Siti
Munawaroh dan Muhammad Hafid Ayatullah
PAI
D Angkatan 2016
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
This
article is about Science Jarh wa al-Ta'dil. Science Jarh wa al-Ta'dil is a
science that discusses the condition of the narrator, which is seen from the
aspect of acceptance or rejection of his report. The allowances studied by Jarh
wa al-Ta'dil are determining whether their fairies are acceptable or should be
rejected. If the narrator is chosen by the 'ulama as a transmitter with a
disability, then his transmission must be rejected and if the narrator is
fairly praised, his reporting may be acceptable, provided that the other
conditions for accepting the hadith are fulfilled. The emergence of Science
Jarh wa al-Ta'dil is in conjunction with the emergence of periwayatanya in
Islam. When the narrative comes up it is automatically necessary to know the
things of the perawinya. This knowledge of the narrators is then referred to as
a separate science known as Jarh wa al-Ta'dil.
Keywords:
Science of al-Jarh, al-Ta'dil.
Abstrak
Artikel
ini berisi tentang Ilmu Jarh wa al-Ta’dil. Ilmu Jarh wa al-Ta’dil adalah ilmu
yang membahas tentang keadaan perawi, yang dilihat dari segi diterima atau
ditolak periwayatannya. Tunjangan yang dipelajari oleh Jarh wa al-Ta'dil adalah
menentukan apakah periwayatanya dapat diterima atau harus ditolak. Jika perawi
dijarh oleh para ulama sebagai perawi dengan cacat tubuh, maka periwayatannya
harus ditolak dan jika perawi dipuji secara adil, niscaya periwayatannya dapat
diterima, asalkan persyaratan lain untuk menerima hadis terpenuhi. Munculnya
Ilmu Jarh wa al-Ta’dil ini bersamaan dengan munculnya periwayatanya dalam
Islam. Ketika periwayatnya muncul maka secara otomatis diperlukan untuk
mengetahui hal ihwal para perawinya. Pengetahuan tentang ha ihwal perawi inilah
yang kemudian disebut sebagai ilmu tersendiri yang dikenal dengan Ilmu Jarh wa
al-Ta’dil.
Kata Kunci :
Ilmu al-Jarh, al-Ta’dil.
A.
Pendahuluan
AlQur’an
dan Hadis merupakan Sumber utama dalam ajaran Islam, kedua sumber tersebut
sangatlah penting perananya dalam kehidupan umat Islam, oleh karena itu para ulama
sepakat menjadikan alQur’an dan Hadis sebagai pedoman utama dalam pengambilan
suatu rujukan akan ilmu Islam. Jumhur
ulama’ hadis dan fikih sepakat bahwa seseorang yang periwayatanya bisa diterima
adalah seorang rawi yang ‘adil (karakteristik moralnya baik).[1]
Dan berdasarkan suatu kenyataan, bahwa tidak bisa diterima suatu hadis kecuali
diketahui kualitas sanadnya, maka lahirlah Ilmu Jarh wa al-Ta’dil.[2]
Didalam
hadis sendiri kita harus menelaahnya terlebih dahulu sebelum menjadikanya
sebagai hujjah, apakah hadis itu benar-benar sudah diterima kebenaranya atau
ditolak. Jumhur ulama’ hadis dan fikih sepakat bahwa seseorang yang
periwayatanya bisa diterima adalah seorang rawi yang ‘adil(karakteristik
moralnya baik). Ilmu yang membahas tentang itu disebut dengan Ilmu
Jarh wa al-Ta’dil. Ilmu yang membahas tentang para perawi, dan masalah yang
ada disekitar mereka yang membuat mereka tercela atau yang membuat mereka bersih
dalam menggunakan lafaz – lafaz tertentu. Ini merupakan bagian terbesar dari
buah ilmu tersebut.[3]
dengan adanya ilmu ini kita jadi tau mana hadis yang diterima dan mana hadis
yang ditolak. Hakikat dari Ilmu Jarh wa al-Ta’dil adalah merupakan suatu
bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan tetatpi ilmu ini dianggap berdiri
sendiri karena dipandang sebagai ilmu yang terpenting.[4]
B.
Pengertian
Jarh wa al-Ta’dil
Menurut
bahasa, al-jarh mempunyai arti cacat. Istilah ini sering digunakan untuk
menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada diri periwayat hadis, seperti
halnya, pelupa, pembohong, dan lain sebagainya. Apabila sifat – sifat tersebut
dapat dikemukakan maka dapat dikatakan bahwa periwyat tersebut cacat. Periwayat
yang membawa hadis semacam ini ditolak, dan dinilai hadisnya lemah (dha’if). Al
– Jarh menurut istilah (ulama hadis), وصف الراوي
بما يقتضي تليين روايته أو تضعيفها أو ردها, yang artinya, sifat seorang perawi (yang diberikan
kepadanya) yang mencerminkan kekurangan pada periwayatanya, atau melemahkan
riwayatnya atau menolak periwayatanya.[5]
Menurut bahasa Ta’dil
artinya menilai adil kepada orang lain. Istilah ini sering digunakan untuk
menunjukkan sifat-sifat baik yang melekat pada diri periwayat, seperti halnya,
hafalanya yang kuat, terpercaya, cermat, dan lain sebagainya. Orang yang
mendapatkan penilaian seperti ini bisa disebut adil, sehingga hadis yang
dibawa oleh perawi dapat diterima sebagai dalil agama. Dinilai shahih hadisnya.
Sesuai dengan fungsinya sebagai sumber ajaran Islam, yaitu hadis yang diambil
adalah hadis shahih.[6] Al-Ta’dil menurut
istilah adalah : وصف الراوي بما يقتضي قبول روايته yang artinya,
sifat seorang perawi yang periwayatanya diterima yang periwayatanya menampakkan
keadilan dan kedhabitan.[7]
Yang
dimaksud dengan Ilmu Jarh wa al-Ta’dil, ialah:
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ جَرْحِ الرُّوَاةِ وَتَعْدِيْلِهِمْ بِاَلْفَاظٍ
مَخْصُوْصَةٍ وَعَنْ مَرَاتِبِ تِلْكَ اْلاَلْفَاظِ.
Artinya:
“Ilmu yang menerangkan tentang catatan –
catatan yang dihadapkan pada para perawai dan tentang penakdilanya (memandang
adil para perawi dengan memakai kata – kata yang khusus dan tentang martabat –
martabat kata – kata itu.” [8]
Dapat
disimpulakan Ilmu Jarh wa al-Ta’dil adalah Ilmu yang membahas tentang keadaan
perawi, yang dilihat dari segi diterima atau ditolak periwayatanya.
C.
Faktor-faktor
yang Melatarbelakangi Munculnya Ilmu Jarh wa at-Ta’dil
Munculnya ilmu jarh dan ta’dil
berawal sejak adanya periwayatan Hadits, ini adalah usaha para ahli hadits agar
bisa mengetahui antara hadits shahih dan dhaif.[9]Tetapi
perkembangannya yang paling menonjol ialah pada saat terjadinya pembunuhan
terhadap khalifah Utsman bin Affan, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 36 H.
Dengan adanya peristiwa tersebut kaum muslimin terpecah-pecah menjadi beberapa
kelompok, masing-masing kelompok merasa memiliki legimitasi atagimitasi atas
tindakan mengutip hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Apabila tidak ditemukan,
maka mereka akan membuat hadits-hadits palsu.
Para ulama’ hadits dengan transparan
dan berani menunjuk golongan-golongan yang tanpa ada tanggungjawab membuat
hadits palsu dan menyebarkan ke masyarakat luas, hal seperti ini diperuntukkan
demi menjaga kemurnian ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW. Dengan usaha para
ulama’ tersebut maka sampailah hadits Nabi kepada kita, dan kita tidak perlu
lagi khawatir atas keaslian hadits Nabi yang sampai kepada kita.[10]
Adapun perkembangan hadits semenjak
zaman Rasulullah SAW. sampai masa penafsiran kitab-kitab hadits. T.M Hasbi
As-Shiddiqie mengatakan bahwa ada tujuh periode perkembangan hadits, yaitu:[11]
1.
Masa turun
wahyu, masa ini selama 23 tahun, yaitu tahun kedelapan sebelum Hijriah sampai
tahun kesebelas Hijriah. Masa ini masa pembentukan Tasyri Islami (Hukum Islam),
yaitu sejak awal kenabian sampai beliau wafat.
2.
Masa khulafaur
Rasyidin, lamanya 29 tahun, yaitu tahun kesebelas hijriah sampai tahun 40
hijriah. Masa ini terkenal dengan masa pembatasan dan penyedikitan riwayat.
3.
Masa perkembangan
riwayat dan perlawanan ke kota-kota untuk memberi hadits. Masa ini lamanya 60
tahun, yaitu mulai tahun 40 hijriah sampai tahun 100 hijriah.
4.
Masa pembukuan
hadits, yaitu dari permulaan abad kedua hijriah sampai akhirnya, lamanya kurang
lebih 100 tahun, yaitu dari tahun 100 hijriah sampai kurang lebih tahun 200
hijriah.
5.
Masa
pentashhihan hadits, menyaringnya dan menafisnya, yaitu sejak abad ketiga
hijriah sapai akhirnya. Lamanya kurang lebih 100 tahun.
6.
Masa menafis
dan menyaring kitab-kitab hadits, lamanya kira-kira 3 setengah abad, yaitu
muali abad keempat sampai tahun 656 hijriah.
7.
Masa membuat
syarah dan menyusun kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadits hukum dan
menyusunnya dalam kitab-kitab jami’, sejak tahun 656 hijriah sampai sekarang.
Periode diatas mempunyai ciri khasnya masing-masing, tetapi yang
akan diterangkan dari periode diatas hanyalah tiga periode, yaitu periode
pertama sampai periode ketiga, karena pada ketiga periode tersebut terdapat
banyak faktor yang melatarbelakangi perkembangan Ilmu Jarh wa Ta’dil.
1.
Masa
Turun Wahyu
Pada periode ini umat Islam hanya menaruh perhatian kepada
Rasulullah, baik perbuatan maupun ucapan, Rasulullah tidak segan-segan
mengajarkan dan mempraktikan mengenai
hukum-hukum Islam kepada para sahabat. Para sahabat biasanya menanyakan
persoalan agama langsung kepada Rasulullah, bila tidak bisa bertemu, maka para
sahabat menyuruh orang lain yang bisa dipercaya agar menanyakannya. Perbuatan
seperti itu menjadikan periode ini menjadi subjek yang berperan dalam perkembangan
sejarah Islam, yaitu Rasulullah sebagai penyampai risalah dan sahabat sebagai
penerima risalah.[12]
2.
Masa
Khulafa al-Rasyidin
Periode ini lebih terkenal sebagai masa pembatasan riwayat, karena
banyak ditemukan hadits-hadits palsu, terdapat dua masa kekhalifahan pada
periode ini yaitu, masa khalifah Abu Bakar dan Umar serta masa khalifah Utsman
dan Ali.[13]
1)
Masa Abu Bakar
dan Umar
Al-Qur’an pada masa Abu Bakar menjadi perioritas utama untuk
dipelajari dan disebarluaskan, sedangkan hadits tidak menjadi pengajaran khusus
seperti Al-Qur’an.[14]
Pada waktu itu hadits hanya dipelajari oleh sebagian kalangan, dan
orang-orang yang mendalami hadits pun hanya sedikit. Mempelajari hadits pada
waktu itu hanyalah sebatas kalau ada keperluan saja. Dikarenakan khalifah Abu
Bakar menginginkan Al-Qur’an sebagai perioritas yang pertama dan utama,
disebabkan ada sabda Rasulullah yang mengutus untuk berhati-hati dalam
meriwayatkan hadits, sebagaimana berikut:
“Cukuplah seseorang itu berdosa jika mengabarkan setiap apa yang
didengarnya”
Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh khalifah kedua yaitu Umar bin
Khattab, kedua khalifah itu hanya menjadikan Al-Qur’an sebagai hal yang utama
untuk dipelajari dan disebarluaskan, walaupun demikian kedua khalifah tersebut
tetap menerima hadits dari sahabat lain tetapi hanya pada saat waktu-waktu
tertentu, namun tetap ada beberapa persyaratan khusus untuk menerima
periwayatannya. Salah satunya yaitu selalu meminta kesaksian dari sahabat lain
dan meminta bayyinah (keterangan) dari perawi lain.
Demikianlah kewaspadaan dan ketelitian khalifah Abu Bakar dan Umar
dalam menerima periwayatan hadits, beliau melakukan pembatasan tersebut bukan
tanpa alasan, baliau semata-mata hanya ingin menjaga kemurnian dari ajaran
Syari’at Islam.
2)
Masa Utsman dan
Ali
Ketika tongkat estafet pemerintahan beralih ke khalifah Utsman bin
Affan dan tatkala beliau wafat, dilanjutkan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib,
periwayatan hadits tidak seketat seperti periode sebelumnya. Pada masa ini
pencarian tentang hadits lebih luas yakni dengan saling tukar-menukar informasi
antar sahabat dan tabi’in sampai mengumpulkan hadits dari sahabat senior,
kegiatan tersebut terus berlanjut pada masa ini, sehingga perkembangan
periwayatan hadits sangat berkembang pesat.[15]
3.
Masa
Perkembangan Riwayat
Pada masa ini para ahli hadits lebih meluaskan perlawatannya untuk
mencari hadits dan mengumpulkannya, melebihi dari masa-masa sebelumnya.[16]Sejarah
tidak mengenal satupun umat yang tekun mengembara mencari hadits kecuali umat
Islam, apalagi ulama’ hadits, mereka dengan tekun dan susah payah mencari
keaslian hadits, mereka akan terus mencari sampai bertemu dengan orang yang
mendengar hadits langsung dari Rasulullah SAW.[17]
Seorang sahabat pernah pergi ke Mesir untuk menemui Fudhalah bin
‘Ubaid, setelah sampai ia berkata “aku datang kemari bukan untuk
bersilaturrahmi kepadamu, tetapi aku ingin penjelasan hadits yang pernah kita
dengar dari Rasulullah SAW.[18]
Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “jika aku tahu orang yang lebih tahu
tentang kitabullah dari padaku dan dapat aku datangi dengan mengendarai
unta, niscaya ia akan kudatangi.[19]
Beberapa peristiwa diatas menunjukkan bahwa para sahabat ingin
meyakinkan bahwa hadist yang didengar adalah langsung dari Rasulullah, dan
lebih mantab dalam hafalannya meskipun harus menempuh perjalanan yang terlampau
jauh serta memakan waktu yang sangat lama. Kegiatan tersebut diikuti terus oleh
murid-muridnya sampai ke tabi’in, melakukan pencarian keberbagai Negeri dengan
ilmunya masing-masing untuk mendapatkan hadits-hadits.
Hal tersebut menjadikan motivasi tersendiri bagi generasi tabi’in
untuk mencari isnad yang tinggi (‘ali) untuk menyingkat jalur hadits
yang menyambung, daripada mengambil dari tabi’in yang lain, lebih baik
mengambil langsung dari sahabat dengan pergi dan menemuinya langsung.[20]
Peristiwa para sahabat diatas dikarenakan pada periode ketiga ini
banyak pemalsuan hadits disebabkan oleh fitnah yang melanda umat. Bila diteliti
para pemalsu hadits ialah:[21]
1)
Orang-orang
kafir dan munafik yang ingin merusak Islam.
2)
Bangsa atau
kabilah yang sudah masuk Islam, tetapi bermaksud mengembalikan kejayaan bangsa
dan negara, dengan mendendam kejayaan Islam.
3)
Orang-orang
yang bodoh dan emosional yang mementingkan kepentingan pribadi, materi,
golongan, keturunan, dan madzhab, dengan mengorbankan kepentingan agama.
4)
Orang yang
berpaham terlalu jauh dari batas syariat Islam.
Adapun mengenai motif dan corak pemalsuan hadits sebagai berikut:[22]
1.
Pemalsuan
hadits karena pengaruh kepentingan politik
1)
Untuk
meninggikan derajat ‘Ali, kaum Syi’ah membuat hadits palsu
2)
Untuk
meyakinkan umat agar menentang Mu’awiyah
3)
Untuk membela
dan memperlihatkan kedudukan Mu’awiyah
4)
Untuk
propaganda popularitas bani Abbas
2.
Pemalsuan
hadits bermotif zandaqah, bercorak mengaburkan agama
3.
Pemalsuan
bermotif ‘Ashabiyah.
1)
Fanatik
kebangsaan
2)
Fanatik Imam
4.
Pemalsuan
hadits pengaruh perselisihan paham dikalangan Ulama’
1)
Yang fanatik
pada ulama’ kalam, kemudian membuat hadits
2)
Dan yang
fanatik Madzhab Hanafi
5.
Pemalsuan
hadits dengan bermotif pengambilan hati pembesar
6.
Pemalsuan
hadits dengan tujuan menguatkan kisah yang dituturkan agar menarik perhatian
dan menjadi nasehat atau pelajaran.
7.
Pemalsuan
hadits terbawa oleh aliranyang berlebih-lebihan atau tasawuf yang menyimpang
dari ajaran agama.
Para pemalsu hadits dalam praktik pemalsuannya mengambil cara-cara
sebagai berikut:[23]
1.
Pembuat hadits
itu mengadakan hadits menurut pikirannya sendiri
2.
Pembuat hadits
itu mengambil perkataan Ulama’ salaf, Hukama, dan cerita Israiliyat lalu
dinisbahkan kepada Nabi SAW.
3.
Pembuat hadits
itu mengambil suatu hadits yang lemah sanadnya kemudian ia susun dalam suatu
sanad yang shahih.
4.
Pembuat hadits
itu menyusun kitab hadits yang berisi hadits-hadits palsu lalu dinisbatkan
kepada muhaditsin yang adil.
Dalam penelitian hadits sanad merupakan sandaran yang sangat
prinsipil, dan tujuan utama untuk mebedakan antara hadits yang maqbul
dan mardud. Disamping memperhatikan matan hadits, para Ulama’
hadits juga memberikan perhatian lebih terhadap sanad. Sedikitnya bisa
kita lihat pada:[24]
1.
Pernyataan-pernyataan
ulama’ yang menyatakan bahwa Sanad merupakan bagian tak terpisahkan dari
agama dan pengetahuan hadits.
2.
Banyak-banyaknya
karya tulis para ulama’ yang erkaitan
dengan hadits.
3.
Dalam prektek,
apabila ulama’ hadits menghadapi sesuatu hadits, maka Sanad hadits,
merupakan bagian yang mendapat perhatian khusus. Dengan demikian sanad
hadits mempunyai kedudukan yang sangat penting.
Dari pernyataan-pernyataan diatas tujuan utama ilmu jarh wat ta’dil
adalah untuk memelihara dua pokok sumber Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Para ulama’ juga menggunakan ilmu jarh wat ta’dil untuk membendung beberapa
kelompok yang dengan sengaja memalsukan hadits, beberapa cara ulama untuk
membendungnya adalah dengan:
1.
Pengamatan
matan dan sanad hadits
2.
Mengecek
keaslian hadits dengan merujuk kepada para sahabat, ulama’, dan tabi’in yang
ahli pada bidang ini.
3.
Dalam
mengklasifikan hadits para ulama’ membuat kaidah-kaidah umum.
Perlu ditekankan bahwa ilmu jarh wat ta’dil merupakan nasehat dalam
agama, bukan termasuk ghibah yang dilarang dalam agama.
Maka dari itu
para ulama’ membolehkan kagiatan jarh wat ta’dil bukan untuk mencela antar
sesama manusia, tetapi untuk memelihara syari’at agama Islam. Sebagaimana dalam
persaksian, jarh diperbolehkan, maka perawi pun juga diperbolehkan. Bahkan
mencari kebenaran dalam masalah agama lebih memperkuat dan utama daripada
masalah hak dan harta.
D.
Tingkatan
Jarh wa al-Ta’dil
Ungkapan
yang menggambarkan kemuliaan atau keadilan kebaikan periwayat itu bermacam –
macam. Ada yang menggunakan ungkapan berlebihan, seperti “sipolan adalah orang
yang terpercaya, tiada taranya.” Ada juga ungkapan yang digunakan biasa
saja, misalnya, “sipolan itu jujur.” Ungkapan yang berbeda mengakibatkan
perbedaan kualitas masing – masing periwayat, baik dalam segi daya ingat,
kejujuran maupun kecerdasanya. Dengan demikian, kualitas periwayat yang sama-
sama dinilai adil itu mempunyai tingkatan yang berbeda – beda karena adanya
perbedaan ungkapan ta’dil yang digunakan untuk menilainya. [25]
Dalam
muqaddimah kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, Ibnu Abu Hatim membagi jarh
dan ta’dil menjadi 4 tingkatan pada masing – masing bagian, kemudian
para ulama menambahkan 2 tingkatan pada masing – masing bagian. Jadi
keseluruhanya menjadi enam tingkatan. Berikut pembahasan tingkatan – tingkatan
dan lafal – lafalnya.[26]
Tingkatan Ta’dil
dan lafal – lafalnya adalah sebagai berikut.
1.
Ta’dil
dengan menggunakan ungkapan kata yang berlebihan / bersangatan, seperti,
أوثق الناس, وأضبط الناس, وليس له نظير
(Artinya,
“ia adalah orang yang paling kuat, ia tiada bandinganya.”) Ada juga yang
memasukkan kata,
فلان لايسال عنه
(Artinya, “si fulan kualitasnya tidak perlu
diragukan.”)
2.
Ta’dil
dengan menggunakan kata pujian yang diulang – ulang, baik dengan
kata yang mirip atau sama, seperti,
ثقة ثقة, أوثقة مأمون أوثقة حافظ أوثقة ثبة أوثقة متقنز
Tentunya
ungkapan pujian ini tingkat kekuatanya tidak sekuat tingkat pujian yang pertama.
3.
Ta’dil
dengan menggunakan kata – kata pujian tanpa adanya pengulangan,
seperti,
فلان ثقة, أوظبط, أوحافظ, أوحجة, أوإمام
4.
Ta’dil
dengan menggunakan kata – kata yang menggambarkan kebaikan
seseorang, tetapi tidak mencerminkan kekuatan hafalan , atau melukiskan
kecermatan seperti kata yang digunakan untuk Ta’dil di atas. Misalnya,
kata
صدوق, أومأمون, أولابأس به[27]
5.
Ta’dil
dengan menggunakan lafal yang tidak menunjukkan jarh dan tsiqoh,
seperti,
فلان شيخ, روى عنه الناس
(Artinya, “si fulan adalah seorang guru,
orang yang meriwayatkan hadis darinya.”)[28]
6.
Ta’dil
dengan menggunakan lafal yang mendekati arti jarh, seperti,
أوصدوق إنشاءالله, أومحله الصدق, أوصويلح[29]
Hukum
tingkatan ta’dil tersebut adalah :
a)
Perawi yang
dita’dil dengan tiga tingkatan yang pertama, apabila masing – masing ta’dil
tersebut dapat menguatkan maka hadisnya dapat dipakai sebagai hujjah.
b)
Perawi yang
dita’dil dengan tingkatan yang keempat dan kelima hadisnya tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah, bisa dicatat dan di-ikhtibar (dapat dipertimbangkan).
c)
Perawi yang
dita’dil dengan tingkatan yang keenam maka hadisnya tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah, namun bisa dicatat untuk dii’tibar (sebagai pertimbangan) tidak
untuk diikhtibarkan, karena sudah jelas tidak menunjukkan arti dlabith.[30]
Tingkatan Jarh
dan lafal – lafalnya adalah sebagai berikut.
1.
Jarh dengan
menggunakan ungkapan yang sangat memberatkan dan sangat buruk kepada orang yang
dicacat karena kedustaanya. Seperti kata,
أكذب الناس, أوكذاب, أويضع الحديث, أووضاع الحديث
Dalam
hal ini kata يضح الحديث ada yang memasukkan pada tingkatan dibawahnya.
2.
Jarh dengan
menggunakan lafal / kata yang berkisar pada dusta dan juga sedikit lebih lunak.
Seperti kata,
فلان منهم بالكذب, أو فلان ساقط, أو فلان متروك, فلان ذاهب الحديث
3.
Jarh dengan
menggunakan kata yang lebih lunak dari tadi, yang menunjukkan bahwa hadisnya
ditolak oleh orang banyak, atau tidak ditulis hadisnya.
فلان رد حديثه, أو مردودالحديث, أو ضعيف جدا, أو فلان ليس بشئ
4.
Jarh dengan
menggunakan kata / lafal yang lebih lunak lagi. Seperti kata,
فلان ضعيف, أو ضعفوه, أومنكر الحديث
5. Jarh dengan menggunakan kata / lafal yang menunjukkan cacat ringan.
Seperti kata,
فلان يقال فيه, أو فيه ضعف, أو ليس بحجة[31]
6. Jarh dengan menggunakan kata yang menunjukkan arti sangat dusta atau
lafal yang berbentuk af’al al-tafdlil, seperti :
فلان أكذب الناس, المتن فى الكذب, هو ركن الكذب
(Artinya, “dia adalah orang yang paling
bohong, dia adalah orang yang paling top kebohongannya, dia adalah termasuk
orang yang bohong.”)[32]
Hukum
tingkatan jarh tersebut adalah :
Perawi
yang di jarh dengan dua tingkatan yang pertama, hadisnya tidak dapat digunakan
sebagai hujjah, namun hadis tersebut bisa cicatat sebagai i’tibar
Perawi
yang di jarh dengan empat tingkatan terakhir, hadisnya tidak dapat digunakan
sebagai hujjah, tidak bisa sebagai i’tibar dan tidak dapat dicatat.[33]
E.
Penutup
Dari
uraian diatas, dapat disimpulkan mengenai definisi Ilmu Jarh wa al-Ta’dil, ilmu
jarh wa al-ta’dil merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan
tetatpi ilmu ini dianggap berdiri sendiri karena dipandang sebagai ilmu yang
terpenting.[34]
Yang mana didalamnya membahas adil atau cacatnya seorang periwayat hadis yang
berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadisnya.
Munculnya Ilmu Jarh wa al-Ta’dil
ini bersamaan dengan munculnya periwayatan dalam Islam. Ketika periwayatan
muncul maka secara otomatis diperlukan untuk mengetahui hal ihwal para
perawinya. Pengetahuan tentang ha ihwal perawi inilah yang kemudian disebut
sebagai ilmu tersendiri yang dikenal dengan Ilmu Jarh wa al-Ta’dil.
Daftar
Pustaka
Ahmad,
Muhammad. Mudzakir. 2004. Ulumul Hadis. Bandung : CV Pustaka Setia.
Thahhan, Mahmud. 2007. INTISARI
Ilmu Hadits. Malang : UIN-Malang Press.
As-Shalih,
Subhi. 1993. MEMBAHAS ILMU – ILMU HADIS(Terjemah Kitab Ulumul al-Hadits wa
Musthalahuhu, Dar al-Ilm Iil-Malayin, Beirut, 1977.). Jakarta : Pustaka Firdaus.
Zuhri, Muh.
2003. HADIS NABI Telaah Historis Dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara
Wacana Yogya.
Al-Nawawi,
Imam. 2001. DASAR – DASAR ILMU HADIS, (terjemah kitab Al-taqrib wa al-taisir
li ma’rifati sunan al basyir al-nadzir karya muhy al-din abu zakariya yahya bin
syaraf al-nawawi, penerbit dar el-fikr, beirut, 1988), Jakarta : Pustaka
Firdaus.
Khaeruman,
Badri. 2010. Ulum al-Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Al-Qardhawi,
Yusuf . 2001. Pengantar Studi
Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Abdurrahman, M. Sumarna, Elan. 2011. Metode Kritik Hadis.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Zuhdi, Masjfuk.
1993. Pengantar Ilmu Hadits. Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset.
Sya’roni, Usman. 2002 Otentitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan
Kaum Sufi, Jakarta : Pustaka Firdaus.
Journal, Ilmu
Jarh wa al-Ta’dil: tumpuan terhadap ketokohan Imam Bukhari.
Catatan:
1.
Similarity
sebanyak 25%.
2.
Sumber
jurnal diberikan keterangan lengkap (nama penulis, judul, nama jurnal, vol. No,
edisi tahun)
3.
Buku
terjemahan ditulis nama perterjemahnya.
4.
Perbaiki
penulisan footnote dan daftar pustaka. Tulis huruf kapital pada tempatnya.
[1] Imam
al-Nawawi, DASAR – DASAR ILMU HADIS, (terjemah kitab Al-taqrib wa al-taisir
li ma’rifati sunan al basyir al-nadzir karya muhy al-din abu zakariya yahya bin
syaraf al-nawawi, penerbit dar el-fikr, beirut, 1988), Jakarta : Pustaka
Firdaus, 2001, hlm. 38.
[2] Mahmud
Thahhan, INTISARI Ilmu Hadits, (Malang, UIN-Malang Press, 2007), hlm.
22.
[3]Subhi
As-Shalih, MEMBAHAS ILMU – ILMU HADIS(Terjemah Kitab Ulumul al-Hadits wa
Musthalahuhu, Dar al-Ilm Iil-Malayin, Beirut, 1977.), Jakarta : Pustaka
Firdaus, 1993, hlm. 102
[4] Muhammad
Ahmad dan M. Mudzakir, ULUMUL HADIS, (Bandung : Pustaka Setia, 2004),
hlm. 59.
[5] Journal,
Ilmu Jarh wa al-Ta’dil: tumpuan terhadap ketokohan Imam Bukhari.
[6] Muh.
Zuhri, HADIS NABI Telaah Historis Dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara
Wacana Yogya, 2003), hlm. 120-121.
[7] Journal,
Ilmu Jarh wa al-Ta’dil: tumpuan terhadap ketokohan Imam Bukhari.
[8] Muhammad
Ahmad dan M. Mudzakir, ULUMUL HADIS, (Bandung : Pustaka Setia, 2004),
hlm. 59.
[9]M. Abdurrahman
dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2011), hal. 70
[10]Masjfuk Zuhdi, Pengantar
Ilmu Hadits, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1993), hal. 102
[11]M. Abdurrahman
dan Elan Sumarna, Op.Cit.,
[12]Ibid., hal. 71
[13]Ibid., hal. 76
[14]Ibid., hal. 76
[15]Ibid., hal. 78
[16]Ibid., hal. 79
[17]Yusuf
Al-Qardhawi,Al-Madkhal Li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyyah, diterjemahkan
oleh Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin,Pengantar Studi Hadis,
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), hal. 115
[18]Ibd.,
[19]Ibid.,
[20]Ibid., hal. 116
[21]Badri Khaeruman,
Ulum al-Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hal. 162
[22]Ibid.,
[23]Ibid., hal. 166
[24]Usman Sya’roni,
Otentitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2002), hal. 12-13
[25] Muh.
Zuhri, HADIS NABI Telaah Historis Dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara
Wacana Yogya, 2003), hlm.123-124.
[26] Mahmud
Thahhan, INTISARI Ilmu Hadits, (Malang, UIN-Malang Press, 2007), hlm.
168.
[27] Muh.
Zuhri, HADIS NABI Telaah Historis Dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara
Wacana Yogya, 2003), hlm. 124.
[28] Mahmud
Thahhan, INTISARI Ilmu Hadits, (Malang, UIN-Malang Press, 2007), hlm.
169.
[29] Muh.
Zuhri, HADIS NABI Telaah Historis Dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara
Wacana Yogya, 2003), hlm. 125.
[30] Mahmud
Thahhan, INTISARI Ilmu Hadits, (Malang, UIN-Malang Press, 2007), hlm.
170.
[31] Muh.
Zuhri, HADIS NABI Telaah Historis Dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara
Wacana Yogya, 2003), hlm. 125-126.
[32] Mahmud
Thahhan, INTISARI Ilmu Hadits, (Malang, UIN-Malang Press, 2007), hlm.
172.
[33] Ibid,
hlm. 172.
[34]
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, ULUMUL HADIS, (Bandung : Pustaka Setia,
2004), hlm. 59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar