Senin, 11 Maret 2019

Sumber-Sumber Hukum Islam yang Tidak Disepakati II (PAI B Semester Genap 2018/2019)



SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM YANG TIDAKDISEPAKATI (URF, SADD AD-DZARIAH, MAZHAB SHAHABI, SYAR’U MAN QOBLANA)
Anang Ismail
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Angkatan 2016 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstrack
The source of Islamic Law is a benchmark and reference for general Muslims to live. In its stipulation the scholars divided the source of Islamic Law into two parts, first; The Agreed Sources of Islamic Law and second; The Disagreed Sources of Islamic Law. The agreed sources of Islamic Law include the Al-Quran , Sunnah, Qiyas and Ijma '. Whereas, The disagreed Sources of Islamic law include the urf, sadd al-Dzariah, the mazhab shahabi and syar'u man qoblana. Regarding to the disagreed sources of Islamic Law, including urf is everything in a society that has become a habit and unites with their lives, both in the actions and words. The types of urf are Urf al-am, urf al-khash, urf al-lqfhzi, urf al-amali, Dan lain lain (tulis sndiri). But the urf that can be used as a legal basis in establishing problems in a society is the urf shahih.The sadd ad-dzariat is everything that carries out a work that originally contained benefit towards a damage. According to Imam Syatibi and Ibn Qoyyim al-Jauziyyah, the types divided into two; based on the quality of their interpretation and the type of their adherence. The Mazhab Shahabi is the opinion of the Prophet Muhammad's friends about a case which its laws are didn't explained in the Qur'an and sunnah of the Prophet Muhammad. Meanwhile, syar'u man qoblana is the Shari'a or the teachings of the prophets before Islam that related to a law, such as the Shari'a of the prophets Abraham, the prophet Musa, the prophet Isa, etc.The four sources of Islamic Law above are still be a debate among scholars. There are some scholars who agree that the sources of Islamic Law can be used as evidence and there are also some scholars who disagree that the sources of Islamic Law to be used as proof.
Keywords: Urf, saad ad-dzariah, mazhab shahabi, syar'u man qoblana

Abstak
Sumber hukum islam pada dasarnya merupakan patokan dan rujukan bagi umat islam dalam menjalani kehidupannya. Dalam penetapannya para ulama membagi sumber hukum islam menjadi dua bagian besar, yaitu sumber hukum islam yang disepakati dan sumber hukum islam yang tidak disepakati. Sumber hukum islam yang disepakati antara lain mencakup Al-Qur’an, Sunnah, Qiyas dan ijma’. Sedangkan yang tidak disepakati diantaranya adalah urf, sadd al-Dzariah, mazhab shahabi dan syar’u man qoblana. Mengenai hukum yang tidak disepakati,  diantaranya urf yaitu Segala sesuatu yang ada di dalam sebuah masyarakat dan telah menjadi suatu kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan.  macam-macam urf antara lain seperti urf al-am, urf al-khash,  urf al-lafzhi, urf al-amali,  urf al-fasid dan urf shahih. Namun urf yang dapat dijadikan sandaran hukum dalam menetapkan permasalahan hukum yang terjadi di dalam suatu masyarakat adalah ‘urf shahih. Adapun sadd ad-dzariat merupakan segala sesuatu yang melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan). Mengenai jenisnya Imam Syatibi dan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah membaginya dalam dua cakupan yaitu berdasarkan kualitas kemafsadatannya dan jenis kemafsadatannya. Mazhab shahabi didefinisikan sebagai pendapat para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam tentang suatu kasus yang mana hukum-hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam. Sementara itu syar’u man qoblana merupakan syariat atau ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan suatu hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan lain-lain. Adapun dari keempat sumber hukun diatas masih menjadi perdebatan dikalangan ulama ada sebagian yang menyepakati bahwa sumber hukum tersebut dapat dijadikan hujjah dan ada juga sebagian ulama yang tidak setuju untuk dijadikan hujjah.
Kata kunci :Urf, saad ad-dzariah, mazhab shahabi, syar’u man qoblana

Pendahuluan
Banyaknya fenomena-fenomena yang terjadi sekarang ini yang berkaitan dengan hukum yang mana memerlukan rujukan sehingga apa yang dilakukan tidak bertentangan dengan syariat islam.Didalam syariat islam terdapat sumber-sumber hukum yang menjadi landasan dan rujukan seorang muslim dalam menjalani kehidupannya. Sumber-sumber hukum ini yang mengatur segala permasalahan hukum yang terjadi didalam kehidupan. Diantara sumber hukum seperti Al-Qur’an Sunnah, Ijma, dan qiyas. Sumber hukum ini merupakan sumber hukum yang disepakati oleh para ulama.
Urf disini berkaitan dengan hal-hal yang dibiasakan manusia dan berlaku secara kontinu dari perbuatan yang lazim diantara mereka. Sementara itu sadd al-Dzar’I adalah kaitannya dengan sebuah larangan, yang awalnya mengandung kemafsadatan namun karena aspek-aspek lain sehingga menyebabkan hal tersebut terlarangan. Adapun  Mazhab Shahabi berkaitan dengan hukum-hukum yang dilontarkan oleh para sahabat yang apakah hukum tersebut dapat dijadikan dadlil atau tidak dan Syar’u Man Qoblana yaitu berkaitan hukum atau syariat-syariat sebelum Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. Adapun lebih rincinya mengenai perselisihan tentang apakah hukum-hukum ini dapat dijadikan dalil akan dipaparkan didalam jurnal ini.
1.        Urf
A.      Definisi Urf
Secara bahasa kata ‘urf ( العرف ) berarti sesuatu yang dianggap baik.[1] Adapun secara istilah seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, dalam  Ushul Fiqh  Nasrun Haroen istilah ‘urf yaitu :[2]
ما ألفه المجتمع واعتاده وسار عليه فى حياته من قول أو فعل 
Segala sesuatu yang tidak asing lagi di dalam sebuah masyarakat karena telah menjadi suatu kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun perkataan.
Istilah ‘urf sering juga dinamakan dengan al-‘adah (adat kebiasaan), namun dalam hal ini para ulama ushul fiqh membedakan antara urf dan adat dalam membicarakan kedudukannya sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Adat di definisikan sebagai :[3]
الأمر المتكرر من غير علاقة عقلية
Sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa ada keterkaitannya dengan hubungan rasional
Definisi ini menunjukkan bahwa jika suatu perbuatan yang ada keterkaitannya dengan hukum akal dan dilakukan secara berulang-ulang , maka tidak dinamakan adat. Definisi ini juga menunjukkan bahwa adat mencakup jangkaauan yang sangat luas, yang diantaranya mencakup permasalahan pribadi seperti kebiaasaan seseorang dalam hal tidur, makan dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu ataupun juga menyangkut permasalahan sekelompok orang seperti sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. Adat juga bisa timbul dari sebab alami, seperti seperti cepatnya perkembangan seorang anak di daerah tropis atau cepatnya tanaman berbuah didaerah tropis sementara itu untuk daerah dingin terjadi keterlambatan pertumbuhan seseorang dan keterlambatan berbuahnya tanaman. Sementara itu adat juga bisa timbul disebabkan oleh kasus-kasus tertentu seperti perubahan budaya di suatu daerah dikarenakan masuknya pengaruh budaya asing. [4]
Adapun urf menurut para ulama ushul fiqih :
عادة جمهور قوم في قول أو فعل
Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam hal perkataan maupun perbuatan
Berdasarkan definisi ini guru besar fiqh Islam di Universitas ‘Amman, Jordania , Musthofa Ahmad al-Zarqa’ mengemukakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat sebab adat jangakauannya lebih umum daripada urf. Menurutnya suatu urf harus berlaku kepada banyak orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan masyarakat di suatu daerah tertentu dalam hal menetapkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga pada suatu perkawinan bisa diambil dari mas kawin yang diberikan suami.[5]
Urf terbentuk apabila semua orang atau sebagian besarnya membiasakan sesuatu. Namun jika seseorang berulang-ulang melakukan sesuatu maka kebiasaan ini tidak bisa disebut dengan ‘urf.[6] Urf adalah salah satu bentuk dari adat bukan persamaan darinya dan yang dibahas oleh para ulama ushul fiqh berkaitan dengan sumber dan dalil dalam menetapkan hukum syara’ adalah ‘urf bukan adat. [7]
B.       Macam-macam Urf
Menurut para ulama ushul fiqh mereka membagi urf kedalam tiga macam diantaranya:[8]
a)        Ditinjau dari segi objeknya, urf dibagi menjadi dua macam yaitu al-urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan)
1.         Al-urf al lafzhi
Al-urf allafzhi merupakan kebiasaan suatu masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu untuk mengungkap sesuatu, sehingga ketika ungkapan tersebut dilontarkan maka makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yaitu mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging memiliki bermacam-macam daging. Lalu pembeli mengatakan “saya membeli daging satu kilogram” pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat yang di pahami dan terlintas dalam pikiran dan telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
2.         Al-urf al-‘amali
Al-urf al-amali adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh suatu masyarakat yang mana perbuatan tersebut menjadi kebiasaan dan telah lazim dikenal diantara masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Seperti kebiasaan masyarakat tertentu dalam memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu atau contoh lain seperti kebiasaan suatu masyarakat dalam melakukam transaksi jual beli secara mut’ah (serah terima barang dan alat tukar tanpa mengucapkan transaksi).
b)        Ditinjau dari segi cakupannya, urf dibagi menjadi dua macam yaitu al-urf al-am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-urf al-khash(kebiasaan yang bersifat khusus)
1.         Al-urf al-am
Al-urf al-am adalah kebiasaan tertentu yang bersifat umum di masyarakat yang mencakup wilayah yang luas. misalnya dalam jual beli beli mobil maka seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak dan bang serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain yaitu kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan harga sewa tertentu tanpa menentukan secara pasti berapa lamanya mandi dan kadar air yang digunakan.
2.         Al-urf al-Khas
Al-urf al-khas adalah kebiasaan yang berlaku secara khusus di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya dikalangan para pedagang apabila terjadi cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, maka konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan masyarakat Jambi dalam penyebutan kalimat “satu tumbuk tanah” yaitu untuk menunjukkan luas tanah 10 x 10 meter.[9]
c)        Ditinjau dari segi keabsahannya maka urf terbagi menjadi dua yaitu al-urf al-shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan al-urf al fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).
1.         Al-urf al-Shahih
Al urf Al-Shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah tengah masyarakat yang tidak bertentang dengan nash (ayat atau hadis) dan aturan-aturan hukum islam, dengan tidak menghilangkan kemaslahatan dan tidak pula membawa mudharat. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan ini tidak dianggap sebagai mas kawin. Contoh lainnya kebiasaan memberikan hadiah kepada khatib karena telah melakukan khutbah dan ini tidak bertentangan dengan apa-apa yang telah ditetapkan syara.[10]
2.         Al-urf al fasid
Al-urf al fasid adalah kebiasaan yang yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada didalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti dalam hal pinjam meminjam. Contoh lainnya yaitu dalam hal penyuapan, untuk memenangkan perkaranya, dimana seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada hakim untuk memenangkan perkaranya atau untuk kelancaran urusannya seseorang memberikan uang kepada orang lain untuk menangani urusannya.[11] hal ini merupakan bertentangan dengan syara’ dan termasuk dalam Al-urf al fasid.
C.      Syarat-syarat urf
Adapun syarat-syarat urf yang telah dinyatkan oleh para ulama ushul fiqh untuk dijadikan landasan hukum adalah sebgai berikut:[12]
a.       Urf itu berlaku umum artinya dapat diberlakukan untuk mayoritas persoalan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat.
b.      Urf telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya ‘urf itu lebih dulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
c.       Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi
d.     Urf tidak bertentangan dengan nash, sehingga hukum yang dikandung nash bisa diterapkan
D.      Kehujjahan Urf
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa urf yang dapat dijadikan sandaran hukum dalam menetapkan permasalahan hukum yang terjadi di dalam suatu masyarakat adalah ‘urf shahih. Namun urf-urf yang lain seperti urf al-am, urf al-khash, maupun yang berkaitan dengan urf al-lafzhi dan urf al-amali,  ini juga dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum selama tidak bertentangan dengan hukum syara’.[13] Namun Oleh karena itu dianjurkan bagi seorang mujtahid memperhatikan kebiasaan dalam masyarakat sebelum menentukan hukum, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut.. Ketentuan ini berlaku dengan catatan bahwa kebiasaan yang dimaksud itu tidak bertentangan dan tidak menyalahi garis-garis yang telah ditetapkan oleh syara.[14]
Para ulama juga menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-qur’an diturunkan banyak sekali ayat-ayat mengukuhkan kebiasaan yang terdapat ditengah-tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual beli yang sudah ada sebelum islam, dari berbagai macam kasus urf yang dijumpai ditengah-tengah masyarakat, para ulama ushul fiqh juga merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan urf diantara yang paling mendasar adalah العدة محكمة  "adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum". Para ulama ushul fiqh juga sepakat hukum-hukum yang didasarkan pada urf dapat berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi didalam masyarakat pada zaman dan tempat tertentu.[15]
2.        Saad al dzari’ah
A.      Pengertian Sadd al Dzari’ah
Kata sadd menurut bahasa artinya menutupdan kata dzari’ah artinya wasilah atau “jalan kesuatu tujuan” jadi secara bahasa berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan”.[16] Sedangkan menurut istilah seperti yang dikemukan Imam As-Syatibi Sadd al-Dzari’ah adalah melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd al-dzari’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemashlahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan .[17] sebagai contoh, pertemanan atau sahabat yaitu hukum asalnya adalah mubah. Namun jika berteman atau sahabat dengan orang-orang jahat ada dua kemungkinan yang bisa terjadi.pertama orang-orang jahat tersebut akan menjadi baik karena berteman dengan kita. Tetapi yang kedua kita akan menjadi orang jahat karena pertemanan itu dan ini hanya akan membawa kemafsadatan.
Contoh lain Hibbah yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa ikatan apa-apa dalam syariat islam perupak perbuatan yang baik yang mengandung kemashlahatan. Akan tetapi, bila tujuannya tidak baik misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan pada pertimbangan, bahkan hukum zakat itu wajib sedangkan hibbah adalah sunnah.[18]
Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menyebabkan suatu perbuatan itu dilarang yaitu :
a.       Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan
b.      Kemafsadatan lebih kuat daripada kemashlahatan
c.       Perbuatan yang diperbolehkan syara’ mengandung lebih banyak kemafsadatannya.
B.       Macam-macam Sadd al- Dzari’at
Ada dua teori dalam pembagian dzaria yaitu yang dikemukakan oleh ibn Qoyyim  yang dzariat dilihat dari segi kualitas kemafsadatanya dan Imam al-syatibi yang dilihat segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkannya.[19]
1.        Sadd al-Dzari’at dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya
Menurut Imam al-Syathibi ia mengemukakan bahwa dilihat dari segi kualitas kemafsadatannya, dibagi kedalam empat macam yaitu:[20]
a.         Perbuatan yang dilakukan tersebut sudah dipastikan akan menyebabkan mafsadah. Seperti seseorang yang menggali sumur didepan pintu rumah orang lain di malam hari tanpa diketahui pemiliknya. Hal ini akan menyebabkan pemilik rumah akan terjatuh kedalam sumur tersebut. Perbuatan semacam ini merupakan suatu bentuk kemafsadatan dan orang yang melakukannya akan dikenakan hukuman karena mencelakakan orang lain.
b.        Perbuatan yang boleh dilakukan sebab jarang mengandung kemafsadatan. contohnya menggali sumur disebuah tempat yang umumnya orang tidak akan terperosok kedalamnya dan ini tidak membawa kepada kemafsadatan. Contoh lainnya yaitu menjual makanan yang umumnya tidak membahayakan bagi orang yang mengkonsumsinya. Perbuatan seperti ini hukum asalnya adalah mubah dan diperbolehkan oleh syara’ karena tidak membawa kepada kemafsadatan.
c.         Perbuatan yang dilakukan besar kemungkinan akan menyebabkan kemafsadatan. Contohnya menjual senjata kepada musuh yang kemumgkian besar di gunakan untuk membunuh. Hal ini merupakan perbuatan yang membawa kepada kemafsadatan. Contoh lainnya yaitu menjual anggur kepada pabrik pembuat pembuat minuman keras yang sangat mungkin anggur diproses menjadi minuman keras sehingga perbuatan seperti ini dilarang karena sangat mungkin membawa kepada kemafsadatan .
d.        Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemashlahatan, namun memungkinkan juga perbuatan tersebut membawa kepada kemafsadatan. seperti pada kasus jual beli yang disebut dengan baiy al-ajal yaitu jual beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan atau penjualan secara berkala. Contohnya A membeli motor dari B secara kredit seharga 20 juta. Kemudian A menjual kembali motor tersebut kepada si B seharga 10 juta secara tunai. Sehingga seakan-akan A menjual barang fiktif. Sementara B tinggal menunggu saja pembayaran dari kredit motor tersebut, walaupun motornya telah menjadi miliknya kembali. Jual beli seperti ini cenderung membawa kepada riba. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang baiy al-ajal apakah diperbolehkan atau dilarang. Menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah jual beli seperti ini diperbolehkan sebab syarat dan rukun jual beli sudah terpenuhi. Sementara itu dugaan (Zhann al-mujjarad) tidak bisa dijadikan patokan keharaman jual beli tersebut. Jadi bentuk dzar’ah seperti ini diperbolehkan. Sedangkan menurut Imam Malik dan Imam Ahmad lebih memperhatikan akibat dan kemafsadatan yang ditimbulkan dari praktek jual beli tersebut yaitu dapat menimbulkan riba. Sehingga dari sisi inilah Imam Malik dan Imam Ahmad melarang bentuk dzariah seperti ini.[21] Adapun alasan yang dikemukan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad untuk mendukung pendapatnya adalahsebagai berikut:
a)                  Dalam praktek baiy al-ajal perlu perlu dilihat tujuan dan akibatnya yang dapat membawa kepada riba walaupun sitanya ghilbah al-zhann (praduga yang berat) karena dalam banyak kasus, syara’ sendiri banyak sekali pengisyaratkan penentuan hukum berdasarkan praduga yang berat. Disamping itu juga diperlukan sikap kehati-hatian (ihtiyat). Oleh karena itu, perbuatan yang diduga akan membawa pada suatu kemafsadatan bisa dijadikam dasar untuk melarang suatu perbuatan sperti paraktek baiy al-ajal. Hal ini berdasarkan kaidah:
دفع المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil kemashlahatan”
b)                  Dalam kasus praktek baiy al-ajal terdapat dua dasar yang menjadi pertentangan yaitu sahnya jual beri karena terpenuhi syarat dan rukunnya dan seseorang harus menjaga diri dari kemudharatan, dalam hal ini imam Malik dan Imam Ahmad lebih menguatkan bahwa seseorang harus menjaga diri dari kemudharatan karena praktek baiy al-ajal jelas-jelas membawa kepada kemafsadatan.
c)                  dalam banyak nash terdapat banyak sekali larangan terhadap perbuatanyang pada dasarnya diperbolehkan, tetapi karena dalam menjaga diri dari kemafsadatan sehingga perbuatan tersebut dilarang. Seperti dalam sebuah hadis yang diriwiyatkan Imam Bukhari dan Muslim bahwa seorang laki-laki dilarang berkhalwat dengan seorang wanita yang buakn mahramnya dan wanita dilarang berpergian jauh tanpa mahramnya. Dalam kasus seperti ini larangan berkhalawat dialrang karena takut terjadimya fitnah , namum terjadinya fitnah masih dalam status dugaan, tetapi Rasulullah melarangnya.
2.        Sadd Dzariah dilihat dari segi jenis kemafsadatan yang ditimbulkannya
Pembagian dari segi ini yaitu dikemukakan oleh Imam ibnu Qoyyim al-Jauziyah, ia membagi dzariah dalam dua macam
a.       Perbuatan tersebut membawa kepada suatu kemafsadatan, contohnya mabuk meminum minuman keras, perbuatan zina yang dapat menyebabkan rusaknya benih keturunan
b.      Perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan, akan tetapi dijadikan sebagai perantara untuk melakukan perbuatan yang diharamkan baik dengan sengaja maupun tidak. Contohnya seseorang yang menikahi wanita yang ditalak tiga suaminya dengan tujuan suami peertama wanita tersebut dapat minikahinya kembali atau yang biasa disebut dengan nikah al-tahlil.
C.      Kehujahaan Sadd al-dzariah
Terjadi perbedaan dikalangan ulama ushul fiqih dalam menetapkan kehujjahan sadd ad-dzariah sebagai salah satu dalil syara.[22] Pendapat pertama yang menyatakan bahwa sadd ad-dzari’ah dapat diterima kehujahannya sebagai dalil syara’ hal ini datang dari ulama Malikiyyah dan Hanabillah mereka beralasan dengan firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 108 Allah Subhanahu Wata’alla berfirman:
وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Dalam ayat ini Allah melarang untuk mencaci maki sembahan kaum musyrikin, karena bisa jadi kaum musyrikin itu pun akan memaki Allah dengan makian yang sama bahkan lebih. Nah balasan cacian yang dilontarkan kaum musyrikin ini masih bersifat praduga yang sangat besar terjadinya kemafsadatan, sehingga perbuatan tersebut dilarang. Alasan lain yang dilontarkan oleh ulama Malikiyyah dan Hanabillah adalah berdasarkan hadis Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam yaitu :
مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَهَلْ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ
Di antaradosa-dosabesaradalahcacianseseorangterhadapkedua orang tuanya.” Para Shahabatbertanya, “WahaiRasûlullâh, Apakahada orang mencacikedua orang tuanya?” Beliaumenjawab, “Ya, iamencaci ayah orang lain, maka orang ituakanmencaciayahnya. Jikaiamencaciibu orang lain, maka orang ituakanmencaciibunya.”
MenurutIbnuTaimiyyahhadisinimenunjukkanbahwasadd ad-dzari’ahdapatditerimasebagaipenetapanhukumsyara’ karenasabdaRasulullahShallallahuAlaihiWasalamtersebutmasihbersifatdugaanatasdasardugaanitulahRasullullahmelarangmelakukanperbuatantersebut agar tidakmebawakepadakemafsadatan.[23]
Adapunpendapat yang kedua yang datangdari ulamaHanafiyyah dan Syafi’iyahmerekaberpendapatbahwasadd ad-dzariahdapatdijadikandalildalammasalah-masalahtertentu dan menolaknyadalamkasus-kasuslain. AdapunsadddzariahdapatdijadikandalilSepertiImam Syafi’imembolehkanseseorangkarenaudzursepertisakitataumusafirdapatmeninggalkansholatjumat dan mengantinyadengansholatdhuhur. Tetapisholatdhuzurtersebutdilakukandiam-diam agar tidakdituduhsengajameninggalkansholatjumat.[24]
Selainitu Ulama Hanafiyyah juga menggunakanSadd ad-Dzari’ahdalambeberapakasushukum, diantaranya orang yang melaksanakanpuasayaum al-syakkyaitupuasaakhirbulansya’ban yang diragukanapakahtelahmasukbulan Ramadhan ataubelumpuasasepertiinisebaiknyadilakuakansecaradiam-diam. Apalagikalauiaseorang mufti, sehinggaiatidakditudauhmelakukanpuasayaum al syakktersebut.[25]
Selanjutnya,  saad ad-dzariatdapatditolakdalambeberapakasussepertitidakditerimanyapengakuan (iqrar) orang dalamkeadaanmardh al-maut ( sakitataukeadaan yang membawaseseorangkepadakematian) karenadidugapengakuaniniakanberakibatpembatalanterhadaphak orang lain dalammenerimawarisan. Contohnya orang yang Mardh al-mautmengakuberutangkpeda orang lain yang meliputisebagianatauseluruhhartanya. Dalamkasussepertiinididugabahwapengakuaninihanyaakanmembatalkanhakahliwaristerhadaphartatersebut. Oleh sebabitu, pengakuansepertiinidianggaptidaksah.[26]
PerbedaanPendapat yang terjadidilakalangan ulama Malikiyyah dan HanabilahsertaHanafiyyah dan Syafi’iahdalamberhujjahdenganSaddad-Dzar’iahyaitudisebabkanadanyaperbedaanpandangantentangniat dan lafaldalammasalahtransaksi (akad). Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyahmengatakanbahwa yang dilihat dan diukurdalamtransaksiadalahakadnya. Bukanniat orang yang melakukanakad. Apabiladua orang yang melakukantransaksi dan menyepakatiakadnyamakaakaditusah. Adapunmasalahniat yang tersembunyidalamsebuahakad, makahalinideserahkansepenuhnyaurusannyadengan Allah. Selamtidakadaindikasi-indikasi yang menunjukkanniatdarisipelakumakaberlakulahkaidah:
المعتبر في أوامر الله المعنى والمعتبر في أمور العباد الإسم واللفط
Landasan dasar yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya
Namun apabila, tujuan orang yang melakukan akad dapat ditangkap dengan jelas dari beberapa indikator yang ada, maka akan berlaku kaidah:

العبرة بالمعاني لا بالألفاظ والمباني
Yang menjadi landasan dasar adalah niat dan makna bukan lafal dan bentuk
Sedangkan Ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah mengatakan bahwa yang menjadi tolak ukur sah atau tidaknya suatu pekerjaan adalah niat dan tujuanya. Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah mengemukakan bahwa  akad itu dinyatakan sah apabila niat sejalan dengan perilaku, tetapi apabila tidak sesuai dengan tujuan yang semestinya dan tidak adanya indikasi yang mrnunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi konsekuensinya antara pelaku dan Allah karena Allah lah yang maha mengatuhi niat para hamba-hambanya. Apabila ada indikator yang menunjukkan niatnya dan niatnya itu tidak bertentangan dengan syara’ maka akadnya dianggap sah namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’ maka perbuatannya dianggap fasid atau rusak tetapi tidak ada efek hukuman baginya.
Berkenaan dengan sadd ad-dzariah ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama sadd ad dzariah digunakan apabila menjadi cara untuk menghindarkan dari mafsadat dan sudah tentu. Kedua, Tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan amanah (kewajiban-kewajiban dalam syariat) telah jelas bahwa kemudharatan meninggalkan amanah lebih besar daripada pelaksanan perbuatan atas dasar sadd ad-dazariah.[27]
3.        Mazhab Shahabi
A.      Pengertian Mazhab Shahabi
Mazhab Shahabi ialah pendapat para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam tentang suatu kasus yang mana hukum-hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam. [28]Adapun sebagian ulama ushul fiqh menyebutkan istilah Mazhab Shahabi dengan istilah Qaul ash-Shahabi. Namun sebenarnya kedua istilah ini mempunyai makna yang berbeda. Qaul ash-Shahabi adalah pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa orang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam secara individu tentang suatu hukum syara’ yang tidak dijelaskan ketentuannya baik didalam Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam. Sedangkan Mazhab Shahabi merupakan pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat di al-Qur’an maupun sunnah, dimana pendapat para sahabat ini merupakan hasil kesepakatan diantara mereka. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perbedaan keduanya terletak pada segi kuantitasnya. Qaul as-Shahabi merupakan pendapat individu para sahabat yang antara pendapat para sahabat dengan sahabat yang lain dapat berbeda sedangkan mazhab shahabi adalah pendapat bersama, atau lebih tepat mazhab shahabi disebut dengan istilah ijma’ as-shahabi. [29]
B.       Pengertian Sahabat
Terdapat dua perbedaan pengertian sahabat yang di kemukakan oleh para ulama ushul fiqih dan ulama hadis tentang yang dimaksudkan dengan sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam. Menurut ulama ushul fiqih sahabat adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam, beriman kepadanya, wafat dalam keadaan beriman, mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang. Adapun menurut ulama hadis sahabat ialah setiap orang yang bertemu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam beriman kepadanya dan wafat dalam keadaan beriman serta hidup bersamanaya dalam waktu yang lama maupun sebentar.[30]
C.      Kehujahaan Mazhab Shahabi
Para ulama ushul Fiqih sepakat bahwa pendapat para sahabat yang merupakan hasil ijtihad perorangan tidak dapat dijadikan hujjah dalam penetapan hukum syara’. Sebab fakta menunjukkan terjadinya perbedaan para sahabat dalam beberapa masalah hukum syara’ tertentu. Namun sebaliknya para Ulama ushul fiqih juga sepakat bahwa pendapat yang disepakati oleh para sahabat (ijma Sahabat) yang secara jelas maupun ijma sahabat yang tidak diketahui bahwa ada yang mengingkarinya maka dapat dijadikan hujjah dalam penetapa hukum syara’.
Namun persolaan yang terjadi dikalangan para ulama yang menyebabkan perbedaan pendapat diantara mereka ialah apakah pendapat para sahabat yang merupakan pendaapat perorangan dapat dijadikan hujjah bagi generasi sesudahnya.? [31]
Pendapat pertama yaitu menyatakan bahwa pendapat para sahabat dapat dijadikan hujjah ini merupakan pendapat menurut jumhur yaitu Ulama Hanafiyyah, Imam Malik, pendapat Imam Syafi’i yang belakangan(qaul qadim) pendapat Imam Ahmad yang terkuat. Alasan yang dikemukakan mereka antara lain merujuk pada firman Allah dalam surah Ali-Imran ayat 110:
کُنۡتُمۡ خَیۡرَ اُمَّۃٍ اُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ تَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ وَ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰہِ ؕ وَ لَوۡ اٰمَنَ اَہۡلُ الۡکِتٰبِ لَکَانَ خَیۡرًا لَّہُمۡ ؕ مِنۡہُمُ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ وَ اَکۡثَرُہُمُ الۡفٰسِقُوۡنَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Ayat ini menurut mereka, adalah ditujukkan untuk para sahabat. Imam Malik dan Imam Ahmad selanjutnya mengatakan bahwa sangat mungkin perkataan dan perbuatan para sahabat itu datangnya dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam. Bahkan pendapat para sahabat tersebut berdasarkan petunjuk dari Rasulullah Shalllallahu Alaihi Wasalam. sementara itu para sahabat tidaklah mengeluarkan pendapat kecuali pada suatu perkara yang penting. Hal ini menunjukan sikap kehati-hatian para sahabat terhadap suatu masalah hukum yang dihadapi oleh mereka, oleh karena itu apabila orang awam dibolehkan mengikuti pendapat para mujtahid, maka mengikuti pendapat para sahabat tentunya dibolehkan. Karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam mengatakan generasi terbaik adalah generasi sahabat  dan setelahnya.[32] Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam bersabda
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baikmanusiaialah pada generasiku, kemudiangenerasiberikutnya, kemudiangenerasiberikutnya.” (Haditsshohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3651, dan Muslim, no. 2533)
Adapunpendapat yang kedua datang dari ulama syafi’iah,  Asyari’ah, dan  Mu’tazilah yang mengatakan bahwa pendapat para sahabat tidak bisa dijadikan hujjah sebagai penetapan hukum dalam syara’. Adapun alasan mereaka didaparka sebagai berikut. [33]
1.             Mereka beralasan dengan firman Allah surah al-Hasyr ayat 2
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Makaambillah (kejadianitu) untukmenjadipelajaran, hai orang-orang yang mempunyaiwawasan.
Menurut mereka, ayat ini memerintahkan bahwa orang yang memiliki pengetahuan untuk melakukan ijtihad dan melarang orang yang memiliki pengetahuan tersebut untuk bertaklid, sedangkan yang diketahui bahwa para tabi’n dan generasi selanjutnya memiliki pengetahuan sehingga perkataan para sahabat tidak bisa dijadikan hujjah dalam penetapan hukum
2.             Para sahabat dalam golongan mujtahid, sedangkan pendapat mujtahid mempunyai peluang untuk salah dan lupa, oleh karena itu mujtahid adari generasi setelahnya yaitu generasi tabi’in tidak wajib mengikuti perkataan para sahabat.
3.             Sejarah menunjukkan para sahabat mengakui hasil ijtihad dari kalangan tabi’in yang berbeda dengan hasil ijtihad mereka. Jika perkataan sahabat adalah hujjah, tentu saja ini tidak akan terjadi, sebagai contoh: Ketika Anas bin Malik ditanyai suatu masalah, ia berkata: “ tanyakan masalah tersebut kepada pemimpin kita al-Hasan, untuk diketahui Anas bin Malik ialah berasal dari generasi sahabat dan hasan adalah generasi tabi’in, oleh sebab itu hal ini menunjukkan bahwa perkataan sahabat tidak bisa dijadikan hujjah dalam penetapan hukum.
Dari kedua perbedaan pendapat tersebut Wahbah az-Zuhaili mencarikan jalan tengahnya yaitu pendapat para sahabat yang merupakan hasil ijtihad perorangan tidak dapat dijadikan hujjah yang dapat berdiri sendiri, karena hasil ijtihad bisa benar dan bisa salah, apalagi para sahabat bukan orang yang ma’sum, oleh karena itu pendapat para sahabat yang bersifat hasil ijtihad perorang hanya bisa dijadikan hujjah apabila memiliki sandaran dalam bentuk nash atau sunnah.[34]
4.        Syar’u Man Qoblana
A.      Pengertian Syar’u Man Qoblana
Syaru’u Man Qoblana artinya syariat atau ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan suatu hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan lain-lain.[35] Hal ini dibicarakan dalam ilmu ushul fiqih agar kita mengetahui boleh tidaknya mengikuti peraturan-peraturan agama yang dibawa oleh nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. Mengenai boleh dan tidaknya berhujjah dengan Syar’u man Qoblana tersebut ada hal-hal yang diperselisihkan dan ada pula yang disepakati.[36] untuk lebih jelasnya dibawah ini akan dikemukkan pendapat para ulama.
B.       Pendapat Para Ulama Tentang Syaru’ Man Qoblana
Para ulama ushul fiqih bersepakat bahwa syar’u man qoblana yang tidak terdapat di al-qur’an dan Sunnah, maka tidak berlaku bagi umat islam karena datangnya syari’at islam menghapus syariat-syariat nabi-nabi terdahulu. Misalnya haramnya memakan semua daging binatang yang berkuku genap, tindakan bunuh diri sebagai cara taubat dan merobek pakaian yang terkena najis. Demikian juga para ulamaushul fiqih bersepakat bahwa syar’u man qoblana yang tercantum dalam Al-Qur’an atau sunnah dapat berlaku bagi umat islam apabila ada ketegasan berlaku bagi umat nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam, namun keberlakuan ini bukan karean kedudukannya sebagai syar’u man qoblana melainkan karena ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam. Contohnya syari’at puasa ramadhan yang diwajibkan umat islam merupakan syar’u man Qoblana namun kedudukannya bukan sebagai syar’u man qoblana karena termaktub dalam Al-Qur’an Sebagai terdapat dalam firman Allah surah Al-Baqarah ayat 183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkanataskamuberpuasasebagaimanadiwajibkanatas orang-orang sebelum kalian agar kamubertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Selain itu syariat islam yang ada didalam al-qur’an yang terdapat dalil pendukungnya maka itu tidak dinamakan syar’u man qoblana .
Adapun perbedaan yang terjadi dikalangan ushul fiqih adalah tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang terdapat di dalam Al-Qur’an namun tidak ada ketegasan bahwa apakah hukum-hukum tersebut masih berlaku bagi umat islam dan tidak ada penjelasan yang membatalkannya.[37]Contohnya dalam hal Hukuman Qishash ini berlaku dalam syariat Nabi Musa yang diceritakan dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 45

وَ کَتَبۡنَا عَلَیۡہِمۡ فِیۡہَاۤ اَنَّ النَّفۡسَ بِالنَّفۡسِ ۙ وَ الۡعَیۡنَ بِالۡعَیۡنِ وَ الۡاَنۡفَ بِالۡاَنۡفِ وَ الۡاُذُنَ بِالۡاُذُنِ وَ السِّنَّ بِالسِّنِّ ۙ وَ الۡجُرُوۡحَ قِصَاصٌ ؕ فَمَنۡ تَصَدَّقَ بِہٖ فَہُوَ کَفَّارَۃٌ لَّہٗ ؕ وَ مَنۡ لَّمۡ یَحۡکُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰہُ فَاُولٰٓئِکَ ہُمُ الظّٰلِمُوۡنَ

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Dari sekian bentuk qisash yang terdapat dalam ayat tersebut, hanyalah qishash karena pembunuhan yang ditegaskan dalam Al-Qur’an. Seperti dalam Firman Allah dalam surah al Baqarah ayat 178

یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا کُتِبَ عَلَیۡکُمُ الۡقِصَاصُ فِی الۡقَتۡلٰی ؕ اَلۡحُرُّ بِالۡحُرِّ وَ الۡعَبۡدُ بِالۡعَبۡدِ وَ الۡاُنۡثٰی بِالۡاُنۡثٰی ؕ فَمَنۡ عُفِیَ لَہٗ مِنۡ اَخِیۡہِ شَیۡءٌ فَاتِّبَاعٌۢ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ اَدَآءٌ اِلَیۡہِ بِاِحۡسَانٍ ؕ ذٰلِکَ تَخۡفِیۡفٌ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ وَ رَحۡمَۃٌ ؕ فَمَنِ اعۡتَدٰی بَعۡدَ ذٰلِکَ فَلَہٗ عَذَابٌ اَلِیۡمٌ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
Sedangkan bentuk-bentuk Qishash yang lainnya yang terdapat dalam Surah Al-Maidah ayat 45 tersebut tidak ada ketegasan dalil yang mendukungnya sehingga hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Oleh karena itu terdapat dua perbedaan dikalangan para ulama. Pendapat pertama datang dari mayoritas ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, mereka berpendapat bahwa syar’u man qoblana berlaku bagi umat islam. Alasan mereka yang dipaparkan untuk mendukung pendapatnya ada sebagai berikut[38]
1.             Syari’at Pada dasarnya adalah satu karena datangnya dari Allah. Oleh karena itu syariat nabi yang terdahulu dan disebutkan didalam Al-Qur’an berlaku bagi umat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam sebagaimana dalam firman Allah dalam Asy-Syura ayat 13

شَرَعَ لَکُمۡ مِّنَ الدِّیۡنِ مَا وَصّٰی بِہٖ نُوۡحًا وَّ الَّذِیۡۤ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ وَ مَا وَصَّیۡنَا بِہٖۤ اِبۡرٰہِیۡمَ وَ مُوۡسٰی وَ عِیۡسٰۤی اَنۡ اَقِیۡمُوا الدِّیۡنَ وَ لَا تَتَفَرَّقُوۡا فِیۡہِ ؕ کَبُرَ عَلَی الۡمُشۡرِکِیۡنَ مَا تَدۡعُوۡہُمۡ اِلَیۡہِ ؕ اَللّٰہُ یَجۡتَبِیۡۤ اِلَیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ وَ یَہۡدِیۡۤ اِلَیۡہِ مَنۡ یُّنِیۡبُ

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
2.             Terdapat beberapa ayat yang memerintahkan untuk mengikuti ajaran Nabi terdahulu seperti  yang difirmankan Allah Subhanahu Wata’alla dalam Surah An-Nahl ayat 123

ثُمَّ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ اَنِ اتَّبِعۡ مِلَّۃَ اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا ؕ وَ مَا کَانَ مِنَالۡمُشۡرِکِیۡنَ

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Adapun pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa syar’u Man Qoblana tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad Shallalahu Alaihi Wasalam kecuali ada ketegasan yang mempetjelas hal itu. Hal ini merupakan pendapat yang datang dari ulama Mu’tazilah, sebagian kalangan Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Diantara alasan yang mereka kemukakan adalah: [39]

1.             Firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 48

وَ اَنۡزَلۡنَاۤ اِلَیۡکَ الۡکِتٰبَ بِالۡحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَیۡنَیَدَیۡہِ مِنَ الۡکِتٰبِ وَ مُہَیۡمِنًا عَلَیۡہِ فَاحۡکُمۡ بَیۡنَہُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰہُ وَ لَا تَتَّبِعۡ اَہۡوَآءَہُمۡ عَمَّا جَآءَکَ مِنَ الۡحَقِّ ؕ لِکُلٍّ جَعَلۡنَا مِنۡکُمۡ شِرۡعَۃً وَّ مِنۡہَاجًا ؕ وَ لَوۡ شَآءَ اللّٰہُ لَجَعَلَکُمۡ اُمَّۃً وَّاحِدَۃً وَّ لٰکِنۡ لِّیَبۡلُوَکُمۡ فِیۡ مَاۤ اٰتٰىکُمۡ فَاسۡتَبِقُوا الۡخَیۡرٰتِ ؕ اِلَی اللّٰہِ مَرۡجِعُکُمۡ جَمِیۡعًا فَیُنَبِّئُکُمۡ بِمَا کُنۡتُمۡ فِیۡہِ تَخۡتَلِفُوۡنَ

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
Ayat ini menerangkan bahwa setiap umat menpunyai syariat masing-masing. Oleh karena itu syariat nabi terdahulu tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam
2.             Apabila syariat terdahulu berlaku bagi kita, maka tentulah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam diperintahkan untuk mempelajari serta merujuk kepada kitab-kitab suci sebelumnya, dengan tujuan untuk menemukan hukum-hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Contohnya, ketika Nabi Shallallahu Alaihi Wasalam dihadapankan pada persoalan zihar, li’an dan masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum waris, beliau hanya bertawaqquf yaitu beliau tidak menyatakan pendapat tentang hukum tersebut karena disebabkan menunggu datangnya wahyu yang menjelaskan permasalahan tersebut. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam tidak mengambil tindakan untuk meneliti permasalahan hukum tersebut dalam kitab-kitab suci terdahulu, padahal kitab-kitab tersebut juga merupakan syariat yang diturunkan Allah SubhanahuWata’alla. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa Syar’u Man Qoblana tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam
3.             Kisah dalam hadist ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam mengutus Mu’az bin Jabal Radiyaallahu Anhu ke Yaman sebagai Hakim. Nabi Shallallahu Alaihi Wasalam bertanya kepada Mu’az tentang pedoman yang ia gunakan dalam bertugas. Mu’az kemudian menjawab bahwa ia dalam bertugas berprdoman pada Al-Qur’an, sunnah dan ijtihad. Jawaban ini disetujui oleh Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasalam dan tidak ada arahannya dari Rasulullah untuk berpedoman pada syar’u Man Qoblana. Jika syar’u Man Qoblana berlaku bagi umat islam tentulah Rasulullah mengoreksi jawaban mu’az dan menginggatkan untuk berpedoman dengan Syar’u Man Qoblana.
Selanjutnya adapun para ulama ushul fiqih kontemporer seperti Khudhari baik, Abdul Wahhab Khallaf dan Zakiuddin Sya’ban menyatakan bahwa pendapat yang terkuat adalah pendapat yang pertama bahwa Syar’u Man Qoblana berlaku bagi umat Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. Alasannya bahwa syariat islam hanya membatalkan hukum yang kebetulan berbeda dengan syariat islam. Oleh karena segala hukum syariat para Nabi terdahulu yang disebut dalam Al-Qur’an tanpa ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu telah di nask (dihapus) maka hukum-hukum berlaku nagi umat Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. Disamping itu disebutnya hukum-hukum itu dalam Al-qur;an yang merupakan petunjuk bagi umat islam menunjukkan berlakunya bagi umat Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam. [40]

Penutup
Dalam pengambilan sumber hukum islam para ulama membagi sumber hukum islam menjadi dua bagian besar. Salah satunya yaitu sumber hukum islam  yang tidak disepakati diantaranya mencakup urf, sadd al-dzariat, mazhab shabi dan syar’u man qoblana. Tentang permasalahan urf dianjurkan bagi seorang mujtahid untuk memperhatikan kebiasaan dalam masyarakat sebelum menentukan hukum, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Ketentuan ini berlaku dengan catatan apabila kebiasaan yang dimaksud itu tidak bertentangan dan tidak menyalahi garis-garis yang telah ditetapkan oleh syara
Adapun saddadzariat terjadi perbedaan dikalangan para ulama dalam penetapan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum. Diantaranya Pendapat pertama yang menyatakan bahwa sadd ad-dzari’ah dapat diterima kehujahannya sebagai dalil syara’ hal ini datang dari ulama Malikiyyah dan Hanabillah. Adapunpendapat yang kedua yang datangdari ulamaHanafiyyah dan Syafi’iyahmerekaberpendapatbahwasadd ad-dzariahdapatdijadikandalildalammasalah-masalahtertentu dan menolaknyadalamkasus-kasuslain.
Selanjutnya mazhab shahabi didefinisikan seebagi pendapat para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam tentang suatu kasus yang mana hukum-hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasalam. Perbedaan yang terjadi dikalangan para ulama tentag mazhab shahabi adalah apakah pendapat para sahabat yang merupakan pendaapat perorangan dapat dijadikan hujjah bagi generasi sesudahnya.
Sementara itu syar’u man qoblana artinya syariat atau ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan dengan suatu hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa dan lain-lain. Para ulama ushul fiqih bersepakat bahwa syar’u man qoblana yang tidak terdapat di al-qur’an dan Sunnah, maka tidak berlaku bagi umat islam karena datangnya syari’at islam menghapus syariat-syariat nabi-nabi terdahulu. Yang menjadi perbedaan adalah tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang terdapat di dalam Al-Qur’an namun tidak ada ketegasan bahwa apakah hukum-hukum tersebut masih berlaku bagi umat islam dan tidak ada penjelasan yang membatalkannya.

Daftar Pustaka
Nasrun Haroen. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Satria Effendi M. Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Pokja Forum Karya Ilmiah. 2004.Kilas Balik Teoritis Islam. Kediri: Purna Siswa  Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
Nazar Bakry. 2003.Fiqh danUshul Fiqh. Jakarta, RajaGrafindo Persada
AbduRahman Dahlan. 2011.Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah
Nasruddin Yusuf. 2012. Pengantar Ilmu Ushul Fikih. Malang: UM PRESS
Rachmat Syafe’i. 1998.Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia
Basiq Djalil. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Kencana, 2010
H.A. Djazuli. 2015.Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana
Abdul Wahab Khalaf. 1995.Ilmu Ushul Fikih, diterjemahkan oleh Halimuddin. Jakarta: Rineka Cipta

Catatan:
Makalah ini sudah cukup baik, similarity 18%. Cuma pendahuluan perlu diperbaiki agar bisa mengantarkan pada pembahasan dan bukan pembahasan itu sendiri. Kemudian, nama penulis di daftar pustaka itu perlu dibalik.


[1]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Cet.2 , hal. 137
[2]Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005) Cet.1, hal. 153
[3]Ahmad Fahmi Abu Sunnah, al-urf wa al-Adah fi Ra’yi al-Fuqaha, dalam Nasrun Haroen (ed), Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Cet.2 , hal. 138
[4]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Cet.2 , hal. 138
[5] Ibid, hal. 139
[6]Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Islam, (Kediri: Purna Siswa  Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, 2004) hal. 216
[7]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) Cet.2 , hal. 139
[8]    Nazar Bakry, Fiqh danUshul Fiqh, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2003) hal. 236
[9]Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) hal. 210
[10]Pokja Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Islam, (Kediri: Purna Siswa  Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien, 2004) hal. 218
[12]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2003) hal. 238
[13]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, …………. , hal. 142
[14]Nasruddin Yusuf, Pengantar Ilmu Ushul Fikih, (Malang: UM PRESS, 2012) hal. 82
[16]Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005) hal. 172
[17]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1998) hal. 132
[18]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, ............. hal. 132
[19]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,....hal. 162
[20]Ibid
[21]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, ............. hal. 133
[22]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, ............. hal. 136
[23]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,....hal. 168
[24]Ibid.
[25]Ibid.
[26]Ibid, hal. 169
[27] H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2005. Hal. 101
[28]Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005) hal. 169
[29]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) hal. 225
[30]Ibid.
[31]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,....hal. 156
[32]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,....hal. 157
[33]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) hal. 229
[34] Ibid
[35]Abdrahman Dahlan, Ushul Fiqh, ( Jakarta, Amzah, 2011) hal. 230
[36]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, ( Jakarta: Kencana, 2010) hal.167
[37] Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005) hal. 163
[38]Ibid, hal. 165
[39]Abdrahman Dahlan, Ushul Fiqh, ( Jakarta, Amzah, 2011) hal. 233
[40]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, diterjemahkan oleh Halimuddin, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1995) hal. 110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar