Sharvina
Salsabila dan Layli Nur Azizah
Mahasiswi PAI-B Semester 3 UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
In a
Hadith narrators has an important position, i.e. as part of a chain of Hadith
rosul who came to his people. For that discussion of the Narrator is very
important, which is where it is concerned with the knowledge of the degree of a
Hadith. The degree of a Hadith that can be either shohih, hasan, dhoif,
acceptable or whether a hadeeth.
The
science of the rowi is considered complicated because it includes everything
that exists on the Narrator. Because sometimes there is the narrator who has
the same name, or kunyahnya the same, or Narrator known only to kunyahnya alone
without knowing his real name, their lineage, or tribe, and other explanations.
Therefore it appears that examines the science of the properties of
the narrators are associated with accepted or whether a Hadith. This science called
jarh wa ta'dil which it describes in a note addressed to the narrators of
Hadith so that they can be distinguished where the narrators who have fair,
dhobit, or do not have one or both.
Abstrak
Dalam
suatu hadist perawi memiliki kedudukan penting, yaitu sebagai bagian mata
rantai hadits rosul yang sampai kepada umatnya. Untuk itu pembahasan tentang
rawi merupakan hal yang sangat penting, yang mana hal itu berkaitan dengan
pengetahuan akan derajat suatu hadits. Derajat suatu hadits itu dapat berupa
shohih, hasan, dhoif, dapat diterima atau tidaknya suatu hadits.
Ilmu
tentang para rowi ini dianggap rumit dikarenakan ia mencakup segala hal yang
ada pada rawi. Karena terkadang ada rawi yang memiliki nama yang sama, atau kunyahnya
sama, atau perawi hanya diketahui kunyahnya saja tanpa tahu nama
aslinya, nasabnya, atau sukunya, dan penjelasan lainnya.
Oleh karena itu muncul ilmu yang meneliti tentang sifat-sifat
perawi yang berhubungan dengan diterima atau tidaknya suatu hadist. Ilmu ini
disebut jarh wa ta’dil yang mana ilmu ini menerangkan tentang catatan yang di
tujukan kepada perawi hadits sehingga mereka dapat dibedakan mana perawi yang
mempunyai sifat adil, dhobit, atau tidak mempunyai salah satu atau keduanya.
A.
Pendahuluan
Sumber ajaran islam setelah Al-quran adalah Hadits. Para ulama
sudah tidak memperselisihkan masalah ini. Akan tetapi untuk menentukan suatu
keshohihan hadits diperlukan penelitian pada perowinya karena adanya jarak
waktu yang panjang antara masa kehidupan Rosullullah, penulisan hadits dan
pembukuannya. Karena pada dasarnya hadits memiliki tingkatan keshohian yang
dilihat dari perowinya dan sanadnya yang bersambung. Diantaranya yaitu hadits
shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if.
Didalam ilmu hadits ada dua persoalan yang berkaitan dengan sanad
dan yang berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad membahas
tentang sebuah hadits memiliki sanad yang bersambung atau tidak, selain itu
untuk mengetahui para periwayat hadits yang dicantumkan dalam sanad hadits,
merupakan orang yang adil dan terpercaya atau pendusta. Sedangkan ilmu yang
berkaitan dengan matan akan membahas tentang kandungan atau isi suatu hadits
benar-benar berasal dari nabi, dan juga untuk mengetahui bertentangan atau
tidak antara satu hadits dengan yang lainnya.
Dalam upaya menjaga keautentikan hadits yang mana merupakan sumber
ajaran islam yang kedua, para ulama melakukan penilaian perawi hadits. Dalam
ilmu hadits ada banyak cabang, salah satunya yaitu ilmu jarh wa ta’dil. Ilmu
ini membahas tentang penyeleksian tentang kecacatan atau kebersihan seorang
perawi hadits sehingga suatu hadist dapat diterima atau ditolak. Penilaian
semacam ini dibutuhkan untuk menjaga kemurnian hadits Nabi. Fokus kajian pada
ilmu jarh wa ta’dil yaitu tentang kualitas diri seorang rawi dan juga
intelektualnya.
B.
Pengertian Jarh Wa Ta’dil
Secara etimologi kata jarh merupakan isim masdar dari kata jaraha-yajrahu
yang mempunyai arti melukai. Luka yang dimaksud disini dapat berkaitan dengan
luka fisik, seperti luka terkena senjata tajam, atau luka nonfisik seperti luka
hati akibat ucapan kasar seseorang. Jika kata jarh dipakai dipengadilan maka hal itu tertuju pada
kesaksian.Dalam kitab Ushul al-Hadits yang dimaksud dengan al-jarh adalah
seorang perawi yang memiliki sifat pribadi tidak adil, atau memiliki hafalan
yang kurang kuat, dan kurangnya kecermatannya, sehingga mengakibatkan riwayat
yang disampaikan gurgur atau lemah. Sedangkan secara terminologi al-jarh
adalah kecacatan yang disebabkan oleh semua yang dapat merusak keadilan dan kedhabitan seorang perawi.
Defnisi lain tentang al-jarh yaitu pengungkapan keadaan perawi yang
mencakup sifat-sifatnya yang tercela, atau sesuatu yang menyebakan lemah
sehingga riwayat yang disampaikan perawi ditolak.[1]Para
ulama mendefinisikan al-jarh sebagai berikut:
الجرخ عند المحدثين الطعن فى راوى الحديث بما يسلب أو يخل بعدالته أو ضبطه
“Jarhmenurutmuhadditsinadalahmenunjukkansifat-sifatcelarawisehinggamengangkatataumencacatkan
'adalahataukedhabitannya.”[2]
Adapun secara etimologi kata al-‘adl merupakan masdar dari ‘adala
ya’dilu yang diartikan sebagai sesuatu yang dirasakan dalam keadaan benar
dan lurus.[3]Definisi
lain al-‘adl secara etimologi yaitu mengungkapkan sifat adil yang
dimiliki seorang perawi. [4]
sedangkan secara terminologi diartikan sebagai pengungkapan sifat-sifat bersih
yang ada pada diri periwayat, sehingga hal itu dapat menampakkan keadilan
seorang perawi sehingga riwayatnya dapat diterima.[5]
Kemudian para ulama hadits mendefinisikan at-ta’dil sebagai berikut:
والتعديل عكسه وهو تزكية الراوى والحكم عليه بأنه
عدل او ضابط
“Ta'diladalahkebalikandarijarh,
yaitumenilaibersihterhadapseorangrawidanmenghukuminyabahwaiaadilataudhabit.”[6]
Jadi pengertian jarh wa ta’dilmenurut ulama lain adalah:
علم يبحث فيه عن جرح الرواة وتعديلهم بالفاظ
مخصوصة وعن مراتب تلك الالفاظ
“ilmuyangmenerangkantentangcatatan-catatan
yang dihadapkan para perawidantentangpenakdilannya (memangdangadil para perawi)
denganmemakai kata-kata yang khususdantentangmartabat-martabat kata-kata
itu."[7]
C. Sejarah
Singkat Perkembangan Jarh wa Ta’dil
Eksistensi jarh wa ta’dil dalam kritik sanad
hadits memiliki fungsi sebagai tolak ukur dan timbangan bagi perowi untuk
mengetahui hadits yang diriwayatkannya diterima atau ditolak. Dengan kata lain
kualitas pribadi dan kapasitas intelektual perawi menjadi dasar penerimaan atau
penolakan suatu hadits yang diriwayatkan perawi.[8]
Sejarah para periwayat hadits telah dimulai sejak
generasi sahabat nabi sampai pada generasi mukharijj al-hadits
(periwayat sekaligus penghimpun hadits) tidak lagi bisa di lihat secara fisik
dikarenakan mereka telah meninggal dunia terlebih dahulu. Untuk mengetahui
berbagai keadaan pribadi mereka dari sisi baik atau buruknya dibutuhkan
informasi dari kitab yang ditulis ulama ahli kritik rijal (para
periwayat) hadits.
Para ulama ahli kritik hadits telah mengemukakan
kritik pada perawi hadits yang mana tidak hanya kritik yang berhubungan dengan
hal-hal yang terpuji saja akan tetapi hal-hal yang tercela juga disampaikan.
Penyampaian hal yang tercela bukan bertujuan untuk menjelek-jelekan mereka akan
tetapi hal itu dijadikan pertimbangan dalam penerimaan atau penolakan riwayat
hadits yang mereka sampaikan. Pada dasarnya ulama hadits tetap menyadari bahwa
menyampaikan kejelekan dilarang oleh agama, akan tetapi hal ini dilakukan untuk
kepentingan yang lebih besar yaitu berupa penelitian hadits yang mana hadits
merupaka sumber ajaran agama islam, untuk itu kejelekan ataupun kekurangan yang
ada pada periwayat sangat perlu disampaikan. Kejelekan dan kekurangan yang
disampaikan hanya yang berhubungan dengan kepentingan penelitian periwayat
hadits.[9]
Benih-benih praktek pada jarh wa ta’dil sudah
terlihat sejak masa Rasulullah yang mana beliau memberi contoh secara langsung
dengan memuji sahabat Khalid bin Walid dengan sebutan:
نعم عبدالله خالدبن الوالد سيف من سيوف الله
“Sebaik-baikhambaAllahadalahkhalidbinwalid.
Diaadalahpedangdarisekianbanyakpedang Allah.”
Dibawah ini perupakan pertanyaan para ulama
tentang keadaan para periwayat yaitu:
a. Imam syafi’i berkata:”kalau bukan karena
Syu’bah maka Hadits tidak dikenal di Irak.”
b. Syu’bah (82-160 H) ketika ditanya tentang
Hadits nya Hakim bin Jabir ia berkata: “aku takut neraka.”
c. Ali al-Madini ditanya oleh kaum tentang
ayahnya ia berkata: “bertanyalah tentang ayahku kepada selain aku.”[10]
D. Syarat Ulama
Jarh wa Ta’dil
Sebagai seorang ulama jarh wa ta’dil
haruslah memenuhi kriteria agar menjadikannya objektif dalam menyingkap
karakteristik periwayat. Syarat-syarat bagi ulama jarh wa ta’dil diantaranya
yaitu:
a. Berilmu, bertaqwa, wara’ dan jujur. Apabila
tidak memiliki sifat ini maka ia tidak bisa menghukumi orah lain karena jarh
wa ta’dil selalu membutuhkan
keadilannya. Dalam Syarh an-Nukhbah di buku ulumul hadits Al-Hafizh berkata
seharusnya jarh wa ta’dil tidak
diterima melainkan dari orang yang adil dan kuat ingatannya, yaitu orang yang
mampu mengungkapkan hadits dan memiliki daya ingat yang kuat sehingga ia
menjadi berhati-hati dan ingat dengan tepat terhadap hadits yang ia ucapkan.
b. Mengetahui sebab adanya jarh wa ta’dil.
Al-Hafizh ibnu hajar menjelaskan dalam syarh an-nukhbah, “diterimanya tazkiyah
(pembersihan terhadap diri orang lain) jika dilakukan oleh orang yang
mengetahui sebab-sebabnya, agar ia tidak memberkan tazkiyahberdasarkan
apa yang dilihatnya dengan sepintas melainkan harus dengan pendalaman dan
pemeriksaan.”
c. Ia mengetahui penggunaan kaliamat-kalimat
bahasa arab, sehingga dapat menggunakan kata sesuai dengan maknanya, atau men-jarh
dengan lafadz yang tidak sesuai untuk men-jarh.
Selain itu ada beberapa hal yang tidak disyaratkan
bagi ulama jarh wa ta’dil diantaranya yaitu:
a. Tidak disyaratkan bagi ulama jarh wa
ta’dil harus laki-laki dan merdeka, karena yang terpenting adalah seseorang
itu dalam melakukan tazkiyah dan jarh haruslah bersikap adil.
b. Ada pendapat yang menyatakan bahwa pernyataan
jarh wa ta’dil dapat diterima jika dinyatakan oleh dua orang seperti
dalam kasus kesaksian lainnya.
Akan tetapi ulama menganggap cukup atas
penilaian seorang ulama jarh wa ta’dil yang telah memenuhi syarat
sebagai ulama jarh wa ta’dil. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Amidi dan
Ibnu al-Hajib serta yang lainnya, ibnu As-shalah berkata: itu adalah pendapat
yang benar yang dipilih oleh al-Khathib dan lainnya, karena dalam penerimaan
suatu riwayat hadits tidak ada syarat harus berapa periwayat. Oleh karena itu
dalam penilaian jarh atau adilnya rawi tidak disyaratkan harus berjumlah
beberapa orang. Karena hal ini berbeda dengan syahadah atau kesaksian.[11]
E. Tata tertib
UlamaJarh wa Ta’dil
Ada beberapa tata tertib yang harus diperhatikan oleh
ulama jarh wa ta’dil. Diantaranya yaitu:
1. Bersikap objektif dan tazkiyah, jadi ulama jarh
wa ta’dil tidak boleh meninggikan martabat seorang perawi atau
merendahkannya karena atas dasar tidak suka.
2. Tidak boleh jarhmelebihi kebutuhan,
karena men-jarh diperbolehkan karena adanya perihal yang darurat,
meskipun demikian tetap saja ada batasnya dalam men-jarh.
3. Tidak boleh hanya mengutip jarh, hal
ini berhubungan dengan orang yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus tetapi dinilai adil
oleh sebagian linnya. Karena sikap yang demikian dapat merampas hak rawi yang
bersangkutan, para muhaddisin pun mencela sikap yang demikian.
4. Tidak boleh jarh kepada rawi yang
tidak perlu di-jarh. Karena pada dasarnya pembolehan jarh lantaran
ada perihal darurat, maka jika tidak ada daruratnya jarh tidak bisa dilaksanakan.[12]
F. Cara
Melakukan Jarh wa Ta’dil
a. Bersikap jujur dan Proporsional, maksudnyaa
yaitu penyampaikan keadaan periwayat apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip
dalam al-Khathin mengatakan: “kita mencelakai saudaramu apabila kamu
menyebutkan kejelekannya tanpa menyebutkan kebaikannya.”
b. Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama jarh
wa ta’dil harus cermat dalam pembedaan antara dha’if nya suatu hadits
karena lemahnya agama periwayat dan dha’ifnya suatu hadits karena periwayat
yang hafalannya tidak kuat.
c. Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam
melakukan jarh wa ta’dil. Ulama harus selalu dalam ketentuan ilmiah dan
memiliki tingkat sopan dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan jarh wa
ta’dil-nya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan periwayat seorang ulama
cukup mengatakan: “tidak adanya keteguhan dalam berbicara.”
d. Bersifat global dalam men-ta’dil dan
terperinci dalam men-tajrih. Dalam men-ta’dil mereka cukup
mengatakan: “si fulan siqoh atau adil”. Dalam hal ini alasannya tidak
disebutkan karena terlalu banyak. Berbeda bengan jarh, pada umumnya
sifat jarh disebutkan misalnya: “fulan itu tidak bisa diterima
haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, dan lebih banyak ragu, atau tidak
dhabit atau pendusta, atau fasik, atau yang lainnya”.[13]
G. Tingkatan Jarh
wa Ta’dil
perawi yang memindahkan hadits tidak
semuanya memiliki tingkat hafalan yang sama, ilmu yang sama, juga kedhabitan
yang sama. Terkait tingkatan pada jarh wa ta’dil diantaranya yaitu:
1. Tingkatan Tajrih
a. Kata-kata yang menunjukkan mubalaghoh
(intensitas maksimal) dalam hal jarh misalnya:
أكذب الناس Orang yang paling berdusta
ركن الكذب Pangkal
dusta
b. Jarh dengan kedustaan atau pemalsuan, misalnya:
وضاع كذاب
Yang menunjukkan kata-kata mubalaghah,akan
tetapi masih dibawah tingkat pertama.
c. Kata yang menunjukan tertuduhnya perawi
sebagai pendusta, pemalsu, atau sejenisnya, misalnya:
متهم بالكذب
متهم بالوضع
يسرق الحديث
Yang disamakan dengan tingkat ini adalah
kata-kata yang menunjukkan adanaya peninngian suatu hadits, misalnya:
متروك
هالك
ليس بثقة
d.
Kata yang menunjukkan kedha’ifan yang sangat:
رد حديثه
ضعيف جدا
ليس بشيئ
طرح حديثه
لا يكتب حديثه
e.
Kata-kata yang menunjukkan penilaian dha’if kepada
perawi karena hafalannya yang kurang kuat, misalnya:
مضطرب الحديث
لا يحتج به
ضعفوه
له منا كير
ضعيف
f. Mensyifati perawi dengan sifat yang
menunjukkan kedha’ifannya akan tetapi mendekati ta’dil, misalnya:
ليس بذلك القوي
ليس بحجة
فيه مقال
فيه ضعف
غيره أوثق منه
Hukum tingkatan jarh tersebut adalah:
-
Perawi yang jarh dengan dua tingkatan pertama
maka haditsnya dapat dipakai hujjah, namun haditsnya bisa dicatat sebagai i’tibar.
-
Perawi yang di-jarh dengan tingkatan ke empat
sampai tingkatan yang terakhir haditsnya tidak dapat diapakai hujjah, tidak
bisa dicatat, dan dan tidak bisa digunakan sebagai i’tibar.[14]
2. Tingkatan ta’dil
a. Kata-kaya yang menunjukkan mubalaghahdalam hal ta’dil dengan bentuk af al at-tafdhili dan
sejenisnya, misalnya:
أوثق الناس yang
paling tsiqoh
أضبط الناس yang
paling dhabit
ليس له نظير tiada
bandingannya
b. Pernyataan seperti:
فلان لا يسأل عنه fulan
tidak dipertanyakan
فلان لا يسأل عن مثله orang
seperti fulan tak perlu dipertanyakan
c. Kata-kata yang mengukuhkan kualitas tsiqoh
dengan salah satu sifat diantara sekian sifat adil dan tsiqoh baik dengan
kata yang sama atau kata yang searti, misalnya:
ثقةثقة
ثقة مأمون
ثقة حافظ
d. Kata yang menunjukkan sifat adil dengan
kata yang menyiratkan kedhabitan, misalnya:
ثبة
متقن
عدل إمام حجة
عدل ضابط
e. Kata yang menunjukkan sifat adil,tetapi
menggunakan kata yang tidak menyiratkan kedhabitannya, misalnya:
صدوق
مأ مون
لا بأس به
Yang disamakan dengan tingkat ini adalah kata yang
menunjukkan kejujuran perawi dan kedhabitannya, misalnya:
محله الصدق
صا لح الحديث
Akan
tetapi sebagian ulama menyamakan kedua kata itu dengan tingkatan ke enam.
f.
Kata-kata
yang sedikit menyiratkan makna tajrih, seperti penggunaan kata diatas,
misalnya:
شيخ ليس ببعيد من الصواب
صويلح
صدوق إن شا ء الله[15]
Hukum pada tingkatan ta’dil adlah:
-
Perawi yang ta’dil dengan 3 tingkatan yang pertama
maka haditsnya dapat dipakai hujjah, jika masing-masing saling menguatkan.
-
Perawi yang ta’dil pada tingkatan ke empat dan ke lima haditsnya tidak dapat digunakan menjadi
hujjah, akan tetap bisa di catat dan di ikhtibar (dapat pertimbangkan).
-
Perawi yang dita’dil pada tingkatan ke enam
maka haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah, akan tetapi bisa dicatata
dan dii’tibar (sebagai pertimbangan) tidak untuk diikhtibar, karena sudah jelas
tidak menunjukkan arti dhabith.[16]
H.
Pertentangan antara Jarh wa Ta’dil
1.
Apabila
terdapat pertentangan antara jarh wa ta’dil pada perawi hadits, akibat
sebagian ulama menilai adil sedangkan sebagian lainnya menilai cacat, maka ada
dua pendapat diantaranya:
a.
Pendapat
yang dianut oleh jumhur ulama yaitu jarh harus didahulukan daripada ta’dil
jika cacatnya disebutkan secara rinci.
b.
Selain
pendapat diatas sebagian pendapat menyatakan bahwa jika jumlah penilai adilnya
lebih banyak daripada penilai cacatnya maka yang harus di dahulukan adalah ta’dilnya.
Akan tetapi pendapat ini dinilai lemah.[17]
2.
Jika
ada periwayat yang pada zaman dahulu fasik akan tetapi kemudian dia bertaubat:
Orang yang mengenalnya ketika ia dalam keadaan fasik maka akan
menilanya secara jarh, akan tetapi orang yang mengenalnya setelah taubat
menganggapnya adil.(hal seperti ini tidak bertentangan)
3.
Jika
terdapat perawi yang tidak dhabit fi al-lafzi dan dhabit fi
al-kitabah
Seseorang yang
pernah melihat kesalahan hadits nya karena ia meriwayatkan dari hafalannya,
maka akan menilainya jarh. Sedangkan jika seseorang melihah keshahihan
haditsnya karena ia meriwayatkan dari tulisannya maka akan menganggapnya adil.
(hal ini tidak bertentangan)[18]
I.
Kitab-kitab Jarh wa Ta’dil
1.
Kitab
jarh wa ta’dil secara umum
a.
Al-Tarikh
al-Kabir karya Imam Bukhari (194-256) yang mana kitab ini memuat 12.305
periwayat hadits. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan
memperhatikan huruf pertama dari nama periwayat dan nama bapaknya.
b.
Kitab
al-Jarh wa al-Ta’dil karya Abu Hatim Muhammad ibn Idris al-Razi (240-327
H). Merupakan kitab dari ulama muqoddimin yang memuat 18.050 periwayat hadits.
Dalam kitab ini biografi periwayatan hadits ditulis dengan singkat dan disusun
menggunakan huruf hijaiyah.
2.
Kitab
jarh wa ta’dil mengenai periwayat-periwayat Thiqat
a.
Kitab
al-Thiqat karya Muhammad ibn Ahmad ibn Hibban al-Busti (354 H). Kitab ini
disusun berdasarkan tobaqat (tingkatan) sesuai dengan huruf hijaiyah.
Dalam tabaqoh ini terdapat tiga juz yang terdiri dari tabaqat sahabat, tabaqottabi’in,
tabaqot ‘atba’ tabi’in.
b.
Tarikh
Asma’al al-Thiqat min Man Nuqila Anhu al-Ilm dsusun oleh Umar Ibn hamad Ibn
Syahin (385 H).susunannya berdasarkan huruf mu’jam yaitu dengan menyebutkan
nama periwayat dan bapaknya saja. Akan tetapi terkadang juga menyebutkan nama
guru dan muridnya.
3.
Kitab
jarh wa ta’dil mengenai periwayat Dhaif
a.
Al
du’afa al Kabir dan al Du’afa al Sagir karya Imam Bukhari. Termasuk kitab jarh wa ta’dil tertua.
Disusun menggunakan huruf mu’jam yang hanya memperhatikan nama depan periwayat.
b.
Al
Du’afa wa al Matrukin karya Imam Nasa’i (215-303 H). Disusun menggunakan huruf
mu’jam yang hanya memperhatikan nama depan periwayat.
c.
Ma’rifat
a’Majruhin min al Muhaddisin kaya Ibn Hibban. Yang disusun menggunakan huruf
mu’jam.
d.
Al
Kamil fi Du’afa al Rijal karya Imam Abu Ahmad Ibn Adi al-jurjani (356
H).disusun berdasarkan huruf mu’jamdan memiliki muqoddimah yang terlalu
panjang.
e.
Mizan
al Itidal fi Naqd Al Rijal karya Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman
al-Zhahabi (748 H). Kitab ini mengandung 11.053 biografi periwayat yang disusun
dengan huruf mu’jam dengan memperhatikan nama periwayat dan bapaknya.
f.
Ma’rifatu
Rijal karya Yahya bin Ma’in (158-233 H). Kitb ini merupakan kitab jarh wa
ta’dil jarh wa ta’dil yang pertama sampai kepada kita.
g.
Lisan
al Mizan karya ibn Hajar al Asqalani. Kitab ini disusun berdasarkan huruf
mu’jam yang diawali dengan nama asli, nama kunyah, kemudian periwayat yang
mubham, yang mana terbagi menjadi tiga pasal: pasal pertama tentang periwayat
yang menggunakan nasab, pasal kedua periwayat yang terkenal dengan nama kabilah
atau pekerjaannya, dan pasal ketiga tantang periwayat yang berdasarkan dengan
nama lain.[19]
DAFTAR
PUSTAKA
Nurruddin. 2012. Ulumul Hadis.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Izzan, Ahmad dan Saifuddin Nur.
2011. Ulumul Hadis. Bandung: Tafakur.
Sumbulah,
Umi. 2008. Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis. Malang:
UIN-Malang Press.
Noor,
Muhammad Sulaiman. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada
Press.
Solahudin,
Agus dan Agus Suyadi. 2013. Ulumul Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Solahudin,
Muhammad Agus dan Agus Suyadi. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang:
UIN-Malang Press.
Ahmad,
Muhammad dan Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Asrohah,
Hanun dan Amir Malik bin Abi Thalhah,dkk. 2012. Hadis. Mojokerto: Sinar
Mulia.
Zunin,
Muhammad dan Ngatiman,dkk. 2015. Hadis-Ilmu Hadis. Jakarta: Kementrian
Agama.
Catatan:
1. Similarity 22%.
2. Abstrak itu cuma satu paragraf.
3. Kaywords tidak ada.
4. Penulisan footmote tolong diperbaiki.
5. Latar belakang munculnya ilmu jarh wa ta’dil tidak disebutkan,
hanya dipaparkan sedikit pada bagian sejarah perkembangan.
[1] M. Noor
Sulaiman PL, Antologi ilmu hadits, hlm.176
[2] M. Agus
Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadits, hlm. 113
[3] Umi
Sumbulah, Kritik Hadits (Pendekatan Historis Metodologis), hlm.77-78
[4] M. Noor
Sulaiman PL, Antologi ilmu hadits, hlm.176
[5]
M. Noor Sulaiman PL, Antologi ilmu hadits, hlm.176
[6] M. Agus
Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadits, hlm. 113
[7] Muhammad
ahmad-M. Mudzakir, Ulumul hadits, hlm. 59-60
[8] Umi
Sumbulah, Kritik Hadits (Pendekatan Historis Metodologis), hlm.80-81
[9] Muhamad
Zunin, Moh.Soir,dkk, Hadits-Ilmu Hadits, hlm. 23
[10]Muhammad
Zunin, Ahmad Taufiq Wahyudi,dkk, Bahan Ajar Hadits, hlm.103
[11]
Nuruddin, ‘Ulumul Hadis, hlm.85-86
[12]
Nuruddin, ‘Ulumul Hadis, hlm.87
[13] Muhamad
Zunin, Moh.Soir,dkk, Hadits-Ilmu Hadits, hlm.26
[14] Mahmud
Thahhah, Intisari Ilmu Hadits,hlm.172
[15] Ahmad Izzan,Saifuddin
Nur, Ulumul Hadits, hlm.127-128
[16] Mahmud
Thahhah, Intisari Ilmu Hadits,hlm.170
[17] Mahmud
Thahhah, Intisari Ilmu Hadits,hlm.163
[18] Muhamad
Zunin, Moh.Soir,dkk, Hadits-Ilmu Hadits, hlm.28
[19]Muhammad
Zunin, Ahmad Taufiq Wahyudi,dkk, Bahan Ajar Hadits, hlm106-107
Tidak ada komentar:
Posting Komentar