (ijma Sahabat) yang
secara jelas maupun ijma sahabat yang tidak diketahui bahwa ada yang
mengingkarinya maka dapat dijadikan hujjah dalam penetapa hukum syara’.
Namun
persolaan yang terjadi dikalangan para ulama yang menyebabkan perbedaan
pendapat diantara mereka ialah apakah pendapat para sahabat yang merupakan
pendaapat perorangan dapat dijadikan hujjah bagi generasi sesudahnya.? [31]
Pendapat pertama yaitu menyatakan
bahwa pendapat para sahabat dapat dijadikan hujjah ini merupakan pendapat
menurut jumhur yaitu Ulama Hanafiyyah, Imam Malik, pendapat Imam Syafi’i yang
belakangan(qaul qadim) pendapat Imam Ahmad yang terkuat. Alasan yang
dikemukakan mereka antara lain merujuk pada firman Allah dalam surah Ali-Imran
ayat 110:
کُنۡتُمۡ خَیۡرَ اُمَّۃٍ اُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ
بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ تَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ وَ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ ؕ وَ
لَوۡ اٰمَنَ اَہۡلُ الۡکِتٰبِ لَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ ؕ مِنۡہُمُ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ
وَ اَکۡثَرُہُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.
Ayat ini menurut mereka, adalah ditujukkan untuk para sahabat. Imam
Malik dan Imam Ahmad selanjutnya mengatakan bahwa sangat mungkin perkataan dan
perbuatan para sahabat itu datangnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasalam. Bahkan pendapat para sahabat tersebut berdasarkan petunjuk dari
Rasulullah Shalllallahu Alaihi Wasalam. sementara itu para sahabat
tidaklah mengeluarkan pendapat kecuali pada suatu perkara yang penting. Hal ini
menunjukan sikap kehati-hatian para sahabat terhadap suatu masalah hukum yang
dihadapi oleh mereka, oleh karena itu apabila orang awam dibolehkan mengikuti
pendapat para mujtahid, maka mengikuti pendapat para sahabat tentunya
dibolehkan. Karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam mengatakan
generasi terbaik adalah generasi sahabat
dan setelahnya.[32]
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam bersabda
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ
يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baikmanusiaialah pada generasiku,
kemudiangenerasiberikutnya, kemudiangenerasiberikutnya.” (Haditsshohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari,
no. 3651, dan Muslim, no. 2533)
Adapunpendapat yang kedua datang dari ulama
syafi’iah, Asyari’ah, dan Mu’tazilah yang mengatakan bahwa pendapat
para sahabat tidak bisa dijadikan hujjah sebagai penetapan hukum dalam syara’.
Adapun alasan mereaka didaparka sebagai berikut. [33]
1.
Mereka beralasan dengan firman Allah surah al-Hasyr ayat 2
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Makaambillah (kejadianitu) untukmenjadipelajaran, hai
orang-orang yang mempunyaiwawasan.
Menurut mereka,
ayat ini memerintahkan bahwa orang yang memiliki pengetahuan untuk melakukan
ijtihad dan melarang orang yang memiliki pengetahuan tersebut untuk bertaklid,
sedangkan yang diketahui bahwa para tabi’n dan generasi selanjutnya memiliki
pengetahuan sehingga perkataan para sahabat tidak bisa dijadikan hujjah dalam
penetapan hukum
2.
Para sahabat dalam golongan mujtahid, sedangkan pendapat mujtahid
mempunyai peluang untuk salah dan lupa, oleh karena itu mujtahid adari generasi
setelahnya yaitu generasi tabi’in tidak wajib mengikuti perkataan para sahabat.
3.
Sejarah menunjukkan para sahabat mengakui hasil ijtihad dari
kalangan tabi’in yang berbeda dengan hasil ijtihad mereka. Jika perkataan
sahabat adalah hujjah, tentu saja ini tidak akan terjadi, sebagai contoh:
Ketika Anas bin Malik ditanyai suatu masalah, ia berkata: “ tanyakan masalah
tersebut kepada pemimpin kita al-Hasan, untuk diketahui Anas bin Malik ialah
berasal dari generasi sahabat dan hasan adalah generasi tabi’in, oleh sebab itu
hal ini menunjukkan bahwa perkataan sahabat tidak bisa dijadikan hujjah dalam
penetapan hukum.
Dari kedua perbedaan pendapat tersebut Wahbah az-Zuhaili mencarikan
jalan tengahnya yaitu pendapat para sahabat yang merupakan hasil ijtihad
perorangan tidak dapat dijadikan hujjah yang dapat berdiri sendiri, karena
hasil ijtihad bisa benar dan bisa salah, apalagi para sahabat bukan orang yang
ma’sum, oleh karena itu pendapat para sahabat yang bersifat hasil ijtihad
perorang hanya bisa dijadikan hujjah apabila memiliki sandaran dalam bentuk
nash atau sunnah.[34]
4.
Syar’u Man Qoblana
A. Pengertian
Syar’u Man Qoblana
Syaru’u Man Qoblana artinya syariat atau
ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan suatu hukum, seperti
syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan lain-lain.[35]
Hal ini dibicarakan dalam ilmu ushul fiqih agar kita mengetahui boleh tidaknya
mengikuti peraturan-peraturan agama yang dibawa oleh nabi-nabi sebelum Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. Mengenai boleh dan tidaknya
berhujjah dengan Syar’u man Qoblana tersebut ada hal-hal yang diperselisihkan
dan ada pula yang disepakati.[36]
untuk lebih jelasnya dibawah ini akan dikemukkan pendapat para ulama.
B. Pendapat Para
Ulama Tentang Syaru’ Man Qoblana
Para ulama ushul fiqih bersepakat bahwa syar’u man qoblana yang tidak
terdapat di al-qur’an dan Sunnah, maka tidak berlaku bagi umat islam karena
datangnya syari’at islam menghapus syariat-syariat nabi-nabi terdahulu. Misalnya
haramnya memakan semua daging binatang yang berkuku genap, tindakan bunuh diri
sebagai cara taubat dan merobek pakaian yang terkena najis. Demikian juga para
ulamaushul fiqih bersepakat bahwa syar’u man qoblana yang tercantum dalam
Al-Qur’an atau sunnah dapat berlaku bagi umat islam apabila ada ketegasan
berlaku bagi umat nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam, namun
keberlakuan ini bukan karean kedudukannya sebagai syar’u man qoblana melainkan
karena ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasalam. Contohnya syari’at puasa ramadhan yang diwajibkan umat
islam merupakan syar’u man Qoblana namun kedudukannya bukan sebagai syar’u man
qoblana karena termaktub dalam Al-Qur’an Sebagai terdapat dalam firman Allah
surah Al-Baqarah ayat 183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkanataskamuberpuasasebagaimanadiwajibkanatas
orang-orang sebelum kalian agar kamubertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Selain
itu syariat islam yang ada didalam al-qur’an yang terdapat dalil pendukungnya
maka itu tidak dinamakan syar’u man qoblana .
Adapun perbedaan yang terjadi dikalangan ushul fiqih adalah tentang
hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang terdapat di dalam Al-Qur’an namun tidak
ada ketegasan bahwa apakah hukum-hukum tersebut masih berlaku bagi umat islam
dan tidak ada penjelasan yang membatalkannya.[37]Contohnya
dalam hal Hukuman Qishash ini berlaku dalam syariat Nabi Musa yang
diceritakan dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 45
وَ کَتَبۡنَا
عَلَیۡہِمۡ فِیۡہَاۤ اَنَّ النَّفۡسَ بِالنَّفۡسِ ۙ وَ الۡعَیۡنَ بِالۡعَیۡنِ وَ
الۡاَنۡفَ بِالۡاَنۡفِ وَ الۡاُذُنَ بِالۡاُذُنِ وَ السِّنَّ بِالسِّنِّ ۙ وَ
الۡجُرُوۡحَ قِصَاصٌ ؕ فَمَنۡ تَصَدَّقَ بِہٖ فَہُوَ کَفَّارَۃٌ لَّہٗ ؕ وَ مَنۡ
لَّمۡ یَحۡکُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰہُ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الظّٰلِمُوۡنَ
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya.
Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Dari sekian bentuk qisash yang terdapat dalam ayat tersebut, hanyalah
qishash karena pembunuhan yang ditegaskan dalam Al-Qur’an. Seperti dalam Firman
Allah dalam surah al Baqarah ayat 178
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا کُتِبَ عَلَیۡکُمُ الۡقِصَاصُ فِی الۡقَتۡلٰی ؕ اَلۡحُرُّ
بِالۡحُرِّ وَ الۡعَبۡدُ بِالۡعَبۡدِ وَ الۡاُنۡثٰی بِالۡاُنۡثٰی ؕ فَمَنۡ عُفِیَ
لَہٗ مِنۡ اَخِیۡہِ شَیۡءٌ فَاتِّبَاعٌۢ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ اَدَآءٌ اِلَیۡہِ
بِاِحۡسَانٍ ؕ ذٰلِکَ تَخۡفِیۡفٌ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ وَ رَحۡمَۃٌ ؕ فَمَنِ اعۡتَدٰی
بَعۡدَ ذٰلِکَ فَلَہٗ عَذَابٌ اَلِیۡمٌ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
Sedangkan bentuk-bentuk Qishash yang lainnya
yang terdapat dalam Surah Al-Maidah ayat 45 tersebut tidak ada ketegasan dalil
yang mendukungnya sehingga hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Oleh karena
itu terdapat dua perbedaan dikalangan para ulama. Pendapat pertama datang dari
mayoritas ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, mereka berpendapat
bahwa syar’u man qoblana berlaku bagi umat islam. Alasan mereka yang
dipaparkan untuk mendukung pendapatnya ada sebagai berikut[38]
1.
Syari’at Pada dasarnya adalah satu karena datangnya dari
Allah. Oleh karena itu syariat nabi yang terdahulu dan disebutkan didalam
Al-Qur’an berlaku bagi umat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam
sebagaimana dalam firman Allah dalam Asy-Syura ayat 13
شَرَعَ لَکُمۡ مِّنَ الدِّیۡنِ مَا وَصّٰی بِہٖ نُوۡحًا وَّ الَّذِیۡۤ اَوۡحَیۡنَاۤ
اِلَیۡکَ وَ مَا وَصَّیۡنَا بِہٖۤ اِبۡرٰہِیۡمَ وَ مُوۡسٰی وَ عِیۡسٰۤی اَنۡ اَقِیۡمُوا
الدِّیۡنَ وَ لَا تَتَفَرَّقُوۡا فِیۡہِ ؕ کَبُرَ عَلَی الۡمُشۡرِکِیۡنَ مَا
تَدۡعُوۡہُمۡ اِلَیۡہِ ؕ اَللّٰہُ یَجۡتَبِیۡۤ اِلَیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ وَ یَہۡدِیۡۤ
اِلَیۡہِ مَنۡ یُّنِیۡبُ
Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang
agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan
Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.Allah
menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
2.
Terdapat
beberapa ayat yang memerintahkan untuk mengikuti ajaran Nabi
terdahulu seperti yang difirmankan Allah
Subhanahu Wata’alla dalam Surah An-Nahl ayat 123
ثُمَّ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ
اَنِ اتَّبِعۡ مِلَّۃَ اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا ؕ وَ مَا کَانَ مِنَالۡمُشۡرِکِیۡنَ
Kemudian
Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif”
dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Adapun pendapat yang kedua yang menyatakan
bahwa syar’u Man Qoblana tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad Shallalahu
Alaihi Wasalam kecuali ada ketegasan yang mempetjelas hal itu. Hal ini
merupakan pendapat yang datang dari ulama Mu’tazilah, sebagian kalangan
Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Diantara
alasan yang mereka kemukakan adalah: [39]
1.
Firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 48
وَ
اَنۡزَلۡنَاۤ اِلَیۡکَ الۡکِتٰبَ بِالۡحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَیۡنَیَدَیۡہِ
مِنَ الۡکِتٰبِ وَ مُہَیۡمِنًا عَلَیۡہِ فَاحۡکُمۡ بَیۡنَہُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ
اللّٰہُ وَ لَا تَتَّبِعۡ اَہۡوَآءَہُمۡ عَمَّا جَآءَکَ مِنَ الۡحَقِّ ؕ لِکُلٍّ
جَعَلۡنَا مِنۡکُمۡ شِرۡعَۃً وَّ مِنۡہَاجًا ؕ وَ لَوۡ شَآءَ اللّٰہُ
لَجَعَلَکُمۡ اُمَّۃً وَّاحِدَۃً وَّ لٰکِنۡ لِّیَبۡلُوَکُمۡ فِیۡ مَاۤ اٰتٰىکُمۡ
فَاسۡتَبِقُوا الۡخَیۡرٰتِ ؕ اِلَی اللّٰہِ مَرۡجِعُکُمۡ جَمِیۡعًا فَیُنَبِّئُکُمۡ
بِمَا کُنۡتُمۡ فِیۡہِ تَخۡتَلِفُوۡنَ
Dan
Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan.Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Ayat ini menerangkan bahwa setiap umat menpunyai syariat
masing-masing. Oleh karena itu syariat nabi terdahulu tidak berlaku bagi umat
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam
2.
Apabila syariat terdahulu berlaku bagi kita, maka tentulah
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam diperintahkan untuk mempelajari
serta merujuk kepada kitab-kitab suci sebelumnya, dengan tujuan untuk menemukan
hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Contohnya, ketika
Nabi Shallallahu Alaihi Wasalam dihadapankan pada persoalan zihar, li’an
dan masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum waris, beliau hanya bertawaqquf
yaitu beliau tidak menyatakan pendapat tentang hukum tersebut karena disebabkan
menunggu datangnya wahyu yang menjelaskan permasalahan tersebut. Dalam hal ini
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam tidak mengambil tindakan untuk
meneliti permasalahan hukum tersebut dalam kitab-kitab suci terdahulu, padahal
kitab-kitab tersebut juga merupakan syariat yang diturunkan Allah SubhanahuWata’alla.
Sehingga hal ini menunjukkan bahwa Syar’u Man Qoblana tidak berlaku bagi umat
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam
3.
Kisah dalam hadist ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam
mengutus Mu’az bin Jabal Radiyaallahu Anhu ke Yaman sebagai Hakim. Nabi Shallallahu
Alaihi Wasalam bertanya kepada Mu’az tentang pedoman yang ia gunakan dalam
bertugas. Mu’az kemudian menjawab bahwa ia dalam bertugas berprdoman pada
Al-Qur’an, sunnah dan ijtihad. Jawaban ini disetujui oleh Rasulullah Shallalahu
Alaihi Wasalam dan tidak ada arahannya dari Rasulullah untuk berpedoman
pada syar’u Man Qoblana. Jika syar’u Man Qoblana berlaku bagi umat islam
tentulah Rasulullah mengoreksi jawaban mu’az dan menginggatkan untuk berpedoman
dengan Syar’u Man Qoblana.
Selanjutnya
adapun para ulama ushul fiqih kontemporer seperti Khudhari baik, Abdul Wahhab
Khallaf dan Zakiuddin Sya’ban menyatakan bahwa pendapat yang terkuat adalah
pendapat yang pertama bahwa Syar’u Man Qoblana berlaku bagi umat Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasalam. Alasannya bahwa syariat islam hanya membatalkan hukum yang kebetulan
berbeda dengan syariat islam. Oleh karena segala hukum syariat para Nabi
terdahulu yang disebut dalam Al-Qur’an tanpa ada ketegasan bahwa hukum-hukum
itu telah di nask (dihapus) maka hukum-hukum berlaku nagi umat Muhammad Shallallahu
Alaihi Wasalam. Disamping itu disebutnya hukum-hukum itu dalam Al-qur;an
yang merupakan petunjuk bagi umat islam menunjukkan berlakunya bagi umat
Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. [40]
Penutup
Dalam
pengambilan sumber hukum islam para ulama membagi sumber hukum islam menjadi
dua bagian besar. Salah satunya yaitu sumber hukum islam yang tidak disepakati diantaranya mencakup urf,
sadd al-dzariat, mazhab shabi dan syar’u man qoblana. Tentang permasalahan urf
dianjurkan bagi seorang mujtahid untuk memperhatikan kebiasaan dalam masyarakat sebelum menentukan hukum,
sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan
kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Ketentuan ini berlaku dengan catatan
apabila kebiasaan yang dimaksud itu tidak bertentangan dan tidak menyalahi
garis-garis yang telah ditetapkan oleh syara’
Adapun
saddadzariat terjadi perbedaan dikalangan para ulama dalam penetapan sebagai
hujjah dalam pengambilan hukum. Diantaranya Pendapat pertama yang menyatakan bahwa sadd ad-dzari’ah
dapat diterima kehujahannya sebagai dalil syara’ hal ini datang dari ulama
Malikiyyah dan Hanabillah. Adapunpendapat yang kedua yang
datangdari ulamaHanafiyyah dan Syafi’iyahmerekaberpendapatbahwasadd
ad-dzariahdapatdijadikandalildalammasalah-masalahtertentu dan
menolaknyadalamkasus-kasuslain.
Selanjutnya
mazhab shahabi didefinisikan seebagi pendapat para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasalam tentang suatu kasus yang mana hukum-hukumnya tidak dijelaskan
secara tegas dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasalam. Perbedaan yang terjadi dikalangan para ulama tentag mazhab shahabi
adalah apakah pendapat para sahabat yang merupakan pendaapat perorangan dapat
dijadikan hujjah bagi generasi sesudahnya.
Sementara
itu syar’u man qoblana artinya syariat atau ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan
suatu hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan lain-lain. Para ulama
ushul fiqih bersepakat bahwa syar’u man qoblana yang tidak terdapat di
al-qur’an dan Sunnah, maka tidak berlaku bagi umat islam karena datangnya
syari’at islam menghapus syariat-syariat nabi-nabi terdahulu. Yang menjadi perbedaan adalah tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang terdapat
di dalam Al-Qur’an namun tidak ada ketegasan bahwa apakah hukum-hukum tersebut
masih berlaku bagi umat islam dan tidak ada penjelasan yang membatalkannya.
Daftar Pustaka
Nasrun Haroen. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Satria Effendi M. Zein.
2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Pokja Forum
Karya Ilmiah. 2004.Kilas Balik Teoritis Islam. Kediri: Purna Siswa Aliyyah 2004
Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
Nazar Bakry.
2003.Fiqh danUshul Fiqh. Jakarta, RajaGrafindo Persada
AbduRahman Dahlan. 2011.Ushul
Fiqh. Jakarta: Amzah
Nasruddin Yusuf. 2012. Pengantar Ilmu Ushul Fikih. Malang: UM
PRESS
Rachmat Syafe’i. 1998.Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung:
Pustaka Setia
Basiq Djalil. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta:
Kencana, 2010
H.A. Djazuli.
2015.Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta:
Kencana
Abdul Wahab
Khalaf. 1995.Ilmu Ushul Fikih, diterjemahkan oleh Halimuddin. Jakarta: Rineka
Cipta
Catatan:
Makalah ini
sudah cukup baik, similarity 18%. Cuma pendahuluan perlu diperbaiki agar bisa
mengantarkan pada pembahasan dan bukan pembahasan itu sendiri. Kemudian, nama penulis di daftar pustaka itu perlu dibalik.
[1]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Cet.2 , hal. 137
[2]Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005) Cet.1,
hal. 153
[3]Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al-urf wa al-Adah fi Ra’yi al-Fuqaha, dalam Nasrun
Haroen (ed), Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Cet.2 ,
hal. 138
[6]Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Islam, (Kediri: Purna
Siswa Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul
Mubtadi-ien, 2004) hal. 216
[7]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Cet.2 , hal. 139
[9]Abd.Rahman
Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) hal. 210
[10]Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Islam, (Kediri: Purna
Siswa Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul
Mubtadi-ien, 2004) hal. 218
[12]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta, RajaGrafindo Persada,
2003) hal. 238
[14]Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih, (Malang: UM PRESS,
2012) hal. 82
[16]Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005) hal. 172
[17]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN, PTAIS,
(Bandung: Pustaka Setia, 1998) hal. 132
[18]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, .............
hal. 132
[20]Ibid
[24]Ibid.
[25]Ibid.
[27]
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta: Kencana, 2005. Hal. 101
[28]Satria
Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005) hal. 169
[29]Abd.
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) hal. 225
[30]Ibid.
[33]Abd.
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) hal. 229
[34]
Ibid
[35]Abdrahman Dahlan, Ushul Fiqh, ( Jakarta, Amzah, 2011) hal. 230
[36]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, ( Jakarta: Kencana,
2010) hal.167
[37]
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005) hal. 163
[40]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, diterjemahkan oleh Halimuddin,
( Jakarta: Rineka Cipta, 1995) hal. 110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar