Mela Mariana dan Ulum Wahyu Febrianggraini
Mahasiswa UIN
Malang jurusan PAI kelas E tahun 2016
Abstrak:
Artikel ini berbicara mengenai fiqih
imam yang empat,sebagaimana kita ketahui dalam hukum fiqih muncul berbagai
mazhab-mazhab. Hal ini dilatar belakangi
oleh perbedaan penafsiran dalam menginstinbatkan hukum Islam berdasarkan
Al-Qur’an. Selain itu juga disebabkan oleh pengalaman, pola pikir serta contoh
implikasi dari pemikirannya dalam menanggapi persoalan-persoalan yang muncul
ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Imam hanafi dikenal sebagai ulama Ahl
al-Ra’yu sebab beliau lebih mengedepankan nalar dalam menetapkan hukum. Imam
malik adalah seorang tokoh yang dikenal oleh para ulama alim besar dalam ilmu
hadis atau ahl hadits. Imam syafi’I
juga dikenal dengan ahlu
al-Hadits, beliau dikenal sebagai yang
mampu memformulasikan hukum antara imam hanafi dan imam maliki. Begitupun
dengan Imam Hanbal ia juga dikenal sebagai ahlu al-Hadits, ia sangat kuat berpegang
dengan hadits.
Kata kunci: fiqih, mazhab
imam empat, dan problematika
Abstrak:
This article talks about the Fiqh of the four priests who, as we know in
Fiqh law appear various sects. This event will be based by the differences of
interpretation in the menginstinbatkan Islamic law based on the Quran. It also
caused by experience, mindsets as well as examples of the implications of his
thoughts in response to problems that arose in the midst of the life of the
community. Hanafi scholars known as Ahl al-Ra'yu because he put forward the
reason in determining the law. Malik is a character known by the scholars of
Hadith sciences major alim or ahl Hadith. Imam Al-shaafa'i is also known by the
people of al-Hadith, he is known as the able to formulate the law between the
hanafi and maliki. Likewise with Imam Hanbal, he is also known as the people of
al-Hadith, he very strongly adhered to by the Hadith
Keyword : fiqih, imam
of the four, and problematics
A.
Pendahuluan
Mazhab ialah
sebuah paham atau aliran dalam pemikiran atau metode yang ditempuh oleh Imam
Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan Alquran dan hadits
serta mazhab juga diartikan sebagai fatwa atau pendapat yang seorang imam
mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-quran. Didalam hal
ini akan dibahas beberapa mazhab dalam islam yang cukup terkenal dan dijadikan
pedoman dalam menjalakan kehidupan, adapun perincian dari empat imam mazhab
disini ialah imam syafi’i, imam abu hanifah, imam maliki, dan imam hambali.
Mereka adalah
pendiri sekaligus pencetus bagi ulama’ fiqih yang sampai saat ini masih dipakai
oleh orang muslim di berbagai negara. Imam hanifah merupakan tokoh pencetus
dari mazhab hanafi, imam maliki pencetus dari mazhab maliki, imam syafi’i
pencetus mazhab syafi’i dan imam hambali pencetus mazhab hambali. Sedangkan
jika kita tinjau dari segi ilmu yang menjadi tekunan mereka maka terdapat
perbedaan, yaitu imam hanafi terkenal sebagai ahli al-quran, imam maliki terkenal
sebagai ahli hadits, imam syafi’i terkenal sebagai ahli hadits dan alquran dan
imam hambali lebih kepada imam yang menolak adanya hal-hal bid’ah yang meraja
rela pada zamannya. Oleh karena itu pada artikel ini penulis membahas tentang
biografi dan segala pemikiranya dari empat mazhab tersebut.
B.
Biografi Fiqih Imam Empat
1.
Abu Hanifah,
An-Nu’am Bin Tsabit (80-150H) Sebagai Pendiri Mazhab Hanafi
Al- imam
al-A’zham Abu Hanifah, atau dikenal dengan an-nu’man bin tsabit bin Zuwatha
al-kufi. Beliau adalah keturunan Persia serta bukan keturunan hamba sahaya dan
lahir pada tahun 80 H/ 699 M.[1]
dan meninggal pada tahun 150 H/767 M. Menurut riwayat beliau dipanggil dengan
sebutan Abu Hanifah, dikarenakan memiliki putra yang bernama Hanifah. Dalam
adat atau kebiasaan yang berkembang di masyarakat Arab, nama anak menjadi nama
panggilan bagi ayahnya dengan diberi tambahan kata Abu yang berarti ayah atau
Bapak, oleh karena itu ia dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Didalam hidupnya
Abu Hanifah hidup di dua lingkungan sosial-politik, yakni tepat di akhir masa
dinasti Umayyah dan pada awal dinasti Abbasiyah.
Abu Hanifah
dikenal dengan sebagai seorang ulama’ yang sangat rajin, belajar
sungguh-sungguh dalam mengerjakan kewajiban agama, taat ibadah. Kata hanif
dalam bahasa Arab berarti condong atau cenderung kepada yang benar. Al- Zutha
adalah kakek dari abu hanifah merupakan penduduk asli kabul. Ia pernah ditawan
dalam sebuah peperangan lalu dilarikan ke kuffah sebagai budak setelah itu
beliau dibebaskan dan menganut islam sebagai Agamanya, ayahnya bernama tsabit,
beliau seorang pedagang sutra disebuah kota kuffah dan abu hanifah sering
mengikuti ayahnya berdagang. Pada mulanya abu hanifah sangat menyukai dan
mempelajari ilmu qiraa’at, hadits dan sastra,
nahwu, syi’ir, teologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang pada masa
itu. Diantara beberapa ilmu yang berkembang ia sangat diminatinya ialah ilmu
teologi, sehingga ia dikenal sebagai seorang tokoh yang termasyhur didalam ilmu
tersebut. Abu hanifa memiliki ketejaman pemikiran , hal tersbut dapat digunakan
untuk menangkis serangan dari golonga khawarij yang doktrin dari ajarannya
sangat ekstrim.
Abu hanifah juga
menekuni ilmu fiqih di kuffah, dan kuffah merupakan salah satu tempat pusat
pertemuan ulama’fiqih yang rasional. Terdapat madrasah kuffah yang brtempat di
Irak yang dirintis oleh Abdullah ibnu Mas’ud (wafat 63H/ 682 M). Adapun
kepemimpinan madrasah kuffah selanjutnya biturunkan kepada Ibrahim Al- Nakhaa’i
setelah itu Hammad Ibnu Abi Sulaiman Al- Asyari (wafat pada tahun 120 H) Hammad
Ibnu Sulaiman adalah salah seorang yang terkemuka ketika itu , ia juga termasuk
muriid dari Al- Qomah Ibn Qais dan Al- qadi Syuriah, kedua tokoh tersebut
merupakan ulama’pakar fikih yang cukup masyhur di kuffah dan merupakan golongan
tabi’in, dari Hammad ibn Abi Sulaiman itulah Abu Hanifah belajar Fiqh dan
Hadits.[2]
Imam Abu Hanifah
adalah salah satu imam ahlu ra’yu dan ahli fiqih Iraq. Abu Hanifah pernah
menjadi pernah menuntut ilmu hadits dan ilmu fiqih(18 tahun) dari ulama-ulama
yang terkenal. Dalam menuntut ilmu imam
abu hanifah selalu berhati-hati dalam menerima hadits dan dalam penulisannya,
imam abu hanifah menggunakan qiyas dan istihsan secara meluas. Adapun dasar
madzabnya ialah al-Quran, hadits , ijma’, qiyas, dan istihsan[3]
2.
Imam Malik Bin
Anas ( Tahun 93-179 H ) Sebagai Pendiri Mazhab Maliki
Imam Malik
adalah imam yang kedua setelah Imam Abu Hanifah, beliau dilahirkan pada tahun
93 H. / 12 M. Tepanya di kota Madinah suatu daerah dekat dengan kota Hijaz.
Imam Malik wafat Imam Malik bin Anas ‘bin Abu Amir al- Asbahi ialah tokoh dalam
bidang hadits serta ilmu fiqih disebuah kota di mandinah yang bernama darul
Hijrah. Imam Malik lahir pada zaman al-walidbin Abdul Malik serta meninggal di
kota Madinah pada zaman al- Rasyid. Imam Maliki hidup dalam dua zaman
pemerintahan, yaitu pada zaman pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah,
namun lebih banyak mengabiskan waktu pada zaman Bani Abbasiyah.
Imam Malik
menuntut ilmu kepada beberapa ulama’ di
Madinah, salah satu dari mereka ialah Abdul Rahman bin Hurmuz, selain itu dia
juga menerima hadits yaitu Nafi’Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab az-Zuhri serta
Rabi’ah bin Abdul Rahman (Rabi’ah Ar-Ra’yi) sebagai guru nya dalam bidang
fiqih. Kitab al-Muwatha’ adalah salah satu kitab yang ditulis oleh Imam Mali
dan merupakan kitab besar dalam ilmu hadits dan Fiqih .[4]
Imam Malik
adalah guru dari imam As-Syafi’i. Imam Malik membangun Madzhabnya dengan dua
puluh pondasi dasar keilmuan yaitu Al-Quran yang terdiri dari lima dasar,
As-Sunnah juga lima dasar yang terdiri dari An- Nash Al kitab, mafhum
al-mukhalafah, mafhumnya yakni mafhum al-muwaaqah, serta tanbihnya berupa
peringatan Al-qur’an terhadap illah seperti firman Allah, “...karena semua itu
kotor atau fisq.”(al- An’aam: 145). Yang lain berupa ijma’, qiyas, amal ahli
Madinah, Qaul as- Sahabi, Al-Istihsan, saad adz-dzara’i, menjaga khilaf ,
istishab, al-mashalih al-mursalah serta syar’ man qablana.
3.
Biografi
Muhammad Bin Idris Asy-Syafi’i (Tahun 150-204) Sebagai Pencetus Mazhab Syafi’i
Al- Imam Abu Abdullah,
Muhammad bin Idris al-Qurasyi al- Muthalibi ibnul Abbas bin Utsman bin Syafi’i
(Rahimahullah) yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i. Imam
Syafi’i memiliki silsilah nasab yang bertemu dengan datuk Rasulullah saw. ialah
Abdu Manaf. Imam Syafi’i lahir di Ghazza (Palestina) pada tahun 150 H, yang
bertepatan pada tahun wafatnya Imam Abu Hanifah,serta wafat pada tahun 204 H di
Mesir. Imam Asfi’i dibesarkan dalam keadaan yatim namun dia telah mampu
menghafalkan Al-Quran saat masih kecil selain itu dia juga dikenal sebagai
tokoh bahasa dan sastra Arab kemahirannya tersebut dilatarbelakangi karena dia
pernah tinggal bersama kabilah Hudzail di al-Badiyah (salah satu kabilah yang
terkenal dengan kefasihannya berbahasa Arab )
Muslim bin khalid
al- Zanji adalah seorang mufti sekalus sebagai guru dari Imam Syafi’i ketika
menuntut ilmu di Mekkah. Ketika Imam syafi’i kira-kira berumur 15 tahun , dia
telah mendapat izin untuk memberikan fatwa. Setelah dari Mekkah Imam Syafi’i
belajar kepada Imam Malik bin Anas ke
Madinah untuk belajar dan menghafal kitab Muwatha’ dan telah mampu menguasainya
hanya dalam jangka aktu sembilan malam saja. Selain itu Imam Syafi’i juga mampu
meriwayatkan hadits dari Sufyan Bin Uyainah, Fudhail bin Iyadh,serta kepada pamannya
yang bernama Muhammad bin Syafi’i dan yang lainnya.
Imam Syafi’i
pernah bertemu dengan Imam Ahmad bin Hambal ketika masih berada di Mekkah
sekitar tahun 187 H. Dan di Baghdad pada tahun 195 H. Disana imam Ahmad bin
Hambal belajar beberapa ilmu yakni: ilmu
Ushul fiqih, fiqih, ilmu nasikh dan mansukh Al-Quran dari Imam as Syafi’i.
Ketika berada di Baghdad Imam Syafi’i berhasil mengarang kitab (al- Hujjah )
yang didalamnya berisi madzhabnya yang qodim. Setelah itu pada tahun 200 H dia
pergi ke Mesir dan disanalah lahir madzhab jadid-nya.[5]
Imam Syafi’i
memiliki sumber madzhab yang berupa Al-Quran, As –Sunnah, ijma’dan Qiyas serta
tidak mengambil qaul sahabi karena hal tersebut berupa ijtihad yang ada
kemungkinan salahnya.
4.
BIOGRAFI AHMAD
BIN HAMBAL ASY-SYAIBANI (TAHUN 164-241 H) SEKALIGUS SEBAGAI PENCETUS MADZHAB HAMBALI
Imam
ahmad ibnu bin hanbal lahir di baghdad pada bulan rabiul awal tahun 164 H/
780M. ibunya bernama Syarifah Maimunah binti Abdul Al Malik Ibn Sawaddah Ibn
Hindun Al Syaibani. Dari pihak ayah maupun ibu Imam Ahmad bin Hnabal berasal
dari suku bani syaiban yaitu sebuah kabilah yang berdomisili di semenanjung
arabia. Imam Ahmad lahir di sebuah keluarga yang sangat terhormat. Dimana
keluarga tersebut memiliki kebesaran jiwa ketuatan kemauan, ketegaran dalam
menghadapi masalah, serta senantiasa sabar dalam menghadapi cobaan.[6]
Imam Abu
Abdullah, Ahamd bin Hambal bin Hilal bin Asad AL- Zuhalli Asy-Syaibani. Lahir,
dibesarkan sekaligus wafat di Baghdad. Imam Hambali menuntut ilmu dibeberapa
kota, misalnya di Kuffah, Basrah, Mekkah, Madinah, Yaman, Syam, dan Jazirah. [7]
Mazhab hambali
kuat bermula dari setelah al-Mutawakkil diangkat menjadi seorang khalifah pada
masa bani abbasiyah. Ketika itu al- mutawakkil tidak akan mau mengangkat
seorangpun mmenjadi qadli kecuali atas persetujuan ahmad bin hambal.[8]
C.
Pola Pikir Fiqih Imam Empat
1.
Abu Hanifah An-Nu’man (Imam Hanafi)
Pada
masa dimana abu hanifah hidup terjadi
gejala logis yang dilatar belakangi oleh perbedaan pendapat yang ekstrem
dan bertolakbelakang dengan beliau. Orang-orang pada masa itu menilai bahwa
beliau kontroversial berdasarkan perjuangan, perilaku, pemikiran, dan
keberanian beliau. Yakni dengan mengajarkan menggunakan akal secara maksimal
tanpa peduli terhadap pandangan orang lain.Abu hanifah adalah seseorang yang
menguasai mengenai ihwal kehidupan, banyak mengetahui tentang tokoh-tokoh,
pemikiran orang-prang pada masa tu maupun pada masa sebelumnya. Beliau orang
yang keras terhadap orang-orang munafik, dan sangat sulit untuk dipengaruhi. [9]
Beliau
membagi waktunya antara bisnis dan ilmu. Dengan bisnis inilah pengaruhnya
sangat besar terhadap bidang fiqih, ia meletakkan prinsip-prinsip bisnis
berdasarkan landasan agama yang kuat. Suatu hari beliau berangkat ke pesantren
untuk pengkajian ilmu dan meninggalkan teman serikatnya ditoko. Sebelum pergi,
beliau berpesan kepada temannya bahwa pada kain itu ada cacatnya yang
begitubtidak kelihatan, jadi jika ada yang beli bilang kepada orang yang akan
membelinya, tetapi teman serikatnya itu menjual dan tidak menunjukkan cacatnya.
Namun abu hanifah mencari pembeli tersebut dan menunujukkan cacat kain tersebut
kepadanya, tetapi Abu Hanifah tidak berhasil menemui pembeli tersebut. Sehingga
beliau akhirnya menyedekahkan sekuruh uang dari pembelian tersebut dan
memutuskan untuk berpisah dengan teman serikatnya itu. Demikianlah sikap Abu
Hanifah alam berdagang ia memahami dalil-dalil teks serta menggali kaidah
hukum.[10]
Disamping
itu beliau seorang yang wara’ dan bertakwa, beliau adalah orang yang
sangat lembut kepada siapa saja yang melakukan kesalahan. Dan Abu Hanifah juga
mengajak jamaahnya memperhatikan dalam hal penampilan. Misalnya, dalam hal
shalat beliau mengenakan pakaian yang dibanggakan dan memakai wangi-wangian
karena berhadapan dengan Allah Swt.[11]
Abu
Hanifah adalah seorang penegak keadilan dan pejuang kebebasan, beliau sangat
rendah hati banyak diam, bicara seperlunya saja, dan tidak berkata bila tidak
ada orang bertanya kepadanya. Dan tetap sabar bila ada orang ynag bersikap
kasar dalam hal berdebat dengannya. Beliau berkeinginan tinggiuntuk mendapatkan
ridha ibunya, walaupun ibunya kadang-kadang tidak menerima fatwa dari beliau.
Meskipun demikian Abu Hanifah tetap sangat mengharapkan ridha dari ibunya,
sehingga beliau tidak pernah menolak permintaan-permintaan dari ibunya. Sering
sekali neliau mendapatkan cercaan dan caci maki dari orang-orang yang berbeda
pendapat, lalu menghasut orang lain untuk menuduh beliau orang kafir dan
sebagai seorang pemberontak. Namun,Abu Hanifah tetap menyambut mereka dengan
rasa ynag nyaman, tanpa menanggapi cacuan yang datang dari orang-orang yang
berbeda pendapat dengannya.[12]
Abu
Hanifah adalah seseorang yang tidak hanya terpaku pada dalil-dalil tekstual,melainkan
beliau juga berusaha mencari dan menerapkan suatu hukum sesuai dengan kondisi
dalam peristiwa hukum dan kasus yang terjadi.[13]
Fiqih Abu Hanifah tertuju pada kebebasan dalam
berkehendak, sebab bencana besar yang menimpa manusia disebabkan oleh adanya
perampasan hak kemerdekaan. Seluruh hukum dan pendapat beliau selalu berpijak
kepada pendirian bahwa kemerdekaan dalam pandangan syariat wajib dipelihara.[14]
Dalil-dalil Islam menurut Abu Hanifah:
1) Al-qur’an, sesungguhnya telah disepakati oleha imam
mazahb yang empat bahwa Al-Qu’an adalah suber hukum yang pertama dan paling
utama. Namun demikian masih ada perbedaan dalam menafsirkan Al-Qur’an
dikalangan mereka. Misalnya: menurut imam hanafi lafaz lamastum, dalam
Al-qur’an artinya bersetubuh, maka dari itu tidak batal wudk jika menyentuh
perempuan, walaupun ajnabiah, berbeda
pendapat dengan tiga imam yang lainnya.
2) Hadits , hadits yang diterima oleh imam Hanafi adalah
hadits yang masyhur yang diiwayatkan oleh dua, tiga orang. Dan Hanafi menolah
hadis ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Beliau lebih
mendahulukan Qiyas. Imam Hanafi lebih banyak menggunakan qiyas dari pada
menggunakan hadis ahad.
3) Qias, hanafi lebih mendahulukan qiyas dari pada hadis
ahad, setelah beliau menggunakan hadis masyhur.
4) Istihsan, yaitu
meninggalkan qiyas mementingkan kebaikan dan keadilan yang mutlak. Contohnya,
perempuan ynag haid tiada diqiyas dengan junub , maka dari iu orang haid
dibolehkan membaca la-qur’an tetapi orang junub tidak dibolehkan.
5) Ijma’ sahabat saja, tetapi pengikut imam Hanafi juga
menerima ijtihad dari ulama-ulama.[15]
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa Imam Abu
Hanifah adalah Imam yang luar biasa, memiliki kecerdasan intelektual yang
tinggi, pemikiran fiqihnya mampu menembus pemikiran ulama pada zamannya.[16]
2.
Imam Malik bin Anas ( Imam Maliki)
Malik
bin Anas adalah seorang yang cinta berdakwah, tekun mengajar dan membeci ucapan
kasar, teriakan dan kata-kata yang tidak bermanfaat. Imam malik menyaring dan
menliti sanad-sanad hadis untuk digali hukumnya untuk menjawab
peristiwa-peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dan dalam
pendapatyang lain Imam Malik menentukan hukum berdasarkan perwujudan
kemaslahatan dan penghapusan kerusakan. Karena begitu beratnya tanggung jawab
beliau terhadap hadis maka beliau sangat berhati-hati dalam berfatwa. Dalam
berfatwa pendapat Imam Malik berpegang kepada Al-qur’an, Sunnah, Ijma’, amal
penduduk Madinah dan pemeliharaan kemaslahatan.[17]
Mazhab
Maliki merupakan antitetis dari mazhab Hanafi yang cenderung rasionalis.
Pemikiran dalam hal hukam Imam Maliki cenderung tradisional dan kurang
menggunakan rasional. Beliau dianggap sebgai ahli hadis walupun tetap
menggunakan qias, tetapi porsi terbesarnya menggunakan hadits.[18]
Dalil-dalil hukum islam menurut Maliki:
1) Al-Qur’an, sama dengan mazhab-,azhab yang lain,
terkadang hanya bebrda dalam menfsirkan dan mengistinbatkan hukum.
2) Hadits ahad dan Atsar (perkataan) sahabat yang sah
(sahih), wakupun tidak termasuk masyhur.
Tetapi perbuatan dan ijma’nya ulama Madinah lebih kuat dan lebih di
dahulukan dari pada hadis ahad. Dalam hal ini lingkaran ijma lebih besar dari
pada lingkaran hadits.
3) Qias, hanya jadi pegangan jika tidak ada Hadits dan
Atsar sahabat yang sah, sebab itu lingkaran qias lebih kecil dari pada
lingkaran hadits. Merupakan kebalikan dari Hanafi.
4) Mashalih murshalah (kemuslihatan mutlak)
Seperti wajibnya bayar pajak pada zaman sekarang dari
pada kosong kas negara, sebab tidak ada harta lain untuk mengisi kas negara
tersebut.
5) Ijma’ Ulama Madinah, kemudian ijma ulama-ulama
mujtahid.[19]
Imam adalah seorang tookoh yang dikenal oleh para
ulama sebagai alim besar dalam ilmu hadits, hal ini nampak dari penyataan para
ulama. Diantara ulama tersebut adalah imam syafi’I yang mengatakan : apabila
datang padamu hadits dari imam malik, maka pegang teguhlah olehmu, karena ia
menjadi hujjah bagimu. Dalam menetapkan
hukum dan ketika memberi fatwa ia sangat berhati-hati, sebagaimana di
riwayatkan bahwa beliau pernah berkata: “saya tidakpernah memberikan fatwa dan
meriwayatkan suatu hadits, singkat jumhur ulama membenarkan dan mengakui.[20]
3.
Imam As-Syafi’i
Imam
syafi’i adalah orang yang mengungkapkan argumentasi dengan hati-hati dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan wawasan yang sangat luas. As-syafi’i
merasa kesulitan mendapatkan kertas
untuk menulissehingga ia mengandalkan hafalannya hal itu mebuat daya hafal jadi kuat.[21]
Imam
syafi’i mengkombinasikan fiqih hijaz ( Mazhab Maliki) dengan fiqih Iraq (Mazhab
Hanafi ) dan menciptakan mazhab baru yang ia diktekan kepada murid muridnya
yang bebenrtuk dalam buku yang dinamakan al –Hujjah. Salah satu jasa terbesar
Imam Syafi’i dalam bidang hukum ialah menciptakan ushul fiqh sebgaimana dimuat
dalam kitab Ar-Risalah.[22]
Dalam
hal ini Imam syafi’i tampil sebagai orang yang yang mampu memformulasikan hukum
aliran ar-ra’yu versi Maliki yang berlandaskan sunnah, fatwa sahabat, ulama
madinah,dengan hukum aliran ar-ra’yu versi Hanafi yang berlandaskan dengan
pemikiran bebas dan praktis.[23]
Dalil-dalil hukum islam menurut As-Syafi’i:
1) Al-Qur’an, sama juga dengan mazahb-mazhab yang lain,
hanya saja tetap berbeda dalam hal penafisran dan pengistinbatkan hukum.
2) Hadits yang sah atau hasan( baik), meskipun hadis itu
tidak masyhur dan hadis tersebut lebih didahulukan dari pada qiyas dan ijma’
ulama Madinah.
3) Qias, kalau tak ada nash didalam alqur’an dan hadis,
maka lingkt=rang qias lebih kecil dari lingkaran al-qur’an dan hadis.
4) Ijma’,seluruh mujtahid pada suatu masa, karena ijma’
ulama madinah saja tidak boleh dijadikan dalil.[24]
Imam syafi’I termasuk ahli hadits , Imam syafi’I
disebut juga sebagai imam Rihalah Fi Tallab al-fiqh, pernah pergi ke
hijaz untuk berguru kepada imam Malik. Selain itu pengetahuan Imam Syafi’I mengenai masalah sosial masyarakat sangat lah
luas.
Dalam bidang hadits Syafi’I berbeda dengan Abu Hanifah
dan Malik bin Anas. Karenan Imam Syafi’I dikenal memiliki dua pandangan dengan qaul
al-qadim dan qau al-jadid. Qaul al-qadimdi cetuskan di Irak di dalam kitab al-Hujjah
dan Qaul jadidnya terdapat dalam kitab nya yang bernama al-Umm, yang dicetuskan
di Mesir.[25]
4.
Imam Ahmad Bin Hambal
Ahmad
Imam Bin Hambal dikenal sebagai seorang yang pendiam,pemurung dan hampir tidak
pernah tersenyum. Imam Hambali sejak kecil sudah hafal al-qur’an dan memahami
hukum-hukumnya serta mempelajari ilmu hadis. Imam Hambali tidak pernah
menyempit kan orang dan bukan orang yang berkata kasar dan keras hati. Serta
beliau juga bukan orang yang fanatik terhadap pendapat yang sampai kepadanya,
dan mempunyai wawasan yang sangat luas dan seorang ulama yang mempunyai
pemahaman yang sangat dalam tentang ruh syariat, seorang fuqaha yang membenah
kejumudan dan membuka kebebasan bermuamalah.[26]
Dalil –dalil hukum Islam menurut Hambali:
1) Al-Qur’an, sama dengan mazhab-mazhab yang lain
2) Hadits yang sah, hasan atau dhai’f termasuk juga
fatwa-fatwa sahabat. Yang demikian itu lebih didahulukan dari pada qiyas.
3) Qiyas, hanya dipegangi, dipakai jika terpaksa tidak
ada lagi nash dari hadits, atsar dan fatwa0fatwa sahabat.
4) Ijma’ yang diterima adlah ijma’ sahabat saja. Dan beliau menganggap barang siapa yang
menfatwakan ijma sesudah sahabat adalah bohong.[27]
Imam
Ahmad bin Hambal Hidup dalam masa munculnya bid’ah, telah berklai-kali beliau
membuka dan menunjukkan ketatapan kaidah-kaidah fiqih, mentapkan hukum-hukum,
fatwa-fatwa,hal itu karena beliau melihat sempitnya keg=hidupan yang sangat
parah, ia mengenal kons=disi manusia hidup didalam rekayasa. Ahmad bin Hambal
belajar hadis pertama kali kepada Abu Yusuf, salah seorang sahabat Abu Hanifah.
Ahmad menghadapi banyak kesulitan dan menanggung berbagai kesesangsaraan dalam
mencari hadis-hadis sahih untuk menganstisipasi bentuk bid’ah.[28]
D.
PROBLEM NIKAH
MUHALLIL
Istri
yang telah di talak tiga tidak boleh dikawini oleh bekas suaminya, kecuali jika
bekas istri itu kawin dengan laki-laki yang lain terlebih dahulu. Maka kedua
hal tersebut menghalalkan bekas istri untuk dikawini oleh bekas suaminya. Jadi
Muhallil adalah jika ada seorang laki-laki yang mengawini bekas istrinya.
Sedangkan muhallala-lah (adalah orang yang dihalalkan untuknya)[29]
1. HUKUM NIKAH MUHALLIL MENURUT MAZHAB SYAFI’I
Menurut
madzah Syafi’i, nikah muhallil yang dikutuk oleh Rasulullah ialah semacam nikah
mut’ah juga. Karena nikah muhallil itu tidak mutlak, melainkan di syaratkan
atau ada batas waktunya yang batas waktu tersebut telah di tentukan oleh wali
perempuan. Adapun contohnya : ,, Aku kawinkan engkau kepada anakku... dengan
syarat, bila engkau sudah bersetubuh dengannya maka tak ada lagi hubungan
perkawinan tersebut dan engkau (pihak laki-laki) haruslah menjatuhkan talak
padanya” . lalu pihak laki-laki tersebut
menerima kesepakan dengan syarak tersebut, maka hubungan perkawinan itu tidak
sah . demikian juga dengan nikah mut’ah yang konsepnya hampir sama dengan
konsep nikah muhallil yaitu terdapat jangka waktu yang menjadi syarat dari akad
tersebut misalnya yaitu : satu minggu atau dua minggu lamanya masa perkawinan
tersebut
1) Semisal
datang seorang laki-laki ke sebuah negeri lain, kemudian ia berkehendak untuk
mengawini salah seorang perempuan di negeri tersebut, namun disyaratkan dengan
jangka waktu yakni pernikahannya berlaku hanya pada waktu seorang laki-laki
tersebut berada di negeri tersebut. Namun ketika melakukan akad nikah tidak
menyampaikan syarat tersebut, namun hanya mengucapkan dengan mutlak saja,
selayaknya perkawinan biasa yang berlaku didaerah tersebut maka sah-lah
perkawinan tersebut. Dan jika niatnya perkawinan tersebut hanya selama ada di
negeri tersebut, maka tiadalah batal perkawinannya, karena hal tersebut
merupakan percakapan hati.
Begitu
juga, jikalau ada seorang laki-laki yang mengawini seorang wanita dengan niat,
sseperti ini : “jika ia sudah bersetubuh dengan dia, ia akan menjatuhkan talak
kepada si perempuan itu, hanya sebatas ingin halal dikawini oleh bekas
suaminya” maka sah-lah hukum perkawinan tersebut
Dalil
imam Syafi’i
1) Bahwa
nikah yang dilarang ialah nikah mut’ah yang berartikawin kontrak yang memiliki
batas waktu. Saat melakukan akad tidak menyebutkan masa itu jadi sah hukum
perkawinan tersebut.[30]
2. MENURUT MAZHAB HANAFI
1) Seorang
laki-laki yang mengawini seorang wanita yang telah ditalak 3 oleh suaminya
dengan maksud, agar wanita tersebut halal dikawini oleh mantan suaminya, maka
perkawinan itu hukumnya sah, bahkan laki-laki tersebut akan mendapat pahala
laki-laki tersebut jika dengan maksud atau berniatan ingin mendamaikan antara
laki-laki dan wanita yang telah bercerai itu, tetapi jika memiliki niatan hanya
ingin melepaskan hawa nafsu(syahwat), maka hukum dari perkawinan tersebut ialah
makruh namun perkawinan tersebut tetap sah.
2) Adapun
jika Seorang laki-laki yang yang pekerjaannya sebagai muhallil (cinta buta)
sehingga laki-laki tersebut menjadi masyhur (terkenal) namanya sebagai
muhallil, pekerjaan tersebut dapat dikatakan sebagai pekerjaan yang makruh
(haram).
Begitu
juga jika ada seoang laki-laki yang menerima upah maka hukum dari uang tersebut
menjadi haram juga. Oleh sebab itu pekerjaan muhalil dilaknat oleh llah dan
rasulnya sebagaimna disebutkan di dalam hadits nabi SAW . dari Ibnu Mas’ud ia
berkata , yang berarti : Rasulullah melaknat muhallil dan muhallal-ah
Maka
muhallil yang dilaknat oleh Allah dan Rasullnya ialah laki-laki yang bekerja
sebagai muhallil atau yang bekerja sebagai menerima upah atau gaji atas
pekerjaannya sebagai muhallil tersebut, hal ini tidak hanya semata-mata karena
pekerjaannya seagai muhallil dan apabila hanya menitik beratkan atau terfokus
pada muhallil saja, maka semua laki-laki menikahi semua wanita yang sudah
ditalak tiga maka hal tersebut dilaknat oleh Allah.[31]
3. MAZHAB MALIKI
Seorang laki-laki yang diminta
mengawini wanita yang sudah ditalak tiga oleh seorang laki-laki yang lain yang
memiliki maksud untuk menghalalkannya dan diserahkan untuk laki-laki bekas
suaminya maka perkawinan tersebut batal (fasid) serta wajib menceraikan anatara
keduanya.
Begitupula
jika perkawinan tersebut dilandaskan atas niatan hanya untuk menghalalkan perempuan
yang diperuntukkan bagi bekas suaminya, baik syarat itu dilkukan sebelum aqad
nikah, maka perkawinan itu batal dari dasarnya.
Dalilnya:
Dari
Jazid bin Ijadl, ia mendengar Nafi’ berkata : ada seorang laki-laki bertanya
kepada Ibnu Umar tentang nikah Muhallil, maka jawab Ibnu Umar : Aku kalau Umar
bin Khatab melihat sesuatu dari ini (nikah Muhallil ) niscahya dirajamnya.[32]
4. MAZHAB
HAMBALI
Imam Hambali berkesimpulan bahwa
nikah muhallilnhukumnya haram serta batal, seperti yang tellah ditetapkan oleh
ali perempuan : aku kawinkan engkau dengan anakku... hingga engkau bersetubuh
dengan nya, atau dengan syarat jika anakku telah engkau halalkan maka hubungan
perkawinan ini adalah telah usai atau bila anakku telah engkau halalkan untuk
bekas suaminya maka harus engkau talak akan dia.
Jika
di syaratkan muhallil sebelum akad nikah dan tidak disebutkan pula dalam akad
perkawinannya, namun hanya dimaksudkan atau diniatkan muhallil itu dalam ikrar
akad tanpa adanya styarat terlebih dahulu, maka hukum dari perkawinan tersebut
batal juga.
Ismail bin Sa’id : Aku bertanya
kepada Imam Ahmad tentang hukum dari seseorang laki-laki yang mengawini
perempuan, sedangkan niatannya hanya untuk menghalalkan perempuan itu untuk
mantan suaminya, padahal wanita tersebut tidak mengetahui masalah tersebut.
Imam Ahmad menjawab ia adalah muhallil, jika ia berniat hanya untuk
menghalalkan untuk orang lain maka dia kena kutuk.[33]
Kesimpulan:
Empat Imam fiqih memiliki pola pikir yang berbeda-beda
dalam hal menafsirkan, hal inilah yang memicu munculnya mazhab-mazhab
dikalangan ulama fiqih. Walaupun diantara mereka ada yang saling bertolak
belakang, namun mereka tetap menjunjung rasa toleransi dan saling mengahargai.
Mazhab ialah
sebuah paham atau aliran dalam pemikiran atau metode yang ditempuh oleh Imam
Mujtahid dalam menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan Alquran dan hadits
serta mazhab juga diartikan sebagai fatwa atau pendapat yang seorang imam
mujtahid tentang hukum suatu peristiwa yang diambil dari al-quran.
Imam hanafi dikenal sebagai ulama Ahl al-Ra’yu sebab
beliau lebih mengedepankan nalar dalam menetapkan hukum. Imam malik adalah
seorang tokoh yang dikenal oleh para ulama alim besar dalam ilmu hadis atau ahl
hadits. Imam syafi’I juga dikenal dengan ahlu al-Hadits, beliau dikenal sebagai yang mampu
memformulasikan hukum antara imam hanafi dan imam maliki. Begitupun dengan Imam
Hanbal ia juga dikenal sebagai ahlu al-Hadits, ia sangat kuat berpegang dengan
hadits.
DAFTAR PUSTAKA:
Az Zuhlaili Wahbah,2010.Fiqih
Islam Wa
Adillatuhu JilidD
1,Jakarta: Gema
Insani
Yanggo Huzaemah
tahido. 1997. pengantar perbandingan mazhab, jakarta:logos wacana ilmu
Jurnal,“keterkukungan
intelektual atau kerangka metodologis(dinamika hukum Islam)”,yudsia,vol.6,no.2,desember,2015.hal:
402
Abdurrahman Asy-Syarqawi,1994.
5 Imam Mazhab Terkemuka,Bandung: al-Bayan
Yunus
Mahmud,1956. hukum perkawinan dalam islam,Jakarta: Hidakarya Agung
Naim Ngainun,2009. Sejarah
Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: Teras
Asy- Syurbasi Ahmad,Empat
Imam Mazhab, Jakarta: Bumi Aksara
Az Zuhlaili Wahbah,2010.Fiqih
Islam Wa
Adillatuhu JilidD
2,Jakarta: Gema
Insani
Jurnal “Pola Pemikiran
Imam Syafi’I dalam Menetapkan Hukum Islam”. Jurnal Adabiyah. Vol. XIII.No.2/2013,190.
Catatan:
1. Makalah ini mempunyai similarity sebanyak 15%, sangat baik.
2. Penulisan footnote tolong diperbaiki lagi, sebab banyak yang
keterangannya dipotong atau tidak lengkap.
[1]
Wahbah az Zuhlaili,FIQIH ISLAM WA ADILLATUHU JILID 1,hal: 40
[2]Huzaemah
tahido yanggo, pengantar perbandingan mazhab, hal:95-97
[3]Wahbah
az Zuhlaili,FIQIH ISLAM WA ADILLATUHU JILID 1,hal: 40-41
[4]Huzaemah
tahido yanggo, pengantar perbandingan mazhab, hal:95-97
[6]
Huzaemah tahido yanggo, pengantar perbandingan mazhab, hal. 137
[7]Ibid,
hal: 46
[8]Nafiul
Lubab dan Novita Pancaningrum, “keterkukungan intelektual atau kerangka
metodologis(dinamika hukum Islam)”,yudsia,vol.6,no.2,desember,2015.hal: 402
[9]Abdurrahman Asy-Syarqawi, 5 Imam Mazhab Terkemuka,hlm.33
[10]Ibid. hlm. 36-37
[11]Ibid. hlm. 37-38
[12]Ibid. hlm. 38-39
[13]Ibid. hlm. 43
[14]Ibid. hlm. 49
[15]Mahmud Yunus,Hukum Perkawinan Dalam Islam,hlm.VII
[16]Ngainun Naim,Sejarah Pemikiran Hukum Islam,hlm.83
[17]Abdurrahman Asy-Syarqawi, 5 Imam Mazhab Terkemuka,hlm.64-81
[18]Ngainun Naim,Sejarah Pemikiran Hukum Islam,hlm.86
[19]Mahmud Yunus,Hukum Perkawinan Dalam Islam,hlm.VIII-IX
[20]Huzaemah tahido Yanggo,pengantar perbandingan
mazhab,hlm.105
[21]Abdurrahman Asy-Syarqawi, 5 Imam Mazhab Terkemuka,hlm.85-95
[22]Ngainun Naim,Sejarah Pemikiran Hukum Islam,hlm.89-90
[23]Abdul Karim “Pola Pemikiran Imam Syafi’I dalam
Menetapkan Hukum Islam”. Jurnal Adabiyah. Vol. XIII.No.2/2013,190.
[24]Mahmud Yunus,Hukum Perkawinan Dalam Islam,hlm.IX
[25]Huzaemah tahido Yanggo,pengantar perbandingan
mazhab,hlm.123-124
[26]Abdurrahman Asy-Syarqawi, 5 Imam Mazhab Terkemuka,hlm.139-141
[27]Mahmud Yunus,Hukum Perkawinan Dalam Islam,hlm.IX-X
[28]Abdurrahman Asy-Syarqawi, 5 Imam Mazhab Terkemuka,hlm.145-147
[29]Mahmud
Yunus, hukum perkawinan dalam islam, hal: 41-42
[30]Mahmud
Yunus, hukum perkawinan dalam islam, hal: 41-43
[31]Mahmud
Yunus, hukum perkawinan dalam islam, hal: 43-44
[32]Mahmud
Yunus, hukum perkawinan dalam islam, hal: 44-45
[33]Ibid,
45- 46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar